BAB III STUDI KASUS 3.1. Masjid Agung Banten
Gambar masjid agung Banten
Kota Banten Lama merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Islam Banten pada abad XVI – XVIII, termasuk dalam wilayah administrasi kabupaten Serang Banten yang beribukota di Serang. Kota Serang dahulu juga menjadi ibu kota Karesidenan Banten. Sebagai pusat pengembangan wilayah di Banten menyebabkan suatu alasan kuat, mengapa ada orang yang mengidentikkan Serang dengan Banten. Memang dalam kenyataannya pembangunan daerah Banten terikat erat dengan kota Serang.
Letak Geografis kabupaten Serang adalah diantara 105°7’ - 106°22” bujur timur dan 5°20’ - 5°21” lintang selatan. Berbatasan dengan laut Jawa di sebelah utara, kabupaten Lebak dan Pandeglang di sebelah selatan, selat Sunda di sebelah barat dan dengan kabupaten Tangerang di sebelah timur.
Wilayahnya seluas 187.600 ha itu terdiri atas dataran rendah pantai, dataran rendah bukan pantai, dan daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar 0 – 700 meter dpl.
Daerah pegunungan terutama di daerah selatan dan selebihnya merupakan dataran rendah pantai tanpa gunung.
41
Curah hujan pertahun rata-rata 1000 – 2500 mm, dengan suhu udara di dataran rendah 25,9° C dan 23° C di dataran tinggi.
Peta Banten Lama AMS museum
Umumnya daerah Banten yang mencakup kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang secara karakteristik berbeda dengan Priangan yang khas Sunda baik etnik maupun Budaya. Walaupun Bahasa Sunda banyak dipergunakan oleh penduduk Banten Selatan (Pandeglang dan Lebak), tetapi di kabupaten Serang dan Banten Utara, penduduk sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa-Banten. Memang demikianlah dalam kenyataannya penduduk Banten Utara berbeda dengan penduduk Banten Selatan, dimana terutama pada abad XIX ternyata penduduk kabupaten serang ini merupakan hasil pembauran antara orang orang Demak, Sunda, Bugis, Cirebon, Melayu dan Lampung. Karena itu nampak perbedaan bahasa dan adat serta penampilan fisik dan watak.
Profesor.Dr. Sartono Kartodiharjo menulis: Bahkan orang-orang Belanda mengenal penduduk banten sebagai orang yang fanatik dalam agama, agresif dan berjiwa pemberontak yang cerdas. Diantara unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tidak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa bahkan sebaliknya penetrasi Islam sangat mendalam…1
1
Kumpulan Data Keparwisataan Jawa Barat, Bandung 1973
42
Masjid Agung Banten merupakan masjid yang dibangun pada saat kejayaan Kesultanan Banten, Kesultanan yang akhirnya hancur dengan hanya menyisakan Masjid Agung Banten ini. Pada masa kini masjid ini tetap dikunjungi oleh lebih kurang 1000 orang setiap harinya.2 Ada beberapa hal yang menjadi kesamaan dari Masjid Agung Banten dan Masjid Salman selain dari fungsinya, antara lain tidak adanya unsur-unsur hiasan pada Masjid Agung Banten, padahal pada saat itu masyarakat Banten telah mengenal ragam hias yang tinggi, hal ini terlihat dari adanya ragam hias yang sangat Indah pada bekas reruntuhan Kraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Banten pada saat itu. Ini tentunya terkait dengan pemahaman maupun falsafah yang anti mubazir atau perbedaan pemahaman akan menghias masjid.
Masjid Agung Banten merupakan objek wisata ziarah arsitektur yang menarik karena memiliki gaya bangunan yang menarik dan elemen-elemen interior yang menarik. Hal menarik pertama adalah dari bangunan utama masjid, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Demak yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati, itu adalah atapnya yang tumpuk lima. Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid yang beratap tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban Cut. Selain jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan keunikan yang tidak ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, bahkan di seluruh Indonesia.
3.1.1. Latar Belakang Banten
Sejarah Banten tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam yang disebarkan oleh Walisanga. Banten sebelum datangnya Islam dikuasai oleh kerajaan Pajajaran, demikian pula dengan daerah Ujung Kulon Banten yang diperintah oleh Prabu Saka Domas.3
Sebagian besar penduduk di sana beragama Hindu dan kebudayaan asli. Campuran dua kebudayaan ini lazim dikenal dengan istilah kebudayaan Hindu-Jawa.4 2
Bambang Setia Budi H. Tb. Rachmatullah Amin, 1987 4 Praptopo Soedarno, Skripsi 3
43
Kata Banten berasal dari Wahanten atau Cibanten yaitu nama sungai yang berada di dekat Banten 13 km ke selatan situs Banten Lama. Tetapi orang kemudian sering memberi julukan Katiban Inten (kejatuhan intan), yang diibaratkan dengan masuknya agama Islam ke banten.
Pantai Banten menurut Decker 1676
Banten pada abad XVI – XVIII di zaman pemerintahan kesultanan Islam, memiliki wilayah lebih luas dari empat wilayah kabupaten di banten sekarang dan meluas ke daerah Lampung hingga Palembang di Sumatera Selatan.
Puncak kejayaan kesultanan Banten terutama ketika pemerintahan dipegang oleh sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan kedua Maulana Yusuf (1570-1580), dan sultan keenam sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).
Pada puncak kejayaan ini Banten pernah menjadi sebuah negara maritim sekaligus agraris yang sangat kuat dan makmur, memiliki pelabuhan yang paling besar di Indonesia dengan Banten sebagai ibukotanya. Istana sultan Banten dibangun di dalam benteng dinamakan keraton Surosoan atau Gedong Kedaton Pakuan atau Fort Diamant yang berarti Benteng Intan.
Kejayaan kesultanan Banten terutama dimulai sejak masa pemerintahan sultan Abdul Kahar yang bergelar sultan Haji. Di dalam sejarah sultan Haji ini dikabarkan termakan oleh taktik divide et impera Belanda sehingga mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa, ayahandanya sendiri.
Sultan Haji banyak dipengaruhi oleh Belanda, dalam pembangunan gedung-gedung di lingkungan Masjid Banten hal inipun terjadi. Arsitek Belanda Hendrick Lucaszoon Cardeel, membantu pembangunan gedung-gedung di lingkungan kerajaan Banten, Sultan kemudian menganugerahkan gelar Pangeran Wiraguna.
44
Agama Islam mulai masuk ke Banten bersamaan dengan datangnya pasukan dari kerajaan Islam demak yang bermaksud menaklukan Banten, Tangerang, Jayakarta, dan Cirebon, dengan tujuan mengisolasi dan akhirnya menaklukan kerajaan Pajajaran. Pasukan ini dipimpin oleh Fatahillah atau dikenal dengan Faletehan, Seorang kepercayaan Syarif Hidayatullah.
Pemandangan pasar di Banten pada masa kesultanan
Agar lebih memahami Timeline Masjid Agung Banten hendaknya kita melihat Silsilah para Sultan Banten:
Para Sultan Banten: Syarif Hidayatullah-Sunan Gunung Jati Pangeran hasanuddin-Panembahan Surosowan (1552-1570) Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan Gede (1570-1580) Maulana Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580-1596) Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Kenari (1596-1651) Putra Mahkota Sultan Abdul Ma’ali Ahmad Sultan Ageng Tirtayasa-Abul Fath Abdul Fatah (1651-1672) Sultan Abu Nasr Abdul Kahhar-Sultan Haji (1672-1687) Sultan Abdul Fadhl (1687-1690) Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733) Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750) Sultan Syarifuddin Artu Wakil (1750-1752) Sultan Muhammad Wasi Zainul Alimin (1752-1753) Sultan Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773) Sultan Abu Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
45
Sultan Muhyiddin Zainulsholihin (1799-1801) Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802) Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803) Sultan Agilluddin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808) Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809) Sultan Muhammad Syafiyuddin (1809-1813) Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)5
3.1.2. Latar Belakang Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten merupakan masjid yang dibangun pada saat kejayaan Kesultanan Banten, Kesultanan yang akhirnya hancur dengan hanya menyisakan Masjid Agung Banten ini. Pada masa kini masjid ini tetap dikunjungi oleh lebih kurang 1000 orang setiap harinya.6 Ada beberapa hal yang menjadi kesamaan dari Masjid Agung Banten dan Masjid Salman selain dari fungsinya, antara lain tidak adanya unsur-unsur hiasan pada Masjid Agung Banten, padahal pada saat itu masyarakat Banten telah mengenal ragam hias yang tinggi, hal ini terlihat dari adanya ragam hias yang sangat Indah pada bekas reruntuhan Kraton Surosowan sebagai pusat pemerintahan kesultanan Banten pada saat itu. Ini tentunya terkait dengan pemahaman maupun falsafah yang anti mubazir atau perbedaan pemahaman akan menghias masjid.
Hanya lukisan Masjid Jepara sekitar abad ke-16 yang dibuat Wouter Schouten dalam Reistogt Naar en Door Oostindien dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1676 serta dicetak ulang tahun 1780 memperlihatkan masjid beratap tumpuk lima. Masjid yang lukisannya pernah dipublikasikan Francois Valentijn dalam Oude en nieuw Oost-Indien itu memperlihatkan idiom pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi, hingga ukirannya.
Menurut Graaf dan Pigeaud, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang 5 6
Catatan Masa Lalu Banten, Halawany dan Mudjahid Chudari Bambang Setia Budi
46
ditopang tiang pusat yang bila dihilangkan tidak mengganggu konstruksi di bawahnya.
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Catatan Dirk van Lier di tahun 1659 maupun Wouter Schouten yang datang pada tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata/amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat memanggil orang untuk bersembahyang. 47
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Seperti dikatakan Pijper (1947:280), menara berbentuk segi delapan itu mengingatkan pada bentuk mercusuar, khususnya mercu Belanda. Saat ini ada bukti peninggalan mercusuar buatan Belanda di Anyer sebelah barat Serang dari abad ke-19, yakni bangunan mercusuar yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Menara Masjid Agung Banten. Bentuk tersebut lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat.
Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.
Di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Saat ini, bangunan yang berdenah empat persegi panjang, dua tingkat dan masing-masing memiliki tiga buah ruang besar tersebut difungsikan sebagai museum benda peninggalan, khususnya alat perang. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan memasukkan sebanyak mungkin cahaya dan udara.
48
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.
Yang aneh adalah tata letak makam. Secara tradisi, makam pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Tata letak ini berkembang di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti di Masjid Kasunyatan. Ini memberi tradisi baru pada masjid tradisional di Jawa, selain adanya elemen menara.
Kompleks Masjid Agung Banten dibatasi pagar halaman yang mengelilinginya, dimana di dalamnya terdapat bangunan-bangunan penting antara lain: Masjid Agung, Menara, Thiyamah, Makam Sultan, dan Mizwalah (Jam matahari)
Denah Kasar Masjid Agung Banten:
49
3.1.3. Deskripsi Interior Arsitektur
3.1.3.1 Bentuk Bangunan Masjid
Ada beberapa pendapat mengenai masid Agung Banten, Pendapat pertama mengatakan bahwa Masjid ini dipengaruhi oleh arsitektur Cina, karena arsiteknya Cut Ban Cek. Pendapat kedua mengatakan bahwa bangunan Masjid ini banyak dipengaruhi oleh corak seni bangunan Hindu-Jawa, sehingga arsitektur masjid ini termasuk dalam kelompok masjid yang dipengaruhi corak seni bangunan sebelum Islam datang (corak asli).
Kedua pendapat tersebut tidak perlu dipermasalahkan karena merunut pada pandangan akulturasi budaya yang selalu dinamis, kedua hal tersebut menjadi sesuatu yang relatif. Faktanya adalah bahwa bentuk masjid merupakan penjelmaan dari corak kehidupan / budaya masyarakat yang ada pada daerah tersebut.
Corak budaya Cina sudah hadir di Banten sejak awal kerajaan Islam Banten, dengan bukti peta-peta belanda yang telah memasukkan pecinan dan tulisan mengenai kelenteng yang selamat dari Tsunami setinggi 4 meter saat gunung Krakatau meletus 1883. Besar kemungkinan bentuk masjid yang ada sekarang telah berubah dari bentuk aslinya yaitu setelah masa pemerintahan sultan Haji yang dipengaruhi oleh Belanda.
Bangunan masjid merupakan inti atau daerah sakral kompleks masjid Agung Banten. Oleh karena itulah Jacob Van Neck dan Valentijn dalam bagian laporannya masingmasing memberitahukan bahwa mereka tidak diperkenankan masuk ke dalam bangunan suci tersebut. Hal demikian juga ditulis oleh Chrijs (1881:42). Aturan bahwa orang-orang bukan muslim dilarang memasuki masjid rupa-rupanya diterapkan amat ketat di masa lalu. Dimaksudkan bangunan masjid di kompleks Masjid Agung Banten adalah bangunan yang mempunyai atap bersusun lima, ditambah dengan serambi timur yang memiliki atap sendiri.
50
3.1.3.2. Fondasi Bangunan Masjid dan Denah Ruang Utama Shalat / Lantai
Bangunan masjid berdiri di atas fondasi massif atau pejal yang tingginya hampir satu meter. Ruang utama shalat yang merupakan inti bangunan ini memiliki denah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 meter. Ruangan ini dapat dimasuki dari serambi timur, utara maupun pawestren. Di dalam ruang utama shalat terdapat di antaranya mihrab dan mimbar. Tiang-tiang dan balok rangka atap dapat pula dilihat dari ruangan itu. Lantai ruangan pada saat sekarang dilapisi marmer ukuran 60x90 berwarna krem. Marmer-marmer ini baru dipasang akhir-akhir ini menggantikan terasso berwarna hijau yang dipasang pada tahun 1975. Sebelumnya lantainya berwarna merah hati dan terbuat dari tembikar. Lebih jauh lagi seperti yang diberitakan oleh Jacob Van Neck pada saat ia mengunjungi Banten tahun 1599, pernah ditutupi oleh jerami.
3.1.3.3 Dinding
Ruang utama shalat terbentuk dari empat sisi dinding tembok yang saling berbeda atribut yang ada padanya, seperti ketebalannya yang berkisar antara 60-90 cm, ketinggiannya, bentuk serta jumlah pintu, jendela, lubang angin, pilaster (tiang semu) dan pelipit-pelipit (perbingkaiannya).
Dinding barat yang tingginya hampir mencapai 3,3 m membatasi ruangan dengan serambi barat. Pada dinding ini terdapat tiga buah jendela dan dua buah pilaster segi empat. Seperti pada masjid-masjid di Indonesia umumnya, maka mihrab ditemukan pada dinding barat. Hiasan pelipit-pelipit didapati pada bagian bawah, tengah dan atas dinding, memanjang secara horizontal, sama seperti pada tiga dinding lainnya. Di bagian bawah adalah pelipit rata dengan pelipit setengah lingkaran di atasnya. Pelipit ini terus merambah ke dinding-dinding lainnya. Pada bagian tengah dinding adalah pelipit penyangga yang menyambung ke dinding utara, sedangkan di bagian atas dipenuhi oleh paduan pelipt-pelipit penyangga, cekung serta pelipit rata yang juga menyambung ke dinding utara.
Dinding utara yang sama tingginya dengan dinding barat, membatasi ruang utama shalat dengan serambi utara. Pada dinding ini terdapat sebuah pintu, dua buah jendela 51
dan dua pilaster segi empat. Pelipit setengah lingkaran terdapat di antara pelipit bagian tengah dan atas. Inilah perbedaan hiasan dinding utara dengan dinding barat.
Dinding timur memisahkan ruang utama shalat dengan serambi timur. Tinggi dinding hampir mencapai 2,6 m. Empat buah pintu masuk yang merupakan pintu masuk utama serta lubang-lubang angin terdapat di sini. Pintu-pintu tersebut masing-masing berada di tengah bidang segi empat dari dinding yang lebih menonjol. Bentuk seperti itu mengingatkan kita pada bangunan Arch de Triumph di Paris, Perancis. Pelipit pada bagian tengah dinding timur ialah pelipit setengah lingkaran yang mengapit pelipit rata. Pelipit tersebut masih diapit pula oleh pelipit rata yang lebih kecil. Bagian atas dinding adalah pelipit setengah lingkaran dan rangkaian pelipit penyangga di atasnya.
Dinding selatan membatasi ruang utama shalat dengan ruang makam dan ruang pawestren. Ketinggian dinding ini tidak konsisten. Beberapa meter bagian tengahnya mencapai ketinggian 12 meter, lalu ke timur dan barat turun menyesuaikan dengan tinggi dinding timur dan barat yang memang lebih rendah. Dibndingkan dengan dinding-dinding lainnya, lebih sedikit dan sederhana atribut yang ada pada dinding selatan ini. Hanya empat buah pilaster setinggi tujuh meter yang diapit oleh sebuah pilaster yang lebih rendah, yang menghiasinya. Sebuah pintu yang menghubungkan ruang utama shalat dengan pawestren juga terdapat di dekat sudut barat dinding ini.
3.1.3.4 Pintu, Jendela dan Ventilasi
Pintu Pada dinding ruang terdapat 6 buah pintu dengan perinciannya sebagai berikut:
1. Pada dinding sebelah timur terdapat 4 buah pintu. Masing-masing berukuran lebar 1,01 m dan tinggi 1,72 m, dilengkapi dengan 2 buah daun pintu yang diberi kaca buram yang berfungsi untuk memasukkan sinar matahari, berukuran 27 cm x 36 cm. Pintu berbentuk ½ lingkaran pada bagian atasnya. Keempat pintu ini menghubungkan ruang shalat utama dengan serambi muka. Daun pintu terbuka ke dalam.
52
Melihat jumlah daun pintu dan arah bukaannya, dapat dipastikan keempat pintu ini berfungsi sebagai pintu masuk utama. Arah bukaan pintu ke arah dalam memberikan kesan mengundang masuknya jemaah ke ruang dalam. Sedangkan tinggi pintu yang hanya 1,72 meter terasa rendah bila dibandingkan dengan tinggi langit-langit, sengaja dibuat demikian agar jemaah merasa memiliki derajat yang sama di dalam masjid.
2. Pada dinding sebelah utara, terdapat sebuah pintu, berukuran lebar 1,25 m tinggi 2,4 meter. Mempunyai dua buah daun pintu yang diberi kaca buram berukuran 27 cm x 32,5 cm, bermanfaat untuk memasukkan sinar matahari . Bentuk pintu persegi empat, berfungsi sebagai penghubung dengan serambi utara. Bukaan pintu kearah luar, sehingga dapat dipastikan pintu ini berfungsi sebagai pintu keluar, membantu keluarnya jemaah yang keluar selain melalui pintu-pintu timur.
3. Pada dinding sebelah selatan terdapat sebuah pintu, berukuran lebar 0,9 m x 1,93 m. Hanya mempunyai sebuah daun pintu. Daun pintu ini dilengkapi kaca-kaca buram berukuran 28 cm x 28 cm. Bentuk pintu persegi empat, menghubungkan ruang shalat utama dengan pawestren.
Semua daun pintu pada ruang utama masjid terbuat dari kayu, tidak terdapat hiasan berupa ukiran, hanya panel-panel kayu dan kaca. Dilapis dengan pelitur.
Bukaan Ventilasi dan Cahaya
Lubang ventilasi terdapat sekeliling bagian antara atap susun. Untuk menjaga keamanan dan kekhidmatan beribadah, maka lubang ventilasi atap tersebut ditutup dengan plang-plang kayu. Hal ini untuk mencegah masuknya burung-burung dan sejenisnya kedalam ruang ibadah., tetapi udara dan cahaya tetap dapat masuk ke dalam ruangan.
Lubang ventilasi atap merupakan lubang ventilasi utama, demikian karena luas lubang tersebut adalah yang paling besar di antara yang lainnya, kecuali jendela. Lubang ventilasi dekat lantai berbentuk segitiga kecil.
53
Jendela
Jendela bersama-sama dengan lubang ventilasi berfungsi sebagai jalan masuk udara dan cahaya alam sekaligus, perbedaannya jendela dapat dibuka dan ditutup sesuai dengan keperluan, sedangkan lubang ventilasi tidak. Dengan demikian adanya jendela sebagai jalan masuk udara yang fleksibel diperlukan keberadaannya dalam usaha mengatur masuknya udara yang diperlukan. Bersama-sama dengan lubang ventilasi menyebabkan aliran udara horizontal.
Jendela pada dinding ruang ibadat seluruhnya berjumlah 5 dengan perincian : 2 di sisi utara dan 3 di sisi barat. Setiap jendela dilengkapi dengan 2 buah daun jendela terbuat dari kayu dilengkapi dengan kaca buram, berukuran 32 cm x 45 cm.
Jendela berbentuk persegi empat, berukuran 118 cm x 170 cm dan tidak diberi hiasan apapun.
Daun jendela dipelitur seperti daun pintu, demikian pula kusennya.
3.1.3.5 Tiang-Tiang
Tiang di dalam ruang shalat utama berfungsi sebagai penyangga beratnya atap susun yang menutupi ruang tersebut. Seluruhnya berjumlah 24 buah, terbuat dari kayu jati masif tanpa sambungan, kecuali pada tiang soko guru yang langsung menyangga atap tumpang paling atas. Karena tiang ini memerlukan kayu jati yang lurus sepanjang +/11 meter.
Pada bangunan tradisional soko guru yang berjumlah empat buah tiang, adalah perlambangan dari empat nafsu manusia yang harus dijaga, yaitu: kemarahan, ketamakan, kasih, dan kerendahan hati.
Tidak ada perbedaan ukuran Tiang, baik tiang utama atau sokoguru yang berjumlah empat buah ataupun tiang-tiang lain di sekitarnya. Berbentuk segi delapan dan kelilingnya 90 cm. Tidak ada hiasan pada tubuh tiang ini. Penyelesaian permukaannya dengan pengecatan, berwarna coklat muda. 54
Elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Umpak penyangga terdapat pada bagian bawah tiang, terbuat dari batu yang ditatah membentuk buah labu. Bentuk-bentuk umpak yang menyerupai labu ini merupakan pengaruh dari bangunan tradisional Hindu-Jawa, dimana pada bangunan tradisional tersebut penggunaan umpak batu merupakan simbol untuk menolak kemarahan setansetan yang berada di muka bumi. (bachtiar)
Umpak batu yang menopang tiang-tiang dalam ruang masjid ini, berbeda-beda baik dimensi maupun beberapa hiasan yang melengkapinya tergantung dari fungsi serta letaknya di dalam masjid.
Berdasarkan letaknya secara umum tiang dibagi dalam empat tipe:
1. Adalah umpak penyangga 4 tiang utama yang berbeda di tengah ruang. Mempunyai ukuran terbesar diantara seluruh umpak yang ada. Keliling umpak mencapai 293 cm dengan tinggi 50 cm. Berbentuk labu dengan jumlah tonjolan sebanyak 48 buah.
2. adalah umpak yang menyangga tiang pada lapis pertama mengelilingi tiang utama. Berukuran lebih kecil dari tipe 1 dengan jumlah tonjolan sebanyak 16 buah. Pada tipe 2 ini, terdapat 2 macam lagi yang dibedakan oleh motif ukiran pada bagian bawah umpak.
3. Adalah umpak yang menyangga tiang pada lapis kedua mengelilingi tiang utama. Berukuran lebih kecil dari tipe 2, jumlah tonjolannya ada yang berjumlah 16 adapula yang 18. Pada tipe ini adapula yang berbeda pada bagian bawahnya yang berbentuk lebih sederhana. 55
4. Adalah umpak yang menyangga tiang paling timur. Mempunyai ukuran rata-rata seperti tipe 2 tetapi mempunyai penampilan yang paling sederhana dan penyelesaian permukaan yang kasar dibandingkan dengan tipe lainnya.
3.1.3.6. Langit-langit
Bangunan pada kompleks masjid agung Banten sebelumnya adanya perbaikan menyeluruh tahun 1975, belum semua mempunyai langit-langit. Kecuali gedung Thiyamah yang telah sejak mula didirikan dahulu, telah memiliki langit-langit yang terbuat dari papan kayu.
Tujuan pemasangan langit-langit pada setiap ruangan ini adalah: 1. Mencegah jatuhnya kotoran dari sela-sela genting dan pecahan genting, bila sewaktu-waktu ada genting yang pecah. 2. Dari sudut estetis, pemasangan langit-langit ini akan memberikan kesan ruang yang bersih dan terawat sesuai dengan fungsinya sebagai bangunan tempat beribadah dan bangunan yang dianggap suci. 3. Warna langit-langit yang cerah akan membantu pemantulan pencahayaan alami kedalam ruang.
Masjid agung, serambi dan ruang pemakaman kemudian dilengkapi dengan langitlangit dibuat dari bahan asbes berukuran 1m x 1m x 1m. Cara pemasangan dan penyelesaian langit-langit tersebut diseragamkan, yaitu dipasang sejajar mengikuti kemiringan atap masing-masing bangunan. Kerangka atap terletak di bawah langitlangit, sehingga tampak dari dalam ruangan. Sambungan antara asbes yang satu dengan yang lainnya, ditutupi dengan lis kayu yang diberi cat warna coklat kemerahan. Penyelesaian permukaan langit-langit, dengan cara pengecatan berwarna putih.
3.1.3.7 Mihrab
Salah satu bagian penting dari ruang utama masjid adalah mihrab, yaitu ruang yang digunakan oleh imam untuk memimpin shalat. Ruang ini terletak pada dinding 56
sebelah barat, menjorok ke dalam. Letak mihrab menghadap ke arah barat, yaitu arah ka’bah di Mekah.
Ruang mihrab berbentuk persegi panjang, berukuran 2m x 0,9 m. Langit-langitnya berbentuk lengkung, dengan tinggi 2,15 m pada daerah pintu dan menurun di ujung ruang menjadi setinggi 1,92 m. Tinggi lantai 2 cm lebih tinggi dari lantai ruang utama. Menggunakan Karpet, di atas lantai dilapisi sebuah sajadah, yaitu permadani untuk shalat.
Dinding serta langit-langit dibuat dari tembok bata yang dilapisi plesteran semen. Permukaannya dilapisi warna putih, sama dengan ruang shalat utama. Pintu masuk mihrab berbentuk 4 buah pilar, 2 buah pilar yang di tengah memotong langit-langit mihrab yang berbentuk lengkung.
Pada dinding, langit-langit dan pintu masuk tak ada hiasan ataupun tulisan seperti terdapat pada masjid lainnya, hingga menimbulkan kesan sederhana.
Perabotan di dalam mihrab, hanya sebuah pengeras suara dengan kakinya, yang dipergunakan hanya pada hari-hari besar atau hari jum’at, dimana suara imam memimpin shalat harus terdengar oleh semua jemaah yang melakukan shalat, baik yang berada di serambi atau di ruang Pawadonan yang terpisah.
Di dalam mihrab tidak ada lampu penerangan atau jendela sebagai jalan masuk bagi cahaya matahari dan udara, satu-satunya jalan hanya dari pintu masuk. Kurangnya pencahayaan dan penyelesaian dinding dengan cat putih, menjadikan mihrab terasa gelap. Dari segi pengaturan udara pun terasa kurang nyaman.
3.1.3.8. Mimbar
Pada masjid ini terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru 57
sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Mimbar adalah tempat khatib memberikan ceramah. Di dalam masjid agung ini, mimbar berbentuk persegi panjang, berukuran 1,7 x 0,93 m tinggi 3,15 m. Terbuat dari bahan kayu yang dilapisi cat berwarna coklat tua kemerahan pada bagian dinding luarnya, berwarna putih pada bagian atap dan di dalam mimbar.
Hiasan yang terdapat pada dinding mimbar antara lain: hiasan berbentuk buah labu dengan tonjolan sebanyak 16 buah. Mengingatkan kita pada umpak batu sebagai penopang tiang masjid. Di tengahnya terdapat lingkaran dan bintang emas bersudut delapan, menurut keterangan hiasan ini meniru bintang segi delapan pada bendera di zaman kesultanan dulu.
Dua buah jendela terdapat di sisi kiri dan kanan mimbar; hiasan pada bagian atas mimbar berupa hiasan simetris berwarna emas dan merah, nampak seperti gubahan gambar dua ekor naga.
Melihat bentuk jendela, warna-warna yang dipakai dan hiasan bagian atas mimbar mengingatkan kita pada bentuk-bentuk ornamen pada bangunan kelenteng Cina.
Atap mimbar bersusun dua, dengan hiasan memolo pada puncaknya serta pada setiap sudut-sudut atapnya terdapat hiasan mencuat menyerupai tanduk. Nampak pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa terdapat pula pada desain mimbar ini.
Perabot mimbar berupa pengeras suara dan kakinya melengkapi fungsi mimbar, merupakan tambahan pada masa kini.
Letak mimbar 90 cm lebih tinggi dari lantai ruang. Mimbar diletakkan di atas kaki berupa konstruksi tembok. Untuk mencapai mimbar harus melalui 6 buah anak tangga, masing-masing setinggi 15 cm. Anak tangga ini ditutupi permadani merah bermotif kotak-kotak.
58
Maksud dinaikannya mimbar ialah agar suara khatib dapat terdengar jelas dan hadirin dapat melihat khatib saat memberikan ceramah. Dua buah lubang membentuk setengah lingkaran pada kaki mimbar, tidak diketahui fungsinya dengan jelas.
Dilihat dari bentuk mimbarnya, mimbar pada Masjid Agung Banten ini termasuk tipe mimbar yang biasa dipergunakan di masa awal penyebaran Islam di pulau Jawa. Seperti halnya mimbar yang dipergunakan pada masjid kuno Kanoman di Cirebon, mimbar-mimbar semacam ini mempunyai tangga dan pintu masuk dari bagian muka yang menghadap jemaah serta memiliki atap yang menyerupai atap rumah ibadah tradisional berbentuk atap susun. Pada waktu memberi ceramah, khatib berdiri di mimbar langsung menghadap para jemaah.
Berbeda dengan mimbar-mimbar yang diperrgunakan pada masjid yang dibangun pada masa-masa sekarang, misalkan mimbar pada masjid Salman Bandung. Disini dipergunakan mimbar yang rendah dimana khatib masuk ke mimbar daria arah belakang mimbar serta mimbar berfungsi pula sebagai meja di muka khatib. Mimbar semacam iini tidak memiliki atap dan diletakkan di bagian muka didalam masjid dimana shaf shalat telah berakhir, sehingga tidak ada jemaah yang terbelakangi khatib ketika memberikan ceramah agama.
3.1.3.9. Serambi
Serambi mengelilingi ruang shalat utama pada bagian timur, utara, dan barat. Serambi terletak di antara halaman dan ruang ibadah.
Serambi masjid agung Banten ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa antara tahun 1651 dan 1672.
Di antara beberapa serambi yang mengelilingi Masjid, maka serambi bagian timur atau depanlah yang memiliki ukuran terluas. Bidang lantai berukuran panjang 27,46 m dan lebar 11,19 m. Lantai menggunakan marmer mengkilat.
Ketinggian serambi dari permukaan tanah di halaman adalah 88 cm, sedangkan ketinggian lantai serambi terhadap ruang shalat utama adalah 2 cm lebih rendah. 59
Perbedaan ketinggian pada lantai bangunan masjid ini adalah merupakan simbolisasi dari tingkat kesucian ruang.
Untuk mencapai serambi dari halaman muka, kita harus melalui 5 anak tangga dengan injakan berukuran 40 cm, sehingga tangga sangat landai, di sisi selatan masjid. Jika dari arah kolam wudhu yang lebih rendah 1,31 m dari permukaan serambi.
Pada sisi-sisi serambi dipasang pagar pembatas dari bahan kayu berwarna coklat tua kemerahan, serta railing pagarnya dari besi bercat putih.
Atap serambi muka terpisah dari atap masjid. Serambi memiliki konstruksi penyangga atap dari balok-balok kayu yang permukaannya dicat dengan warna coklat tua dan putih. Tiang-tiang penyangga berjumlah 6 buah bersegi delapan seperti tiang di dalam masjid. Tiang ini memiliki lingkar keliling 40 cm. Pada setiap tiang disangga oleh umpak batu berbentuk labu diatas konstruksi tembok bata. Konstruksi ini berbentuk kubus dicat warna putih.
Tinggi konstruksi tembok adalah 69 cm serta tinggi umpak batu 42 cm, sehingga tinggi keseluruhan penyangga tiang adalah 1,11 meter.
Hiasan pada umpak batu serupa dengan umpak yang berada di dalam masjid, jumlah tonjolannya sebanyak 16, kelilingnya lebih kecil yaitu 168 cm. Hiasan pada konstruksi tembok berbentuk segi empat dengan bentuk seperempat lingkaran pada setiap sudutnya, sehingga memiliki sisi berjumlah delapan.
3.2. Masjid Salman
Masjid Salman sebagai masjid yang pertama di Indonesia yang menerapkan konsep yang belum pernah diterapkan pada sebuah masjid dapat menggambarkan masjid kontemporer. Masjid yang diprakarsai oleh Achmad Sadali, Acmad Noe’man, dan TM Soelaiman ini merupakan hasil ijtihad dan penerapan surat Al-Baqarah ayat 173. Pada awalnya memang pernah menjadi kontroversi, bahkan pada saat ITB diduduki oleh tentara, ada beberapa tentara yang masuk ke masjid dengan memakai sepatu
60
karena mereka tidak mengetahui bahwa gedung Salman tersebut merupakan masjid.7 Pada masa kini masjid salman telah menjadi pusat kegiatan Islam yang lebih universal daripada sekadar ibadah mahdah. Indikasi ini dapat menjadi suatu landasan bagi tinjauan yang akan penulis lakukan untuk mengetahui apa kiranya yang menjadi dasar keberhasilan Desain masjid Salman sebagai masjid dengan pendekatan Kontemporer.
Gambar Masjid Salman
3.2.1. Latar Belakang Masjid Salman
Masjid Salman ITB direncanakan mulai tahun 1959, dan waktu pembangunannya dari tahun 1965 sampai tahun 1972 untuk bangunan utama saja, dan sampai sekarang dianggap masih belum selesai, pengembangan kawasan Salman ini tetap dilakukan sesuai ‘grand design’ yang telah dibuat.
Masjid ini didirikan dalam lingkungan kampus sebuah perguruan tinggi yaitu Institut Teknologi Bandung. Sehingga baik secara fisik maupun non fisik penampilannya dapat mengungkapkan integrasi dengan kampus dan lingkungannya.
Seperti telah kita ketahui bahwa masjid merupakan wadah untuk kegiatan kemasyarakatan muslim, maka dalam ‘master plan’ masjid Salman ditampilkan maksud akan dibangun wadah untuk memenuhi tujuan dan fungsi secara luas dalam kehidupan seutuhnya. Dengan demikian masjid Salman dapat melayani umat Islam dalam lingkungan kampus dan sebagainya dalam berbagai kegiatan, peribadatan mu’amalah seperti: berkumpul, berkomunikasi, belajar, kesenian, dan pengembangan teknologi dan lain-lain disamping kegiatan ibadah khusus yaitu shalat, melaksanakan zakat, puasa dan persiapan untuk menunaikan ibadah haji. Berdasarkan hal ini masjid 7
Fauzan Noe’man
61
Salman ITB secara fungsional dapat dikatakan masjid berkepribadian yang mengarahkan usahanya pada pemenuhan apa yang diajarkan Islam.
Dari penjelasan diatas dapat diartikan bahwa pendirian masjid akan tergantung pada peranan pendukung ( termasuk arsitek dan ahli desain interior) dan jemaahnya. Dalam hal ini pendukung dan jemaah Salman yang hidup pada zaman modern sangat mempengaruhi perwujudan arsitekturnya.
Demikian faktor yang melatarbelakangi perwujudan arsitektur masjid Salman ITB.
Lingkungan Masjid
Sesuai dengan ‘master plan’ masjid Salman ITB sebagai wadah kegiatan kemasyarakatan muslim, terdiri atas beberapa bagian:
1. Bangunan Utama 2. Perpustakaan 3. Bank 4. ‘Auditorium’ 5. Poliklinik 6. Ruang Serba Guna 7. Pondok Tamu 8. Ruang Kelas 9. Ruang pengadaan keperluan sehari-hari (pertokoan)
Sebagai pusat lingkungan ini adalah bangunan utama: masjid. Oleh karena itu dalam tinjauan dan analisis desain interior masjid ini terbatas pada bangunan utama saja.
Bangunan utama masjid berbentuk persegi empat dengan ukuran : 28 x 28 m, dengan peninggian lantai 1,5 m dari permukaan tanah.
Bangunan utama ini terdiri dari ruangan-ruangan : 1. Ruang shalat utama 2. Ruang shalat wanita (mezanin) 62
3. Mihrab 4. Selasar / Serambi 5. Gudang
dan ruang-ruang pelengkap, yaitu: 1. Ruang wudhu pria dan wanita 2. Menara Adzan 3. Halaman dan pertamanan
3.2.2. Deskripsi Interior Masjid Salman
3.2.2.1. Ruang shalat utama
Denah ruang ini berbentuk persegi empat, dengan ukuran dan luas: 20 x 20 m = 400 m2.
Penyelesaian lantai, dinding dan langit-langit: 1. Lantai ruang ini pada awalnya menggunakan bahan semen biasa yang ditutup dengan permadani rapat dinding berwarna hijau ‘avocado’ (1981) selanjutnya diganti menggunakan parquet.
2. Dinding pembatas ruang ini terdiri dari: - dinding-dinding bagian barat dengan bahan tembok bata merah diplester dan dicat dengan cat emulsi warna putih. - dinding bagian timur dan samping kiri dan kanan dengan bahan panil-panil kayu jati ‘exposed’ dan kaca, dengan tiang-tiang beton ukuran 50 x 60 cm diplester dan dicat warna hitam arang. - pada tiap bidang dinding diantara dua tiang terdapat pintu masuk dari bahan kayu jati yang diperlihatkan teksturnya.
3. Langit-langit dari bahan ‘hardboard’ dengan pola segitiga dan pemasangan di bolak balik secara bervariasi dan tidak teratur. Pola ini diperkuat dengan garis-garis kayu jati yang diperlihatkan teksturnya. Ketinggian langit-langit dari permukaan lantai adalah : 6,5 meter. 63
3.2.2.2 Masalah kostruksi/struktur
Struktur dan konstruksi atap sangat menentukan perwujudan ruang utama ini. Sistem yang dipakai adalah konstruksi beton portal dengan atap beton plat. Sistem ini merupakan konstruksi atap dengan bentangan lebar dan menghemat tiang.
3.2.2.3. Masalah pengkondisian ruang
- Penerangan, yang dipergunakan dalam ruang utama ini adalah: sistem penerangan siang hari dan penerangan buatan. Penerangan siang hari dengan sinar langsung masuk melalui: 1. Bidang kaca diatas dinding dan 2. Panil dinding kaca setelah melalui penyaringan kerawang (rooster). Penerangan buatan dengan sinar langsung dipasang dalam kotak kayu jati yang diturunkan pada langit-langit. Jenis lampu yang dipergunakan yaitu lampu pijar berkekuatan 4 x 100 watt setiap kotak lampu. Jumlah keseluruhan adalah : 16 kotak lampu.
- Pengkondisian Udara, yang dipergunakan adalah secara alamiah, yaitu dengan cara: 1. mengurangi sinar langsung yang masuk dengan melalui penyaringan kerawang. 2. melalui bukaan pintu-pintu yang lebar. 3. penanaman tumbuh-tumbuhan dan pemanfaatan pohon-pohon besar disekitarnya. Ruang shalat wanita Ruang shalat wanita merupakan lantai mezanin yang terdapat dalam ruang utama jemaah. Ruang ini berukuran : 4 x 20 m. Untuk memasuki ruang inni melalui tangga kayu jati dari ruang serambi.
3.2.2.4. Penyelesaian lantai, dinding dan langit-langit.
1. lantai mezanin dari bahan kayu jati, dengan ketinggian : 2,5 m dari permukaan lantai ruang utama. 2. dinding yang membatasi ruang ini terdiri dari tiga bidang, yaitu:
64
- bidang dinding samping kiri dan samping kanan dari bahan kaca dengan garis-garis kusen kayu jati dan - bidang dinding bagian timur dari bahan tembok bata merah tanpa plesteran. Sedangkan pembatas bagian barat hanya menrupakan pagar dengan bahan besi, dengan pegangan dari kayu jati. 3. langit-langit dengan bahan lambrisering kayu jati yang diperlihatkan teksturnya dan pemakaian ukuran yang bervariasi. Ketinggian langit-langit dari permukaan lantai loteng adalah : 3,50 m.
Masalah pengkondisian ruang disini tidak berbeda dengan ruang utama, karena ruang ini merupakan bagian dari ruang utama.
3.2.2.5. Mihrab
Mihrab adalah ruang yang menjorok (jeluk) pada dinding bagian barat ruang utama. Ruang ini berukuran : 2,5 x 2 m. 1. Dinding mihrab dengan bahan tembok bata merah diplester dengan tekstur pasir dan kerikil dan dengan warna putih. Pada dinding sebelah kanan dan kiri terdapat pintu kayu jati yang menghubungkan ruang alat dan serambi dengan mihrab. 2. Langit-langit pada mihrab dibedakan dari langit-langit ruang utama dengan cara penurunan langit-langit stinggi 2,75 meter dari permukaan lantai. Penurunan langitlangit ini merupakan kotak yang dibungkus dengan kain berwarna hitam, dan berisi susunan komposit pengeras suara. Pada langit-langit ini terdapat penerangan langsung, dengan jenis lampu pijar. Mihrab ini dilengkapi mimbar dari kayu jati yang terdiri dari panggung setinggi +/- 30 cm, dilengkapi meja sebagai alas bahan bacaan, dan tempat duduk khotib pada waktu peralihan khotbah pertama ke khotbah kedua.
3.2.3. Serambi/selasar
Serambi masjid Salman merupakan ruang yang terletak pada samping kiri, kanan dan timur ruang utama. Keseluruhan merupakan perantara antara ruang utama dan halaman. Serambi bagian timur berfungsi sebagai ruang masuk utama. Ruang ini terbuka tanpa terhalang oleh dinding atau partisi dan langsung berhubungan dengan tangga masuk utama, sehingga dapat menerima jemaah dengan bebas 65
3.2.3.1. Penyelesaian lantai, dinding dan langit-langit . 1. Lantai pada ketiga serambi masjid dengan bahan ubin teraso (30 x30) berwarna abu-abu tua. Lantai ini diberi garis-garis putih +/- 5 cm dengan bahan teraso, sejajar dengan dinding mihrab setiap jarak 120 cm. 2. Serambi ini dikelilingi/dibatasi oleh deretan tiang-tiang beton, berukuran 40 x 50 cm dan berwarna semen. Diantara tiang bagian atas diisi bidang kerawang berwarna abu-abu hitam sebagai perisai matahari dan tampias. Pembatas serambi kiri dan kanan adalah pagar tembok bata merah dengan cat emulsi berwarna putih, dan ukuran tebal : 30 cm dan tinggi 100 cm. 3. Langit-langit pada serambi timur atau ruang masuk utama, setinggi 2,5 m dengan panel kayu jati. Langit-langit ini diperkuat dengan garis-garis kayu jati yang memanjang kearah ruang utama jemaah. Langit-langit pada serambi samping kiri dan kanan setinggi 6,5 m, dengan bahan lambrisering kayu jati.
3.2.3.2. Masalah pengkondisian ruang
Masalah penerangan untuk serambi pada siang hari banyak menerima sinar langsung tanpa penghalang atau dengan melalui penyaringan oleh kerawang yang berfungsi sebagai perisai matahari. Sedangkan penerangan pada malam hari yaitu sistem penerangan langsung dengan jenis lampu pijar. Pada ruang masuk utama sistem penerangan ini merupakan elemen desain langit-langit, yaitu susunan kotak kayu yang berisi lampu pijar dengan ketinggian tiap kotak berbeda-beda. Sistem penerangan pada serambi kiri dan kanan pada prinsipnya hampir sama dengan ruang shalat utama. Begitu pula mengenai sistem pengkondisian udara dan akustik pada serambi pada prinsipnya tidak berbeda dengan ruang utama tersebut diatas.
66