SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN
Simbolisme Masjid Agung Demak Marwoto 1(1), Elisya Wulandari(1)
[email protected],
[email protected] (1)
Mahasiswa pdtap Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak Aspek simbolik pada suatu kota merupakan salah satu fenomena yang dapat diangkat untuk menggambarkan suatu bentuk budaya masyarakat dengan latar belakang sejarah perkembangan kota terutama akan berpengaruh pada identitas bagi lingkungan di kawasan kota tersebut. Teori urban simbolism JM Nas tentang simbol material, discursive, iconic dan behaviour lebih mengetengahkan kota yang memberikan simbol sekuler yang nyata terlihat secara fisik berdasarkan perkembangannya. Namun Kota Demak memiliki nilai sejarah, tokoh belum dapat digolongkan pada urban symbolsm. Antara teori simbolisme kota dengan kondisi Kota Demak belum muncul teori simbolisme yang memperlihatkan suatu pengalaman spiritual. Penggunaan paradigma naturalistik, dengan landasan penelitian pendekatan kualitatif dan strategi induktif akan dijadikan bahan pertimbangan untuk mengkaji proses penelitian yang berkaitan dengan aspek simbol yang diharapkan dapat menjelaskan fenomena yang sebenarnya terjadi di lapangan. Sebagai upaya untuk mendapatkan teori secara substantif digunakan metode grounded theory yang akan digunakan pada penelusuran aspek-aspek simbolik pada kawasan di Kota Demak. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh teori tentang hubungan manusia dengan tempat (place) yang dilatarbelakangi oleh faktor simbol-simbol yang didominasi oleh aspek religi dan sejarah Kota Demak. Diharapkan akan muncul teori simbolisme sebagai teori lokal yang akan mengisi kesenjangan antara pengalaman spiritual dengan simbolisme kota yang bersifat sekuler. Sampai sejauh mana masyarakat masih mempertahankan nilai-nilai simbolisme islami yang kini menjadi daya tarik bagi para peziarah ke kota Demak. Nilai ruang dan tempat dari hasil penelitian ini memiliki pengaruh khusus berdasarkan hasil kajian yang melibatkan peneliti dan interaksi dengan masyarakat yang ada di sekitar Kota Demak. Kata-kunci : Simbolisme, spiritual place, Transendental.
Pendahuluan Pemahaman aspek simbolisme terhadap karya arsitektur dan kota di Indonesia bisa ditemukan terutama pada kawasan peninggalan-peninggalan sejarah yang dapat dibuktikan secara arkeologis dan memiliki nilai religi karena masyarakatnya menghargai tempat tersebut yang memiliki nilai spiritual. Sebuah kota penuh dengan berbagai kompleksitas fenomena yang didasari oleh beragam interaksi masyarakatnya. Timbulnya fenomena-fenomena tertentu dan menjadi budaya masyarakat lokal merupakan bagian identitas kota, sehingga kota tersebut memiliki ikon dan simbol-simbol. Unsur simbolisme sebuah kota terdiri dari sesuatu hal yang berbentuk fisik hingga aktivitas dan ritualnya, peninggalan-peninggalan arkeologi menjadi sebuah objek daya tarik sehingga dapat menjadi simbol yang mewakili karakteristik kota tersebut. Diantara beberapa kota-kota bersejarah peninggalan Islam di pesisir Utara Jawa lebih diutamakan Kota Demak sebagai salah satu kota yang menjadi kajian dalam penelitian ini karena diantaranya
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 55
Simbolisme Masjid Agung Demak
faktor historis, memiliki peninggalan kerajaan tertua dan peninggalan-peninggalan dari para Wali yang mewarisi budaya Islam. Pembentukan awal perkembangan masjid sebagai pusat kegiatan masih dapat dipertahankan dan tidak mengalami perubahan morfologi kota yang berarti. Pusat kota di Demak saat ini masih berada di seputar Masjid sebagai landmark kota dan orientasi kawasan tertuju pada masjid Agung Demak. Kota-kota pesisir di Jawa yang juga memiliki proses pertumbuhan berdasarkan perkembangan agama Islam seperti di Banten, Batavia, Cirebon, Gresik, Semarang, Kudus, Jepara mengalami pergeseran pertumbuhan pusat kota yang berkembang dan mengalami perubahan secara signifikan. Kota-kota tersebut berkembang sehingga karakter kota juga akan mengalami perubahan pada bagian wilayah kota yang cenderung didasari pada nilai ekonomi kota yang strategis. Isu-isu penting yang perlu diketahui dalam suatu kajian terhadap Kota Demak adalah: Demak merupakan kota Kabupaten yang mengalami perkembangan secara lambat secara fisik sehingga secara kasat mata tidak memperlihatkan unsur elemen kota sebagai objek daya tarik, namun dibalik hal tersebut tidak menyurutkan interpretasi masyarakat tentang simbol-simbol islami dan merupakan kota bersejarah yang menjadi bagian dari penyebaran agama Islam oleh para Wali serta memiliki nilai-nilai penting sebagai simbol spiritual kota karena berpengaruh terhadap kunjungan bagi para peziarah ke kota ini. Teori urban simbolism JM Nas tentang simbol material, discursive, iconic dan behaviour lebih mengetengahkan kota yang memberikan simbol sekuler yang nyata terlihat secara fisik berdasarkan perkembangannya. Namun Kota Demak memiliki nilai sejarah, tokoh belum dapat digolongkan pada urban symbolsm. Antara teori simbolisme kota dengan kondisi Kota Demak belum muncul teori simbolisme yang memperlihatkan suatu pengalaman spiritual dan simbol-simbol relgius. Kaitannya dengan berbagai isu-isu yang berkembang sementara berdasarkan penelusuran awal baik secara literatur maupun peninjauan langsung di lapangan, akhirnya peneliti mendapatkan gambaran permasalahan tentang hubungan spasial yang dapat diangkat dalam kasus ini adalah :
Bagaimana interpretasi masyarakat masjid Agung di Demak ? inti dari penelitian ini adalah mencari tahu tentang interpretasi masyarakat mengenai simbolisasi yang ada masjid Agung Demak bedasarkan penelusuran dan pandangan dari latar belakang pembentukan Kota Demak yang terdiri dari sejarah dan budayanya Tujuan dalam riset ini adalah mencoba mendalami makna simbol di masjid Agung Demak yang merupakan interpretasi dari masyarakat terhadap aspek fisik dan non fisik tentang masjid di Demak. Fenomena simbolisme di kota Demak tidak hanya menampilkan keberadaan aspek-aspek fisik saja terutama bangunan Masjid Demak dan makam Sunan Kalijaga, namun terdapat makna simbolik terhadap tokoh raja dan sejarah kerajaan Demak hingga pengaruh para Wali terhadap munculnya kota Demak. Penggunaan metoda Grand Theory sebagai alasan untuk memperkaya teori yang sudah ada berdasarkan kajian fenomena empiris tentang simbolisme islami di kota Demak. Peneliti mengambil data dan informasi dari beberapa narasumber atau informan terpilih untuk diteliti terkait interpretasi terhadap makna simbolisme Masjid Agung di Demak. Metoda ini juga menganalisis secara komparatif dari data-data yang bersifat kualitatf.
56 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Marwoto
Metode Penelitian Pemilihan pendekatan Grounded Theory dalam penelitian ini berdasarkan hal diantaranya menurut pendapat para ahli sosiolog Barney Glaser dan Anselm Strauss, yang pertama kali menerapkan pendekatan grounded theory dalam penelitian pada tahun 1967 oleh Glaser dan Strauss. Berbeda dengan orientasi apriori teoritis dalam sosiologi, mereka menyatakan bahwa teori harus "membumi" berdasarkan data dari lapangan, terutama dalam tindakan, interaksi, dan proses sosial masyarakat. Kajian teori berdasarkan fakta di lapangan menguatkan tujuan dalam penelitian ini, di samping itu metode ini dapat memperlihatkan fakta-fakta sejarah sebagai bukti untuk menghasilkan hubungan antara keadaan masa kini dari pengaruh besar kejadian-kejadian pada masa lalu. Penelitian kualitatif memberikan sumbangan pada basic research melalui ‘grounded theory’ (Glaser and Strauss, 1967), pada dasarnya adalah sebuah strategi induktif untuk menghasilkan dan mengkonfirmasikan teori yang muncul dan terlibat atau berkontak langsung dengan dunia empiris. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan dan literatur perlu dikelompok-kelompokan secara teratur, karena tidak semua data dapat dianalisis sama, diperlukan pemahaman data, penyajian data dan membuat interpretasi makna yang lebih luas tentang data tersebut (hasil pertanyaan umum hingga spesifik dari para informan dan partisipan). Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan mencatat hal-hal yang penting sepanjang penelitian (Creswell, 2007). Artinya ketika wawancara berlangsung, peneliti bisa sambil lalu melakukan analisis terhadap data-data yang baru saja diperoleh dan memasukannya ke dalam laporan. Metode Pengumpulan Data Penggalian data dan informasi di lapangan pada penelitian kualitatif meliputi unsur pelaku, tempat dan aktivitas disebut data teoritis berupa data awal tentang pengamatan secara menyeluruh di lapangan (grand-tour) di Kota Demak. Simbolisme ikon dan simbolisme perilaku serta keberadaan tempat menjadi fokus pengamatan atas fenomena yang ada di Kota Demak, ikon kota Wali dan perilaku masyarakat peziarah yang mendatangi tempat-tempat makam para Wali menjadi data-data yang diperlukan dalam pengamatan nanti di lapangan. Ketiganya diamati pada saat yang bersamaan dan saling berintegrasi. Hal ini untuk mengetahui faktor penyebab kejadian yang melatarbelakanginya sehingga peneliti harus mengetahui sesuatu yang terjadi di dalamnya. Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sebagai sampel teoritis yang bisa dilakukan dengan mengamati dan mewawancarai kepada masyarakat yang berhubungan langsung dengan objek studi. Langkah awal dalam penelitian kualitatif adalah dengan melakukan pengamatan secara keseluruhan di sekitar Kota Demak dengan tujuan untuk mencari titik-titik tempat yang menggambarkan fenomena kegiatan masyarakat di Kota Demak berkaitan dengan fokus penelitian. Upaya penemuan titik-titik lokasi yang menggambarkan suatu fenomena (locus) secara keseluruhan disebut sebagai grand tour. Pengamatan ini penting dalam upaya bahwa Kota Demak memiliki identitas simbolik kota dengan adanya tempat, pelaku dan kegiatan yang mencerminkan simbol Kota Demak. Setelah tahapan pengamatan secara keseluruhan dilakukan pengamatan secara mendalam (minitour) yang bertujuan untuk memahami secara detil tentang latar belakang dan hakikat dari hubungan antara masyarakat dengan unsur-unsur simbolik masjid Agung Demak. Pengamatan ini biasanya disebut observasi kualitatif, dimana peneliti langsung kelapangan untuk mengamati atau mengidentifikasi lokasi-lokasi yang telah terpilih tentang perilaku dan aktivitas individu di tempat penelitian. Menurut Miles dan Huberman (1994) terdapat empat aspek yang menyangkut tentang lokasi dan para partisipan yaitu : setting (lokasi penelitian), actor (siapa yang akan diobservasi dan
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 57
Simbolisme Masjid Agung Demak
diwawancarai), event (peristiwa atau kejadian yang dialami oleh partisipan), dan process (sifat peristiwa yang dirasakan oleh partisipan dalam setting penelitian). Dalam penelitian ini peneliti merekam dan mencatat peristiwa-peristiwa yang menjadi momen penting dilokasi sehingga menjadi sebuah hubungan yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Pemantauan di lapangan untuk mengetahui kondisi yang akan diteliti sedalam mungkin sehingga akan diketahui beberapa sumber informasi yang berkaitan langsung dengan objek studi dan sejumlah informan dan partisipan yang akan diwawancarai. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan dan literatur perlu dikelompok-kelompokan secara teratur, karena tidak semua data dapat dianalisis sama, diperlukan pemahaman data, penyajian data dan membuat interpretasi makna yang lebih luas tentang data tersebut (hasil pertanyaan umum hingga spesifik dari para informan dan partisipan). Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan mencatat hal-hal yang penting sepanjang penelitian (Creswell, 2007). Artinya ketika wawancara berlangsung, peneliti bisa sambil lalu melakukan analisis terhadap data-data yang baru saja diperoleh dan memasukannya ke dalam laporan. Proses analisis data dalam penelitian grounded theory adalah sistematis dan mengikuti beberapa format standar (Corbin, 1998) yang terdiri dari tiga jenis pengkodean utama : 1.
Pengkodean Terbuka (open coding), peneliti membentuk kategori awal informasi tentang fenomena yang sedang dipelajari oleh segmentasi informasi.
2.
Pengkodean Berporos (axial coding), Pengkodean berporos (axial coding), proses pengolahan data yang mengkaitkan antara kategori dan sub kategorinya. Fokus utama dalam pengkodean ini adalah spesifikasi fenomena berdasarkan kondisi kejadian tersebut. Meskipun bersifat prosedural kedua pengkodean tersebut sebaiknya dilakukan secara simultan.
3.
Pengkodean Berpilih (selective coding), peneliti mengidentifikasi "alur cerita" dan menulis sebuah cerita yang mengintegrasikan kategori dalam model pengkodean aksial. Dalam fase ini, preposisi kondisional (atau hipotesis) yang biasanya disajikan.
Terakhir para peneliti dapat mengembangkan dan menggambarkan suatu conditional matrix yang memaparkan kondisi sosial, sejarah, dan ekonomi yang mempengaruhi fenomena inti. Ini fase analisis yang biasanya tidak sering ditemukan dalam studi grounded theory. Hasil dan Pembahasan Kota Demak pada awal perkembangan di bawah kepemimpinan Raja Sultan Fattah memperlihatkan tingkat kemajuan pada bidang agraris terutama dari hasil pertanian padi dan pada masa pemerintahan kerajaan Demak terdapat wilayah pelabuhan di Jepara turut membentuk perdagangan maritim dan juga sebagai pangkalan militernya. Arus sirkulasi perdagangan ini juga merambah ke daerah pedalaman sehingga pertumbuhan kota Demak secara kultural membentuk tatanan budaya masyarakat baru di bawah kepemimpinan Islam, diantara wilayah lainnya yang masih terikat dengan kebudayaan Hindu. Pertumbuhan ekonomi membawa dampak terhadap perubahan tatanan masyarakat pedagang, terlebih lagi munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki habitat tertentu sebagai simbol keragaman dan kemajemukan. 58 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Marwoto
Kekuatan kerajaan Demak membawa berkah tersendiri dan menjadi daya tarik yang luar biasa, salah satunya akibat hubungan yang kuat antara para Dewan Wali dan pemerintahannya. Proses penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali memberi perhatian penuh pada kota Demak. Ajaran Islam dan budayanya sebagai landasan dalam pemerintahan di Demak menjadi pembeda dengan prinsip kekuasan yang dilakukan oleh Raja-raja di Majapahit. Tempat suci kerajaan Majapahit biasanya terdapat di keraton karena dianggap raja sebagai simbol utusan para dewa yang menjadi pemimpin di permukaan bumi, sedangkan munculnya kerajaan Demak membawa konsep perubahan tempat suci bukan di keraton melainkan di Masjid. Pada masa Majapahit nilai-nilai kesucian dan kemurnian diturunkan dari para Dewa kepada para Raja sebagai landasan pembentukan kekuasan, namun sejalan dengan pergerakan pembentukan jaringan perdangan di kota Demak terjadi pergeseran nilai-nilai kesucian yang dimiliki penguasa (Setiadi, 2015). Selain nilai-nilai kesucian penguasa Demak diberi kemampuan untuk menghasilkan keuntungan. Sehingga muncullah bandar-bandar perdangangan yang terdapat di kawasan pesisir pantai Utara kota Demak. Bentuk simbol kota yang terjadi di Demak terdiri dari peristiwa sejarah kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raja Raden Patah, Pati Unus dan Sultan Trenggana berdasarkan riwayat dan sumber dapat ditelusuri bahwa Kota Demak muncul dan berkembang atas dasar perjuangan ketiga raja tersebut dan menjadi ikon bagi kerajaan Demak sehingga situs peninggalan kerajaan Demak hanya berupa masjid dan makam raja-raja tersebut masih dipelihara dan dihormati. Peninggalan lain bekas kerajaan Demak berupa keraton sudah lenyap dan tidak berbekas. Figur kedigjayaan adanya kerajaan Demak dalam bentuk situs dan peninggalan tidak nampak secara nyata. Keberadaan kerajaan Demak hanya tertulis dalam literatur-literatur yang dalam penelitian (Punto, 2000) rekam jejak peninggalan Keraton dan bentuk kotanya diperkirakan sebatas gambaran ilustrasi. Meskipun dalam sejarah peran kerajaan Demak dalam penyebaran agama Islam sangat penting dan berpengaruh besar untuk melawan hegemoni kerajaan Majapahit yang telah menjadi tradisi dan budaya masyarakat setempat. Simbol kerajaan Kota Demak dalam kondisi demikian sulit dikemukakan secara fisik, apalagi ditampilkan untuk diangkat sebagai bagian dalam elemen kotanya. Tidak seperti halnya kota Yogyakarta dan Surakarta yang memberikan aspek visual simbol kerajaan yang masih utuh untuk menampilkan aspek simbol kota kerajaan. Munculnya kekuatan kerajaan Demak dan dari hasil peninggalan yang masih tersisa maupun belum diketemukan setidaknya melibatkan tiga komponen sekaligus, yaitu : istana, masjid dan pelabuhan (Setiadi, 2015). Istana merupakan simbol kekuasaan dari seorang pemimpin (raja), dengan kekuasan dapat mempertahankan komunitas dan memperluas wilayah teritorialnya. Masjid merupakan simbol agama Islam sebagai tempat peribadatan dan menandakan adanya nilai-nilai spiritual terhadap Sang Pencipta, sedangkan Pelabuhan sebagai simbol aktivitas perdagangan dan juga sebagai basis pangkalan militer kerajaan Demak. Pelabuhan sebagai identitas kota niaga menjadi unsur utama karena pada awalnya fungsi pelabuhan sebagai tempat persinggahan dan bongkar muat barang dagangan dan memunculkan bandar-bandar perekonomian yang membawa pengaruh terhadap populasi dan pertumbuhan kota Demak. Ketiga komponen utama tersebut mengembangkan kekuatan pembentukan komponen pelengkap kota yang berpusat dari kawasan pesisir dan menjadi simbol atas kedigjayaan kerajaan Demak. Apresiasi nilai-nilai kesucian masih dipertahankan pada konsep simbol dalam bangunan Masjid Agung Demak yaitu sebagai tingkatan tertinggi perjalanan spiritual manusia menuju insan kamil, atau manusia yang sempurna. Bentuk atap Masjid yang bersusun tiga merupakan penjabaran dari tahapan pencapaian kehidupan manusia dari yang tersusun dari bawah dan menuju pada satu titik menuju puncak yang di sebut sebagai mastaka. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 59
Simbolisme Masjid Agung Demak
Interpretasi bentuk atap bersusun tiga dimaknai dengan pengertian yang sama meskipun beberapa pendapat menyebutkan dalam bentuk ucapan yang berbeda. Pada tataran yang sering didengar dalam pengertian konotatifnya memberi arti pada Iman, Islam dan Ikhsan. Berdasarkan ungkapan dari Bapak Abdul Fatah Mantan Ketua Takmir Masjid Agung Demak mengatakan : “...Susunan tajug atap masjid berjumlah tiga susun yang menurut pendapat saya unsur atap paling bawah disebut sebagai bagian dari IMAN atau berati juga merupakan bagian dari Aqidah yang bermuara pada rukun iman (Allah, malaikat, Rasul, kitab, Kiamat, Taqdir). Pada bagian susunan atap kedua disebut sebagai ISLAM atau merupakan sebuah Syariat, di mana bagian ini merupakan pengejawantahan dari rukun islam (Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan naik Haji) ajaran Islam terdiri dari ibadah ritual secara vertikal terhadap Allah dan hubungan horizontal terhadap manusia. Sedangkan peringkat paling atas adalah unsur IKHSAN yang merupakan predikat dari umat muslim yang memiliki ciriciri sebagai manusia yang memiliki akhlak yang sesuai disunnahkan menurut sifat-sifat nabi Muhammad SAW. Pada ujung atap terdapat mastaka berupa mahkota yang melambangkan tulisan Allah SWT yang menjadi tujuan sembahan umat muslim...” Ketiga unsur tersebut merupakan dasar pegangan bagi umat Islam untuk mencapai kesempurnaan. Nilai kesempurnaan tertinggi berupa kepala mahkota atau disebut sebagai mastaka. Bentuk mahkota memberi simbol kepada kekuasaan tertinggi yang disimpulkan kembali kepada Yang Maha Kuasa. Bentuk susunan tiga menyerupai bentuk gunung dimana konsep gunung diambil dari interpretasi “tempat tinggal” para Dewa sebelum Islam. Kepercayaan budaya Hindu Jawa masih merasuk dalam tatanan kehidupan masyarakat higga anggapan bentuk segitiga diwujudkan ke dalam tatanan syariat Islam yang menunjukan orientasi ke arah vertikal. Nilai spiritual menjadi anggapan yang terjadi pada ujung atap tajug seperti yang diuraikan oleh Alm. Bpk Bambang Supriadi yang mengatakan bahwa: “...Bentuk tajug bagi arsitektur Jawa yang berujung titik mengungkapkan sebuah
spiritualitas yang mengubungkan sang pencipta. Titik dianggap awal dan akhir bahkan tidak berujung atau tak terhingga, saat menulis dimulai dengan titik sebelum menjadi sebuah kalimat, peran titik bagi filosofi jawa adalah ungkapan keilahian sehingga masjid dan makam menggunakan atap tajug...” Simbol kekuatan di dalam masjid Agung Demak secara fenomena menunjukan hubungan secara vertikal merupakan komunikasi secara spiritual antara individu dengan Allah SWT, biasanya manusia memohon dan bermunadjat berupa hubungan langsung yang dilakukan dalam bentuk ibadah yang dilakukan di dalam masjid dan juga di sekitar area permakaman. Lambang masjid Demak mengacu pada asthabrata 1 (delapan arah mata angin) dan kini dianggap juga sebagai delapan asas kepemimpinan dalam kerajaan Islam di Demak Beberapa bagian bangunan yang ada di masjid dan keratin merupakan bagian peninggalan kerajaan Majapahit. Warna hjau mengandung arti sebagai kesuburan alam kehidupan di atas bumi, warna kuning merupakan masa kejayaan, motivasi dan semangat. Putih kesucian perilaku. Simbol raja membuat rakyat memberi hormat sebagai sentral , sedangkan pada masa Raden Fatah mulai berubah pada masjid Demak. Di pintu masuk Demak terdapat Pintu Geledek yang dubuat oleh Ki Ageng Selo yang berusia dengan Sultan Trenggono. Pintu dibuat sebagai penanda pembangunan Masjid Agung Demak atau sebagai monumen, maknanya bahwa manusia sebelum masuk masjid harus melepaskan hawa nafsu, cerminan hawa nafsu yang bila diumbar sebagai halilintar yang mengebu-gebu. Masuk ke dalam masjid terdapat soko guru berjumlah empat yang menopang bangunan, sebagai simbolisasi dari dua orang tua yaitu mertua dan orang tua sendiri dalam adat Jawa artinya kita harus menghormati 60 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Marwoto
keempat orang yang telah mendampingi dan membesarkan kita. Ditengah tiang tersebut pada bagian langit-langit terdapat buah nanas sebagai simbol keturunan dan terdapat tumpang sari yang artinya sebuah proses kehidupan berumah tangga, di depan mihrab ada Bulus (kura-kura) yang merupakan simbol dewa Wisnu dari Hindu Budha, terdapat 3 alasan menggunakan simbol Bulus : a. Simbol dewa tersebut disempatkan di masjid agar masyarakat sekitarnya yang masih menganut Hindu melalui pendekatan spiritual para wali adalah dengan menarik mereka masuk ke agama Islam, b. Selain melambangkan dewa Wisnu (Hindu) juga sebagai penanggalan tahun berdiri penyempurnaan masjid c. dan juga sebagai simbol setelah melewati pintu gledek harus berperilaku yang baik atau halus (lembahmana). Kesimpulan Unsur-unsur simbolisme pada Masjid Demak telah dihadirkan sejak dalam pembangunan yang telah dirintis oleh para Wali. Terdapat pesan-pesan spiritual yang menjadi bagian ajaran pengembangan agama Islam di pulau Jawa baik secara mikro maupun dalam skala kawasan kota. Secara makro masjid Agung Demak menjadi monumen spiritual yang bersifat central atau dalam skala kota merupakan bagian dari pusat kegiatan kota (cosmic city). Bentuk atap tajug memberikan makna tingkatan spiritual seseorang untuk mencapai tingkatan yang tertinggi menuju satu titik yang tak terhingga menuju garis maya tegak lurus ke atas langit. Untuk mendapatkan nilai-nilai spiritual manusia diarahkan agar beribadah ke masjid. Bagian-bagian di dalam masjid memberikan isyarat yang kuat untuk menanggalkan segala nafsu duniawi menuju kebersihan hati. Hubungan antara manusia dan ilahi dihadirkan dalam elemen-elemen dekorasi di dalam masjid Agung Demak. keragaman elemen estetis yang ditampilkan dalam daun pintu, soko tatal, lambang mataangin, bulus merupakan pesan-pesan dalam ajaran agama Islam. pada zaman peralihan Hindu Islam masih dibutuhkan komponen dan simbol secara teraga. Kaidah dalam ajaran Islam mengantarkan manusia kembali menuju fitrahnya. Fenomena hubungan antara manusia secara vertikal lebih banyak membentuk pengalman ruang yang bersifat transendental. Daftar Pustaka Creswell, J.W. (2012). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approches. California: Sage Publications, Inc. Graaf, De H.J. & Th.G.Th. Pigeaud (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram . Pustaka Grafiti , Jakarta. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Jenck, C. (1985). Toward A Symbolic Architecture. Rizzoly, New York. Nas. & Peter J.M. (1993). Urban Symbolism. Leiden, Netherlands : E.J. Brill. Kuban, D. (1979): Symbolism in Its Regional and Contemporary Context, Architecture as Symbol and Self Identity, Proceeding of Seminar Four in the series, Aga Khan Award. Strauss, B.G. Glaser. & Anselm. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research: Aldine Publishing Company. New York. Punto H. & Eko. (2000). Visualisasi Struktur Kraton Kerajaan Demak dan Pengembangannya untuk sebuah Taman Wisata, Laporan Terpadu Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Catatan Kaki : 1
Falsafah pemimpin orang Jawa disebut sebagai Asthabrata (falsafah Jawa yang diajarkan sejak budaya Hindu dan Budha). a. Bercermin kepada matahari, lambang kesetiaan memancarkan sinarnya ke bumi, seorang pemimpin diharapkan kehadiran pada rakyat supaya memberikan energi kepada bawahannya. b. Bercermin kepada Bulan atau rembulan atau candra yang menggantikan siang pada malam hari dengan memberikan cahaya dengan menuntun manusia di dalam kegelapan, pemimpin memberikan penuntun ketika mengalami kesesatan. c. Kartika atau lintang penghibur dan pelipur lara kepada rakyat yang kesusahan. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 61
Simbolisme Masjid Agung Demak d. e. f. g. h.
Angin, bersifat merasuk ke dalam, artinya pemimpin harus mempunyai mata seribu dan telinga seribu artinya peka. Bantolo, tanah atau bumi seperti tanah yang siap di pacul. Pemimpin mau dikritik Api atau ratu, pemimpin yang adil tidak memilih bulu. Air, tirta bersifat merata, hadir di mana saja sesuai dengan porsinya atau kebutuhannya Dehoro atau mendung, diartikan ditakuti tapi diharapkan kehadirannya atau disegani.
62 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017