ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
KONTROVERSI FIQH KIBLAT; STUDI KOMPARATIF ATAS FIQH-MITOLOGIS DAN FIQH-FALAK DI MASJID AGUNG DEMAK Ahmad Munif UIN Walisongo Semarang Email:
[email protected] Abstract
Keywords qibla, the Great Mosque of Demak, falak, myth.
This article intends to explain the controversy of the direction of qibla that occurred in the Great Mosque of Demak. Through this library research it is found that there are two groups concerning about this qibla. This difference of opinion is based on the difference of thought; one emphasizes the science-astronomy, and the other consider sociomythological more. Although all of them state both fiqhiyyah and astronomy arguments, but because they use different accentuation then there is different results. The first group wants qibla direction of the mosque changed based on scientific and academic calculations. The second group determines that the qibla of the mosque remains as before on the basis that the existing qibla direction was also scientifically calculated hundreds of years ago. In addition, the person who did it also has the esoteric-metaphysical dimension. Finally, based on this consideration, the qibla direction remains same like before. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan kontroversi arah kiblat yang terjadi di Masjid Agung Demak. Melalui penelitian pustaka ini ditemukan bahwa terdapat dua kelompok yang mempersoalkan hal tersebut. Kontroversi ini disebabkan oleh perbedaan metodologi; satu pihak menekankan sains-astronomi, dan pihak lainnya lebih mengedepankan pertimbangan sosio-mitologis. Meskipun kedua kelompok sama-sama mengajukan argumentasi fiqhiyah dan astronomi, akan tetapi karena menitikberatkan aksentuasi yang berbeda maka hasilnya pun berbeda. Kelompok pertama menginginkan agar arah kiblat masjid dirubah berdasarkan perhitungan sains dan akademik. Sedangkan kelompok kedua menekankan agar arah kiblat masjid tetap seperti semula dengan dasar bahwa arah kiblat yang telah ada juga sudah diperhitungkan secara ilmiah ratusan tahun yang lalu. Selain itu, yang melakukannya juga orang yang memiliki dimensi esoterik-metafisik. Atas dasar pertimbangan ini maka pendapat kedualah yang diambil sehingga arah kiblat masjid tetap seperti semula.
41
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 42 Pendahuluan Menghadap ke arah kiblat menjadi syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan salat, baik salat fardu atau salatsalat sunat yang lain. Hal ini sudah ditentukan sejak zaman Rasulullah SAW. (Hamka, 1984: 3). Pada mulanya, umat islam tidak kesulitan untuk menentukan arah kiblat, karena masih ada nabi. Namun seiring perkembangan islam dan wafatnya nabi saw, umat islam membutuhkan metode tersendiri untuk menentukan arah kiblat. Para sahabat mulai memanfaatkan kedudukan bintangbintang dan Matahari sebagai petunjuk arah yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat. Di Tanah Arab, bintang utama yang dijadikan rujukan dalam penentuan arah kiblat adalah bintang Qutbi/Polaris (Bintang Utara), yaitu satusatunya bintang yang menunjuk tepat ke arah Utara Bumi (Izzuddin, 2011: 125). Dan metode untuk menentukan arah kiblat terus berkembang. Banyak tokoh astronomi lahir dalam sejarah peradaban islam. Hingga saat ini muncul bermacam peralatan yang bisa membantu menentukan arah kiblat secara akurat. Upaya 'meluruskan' arah kiblat di Indonesia dengan memakai Ilmu Falak kali pertama dilakukan oleh Muhammad Arsyad al-Banjari dan belakangan pada awal dekade tahun 1900-an oleh Ahmad Dahlan. Pada tahun 1773 M ketika Muhammad Arsyad alBanjari kembali dari Nusantara, sebelum ke Kalimantan, ia singgah di Batavia selama dua bulan. Ia membetulkan arah kiblat masjidmasjid di Jembatan Lima dan Pekojan, Batavia (Azra, 2004: 318). Sedangkan Ahmad Dahlan yang mempelopori perubahan arah kiblat di Yogyakarta, menimbulkan reaksi yang keras untuk menentangnya, sehingga harus meratakan suraunya dengan tanah. Meskipun beliau sudah berusaha dan memperjuangkan pendapatnya secara hati-hati dan bijaksana (Asrofie, 2005: 54-59). Penetapan arah kiblat Masjid Agung Demak mengalami nasib yang hampir sama dengan upaya Ahmad Dahlan di atas. Menjadi
lebih menarik, karena awalnya (tahun 2010), Takmir Masjid Agung Demak menerima dan sepakat untuk mengecek dan mengubah saf arah kiblat Masjid Agung Demak. Namun pada awal tahun 2012, setelah mendapat masukan dari kyai sepuh dan ulama, organisasi masyarakat, dan dengan berbagai pertimbangan arah kiblat Masjid Agung Demak dikembalikan seperti semula (www.nu.or.id, diakses pada 07/01/2012). Pada Kamis dan Jumat (15 dan 16 Juli 2010), tepat sewaktu yaum rashd al-qiblah (hari saat matahari di atas Ka'bah sehingga bayangannya menunjuk ke arah kiblat), Tim Hisab Rukyah Jateng, di antaranya Ahmad Izzuddin dan Slamet Hambali, bersama Badan Hisab Rukyah Demak mengukur kembali arah kiblat Masjid Agung Demak. Pengukuran ulang itu disaksikan para kiai takmir masjid, termasuk ketua umum takmir Muhammad Asyiq, yang juga Wakil Bupati Demak waktu itu. Dengan berbagai metode yakni penentuan utara sejati dengan bayangan matahari, menggunakan tiga teodolite dan GPS, serta metode rashd al-qiblah yakni pukul 16. 27 WIB pada hari itu, dihasilkan data yang sama. Artinya posisi Masjid Agung Demak dengan data lintang 60 53' 40.3'' LS, bujur 1100 38' 15.3'' BT, azimuth kiblatnya adalah 2940 25' 39.4'' atau 240 25' 39.4'' dari arah Barat ke Utara. Dengan data arah tersebut, diketahui keberadaan saf kiblat Masjid Agung Demak kurang 120 1' ke arah Utara. Setelah dilakukan pengecekan, tim tidak langsung mengubah saf kiblat Masjid Agung Demak. Baru selang seminggu kemudian disosialisasikan kepada para kiai dan ulama se-kabupaten itu, pada Jumat, 23 Juli pukul 14.00, dengan mengundang 150 kiai dan juga dihadiri Bupati Tafta Zani. Namun pada awal Januari 2012 Takmir Masjid A gung Demak , berdasark an kesepakatan Tim Sembilan, menyatakan sepakat mengembalikan posisi saf arah kiblat Masjid Agung Demak seperti semula sebagaimana dulu saat dibuat Walisongo. Kesepakatan itu tertuang dalam surat resmi dari Tim Perumus Nomor 02/B/TMAD12/I/2012 tentang arah kiblat Masjid Agung
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
43 | Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat Demak, tertanggal 1 Januari 2012 (Radar Semarang, 7/1/2012). Dari latar belakang di atas, ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini, yaitu pertama, Bagaimana argumen kelompok yang pro (sepakat) terhadap perubahan penetapan arah kiblat Masjid Agung Demak? Kedua, Bagaimana argumen kelompok yang berpegang pada status quo terkait penetapan arah kiblat Masjid Agung Demak? Dan ketiga, Mengapa Takmir Masjid Agung Demak lebih mengedepankan kebenaran fiqh-mitologis daripada menerima kebenaran fiqh-Ilmu Falak yang lebih pasti? Fiqh Menghadap Arah Kiblat, Epistemologi Islam al-Jabiry, Dan Mitologi 1. Fiqh menghadap arah kiblat Secara etimologi, kata kiblat berasal dari bahasa Arab ÉáÜÈÞáÇ, yang merupakan salah satu bentuk ma?dar dari kata kerja áÈÞ ÉáÈÞáÈÞ?yang artinya menghadap, dapat juga berarti pusat pandangan (Munawir, 1997: 1087-1088). Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat sebagai arah menuju Ka'bah (Mekah) lewat jalur terdekat yang mana setiap Muslim dalam mengerjakan salat harus menghadap ke arah tersebut pada saat salat, dimana pun dia berada di belahan Bumi ini (Hambali, 2011: 167). Dan menurut Muhyiddin Khazin yang dimaksud kiblat adalah arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ke Ka'bah (Mekah) dengan tempat kota yang bersangkutan. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, kiblat merupakan arah menuju Ka'bah melalui jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang diwajibkan kepada umat Islam dalam mengerjakan salat. Sehingga bisa dipahami, bila suatu tempat diperbandingkan ant ara menghadap Timur atau Barat, Selatan atau Utara, maka yang dipilih adalah yang jaraknya terdekat dengan Ka'bah (Khazin, 2004: 50.). Pembahasan mengenai arah kiblat sudah ada sejak zaman dahulu. Berbagai karya para ulama yang membahas arah kiblat, memasukkan pembahasan tersebut
dalam bab syarat sahnya salat. Mereka telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya salat (Ibnu Rusyd, t.th: 111; Al-Syarbini, t.th, I: 331). Baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, maupun Hambali bersepakat tentang kiblat bagi orang yang dapat melihat Ka'bah secara langsung yaitu 'ain al-Ka'bah (bangunan Ka'bah). Al-Jaziry menyebutkan bahwa barang siapa yang bermukim di Mekah atau dekat dengan Ka'bah, maka salatnya tidak sah kecuali ia menghadap 'ain al-Ka'bah dengan yakin selagi itu memungkinkan (AlJaziry, t.th: 202). Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat Ka'bah, wajib baginya menghadap langsung ke Ka'bah” (Al-Maqdisi, t.th, II: 272). Adapun Ibnu 'Aqil mengatakan bahwa jika melenceng sebagian dari Ka'bah, maka salatnya tidak sah (Al-Qurthuby, II, t.th: 108). Namun ulama berbeda pendapat terkait arah kiblat bagi orang yang jauh dari Ka'bah atau tidak dapat melihat Ka'bah langsung. Menurut Imam Hanafi, bagi orang yang jauh dari Ka'bah maka cukup menghadap jihat al-Ka'bah saja. Apabila seseorang sudah menghadap salah satu sisi Ka'bah dengan yakin, maka ia sudah termasuk menghadap Ka'bah. Demikian pula yang disebutkan oleh Imam Muhammad bin Abdullah al-Timirtasyi (w. 1004 H) dalam kitabnya Tanwir al-Abshar. Ia menyebutkan bahwa “Bagi penduduk Mekah, kiblatnya adalah bangunan Ka'bah ('ain alKa'bah). Sedangkan bagi penduduk di luar Mekah, kiblatnya adalah arah Ka'bah (jihat alKa'bah)” (Al-Timirtasyi, t.th: 108-109). Imam Maliki berpendapat bahwa bagi orang yang jauh dari Ka'bah dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, maka ia cukup menghadap ke arah Ka'bah secara dhan (perkiraan). Namun bagi orang yang jauh dari Ka'bah dan ia mampu mengetahui arah kiblat secara pasti dan yakin, maka ia harus menghadap ke arahnya (Imam Malik, t.th, I: 222). Demikian pula pendapat mayoritas ulama Madzab Maliki menyatakan bahwa
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 44 bagi orang yang tidak dapat melihat Ka'bah, maka dalam shalatnya ia wajib menghadap ke arah Ka'bah (jihat al-Ka'bah). Hal ini dilihat dari beberapa pendapat mayoritas ulama Madzab Maliki, seperti Ibnu Arabi, Imam al-Qurthubi, dan Ibnu Rusyd. Sementara itu, ulama-ulama Madzab Hanbali ber pendapat bahwa yang diwajibkan adalah menghadap arah Ka'bah (jihat al- Ka'bah) bukan menghadap ke bangunan Ka'bah ('ain al-Ka'bah). Hanya orang yang mampu melihat Ka'bah secara langsung saja yang diwajibkan untuk menghadap bangunan Ka'bah. Menurut pendapat Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, keadaan orang yang menghadap kiblat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Orang yang sangat yakin, yaitu orang yang dapat melihat langsung bangunan Ka'bah atau orang yang termasuk penduduk Mekah, maka ia wajib menghadap ke bangunan Ka'bah tersebut dengan yakin, (2) Orang yang tidak mengetahui Ka'bah, akan tetapi ia memiliki beberapa tanda untuk mengetahui arah kiblat. Maka ia wajib berijtihad untuk mengetahui arah kiblat, (3) Orang yang tidak dapat mengetahui Ka'bah karena buta dan tidak memiliki tanda-tanda untuk mengetahui arah Ka'bah, maka ia wajib bertaklid (AlMaqdisi, t.th: 100-102). Ada dua pendapat dalam Madzab Syafi'i yang terkait dengan kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang tidak dapat melihat Ka'bah. Pertama, wajib menghadap ke bangunan Ka'bah ('ain alKa'bah), dan kedua, wajib menghadap ke arah Ka'bah (jihat al-Ka'bah). Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm mengatakan bahwa “yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat ke bangunan Ka'bah ('ain al-Ka'bah). Menurut Imam Syafi'i, orang yang diwajibkan untuk menghadap kiblat, ia wajib menghadap ke bangunan Ka'bah, seperti halnya orang Mekah” (Al-Syafi'i, t.th, 6: 201). Sedangkan Imam al-Muzanniy (murid Imam al-Syafi'i), berkata bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah Ka'bah (jihat al- Ka'bah). Dia mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari
Mekah, cukup baginya menghadap ke arah Ka'bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuat tentang arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis). Menurut al-Muzanniy, seandainya yang diwajibkan adalah menghadap kepada bangunan Ka'bah secara fisik, maka salat jama'ah yang safnya memanjang itu tidak sah, sebab di antara mereka terdapat orang yang menghadap ke arah di luar dari bangunan Ka'bah (Al-Syirazi, t.th, III: 202). Imam Nawawi memberikan penjelasan mengenai dalil kedua pendapat yang berbeda tersebut. Menurutnya, para ulama yang mengatakan bahwa kiblat bagi orang yang tidak dapat melihat Ka'bah adalah bangunan Ka'bah ('ain al-Ka'bah) mendasarkan pada hadis Ibnu Abbas ra, yaitu: “Sesungguhnya Rasulullah saw setelah memasuki Ka'bah, Nabi keluar lalu melakukan salat dengan menghadapnya. Kemudian Nabi bersabda: “Inilah kiblat.” (Muslim, t.th, II: 968; Al-Nasa'i, t.th, V: 174). Sementara mereka yang berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap arah Ka'bah (jihat al-Ka'bah) beragumentasi dengan hadis Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW bersabda : “Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat”. (HR. al-Tirmidzi, dan menurut Malik hadis ini hasan sahih) (AlTirmidzi, II, hlm. 323, Imam Malik, t.th, I: 197). Hadis ini diriwayatkan secara sahih dari Umar bin al-Khattab ra. dengan status mauquf (disandarkan kepadanya). Setelah Imam an-Nawawi melakukan tarjih (menilai yang lebih kuat) salah satu dari dua pendapat di atas, ia memilih pendapat yang pertama bahwa yang diwajibk an adalah menghadap ke bangunan Ka'bah ('ain al-Ka'bah) (alNawawi, t.th, II: 303). 2. Epistemology Islam al-jabiry Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat. Ada beragam pendapat mengenai pengertian epistemologi. Menurut P. Hartono Hadi, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope penget ahuan,
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
45 | Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki (Knneth, 1994: 5). Hampir senada, D.W. Hamlyn mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan (Edwards, 1972, III: 8-9). Menurut S.I. Poeradisastra, yang dikutip oleh Miska M. Amin, menyatakan bahwa epistemologi dalam Islam berjalan dari tingkat ke tingkat. Pertama, perenungan (contemplation). Kedua, p e n g i n d e r a a n ( s e n s a t i o n ) . Ket i g a , pencerapan (perseption). Keempat, penyajian (representation). Kelima, konsep (concept). Keenam, pertimbangan (judgment). Ketujuh, penalaran (reasoning). Epistemologi tersebut tidak berpusat pada manusia (anthropocentris) yang menganggap manusia sebagai makhluk mandiri (autonomous) dan menentukan segalagalanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentris). Sehingga berhasil atau tidaknya bergantung terhadap usaha manusia kepada kehendak Allah (Amin, 1983: 132). Dengan pengertian lain, epistemologi Islam merupakan alat yang fleksibel dalam memperoleh banyak pengetahuan, baik pengetahuan berdasarkan data-data empirik, pendekatan yang diperoleh melalui pendekatan spekualtif terhadap persoalan-persoalan metafisika, pengetahuan melalui intuisi, maupun pengetahuan yang diperoleh dari informasi wahyu (al-Quran dan hadis). Keluwesan epistemologi Islam ini karena Islam mengakui banyak dimensi yang turut mempengaruhi pengetahuan. Epsitemologi Islam menurut al-Jabiry dapat dipetakan ke dalam tiga bagian; epistemologi Bayani, epistemologi 'Irfani, dan epistemologi Burhani. Al-Jabiri mengartikan bayani sebagai nama universal (ism jami') bagi setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-Syafi'i, Bayani merupakan nama
universal bagi makna-makna yang terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang (al-furu'). Menurut al-Jabiri, aktivitas nalar Bayani terjadi dalam tiga hal; (1) aktivitas intelektual yang bertitik tolak dari ashl yang disebut dengan istinbath (penggalian pengetahuan dari teks), (2) aktivitas intelektual (al-tafkir) yang bermuara pada ashl yang disebut dengan qiyas, (3) aktivitas pemikiran dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan metode al-istidlal albayani. Dengan demikian, epistemologi bayani mempunyai ciri spesifik yaitu selalu berpijak pada ashl (pokok) yang berupa nash (teks). Sedangkan epistemology irfani, kata 'irfan sendiri adalah bentuk masdar dari kata 'arafa yang berarti ma'rifah (ilmu pengetahuan) (Al-Jabiri, 2009: 20, 113-115, 251). Kemudian 'irfan lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma'rifah” dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Nalar 'irfani yang dikehendaki oleh al-Jabiri adalah nalar 'irfani dalam pengertian gnostik. Sehingga dari perspektif epistemologis, gnostik merupakan prinsip dasar, konsep, dan prosedur yang membangun dunia berfikir dalam peradaban Arab dengan dua porosnya; pertama, penggalian bahasa dengan menggunakan pasangan epistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan pasangan kata/makna dalam ternd akal retoris, dan kedua, mengabdi dan menggali manfaat dari politik secara bersamaan dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian /kenabian yang sejajar dengan pasangan epistemologis principium /cabang dan pasangan substansial/accidens dalam trend akal retoris. (Shah dan Sulaiman, 2001: 317) Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka 'irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i'iyan (persepsi langsung), dan isyraq (Sutrisno, 2000: 39).
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 46 Epistemologi ini memiliki cara yang khas untuk memperoleh pengetahuan, seperti disebut di atas. Berdasar metode itu, maka ia dikatakan unik karena tidak dapat dirasionalkan selamanya, diverifikasi, atau diperdebatkan. Epistemologi ini sulit dijelaskan, karena seseorang harus mengalami sendiri kalau ingin mengetahui. Epistemologi ini banyak dianut oleh para sufi. Al-Jabiri menggunakan burhani s e b a g a i s e b u t a n t e rh a d a p s i st e m pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran. Metode burhani tersebut dapat diterapkan jika memenuhi beberapa tahap: pertama, tahap pembuatan pengertian yang mencakup jenis, nau', dan fashl. Kedua, tahap pembuatan kalimat. Ketiga, tahap pembuatan silogisme. Silogisme adalah cara berargumen dengan dua premis dan satu kesimpulan. Karena itu, silogisme harus terdiri dari tiga hal, yaitu: (1) dua premis yang saling berhubungan, (2) premis pertama disebut premis mayor dan premis yang kedua disebut premis minor, dan (3) premis penengah yang merupakan kesimpulan (Al-Jabiri, 2009: 392-393). Penetapan Arah Kiblat Masjid Agung Demak 1. Sejarah Masjid Agung Demak Masjid Agung Demak merupakan masjid peninggalan Walisongo yang memiliki nilai monumental dan historis tinggi. Maemun Zubaer, Pengasuh PP alAnwar Sarang Rembang, menyebutkan, Indonesia bisa besar karena keberadaan Masjid Agung Demak. Berita-berita tahun pembangunan Masjid Agung Demak dapat dikaitkan dengan pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Demak t ahun 1462, dan pengangkatannya sebagai Sultan Demak Bintara tahun 1478 M, yaitu pada waktu Majapahit jatuh di tangan Prabu
Girindrawardhana dari Kediri, atau tahun 1512 M (Simon, 2004: 85). Pada tahun berapa pembangunan Masjid Agung Demak dilakukan tidak diketahui secara pasti, padahal untuk kepentingan telaah sejarah hal itu sangat penting artinya. Karena tidak diketahui dengan pasti, maka banyak penulis kisah Walisongo berupaya meraba-raba dengan membuat penafsiran berdasarkan tandatanda tertentu. Ada beberapa pendapat mengenai tahun didirikannya Masjid Agung Demak, yaitu : ? Masjid Agung Demak didirikan pada Kamis Kliwon, malam Jum'at Legi ber tepatan dengan tanggal 1 Dzulhijjah tahun Jawa 1428/ 1501 M, dengan dasar sebuah tulisan dalam bahasa Jawa di atas pintu muka, “Hadegipun masjid yasanipun para wali, naliko tanggal 1 Dzulhijjah tahun 1428”. ? Berdasarkan gambar bulus yang terdapat di mihrab bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun Saka 1401/ 1479 M, atau berdasarkan tulisan “Sariro sunyi kiblating gusti” yang diartikan dengan tahun 1401. ? Berdasarkan atas condrosengkolo yang terdapat pada pintu Bledek “Nogo sariro wani” yang diartikan sebagai tahun Saka 1399/ 1467 M. ? Dalam babad Demak tulisan Atmodarminto, menyatakan Masjid Agung Demak didirikan pada tahun 13 9 9 t a h u n S a k a / 1477 M , didasarkan pada condrosengkolo yang berbunyi “lawang terus gunaning janmi”. Solichin Salam mempunyai pendapat yang berbeda dengan keterangan di atas tentang pembangunan Masjid Agung Demak. Peresmian masjid Agung Demak dilakukan pada hari Kamis Legi malam Jumat Kliwon, bertepatan dengan tanggal 1 Dzulqa'dah tahun Jawa 1428 atau tahun 1506 M. Keterangan ini sangat berbeda dengan pendapat Rahimsyah (1977) yang menyebutkan bahwa masjid Demak dibuat tahun 1462 M (Salam, 1960: 19). Kenyataan menunjukkan bahwa
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
47 | Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat Masjid Agung Demak yang terlihat anggun dan cantik disertai kewibawaan yang dimiliki dengan gaya arsitektisnya bercorak campuran antara corak kuno dan modern menurut tutur rakyat telah mengalami beberapa restorasi, yaitu : ? Berdasar atas prasasti yang ada di depan masjid berbunyi “Asri katon gapuraning kamulyan” tanggal 21 Juli 1928 M. Pada zaman pemerintahan Bupati Demak R. Tumenggung Haryo Sastro Hadiwijaya. ? Berdasar prasasti yang ada di depan “Lawang panoto gono suci/broto ngotopo sidik waskito” tahun 1377 H. ? Berdasar prasasti yang terdapat di depan masjid “Dengan rahmat Tuhan Maha Esa Purna Pamugaran Masjid Agung Demak”. Yang diresmikan dan ditandatangani langsung oleh presiden Republik Indonesia, Soeharto pada tanggal 21 Maret 1987 (Abu Umar, 1996: 35). Perlu diketahui bahwa penyebutan Masjid Agung Demak sendiri ternyata baru masyhur pada awal dekade tahun 1990-an. Yaitu bersamaan dengan masjid-masjid utama yang berada di kota, kotamadya, dan k a b u p a te n m e n g a l a m i p e r u b a h a n penyebutan sebagai Masjid Agung, sesuai peraturan Menteri Agama R.I. No. 1/1988 yang berlaku sejak tahun 1991. 2. Sejarah Penetapan Arah Kiblat Masjid Agung Demak Cerita penetapan arah kiblat Masjid Agung Demak penuh dengan cerita mistis. Cerita itu berkembang di masyarakat dan termaktub dalam Babad Tanah Jawi. Diceritakan, pada suatu waktu para wali bersengketa perihal kiblat masjid dan Ka'bah Baitullah di Mekah. Sunan Bonang lantas berkata: “Nah, para wali semua, diamlah sejenak, jangan hanya bersengketa saja, nanti malam saya akan berdoa kepada Tuhan agar Ka'bah Baitullah tampak dari sini, jadi jelas kiblatnya.” Tetapi para wali tidak meredakan perdebatan. Sunan Kalijaga berkata sambil menyembah, “Jika demikian tentu tak kunjung selesai.”
Kemudian Sunan Kalijaga berdiri dan naik ke puncak masjid, puncak masjid dipegang tangan kiri, sedangkan ujung Ka'bah Baitullah dipegang tangan kanan, sambil berkata, “Nah, kisanak, bagaimana pendapat tuan-tuan tentang ini?” para wali sepakat bahwa arah masjid sudah benar. Sementara Kafid Kasri, menceritakan kepada Harian Suara Merdeka, bahwa menurutnya, penentuan kiblat hampir berbarengan dengan peristiwa penyerangan Kesultanan Demak Bintoro ke Majapahit. Penguasa Demak Sultan Fatah saat itu berperang melawan Raja Girindrawardana dari Kediri, karena menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Namun, upaya Demak dengan mengirim senopati perang Sunan Ngudung ini kurang membuahkan hasil. Sultan akhirnya memutuskan menunda peperangan dan berkonsentrasi membangun masjid yang sedang dipersiapkan para Wali. Cerita kemudian beralih pada ulama tanah Jawa yang berbeda pandangan soal penentuan arah kiblat. Namun, mereka akhirnya sepakat meminta petunjuk Allah dengan salat hajat malam agar masalah tidak berlarut-larut. Muncul kemudian satu petunjuk, yakni dibukakannya mata batin ulama dengan bisa melihat arah Ka'bah di Mekah. Hanya saja, itu belum membuat sikap ulama menyatu. Sampai akhirnya Sunan Kalijaga memberanikan diri memegang Ka'bah dengan tangan kanan serta memegang mustaka Masjid Agung Demak dengan tangan kiri. Ikhtiar ini berhasil mengarahkan Masjid Agung menuju kiblat di Masjid al-Haram. Ulama yang lain mengakui setuju dengan jalan tengah tersebut. Konon demikian para wali menentukan arah kiblat waktu itu (Suara Merdeka, 18/7/2010). Versi lain menyebutkan, bahwa ketika para wali hendak membangun Masjid Agung Demak, para wali terlebih dahulu mengambil arah kiblat dari Masjid Bener, sebuah masjid kuno yang lebih dulu dipergunakan sebagai tempat penyebaran agama Islam, terletak di Desa Tridonorejo km 9, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak. Namun disini tidak ada penjelasan
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 48 lebih lanjut bagaimana asal-usul Masjid Bener tersebut, dan apa alasan dipakainya Masjid Bener itu (Ismawati, 2006: 77). 3. Pengukuran ulang arah kiblat Masjid Agung Demak dan akibatnya Pada tahun 2008, Tim BHRD Demak dengan tim verifikasi arah kiblatnya berkoordinasi dengan ketua Takmir Masjid Agung Demak. Akhirnya disepakati untuk mengukur ulang arah kiblat Masjid Agung Demak dengan metode rashd al-qiblat. Pada waktu itu, pengukuran ulang belum dilakukan secara terbuka. Tim verifikasi arah kiblat BHRD Demak bersama ketua Ta k m i r M a s j i d A g u n g D e m a k melakukannya di belakang Masjid Agung Demak, di komplek pemakaman. Hasil pengukuran dengan metode rashd al-qiblat pada 15 dan 16 juli tahun 2008 itu menunjukkan bahwa arah (saf) kiblat Masjid Agung Demak tidak lurus atau terdapat selisih dengan bayangan rashd al-qiblat. Mengetahui hasil tersebut, ketua takmir Masjid Agung Demak meminta kepada tim verifikasi arah kiblat BHRD Demak untuk merahasiakan atau tidak mengumumkan hasil temuan tersebut kepada publik. BHRD sendiri mematuhi keinginan ketua takmir Masjid Agung Demak. Setelah adanya pertemuan ulama dan kyai pada tahun 2009 beberapa kali, akhirnya pada hari Kamis dan Jum'at tanggal 15 dan 16 Juli 2010 BHRD Demak dan Takmir Masjid Agung Demak mengukur ulang arah Kiblat Masjid Agung Demak secara terbuka. Pada pangukuran kali ini, juga dihadirkan tim verifikasi arah kiblat dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah. Delegasi dari tim verifikasi arah kiblat Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah dipimpin Slamet Hambali dan Ahmad Izzuddin, keduanya merupakan dosen Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang. Sejumlah ulama dan kyai Kabupaten Demak juga hadir dalam pengukuran ini. Mereka diharapkan menjadi saksi mata bahwa Masjid Agung Demak benar-benar diukur ulang. Dari ketiga metode yang dipakai,
yaitu metode rasd al-qiblah, penentuan arah utara sejati dengan bayang-bayang Matahari, dan menggunakan theodolite dan GPS , posisi Masjid Agung Demak dengan data lintang 60 53' 40.3'' LS, bujur 1100 38' 15.3'' BT, arah kiblatnya adalah pada azimuth 2940 25' 39.4'' atau 240 25' 39.4'' dari arah barat ke utara. Dengan data arah tersebut, berarti keberadaan saf kiblat Masjid Agung Demak kurang 120 1' ke arah utara. Hasil pengukuran ulang pada 15 dan 16 Juli 2010 ini sama persis dengan yang dilakukan Muzamil dari BHRD Demak bersama M. Asiq Takmir Masjid Agung Demak pada tahun 2008, yang waktu itu masih dirahasiakan. Seminggu kemudian, diadakan pertemuan ulama dan kyai untuk sosialisasi hasil pengukuran ulang arah kiblat. Dan semua yang hadir menyepakati untuk diubah saf arah kiblat masjid agung demak. Pasca pengubahan saf arah kiblat Masjid Agung Demak, ternyata tidak semua elemen umat Islam merasa sreg. Sebagaimana dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, meskipun dalam sosialiasi mengatakan semua sepakat, namun ternyata tidak demikian adanya. Ada yang awalnya menyatakan sepakat, namun belakangan setelah melihat ta'bir-ta'bir dari kitab salaf mengambil sikap yang berbeda. Ternyata Berita tentang pengukuran ulang dan pengubahan saf arah kiblat Masjid Agung Demak pun menyebar ke berbagai daerah. Termasuk hingga ke Sarang, Kabupaten Rembang, tempat kediaman Maemun Zubaer. Dan memang pada waktu itu, persoalan arah kiblat ramai diperbincangkan di masyarakat, tidak hanya khusus Masjid Agung Demak, namun juga terkait keberadaan ratusan ribu masjid lainnya di Indonesia ini. Mengetahui hal tersebut, Maemun Zubaer bersama santrinya dan dari pondok-pondok sekitar kediamannya mengadakan bahts almasâil terkait status hukum pengubahan saf arah kiblat (mihrab) masjid yang dibangun oleh Walisongo. Hasil bahts al-masâil di Sarang mengatakan bahwa tidak diperbolehkan mengubah saf (mihrab) yang telah ada atau yang telah ditetapkan.
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
49 | Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat Alasannya status mihrab menduduki kedudukan mukhbir 'an 'ilmin (orang yang memberi kabar melihat ka'bah secara langsung) dan bisa menimbulkan fitnah (perpecahan) antar masyarakat jika mihrab diubah (ppalanwar.com, 13/12/2011). Takmir Masjid Agung Demak bersama dengan Kementerian Agama Kabupaten Demak (BHRD), kembali mengadakan pertemuan kyai dan ulama seKabupaten Demak. Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2011, jam 09.30-13.30 WIB, bertempat di aula Masjid Agung Demak. Pertemuan ini dihadiri lebih dari 150 (seratus lima puluh) kyai dan ulama seKabupaten Demak, juga hadir pada waktu itu Tafta Zani (bupati Kabupaten Demak) santri-santri alumni PP al-Anwar Sarang, Tim Verifikasi Arah Kiblat dari BHRD Kabupaten Demak dan BHR Provinsi Jawa Tengah, juga mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Kyai dan ulama menempati ruangan utama di aula, sedangkan santri dan mahasiswa berada di luar aula. Pembicara pada acara pertemuan ulama dan kyai se-Kabupaten Demak dalam rangka Arah Kiblat Masjid Agung Demak adalah Maemun Zubaer, Arwani Faishol (dari PBNU), dan Ahmad Izzuddin (dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang), dengan moderator Agus Yusrun Nafi' (dari Kementerian Agama Kabupaten Kudus). Musyawarah pada tanggal 13 Desember 2011 itu belum mendapatkan kata sepakat dalam menyikapi arah kiblat M a s j i d A g u n g D e m a k . A k h i r ny a dikembalikan kepada takmir Masjid Agung Demak agar membentuk tim khusus yang membahas arah kiblat Masjid Agung Demak. Tim khusus ini yang kemudian disebut dengan Tim Sembilan yang terdiri atas; Muhammad Asiq, Moh. Dachirin Sa'id, Masruchin Ahmad, A. Arif Kholil, Saerozi, Nur Rosyid, Abdul Fattah, Muzammil, dan Abdul Rosyid. Tim Sembilan akhirnya memutuskan untuk mengembalikan saf arah kiblat masjid agung demak seperti semula. Dan Baru pada tanggal 6 Januari 2012, kelompok yang menamakan dirinya
Masyarakat Peduli Ijtihad Walisongo ramairamai menghapus saf yang ada dan meluruskan karpetnya (Radar Semarang, 7/1/2012). Kontroversi Penetapan Arah Kiblat Masjid Agung Demak 1. Argumen kelompok yang menghendaki pengubahan saf arah kiblat Masjid Agung Demak Argumen kelompok ini meliputi argumentasi fiqhiyah dan argumentasi sains ilmu falak. Argumentasi fiqhiyah diantaranya, pertama, usaha untuk menjadikan arah kiblat dengan tepat dari suatu tempat yang tidak dapat melihat Ka'bah adalah wajib melalui tanda-tanda atau alat yang dipercayai akurasiya, meskipun hakikatnya sangat sulit atau bahkan tidak memungkinkan untuk dapat tepat, khususnya dari tempat-tempat yang sangat jauh letaknya dari Ka'bah seperti Indonesia. Arwani Faishol memaknai penegasan Rasulullah SAW., bahwa posisi kiblat adalah antara masyriq (Timur) dan maghrib (Barat) merupakan usaha penetapan arah kiblat untuk menjadi petunjuk dan wajib diikuti. Sebagaimana disebutkan dalam alquran QS. al-An'am [6]: 97. Diterangkan dalam al-Majmu', para sahabat yang berhujjah tentang kewajiban 'ain (al-ka'bah) menggunakan hadist Ibnu Abbas ra., diatas. Sedangkan para sahabat yang berhujjah dengan ketentuan jihah (alka'bah) menggunakan hadis riwayah Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda. ”Semua yang ada di antara Timur dan Barat adalah kiblat” HR. Tirmidzi. Dikatakan ini hadis hasan sahih, menjadi sahih karena mauquf pada sahabat Umar ra. Juga Menurut Arwani Faishal yang mengutip pendapat dalam Kitab al-Majmu', mengenai (hukum) mempelajari petunjuk (arah) kiblat terdapat tiga pendapat. Pertama, fardu kifayah. Kedua fardu ain, sebagaimana dikatakan Baghawi dan Rafi'i, hal itu seperti (hukum) mempelajari wudlu dan lainnya yang merupakan syarat dan rukun salat. Ketiga, yang lebih shahih, yaitu fardu kifayah dengan pengecualian bagi
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 50 orang yang hendak bepergian (safar), maka dijelaskan luasnya kebutuhan musafir dan banyaknya keraguan pada dirinya. Kedua, ketentuan dalam menghadap ain al-ka'bah. Diterangkan dalam al-Majmu', bahwa ketika seseorang salat di di luar Masjid al-Haram di mana dirinya terhalang melihat Ka'bah secara langsung, seperti terhalang gunung atau bangunan, apa yang harus dilakukan? Ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama, tidak boleh berijtihad. Sebab apapun yang menghalangi, yang diwajibkan adalah merujuk atau menuju ain al-ka'bah. Apalagi jika sudah ada mihrab yang mengarah ke ain al-ka'bah, maka selamanya harus salat sesuai dengan arah mihrab tersebut. Sedangkan yang kedua, boleh berijtihad sebagai upaya untuk menuju ain al-ka'bah. Hal ini terkait karena sangat sulit (masyaqqah) berupaya melihat ain al-ka'bah secara langsung, seperti dengan harus naik ke atas gunung. Argumen selanjutnya adalah bahwa mihrab (yang merupakan hasil ijtihad oleh orang alim atau wali) boleh diubah. Memang mihrab menempati posisi penting dalam sebuah masjid. Keberadaannya merupakan penanda kemana arah salat, yang diikuti seluruh jamaah. Seperti dikatakan Arwani Faishol yang mengutip pendapat Imam Nawawi, bahwa pada hakikatnya mihrab yang diyakini dan diikuti jamaah muslimin itu tidak boleh diubah. Dengan ketentuan mihrab tersebut benar-benar i'timâd dan diikuti banyak umat Islam, juga tidak ditemui khatha' (kekeliruan) di kemudian hari. Bila itu tidak terpenuhi maka mihrab itu boleh diubah. Ini kecuali mihrab yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Dalam hal ini semua ulama sepakat tidak boleh mengubahnya meski diketahui terdapat khatha' (Al-Nawawi, t.th (b): 200-201). Persoalan mihrab di atas ternyata juga terkait dengan kedudukan hasil ijtihad yang ada. Maksdunya, mihrab yang ada merupakan bentuk atau hasil ijtihad yang ada sebelumnya. Ketika sekarang arah kiblatnya mau diubah, artinya itu juga mengubah arah mihrab dan secara tidak langsung menjadi ijtihad baru pada obyek
yang sama. Dalam kaidah ijtihad sendiri terdapat perbedaan pandangan antara boleh tidaknya membuat ijtihad baru pada obyek yang sama. Terkait arah kiblat Masjid Agung Demak, Ar wani Fasihol berpendapat bahwa itu boleh diadakan ijtihad. Artinya ijtihad yang terbaru akan mengganti ijtihad yang lama. Dengan ketentuan karena mungkin ijtihad yang lama terdapat dhan yang mengarah kepada kesalahan. Begitu pula orang yang berijtihad dalam hal arah kiblat (atau yang lain), bila dengan ijtihad yang baru ini dapat menghilangkan dalil yang dhan di awal, maka bila ijtihad yang baru ini berbeda hasilnya dengan ijtihad yang lama, maka yang dipakai adalah ijtihad yang baru tersebut. Namun demikian, hasil ijtihad yang lama tetap tidak gugur. Keduanya sama-sama eksis. Argumen yang kedua berdasar hasil sains ilmu falak. Pengukuran ulang arah kiblat Masjid Agung Demak dilakukan dengan tiga metode yang dipandang memiliki presisi cukup akurat. Hal itu menjadi alasan mendasar mengapa saf arah kiblat Masjid Agung Demak perlu diubah. Karena metode ini bisa dikatakan termasuk kategori alat bantu yang dibutuhkan untuk mengetahui lokasi Ka'bah lebih tepat, sebagaimana dianjurkan dalam kaidah fiqhiyah. Bila kita baca dengan kaca mata epistemology islam al-Jabiri, maka argumen kelompok ini memakai epistemology bayani dan burhani. Epistemology bayani melekat pada tendensi atau dalil fiqhiyah (teks) yang dikemukakan. Sedangkan epistemology burhani melekat kepada sains ilmu falak yang notabene merupaka hasil olah pikir manusia dengan postulat-postulat tertentu yang menghasilkan rumus baku. 2. Pendapat kelompok yang menghendaki pengembalian saf arah kiblat Masjid Agung Demak seperti semula Argumentasi paling mendasar pihak yang menginginkan agar saf arah kiblat Masjid Agung Demak dikembalikan adalah bahwa dalam hal istiqbal al-qiblah fi al-shalat
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 52 tidak yakin, atau tingkat dhan. Begitu juga kesalahan ulama yang satu lagi juga tidak yakin. Sehingga dalam meyikapi dua perkara berbeda yang kedudukannya samasama dhan, dalam pandangan Abdul Rasyid, maka dianggap gugur. Artinya gugur, tidak bisa diyakinkan kebenaran yang satu, pun tidak bisa diyakinkan kebenaran ijtihad orang lain. Oleh karena itu, untuk hal yang demikian biarlah kita kembali pada yang sudah ada. Lebih lanjut Abdul Rosyid juga menerangkan, secara ilmiah memang tidak ada hasil ijtihad yang lebih unggul. Apalagi k ait annya dengan mengubah saf, mengubah saf itu secara tidak langsung adalah menyalahkan hasil ijtihad yang membuat saf itu terlebih dulu. Sebenarnya orang ijtihad untuk pribadi sendiri dalam hal membuat saf itu boleh, sepanjang mampu berijtihad di bidang falak. Sebagai contoh, misalkan ketika salat di Masjid Agung Demak menggunakan hasil ijtihad sendiri, yang mana hasil ijtihadnya berbeda dengan shaf yang ada, maka hal tersebut boleh-boleh saja. Tapi ini berlaku untuk dirinya sendiri. Pengembalian saf arah kiblat Masjid Agung Demak juga didasari pertimbangan sosiologis dan mitologis. Maksudnya, ada nilai-nilai yang bersifat sosiologis dan sekaligus nilai tidak tampak (mitos) yang ada di balik penetapan arah kiblat Masjid Agung Demak. Diantara nilai-nilai tersebut adalah bahwa Masjid Agung Demak merupakan masjid bersejarah dan sebagai salah satu bukti fisik kekaramahan wali (Walisongo). Seperti diutarakan Maemun Zubaer, bahwa di Indonesia ini, masjid yang utama adalah Masjid Agung Demak, bukan Masjid Aceh atau yang lain. Dalam keyakinan Maemun Zubaer, Indonesia bisa besar karena keberadaan Kesultanan Demak. Dan salah satu simbol utama Kesultanan Demak adalah Masjid Agung Demak. Sehingga selayaknya pada masa sekarang kita menjaga dan mempertahankan keutuhan bangunan peninggalannya sebagai sebuah monumen. Dimana penetapan untuk memakai saf arah kiblat yang sudah sejak dulu sekaligus
sebagai bentuk penghormatan kepada Walisongo yang sudah menetapkan arah kiblatnya. Seperti diungkapkan juga oleh Alawy Mas'udi, “Para kiai sepuh di Demak dan luar Demak menghendaki arah kiblat Masjid Agung Demak untuk dikembalikan ke semula dikarenakan ta'zhim pada para kiai sepuh terdahulu dan para wali.” Sementara itu ketua PCNU Demak, Musadad Syarif, mengatakan kiblat Masjid Agung Demak menurut NU tidak perlu diubah dengan alasan kiblat selama ini telah di tentukan oleh para Walisongo yang selalu di-husnu al-dhan-i oleh ulama. Dalam kajian mitologi, keberadaan cerita mistik yang sering kali di luar nalar, merupakan bentuk upaya masyarakat yang mempercayai mitos tersebut untuk melegitimasi kehebatan dan keagungan orang yang dianggap memiliki kelebihan dibanding orang pada umumnya. Itu sebabnya, mekipun kelompok yang menghendaki saf arah kiblat Masjid Agung Demak dikembalikan tidak mau menggunakan hasil pengukuran ulang arah kiblat dengan teknologi dan sains ilmu falak, namun mereka berpandangan keberadaan teknologi tetap diperlukan untuk menunjang kemantapan dan keyakinan dalam beribadah. Pada dasarnya, mereka sepakat dan mendukung teknologi dan sains dan Ilmu Falak dipakai dalam upaya menetapkan arah kiblat, namun itu untuk masjid selain Masjid Agung Demak. Khusus untuk masjid agung demak, biarlah seperti apa yang sudah ada. Mereka merasa lebih mantap dan yakin mengikuti hasil penetapan arah kiblat oleh Walisongo. Pertimbangan kemaslahatan umat juga menjadi hal terpenting dalam pengembalian saf arah kiblat Masjid Agung Demak. Takmir Masjid Agung Demak khawatir bila itu tidak dilakukan, akan membawa perpecahan umat, khususnya di daerah Demak. Menurut Muhibbin, meskipun sains dan teknologi mengatakan bagaimana presisi yang pas dalam menghadap kiblat, namun bila terjadi perbedaan di masyarakat dalam penerimaan hasil sains dan
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
53 | Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat teknologi, maka yang dikedepankan adalah jangan sampai hal itu membuat umat terpecah belah. Dengan memperhatikan gambaran landasan di atas, untuk dasar fiqhiyah yang dipakai bisa dimasukkan dalam kategori bayani. Karena dalam epistemologi bayani, meniscayakan semua yang ditampilkan merupakan landasan teks. Sedangkan untuk dasar yang kedua, tidak bisa sepenuhnya dimasukkan dalam kategori irfani ala al-Jabiri. Ini mengingat karena dalam epistemologi irfani harus pribadi itu sendiri yang mengalami. Untuk itu bisa dikatakan yang ada merupakan penganut terhadap orang yang melaksakan metode irfani. Namun bisa saja merambah irfani bila dilihat dari praktek shalat setiap individu di Masjid Agung Demak. Untuk dapat dikatakan khusu' dalam salat, hanya diri pribadi itu sendiri. Dan seperti itulah yang ada pada metode irfani yang dekat kepada praktek tasawuf. Sementara khusu' ini bagian dari praktek tasawuf dalam salat. Penutup Berdasarkan pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan; pertama, Kelompok yang berpendapat agar saf arah kiblat Masjid Agung Demak diubah memiliki dua dasar pokok. Dasar dari sisi fiqhiyah. diantaranya adalah; a. Bagi orang yang tidak bisa melihat Ka'bah langsung atau lokasinya jauh dari Ka'bah, lebih memilih pendapat yang mewajibkan untuk berijtihad dan berupaya menuju ain al-ka'bah dengan bantuan sains atau keilmuan yang ada. b. Mihrab yang sudah ditetapkan oleh wali atau mujtahid boleh diubah bila dikemudian hari ditemukan kesalahan dan kekeliruan arah kiblatnya. Namun juga sepakat untuk mihrab yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad tidak boleh diijtihadi atau diubah meskipun diperkirakan ada kesalahan arah kiblatnya. c. Ijtihad yang dibuat oleh Sunan Kalijaga tidak terhapus oleh ijtihad baru yang dilakukan pada masa sekarang. Keduanya sama-sama eksis, namun lebih
baik memilih ijtihad baru yang disertai pertimbangan alat teknologi yang lebih meyakinkan. Dan juga dasar dari sisi sains ilmu falak, dari ketiga metode yang dipakai dalam pengukuran ulang arah kiblat Masjid Agung Demak diketahui bahwa arah kiblatnya kurang 1201' ke arah Utara. Sehingga saf arah kiblatnya harus disesuaikan. Kedua, kelompok yang menghendaki saf arah kiblat Masjid Agung Demak dikembalikan seperti semula juga memiliki dua dasar utama. Dari sisi fiqhiyah antara lain; a. Bagi orang yang tidak bisa melihat Ka'bah langsung atau jauh dari Ka'bah, lebih memilih pendapat yang menyebutkan arah kiblatnya cukup jihat al-ka'bah. Dimana pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sulit membuktikan dengan bi al-ain bahwa orang yang salat benar-benar tepat menuju ain al-ka'bah. b. Mihrab yang sudah ditetapkan oleh orang alim dan menjadi i'timâd dipakai selama bertahun-tahun oleh orang Islam, maka mihrab itu tidak boleh diubah. Lebih-lebih mihrab yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW., maka tidak boleh diijtihadi lagi. c. Kedudukan hasil ijtihad adalah dhan. Maka bila ada dua hasil ijtihad yang berbeda maka menjadi gugur, dan kita kembali kembali pada ijtihad yang sudah ada. Dan juga dari sisi sosio-mitologis. Masjid Agung Demak merupakan pancer bagi umat Islam di demak pada khususnya. Mereka meyakini bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh Sunan Kalijaga benar adanya. Bila kemudian itu berubah dikhwatirkan akan membuat ukhuwah umat Islam goncang. Sehingga untuk menghindari hal itu, sebaiknya tetap mengikuti arah kiblat yang sudah ditetapkan Sunan Kalijaga dulu. Pemitosan yang mendapat legitimasi fiqhiyah tersebut bukan tanpa alasan. Hal itu dijalankan demi menjaga mitos kewalian Sunan Kalijaga. Arah kiblat Masjid Agung Demak merupakan salah satu bentuk karamah
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150
Ahmad Munif; Kontroversi Fiqh Kiblat | 54 Sunan Kalijaga, sehingga harus dijaga, tidak boleh diubah-ubah. Bila itu dilakukan akan melunturkan mitos kewalian Sunan Kalijaga yang berdampak tradisi yang diwariskan juga akan ditinggalkan. Bila tradisi yang selama ini eksis di masyarakat ditinggalkan, akan membahayakan persatuan umat Islam. Ini sejatinya tujuan utamanya, menjaga keutuhan umat Islam. DAFTAR PUSTAKA Abu Umar, Imron, 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus. Amin, Miska M., 1983, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Press. Asrofie, M.Yusron, 2005, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya, Yo g y a k a r t a : M P K S D I P P Muhammadiyah. Azra, Azyumardi, 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana. Edwards, Paul, The Encyclopedia of Philosopy, 1972, vol. III, New York: Macmillan. Gallagher, Knneth T., 1994, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta, Kanisius. Hambali, Slamet, 2011, Ilmu Falak 1, Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia, Semarang: Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo. Hamka, 1984, Tafsir Al Azhar, Jakarta : Pustaka Panjimas. Ismawati, 2006, Continuity and Change, Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad XIX-XX, Jakarta: Badan Litbang dan Litbang Departemen Agama RI. Izzuddin, Ahmad, 2011, Abu Raihan al-Biruni dan Teori Penentuan Arah Kiblat; Studi Penelusuran Asal Teori Penentuan Arah Kiblat, Semarang: DIPA Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo. Al-Jabiri, Muhammad 'Abid, 2009, Bunyah al'Aql al-'Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah alArabiyah, Beirut: Markaz Dirasah alArabiyah, e-book file.
Al-Jaziry, Abdur Rahman, t.th, Madzhahib alArba'ah. Khazin, Muhyiddin, 2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Buana Pustaka. “Luruskan Karpet, Hapus Barisan Saf”, Radar Semarang, Semarang, 7 Januari 2012. Malik, t.th, al-Muwaththa, juz I. Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, t.th, Fiqh Imam Ahmad, Juz 2, Fiqh Hanbali. Munawir, Ahmad Warson, 1997, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif. Al-Nasa'I, t.th, Sunan al-Nasa'i, juz V. Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf, t.th, al-Majmu' Syarh al-Muhadzab, t.tp. ______________________, t.th, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, juz 2. Al-Qurthuby, Ibnu Rusyd t.th., t.th, Bidayah alMujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz. II, Beirut : Darul Kutub 'Ilmiyyah. Al-Qurthuby, Muhammad bin Ahmad, t.th, Tafsir al-Qurthuby (al-Jami' li ahkam alQur'an), juz 2. Al-Rafi'i, Abdul Karim, t.th, Fath al-Aziz Syarh al-Wajiz, juz 3. Rekaman audio Maemun Zubaer, 13/12/2011. Shah, M. Aunul Abied dan Sulaiman Mappiase, 2001, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri” dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan. Al-Syafi'i, t.th, Kitab Al-Umm, juz 6. Al-Syarbini, al-Khatib, t.th, Mughni al-Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfadh al-Minhaj, juz I. Al-Syirazi, t.th, al-Muhadzdzab, juz III. Al-Timirtasyi, Muhammad bin Abdullah, t.th, Tanwir al-Abshar. Al-Tirmidzi, t.th, Sunan at-Tirmidzi (Abwab alShalah), juz. II. Salam, Solichin, 1960, Sekitar Walisongo, Kudus: Menara Kudus. Simon, Hasanu, 2004, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutrisno, 2000, “Peta Epistemologi Islam menurut Muhammad 'Abid al-Jabiri”, Mukaddimah, Nomor 9 tahun VI.
ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2014, ISSN: 2356-0150