SEJARAH MASJID AGUNG BAITURRAHMAN BANYUWANGI MASJID Agung Baiturrahman adalah ikon Kabupaten Banyuwangi dan Propinsi Jawa Timur. Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Jami‟ Banyuwangi ini berdiri di saat kota Banyuwangi pertama kali dibangun. Masjid Agung kebanggaan masyarakat Banyuwangi ini sejak berdiri (7 Desember 1773) sampai kini telah mengalami beberapa kali renovasi (pembangunan); pertama: 1844, kedua: 1971, ketiga: 1990 & keempat: 2005. Pemugaran demi pemugaran pada masjid bersejarah dan monumental ini, tentunya, telah membawa perubahan yang sangat signifikan, khususnya bagi jama‟ah Masjid Agung Baiturrahman juga masyarakat (muslim) Banyuwangi yang semakin hari semakin kerasan berlama-lama di dalam masjid sekaligus lebih khusyuk beribadah. Sejarah berdirinya Masjid Agung Baiturrahman tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Banyuwangi, karena keduanya memiliki ikatan yang sangat kuat, sama-sama didirikan oleh Bupati Blambangan terakhir sekaligus Bupati Banyuwangi pertama: Mas Alit.
1. MASUKNYA ISLAM DI BLAMBANGAN (BANYUWANGI) Dalam perjalanan sejarah, pulau Jawa pernah mengukir sejarah bangsa dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar nusantara. Di antaranya yang cukup terkenal adalah Kerajaan Majapahit, hingga pada masa-masa itu Majapahit yang besar, konon, pernah mempersatukan nusantara. Saat-saat terakhir Majapahit dipegang oleh Raja Hayam Wuruk, kerajaan yang cukup disegani itu akhirnya dipecah menjadi dua bagian kerajaan besar, yaitu Kedaton Kulon yang tetap menjadi Majapahit dan Kedaton Wetan yang menjadi Blambangan. Blambangan berkedudukan di pulau Jawa bagian timur dan diperintah oleh putra Raja Hayam Wuruk, Raja Bhre Wirabumi, yang konon kerajaannya berkedudukan di hutan Alas Purwo atau yang dikenal dengan masa pemerintahan Blambangan I. Pasca prosesi (perubahan) kepemimpinan, Raja Bhre Wirabumi digantikan oleh putranya yang terkenal sakti mandraguna, yaitu Menak Sembuyu atau Menak Dedali Putih. Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (1)
Menurut data-data sejarah, konon Kerajaan Blambangan masa Raja Menak Dedali Putih ini berkedudukan di Muncar atau dikenal dengan masa pemerintahan Blambangan II. Saat Kerajaan Blambangan diserang penyakit yang cukup mewabah atau pageblug, hingga putri raja nan cantik-jelita Sekar Dalu juga terjangkit oleh penyakit itu. Melihat kondisi ini, sang raja memanggil semua tabib terkenal di daerah kekuasaan Blambangan untuk mengusir wabah penyakit di kerajaannya. Namun tak satu pun tabib yang mampu mengusir wabah penyakit tersebut. Pageblug ini baru bisa disingkirkan oleh seorang ulama dari Samudra Pasai (Sumatera), bernama Syech Maulana Ishak yang oleh pribumi Blambangan disebut Syech Wali Lanang. Karena jasa-jasa beliau, Raja Menak Dedali Putih menjadikannya sebagai menantu dengan memperistri putri Sekar Dalu. Perkawinan ulama besar dan putri Raja Blambangan ini menurunkan seorang wali terkenal di tanah Jawa, yaitu Sunan Giri. Kehadiran Syech Maulana Ishak di Blambangan merupakan awal penyebaran agama Islam yang waktu itu penduduk Blambangan sebagian besar (mayoritas) beragama Hindu. Syech Wali Lanang adalah seorang perintis penyebaran agama Islam di tanah Blambangan, yang kemudian menjadi Banyuwangi ini.
2. PERPINDAHAN IBUKOTA KE BANYUWANGI Permulaan pemerintahan Mas Alit terjadi tahun 1774, tepatnya sejak tanggal 5 Pebruari 1774, karena pada waktu itulah baru diangkat dengan akte pengangkatan. Memang benar bahwa Mas Alit sudah direncanakan diangkat sebagai bupati sejak lama yaitu sejak tahun 1772. Oleh karena Mas Alit sulit diketemukan terutama pada waktu perang berkecamuk di Blambangan (ternyata kemudian diketemukan di Madura) maka pengangkatannya baru bisa dilakukan pada permulaan tahun 1774 itu. Pada waktu diangkat, Mas Alit berkedudukan di Ulupampang (Lopampang = sungai Pampang) dan kemudian pindah ke Banyuwangi.
Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (2)
Perpindahan ibukota yang cukup sering terjadi itu, ada hubungannya dengan sistem kepercayaan yang berlaku umum. Ibukota dan sering juga diartikan kerajaan sebagai keseluruhan, dianggap suci dan keramat. Malapetaka perang yang mengakibatkan pertumpahan darah serta wabah penyakit adalah aib besar yang dianggap menodai kesucian istana dan ibukota. Ini dianggap akan menimbulkan malapetaka berantai secara siklus. Untuk memutuskan perputaran siklus malapetaka itulah, ibukota dipindahkan termasuk perpindahan ibukota ke Banyuwangi. Selain itu, rupanya ada tuntutan situasi politis yang sedang berkembang, yang mengharuskan Mas Alit memindahkan ibukota ke Banyuwangi. Mas Alit merupakan figur yang cerdik. Pada waktu itu, keturunan dinasti Tawangalun ini berumur 18 tahun dan baru memangku jabatan. Pada hari Selasa tanggal 18 Januari 1774 yaitu setelah para pembesar menghadap Mas Alit minta izin kepada Raja Madura agar bisa pulang ke Blambangan.
Untuk
memenuhi
permintaan
pembesar
Blambangan
dan
permintaan VOC, Mas Alit berangkat pada hari Rabu, tanggal 24 Januari, iringiringan perahu sudah sampai di pantai Panarukan dan menuju selat Bali lewat selat Madura sehinggga pada hari Rabu tanggal 26 Januari sudah memasuki selat Bali untuk menuju pantai timur Blambangan. Rombongan ini tiba di Ulupampang tempat kediaman residen pada hari Senin, 31 Januari 1774 pada jam 19.00. Sumpah Mas Alit sebagai Bupati Blambangan beserta para pembesar lainnya diambil pada saat itu juga. Barulah pada hari Sabtu tanggal 5 Pebruari 1774, akte pengangkatan Mas Alit ditandatangani. Sejak itu Mas Alit secara formal dan sah menjadi Bupati Blambangan. Pembangunan istana Banyuwangi, baru dianggap selesai pada tanggal 14 Oktober 1774. Ini pun untuk sementara waktu sebab dalam rencana, istana akan diteruskan pembangunannya setelah lima tahun kemudian. Istana Mas Alit di Banyuwangi terletak di depan benteng VOC di sebelah kedudukan residen dekat sungai. Barulah pada tanggal 24 Oktober 1774, pagi-pagi buta istana di Ulupampang ditinggalkan dan Mas Alit tiba di Banyuwangi pada siang hari serta
Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (3)
langsung menuju istana. Pada hari itu juga, Banyuwangi berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Perpindahan ibukota untuk yang terakhir kali ini sekaligus memutus siklus “religius magis” tentang berbagai bencana yang tengah dan akan menimpa daerahnya. Terbukti setelah perpindahan itu, masyarakat menjadi makmur, ekonomi lancar, pembangunan pesat, dan kehidupan masyarakat mengalami kesejahteraan yang berarti, serta jauh dari bencana, baik bencana alam maupun wabah-wabah penyakit. Selaku bupati, Mas Alit melakukan perjuangan dalam segala policy politiknya. Artinya, beliau melakukan perjuangan melalui politik. Hal ini yang dikemukakan oleh I Made Sudjana dalam Nagari Tawon Madu, dan ini sudah cukup akurat sebab melalui proses penelitian yang panjang, ilmiah, kritis, dan juga penelitian arkeologis.
3. MAS ALIT (BUPATI PERTAMA BANYUWANGI) Sebuah realitas zaman, bahwa 24 Oktober 1774, ketika Mas Alit sang Bupati Banyuwangi pertama secara resmi melakukan pemindahan ibukota dengan ditandai keberangkatannya dari Ulupampang menuju istana Banyuwangi. Kondisi ini telah membawa perubahan yang sangat besar. Banyuwangi mulai menapaki tangga masa depan yang panjang. Betapa kecerdasan pemikiran dan policy
(kebijakan)
Mas
Alit
telah
melahirkan
sebuah
paradigma
baru
pembangunan di Banyuwangi yang semula merupakan bagian dari telatah Blambangan. Banyuwangi, akhirnya berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, dan budaya. Terbukti, Banyuwangi eksis sampai hari ini dan terus tumbuh-kembang sebagai pusat pemerintahan sekaligus kota modern dan dinamis. Diakui atau tidak, mau tak mau, begitulah fakta sejarah yang sempat mengukir kemegahan Banyuwangi, sebab untuk mengamini sejatining kebenaran dibutuhkan sebuah kejernihan hati. Mas Alit sang pembawa pencerahan melalui kebijakan-kebijakan yang cerdas, teliti, dan bertanggung jawab selalu berpihak kepada rakyat. Terbukti, usulan tentang penyerahan wajib kepada VOC yang berupa pajak innatura, akhirnya dihapus, terkait dengan krisis ekonomi akibat konflik berkepanjangan. Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (4)
Kebijakan-kebijakan lain, sebelum Mas Alit berkuasa, ada kerja rodi dan tindakan-tindakan kejam di Ulupampang, ketika pembangunan kota, awalnya dengan upah yang rendah dan kekurangan sumber tenaga. Kemudian Mas Alit mengusulkan agar upah ditinggikan, hingga banyak pencari kerja dan sukarelawan bekerja untuk mempercepat pembangunan kota. Mas Alit, saat itu, memang benar-benar figur pemimpin yang memahami benar kondisi yang mesti dibangun. Bupati yang sangat diharapkan rakyat Banyuwangi, sebab proses pengangkatannya adalah usulan (representasi) rakyat, dan tidak semata-semata ditunjuk oleh VOC. Ia adalah seorang pejuang sejati, obsesinya
untuk
menegakkan
legitimasi
Banyuwangi
sebagai
sebuah
pemerintahan yang berdaulat. Walaupun harus melalui perjuangan diplomasi yang panjang. Sangat pantas dan layak Mas Alit disebut sebagai pahlawan “sejati”, sebab kepahlawanan itu tidak hanya dipandang dari perjuangan fisik (militer) saja dan jika hal ini dipaksakan, arti pahlawan akan mandeg begitu saja. Padahal sejarah terus menerus berkembang, sejarah itu realitas di masa lalu dan jembatan untuk masa depan. Ia hakekatnya adalah gerakan arus yang tak putusputus dan selalu mendorong manusia dan bangsa untuk mencari bentuk-bentuk baru (Prof. Mr. Muhammad Yamin). Hingga lahirlah pahlawan pendidikan, pahlawan ilmu pengetahuan, pahlawan ekonomi pembangunan, jadi tidak semata (an sich) fisik. Seperti Mahatma Gandi dengan ahimsa (pantang kekerasan)–nya, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir yang menggunakan perjuangan diplomasi. Perlu ditulis dengan tinta hijau sejarah, Mas Alit adalah muslim yang taat, dibuktikan dengan penataan arsitektur kota Banyuwangi yang sarat akan filosofi Islamnya,
ada
Masjid
Agung
Baiturrahman,
Pendapa
Sabha
Swagatha
Blambangan, penjara/Mapolres Banyuwangi, dan alun-alun –Taman Sritanjung– serta pasar Banyuwangi, dari sini sirkulasi perekonomian berjalan lancar. 4. SEKILAS SEJARAH MASJID AGUNG BAITURRAHMAN BANYUWANGI Pada zaman pemerintahan Banyuwangi dipegang Bupati Mas Alit, perkembangan agama Islam tidak dapat dibendung lagi, apalagi waktu itu Mas Alit sendiri sebagai Bupati Blambangan terakhir atau Banyuwangi pertama yang berkedudukan di Benculuk sudah memeluk agama Islam. Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (5)
Dengan dipindahkannya kota kabupaten dari Ulupampang (sekarang Benculuk) ke Banyuwangi dan telah dibangunnya sebuah masjid yang sekarang diberi nama Masjid Agung Baiturrahman, yang tata letaknya tak terpisahkan dengan pendapa (rumah dinas bupati) dan kantor polisi (dulu penjara). Dapat disimpulkan bahwa agama Islam sudah menjadi agama rakyat Blambangan sekaligus mewarnai juga kehidupan pemerintahan masa itu. Menurut I Made Sudjana dalam bukunya “Nagari Tawon Madu” menyebutkan, bahwa nagari (ibukota) Banyuwangi selesai dibangun pada tanggal 24 Oktober 1774. Sejak itu birokrasi pemerintahan Banyuwangi berjalan lancar sampai sekarang ini. Berdirinya Masjid Agung Baiturrahman di Kabupaten Banyuwangi dengan hak kewenangan pengembangannya mengacu pada kewenangan kepindahan kota kabupaten dari Benculuk ke Banyuwangi, hingga dapat disimpulkan bahwa Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi merupakan masjid yang bersifat monumental dalam hubungannya dengan penyebaran agama Islam di bumi Blambangan. Masjid Agung Baiturrahman yang didirikan oleh Mas Alit, bupati pertama di saat pemerintahan berada di Banyuwangi, tergolong masjid tertua di Kabupaten Banyuwangi. Dan timbulnya hak pendirian atau pembangunannya jatuh pada hari Selasa, 7 Desember 1773, hal ini mengacu pada kewenangan pemindahan kota kabupaten dari Ulupampang (Benculuk) ke Banyuwangi (sebelumnya, Banyuwangi, adalah hutan belukar yang cukup lebat). Latar belakang berdiri dan berkembangnya Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi dimulai sejak 7 Desember 1773, hal ini didasarkan pada surat wakaf dari keluarga besar Mas Alit atau Raden Tumenggung Wiroguno I, bupati pertama Banyuwangi untuk umat Islam Banyuwangi.
5. PEMBANGUNAN MASJID AGUNG BAITURRAHMAN BANYUWANGI Banyuwangi sebagai kabupaten terluas di Jawa Timur, memiliki banyak masjid yang tersebar dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa. Masjid Agung Baiturrahman merupakan satu di antara sekian banyak masjid yang menjadi satusatunya Masjid Agung di Kabupaten Banyuwangi. Melihat sejarah berdirinya Masjid Agung Baiturrahman, mulai dari bentuk yang sangat sederhana sampai Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (6)
bentuk yang hampir sempurna seperti sekarang ini, banyak sekali peningkatan dan pengembangan; mulai dari segi fisik, fungsi, dan bentuk bangunan. Pada hakekatnya pemugaran (pembangunan) mengandung dimensi spiritual dan budaya, yang akhirnya memang harus dimaklumi bahwa pemugaran (pembangunan) bukan merupakan proses yang gampang atau mudah daripada membuat proyek-proyek. Tetapi di balik kegiatan fisik itu memang ada benarnya dan sangat dibutuhkan, justru di sini letak nilai spiritual dan budaya dari pembangunan yang dilaksanakan. Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, sejak awal didirikan sampai sekarang sudah mengalami beberapa kali masa perehaban dan pembangunan (kembali). a. PEMBANGUNAN MASJID PERTAMA (7 DESEMBER 1773-1844) Masjid pertama ini semula bernama Jami‟ Banyuwangi yang didirikan secara sederhana yang hanya dibatasi kayu seadanya kemudian dibentuk lebih indah oleh Bupati Raden Tumenggung Wiroguno I (Mas Alit) pada tanggal 7 Desember 1773, berdirinya masjid pertama di Banyuwangi ini merupakan awal penyebaran dan pengembangan agama Islam di Banyuwangi. Pada tanggal 7 Desember 1773, Mas Alit sebagai Bupati Blambangan terakhir sekaligus Banyuwangi pertama memerintahkan para punggawa Blambangan untuk membuka ibukota baru, dan yang pertama dilakukan adalah membuat tempat untuk melakukan shalat lima waktu berjama‟ah, karena pengikut-pengikut Mas Alit/prajurit-prajurit Blambangan adalah penganut agama Islam yang taat beribadah. Dari sebuah tempat yang sangat sederhana itu akhirnya menjadi sebuah masjid yang cukup luas. Masjid Agung Baiturrahman, yang sampai hari ini berdiri megah di pusat kota, di antara Pendapa Sabha Swagata Blambangan (rumah dinas para Bupati Banyuwangi dari masa ke masa) adalah salah satu peninggalan Bupati Mas Alit –memerintah Banyuwangi selama 9 tahun (17731782)– yang paling monumental dan bersejarah di Banyuwangi.
Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (7)
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (Masjid Pertama)
b. RENOVASI (PEMBANGUNAN) MASJID KEDUA (1844-1971) Masjid kedua ini dibangun pertama kali secara permanen oleh Bupati Raden Adipati Wiryodanu Adiningrat, sebagai pelaksana pembangunan Patih Raden Pringgokusumo yang dibantu oleh Hakim Bagus Achmad bin Ngabsi pada tanggal 18 Sya‟ban 1260 Hijriyah/1844. Setelah kurun waktu 71 tahun, demi mengikuti perkembangan zaman, Masjid Jami‟ Banyuwangi baru bisa dibangun secara permanen. Bupati Banyuwangi ke-4, Raden Adipati Wiryodanu Adiningrat yang memerintah Banyuwangi selama 35 tahun (18321867) sekaligus cucu Mas Alit adalah perintis pembangunan masjid permanen pertama. Saat itu Bupati memerintahkan Patihnya, Raden Pringgokusumo (cucu Mas Thalib) yang dibantu oleh Hakim Bagus Achmad bin Ngabsi untuk segera membangun Masjid Jami‟ peninggalan kakeknya yang telah diwakafkan untuk masyarakat Banyuwangi. Pembenahan fisik bangunan sedikit demi sedikit terus dilakukan oleh Raden Pringgokusumo Hadiningrat yang pada tahun 1867-1881
(14
tahun)
menggantikan saudaranya
Banyuwangi ke-5.
Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (8)
menjadi Bupati
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (Masjid Kedua)
c. RENOVASI (PEMBANGUNAN) MASJID KETIGA (1971-1990) Masjid Jami‟ Banyuwangi direnovasi kembali oleh Bupati Djoko Supaat Slamet, selesai tahun 1971, pada tahun itulah nama Masjid Jami‟ berganti menjadi Masjid Agung Baiturrahman. Pemugaran Masjid Jami‟ ini selesai dalam kurun waktu 2 tahun yang dimulai tanggal 28 Maret 1969 sampai tanggal 8 Maret 1971. Peresmian Masjid Agung Baiturrahman ini dilakukan oleh Bupati Djoko Supaat Slamet dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tanggal 12 April 1971. Terselesaikannya renovasi Masjid Agung Baiturrahman ini tentunya tidak lepas dari peranan Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi yang waktu itu tampuk kepemimpinannya dipegang oleh Bupati Djoko Supaat Slamet (Bupati Banyuwangi ke-21) yang memerintah Kabupaten Banyuwangi selama 12 tahun (1966-1978). Semula kepanitiaan renovasi ini dipegang oleh pihak Takmir Masjid, namun ternyata dalam perjalanannya tidak semulus seperti
yang
direncanakan.
Akhirnya
dengan
berbagai
pertimbangan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah Banyuwangi untuk menangani pemugaran tersebut. Kemudian Bupati memerintahkan Sekretaris Daerah (Sekda) Banyuwangi agar segera menyelesaikan pembangunan Masjid Kabupaten yang sarat dengan nilai-nilai sejarah itu. Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (9)
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (Masjid Ketiga)
d. RENOVASI (PEMBANGUNAN) MASJID KEEMPAT (1990-2005) Pada tahun 1986 oleh Bupati S. Djoko Wasito dan selesai tahun 1990 oleh Bupati Harwin Wasisto, Masjid Agung Baiturrahman direnovasi bentuk atapnya, yang semula berbentuk „kubah‟ dibongkar menjadi bentuk „joglo‟. Peresmian Masjid Agung Baiturrahman dilakukan pada tanggal 7 Maret 1990 oleh Bupati Banyuwangi, Harwin Wasisto. Pemugaran yang difokuskan pada bentuk atap ini membutuhkan waktu cukup panjang: empat tahun. Hal ini dikarenakan berbagai kondisi waktu itu, bisa jadi pula karena perpindahan (prosesi) tampuk kepemimpinan Kabupaten Banyuwangi. Bupati S. Djoko Wasito adalah Bupati Banyuwangi ke-23 yang memulai pemugaran atap ini, memerintah Kabupaten Banyuwangi selama 5 tahun (1983-1988). Pasca Bupati S. Djoko Wasito, Banyuwangi dipimpin oleh Bupati Harwin Wasisto, Bupati Banyuwangi ke-24 ini memerintah Kabupaten Banyuwangi selama 3 tahun (1988-1991). Perjalanan dua tahun masa kepemimpinan Bupati Harwin Wasisto dapat menyelesaikan pemugaran atap joglo ini dengan baik. Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (10)
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (Masjid Keempat)
e. RENOVASI (PEMBANGUNAN) MASJID KELIMA (2005) Gambar Rencana Pembangunan dan Pengembangan Masjid Agung Baiturrahman yang diluncurkan pada hari Ahad, 12 Juni 2005 oleh Bupati Ir. H. Samsul Hadi, dan mulai dibangun (peletakan batu pertama) pada hari Jum‟at, 9 September 2005 oleh Pth. Bupati H. Asma‟i Hadi, SH., MM. (Ketua Umum Panitia Pembangunan & Pengembangan Masjid Agung Baiturrahman). Pemugaran (pembangunan) Masjid Agung Baiturrahman ini direncanakan sejak setahun yang lalu, tepatnya September 2004, namun baru terealisasikan tanggal 9 September 2005. Bupati Banyuwangi ke-26, Ir. H. Samsul Hadi yang memerintah Banyuwangi selama 5 tahun (2000-2005) sangat mendukung pembangunan kembali Masjid Agung Baiturrahman sebagai salah satu aset Kabupaten Banyuwangi. Eksekutif dan legislatif bersama-sama ingin mewarisi kearifan Bupati Banyuwangi pertama Mas Alit ketika membangun kota Banyuwangi, diawali dengan membangun tempat ibadah (baca: Masjid) yang kala itu sangat sederhana. Perkembangan Masjid Kabupaten mau tidak mau memang tidak pernah lepas dari peranan umaro sekaligus ulama. © Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (11)
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (Masjid Kelima)
Sejarah Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (12)