KEKUASAAN JAWA : STUDI KOMPARATIF SISTEM KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK
Skripsi Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Yusep Munawar Sofyan NIM: 103033227835
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Februari 2010
Yusep Munawar Sofyan
KEKUASAAN JAWA; STUDI KOMPARATIF SISTEM KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Yusep Munawar Sofyan NIM: 103033227835
Pembimbing,
Prof. Dr. Musyrifah Sunanto
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KEKUASAAN JAWA; STUDI KOMPARATIF SISTEM KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 Februari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Jakarta, 23 Februari 2010 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Idris Thaha, M.Si NIP. 19660805 200112 1 001
Dra. Wiwi Siti Sajaroh. MA NIP. 19690210 199403 2 004 Anggota,
Idris Thaha, M.Si NIP. 19660805 200112 1 001
Dr. Nawiruddin, MA NIP. 19720105 200112 1 003
ABSTRAK Yusep Munawar Sofyan Kekuasaan Jawa : Studi Komparatif Sistem Kekuasaan Kerajaan Majapahit Dan Demak
Majapahit dan Demak merupakan dua kerajaan Jawa yang paling berpengaruh pada jamannya. Dua kerajaan tersebut berada diwilayah yang sama yakni Jawa, namun banyak memiliki perbedaan diantaranya masalah konsep legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh para raja. Sebagai kerajaan Jawa yang masih memegang tradisi nenek moyang dua kerajaan tersebut dikuatkan oleh ajaran agama yang cukup berpengaruh. Majapahit yang menganut agama Hindu-Budha dan Demak menganut ajaran Islam. Legitimasi yang kemudian didapatkan oleh para penguasa Jawa adalah legitimasi keturunan dimana penguasa kerajaan selanjutnya merupakan anak mahkota ataupun kerabat dekat kerajaan, meskipun suksesi kepemimpinan demi mendapatkan legitimasi kekuasaan tidak hanya didapatkan dengan jalan yang mulus, yakni tercatat beberapa perebutan kekuasaan yang berujung dengan peperangan saudara salah satu contoh adalah perebutan kekuasaan demi legitimasi terjadilah perang yang dinamakan Paregreg pada masa Majapahit. Demak yang berbeda dengan Majapahit, ternyata masih mengandalkan silsilah keturunan sebagai penguat legitimasi kekuasaannya dimata rakyat. Raden Fatah merupakan anak dari Brawijaya V penguasa terakhir Majapahit. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa legitimasi keturunan menjadi sangat dominan dalam ketatanegaraan kerajaan-kerajaan Jawa tempo dulu. Setelah seorang pemimpin mendapatkan legitimasi maka akan berubah menjadi otoritas kekuasaan yang akan dimiliki. Mengingat konsep kekuasaan Majapahit yang terpusat, sehingga otoritas kekuasaan kemudian berada ditangan raja secara langsung, hal ini berbeda dengan Demak yang masih mengandalkan keberadaan wali sanga dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga otoritas kekuasaan sultan terbatasi dengan adanya wali sanga.
i
KATA PENGANTAR Segala puji serta sukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan segenap daya cipta manusia hingga mampu untuk melakukan sesuatu. Salawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad yang telah memberikan ruang bagi umat untuk berpikir kritis. Skripsi perbandingan kekuasaan ini merupakan hasil obrolan dengan Iqbal Hasanudin salah satu peneliti LSAF, di sela-sela kesibukannya. Pembicaraan itu berujung pada sebuah ide untuk menuliskannya dalam sebuah penelitian ilmiah. Iqbalpun telah lebih dulu menuliskan beberapa bunga rampai sejarah nasional Indonesia yang dipresentasikan di hadapan Mas Dawam. Dari ide penulisan sejarah tersebut, penulis merasa bahwa terdapat ruang khusus untuk mengeksplorasi sebuah khazanah pemikiran, khsusunya dibidang politik. Gagasan tersebutpun mengendap dan menjadi sebuah bahan perenungan dan penelitian. Kajian yang kemudian penulis teliti adalah masalah kekuasaan Jawa khususunya mengkomparasikan dua kerajaan Jawa yang sangat besar yakni Majapahit dan Demak. Dalam penulisan karya ini, penulis banyak berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada : 1. Dekan FISIP (Prof. Dr. Bahtiar Effendy) serta seluruh staf Dekanat FISIP UIN yang telah memberikan kemudahan kepada penulis. 2. Ibu Prof. Dr. Musyrifah Sunanto Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan yang konstruktif bagi penulis.
ii
3. Terkasih keluarga Bapak Asep sama mamah Juju yang telah memberikan kepercayaan kepada ananda untuk melanjutkan sekolah.. Akhirnya lulus juga. Adik-adiku : Rendra, Ardi, Septi dan Lisana. Terima kasih kalian bagian terindah dalam hidupku. 4. Mang Edi, Kang Aay, Mang Opik, serta keluarga yang lainnya yang telah banyak membantu penulis. 5. Teman-teman di LSAF : Iqbal Hasanuddin (Trims atas sarannya), Ariful Mursyidi, Thowik, Mba Rifah serta Mas Dawam yang telah banyak memberikan pencerahan kepada penulis. 6. Teman-teman Jaringan Islam Kampus (JarIK) Nasional yang telah banyak memberikan kontribusi pada penulis. Khususnya Anton. Thanxs atas pinjaman buku-bukunya. 7. Teman-teman diskusiku di Paramadina : Farid (Bhazang), Kang Yandi, Syafiq, dan lainnya. Thanx atas kontribusinya. 8. Teman-teman PPI FUF 2003, Subairi (eri), Bahrul, Arya, Fajri, Aniq dan yang lainya thanx atas kesempatan yang berharga bersama kalian. Akhirnya penulis merasa perlu berterimaksih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, panulis berterima kasih atas kontribusi dan waktunya.
Jakarta, 16 Mei 2010
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………... iv DAFTAR TABEL …………………………………………………………… vi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………... 1 B. Pembahasan dan Perumusan Masalah …………………….. 7 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………….. 9 D. Metode Penelitian dan Metode Pembahasan ……………… 9 E. Sitematika Pembahasan …………………………………… 10
BAB II
KEKUASAAN A. Teori Kekuasaan ...............………………………………… 12 1. Legitimasi (Keabsahan) …………………………........ 17 2. Otoritas (Wewenang) ……………………………........ 19 B. Kekuasaan Tradisional …………….……………………..... 21 C. Kekuasaan dalam Pandangan Jawa ……………………...... 24
BAB III
DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoriko-Politik Nusantara ............... 31 B. Majapahit ............................................................................... 38 1. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit ...................... 42 2. Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit …………………….. 44
iv
3. Masa Kehancuran Kerajaan Majapahit .............................. 49 C. Demak .................................................................................... 52 1. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Demak ........................... 61 2. Masa Kejayaan Kerajaan Demak ....................................... 64 3. Masa Kehancuran Kerajaan Demak ................................... 70 BAB IV
PERBANDINGAN STRUKTUR KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK A. Legitimasi Kekuasaan ........................................................... 75 1. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit ....................... 77 2. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Demak ............................ 79 3. Persamaan dan Perbedaan Legitimasi Kekuasaan Majapahit dan Demak .......................................................................... 81 B. Otoritas Kekuasaan ................................................................ 87 1. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit ........................... 88 2. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak ................................ 91 3. Persamaan dan Perbedaan Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak ......................................................... 93
BAB V
KESIMPULAN .......................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR TABEL 1. Tabel 1
Kekuasaan Pemimpin Tradisional Kerajaan …………………... 23
2. Tabel 2
Perbandingan Kekuasaan Menurut Jawa dan Barat …………… 25
3. Tabel 3
Nama-nama Anggota Walisanga Menurut Angkatan ………….. 67
4. Tabel 4
Skema Perbandingan Legitimasi Kekuasaan Majapahit dan Demak …………………………………………………....... 82
5. Tabel 5
Skema Otoritas kekuasaan Majapahit dan Demak ...................... 94
vi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa merupakan salah satu kepulauan di Indonesia yang membentang dari ujung barat Provinsi Banten dan paling timur (Jawa Timur), merupakan sebuah kawasan yang paling banyak menyita perhatian para peneliti, baik yang berasal dari Indonesia maupun peneliti yang berasal dari luar Indonesia. Pusat perhatian penelitian mereka salah satunya adalah kepulauan yang dinamakan Jawa (Java). Secara geografis pulau Jawa dipandang sebagai suatu kesatuan. Konsep kesatuan tersebut diperkuat oleh proses sejarah, yang menempatkan pulau Jawa sebagai sentrum suatu jaringan lalu lintas transportasi maritim sejak masa prasejarah. 1 Mengingat batas pulau Jawa yang membentang antara barat dan timur, pesisir utara dan selatan, namun pada perkembangan abad ke 14, Lombard membagi kajian Jawa meliputi tiga kelompok sosial-budaya besar: Pertama, Tanah Pasundan, kedua, Tanah Jawa yang sebenarnya (Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur serta daerah Istimewa Yogyakarta) dan ketiga, Tanah Pesisir, semacam lajur pantai dimana identitas Jawa atau Sunda cenderung melemah atau bahkan menghilang dan digantikan oleh sebuah kebudayaan yang jauh lebih kosmopolit. 2 Pembagian Lombard tersebut mengindikasikan bahwa secara budaya terdapat beberapa perbedaan antara ketiga wilayah tersebut.
1
Pengantar Sartono dalam buku Denys Lombard, Nusa Jawa:Silang Budaya,Bagian I: Batas-batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. xiv. 2 Ibid., h. 29.
2
Sejak abad ke-5 Jawa sudah mengenal pemerintahan. pemerintahan yang dipakai adalah kerajaan. Tercatat ada beberapa kerajaan yang pernah menjadi penguasa di bumi Jawa, di antaranya: Tarumanegara, Syailendra, Mataram Hindu, Singosari, Padjadjaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, Cirebon, Banten, dan kerajaan-kerajaan kecil lainya. Rickleft menggambarkan beberapa ciri umum negara-negara yang ada di Indonesia sebelum masa penjajahan. Ciri-ciri umum tersebut tidak berubah selama beberapa abad. Khususnya kondisi tanah, dan iklim di daerah-daerah tersebut mempunyai dampak yang penting bukan hanya terhadap pertanian dan perdagangan melainkan juga terhadap formasi negara. 3 Letak geografis kerajaan-kerajaan tersebut secara umum dibagi kepada dua bagian, yakni wilayah kerajaan pedalaman dengan sistem kehidupan agraris, dan kerajaan yang dekat dengan dermaga-dermaga, dengan kecenderungan kerajaan tersebut adalah berdagang karena dekat dengan pelabuhan-pelabuhan dan biasa disebut kerajaan Maritim. Dua bentuk kerajan seperti yang disebutkan di atas adalah Majapahit sebagai kerajaan Hindu pedalaman yang fokus perekonomiannya adalah agraris (bercocok tanam), dan kesultanan (kerajaan) Demak yang beragama Islam yang fokus perekonomiannya berdagang karena berada di daerah pesisir utara pulau Jawa yakni di kota Demak. Dua kerajaan tersebut memiliki keunikan tersendiri, mengingat adanya perbedaan dalam segi penerimaan agama yang dianut, yakni Majapahit yang 3
M.C. Rickleft, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj, Satrio Wahono, dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 49.
3
beragama Hindu, Budha sebagai agama resmi negara dan Islam sebagai agama tidak resmi negara, 4 dan kerajaan Demak dengan prototip bentuk dan agama resmi Islam. Kedua kerajaan ini tidak begitu jauh dalam memerintah-Demak adalah kerajaan yang menggantikan Majapahit setelah kehancuranya- Jawa. Bila ditelusuri lebih jauh dua kerajaan tersebut yakni Majapahit dan Demak merupakan satu rumpun keturunan Singasari. Dan raja Demak pertama sendiri merupakan anak keturunan dari raja terakhir Majapahit, yakni Kertabumi yang menikahi putri dari Champa Cina. 5 Sistem kekerabatan inilah salah satu yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa, selain faktor-faktor lainya. Menarik untuk dielaborasi pandangan Harry J. Benda mengenai pendekatan domestikasi, Benda menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di pesisir (maritim) akan senantiasa kalah dari kerajaan di pedalaman (agraris) hal ini disandarkan kepada sebuah teori mengenai domestikasi Islam yakni kajian menyeluruh tentang Islam di Pulau Jawa pada abad 16-18, perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang taat di wilayah pesisir Jawa, yang diwakili Demak, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman. Ketika yang terakhir memeluk Islam, ia berusaha menekan wilayah-wilayah taklukan mereka di pesisir pantai yang memberontak, dan dalam
4
Diakses tanggal 8 Januari 2008 dalam http://www.majapahitkingdom.com/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=8&Itemid=7. 5 Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2006) h. 32.
4
proses ini menghancurkan bagian-bagian paling dinamis dari masyarakat Islam di pulau Jawa. 6 Namun tentunya pendekatan ini tidak selamanya benar, mengingat ada beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa kerajaan di pedalaman pernah mengalami kekalahan yakni kerajaan Majapahit yang takluk dari kerajaan Demak, pendekatan Benda tersebut setidaknya terbantahkan dengan kemegahan kerajaan Demak atas Majapahit ketika kerajaan Majapahit bertekuk lutut di hadapan tentara Demak. Dalam hal ini kekalahan Majapahit adalah kekalahan Non-Islam Jawa yang berada di pedalaman seperti yang disebutkan Benda atas kekuatan Islam di pesisir Pantai Jawa. Pertarungan antara pedalaman dan pesisir dijelaskan oleh salah seorang ahli obat dari Lisbon (Portugis), Tome Pires, pada abad XVI yang pernah menjelajahi kepulauan nusantara yakni Sumatera dan Jawa. Pires menyatakan bahwa adanya peperangan antara pesisir dan daerah pedalaman, namun dia menegaskan bahwa peperangan tersebut jangan dipandang sebagai akibat dari pertentangan agama dan budaya yang tidak dapat dipertemukan. Pires menambahkan bahwa telah terjadi proses asimilasi budaya ketika agama Islam bertemu dengan budaya tinggi Jawa kuno yang kuat. Hal ini dapat dilihat dengan besarnya nilai toleransi kerajaan Majapahit dengan membiarkan dua makam orang
6
Hal ini ditegaskan oleh Bahtiar Effendy bahwa Benda ingin menyatakan unsur terpenting dalam teori domestikasi Islam adalah perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non-Islam dalam masyarakat Indonesia. Oleh Benda unsur-unsur yang terakhir itu diidentifikasikan secara esklusif sebagai unsur ke-jawa-an. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998) h. 28-30.
5
yang beragama Islam di Trowulan dan Tralaya dekat dengan ibu kota kerajaan Majapahit. 7 Peperangan tersebut di atas seperti dinyatakan Pires bukan diakibatkan oleh faktor agama semata, namun seperti dijelaskan oleh Kuntowijoyo, bahwa berdirinya Demak sebagai kerajaan muslim pertama di Jawa dapat dipandang sebagai kemenangan kelas saudagar dan kerajaan maritim atas kelas aristokrat dan kerajaan agraris (Majapahit). 8 Baik Majapahit maupun Demak tentu mengharapkan legitimasi atas kekuasannya, namun legitimasi tersebut tidak seperti legitimasi yang berada di Barat, dimana pemangku kekuasaan wajib bertanggung jawab kepada rakyat, mengingat legitimasi kekuasaan bersifat etis dan demokratis. Bagi kerajaan-kerajaan Jawa legitimasi yang dipakai adalah legitimasi religius yang dilaterapkan secara turun temurun, dimana yang paling berpengaruh adalah seorang pemimpin yang mampu menampung kekuasaan dari alam semesta yang adiduniawi. Seorang pemimpin Jawa senantiasa diidentikan dengan kekuatan mistis sebagai perlambang kekuasaannya. Sahnya kekuasaan seorang raja biasanya ditentukan oleh keadaan yang turun temurun (warisan) baik dari putra mahkota sebagai penerus kerajaan maupun kerabat dekat kerajaan yang akan meneruskan kerajaan. Proses turun temurun tersebut diperkuat dengan pengintensifan kekuasaan raja yakni dengan
7
lihat pernyataan Pires yang dikutif dalam M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 12002004., h. 35. 8 Lihat Kuntowijoyo, Agama, Negara dan Formasi Sosial, dalam Prisma No. 8, 1984, h. 4041 tulisan ini dikutif dari Samodra Wibawa, Negara-Negara Di Nusantara; Dari Negara-Kota Hingga Negara-Bangsa Dari Modernisasi Hingga Reformasi Admonistrasi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001)h. 18.
6
melalui tapa brata dan mengumpulkan benda-benda yang dianggap memiliki kesaktian agar kekuasaan raja semakin bertambah. Setelah mendapatkan legitimasi kekuasaan dalam bentuk turun temurun (kekeluargaan) bentuk legitimasi kekuasaan berubah menjadi otoritas kekuasaan, otoritas
termaksud
adalah
wewenang
raja
dalam
menjalankan
roda
pemerintahannya. Kebijakan yang diambil oleh raja Majapahit dengan Demak tentu berbeda hal ini dapat dilihat dari perbedaan pandangan mengenai agama dan pengaruh ajaran agama tersebut. Dalam tradisi Majapahit seluruh aspek otoritas berada ditangan seorang raja, namun pada kerajaan Demak ada peranan-peranan yang cukup sentral dalam menentukan otoritas kerajaan selain yang dimiliki oleh sultan, hal ini bisa dilacak dari keberadaan wali sanga yang cukup sentral membantu perluasan wilayah kerajaan Demak. Telah dipaparkan di atas bahwa kerajaan-kerajaan yang berada di dua wilayah tersebut memilliki keunikan masing-masing. Bentuk legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan menjadi bidikan penulis untuk mengeksplorasi keberadaan dua kerajaan tersebut. dengan bersandar kepada data-data yang diperoleh, penulis mencoba mendudukan permasalahan inti kekuasaan yang dipakai oleh kerajaan Jawa dalam memimpin masyarakat. Maka pembahasan tersebut akan disajikan dengan judul : “Kekuasaan Jawa; Studi Komparatif Sistem Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak”.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Studi politik, khususnya yang membahas menganai kesejarahan memang telah banyak. Namun dalam pembahasan ini penulis menitik beratkan kepada pembahasan mengenai etika politik dengan membandingkan dua kerajaan Jawa yang pernah berpengaruh cukup besar di Jawa bahkan di kawasan nusantara, dengan mengkhususkan pembahasan mengenai legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan kerajaan. Legitimasi kekuasaan dirasakan sangat penting untuk dieksplorasi dalam pembahasan ini, mengingat hampir dalam beberapa dekade, sistem kerajaan mampu mempertahankan eksistensinya. Kesetabilan dan kuatnya eksistensi tentu didukung oleh sebuah aturan main yang cukup kuat, dalam beberapa aspek pemerintahan legitimasi menjadi suatu aspek yang paling mempengaruhi, mengingat legitimasi merupakan aspek pengesahan atau diakuinya keberadaan seorang pemimpin dalam masyarakat. Legitimasi yang dipakai kemudian bukan legitimasi seperti yang dipakai oleh masyarakat moderen yakni adanya mandat suara rakyat. Dengan legitimasi rakyat tersebut seorang pemimpin wajib bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memberikan legitimasi kepada penguasa tersebut. Hal ini berbeda dengan legitimasi dalam kerajaan atau legitimasi yang didapatkan oleh seorang raja. Legitimasi termaksud terkait dengan alam di luar kuasa manusia, seperti yang dijelaskan oleh Benedict R.O.G Anderson, yang menyatakan bahwa sistem atau pola yang dipakai dalam melanggengkan
8
kekuasaan masyarakat (pemerintahan) jaman kerajaan di Jawa erat kaitannya dengan dunia mistik dan agama. Sedangkan untuk masalah otoritas kekuasaan, para penguasa Jawa khususnya raja Majapahit dan Demak ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan, hal ini dapat dilihat dari pola penerimaan wilayah adiduniawi. Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-budha menerima bahkan menjunjung bahwa kesaktian dan legitimasi raja bukan hanya berasal dari keturunan melainkan dekat dengan dewa-dewa, karena raja merupakan titisan dewa di muka bumi. Dalam kerajaan Demak, legitimasi kekuasaan yang berujung otoritas senantiasa bersandar kepada nash-nash agama yang diterjemahkan oleh para wali. Sehingga Raja (sultan) terbatasi dalam menjalankan otoritas yang dimilikinya, karena kebijakan yang kemudian diambil harus melalui sebuah mekanisme sidang dengan para wali sanga. Bertitik-tolak dari masalah di atas, penulis perlu mengangkat persoalan penting tersebut untuk dikaji lebih gamblang dan konkrit, agar pembahasan judul skripsi ini bisa dipertanggung jawabkan, untuk itu perumusan masalah yang akan dikemukakan adalah 1. Apa perbedaan dan persamaan antara Kerajaan Majapahit dan Demak dalam legitimasi kekuasaan. 2. Apa persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak.
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dalam penulisan Skripsi ini penulis memiliki tujuan, diantaranya adalah untuk: 1. Mengetahui lebih dalam mengenai konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. 2. Menggambarkan sistem kerja legitimasi dan otoritas kekuasaan kerajaan di Jawa. Kegunaan Penelitian dari pembahasan di atas diantaranya: 1. Tergambarnya konsep kekuasaan menurut Jawa khususnya yang dianut oleh kerajaan di Jawa. 2. Mengetahui aturan main dari sebuah proses penerimaan kekuasaan sampai kepada bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut. 3. Sebagai sebuah sarana pengembangan ilmu dan khazanah pemikiran dalam pemikiran politik Islam khususnya kajian tentang ke-indonesiaan. D. Metode Penelitian dan Metode Pembahasan. Penelitian Skripsi ini menggunakan teknik pengumpulan data yakni melalui penelitian pustaka (library research) atau studi kepustakaan dengan buku rujukan utama : 1. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka, 1965, dan 2. Hasanu Simon. Misteri Syekh Siti Jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa. Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008, dan data-data lainya yang berasal dari buku-buku, media masa dan dokumen lain yang berhubungan dengan masalah tesebut. Pembahasan yang akan diteliti adalah mengenai studi perbandingan yang pembatasan masalahnya telah ditentukan, kajian ini adalah analisis data dan
10
mendeskrifsikanya
dengan
menggunakan
metode
perbandingan
dengan
memetakan konsep dan cara kerja sistem kekuasaan kerajaan. Pemerintahan yang diperbandingkan adalah Kerajaan Majapahit dan Demak. Dalam penulisan karya ilmiah ini Penulis merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis Dan Desertasi, yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development And Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006. E. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing dari sub-sub bab, yaitu: Bab pertama, pendahuluan yang berisi antara lain tentang latar belakang masalah yakni menceritakan gambaran umum permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah yakni menguraikan mengenai aspek kajian serta batasan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian menjelaskan tujuan dari penulisan dan keguanaan dari karya tersebut, metode penelitian dan metode pembahasan yakni proses penelitian dan penyusunan data, sistematika pembahasan berisi sinopsis pembahasan penelitian. Bab dua, menjelaskan kekuasaan yakni melipui : teori kekuasaan yang kemudian diturunkan menjadi legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan. Kekuasaan tradisional, dan kekuasaan dalam pandangan Jawa. Bab tiga, berisi tentang, dua kerajaan Jawa, dalam pembahasan ini akan di gambarkan secara umum mengenai geo-historiko politik Jawa kemudian secara
11
khusus meneliti latar belakang, masa kejayaan, dan masa kehancuran kerajaan Majapahit dan Demak. Bab empat, merupakan inti dari pembahasan skripsi ini. Adapun kajian dalam bab tersebut adalah perbandingan legitimasi kekuasaan, dengan konsentrasi kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam legitimasi kekuasaan dan otoritas kekuasaan, dengan konsentrasi masalah persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak. Bab lima, Adalah bab penutup yang berisikan kesimpulan dari inti pembahasan penelitian.
12
BAB II KEKUASAAN A. Teori Kekuasaan Kekuasaan merupakan kajian ilmu sosial yang sangat menarik untuk dikaji, terlebih jika kekuasaan ditarik dalam studi politik. Kekuasaan meskipun banyak yang membincangkannya namun terdapat banyak pengertian dan pembahasan mengenai kekuasaan, sebut saja konsep turunan dari kekuasaan, yakni otoritas dan wewenang. Dua konsep yang disebutkan terakhir tidak pernah ada kata sepakat dalam definisi yang kemudian diambil. Kekuasaan meskipun sangat beragam penafsirannya, namun memiliki nilai kesamaan seperti yang dinyatakan oleh Miriam Budiardjo yakni : “kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga pelaku kedua sesuai dengan keinginan pelaku pertama yang memiliki kekuasaan.” 1 Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1922) menjelaskan bahwa “kekuasaan
adalah
kemampuan
untuk,
dalam
suatu
hubungan
sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. 2 Pemikiran tersebut kemudian dikembangkan oleh beberapa orang sosiolog diantaranya Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mereka mengatakan, “kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar 1
Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan”, dalam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 9 2 Ibid., h. 16
Miriam
13
sesuai dengan tujuan dari pihak pertama“ 3 sedangkan menurut Talcott Parsons, kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar – terlepas daripada siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. 4 Secara lebih kategoris Carter membagi dua ciri kekuasaan yakni : pertama, kemampuanya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela, dan kedua, kemampuanya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan. 5 Dasar pemikiran Carter adalah bahwa kekuasaan berkaitan dengan kemampuan untuk membuat fihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan fihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat fihak lain melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam fihak yang patuh tersebut. 6 Van Dorn seorang sosiolog yang terkesan oleh kaitan antara kekuasaan dan tindakan manusia menyatakan bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif
bertindak dari seseorang atau suatu kelompok
sesuai dengan tujuan dari pihak pertama.” 7
3
Ibid, h. 17 Ibid, h. 18 5 Lihat kata Pengantar dari Maswadi Rauf dalam April Carter, Otoritas dan Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1985) h. viii 6 Ibid., h. ix 7 Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan,” h. 17 4
14
Salah satu yang sering diperdebatkan dalam pembahasan kekuasaan (dan masalah sosial lainnya) adalah batas-batas penggunaan persuasion dan coercion. Persuasion (bujukan, anjuran) memainkan peranan yang penting dalam kehidupan bermasyarakat karena manusia adalah mahluk berakal (rational); oleh karena itu persuasion dapat berfungsi dengan baik. Kepatuhan sukarela dengan persuasion merupakan sesuatu yang ideal karena orang yang dikenai kekuasaan itu melaksanakan perintah dengan kesadaran sendiri. 8 Sedangkan penggunaan coercion (Kekerasan) dalam melaksanakan kekuasaan merupakan suatu hal yang relatif lebih mudah. Yang diperlukan kekuatan (power) yang melebihi kekuatan fihak yang akan dikenai kekuasaan. Penggunaan kekerasan tidaklah memerlukan pemikiran serumit seperti cara-cara persuasif. 9 Biasanya kekuasaan “diselenggarakan” (exercise of power) melalui isyarat yang jelas, hal ini sering dinamakan kekuasaan manifest (manifest power). Sumber kekuasaan sangat beragam dan dapat terpantul dalam segi dan bidang apapun, seperti : pertama, kekuasaan berupa kedudukan, hal ini dapat dilihat dari kedudukan komandan dalam militer dan menteri dalam pemerintahan, mereka mempunyai kekuasaan terhadap bawahanya untuk mengontrol dan memberikan sanksi jika melanggar. Kedua, sumber kekuasaan berupa kekayaan, hal ini jalas akan terlihat dari perilaku orang kaya yang mampu mempekerjakan buruh dengan kekayaannya. Ketiga, dapat pula bersumber dari kepercayaan atau
8 9
Carter, Otoritas dan Demokrasi., h. xi Ibid., h. xi
15
agama, hal ini dapat dilihat dari peran sentral seorang ulama atau pendeta yang mempunyai kekuasaan atas umatnya. 10 Dalam pembahasan kekuasaan akan lebih jauh kita mengenal batasan dari kekuasaan, berkuasa dalam hal apa? Dan berkuasa terhadap apa? Dua pertanyaan tersebut setidaknya menunjukan fungsi identifikasi dari kekuasaan. Dalam menjawab peranyaan tersebut, Miriam membedakan dua istilah dalam kekuasaan yakni scope of power dan domain of power. Ruang lingkup kekuasaan (scope of power) menunjuk pada kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusankeputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan, sedangkan jangkauan kekuasaan (domain of power) menjawab pertanyaan siapa saja yang dikuasai oleh A. Hal ini menujukan adanya pelaku, baik kelompok, organisasi, atau kolektivitas yang kena kekuasaan. 11 Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (The ruler and the ruled). 12 Dalam konteks tersebut tidak ada kesamaan perintah karena salah satu pihak pasti lebih tinggi derajatnya dari pihak yang lain. Robert M. Maclver mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida. 13 Dari gambaran piramida tersebut bisa diterjemahkan bahwa kekuasaan sewaktu-waktu dapat berubah, seperti dijelaskan oleh Laswell yang melihat
10
Miriam Budiardjo, ”Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan,” h. 13 Ibid., h. 14 12 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 35 13 Ibid., h. 36 11
16
kemungkinan pergeseran kekuasaan antara pelbagai elite. 14 Dua jalan untuk mempertahankan dan merubah kekuasaan dapat ditempuh yakni : meyakinkan untuk konteks masyarakat yang rasional, namun kalau tidak mampu untuk meyakinkan maka kemungkinan peralihan kekuasaan akan terjadi, yang kedua adalah paksaan, jika seorang penguasa hanya mengandalkan paksaan (kekerasan, kekuatan) maka rezimnya akan tergantikan oleh kekuatan yang lebih besar dari yang dimilikinya. Perkembangan teori politik di Barat menunjukan kepada kita bahwa masalah utama yang dipersoalkan adalah sumber-sumber kekuasaan politik. Para pemikir absolutis-monarkis- yaitu yang menganggap kekuasaan politik raja-raja bersifat absolut- berpendapat bahwa kekuasaan politik para raja bersumber dari Tuhan. Tuhanlah yang memberikan hak untuk memerintah secara mutlak kepada para raja. Sebaliknya, para pemikir teori perjanjian sosial (social contract theories)- yang berkembang setelah abad ke-16-17- berpendapat bahwa kekuasaan politik bersumber pada masyarakat. Penguasa politik menerima kekuasaan politik dari masyarakat. Jadi penguasa politik mengatur masyarakat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh rakyat. 15 Terdapat banyak pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan dintaranya autority (otoritas, wewenang) dan legitimacy (legitimasi, keabsahan). Dua konsep tersebut kemudian menjadi sangat penting dalam memahami kekuasaan.
14
Soelaeman Soemardi, ”Cara-cara Pendekatan Terhadap “Kekuasaan” Sebagai Suatu Gejala Sosial”, dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 35 15 Carter, Otoritas dan Demokrasi., h. xv
17
1. Legitimasi Legitimasi erat kaitannya dengan kekuasaan, legitimasi sendiri berasal dari kata Latin legitimare, yang artinya “memaklumkan sah“. Dengan legitimasi itu kekuasaan (power) menjadi kewenangan (authority). 16 Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. 17 David Easton mengatakan bahwa keabsahan adalah “keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu“ (the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and abide by the requirements of the regimei). 18 Etika politik menuntut agar kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral), ketiga unsur itu disebut legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tiga tuntutan itu…. Legitimasi etis mengandaikan bahwa kekuasaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia. 19 Paham legalitas mengandaikan bahwa hukum mempunyai wewenang tertinggi dan bahwa penguasa berada di bawah hukum. Tetapi dalam paham
16
M. Sastrapratedja, S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik,” Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2., h. 1 17 Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Pustaka,” h. 15 18 Ibid., h. 15 19 Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 39
18
religius kekuasaan bersifat adiduniawi, wewenang etis seperti dijelaskan di atas tidak berlaku, karena yang dilihat adalah ada atau tidak adanya kekuasaan dan bagaimana seorang raja mampu menyerap kekuasaan adiduniawi tersebut atau tidak. Dalam paham kekuasaan religius tidak ada tempat untuk paham “aturan hukum” (rule of law). 20 Kekebalan kekuasaan dalam paham religius terhadap tuntutan legitimasi normatif, tidak berarti bahwa sama sekali tidak diperlukan legitimasi. Tetapi legitimasi yang dibutuhkan itu tidak bersifat etis melainkan religius. Menurut Franz Magnis Terdapat tiga unsur tingkatan dalam legitimasi religius 21 : Pertama, tentu saja penguasa harus menunjukan diri mampu untuk memegang kekuasaannya. Ia harus menunjukan kebijaksanaan dan kepandaiannya berhadapan dengan masalah-masalah yang rumit. Ia harus mampu untuk menindas para pengganggu perdamaian dan untuk tidak membiarkan pusat-pusat kekuasaan lain muncul dalam wilayahnya. Ia harus menunjukan diri “mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi.” Menurut paham kekuasaan apapun penguasa tentu saja harus menunjukan kemampuan-kemampuan empiris seorang pemimpin dan penguasa. Tetapi, Kedua, kemampuan “empiris” itu tidak mencukupi. Dalam pandangan Jawa seseorang hanyalah dianggap betul-betul berkuasa apabila masyarakat di bawah pemerintahannya berada dalam keadaan adil makmur tatatentrem-kerta-raharja. Sebaliknya, apabila masyarakat resah dan bencana alam bertambah banyak, kekuasaan penguasa tidak akan dianggap sungguhan meskipun 20 21
Ibid., h, 39 Ibid., h. 42
19
ia masih mampu untuk mempertahankan kedudukannya dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Legitimasi religius terdapat apabila suatu pemerintahan nyata-nyata menunjukan hasil-hasil yang diharapkan. Tuntutan ketiga legitimasi religius ialah agar penguasa menunjukan mutu mental atau sikap budi yang merupakan prasarat kemampuannya untuk berhubungan dengan alam gaib. Ia harus membuktikan diri sebagai sepi ing pamrih, berbudi luhur, ia harus bersikap bijaksana, murah hati dan adil. Ia harus menjalankan kekuasaannya tanpa perlu memakai paksaan atau tindakan-tindakan yang kasar. 2. Otoritas (Wewenang) Wewenang atau autority sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of social power, dia mengatakan bahwa wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Dengan nada yang sama Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan menyatakan bahwa wewenang (autority) adalah “kekuasaan formal” (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (autority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya. 22 Dalam tradisi sosiologi, Weber membagi wewenang kekuasaan kepada tiga bagian, yakni : tradisional, kharismatik dan rasional-legal. Menurut Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan
22
Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Pustaka,” h.. 14
20
ini. 23
Wewenang
tradisional
berdasarkan
kepercayaan
diantara
anggota
masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu, adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seseorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya. 24 . Perbedaan yang penting antara kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya diletakan pada kepribadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peranan sosialkekuasaan, melulu merupakan suatu hubungan yang faktual, sedangkan otoritas merupakan suatu hubungan yang logis-. 25 Wewenang kemudian diterjemahkan sebagai sebuah tindakan seseorang yang telah memiliki kekuasaan (yang kekuasaannnya telah sah). Segala tindakan penguasa baik berupa peraturan dan sikap kebijakan merupakan wewenang yang didapatkannya. Dalam penjelasan di atas telah disinggung bahwa wewenang kemudian bisa dibagi kepada dua, yakni wewenang normatif atau wewenang etis yang seluruh kabijakannnya berdasarkan hukum, dan wewenang religius yang seluruh
23
Ibid., h. 15 Ibid., h. 15 25 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan. Penerjemah Herry Joediono (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), h. 72 24
21
kebijakannya sah dan apapun kebijakan yang diterapkan oleh penguasa selama penguasa tersebut memiliki kekuasaan. Wewenang normatif mengharuskan adanya tanggung jawab dari penguasa kepada rakyat, karena aturan yang akan diterapkan oleh penguasa harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, sedankan wewenang religius tidak memerlukan hukum formal sebagai kerangka aturan pemerintahannya. B. Kekuasaan Tradisional Salah satu upaya menjernihkan masalah adalah dengan bercermin kepada tradisi atau sejarah, hal ini setidaknya akan membuka sebuah wawasan tentang kebiasaan-kebiasaan sosial, sikap dan keyakinan yang secara historis telah dikaitkan dengan fenomena kekuasaan. 26 Penjelasan mengenai kekuasaan tradisional kemudian berpangkal tolak dari kajian aristokrasi Eropa sebelum revolusi Prancis, di mana kekuasaan sangat intrinsik dalam hubungan antara penguasa dengan massa dalam hirarki sosial. Konsep tentang masyarakat aristokrasi ini digunakan oleh De Tocqueville untuk menjelaskan tertib sosial dalam pemerintahan kuno. 27 Dalam tradisi yang paling sederhana sistem kekuasaan aristokrasi dapat ditemui dalam sebuah tatanan sosial seperti keluarga. Bentuk ideal masyarakat aristokrat dicerminkan lewat hirarki status sosial yang sangat tegas, baik dari segi umur maupun jenis kelamin. Hirarki sosial dipertahankan melalui kesediaan diri untuk menerima kehadiran tertib sosial seperti ini, yakni adanya keseragaman aturan nilai-nilai dan pandangan serta kerangka berpikir yang memberi sorotan 26 27
Carter, Otoritas dan Demokrasi, h. 7 Ibid., h. 7
22
dan mengabsahkan hirarki. 28 Sistem aristokrat yang paling banyak muncul adalah sistem kekerabatan yang lebih menguntungkan garis patriarkat, keturunan elit ini senantiasa menghiasi sebuah tatanan masyarakat yang senantiasa berubah. Salah satu contoh masyarakat aristokrat adalah di kawasan Eropa yakni Francis sebelum revolusi. Terdapat dua poin penting yang patut dicatat tentang hakikat kekuasaan yang wujud di dalam jenis masyarakat aristokratis yang ideal. Pertama, adalah ide tentang kekuasaan, sekalipun dalam rumusan yang masih sumir, sangat tersebar sehingga membuka peluang untuk melukiskan segala bentuk hubungan sosial sekaligus. Poin kedua berkenaan dengan hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat aristokrat ia sangat didasarkan pada paksaan kekerasan sosial dan ekonomi yang seringkali mengakibatkan penggunaan kekuatan yang maha dahsyat. 29 Terdapat beberapa perbedaan pendekatan dalam melihat kekuasaan tradisonal, seperti penjelasan di atas yang melihat perikehidupan masyarakat Eropa, Dalam penelitian Koenjaraningrat ditemukan sebuah kekhasan menganai bentuk kekuasaan tradisional. Dalam beberapa kasus negara kuno di beberapa negara seperti di Afrika dan wilayah Asia termasuk Indonesia, unsur kekuasaan yang sering digunakan oleh masyrakat adalah sistem religi. konsep-konsep religi dan cara-cara
28 29
Ibid., h. 8 Ibid., h. 10-12
23
keagamaan tersebut untuk memaksakan keseragaman orientasi pada warga seluruh negaranya. 30 Koenjaraningrat menggambarkan sebuah kerangka kerja dari sistem kekuasaan pemimpin tradisional dalam masyarakat negara kuno seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. 31 Komponen-komponen
Syarat-syarat untuk menjadi pemimpin
kekuasaan Kharisma Wewenang
Memiliki wahyu Tuhan atau Dewa-dewa -
Memiliki kekuatan sakti
-
Mempunyai keturunan sah
-
Mampu
melaksanakan
upacara-
upacara intensifikasi Kekuasaan
-
dalam arti luas
Memiliki yang
pusaka-pusaka
melambangkan
keramat
wewenang
kerajaan Kewibawaan
Memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan citacita dan keyakinan sebagian besar warga masyarakat
30
Kekuasaan
Mampu mengerahkan kekuatan fisik dan
dalam arti
mengorganisasi orang banyak atas dasar
khusus
suatu sistem sanksi
Koenjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 136 31 Ibid., h. 138
24
Tabel 1. Kekuasaan pemimpin tradisional kerajaan Seperti telah disebutkan dalam pembahasan di atas mengenai kekuasaan, struktur kekuasaan masyarakat feodal pun tidak jauh dari hirarki piramidal dengan kekuasaan puncak dipegang oleh suzerain, seorang raja yang mempunyai hegemoni di wilayah dimana raja-raja kecil sebagai vasalnya mengakui suzereinitasnya. Selanjutnya vasal itu sendiri masing-masing mempunyai bawahannya atau semacam subvasal, dan seterusnya. Aturan yang kemudian berlaku dalam sistem ini adalah rakyat atau yang berada di bawah harus memberikan upeti ke atas yakni kepada raja dan penguasa memberikan perlindungan kepada bawahannya. 32 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa banyak mekanisme kerja dari kekuasaan tradisional. Cara menterjemahkan sebuah wilayah tertentu dengan wilayah yang lain tentu berbeda, hal ini terlihat dari nilai-nilai yang diusung sebagai pengikat kesatuan. Kekuasaan aristokrasi dan feodal memperlihatkan bahwa terdapat sebuah bangunan kekuasaan yang terlembaga. C. Kekuasaan Dalam Tradisi Jawa Untuk memahami tentang kekuasaan Jawa, terdapat dua konsep wilayah kehidupan manusia yakni : alam lahir dan alam batin. 33 Jadi kekuasaan politik yang diartikan sebagai kekuatan untuk mengatur masyarakat, dalam tradisi Jawa harus sinergis dengan alam lahir dan alam batin yang berakar pada kekuatan gaib atau adiduniawi alam semesta sendiri. 34 Titik sentrum dari kekuasaan itu adalah
32
. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 28 33 Magnis, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern., h. 32 34 Ibid., h. 34
25
manusia yang mampu menyadap kekuatan-kekuatan yang berada di dalam alam semesta ini. Hal ini tentu berbeda dengan dengan tradisi teori politik Barat, masalah kekuasaan dalam tradisi Jawa erat kaitannya dengan dunia adikodrati. Sebagian besar kepustakaan tradisional Jawa lebih banyak membicarakan masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar. 35 Dalam buku-buku Jawa mengenai raja-raja, kekuasaan dan kenegaraan terdapat beberapa sarat-sarat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, yakni diantaranya : seorang raja harus bersifat adil (adil tan pilih sih), berhati murah (berbudi; ber dari luber) dan bijaksana (wicaksana). 36 Dalam pembahasan mengenai kekuasaan, setidaknya Benedict R.O’G. Anderson pernah mencoba menganalisa mengenai keberadaan sumber kekuasaan masyarakat Jawa kuno dengan membandingkannya dengan kekuasaan yang berlaku di dunia Barat. Anderson mencoba mengidentifikasi sumber kekuasaan Jawa seperti bagan di bawah ini : Kekuasaan Jawa
Kekuasaan Barat
Kekuasaan itu kongkret
Kekuasaan itu abstrak
Kekuasaan homogen
Sumber-sumber
kekuasaan
bersifat
heterogen
35
Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 52 36 Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi.” h. 137
26
Jumlah kekuasaan dalam alam semesta Akumulasi selalu tetap
kekuasaan
tidak
ada
batasnya yang inhern
Kekuasaan
tidak
mempersoalkan Dari segi moral, Kekuasaan itu ganda
keabsahan Tabel 2. Perbandingan Kekuasaan Menurut Jawa dan Barat Kekuasaan dalam tradisis Jawa seperti digambarkan dalam tabel di atas terbagi kepada empat bagian seperti yang dijelaskan oleh Anderson. 37 Pertama, Kekuasaan itu kongkret. Kekuasaan itu ada, kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak dapat diraba, penuh misteri dan bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api, tetapi dinyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam pikiran tradisional Jawa, tidak ada batas yang tegas anatara zat organis dan zat inorganis, karena segala sesuatunya ditopang oleh kekuasaan sama yang tidak kelihatan. Konsepsi yang menyatakan bahwa seluruh kosmos ini dipenuhi oleh suatu daya yang tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, telah merupakan kaitan dasar antara “animisme“ yang terdapat di desa-desa Jawa dan paham pantaisme metafisik tinggi yang terdapat di pusat-pusat perkotaan. Anderson menambahkan bahwa rumusan mistik yang terkenal yang berbunyi : Tuhan adalah Aku, menyatakan kongkretnya gagasan Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan Tuhan adalah inti dari Aku, inti dari diri itu sendiri.
37
Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” h. 48-52
27
Kedua, kekuasaan itu homogen, dari konsep ini timbul pendapat bahwa semua kekuasaan itu sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain mana pun. Ketiga, Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan, persenjataan dan lainnya ... Untuk teori politik, pendapat ini mempunyai akibat penting yang semestinya, yaitu terpusatnya kekuasaan disuatu tempat atau pada satu orang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain dalam jumlah yang sebanding. Keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan, karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu lebih dulu ada daripada masalah-masalah baik dan buruk. Dalam pikiran orang Jawa tidak mengenal kekuasaan yang absah dan tidak absah jika dikaitkan dengan sumber atau yang menopang kekuasaan tersebut, contoh kekuasaan berdasarkan harta absah sedangkan kekuasaan berdasarkan senjata tidak sah. Pemikiran tersebut tidak berlaku di Jawa karena orang Jawa melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ada. Sedangkan dalam tradisi Barat kekuasaan sering diartikan kepada empat identifikasi yakni : pertama, kekuasaan itu abstrak, kalau dinyatakan secara kata, kekuasaan itu tidak “ada“. Kekuasaan adalah kata yang biasanya digunakan untuk
28
menerangkan satu hubungan atau lebih. Seperti kata-kata kewibawaan dan keabsahan, maka kekuasaan adalah abstraksi, suatu rumusan untuk pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati. Kedua, Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Karena kekuasaan dianggap berasal atau disimpulkan dari pola-pola tingkah laku dan hubunganhubungan sosial tertentu, maka banyak pemikiran politik Barat dicurahkan kepada cara mengklasifikasikan dan menganalisis pola-pola dan hubungan-hubungan ini, dengan demikian perhatian dicurahkan juga kepada bagaimana membeda-bedakan berbagai sumber kekuasaan. Ketiga, Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inhern. Karena kekuasaan hanyalah suatu abstraksi yang menggambarkan hubunganhubungan tertentu antara manusia, maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Keempat, Dari segi moral, kekuasaan itu berarti ganda. Adalah merupakan akibat logis dari konsepsi sekuler mengenai kekuasaan politik sebagai hubungan antar manusia, bahwa kekuasaan seperti itu tidaklah dengan sendirinya absah.arti ganda moral ini tentu saja ditingkatkan oleh anggapan bahwa kekuasaan diambil dari sumber-sumber yang heterogen. Seperti dijelaskan di atas, Logika konsepsi tradisional Jawa mengenai kekuasaan memerlukan suatu pusat yang bersifat sinkretis dan serba menyerap, dan hanya pusat ini biasanya terjelma dalam diri seorang penguasa. 38
38
Ibid., h. 72
29
Selain terpusat masalah silsialah atau keturunan menjadi hal yang sangat penting bagi para penguasa Jawa. Hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan dalam pemikiran Jawa, dan gagasan bahwa mani manusia, terutama mani seseorang yang mempunyai kekuasaan, merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat untuk mewariskannya. 39 Anderson menambahkan bahwa pancaran kekuasaan ini terjelma dengan cara yang tidak dapat dibeda-bedakan melalui tiga poros: poros pusat-pinggiran, yakni letak kekuasaan seorang penguasa Jawa yang senantiasa berpusat; poros askriptif, atau penyebaran diakronis dari kekuasaan dalam bentuk mani raja melalui tujuh generasi keturunan; poros kawula-gusti, atau poros administratif, di mana kekuasaan gusti tertinggi, yaitu raja, merembes ke bawah melalui lapisanlapisan menurun yang terdiri dari kelompok-kelompok kawula-gusti. 40 Selain terpusat dan masalah keturunan untuk mempertahankan kontinuitas kepemimpinan kerajaan yang berdasarkan keturunan, harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturunan dapat ditarik lebih jauh lagi kepada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya merupakan wewenang yang kuat, tetapi juga keramat. 41 Wewenang seorang raja atau pemimpin tradisional yang berdasarkan sifatsifat kekeramatan itu perlu dijaga kemantapannya secara kontinyu dengan berbagai upacara intensifikasi. Dalam upacara tersebut benda-benda lambang
39
Ibid., h. 75 Ibid., h. 86 41 Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi,” h. 136 40
30
kewibawaan dan wewenang raja serta pusaka-pusaka kerajaan yang keramat, mendapat fungsi yang penting bagi kekuasaan.42 Keadaan seperti di atas tidak berubah sampai kedatangan Islam sekalipun, seperti ditegaskan oleh Anderson : masuknya Islam hampir tidak mengubah susunan atau cara merekrut kaum elite politik Jawa, atau mempengaruhi kerangka intelektual pemikiran politik tradisional. 43
42 43
Ibid., h. 137 Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” h. 114
BAB III DUA KERAJAAN JAWA A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara Nusantara adalah sebutan bagi Indonesia sebelum wilayah ini resmi disebut Indonesia. Kata ’Nusantara’ sendiri merujuk pada periode khusus ketika Indonesia dikuasai Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. 1 Nusantara yang merupakan gugusan pulaupulau yang sulit untuk dipersatukan, namun upaya penyatuan itu tidak lantas hilang hal ini dapat dilacak dari rapat-rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dimana Muhammad Yamin mengakui peran penting Majapahit dalam menyatukan Nusantara. 2 Secara umum gambaran keberadaan Nusantara bila ditarik jauh ke abadabad keemasannya-maraknya kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara, yakni ketika beberapa pemerintahan mampu untuk mengontrol wilayah Nusantara dengan hebat dan mampu mempertahankanya hingga berabad-abad lamanya. Konsep “geo-historis” adalah sebuah pendekatan yang sangat penting dan mutlak diperlukan untuk mengkaji dinamika politik di wilayah Nusantara. Dalam konsep “geo-historis” ini, kata “geo” mengacu kepada ruang atau tata geografis yang sangat menentukan dalam pembentukan tata politik ataupun tindakantindakan politik yang diambil oleh para pelaku politik, sementara kata “historis”
1
Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) h. xv 2 Bagi Yamin, bukan Singasari dan bukan pula kerajaan-kerajaan Islam yang mempersatukan Nusantara, tapi Majapahit. Lihat Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Ibid., h. xv
31
mengacu kepada rentetan momen-momen waktu yang juga tidak kalah pentingnnya dalam menentukan hubungan kausal atau kontinuitas dari satu peristiwa politik ke peristiwa politik lainnya ataupun peralihan dari satu rezim ke rezim lainnya. Penulisan sejarah kemudian tidak hanya dilihat dari satu sisi rentetan peristiwa tapi sebuah kombinasi antara beberapa aspek seperti yang dikembangkan oleh Fernand Braudel dengan mengkombinasikan antara geografi dan sejarah. 3 Dalam kerangka geo-historis tersebut, faktor pertama yang harus diperhatikan dalam mengkaji dinamika politik Nusantara adalah posisi Nusantara sendiri yang terletak di persimpangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih tepatnya, antara Teluk Bengala dan Laut Cina Selatan. Dalam posisinya ini, Nusantara tentu saja sangat terbuka terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari luar, khususnya pengaruh yang datang dari arah Cina dan India. Karena posisinya ini pula, Nusantara juga sangat terbuka dengan kedatangan bangsa lain atau sebagai lalu lintas bangsa-bangsa luar, baik dalam rangka melakukan perdagangan maupun—belakangan—invasi militer dari Belanda dan Jepang. 4 Masih terkait dengan posisi penting laut, istilah “Nusantara” juga muncul dari anggapan orang-orang yang mendiami kepulauan ini karena mereka memaknai laut sebagai perantara atau penghubung diantara pulau-pulau. Hal ini tercermin dari makna harfiyah kata “Nusantara” yang terdiri dari “Nusa” dan 3
Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasisi: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 145-146. 4 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Penerjemah Sori Siregar, Hasif Amini dan Dahris Setiawan, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. 4.
32
“Antara” yang berarti “laut perantara.” Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa keseluruhan pulau-pulau di Nusantara dipersatukan oleh laut, meskipun dari cara pandang berbeda laut juga bisa dilihat sebagai pemisah antara pulau. Wilayah lautan yang paling penting untuk wilayah Nusantara diantaranya adalah Selat Malaka yang menghubungkan antara pantai Timur pulau Sumatra dan wilayah Barat Semenanjung. Selat Malaka ini bisa dikatakan sebagai penghubung karena memang dahulu kedua sisi selat ini berada dalam wilayah Malaka yang termasuk bagian dari Nusantara, terutama pada masa kejayaan Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-10. Karena bahwa pada zaman kolonial Sumatra berada di bawah kekuasaan Belanda, sementara Semenanjung Melayu (Malaysia dan Singapura sekarang) di bawah kekuasaan Inggris, maka selat Malaka kemudian menjadi pemisah dua entitas politik, yakni antara Indonesia di satu sisi, dan Malaysia dan Singapura di lain sisi. 5 Meskipun tidak sepenting Selat Malaka, keberadaan Selat Sunda juga memberi bukti bahwa laut menjadi penghubung di antara kedua sisinya, yakni antara Lampung di pulau Sumatera dan Jawa Barat di Jawa. Hal ini tampak pada abad ke-16 dan ke-17 di mana kedua sisi Selat Sunda tersebut bersatu di bawah kekuasaaan Kesultanan Banten. Hal yang sama juga berlaku bagi Laut Jawa yang menjadi penghubung Pulau Jawa dengan Pulau Kalimantan pada masa kejayaan Majapahit. Sementara di wilayah timur, lautan pula lah yang menjadi penghubung Kerajaan Makassar pada abad ke-17 di mana daerah kekuasaannya mencakup Sulawesi Selatan, Pantai Timur Kalimantan, dan seluruh daerah Sunda Kecil 5
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid I: Batas-batas Pembaratan). Penerjemah Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 14.
33
(Lombok dan Sumbawa). Terakhir, Laut Maluku merupakan penghubung antara kepulauan Sulu serta pulau-pulau lain yang terkenal dengan pulau rempahrempah: Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, Tidore dan Menado. 6 Demikian, dilihat dari satu sisi, keberadaan ruang, yang dalam hal ini adalah laut, memiliki fungsi sebagai penghubung. Namun demikian, jika dilihat dari sisi lainnya, ruang juga bisa menjadi pembeda, atau bahkan pemisah. Dengan kata lain, ruang-ruang spesifik antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Nusantara tanpa bisa disangkal merupakan pembeda dan juga pemisah. Misalnya, keberadaan pulau Jawa yang dipenuhi oleh banyak gunung berapi membuat tingkat kesuburan tanah pulau ini lebih tinggi dibanding pulau-pulau lainnya. Karenanya, sementara kerajaan-kerajaan di pulau lainnya lebih banyak mengandalkan pada perdagangan sebagai basis perekonomiannya, maka banyak kerajaan di Jawa justru lebih mengandalkan pada sumberdaya agraris yang dimilikinya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kesultanan-kesultanan di wilayah pesisir utara Jawa yang berbasis ekonomi perdagangan pernah mengalami masa kejayaan, namun karakteristik agraris Jawa sangat dominan dalam menentukan dinamika politiknya dibanding pulau-pulau lainnya di Nusantara. 7 Dalam pendekatan “geo-historis politik“ yang dipakai dalam kajian ini, konsep “ruang“ juga mesti dipahami sebagai sesuatu yang berjalin-kelindan serta tak terpisahkan dengan konsep “waktu.“ Dalam hal ini, proses-proses politik di Nusantara harus dilihat dalam kerangka dinamika sejarah sosial, ekonomi dan
6
Ibid., h. 15-16. M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Penerjemah Satrio Wahono dkk, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 52-53. 7
34
politik yang—merujuk kepada Denys Lombard—disebut dengan “tiga mutasi besar,“ yang membawa Nusantara terlibat dan dipengaruhi oleh Indianisasi, Jaringan Asia Islam-Cina dan pembaratan melalui kedatangan bangsa-bangsa Eropa. 8 Struktur geografi dengan merujuk kepada metodologi sejarah struktural yang dikenalkan salah satunya oleh Fernand Braudel. Braudel mengembangkan teorinya dalam melihat sejarah dengan melihat aspek yang mempengaruhi sebuah peristiwa terjadi. Selain aspek spasial, Braudel juga mengembangkan aspek temporal. Dalam studinya Braudel mengembangkan suatu kerangka waktu yang bersususn tiga, yaitu : (1) “Struktur,” gejala-gejala yang rentang waktunya mencakup ribuan, bahkan jutaan tahun, seperti unit geografi, (2) “konjungtur gejala-gejala yang jagkauan waktunya mencakup ratusan dan sesungguhnya berkaitan dengan struktur social dan struktur ekonomi.dan (3) peristiwa yang mencakup waktu amat sangat pendek. Tetapi bagi kaum “Annales”, event atau peristiwa tidak mempunyai kemampuan eksplanasi, karena makna dari peristiwa justru tergantung pada struktur sosial, yang menurut Braudel “peristiwa adalah bagaikan kembang api, indah sekejap tetapi lenyap selama-lamanya.” Bagi Braudel, selain aspek spasial dan aspek temporal, logika sejarah juga mencakup aspek struktur. 9 Dari sekian banyak pulau yang berada dikawasan Nusantara, Jawa merupakan salah satu kajian yang paling menarik. Bangsa Jawa merupakan campuran banyak suku yang semula tersebar di negara-negara antara laut Tengah, 8
Lih. tiga jilid buku karya Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, R.Z. Leirissa “Peradaban dan Kapitalisme di Asia Tenggara” dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara., h. xvii-xviii 9
35
sepanjang pantai di tepi samudra Hindia sampai batas-batas sebelah barat lautan Pasifik. 10 Pulau nomer 13 terbesar di permukaan bumi itupun dilengkapi dengan tumbuhan penghasil pangan yang tumbuh subur sehingga dapat memberi dukungan perkembangan jumlah penduduk yang besar. 11 Bangsa Jawa kuno, sebelum kedatangan orang India yang membawa agama Hindu, telah mengenal hitungan bulan yang didasarkan pada peredaran matahari. Nama-nama bulan menurut hitungan Jawa kuno itu ada 12, yaitu : masa Kartika (Kasa), Pusa (Karo), Manggasri (Katigo), Citra (Kapat), Manggakala (Kalima), Naya (Kanem), Palguna (Kapitu), Wisaka (Kawolu), Jita (Kasanga), Srawana (Kasapuluh), Padrawana (Dhasta), dan Asuji (Saddha). 12 Yang menyebabkan tidak terbentuknya kembali kejayaan Jawa sejak abad ke-10 itu adalah kebiasaan perang saudara untuk memperebutkan kedudukan raja. Akibatnya, selama 10 abad terakhir penguasa dan ibu kota kerajaan terus berpindah tempat, kadang-kadang hanya untuk kurun waktu kurang dari satu abad. Mulai abad ke -10 pusat kerajaan Jawa pindah dari : Medhang – Kahuripan –Jenggala – Kediri – Jenggala – Kediri – Singasari – Kediri – Majapahit – Kediri – Demak – Pajang – Mataram - Batavia, dan akhirnya sejak tahun 1945 berkedudukan di Jakarta. Bayangkan selama 10 abad terakhir itu sebanyak 15 kali pusat kerajaan Jawa berpindah tangan dan tempat. 13
10
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008) h. xix 11 Ibid., h. xix 12 Ibid., h. xx 13 Ibid., h. xxi
36
Yamin pernah membagi perkembangan sejarah Indonesia dalam lima periode : 1) prasejarah, dari “asal-muasal manusia Indonesia” sampai abad pertama; 2) dari abad pertama sampai abad keenam, yaitu ketika bahan-bahan tertulis pertama ditemukan; 3) “masa nasional” yaitu periode Sriwijaya dan Majapahit, dari abad ketujuh sampai tahun 1525; 4) “masa negara internasional” yaitu ketika orang Indonesia bertemu dengan bangsa Barat – masa ini berakhir pada akhir abad kesembilan belas, dan 5) “abad proklamasi”, dimulai dari permualaan abad ini. 14 Sampai abad ke-15 agama Hindu, Budha dan Animisme telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalahmasalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ketika rakyat dan penguasa Majapahit dilanda kemelut politik, ekonomi dan keamanan akibat perang Paregreg yang tejadi pada tahun 1401-1406, timbul pemikiran baru yang sama sekali tidak terduga sebelumnya. 15 Kedatangan muslim dari Turki itulah yang menjadikan penyebab beralihnya orientasi rakyat Majapahit kepada Islam. Utusan dari Turki tersebut tidak satupun dari sembilan anggota tim itu yang disebut sebagai ahli fikih atau ahli dibidang ilmu agama Islam bidang tertentu. Jadi pengetahuan agama sembilan anggota tim itu hanya pada tataran biasa saja. 16 Masa Hindu, Budha dan Islam inilah yang menjadi perhatian dalam penulisan karya ini. Dua masa tersebut sangat menarik untuk dikaji secara menyeluruh, mengingat akhirnya akulturasi budaya sangat kental terasa di 14
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka; Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,” dalam Anthony Ried dan David Marr, ed., Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 48 15 Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa, h. xxii. 16 Ibid., h. xxviii
37
wilayah Jawa. Fokus kajian yang kemudian diambil adalah mengenai kerajaan yang sangat berpengaruh di Nusantara khususnya di Jawa. Dua kerajaan tersebut adalah Majapahit dan Demak, setidaknya dua kerajaan tersebut memiliki sebuah kemerdekaan dalam memerintah kerajaannya, berbeda dengan kerajaan besar Jawa berikutnya yakni Mataram Islam, yang senantiasa berbagi kekuasaan dengan pemerintahan lain yakni Belanda (VOC). B. Majapahit Terdapat dua tipe kerajaan di Jawa seperti telah dipaparkan di atas, yakni kerajaan Pesisir dan kerajaan pedalaman. Majapahit sebagai kerajaan pedalam Jawa seperti digambarkan Koentjaraningrat : “Tipe kedua kerajaan Indonesia kuno terletak di pedalaman, di lembahlembah dan dataran tinggi yang sangat subur di antara sungai-sungai dan kompleks gunung berapi di Jawa. Kerajaan-kerajaan ini didasarkan atas pertanian, dengan penduduk petani hidup di desa-desa kecil dan padat, yang bertani padi dengan sistem irigasi. Pusat kerajaan adalah sebuah kota dimana ada istana kerajaan dengan bangunan-bangunan lain yang melengkapinya, serta kompleks perumahan bagi hamba raja yang mengitarinya, dan rumah-rumah rakyat yang rendah golongan sosialnya.“ 17 Konsep Georgrafis menjadi sebuah pratanda akan dibawa kemana kerajaan yang akan dikendalikan ke depan. Pedalaman merupakan salah satu kawasan yang cukup subur seperti digambarkan oleh Koentjaraningrat. Majapahit termasuk salah satu kerajaan yang berada di pedalaman Jawa yakni di kota Mojokerto sekarang. 17
Fachry Ali dan Bahtair Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung : Mizan, 1986)
h. 19-20.
38
Banyak gambaran mengenai bentuk kerajaan Majapahit dari mulai pendirian hingga kehancuranya, namun data-data primer yang menjelaskan mengenai keberadaan kerajaan tersebut amat sangat sulit. Ada beberapa sumber yang dipergunakan oleh para sejarawan atau filolog yakni serat Pararaton (kitab rajaraja Majapahit) pupuh Nagarakretagama yang di tulis oleh Mpu Prapança. Ceritacerita atau gambaran yang terdapat dalam tulisan-tulisan tersebut banyak bercampur baur dengan kisah-kisah atau dongengan yang berbelit-belit, hal ini seperti yang ditegaskan oleh M.C. Ricleft, Lombard, Vlekke, Slamet Mulyana dan sejarawan-sejarawan yang lainya. 18 Karena itu, Pararton dan Negarakertagama bukanlah narasi sejarah murni, melainkan hanya karya yang secara historis lebih eksplisit diantara banyak tulisan Jawa kuno. 19 Pararaton seperti dijelaskan oleh Vlekke, dalam bentuk yang kita kenal sekarang, berasal dari abad ke-16. Ia berisi kisah Raja Arok dan peneruspenerusnya, sejarah kerajaan Majapahit, dan dalam tambahan-tambahan kemudian, serangkian catatan pendek tentang raja-raja Majapahit yang belakangan. Sejumlah referensi singkat ini mungkin punya ciri yang lebih historis daripada cerita-cerita panjang sebelumnya. Referensi itu ditulis dalam bahasa Jawa pertengahan, yang jelas berbeda dengan bahasa Jawa kuno. Sebagian pastilah sudah dikarang sebelum Prapança menulis pujian-pujiannya. 20
18
Kedua kitab tersebut adalah sumber sejarah bernilai tinggi tapi hanya, dan ini adalah kualifikasi yang penting. Jika dipakai dengan cara yang tepat, yakni jika dibaca dan dimengerti dalam makna seperti yang dikehendaki oleh pengarang. Lihat misalkan penjelasan-penjelasan mengenai kitab raja-raja tersebut, Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, h. 65 19 Ibid., h. 66 20 Ibid., h. 66-67.
39
Sedangkan Negarakertagama ditulis pada 1365. Ia terpelihara hanya dalam satu manuskrip yang baru dikenal ilmuan modern pada 1894, ketika pasukan Belanda menduduki kediaman Raja Cakranegara di pulau Lombok. Prapança melukiskan dalam kitab tersebut suatu perjalanan-mungkin berciri sakral-yang dilakukan oleh Raja Rajasanagara, biasanya dipanggil Hayam Wuruk, untuk mengunjungi candi-candi makam nenek moyang dan pendahulunya, serta tempat-tempat suci lain. Teks Pararaton serta Negarakertagama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, tapi masih butuh waktu lama dan studi panjang sebelum semua kesulitan linguistik teratasi. 21 Namun terlepas dari hal itu, ada beberapa bukti sejarah yang coba ditelusuri keabsahannya seperti yang dilakukan oleh Prof. Slamet Mulyana yang mendasarkan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Majapahit kepada beberapa sumber dengan melihat korelasi antara sumber-sumber tersebut sehingga validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan. Diantara rujukan Prof. Slamet Mulyana adalah : Pupuh Nagarakretagama, Pararaton, Data-data dari Kelenteng Sam PO Kong di Semarang, meskipun data-data itu tidak primer yakni saduran dari buku Tuanku Rao yang ditulis oleh M Onggah Parlindungan. Tulisan-tulisan tersebut berkisar mengenai kebesaran Raja-raja Majapahit, sejarah bediri, masa keemasan Majapahit, dan masa kehancuran Majapahit. Dari beberapa tulisan tersebut dapat diuraikan dalam tulisan ini mengenai perdebatan seputar keberadaan dan kisah sejarah dari Majapahit yang banyak menuai perbedaan-perbedaan dengan keterbatasan data dan banyaknya cerita-cerita yang
21
Ibid., h. 67
40
sulit untuk ditafsirkan mengingat antara satu kitab dengan kitab lain sering terjadi perbedaan. Namun banyak hal yang sangat penting untuk diungkapkan dalam hal ini mengingat ada beberapa urutan yang menarik untuk ditelusuri keberadaanya. Gagasan mengenai negara kesatuan di wilayah Nusantara dan semenanjung Melayu pada zaman kejayaan Majapahit, mempunyai arti penting bagi perkembangan politik negara baik untuk Majapahit, maupun bagi kerajaan sesudahnya. 22 Majapahit memiliki sistem diplomatik yang cukup baik dengan kerajaankerajaan di luar kekuasaanya. Ada dua konsep yang diterapkan Karajaan Majapahit dalam mengelola negara yakni : Negara sahabat dan negara jajahan. Dalam pupuh 15/1 Prapanca menyebutkan nama negara di daratan Asia, yang terletak di pantai sebagai sahabat negara Majapahit, meliputi : Syangka (Siam) dengan nama lain Ayodhyapura, Dharmanagari atau Sri Thamarat, Marutma atau Martaban, dan Radjapura, Singhanagari, Campa, Kamboja dan Yawana atau Annam. 23 Negara-negara tersebut merupakan negara sahabat berbeda dengan beberapa negara di semenanung Melayu seperti Langkasuka, Klantan, Tringgano, Paka, Dungun, Tumasik, Klang, Keda, dan Djerai. Negara-negara tersebut dinyatakan oleh Slamet Mulyana bahwa seluruh semenanjung pernah menjadi jajahan Negara Majapahit. 24
22
Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit, (Jakarta: Balai Pustaka, 1965) h. 48 23 Ibid., h. 48 24 Ibid., h. 48
41
Sebagai imperium, nafas Majapahit sebetulnya tidaklah terlalu panjang. Menurut catatan Vlekke, kejayaan Majapahit hanya berlangsung selama empat generasi, yakni generasi Kertarajasa, yang mendirikan kerajaan itu pada tahun 1293, Jayanegara (1309-1328), Tribhuwana (1329-1350), dan Ayam Wuruk adalah raja Majapahit yang paling berhasil. Dia meninggal pada 1389, dan setelah kematiannya Majapahit mengalami kemunduran serius.25 I. Latar Belakang Berdiri Kerajaan Majapahit Latar belakang keberadaan Majapahit tidak akan terlepas dari peranan kerajaan Singasari, 26 mengingat Majapahit adalah kelanjutan dari Singasari yang menguasai tanah Jawa. Dalam Serat Pararaton, Majapahit berasal dari sebuah legenda sekelompok orang yang kehabisan bekal kemudian memakan buah pohon madja yang rasanya pahit kemudian dibuangnya buah tersebut, sejak itulah Majapahit disebut. Menurut Yamin cerita itu berisi perumpamaan, bahwa Majapahit didirikan atas pahit getirnya usaha rakyat. 27 Runtuhnya kerajaan Singasari pada tahun 1292 dan keruwetan pada awal masa pembentukan negara Majapahit di bawah pimpinan Sanggramawijaya mempunyai pengaruh terhadap kedudukan negara-negara bawahan di negeri seberang. 28 Negeri-negeri di seberang tidak mengakui Majapahit sebagai penerus kerajaan Singasari dan kerajaan-kerajaan kecil tersebut mendirikan (memerdekakan) diri dari Majapahit. 25
Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, h.
xvi. 26
Raja terakhir Singasari, Kertanagara (1268-1292) dikenal sebagai orang yang mahir dalam ilmu yang paling gaib. Dan setelah kematiaanya Majapahit muncul. Raja pertama Majapahit adalah keturunan dari Ken Arok dan menantu dari Kertanegara, lihat penjelasan lebih rinci dalam Ibid., h. 67-73. 27 Muhammad Yamin, Gadjah Mada, (Jakarta; Balai Pustaka, 1953) h. 10 28 Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 12.
42
Pengingkaran terhadap kekuasaan Majapahit setidaknya terlihat dalam Sumpah Nusantara yang diucapkan oleh Patih Amangku Bumi Gadjah Mada. Kerajaan Majapahit praktis harus mulai lagi memperluas jajahannya. Persiapan tersebut memakan waktu 40 tahun, yakni dari tahun 1292 sampai 1336. Masa itu merupakan masa konsolidasi pemerintahan Majapahit.29 Perkembangan terakhir peradaban Jawa pra-Islam berlangsung kurang dari se-abad. Kerajaan Majapahit yang didirikan pada 1293 oleh Nararya Sanggramawijaya dengan nama Abhiseka Kertarajasa Jayawardana. Dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, raja Majapahit itu disebut Brawijaya 30 , atau Wijaya. Kehilangan pengaruhnya bersamaan dengan kematian cucunya Hayam Wuruk pada 1389. 31 Kerajaan Majapahit berbeda dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya di Jawa. Raja Kertanagara telah memperkenalkan satu unsur baru dengan kebijakan luar negerinya yang berjangkauan jauh dan penerus-penerusnya tidak mau melepaskan klaim penguasaan atas Indonesia, yang ditetapkan oleh penguasa terakhir Singasari. Klaim tersebut terbungkus dalam bentuk semi-mitologis. Hal ini seperti di ceritakan oleh Prapança “seluruh Jawa takluk pada pemerintahannya (Wijaya, penj) dan bersukacita karena perkawinan sang raja dengan keempat putri Kertanagara“ 32 Satu dokumen dari tahun 1305 menyatakan bahwa sang raja, yang kini menyandang gelar seremonial Kertarajasa Jayawardhana, memasuki persekutuan
29
Ibid., h. 14. Ibid., h. 1. 31 Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, h. 75. 32 Ibid., h. 75. 30
43
mistik dengan empat putri, yang mewakili empat negeri: Bali, Malayu, Madura, dan Tanjungpura. Sejak persekutuan tersebut penguasaan formal atas sebagian besar Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan regalia raja-raja Majapahit. 33 Wijaya mulai memerintah pada tahun Saka 216 atau tahun Masehi 1294 setelah tentara Majapahit berhasil mengusir tentara Tartar. 34 Prabu Kertarajasa Jayawardana meninggalkan seorang putra bernama Jayanagara dari perkawinanya dengan putri melayu Dara Petak, alias Indraswesi, dan dua orang putri dari perkawinannya dengan Tribuana Tunggadewi. 2. Masa Kejayaan Majapahit Masa Kejayaan atau masa keemasan Majapahit menurut beberapa pengamat kerajaan Jawa dimulai dari kepemimpinan Hayam Wuruk dan kepatihan Gajah Mada, dari dua kepemimpinan tersebut luas wilayah kerajaan Majapahit meliputi : di sebelah timur Ambon atau Maluku, Seram, dan Timor; di semenanjung Melayu yakni Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dungun, Tumasik, Klang, Kedah, dan Djerai. 35 Program yang dicanangkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah Sumpah Nusantara, yakni sebuah keinginan dari Gadjah Mada untuk mempersatukan (memperluas) daerah jajahan Majapahit. Bunyi sumpah Nusantara itu seperti berikut: “Lamun huwus kalah nusantara, isun isun amukti palapa; lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana isun amukti
33
Lihat C.C. Berg, dikutif dari Ibid., h. 76 Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 1 35 Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan, h. 47 34
44
palapa.“ Artinya “ kalau Nusantara telah tunduk, saya baru akan beristirahat. Kalau Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjungpura (kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura) telah tunduk, pada waktu itu saya akan beristirahat. 36 Di bawah pimpinan Adityawarman, tentara Majapahit berhasil merebut kekuasaan Sumatera dari raja-raja kecil, daerah-daerah tersebut antara lain : Jambi, Palembang, Toba, Dharmaçraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Panai, Kampai, Haru atau Mandailing, Tumihang, Perlak, Samudera, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus. 37 Daerah jajahan Majapahit di Sumatera sangat Luas. Gadjah Mada dan Prapança berkata dalam abad ke-14 kepada segala pembaca surat-welingan yang ditingalkannya, surat tersebut seperti sebuah testamen : “Inilah daerah Nusantara, yang bersatu di atas pulau yang delapan, kami mengetahui mana yang menjadi tumpah darah kami, dan mana di luar batasan daerah!“ 38 Selain memperluas daerah jajahan, Kerajaan Majapahit pun mempunyai tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan pengawasan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci,
dan
untuk
menyusun
kekuasaan
36
politik
yang
semakin
Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 14, eksplorasi lebih banyak lihat catatan M. Yamin, Gadjah Mada, h. 48-53 37 Ibid., h. 15 38 M. Yamin, Gadjah Mada, h. 55
45
disentarlisasikan, 39 tetapi tanpa peleburan terirtorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, sistem sosio-kultural di dalam wilayah politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosio-kultural yang lain secara teritorial. 40 Hal yang paling menarik perhatian dari komunitas politik Majapahit adalah kekuasaannya yang bersifat teritorial. Struktur teritorial Majapahit bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitis dan menjadi proto type struktur-struktur teritorial kerajaan-kerajaan Jawa dikemudian hari. 41 Wilayah kerajaan di Jawa asli terbagi atas beberapa propinsi, yang terpenting di antaranya Kahuripan dan Kediri. Anggota-anggota keluarga raja yang terpenting dijadikan kepala di propinsi-propinsi tersebut. 42 Perkawinan menjadi salah satu ikatan yang paling epektif untuk menjamin kesetiaan para gubernur propinsi kepada raja. Jabatan gubernur diberikan sebagai hadiah kepada para hamba dinasti yang berjasa dan ada tendensi bahwa jabatan ini menjadi jabatan yang turun-temurun. 43 Pemerintah gubernur di propinsi, diorganisasi dengan cara yang sama seperti pemerintahan raja Majapahit, mereka mengangkat pegawai-pegawai bawahannya sendiri. Selanjutnya perlu dicatat, bahwa fungsi gubernur itu meliputi
39
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, (Surabaya: T.pn., 1993), h. 33 40 Ibid., h. 33 41 Ibid., h. 36 42 Ibid., h. 36 43 Ibid., 36
46
pertahanan wilayahnya, pengumpulan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti keperbendaharaan dan lumbung kerajaan. 44 Dari penjelasan di atas, jelas terlihat adanya tendensi perkembangan politik menuju sentralisasi administrasi dan monopolisasi mesin pemerintahan, di tangan sekelompok penguasa yang dikepalai oleh raja. Sentarlisasi ini berarti memperbesar kemuliaan raja dan juga mencegah terjadinya pemberontakan. Perkembangan pemerintahan kerajaan dapat terjadi melalui tiga tahap. Pertama, karena tidak adanya otonomi kota-kota; kedua, karena desa-desa tidak melahirkan perkumpulan atau badan lokal; ketiga, karena daerah diperintah oleh kerabat atau penyokong penguasa. 45
Rammeling menjelaskan bahwa di Jawa yang
berkembang adalah birokrasi patrimonial. Indikator birokrasi demikian itu adalah bahwa penguasa lokal bukan hanya pengikut dari pemegang kekuasaan pusat secara pribadi, tetapi masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa pusat. 46 Pola hubungan ini semakin menguatkan indikasi kuatnya pemerintahan pusat. Jabatan pusat di ibukota dikepalai oleh seorang patih (menteri tertinggi), yang memegang pengawasan atas pejabat-pejabat militer dan pemerintahan sipil. Fungsi juridiksi agama dijalankan oleh dhyaksa sebanyak dua orang, seorang untuk agama Shiwa dan seorang untuk agama Buddha. Di samping ketiga orang pejabat tinggi tersebut masih ada lima orang pejabat istana, yaitu tumenggung (= panglima), demung (= pengatur rumah tangga istana), kanuruhan (= penghubung 44
Ibid., 36 Ibid., h. 36 46 Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa” dalam Hans Antlöv dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 31 45
47
ke luar istana), rangga (= pembantu panglima) dan juru pengalasan (= komandan pasukan pengawal istana). 47 Namun di atas kekuasaan pembesar-pembesar istana tersebut, rajalah pemangku kekuasaan tertinggi dengan berbagai lambang yang bersifat magis dan mistis, yang mewujudkan kualitas perlengkapan-perlengkapan kekuasaan tersebut. Raja
memegang
administrasinya. 48
pengawasan
tertinggi
atas
kekuatan
militer
dan
Meluasnya dominasi raja mengharuskan desentralisasi
kekuasaan pribadinya. Gubernur-gubernur daerah (adhipati) adalah wakil tertinggi kekuasaan raja di daerah. 49 Hubungan antara raja dan pegawaipegawainya berbentuk sebagai hubungan yang dinamakan clientship, 50 hubungan semacam ini mungkin juga terdapat pada tingkat regional dan lokal. Hal ini membuktikan bahwa pada jaman Majapahit tidak terdapat birokrasi yang diorganisasi dengan diferensi-diferensi subordinasi jabatan yang jelas. 51 Seperti pada masyarakat agraris yang lain, di Majapahit agama memegang peranan yang sangat penting, hal ini terlihat dari wakil-wakil agama yang sangat banyak. Agama yang berkembang di jaman Majapahit adalah Syiwa, Budhha, Waisnawa, Syaman. Kebudayaan Majapahit banyak dipengaruhi oleh agamaagama tersebut, yang dipegang secara langsusng oleh pendeta-pendetanya. 52
47
Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, h. 36-37. 48 Ibid., h. 37 49 Ibid., h. 37 50 Clienship adalah ikatan anatara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. Lihat Ibid., h. 37 51 Ibid., h. 37 52 Ibid., h. 37
48
3. Masa Kehancuran Majapahit Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada tahun 1478, dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi yang berarti tahun 1400 Jawa. Keruntuhan Majapahit ini membuat daerah pantai seperti, Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus menyatakan diri lepas dari kekuasaan Majapahit. 53 Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat banyak motif kehancuran Majapahit diantaranya : Pertama, keadaan-keadaan dalam negeri, yaitu : a. Timbulnya perang saudara memperebutkan kekuasaan, yang paling terkenal adalah terjadinya perang Paregreg.; b. Pemerintah raja yang lemah; c. Beberapa raja melepaskan diri dari Majapahit. Kedua, masalah ekonomi, yaitu : a. Kemunculan kota Malaka yang mengambil perdagangan Sriwijaya dan Majapahit, hingga kota tersebut menjadi pusat perdagangan seluruh nusantara; b. Segala macam perdagangan tidak dapat dikuasai lagi oleh Majapahit sendiri dan jatuh ke tangan pihak lain; c. Kota perdagangan di Jawa tidak mendapat perlindungan dari Majapahit lagi, oleh karena itu mereka mencoba berdiri sendiri.54 Umar Hasyim menambahkan bahwa perkembangan Islam termasuk salah satu awal kehancuran Majapahit. 55 Dalam penelitiannya tentang jaringan ulama di Kendal, Ismawati menggambarkan lebih kategoris keruntuhan Majapahit sebagai negara Maritim
53
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga., h. 52-53. Ibid., h. 54 55 Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, (Kudus: Menara, t.t.), h. 34-35 54
49
disebabkan oleh beberapa aspek sosial politik, ekonomi, dan keagamaan sebagai berikut 56 : 1. Aspek Sosial Politik : a. Perang saudara Paregreg menyebabkan kerajaan maritim Majapahit mundur secara mencolok, kini armada lautnya tidak mampu lagi menguasai wilayah-wilayah luar Jawa secara efektif. Munculnya berbagai kemelut internal dan eksternal, seperti pemerintahan Liang Tau-Ming yang didukung para petualang dan bajak laut Cina membuat pemerintahan Majapahit semakin tidak mampu lagi mengendalikannya. b. Kemerosotan kekuasaan Majapahit mengakibatkan penciutan wilayah dan runtuhnya kewibawaan. Kekuasaan Majapahit di Jawa hanya tinggal inti kekuasaan sembilan kadipaten, yaitu: Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabumi, dan Trowulan. Masing-masing kadipaten itu dikuasai keluarga raja sebagai bupati, dibantu patih atau Amangkubumi. 2. Aspek Ekonomi a. Sementara armada laut Majapahit mengalami kemunduran, pedagang muslim telah tumbuh sebagai kekuatan baru menggantikan kedudukan pedagang non-muslim. Pedagang muslim tersebar di pesisir utara Jawa dan menjadikan pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa sebagai pangkalan, tempat pelaut membeli air dan perbekalan untuk masa pelayaran yang panjang.
56
Ismawati, Continuity And Change ; Tradisi Pemikiran Islam di jawa Abad XIX – XX, (Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), h. 46-49
50
b. Akibat mundurnya kekuatan maritim Majapahit, terjadilah perubahan arus perdagangan. Keberadaan pedagang asing muslim yang tinggal di pesisir utara Jawa sejak abad ke-11 sebagai komunitas kecil, menjadi semakin berkembang pengaruhnya. Mereka menguasai perdagangan di pelabuhanpelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa, tempat penimbunan komoditi beras ekspor yang akan dikulak para pedagang asing. Keberadaan pedagang asing muslim memperoleh dukungan para petani yang selama ini tidak memperoleh peluang untuk terlibat pada sirkulasi beras dan komoditi lainnya. Para petani sangat mengharapkan keberadaan pedagang asing muslim itu dapat mengakhiri kondisi ketertindasan dan kemiskinan mereka. 3. Aspek Keagamaan a. Praktik upacara Syiwa-Budha yang disebut Thantra Bhairawa telah berkembang luas pada masa itu. Upacara ini dilakukan dengan Ma-jima, yaitu: melakukan makan mamsha (daging) dan matsya (ikan) sebanyak-banyaknya, meminum madya (minuman keras dicampur darah musuhnya) sepuas-puasnya, melaksanakan maithuna (persetubuhan) dengan lawan jenis sebanyak-banyaknya dan melaksanakan mudra (semedi) yang terfokus sesudah melakukan empat hal sebelumnya. Khususnya para bangsawan melakukan upacara Ma-lima, karena sangat yakin akan menjadi sakti dan digdaya. Tantra Bhairawa telah lama dipraktikkan tidak saja di Jawa, namun juga di Sumatera dan Bali sejak masa Erlangga, raja Kahuripan. Raja Kertanegara dan kerajaan Hindu-Budha Singasari, digelari dengan nama Joko Dolok karena terkenal melakukan ritual Tantra Bhairawa. Tradisi ini semakin memerosotkan pemerintahan Majapahit.
51
b. Para pedagang muslim yang bermigrasi di pelabuhan pesisir utara Jawa membangun masjid dan mendatangkan guru-guru dari tempat asal mereka untuk mengajar anak-anak hasil perkawinan mereka dengan perempuan setempat. Mereka berinteraksi dengan masyarakat bawah dan atas, seperti aristokrat dan pemuka agama kota pelabuhan. Pengaruh mereka menarik simpati masyarakat untuk memeluk agama Islam. Karena dengan agama baru, masyarakat bawah dapat meningkatkan statusnya, memperoleh derajat sama dalam hidup sehari-hari karena Islam tidak membenlakukan sistem kasta. C. Demak Sebelum membahas Demak sebagai sebuah kerajaan Islam di Pulau Jawa, tentu perlu dieksplorasi mengenai keberadaan Islam sebagai agama. Bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Nusantara khususnya di pulau Jawa. Berdasarkan data artefak dan teks dapat diketahui bahwa Islam disyiarkan di Nusantara melalui tiga saluran, pertama, oleh para pedagang Muslim dalam jalur perdagangan, yang datang dari Arab, Persia, India, dan tempat lain. Kedua, oleh para ulama lokal yang telah menguasai pengetahuan Islam melalui studi literatur, dan para pengikut sufi yang datang dari luar yang sengaja bertujuan mengajarkan Islam dalam segala aspeknya serta meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman; ketiga, melalui institusi kekuasaan politik yang dipadukan dengan perluasan kepentingan ekonomi. 57 Asia tenggara merupakan sebuah kawasan yang menjadi wilayah persinggahan perdagangan internasional sejak awal masehi. Bahkan kawasan yang 57
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,
h. 47
52
disebut Nusantara telah menjadi sebuah magnet persinggahan antara kawasan Asia Timur dan Asia Selatan. Tulisan yang membicarakan mengenai masuknya Islam ke kepulauan yang kemudian dikenal dengan Indonesia, memang sangat jarang hal ini terkait dengan kekurangan bahan tulisan atau informasi yang bersumber dari fakta peninggalan Islam. Inskripsi tertua tentang Islam tidak membicarakan kapan masuknya agama Islam ke Nusantara. Pada inskripsi ini hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 masehi. 58 Teori-teori yang kemudian sering dipakai untuk mengidentifikasi keberadaan awal Islam di Indonesia dan asalnya mengerucut menjadi tiga teori besar yang sering dipakai, yakni teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Teori-teori tersebut adalah teori yang sering dipakai oleh sejarawan, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat teori-teori lain yang menjelaskan keberadaan Islam di Nusantara. Pertama, Teori Gujarat, teori ini berdasar kepada asal mula dibawa agama Islam ke kepulauan Nusantara. Peletak dasar teori ini menurut Ahmad Mansyur Suryanegara adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises. Snouck lebih menitik beratkan pandanganya kepada Gujarat berdasarkan : Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang
58
Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1995), h. 73
53
terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dan Gujarat. 59 Teori Gujarat yang dirintis oleh Snouck ternyata memberikan andil besar bagi para sejarawan Barat sebagai dasar pijakan teori. W.F. Stutterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13. Pendapatnya ini di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera, yakni Malik Al-Saleh yang wafat tahun 1297. W.F. Stutterheim berpendapat bahwa relief nisan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. 60 Untuk persoalan awal kedatangan Islam di Nusantara, J.C. Van Leur berbeda dengan W.F. Stutterheim. J. C. Van Leur berpendapat bahwa pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. J. C. Van Leur menegaskan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidak terjadi pada abad ke-13 melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan agama Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat adanya perubahan politik yang terjadi di India. 61 J. C. Van Leur menganggap bahwa pada abad ke-13 merupakan perubahan jalur perdagangan di Asia Tenggara yang tadinya melalui selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan ini mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan Islam di Malaka. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16 ketika terjadi perubahan politik di India: runtuhnya kekuasaan Brahmana yang diikuti dengan timbulnya 59
Ibid., h. 75 Ibid., h. 75-76 61 Ibid., h. 76 60
54
kekuasaan politik Mongol (1526) dan jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang memberi peluang kepada agama Islam untuk mengembangkan pengaruhnya di Nusantara. 62 Bertolak dari kesadaran struktural yang diperkenalkan oleh Weber, J. C. Van Leur antara lain membantah kemungkinan pedagang sebagai pembawa kebudayaan India dan membantah kemungkinan penaklukan dari India. Namun Leur tidak membantah bahwa Islam datang ke Indonesia melewati Jalan Dagang. Berbeda dengan sejarawan lainya Leur lebih melihat motif-motif berkembangnya Islam di Indonesia. Leur menyebutkan bahwa perkembangan Islam disebabkan oleh “situasi politik dan motif politis”. Kecenderungan peng-Islam-an makin lebih politis dengan kedatangan Barat Kristen. 63 Bila diperhatikan baik W.F. Stutterheim maupun J. C. Van Leur tidak bisa melepaskan diri dari grand teori Gujarat. India sebagai pusat persebaran awal Islam di Nusantara namun Leur lebih menkankan motif politis sebagai dasar berkembangnya Islam di wilayah Nusantara. Pada umumnya kebanyakan penulis lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam. Seperti yang dikerjakan oleh Bernard H. M. Vlekke dan Schrieke yang melihat terdapat hubungan erat antara Malaka dengan Cambay, khsusnya dalam perdagangan. 64 Clifford Geertz dalam The Religion Of Java juga masih berpendapat masuknya Islam ke Nusantara berasal dari India. Perkembangan ajaran Islam di
62
Ibid., h. 76-77 Taufik Abdullah, “Tesis Weber dan Islam di Indonesia” dalam Taufik Abdullah Ed, Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta : LP3ES, 1993), h. 29 64 Suryanegara, Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, h. 77-78 63
55
Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha bahkan Animisme, sebagai ajaranajaran yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Geertz berpendapat barcampur baurnya ajaran Islam dengan tradisi-tradisi terdahulu karena terputusnya hubungan Indonesia dengan negara sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi nama Arab, Raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat masih mempraktikan ajaran Animisme. Baru pada abad ke-19 ketika hubungan antara Makkah dan Indonesia terjalin kembali, karena banyaknya umat Islam yang berhaji ke Mekkah, ajaran Islam mulai kembali kepada ajaran yang telah digariskan. Sekalipun demikian yang mampu menyerap ajaran Islam asli hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sebagian besar rakyat Indonesia masih dikatakan belum mempraktikan ajaran Islam yang sebenarnya. 65 Selain sarjana-sarjana yang telah disebutkan di atas, belakangan sarjana seperti Harry J. Benda pun berpendapat senada dengan pendahulunya. Bahkan Harry J. Benda menegaskan bila agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara mungkin tidak akan menemukan tempat untuk memasuki pulau-pulau Indonesia, terlebih pulau Jawa. Benda membuktikan bahwa sejak lama terdapat perkampungan Arab di pesisir utara Jawa namun baru pada abad ke-15 dan ke-16 agama Islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Benda berpendapat hanya dengan pemantulan dua kali,
65
Ibid., h. 79
56
agama Islam mendapatkan pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa yang dipengaruhi oleh India. 66 Kedua, Teori Makkah. Teori ini diperkenalkan oleh Hamka. Hamka berpendapat bahwa Agama Islam masuk ke Nusantara bukan abad ke-13 tetapi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7 agama Islam telah masuk ke Nusantara. Berbeda dengan teori Gujarat yang hanya melihat aspek perdagangan dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara dengan bukti-bukti fisik seperti inskripsi batu nisan Malik Al-Saleh yang memiliki kesamaan dengan batu nisan yang terdapat di Cambay India. Hamka menggambarkan bahwa agama Islam di Nusantara berasal dari Makkah dan Mesir bisa dilihat dari ajaran Madzhab Syafi’i yang banyak di anut oleh penduduk Nusantara dan Makkah. 67 Dalam penelitian Desertasi Ismawati, Countinuity and Change ; Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad XIX-XX, dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara Timur Tengah (Makkah) dengan Indonesia. Hal ini senada dengan penelitian Dhafier, Azra serta Martin van Bruinessen yang mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Makkah dan Madinah. 68 Azra mencatat proses dan alur historis yang terjadi di Nusantara dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara, menurut Azra tedapat perubahan penting dalam bentuk interaksi yang terjadi, dari hubungan 66
Ibid., h. 80 Ibid., h. 81-90 68 Ismawati, Continuity And Change., h. 20 67
57
ekonomi dan dagang, kemudian disusul hubungan politik-keagamaan, dan selanjutnya hubungan intelektual keagamaan. 69 Penyebaran keilmuan Islam yang terjalin langsung dengan Makkah di kawasan Jawa telah dilakukan paling tidak sejak masa Maulana Malik Ibrahim abad ke-14. Dia melakukan penyebaran Islam di wilayah pesisir utara Jawa, bahkan
pernah
mencoba
mengajak
raja
Hindu-Budha
Majapahit,
Wikramawardhana (berkuasa 788-833 H/ 1386-1429 M) untuk memeluk Islam meskipun gagal. 70 Ketiga, Teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah P. A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta madzhab Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup dikalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia. Diantara kesamaan kebudayaan tersebut adalah 71 : Pertama, peringatan 10 Muharam atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidina Husain.peringatan ini bisa dilihat di Minangkabau. Kedua, Adanya kesamaan ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran AlHallaj. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Qur’an tingkat awal :
69
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 23. 70 Ibid., h. 30. lihat juga : Ismawati, Continuity And Change., h. 5. 71 Suryanegara., Menemukan Sejarah ; Wacana pergerakan Islam di Indonesia, h. 90-91
58
Bahasa Iran
Bahasa Arab
Jabar – zabar
fathah
Jer – ze-er
Kasrah
P’es – py’es
Dhammah
Bausani menyimpulkan bahwa paling sedikit 90% dari kata-kata Persia dalam bahasa Melayu menunjukan benda-benda kongkrit, dan tidak sampai 10% berupa paham-paham abstrak atau adjektif. 72 Keempat, nisan pada makan Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresk dipesan dari Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang utama di daerah Malabar. Perbedaan mendasar dari ketiga teori tersebut adalah mengenai masalah cara atau motif. Bagi Teori Gujarat, bentuk peninggalan fisik lebih mendominasi. Teori Persia lebih melihat kesamaan-kesamaan dalam ritual keagamaan dan kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat Indonesia sedangkan Teori Makkah seperti di jelaskan Hamka berusaha menggali inti ajaran yang di anut sebagai sebuah gejala yang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, masuk dan diterimanya mazhab Syafi’i diperkuat oleh penelitian berikutnya mengenai Jaringan Ulama di Nusantara karya Azyumardi Azra yang lebih menitikberatkan adanya hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah. Dalam banyak kasus, orang-orang yang menjadi raja-raja pesisir sudah menjadi Muslim sebelum kedatangan mereka di Jawa; meskipun hal ini tidak mengesampingkan usaha mereka untuk menandingi aristokrasi Jawa non-Muslim. 72
G.W.J. Drewes, “Pemahaman Baru tentang kedatangan Islam di Indonesia.” Dalam Ahmad Ibrahim, dkk, ed. Islam Asia Tenggara: Perspektif Sejarah (Jakarta : LP3ES, 1989). 11-12.
59
Bagi raja-raja pesisir semacam ini, perubahan kultural utama yang mereka alami tentunya adalah Jawanisasi, bukan Islamisasi. 73 Seperti diterangkan oleh Ricklef bahwa di pesisir utara manapun, tidak terbukti adanya ide mengenai Islam sebagai suatu “revolusi dari bawah“, Ricklef mengatakan bahwa “kemungkinan para kawula kerajaan beragama Islam karena raja-raja mereka beragama Islam.“ 74 Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme, dan hanya lapisan luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah proses islamisasi di Jawa, tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa istana, bahkan dalam cerita Babad Tanah Jawa, dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak agama baru itu. Bila sang raja menolak, akibatnya tentu tidak mudah bagi Islam untuk masuk ke dalam lingkungan istana. Karena itu, para penyebar agama Islam kemudian lebih menekankan kegiatan dakwahnya di lingkungan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah-daerah pesisir pulau Jawa. Islam diterima dengan baik oleh masyarakat pesisir utara Jawa ini.75 Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Islam memperoleh penganut pertamanya di kota-kota pantai utara. Salah satu penyebar Islam paling telaten adalah kelompok wali sanga, para wali meskipun masing-masing hidup tidak sejaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidak sembarangan.
73
M.C. Ricklef, "Islamisasi di Jawa: Abad ke-14 Hingga ke-18” dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. (Jakarta : LP3ES, 1989) h. 79 74 Ibid., h. 79 75 Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003) h. 66
60
Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor geostrategi yang sesuai dengan zamannya. 76 Pantai utara menjadi basis dan pusat berbagai keraton Islam yang independen, yang akhirnya berhasil menghancurkan Majapahit di daerah pedalaman. 77 Salah satu basis kekuataan Islam pesisir adalah Demak, Demak merupakan kerajaan (kesultanan) yang berbasis di Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan Pesisir yang banyak menorehkan sejarah penyebaran Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa. Ada dua hal yang perlu disebutkan di sini, sehubungan dengan adanya Islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lama telah berkembang lebih dulu jika dibandingkan dengan agama Islam. Kedua, meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, tetapi islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 (periode Gresik) dan ke-16 (periode Demak) dengan momentum kejatuhan Majapahit, keraton Hindu Jawa pada tahun 1478. 78 1. Latar Belakang Berdiri Karajaan Demak Demak merupakan sebuah kesultanan (kerajaan)
79
Islam di pesisir utara
Jawa Tengah. Terdapat beberapa pendapat tentang dari mana asal istilah Demak.
76
Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam diIndonesia, (Bandung : MIzan, 1995), h. 104 77 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural., h. 39 78 Ibid., h. 45-46 79 Istilah kerajaan dan kesultanan dibaca dengan pengertian sama, yakni sebuah sistem kerajaan monarki yang pucuk kepemimpinan dilanjutkan secara turun-temurun, namun dengan pembedaan dalam pemelukan agama, kalau kerajaan disebutkan kepada sistem pemerintahan yang beragama Hindu-Budhha, sedangkan kesultanan disandangkan kepada sistem negara dengan pendudukan Islam. Istilah-istilah atau sebutan bagi seorang pemimpin tertinggi kerajaan dapat berbeda menurut zaman dan kebiasaan yang berlaku, seperti “datu” (di Sriwijaya), Prabu di Majapahit, Raja seperti tampak dalam Hikayat raja-raja Pasai, dan Sultan (setelah Islam tiba). Lihat Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), h. 118
61
Pertama, Demak berasal dari bahasa Kawi yang artinya pegangan atau pemberian. Kedua, Demak barasal dari bahasa Arab dama’, yang artinya air mata.pemberian nama tersebut dikaitkan dengan usaha susah-payah yang dilakukan untuk menegakan Islam di Jawa. Ketiga, Demak juga berasal berasal dari bahasa Arab dimyat, Banyak terdapat berita yang berlainan mengenai keberadaan Demak namun Demak seperti telah diketahui oleh para peneliti maupun masyarakat banyak merupakan salah satu tonggak keberhasilan awal Islam di Jawa. Demak hadir ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada tahun 1478, dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi yang berarti 1400 Jawa. Keturunan Majapahit ini membuat daerah pantai seperti, Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus menyatakan diri lepas dari kekuasaan Majapahit. Setelah kerajaan Majapahit redup dari pangung sejarah Nusantara, kemudian muncul kerajaan baru, yaitu kesultanan Demak, yang rajanya masih keturunan dari Dinasti Majapahit. Sultan Demak yang pertama bernama Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar. Beliau adalah putra Prabu Brawijaya V80 , raja Majapahit terakhir. Sebelum mendirikan Kerajaan Demak, Raden Patah terlebih dahulu membina basis pesantren. 81 Raden Patah dalam menjalankan
80
Dalam kitab Tembang Babad Demak disebutkan bahwa Brawijaya merupakan raja terakhir Majapahit keturunan Raden Wijaya, dalam kitab tersebut disebutkan bahwa tahun 1478 Majapahit diserang Girindrawardhana dari keling. Akibat serangan tersebut Brawijaya V gugur. Lihat Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 37 81 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural, h. 53
62
pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, yakni Wali Sanga. 82 Peradaban Islam Jawa mulai berkembang lebih kukuh sejak berdirinya Kerajaan Demak. De Graaf mengatakan bahwa peradaban Islam mampu mengganti peradaban Hindu Jawa kuno Majapahit. De Graaf 83 mengatakan “baru setelah kemenangan politik dan budaya menyebabkan ajaran dan tatanan baru menurut Islam mudah diikuti oleh masyarakat di kepulauan Nusantara.“ Ada dua pendapat tentang kejatuhan kerajaan Majapahit. Pertama perang dengan Demak dan kedua kejatuhan Majapahit diakibatkan karena kelemahan ekonomi serta keruntuhan dalam negeri sendiri. Pergolakan-pergolakan yang terjadi antara kota perdagangan dan Majapahit pada dasarnya karena perbedaan agama. Kota-kota perdagangan di pesisir utara telah dipengaruhi Islam sedangkan Majapahit masih beragama Hindu. 84 Perdagangan dengan luar negeri dikuasai oleh orang-orang asing seperti para saudagar muslim dari Persia, Gujarat (India Selatan), dan juga orang-orang Cina. Pada akhir abad ke-14 kekuasaan Majapahit mulai mundur dan timbul perpecahan dari dalam (perang Paregreg), sedangkan di pesisir mulai tumbuh subur kota-kota perdagangan yang dikuasai oleh orang-orang Islam. Sekitar 1520 M. Kekuasaan Majapahit telah runtuh, dan beralih ke kesultanan Demak di daerah pantai utara Jawa Tengah. 85
82
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah I, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 211. 83 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, h. 55 84 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga; Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural., h. 54 85 Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, h. 57
63
2. Masa Kejayaan Demak Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Demak, yaitu Raden Patah, bergelar Sultan Syah Alam Akbar I (1478-1513), Pati Unus, bergelar Sultan Syah Alam Akbar II (1513-1521), Sultan Tranggana, bergelar Sultan Syah Alam Akbar III (1521-1546), Sultan Prawata, (1546-1561). 86 Sulit untuk melacak pada era dan kepemimpinan siapa Kesultanan Demak mencapai kejayaannya, sebab bagitu singkatnya kesultanan ini berdiri hanya sekitar 4 (empat) kepemimpinan 87 . Jika disamakan dengan pengaruh Majapahit yakni mengenai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dengan arsitek patih Gadjah Mada, maka dapat dilacak bahwa kesolidan dan luasnya pemerintahan Majapahit mampu mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara di bawah kendali Majapahit. Dengan data perluasan wilayah tersebut setidaknya Demak pun mengalami perluasan wilayah yakni bardaulatnya kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Jawa dari bagian barat sampai bagian timur pulau Jawa. Tokoh yang paling menonjol di antara “raja-raja pesisir“ Muslim yang merdeka adalah Demak. Semula raja-raja Demak memperluas kekuasaan mereka ke arah barat. Ekspansi Demak ke Jawa Barat dimulai dengan ekspedisi Syeh Nurullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati, yang berturut-turut
86
Ibid., h. 55 Kesultanan Demak baru resmi berdiri ketika kekuatan Majapahoit telah benar-benar hancur. Raja pertama kesultaan Demak adalah raden Fatah yang merupakan salah satu putra keturunan raja Brawijaya dari Majapahit. Kepemimpinan beliau hanya berlangsung singkat, yakni tidak lama setelah kerajaan Majapahit benar-benar luluh lantah, raden Fatah meninggal dunia tahun : 1513 M 87
64
berhasil mendirikan kerajaan Cirebon dan Banten. 88 dan ketika masih berada dalam dinas pemerintahan Majapahit mereka menaklukan Cirebon serta tempattampat lain di sepanjang jalur mereka. 89 Pada waktu kejatuhan Malaka ke tangan orang Portugis pada tahun 1511 Masehi, Demak justru mencapai kejayaannya. Pati Unus salah satu sultan Demak sangat giat memperluas dan memperkuat kedudukan Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam. Pada tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin armada menggempur Malaka untuk mengusir orang Portugis. Sayang usaha ini gagal, armada Portugis ternyata lebih unggul. 90 Masa pemerintahan Sultan Trenggana sendiri berhasil menaklukan sisasisa Keraton Mataram Kuno di pedalaman Jawa Tengah dan juga Singasari Jawa Timur bagian selatan. 91 Ketika Demak sebagai kota pelabuhan sedang mengalami kejayaan politis, agama,
kebudayaan
dan
perdagangan,
penguasa
sangat
memperhatikan
penyebaran agama. Masyarakat Jawa Tengah sebelumnya bermata pencaharian pokok pertanian, meski perdagangan merupakan mata pencaharian penting pula. Hal ini terbukti dengan berpindahnya kerajaan Hindu Mataram dari pedalaman Jawa Tengah ke Jawa Timur abad ke-9 yang memiliki latar belakang perdagangan. Dengan perdagangan itu sebagian masyarakat yang tinggal di daerah pesisir lebih dinamis, cepat terpengaruh dan menerima kebudayaankebudayaan asing. Islamisasi di daerah pesisir memperoleh perhatian dari 88
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992) h. 30 89 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, ibid. h. 36 90 Ibid., h. 61 91 Ibid., h. 36
65
penguasa setempat, karena di pusat kadipeten itu segera diselenggarakan pengajaran agama. 92 Kebesaran dan luasnya pengaruh Demak tentu ditopang oleh sebuah kekuatan yang sangat solid, diantara penopang kekuatan dan disegani dari sisi pengaruh adalah wali sanga. Peranan wali sanga memang sangat sentral di Demak dan islamisasi Jawa, Para wali tersebut memiliki otoritas temporal dan spiritual yang sangat kuat. Perluasan wilayah dan mitra kerajaan pun kian bertambah di sepanjang pantai utara Jawa, hal ini berkat kebesaran nama para wali sanga. Di sebelah barat berdiri dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh, yakni Cirebon dan Banten. Dua kerajaan ini mampu menggeser dominasi kerajaan Padjajaran. Pendiri dua kerajaan tersebut adalah salah seorang dari sembilan wali yang terhimpun di Demak, yakni Sunan Gunung Djati. Selain perluasan wilayah tentu masalah kejayaan tidak hanya dilihat dari luasnya wilayah jajahan atau daerah yang takluk, jauh daripada itu penyebaran Islam sebagai tonggak perjuangan tentu harus diakui sebagai keberhasilan Demak sebagai sebuah kerajaan yang merakyat. Wali sanga sebagai sentral dari penyebaran Islam di Jawa memiliki peran yang sangat strategis dalam penyebaran agama Islam dan kokohnya pondasi awal kesultanan Demak, meskipun keberadaan para wali diluar ring pemerintahan. Hasanu Simon menggambarkan bahwa keberadaan wali sanga di Nusantara tidak langsung menjadi, namun merupakan sebuah proses panjang,
92
Ismawati, Continuity And Change., h. 85
66
Simon menyebutkan bahwa terdapat enam angkatan wali sanga yang menyebarkan ajaran Islam di bumi Nusantara. Berikut adalah nama-nama Anggota Wali sanga menurut angkatannya 93 : Angkatan I : 1404-1421 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
M. Malik Ibrahim Maulana Ishaq M. A. Jumadil Kubro Muh. Al-Maghrobi Maulana Malik Isro’il Muh. Ali Akbar Maulana Hasanuddin Maulana Aliyuddin Syekh Subakir
Angkatan II : 1421-1436 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sunan Ampel Maulana Ishaq M. A. Jumadil Kubro Muh. Al-Maghrobi Maulana Malik Isro’il Muh. Ali Akbar Maulana Hasanuddin Maulana Aliyuddin Syekh Subakir
Angkatan IV : 1463-1466
Angkatan V : 1466-1478
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sunan Ampel Sunan Mbonang M. A. Jumadil Kubro Muh. Al-Maghrobi Ja’far Sodik Sunan Gunung Djati Sunan Giri Sunan Drajat Sunan Kalijogo
Sunan Giri Sunan Ampel Sunan Mbonang Sunan Kudus Sunan Gunung Djati Sunan Drajat Sunan Kalijogo Raden Fatah Fathullah Khan
Angkatan III : 1436-1463 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sunan Ampel Maulana Ishaq M. A. Jumadil Kubro Muh. Al-Maghrobi Ja’far Sodik Syarif Hidayatullah Maulana Hasanuddin Maulana Aliyuddin Syekh Subakir
Angkatan VI : 14781. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sunan Giri Sunan Ampel Sunan Mbonang Sunan Kudus Sunan Gunung Djati Sunan Drajat Sunan Kalijogo Sunan Muria Sunan Pandanaran
Tabel 3 Nama-nama Anggota Walisanga Menurut angkatan Kalau kita perhatikan dari sembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Kesembilan wali tersebut membagi kerja dengan rasio 5 : 3 : 1. 94
93 94
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, h. 64 Ahmad mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah. Mizan. h. 104
67
Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali. Di sini ditempatkan 5 wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah di Gresik. Setelah wafat, wilayah garapannya dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. 95 Kalau kita perhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, kesemuanya mengambil tempat “kota bandar perdagangan” atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam yang disampaikan oleh para da’i yang mempunyai profesi sebagai pedagang. 96 Berkumpulnya kelima wali ini di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri, di Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Pengambilan posisi di pantai ini, sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang rempah-rempah dari Indonesia Timur. Sekaligus juga berhubungan dengan pedagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari pedalaman wilayah Kediri dan Majapahit.97 Seperti dikemukakan oleh D.H. Burger dan Prajudi dalam Sejarah Sosiologis dan Ekonomis Indonesia, penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama. Penyebarannya lebih banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
95
Ibid., h. 104 Ibid., h. 104 97 Ibid., h. 105 96
68
pemilihan tempat para wali dalam dakwahnya lebih banyak mengambil posisi Bandar perdagangan dari pada kota pedalaman. 98 Di Jawa Tengan para wali mengambil posisi di Demak, Kudus, dan Muria. Sasaran dakwah para wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda dengan Jaw Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindu dan Budha sudah tidak berperan lagi. Hanya para wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindu dan Budha. Saat itu para wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola-pikir masyarakat. Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Instrumen gong juga perlu diubah, yaitu secara lahiriyah tetap seperti biasanya, tetapi maknanya diislamkan. Di Jawa Barat proses islamisasi hanya ditangani seorang wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati. Penentuan tugas hanya oleh seorang wali untuk Jawa Barat, tentu berdasarkan pertimbangan yang rasional. Saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di Sumatra dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Djati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur. Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa Tengah dan Indonesia Timur, ataupun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu,
98
Ibid., h. 105.
69
pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, yang mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya. 99 Peranan wali sanga ini terlihat sentral dalam mengemban misinya untuk menyebarkan Islam, setidaknya dengan ajaran dan kemampuan berpolitiknya kekuatan Islam berkembang pesat di pulau Jawa. Tidak bisa dipungkiri bahwa bagian barat Jawa yakni kesultanan Banten dan Cirebon merupakan kepanjangan tangan dari peran serta wali sanga di Jawa. Pembagian kekuasaan ini dibagi kepada orang-orang yang telah terpercaya tidak akan memberontak ke Demak sebagai sentrum perjuangan Islam, hal ini akan terlihat dari pengangkatan Sultan di Cirebon dan Banten yang masih bagian dari wali sanga yakni Sunan Gunung Djati yang diteruskan oleh putranya Hasanudin. 3. Masa Kehancuran Demak Seperti halnya kerajaan-kerajaan lainya di Pulau Jawa, Demak pun mengalami kemerosotan bahkan hancur lebur. Masalah suksesi kepemimpinan menjadi salah satu penyebab keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan tidak dapat dielakan lagi. Seperti halnya Majapahit, Demak mengalami kehancuran karena pondasi sistem yang dipakai oleh kerajaan tidak kokoh. Dalam sistem kerajaan, kekerabatan menjadi pondasi kepercayaan dan ikatan dalam pemerintahan, namun landasan kekeluargaan inipun menjadi penyebab perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga, ikatan inipun yang
99
Ibid., h. 106
70
menimpa kesultanan Demak. Dengan wafatnya Pangeran Trenggana, timbulah perebutan antara anak dan kakek Trenggana. Kakek Trenggana terbunuh dia lebih dikenal dengan sebutan Seda Lepen. Kematian Seda Lepen dibalas oleh putranya Arya Penangsang dengan membinasakan anak Trenggana yang bernama Pangeran Prawata beserta keluarganya. 100 Perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga terus berlangsung tetapi akhirnya yang berkuasa ialah Adipati Pajang (sebelah barat daya kota Solo sekarang) bernama Hadiwijaya, yang lebih terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir. 101 Dalam pertempuran, Jaka Tingkir berhasil membinasakan Arya Penangsang dan keraton Demak dipindahkan olehnya ke Pajang (1568) dengan tindakan ini maka habislah riwayat Keraton Demak. 102 Seperti dijelaskan di atas, wali sanga mempunyai pengaruh yang cukup kuat untuk kemajuan Islam dan tegaknya kesultanan Demak. Selain kecerdikan dan kepandaiananya dalam berdakwah ternyata para wali sanga sangat piawai dalam berpolitik, tidak jarang suksesi akhirnya melibatkan legitimasi para wali sehingga terdapat beberapa pertentangan antara wali-wali tersebut. Wali sanga atau yang lebih terkenal dengan sebutan wali sembilan memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Jawa. Awal mula kedatangan dari wali sanga adalah ketika terjadi pertempuran di Jawa yakni sebuah suksesi kepemimpinan Majapahit yang berujung peperangan yang lebih dikenal dengan perang Paregreg. Para saudagar Gujarat yang beragama Islam memberitahukan
100
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, h. 38 Jaka Tingkir merupakan salah satu menantu Sulatan Trenggana 102 Ibid. h. 38 101
71
kepada sultan Muhammad I bahwa di Jawa sedang terjadi peperangan saudara, sehingga Sultan Mahmud mengutus beberapa orang dengan keahlian di bidang irigasi dan sedikit paham mengani agama Islam. Selain masalah suksesi kepemimpinan, masalah ajaran agamapun menjadi sebuah permasalahan tersendiri dalam kalangan Islam. Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan (mayoritas) anggota walisanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arabsentris menjadi Islam kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan GIRI II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan tentang ajaran Islam yang murni. 103 Menurut dokumen Koprak Ferrara, sebenarnya Syekh Siti Jenar juga termasuk anggota walisanga angkatan keempat. Namun dalam naskah apa saja tokoh ini tidak pernah tercantum sebagai anggota walisanga, mungkin karena jangka waktunya yang tidak lama, atau karena kemudian dikeluarkan bahkan dihukum mati. Dalam rapat pertama walisanga angkatan keempat pun karena
103
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61
72
pandangannya yang menyimpang itu. Maulana Muhammad Al-Maghrobi sudah memperingatkan dengan ancaman bahwa Syekh Siti Jenar dapat dihukum mati. 104 Perbedaan pandangan dan cara pengajaran Islam yang dianut oleh para wali setidaknya menjadi salah satu penyebab hancurnya kerajaan Demak. Setelah kerajaan Demak hancur, kerajaan kemudian dipindahkan ke Pajang oleh Jaka Tingkir salah satu kerabat Syekh Siti Jenar. Dua kutub wali yang disebutkan di atas yakni futiah dan Abaah,
kaum putihan adalah golongan yang ingin
memurnikan Islam (golongan ini kebanyakan merupakan golongan wali yang berasal dari Arab (Timur Tengah)) dan golongan Abangan yang kebanyakan merupakan keturunan-keturunan dari penguasa lokal Jawa. Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat dua kutub ajaran tersebut meluas sampai pada ranah kepemimpinan dan suksesi kesultanan.
104
Ibid., h. 61
73
BAB IV PERBANDINGAN STRUKTUR KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT DAN DEMAK Kekuasaan memang bukan barang baru dalam kajian politik, namun kemudian kekuasaan tidak bisa diterjemahkan hanya “Barat oriented“, mengingat kalau dikaji lebih jauh mengenai kekuasaan ternyata dalam bentuk terselubung seklipun terdapat konsep kekuasaan yang dipancarkan oleh setiap tradisi. Kekuasaan seperti dijelaskan Carter berkaitan dengan kemampuan untuk membuat fihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan fihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat fihak lain melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam fihak yang patuh tersebut. 1 Dalam tradisi Barat dikenal kekuasaan yang kemudian terjelma dalam legitimasi kekuasaan dan wewenang kekuasaan, namun kemudian kekuasaan diterjemahkan sebagai sebuah aturan yang formal dengan undang-undang yang tersusun, sehingga mengindikasikan adanya pertanggung jawaban dari seorang penguasa terhadap rakyatnya. Hal ini sering disebut legitimasi etis atau normatif, mengingat aturan hukum dan undang-undang merupakan sebuah kerangka kebijakan penguasa. Berbeda dengan tradisi Barat, dalam tradisi Timur khususnya Indonesia legitimasi ataupun wewenang yang berlaku adalah legitimasi religius, dimana 1
Lihat kata Pengantar dari Maswadi Rauf dalam April Carter, Otoritas Dan Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1985) h. ix
74
paham adiduniawi seorang penguasa menjadikan rakyat tidak berhak untuk meminta pertangungjawaban dari pemimpinnnya. Legitimasi dan wewenang merupakan ruh dari sebuah kekuasaan, bagaimana sebenarnya orang Jawa memperoleh kekuasaan dan bagaimana cara mereka mempertahankan kekuasaan? Meskipun terdapat kesamaan dalam memperoleh kekuasaan baik dalam tradisi Majapahit dan Demak, namun tidak bisa dipungkiri bahwa sistem religiusitas sangat berpengaruh dalam mewarnai cara kerja legitimasi dan wewenang seorang penguasa. Semua pembahasan tersebut dipetakan melalui sebuah skema perbandingan yang meliputi sumber dan aktor. A. Legitimasi Kekuasaan Legitimasi merupakan sebuah kata yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin. Legitimasi atau “memaklumkan sah“, mampu berubah dari kekuasaan (power) menjadi kewenangan (authority).2 Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. 3 David Easton mengatakan bahwa keabsahan adalah “keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu“ (the conviction on the
2
M. Sastrapratedja, S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik,” Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2., h. 1 3 Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan” dalam Miriam Mudiardjo, Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 15
75
part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and abide by the requirements of the regimei). 4 Dalam tradisi barat dikenal beberapa tahapan legitimasi seperti dijelaskan oleh John Chrisman, bahwa legitimasi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada awalnya legitimasi diletakan pada “kepentingan yang rasional“ manusia untuk membentuk negara atau pemerintahan, guna mengatasi konflik antara manusia (Hobbes). Kemudian Locke menyatakan bahwa pembentukan kekuasaan politik didasarkan pada pernyataan “kehendak“ rakyat untuk bersepakat. Pergeseran terjadi pada saat Rousseau dan Kant meletakan legitimasi negara pada jaminan negara akan “kebebasan“ warga negara. Dengan demikian pembenaran kekuasaan politik tergantung pada kemampuan institusi politik untuk menjamin kebabasan warga negara. Mengacu pada pandangan Rawls, dapat dikatakan bahwa legitimasi kekuasaan politik modern tidak hanya menuntut bahwa kewenangan itu memanifestasikan keadilan, tetapi keadilan itu menuntut partisipasi warga negara dalam pelaksanaan keadilan itu sendiri; dengan lain perkataan dituntut demokrasi. 5 Namun pandangan barat tersebut sedikit berbeda dengan tradisi kekuasaan Jawa. Di Jawa khususnya Majapahit kekuasaan atau legitimasi dapat diperoleh dengan cara dihimpun melalui tapa brata dan upacara-upacara sakral. Sedangkan Demak dengan tradisi yang agak berbeda mempraktekan prosesi legitimasi yang cukup unik yakni kuatnya tradisi keagamaan yang dijalankan oleh para wali dalam 4
David Easton, A System Analysis Of Political Life (New York, John Wiley and Sons, 1965). Dikutip dari Ibid. h. 15 5 J. Crhistman, Social and Political Philosophy. A Contemporary Introduction. Dikutip dalam Sastrapratedja, S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik,” Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2., h. 1
76
memberikan legitimasi. Pembahasan lebih lanjut akan diuraikan secara lebih terperinci dalam pembahasan berikut. 1. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit Dalam kehidupan berpolitik priyayi Jawa yang menguasai kerajaan tentu memiliki pola kehidupan. Pola kehidupan yang dipakai oleh priyayi Jawa tersebut seperti diuraikan oleh Koentjaraningrat dan khususnya J.W.M. Bakker dalam bukunya, Agama Asli Indonesia, pola budaya yang dipakai adalah pola budaya Hindu-Kejawen. Yang paling dominan dalam pola budaya ini bukan nilai agama sebagaimana digambarkan oleh St. Takdir Alisjahbana, tetapi orientasi terhadap nilai kekuasaan atau nilai politik. Bagi para priyayi Jawa sebagai penegak sistem dinasti kedudukan, kekuasaan politiklah yang terpenting. Sedangkan agama menempati urutan kedua. 6 Dalam legitimasi kekuasaan, agama menjadi faktor kedua sebagai penguat kekuasaan dan kekebalan raja. Salah satu bukti tidak dominannya Agama dalam menentukan kebijakan tercermin melalui bangunan candi semacam candi Borobudur, candi Prambanan, juga melalui sikap raja Erlangga hingga raja-raja Majapahit yang menganut agama rangkap, yaitu Syiwa-Budha (Syiwa-Boja). Padahal di negeri asalnya kedua agama ini saling berseteru. 7 Dalam budaya Hindu-Kejawen yang lebih unggul justru golongan priyayi atau ksatriya. Golongan pendeta berada di bawah kelas priyayi ini. Artinya,
6 7
Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 58 Ibid., h. 59
77
kekuasaan politik menjadi institusi tertinggi, sedangkan agama hanya sebagai pelengkap saja. 8 Namun Lombard menangkap sinyal lain dari tradisi kekuasaan yang dipertahankan oleh Majapahit, menurut Lombard, di masa jayanya, Majapahit ditandai oleh hubungan-hubungan sosial agraris yang bersifat terpusat, dimana raja berdiri diurutan piramida paling atas. Kekuasaan raja ini sangat kuat karena mendapat legitimasi religius dari para agamawan. Sebagai imbalannya, raja memberikan tanah garapan yang tidak dikenai pajak kerajaan. Selain itu, para agamawan juga berperan sebagai pejabat administrasi kerajaan. 9 Kemudian berkaitan dengan sikap keagamaan budaya priyayi Jawa kelihatan sangat kental mementingkan orientasi nilai kekuasaan, hal ini tampak dalam mistik Hindu-Budha yang mereka pilih demi melangsungkan kedudukan raja dan konsep Raja Bimathara atau raja titising Dewa. Konsep God-King atau raja dewata ini selalu ditonjolkan dalam sastra Hindu-Kejawen, yakni sastra yang merupakan pengembangan kitab Mahabharata dan Ramayana. 10 Konsep kekuasaan tersebut dijelaskan oleh Simuh dengan konsep Mistisisme priyayi Jawa. Mistisisme ini bukanlah mistisisme eskapistik seperti dalam sufisme. Mistisisme yang menjadi batu loncatan untuk menemukan jati diri dan mencapai kesempurnaan kekuatan, yakni menjadi sakti karena telah menyatu dengan Tuhan. Penemuan jati diri dan kesaktian ini kemudian menjadi bekal
8
Ibid., h. 59 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid III): Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, h. 16. 10 Simuh, Islam dan pergumulan Budaya Jawa, h. 59-60 9
78
pelaksanaan tugas kenegaraan mereka sebagai priyayi atau pejabat pemerintah dalam mamayu hayuning bawana. 11 S. De Jong menyebutkan adanya tiga konsep untuk menggambarkan sikap hidup mistik kejawen yang dinilai efektif dalam pelaksanaan tugas pemerintahan mereka. Yaitu distansi, konsentrasi, dan refresentasi. S. De Jong menjelaskan : 12 Manusia ambil distansi (jarak) terhadap dunia, jagad gedhe. Kemudian diadakan konsentrasi terhadap dirinya sendiri; inipun merupakan semacam distansi terhadap jagad cilik (badannya sendiri). Dan hasil dari dua usaha itu ialah refresentasi. Lepas dari ikatan dengan dunia materiil dengan batin dimurnikan, maka orang menjalankan sisa hidupnya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia .... Di Majapahit basis kekuasaan sebagian besar ada di tangan birokrasi sekuler, politik dan militer, padahal para pendeta dari berbagai aliran diamasukan birokrasi kerajaan. 13 Otoritas politik berada ditangan raja, karena raja dianggap penjelmaan dewa. Oleh karena itu kerajaan Majapahit dapat digolongkan kerajaan teokratis. 14 2. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Demak Kerajaa Demak merupakan salah satu kerajaan Islam di Jawa setelah Majapahit yang beragama Hindu-Budha. Kerajaan ini memiliki aturan main yang cukup komplek mengingat para pendiri kerajaan Demak merupakan para ulama penyebar Agama Islam di Jawa. Raden Fatah meskipun masih keturunan raja terakhir Majapahit yakni Brawijaya V, beliau merupakan pengurus pesantren di daerah Demak setelah mendapat retu dari gurunya yakni Sunan Ampel. 11
Ibid., h. 60 Ibid., h. 61 13 Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, (Tanpa penerbit; Surabaya; 1993) h. 34 14 Ibid., h. 35 12
79
Penyebaran bahkan perluasan kerajaan Demak sampai ke wilayah Barat pulau Jawa dilakukan oleh anggota wali sanga, hal ini mengindikasikan bahwa peranan agama sangat sentral dalam tradisi Islam. Salah satu kekuatan dalam menentukan setiap permasalahan wali sanga menjadi garda depan dalam eksekusi. Wali sanga memiliki peran yang cukup kuat dalam memberikan legitimasi khususnya yang berhubungan dengan kekuasaan yang akan di mandatkan kepada raja-raja Demak. Sidang Wali merupakan sebuah wahana memberikan legitimasi atau penghukuman terhadap permasalahan yang kemudian berkembang. Sidang wali yang dimaksud tidak hanya melulu mengurusi masalah keagamaan namun juga masalah politik. Agama dan politik merupakan sebuah paket yang sedang dikukuhkan oleh para wali. Namun perkembangan berikutnya para penguasa Jawa setelah Demak sering mencampuradukan masalah keagamaan dengan masalah budaya Jawa (sinkretis) peran legitimasi keagamaan mulai berubah orientasi yang tadinya berbau syariat berubah menjadi paham-paham yang sinkretik dengan tradisi (budaya) yang selama ini dijalankan. Dalam urusan pemerintahan, seorang pemimpin Demak senantiasa berada sejajar dengan para wali dalam mendiskusikan masalah-masalah yang berkembang. Salah satu produk hukum dari legitimasi bersama Wali (ulama) dan Umara (raja) adalah ketika putusan penghukuman Syekh Siti Jenar pada saat sidang wali keempat dilaksanakan. 15
15
Ibid., h. 61
80
3. Persamaan dan Perbedaan Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak Sebelum membandingkan legitimasi antara Majapahit dan Demak terlebih dahulu kita eksplorasi masalah keyakinan dalam tradisi kepercayaan Nusantara masih melekat simbol-simbol bahkan banyak unsur keyakinan pribumi asli masih hidup dikalangan muslim dan kristen. “Animisme“ ada di dasar semua konsepsi religius orang Indonesia. Menurut keyakinan asli ini, semua perwujudan alam adalah kosekwensi karya kekuatan supranatural, biasanya roh jahat yang harus dilayani dengan persembahan dan yang murkanya harus dihindari. Unsur-unsur utama agama Indonesia primitif ini adalah sebagai berikut: 16 Pertama, keyakinan panteistik bahwa segala sesuatu dan segala mahluk hidup punya “jiwa“, “energi kehidupan“, yang sama untuk semua tapi mugkin lebih kuat pada seseorang dari pada orang lain dan lebih terkonsentrasi di bagian tertentu tubuh manusia daripada dibagian lain. Kebiasaan kanibalisme dan pengayauan yang kini sudah punah betujuan untuk mengambil alih “energi kehidupan“ dari musuh yang terbunuh tersebut. Barang dengan bentuk tertentu sering kali dianggap punya khasiat luar biasa dan karena itu dihargai secara khusus. Kedua, Keyakinan pada keberadaan jiwa personal yang mendiami seorang manusia seumur hidup. Jiwa ini tetap hidup sesudah tubuh mati dan kemudian tetap tinggal disekitar tempat dimana tubuh itu pernah hidup. Jiwa itu tidak mengundurkan diri dari komunitas orang hidup tapi terus melibatkan diri dalam 16
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, cetakan ketiga, 2008) h. 15
81
kehidupan komunal. Akbitnya, jiwa-jiwa orang mati mungkin akan marah apabila keturunan mereka mengabaikan tradisi lama atau tidak memenuhi kewajiban mereka terhadap roh-roh itu. Pemujaan nenek moyang selalu merupakan salah satu kekuatan terkokoh dalam pemeliharaan adat istiadat dan tradisi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kedua kerajaan yang pernah memimpin Jawa memiliki peran sentral dalam perkembangan kebudayaan. Namun perkembangan tersebut tentunya memiliki imbas yang cukup berbeda. Lihatlah tabel skema perbandingan berikut ini : Asal legitimasi kekuasaan Majapahit
Aktor
-
Turun temurun
Raja (kekuasaan seperti yang
-
Dihimpun melalui tepa brata atau disebutkan
dalam
tradisis
mengumpulkan beda atau barang yang Jawa Kuno bahwa kekuasaan memiliki karomah sehingga kebesaran terpusat dan berada di tangan dan
keagungan
penguasa
makin seorang raja).
bertambah. -
Legitimasi
agama
sebagai
penguat
kekuasaan raja Demak
-
Turun temurun
Umara (Raja) dengan Ulama
-
Berdasar sidang Wali sanga
(Wali
-
Legitimasi agama sangat kuat namun diaplikasikan dalam sidangsemuanya
di
ejewantahkan
yang
dalam sidang wali dalam setiap
pemahaman kelompok Wali sanga
menyelesaikan masalah.
4. Skema legitimasi kekuasaan Majapahit dan Demak
82
sanga)
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat dua kesamaan dalam mendapatkan legitimasi kekuasaan. Pertama, unsur keturunan merupakan legitimasi yang paling kuat dalam meneruskan kepemimpinan. Dapat dilihat bahwa hampir seluruh pemimpin dalam kerajaan Majapahit dan Demak adalah keturunan langsung dari Raja sebelumnya atau kerabat dekat raja. Untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan, sebuah kerajaan biasanya menggunakan wewenang (legitimasi) berdasarkan keturunan. Garis keturunan yang dimiliki oleh setiap penerus kerajaan harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturunan yang dimilikinya berasal atau dekat dengan keturunan dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya merupakan wewenang yang kuat, tetapi juga keramat. 17 Kedua, Unsur legitimasi Agama. Dalam orientasi nilai kekuasaan atau nilai politik, kekuasaan politiklah yang terpenting. Sedangkan agama menempati urutan kedua. 18 Salah satu bukti tidak dominannya Agama dalam menentukan kebijakan tercermin melalui bangunan candi semacam candi Borobudur, candi Prambanan, juga melalui sikap raja Erlangga hingga raja-raja Majapahit yang menganut agama rangkap, yaitu Syiwa-Budha (Syiwa-Boja). Padahal di negeri asalnya kedua agama ini saling berseteru.19 Dalam budaya Hindu-Kejawen yang lebih unggul justru golongan priyayi atau ksatriya. Golongan pendeta berada di
17
Koentjaraningrat, “Kepemimpianan dan Kekuasaan : Tradisional, masa Kini Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tantang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 136 18 Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, (Jakarta : Teraju, 2003), h. 58 19 Ibid., h. 59
83
bawah kelas priyayi ini. Artinya, kekuasaan politik menjadi institusi tertinggi, sedangkan agama hanya sebagai pelengkap saja. 20 Hampir sama dengan Majapahit, Demakpun menitik beratkan legitimasi kepada agama. Agama termaksud tentu berbeda dengan Majapahit. Islam sebagai sebuah agama memberikan legitimasi yang cukup kuat dalam mempertahankan dan memberikan mandat kepada pemimpin, mandat tersebut biasanya diperoleh melalui sebuah mekanisme yang disebut Musyawarah. Seperti dijelaskan di atas, wali sanga mempunyai pengaruh yang cukup kuat untuk kemajuan Islam dan tegaknya kesultanan Demak. Selain kecerdikan dan kepandaiananya dalam berdakwah ternyata para wali sanga sangat piawai dalam berpolitik, tidak jarang suksesi akhirnya melibatkan legitimasi para wali sehingga terdapat beberapa pertentangan antara wali-wali tersebut. Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan (mayoritas) anggota walisanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab-sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan GIRI II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan 20
Ibid., h. 59
84
tentang ajaran Islam yang murni. 21 Begitu kuatnya pengaruh walisanga dalam legitimasi kekuasaan Demak, terlihat dari pemutusan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar melalui musyawarah pertama walisanga angkatan keempat. 22 Sebagai dua entitas dan identitas yang bebeda tentu Majapahit dan Demak banyak perbedaan dalam legitimasi kekuasaan yang dihimpunnya, dalam Tradisi Majapahit yang Hindu-Budha setidaknya mempengaruhi pola legitimasi karena agama dalam tradisi Majapahit hanya dijadikan penguat legitimasi kekuasaan para raja, hal ini tentu berbeda dengan Demak yang mempergunakan agama sebagai landasan yang diturunkan dalam sidang-sidang para Wali. Sedangkan perbedaan yang paling mencolok dalam legitimasi kekuasaan yang diperoleh raja antara Majapahit dan Demak adalah : Petama, bagi raja Majapahit kekuasaan harus dihimpun dengan cara tapa brata. Anderson membagi dua pandangan Jawa mengenai cara memperoleh kekuasaan, yakni golongan ortodoks dan heterodoks. Golongan ortodoks biasanya memperoleh kekuasaan melalui praktikpraktik yoga, berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual, pemurnian ritual dan mempersembahkan berbagai sesaji. 23 Praktikpraktik ini dilakukan agar kekuatan dan kesatuan berpusat kepada orang yang melakukan ngelmu tadi. Sedangkan heterodoks memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tak lajim, yakni melalui mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual, tradisi ini disebut juga Bhairavis (Tantri). Kepercayaan Bhairavis, mengikuti hawa nafsu secara sistematis dalam bentuk yang paling 21
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61 Ibid., h. 61 23 Anderson, “Gagasan Tentang Kekauasaan Dalam Kebudayaan Jawa,” h. 53 22
85
ekstrem dianggap dapat menghabiskan napsu itu sendiri, sehingga memungkinkan dipusatkannya kekuasaan seseorang tanpa mengalami halangan lebih lanjut.24 Dua tradisi di atas dapat dilihat bahwa tujuan terakhir adalah pemusatan kekuasaan walaupun jalan yang dicapai oleh kedua tradisi tersebut berbeda. Sedangkan bagi Demak seperti dijelaskan di atas, peranan wali sangat sentral dalam memberikan legitimasi atau mendudukan permasalahan sejajar antara ulama dan raja. Perbedaan yang lainya adalah aktor dari pemegang legitimasi tersebut, dalam tradisi Majapahit Raja menjadi aktor utama mengingat kekuasaan dalam tradisi Jawa kuno yang dipraktikan oleh Raja-raja Majapahit konsep pokok kekuasaan tradisional Jawa itu terpusat, biasanya pusat kekuasaan ini terjelma dalam diri seorang penguasa yang mampu menyerap dan melakukan sinkretis terhadap ajaran-ajaran baru yang kemudian muncul demi mempertahankan pusat kekuasaannya. Raja Bimathara atau raja titising Dewa. Konsep God-King atau raja dewata ini selalu ditonjolkan dalam sastra Hindu-Kejawen, yakni sastra yang merupakan pengembangan kitab Mahabharata dan Ramayana. 25 Begitu kuatnya kekuasaan sanga raja, sehingga otoritas politik berada ditangan raja, karena raja dianggap penjelmaan dewa. Oleh karena itu kerajaan Majapahit dapat digolongkan kerajaan teokratis. 26 Sedangkan aktor politik dalam kesultanan Demak adalah raja tetapi setelah mendapat legitimasi dari wali sanga dengan melakukan musyawarah. Aktor dalam
24
Ibid., h. 55 Simuh, Islam dan pergumulan Budaya Jawa, h. 59-60 26 Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit”, dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, h. 35 25
86
kesultanan Demak terdiri dari beberapa kelompok yakni kelompok yang menentukan garis (syariat) yang harus di jalankan oleh pemimpin kerajaan dan raja sebagai pengemban amanat sidang wali. B. Otoritas Kekuasaan Otoritas kekuasaan merupakan sebuah bentukan dari legitimasi kekuasaan, seseorang penguasa berwenang (mempunyai otoritas) setelah dia memiliki legitimasi atas kekuasaan yang dimilikinya. Bentuk otoritas kemudian tidak hanya diterjemahkan dalam konteks Barat yang mengindikasikan sebuah aturan yang telah tersusun dalam sebuah perundang-undangan. Dalam tradisi Jawa sumber otoritas seseorang tidak ditentukan oleh undang-undang. Peraturan kemudian dibuat oleh seorang Raja, karena raja telah mampu menyerap legitimasi adiduniawi. Seorang penguasa Jawa yang mampu berhubungan dengan alam gaib harus membuktikan diri sebagai sepi ing pamrih, berbudi luhur, bijaksana, murah hati dan adil itulah prasarat yang harus dimiliki oleh penguasa Jawa agar otoritasnya kepada masyarakat dilaksanakan. 27 Sebagai dua kerajaan yang tidak jauh memimpin Jawa, Majapahit dan Demak memiliki beberapa kesamaan otoritas yang dimiliki yakni bersumber dari otoritas adiduniawi, namun kemudian otoritas tersebut dijabarkan secara berbeda sesuai dengan agama yang dianut oleh kedua kerajaan tersebut.
27
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 42
87
1. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit Dalam pembahasan ini otoritas dibaca sebagai wewenang religius. Majapahit sebagai sebuah kebudayaan yang sangat besar pada jamannya memiliki keunikan dalam wewenang yang dijalankan oleh para penguasa dalam hal ini raja. Naik dan tumbangnya sebuah rejim dalam pemerintahan Majapahit tidak lantas merubah pola kehidupan masyarakat, bagi masyarakat siapapun pemimpin yang mengayomi masyarakat mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan, meskipun konflik yang terjadi dalam istana sangat gencar. Seperti dijelaskan di atas, ketika sebuah suksesi dalam pemerintahan terjadi baik secara normal (penyerahan dari raja ke putra mahkota secara langsung) ataupun dengan peperangan (konflik) keluarga, legitimasi pasti didapatkan oleh penguasa yang kemudian berkuasa, karena penguasa yang kalah dalam suksesi dianggap telah luntur kekuasaannya. 28 Penguasa baru kemudian yang menjalankan roda pemerintahan. Terdapat titik tekan yang diharapkan oleh masyarakat, yakni pemimpin yang mampu untuk adil, bijaksana, murah hati, dan berbudi luhur, karena kalau sifat-sifat ini sudah tidak dimiliki oleh pemimpin (raja) maka rakyat akan menganggap bahwa kekuasaan raja tersebut telah menurun. Dan lambat laun pasti akan tergantikan oleh penguasa berikutnya baik dilakukan dengan cara wajar ataupun dengan jalan kekerasan.
28
Magnis, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern., h. 41
88
Untuk melihat sebuah contoh legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh Majapahit berikut akan diuraikan dalam sebuah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada dimana rakyat mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua pemimpin Majapahit tersebut, hingga masa-masa kepemimpinan mereka disebut masa kejayaan Majapahit. Salah satu program (wewenang) yang dicanangkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah Sumpah Nusantara, yakni sebuah keinginan dari Gadjah Mada untuk mempersatukan (memperluas) daerah jajahan Majapahit. Bunyi sumpah Nusantara itu seperti berikut: “Lamun huwus kalah nusantara, isun isun amukti palapa; lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana isun amukti palapa.“ Artinya “ kalau Nusantara telah tunduk, saya baru akan beristirahat. Kalau Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjungpura (kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Singapura) telah tunduk, pada waktu itu saya akan beristirahat. 29 Perluasan wilayah tersebut tentu dibarengi dengan kekuatan dari dalam yakni kesejahteraan rakyat terpenuhi, sehingga mandat legitimasi adikodrati masih dipegang oleh Hayam Wuruk. Selain memperluas daerah jajahan, Kerajaan Majapahit pun mempunyai tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan pengawasan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin 29
Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 14, eksplorasi lebih banyak lihat catatan M. Yamin, Gadjah Mada, h. 48-53
89
terperinci,
dan
untuk
menyusun
kekuasaan
politik
yang
semakin
disentarlisasikan, 30 tetapi tanpa peleburan terirtorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, sistem sosio-kultural di dalam wilayah politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosio-kultural yang lain secara teritorial. 31 Apapun yang diinginkan oleh seorang penguasa selama hal tersebut tidak mengganggu stabilitas dan ketentraman rakyat, maka rakyat menganggap pemimpinnya masih memiliki legitimasi adikodrati. Raja sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi memiliki berbagai lambang yang bersifat magis dan mistis, yang mewujudkan kualitas perlengkapanperlengkapan kekuasaan tersebut. Raja memegang pengawasan tertinggi atas kekuatan militer dan administrasinya. 32 Meluasnya dominasi raja mengharuskan desentralisasi kekuasaan pribadinya. Gubernur-gubernur daerah (adhipati) adalah wakil tertinggi kekuasaan raja di daerah. 33 Hubungan antara raja dan pegawaipegawainya berbentuk sebagai hubungan yang dinamakan clientship, 34 hubungan semacam ini mungkin juga terdapat pada tingkat regional dan lokal. Hal ini membuktikan bahwa pada jaman Majapahit tidak terdapat birokrasi yang diorganisasi dengan diferensi-diferensi subordinasi jabatan yang jelas. 35
30
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai, (Surabaya: T.pn., 1993), h. 33 31 Ibid., h. 33 32 Ibid., h. 37 33 Ibid., h. 37 34 Clienship adalah ikatan anatara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. Lihat Ibid., h. 37 35 Ibid., h. 37
90
Itulah gambaran otoritas yang dimiliki oleh Majapahit, namun otoritas tersebut sirna ketika penguasa yang adil seperti Gadjah Mada dan Hayam Wuruk meninggal dunia, sehingga legitimasi dan otoritas penguasa Majapahit tumbang silih berganti karena masalah suksesi dan ego kekuasaan. 2. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak Perlu dicatat dalam pembahasan ini, bahwa sumber legitimasi religius yang diperoleh kerajaan (peguasa) Demak berbeda dengan Majapahit. Wilayah adiduniawi tidak diterjemahkan kepada dewa-dewa ataupun alam semesta tetapi kepada syariat agama yang dibawa oleh Muhammad saw. Otoritas penguasa Demak terbimbing oleh aturan ilahi yang dibawa oleh Muhammad saw. Secara substansi sama bahwa baik Majapahit maupun Demak memakai otoritas religius, yakni menghadirkan sesuatu yang adiduniawi dalam kepemimpinannya, yang memebedakan adalah dalam tradisi Majapahit kesan mistik sangat kental sedangkan dalam tradisi Demak otoritas kekuasaan dibimbing oleh zat adiduniawi melalui sebuah risalah yang diterjemahkan oleh kelompok wali. Sejak masa kepemimpinan raden Fatah hingga pangeran Trenggono sangat unik, mengingat hampir semua kepemimpinan Raja-raja Demak tersebut tidak berlangsung lama, entah itu meninggal bahkan suksesi berdarah. Otoritas yang kemudian dipakai oleh para pemimpin Demak senantiasa didiskusikan dengan para wali atau harus mendapat persetujuan wali sanga. Otoritas yang dimiliki oleh seorang sultan tidak boleh bertentangan dengan ajaran
91
agama yang dalam hal ini dipegang oleh para wali, sehingga wali sanga menjadi sebuah lembaga yang turut andil memberikan legitimasi kepada penguasa. Kesinambungan antara otoritas sultan dan kehendak wali terihat dari adanya sebuah kerjasama yang sangat apik. Salah satu contoh adalah dalam masalah perluasan kekuasaan Demak, dalam beberapa kasus seperti perluasan di Jawa Barat dan Banten, perluasan dilakukan oleh wali sanga, hal ini mengindikasikan bahwa kesultanan Demak tidak hanya berambisi dalam memperluas wilayah saja namun otoritas yang kemudian dimiliki diterjemahkan menjadi sebuah penyebaran Islam sekaligus. Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan (mayoritas) anggota wali sanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab-sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan Giri II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan tentang ajaran Islam yang murni. 36 Begitu kuatnya pengaruh wali sanga dalam
36
Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61
92
legitimasi kekuasaan Demak, terlihat dari pemutusan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar melalui musyawarah pertama walisanga angkatan keempat. 37 Dengan kasus tersebut terlihat jelas bahwa otoritas yang dimiliki oleh sultan terbatasi, sultan hanya memiliki wewenang dalam eksekusi sedangkan yang memutuskan hukuman adalah sidang wali meskipun sultan turut hadir dalam sidang tersebut, hal ini mengindikasikan terbatasnya otoritas yang dimiliki oleh sultan. 3. Persamaan dan Perbedaan Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Demak Dalam membahas otoritas kekuasaan, harus ditekankan bahwa otoritas merupakan hak, wewenang yang dimiliki oleh penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Kebijakan apa dan bagaimana format kerajaan yang akan diterapkan oleh raja. Setelah seorang raja sah atau legitimare, maka problem kemudian adalah masalah bagaimana wewenang tersebut dijalankan, mengingat dua kerajaan Jawa yakni Majapahit dan Demak tidak menerapkan sistem legitimasi normatif yang berdasarkan undang-undang yang telah dibakukan sehingga rakyat kapanpun bisa meminta pertanggungjawaban penguasa ketika para penguasa telah keluar dari koridor undang-undang. Telah dijelaskan di atas, bahwa legitimasi baik otoritas yang dipakai oleh Majapahit dan Demak merupakan legitimasi religius, legitimasi tersebut kemudian dipahami secara berbeda mengingat latar belakang budaya (agama) yang berbeda.
37
Ibid., h. 61
93
Paham legitimasi religius yang mengindikasikan keberadaan wilayah adikodrati diterjemahkan secara berbeda. Majapahit yang beragama Hindu-Budha menjadikan agama hanya sebagai penguat legitimasi, berbeda dengan Demak yang mendahulukan syariat (ajaran) agama sebagai panduan, namun agama yang dimaksud adalah sepemahaman para wali sanga. Berikut tabel persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa Majapahit dan Demak: Contoh Otoritas (kebijakan yang Aktor dilaksanakan) Majapahit
-
Perluasan masa
kekuasaan
Hayam
Wuruk
Gajah Mada.
pada Otoritas yang dimiliki raja Majapahit dan adalah
otoritas
apapun
yang
pemerintahan
Mutlak,
sehingga
dikerjakan harus
oleh
sepengetahuan
dan persetujuan raja. Raja sebagai pemangku kebijakan dan pembuat aturan main kerajaan. Otoritas terpusat hanya ditangan seorang raja. Demak
-
Kasus penghukuman Syaikh Yang memiliki otoritas kekuasaan Siti Jenar
secara kasat mata adalah Raja namun raja hanya sebagai pelaksana dari kebijakan yang diambil kemudian. Peranan wali sanga sangat sentral dalam mengambil kebijakan meskipun
94
sultan
dikikutsertakan
pengambilan keputusan tersebut. 5. Skema Otoritas kekuasaan Majapahit dan Demak Dalam tabel di atas tidak terlihat adanya kesamaan dalam hal otoritas kekuasaan.
Majapahit
sebagai
kerajaan
Hindu-Budha
yang
pusat
kepemimpinannya dipegang oleh seorang raja, otoritas kekuasaan yang dilaksanakan adalah otoritas penuh seorang raja tanpa adanya halangan dan rintangan dari pihak lain, mengingat kekuasaan Majapahit terpusat hanya ada di pangkuan raja. Hal ini berbeda dengan Demak, para sultan Demak sulit untuk menjalankan otoritas kekuasaannya mengingat adanya peran sentral wali sanga dalam setiap kebijakan yang akan diambil. Hal ini bisa dipahami karena dua hal, pertama, keberadaan kesultanan Demak memang diperuntukan bagi kemajuan Islam. Kedua, banyak diantara para penguasa Demak kemudian sering meminta bantuan kepada para wali dalam menentukan kebijakan yang akan diambil oleh para sultan, bahkan sampai kepada masalah suksesi sekalipun.
95
dalam
BAB V KESIMPULAN Dari pembahasan panjang lebar pada bab-bab terdahulu, tentu penulis merasa perlu menarik benang merah permasalahan tersebut. Sebagai dua entitas yang berbeda kerajaan Majapahit dan Demak tentu memiliki banyak perbedaan, namun keduanya berada di wilayah yang sama yakni Jawa. Jawa sebagai sentrum pertarungan kekuasaan dan kekuatan pengaruh ternyata masih mampu menyimpan energi-energi animisme yang masih dipertahankan oleh kerajaan-kerajaan baik yang berbasis agama Hindu-Budha, Islam bahkan pada Kristenpun. Dalam sentrum kekuasaan yang unik tersebut Jawa kemudian menjadi sebuah magnet yang cukup kuat menarik orang untuk mengkaji permasalahan (makna) yang terkandung dan diajarkan oleh perikehidupan masyarakatnya. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini hanya menarik dua benang kecil dari kehidupan masyarakat dan budaya Jawa yang adiluhung dan belum banyak diterjemahkan. Pertama, Persamaan dan perbedaan legitimasi kekuasaan. Majapahit merupakan kerajaan Besar yang mampu mempersatukan Nusantara dan berada dalam dekapan budaya elit penguasa yang beragama Hindu-Budha. Dan Demak sebagai sebuah entitas dan identitas baru sebagai sebuah kekutan Islam yang mampu bertahan dalam mengislamkan Jawa setelah sekian lama berada dalam tradisi yang sangat berbeda yakni Hindu-Budha. Dalam segi legitimasi kekuasaan, antara Majapahit dan Demak sama-sama mengandalkan sistem kekerabatan (kekuasaan) turun temurun. Perbedaan yang
96
paling mencolok adalah dalam hal mendapatkan legitimasi tersebut. Penguasa Majapahit cenderung memunculkan satu tokoh (kekuasaan berada ditangan raja). Dalam memperoleh kekuasaannya raja sering melakukan (menghimpun) kekuasaan melalui kegiatan tapa brata. Raja Majapahit meyakini bahwa kekuasaan dapat dihimpun. Kegiatan tersebut mendapat penguatan dari tradisi agama Hindu-Budha yang dianut oleh penguasa, legitimasi sinkretik antara nilai Animisme dan Hinduisme, namun agama hanya dijadikan pelengkap bagi legitimasi raja. Dalam tradisi Demak Islam, legitimasi kekuasaan selalu menggunakan instrumen agama dalam hal ini wali sanga yang diaplikasikan dalam sidang wali. Prosesi musyawarah mensejajarkan raja dengan wali namun dalam konteks kerja berbeda. Wali sebagai pembuat kebijakan syariat dan raja sebagai pelaksana syariat tersebut. Masalah kemudian muncul ketika wali sanga terbagi kepada dua golongan yakni putiah dan aba’ah. Legitimasi kekuasaan menjadi terpencar disesuaikan pada golongan mana dalam kekuasaan yang mengikuti putiah, dan golongan mana yang mengikuti Aba’ah. Hal ini dapat dilihat dari kehancuran kesultanan Demak yang berpindah ke Pajang lalu Mataram yang ajaran agamanya sinkretik dengan tradisi lokal. Kedua, persamaan dan perbedaan otoritas kekuasaan. Dalam masalah otoritas sebenarnya susah ditemukan nilai kesamaan, meskipun keduanya secara teori berada dalam sentrum legitimasi religius. Majapahit hampir semua hasil otoritasnya diciptakan oleh seorang raja. Raja memiliki peranan yang sangat
97
sentral dalam tradisi Majapahit, sehingga setiap kebijakan yang diambil oleh kerajaan pasti dikeluarkan oleh seorang raja. Perbedaan mencolok kemudian akan terlihat jika melihat keberadaan sultan Demak yang sangat terbatas otoritasnya, hampir setiap kebijakan yang dihasilkan harus melalui mekanisme sidang wali, meskipun dalam sidang-sidang tersebut para sultan diikutsertakan sebagai peserta sidang, yang kedua para sultan cenderung meminta nasihat dari para wali bahkan sampai pada masalah suksesi sekalipun, hal ini mengindkasikan terbatasnya otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh sultan.
98
Daftar Pustaka Buku Abdullah, Taufik. “Tesis Weber dan Islam di Indonesia.” Dalam Taufik Abdullah Ed, Agama, Etos kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta : LP3ES, 1993 : h. 1-40. Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung : Mizan, 1986. Almond, Gabriel A dan Sidney Verba. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara, 1984. Anderson, Benedict R.O’G. “Gagasan Tentang Kekauasaan Dalam Kebudayaan Jawa.” Dalam Miriam Budiardjo. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar Harapan, 1984 : h. 44-127 --------- Kuasa-Kata; Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa, tanpa tahun. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia. Bandung: MIzan, 1994. Bizawie, Zainul Milal. Perlawanan Kultural Agama Rakyat. Yogyakarta: Sahma, 2002. Burger, D.H. dan Prajudi. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: P.N. Pradnja Paramita, 1960.
99
Budiardjo, Miriam. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan.” Dalam Miriam Mudiardjo. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar Harapan, 1984 : h. 9-29. Carter, April. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta : CV. Rajawali, 1985. Chilcote, Ronald H. Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma. Jakarta: Rajawali Grafindo, 2003 De Graff, H.J dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa;Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003. Drewes, G.W.J. “Pemahaman Baru tentang kedatangan Islam di Indonesia.” Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h. 7-36. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Giddens, Anthony. Kapitalsme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI-Press, 1986. Hanafiah, Djohan. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Hamka. Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Haryanto. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1982. Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Tanpa kota: PT Almaarif, 1993. Hasyim,Umar. Sunan Kalijaga. Kudus: Menara, t.t. Ismawati. Continuity And Change ; Tradisi Pemikiran Islam di jawa Abad XIX – XX. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006.
100
Johns, A.H. “Islam di Asia Tenggara: Masalah Prespektif.” Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h.37-47. Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004. Kartodirdjo, Sartono. “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit.” Dalam Sartono Kartodirdjo, dkk. 700 Tahun majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampa. Surabaya: T.pn., 1993. 31-46. ---------- Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. --------- “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa.” Dalam Hans Antlöv dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001: h. 3045. Kawuryan, Megandaru W. Tata Pemerintahan Negara Kertagama: Kraton Majapahit. Jakarta: Panji Pustaka, 2006. Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik kebudayaan. Jakarta : LP3ES, 1987. Koentjaraningrat. “Kepemimpianan dan Kekuasaan : Tradisional, masa Kini Resmi dan Tak Resmi.” Dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran Tantang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1984 : h. 128-147. ---------- Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1981. ---------- Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1990.
101
Kusumohamidjoyo, Budiono. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Jakarta : Grasindo, 2000. Liddle, R. William. Islam Politik dan Modernisasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1997. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya,Bagian I: batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. ---------- Nusa Jawa;Silang Budaya, bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. --------- Nusa Jawa;Silang Budaya, Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta : Rajawali Press, 1990. Masoed, Mochtar dan Colin Mac Andrews. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006. Mulder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981. Muljana, Slamet. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LkiS, 2006. ---------- Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS, 2006. ---------- Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: Balai Pustaka, 1965. ---------- Perundang-undangan Madjapahit. Jakarta: Bhratara, 1967. Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta : CV. Rajawali, 1983.
102
--------- “Yamin dan Hamka; Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia.” Dalam Anthony Ried dan David Marr, ed. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Jakarta: Grafiti Pers, 1983: h. 37-54. Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES, 1991. Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1965. Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao. Yogyakarta: LkiS, 2007. Purwadi, Dr, M.Hum. Babad Majapahit. Yogyakarta: Media Abadi, 2005. ---------- Falsafah Militer Jawa. Yogyakarta: Sadasiva, 2004. --------- Dakwah Sunan Kalijaga;Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Rickleft, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj, satrio Wahono, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. ---------- “Islamisasi di Jawa: Abad ke-14 Hingga ke-18.” Dalam Ibrahim, Ahmad, dkk. Islam Asia Tenggara: Prespektif Sejarah. Jakarta : LP3ES, 1989 : h. 72-88. Ried, Anthony. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004. ---------- Dari Ekspansi Hingga Krisis II. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999. Sairin, Safri. Perubahan Sosial masyarakat Indonesia; Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002. Schroeder, Ralph. Max Weber ; Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
103
Sedyawati, Edi. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologis, Seni dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa. Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008. Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju, 2003. Sjamsuddin, Nazaruddin. dkk. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: diktat kualiah pada Universitas Terbuka, 1995. Soemardi, Soelaeman. “Cara-cara Pendekatan Terhadap “Kekuasaan” Sebagai Suatu Gejala Sosial.” Dalam Miriam Budiardjo. Aneka pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Sinar Harapan, 1984 : h. 30-43 Sulendraningrat, P.S. Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon. T.tp. : T.pn., t.t. Sumadio, Bambang, ed. Jaman Kuna. T.tp. : T.pn., t.t. Sumarsono, H.R (penerjemah). Babad Tanah Jawi; Mulai Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi, 2007. Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah ; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. Suseno, Franz Magnis. Etika Politik ; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Suyono, Seno Joko. Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Swantoro, P. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyembung Menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002.
104
Vlekke, Bernard H. M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. Wahid, Abdurahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok : Desantara, 2001. Weber, Max. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Wertheim, W.F. Masyarakat Indonesia dalam Transisi ; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara wacana, 1999. Wibawa, Samodra. Negara-negara di Nusantara; Dari Negara-Kota hingga Negara-Bangsa dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001. Wrong, Dennis (Ed.). Max Weber Sebuah Khazanah. Yogyakarta: Ikon, 2003. Yamin, Muhammad. Gadjah Mada. Jakarta : Balai Pustaka, 1953. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho; Misteri Perjalanan Muhibah di .Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000. Jurnal, Buletin, website dan lainya Sastrapratedja, M. S.J, “Perkembangan Sistem Legitimasi Kekuasaan Politik.” Jurnal Driyarkara Edisi XXVI No. 2.: h. 1-9. Wikipedia Indonesia. Majapahit. Artikel diakses pada 8 Januari 2008 dalam www.wikipediaindonesia.com
105