TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural Pudji Pratitis Wismantara Lab Perancangan dan Kritik Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Abstrak Upaya pelestarian karakter Nusantara dalam perancangan arsitektur masjid mampu memberikan kontribusi bagi penciptaan corak peradaban muslim Nusantara demi pembentukan kebaruan identitas yang memuat nilai-nilai universal Islam dan lokal Nusantara. Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, menganalisis tingkat kualitas ruang dan bentuk arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang dalam menumbuhkan karakter kontekstual dan keberlanjutan arsitektural. Kedua, merumuskan konstruksi identitas ruang dan bentuk arsitektur masjid ini dalam upaya membangun strategi rekontekstualisasi dan keberlanjutan arsitektur masjid Nusantara. Elemen arsitektural masjid yang dianalisis adalah seluruh unsur visual bentuk, yang dibaca dengan menggunakan metode pendekatan visual culture. Visual culture adalah upaya mempersepsi bersama objek arsitektur dan objek-objek visual lainnya secara langsung, dengan mengamati elemen fisik arsitekturalnya dan kemudian berupaya menggali makna di balik realitas fisiknya. Penelitian ini akan memberikan manfaat dalam membangun konstruk identitas arsitektur masjid yang bercorak ambigu sebagai upaya negosiasi antar keragaman identitas arsitektur yang saling terajut, yang menghasilkan kebaruan rancangan. Kata-kunci : identitas masjid, visual culture, ambigu, kebaruan
Masjid Agung Jami’ Malang adalah salah satu masjid –meminjam istilah dari Hasan ud-Din Khan (1994)- tipe “Demakan” (Javanese Vernacular), di mana memiliki wujud yang mengambil acuan dasar Masjid Demak, sebagai faktor keajegan (continuity), yang telah mengalami transformasi sebagai faktor perubahannya (change). Masjid Jami’ Malang mengambil keajegan atap piramida bersusun, dengan beberapa transformasi, sesuai dengan karakter tempat dan zaman saat membangunnya. Dalam suatu perkembangan yang mutakhir, masjid ini menunjukkan perubahan karakter arsitektural menuju kebaruan identitas, yang mendasarkan perwujudannya pada keberlanjutan rancangan, yang berwawasan universalitas Islam sekaligus lokalitas Nusantara. Menurur Hatmoko (1999), setidaknya ada dua aspek pembaharuan arsitektural, yaitu pengajegan dan pengembangan. Pengajegan menunjukkan pengakaran pada tradisi setempat demi keberlanjutan identitas bangunan di masa kini dan mendatang. Pengembangan adalah proses peru-
bahan dan penyesuaian dengan kekinian dari suatu bangunan (wujud perlanggaman dan teknologi konstruksi) untuk mendapatkan kondisi terbaik. Permasalahannya, apakah kebaruan karakter arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang masih merujuk pada karakter arsitektur Nusantara, yang di satu sisi tetap mempertahankan unsur yang setempat dan di sisi lain mengkombinasikan dengan unsur-unsur yang pendatang? Apakah penyandingan kedua unsur (yang setempat dan yang pendatang) ini dalam wujud baru bisa selaras dan terpadu tanpa saling mengalahkan satu sama lain? Tulisan ini berupaya mengungkapkan karakter idenritas Masjid Agung Jami’ Malang melalui jelajah dan kajian aspek arsitekturalnya. Tampilan Masjid Jami’ Malang selama ini diyakini banyak orang sebagai alternatif keberlanjutan arsitektur yang berwawasan Islam dan Nusantara. Hanya saja, penggunaan elemen kubah dan minaret sebagai penegasan identitas kemusliman dunia sangat mendominasi tampilan selubung luar bangunan masjid ini. Dengan demikian, di Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | I 069
Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural
sini muncul dua kutub yang saling tarik-menarik dan saling berebut pengaruh, yaitu kutub identitas kemusliman dunia dan kutub identitas lokal berwawasan Nusantara. Kutub manakah yang akan dimenangkan? Sasaran yang dicapai dari hasil jelajah dan kajian ini adalah menemukan sebuah strategi untuk pengembangan arsitektural masjid kiwari, sebagai upaya keberlanjutan arsitektural yang bersifat mengkini, kreatif dan inovatif. Upaya menjelajah dan mengkaji kebaruan identitas arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang setidaknya memerlukan tiga langkah. Langkah pertama adalah merumuskan karakter-dasar dan ruang-waktu arsitektural. Tiga aspek ini merupakan rumusan interpretif dari penulis, yang bersumber pada sejumlah teori atau wacana yang berpotensi untuk mendukung upaya pembaharuan atau rekontekstualisasi arsitektur. Langkah ke-dua, adalah melakukan jelajah atas masjid tersebut dengan menggunakan metode pendekatan visual culture. Visual culture adalah upaya mempersepsi bersama objek arsitektur dan objek-objek visual lainnya secara langsung, dengan mengamati elemen fisik arsitekturalnya dan kemudian berupaya menggali makna di balik realitas fisiknya Pangarsa, 2008). Langkah berikutnya adalah melakukan kritik interpretif atas identitas masjid. Kritik ini mendasarkan pada aspek intuisi dan menjadi sarana menemukan pengetahuan baru tanpa harus menggunakan langkah-langkah kaku logika, dengan tetap bertumpu pada evidensi objektif (Attoe, 1978). Pengenalan identitas secara mendalam mengenai Masjid Agung Jami’ Malang ini (yang bermuatan nilai kekinian universal Islam dan lokalitas Nusantara), bisa dijadikan titik pijak dalam upaya pembaharuan dan pengembangan arsitektur masjid yang sesuai fitrah (selaras) alam dan (memanusiakan) manusia.
sampai 1930, di timur bangunan lama dibangun sebuah serambi bergaya klasik lokal beratap sosoran yang dilengkapi sepasang menara pendek berketinggian dua lantai yang berdenah segi delapan.
Gambar. 1. Masjid Agung Jami’ Malang tahun 1920an, memiliki sebuah serambi bergaya klasik lokal beratap sosoran yang dilengkapi sepasang menara pendek berketinggian dua lantai yang berdenah segi delapan. Sumber: Dukut Imam Widodo (2004).
Gambar. 2. Masjid tahun 1950-an, menunjukkan tampilan baru serambi beratap kubah dan atap dak beton. Menara menjadi lebih langsing-tinggi dan beratap kubah. Sumber: Dukut Imam Widodo (2004).
Genealogi Masjid Agung Jami’ Malang Masjid ini didirikan pada tahun 1853, berdenah bujursangkar dengan serambi di sekelilingnya (Wirjoprawiro, 1986). Tahun 1890 dibangun bangunan tambahan di sebelah barat masjid lama, sehingga ruang mihrab masjid lama di pindah ke bangunan baru. Antara tahun 1920 I 070 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Gambar. 3. Masjid tahun 1970-an, menunjukkan tampilan sebelumnya dengan penyederhanaan ornamentasi dan warna. Sumber: Zein Mudjiono Wirjoprawiro (1986).
Pudji Pratitis Wismantara 1
Setelah era kemerdekaan, di tahun 1950-an masjid mengalami perluasan. Saat itu diadakan perubahan pada serambi menjadi bangunan berlanggam Timur Tengah (Pan Islamic), dengan diberi penampil gerbang beratap kubah dan atap dak beton. Menara pun mengalami perubahan bentuk menjadi lebih langsing, tinggi dan dengan atap kubah. Unsur-unsur arsitektural seperti bentuk busur, kubah, dan menara pada masa itu dianggap mewakili “identitas universal” arsitektur Islam.
Gambar. 4. Masjid Agung Jami’ Malang saat ini, bagian fasad depan masih tetap menunjukkan tampilan serambi beratap kubah beton dan atap dak beton. Menara lebih ditinggikan lagi, sehingga tetap berkarakter langsing, tinggi dan dengan atap kubah. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Hingga saat ini, bangunan masjid Jami’ Malang ini terdiri dari tiga massa bangunan yang berderet dengan orientasi barat-timur. Bangunan yang letaknya paling barat, beratap tajug bertumpang dua, adalah bangunan perluasan yang dibangun di masa Hindia Belanda tahun 1890. Bangunan di sebelah timurnya adalah bangunan masjid awal, yang berlanggam dan berkonstruksi setempat, beratap tajug tumpang tiga yang dibangun tahun 1853. Sedangkan serambi depan yang terletak paling timur, pada mulanya dibangun di tahun 1950-an beratap kubah, dan di tahun 1999 ditambahkan lantai mezanin yang dinaungi kubah. Ruang dalam masjid merupakan gabungan dari dua bangunan yang dibangun pada masa yang berbeda. Ruang bagian barat diatapi tajug yang berstruktur cukup modern: empat sakaguru yang menopang kuda-kuda yang disambung dengan sistem klem (sambungan yang memakai
gabungan plat baja) yang menghasilkan ruang yang luas di antara keempat sakaguru kayu. Sementara ruang bagian belakang, struktur atapnya masih tradisional, memakai empat sakaguru dan enam belas sakarewa yang disambung dengan sistem purus. Jelajah Masjid Agung Jami’ Malang Secara visual, tampilan fasad bagian depan masjid Jami’ Malang merujuk pada hasil renovasi di tahun 1950-an yang mengedepan-kan langgam Pan Islamic berupa penonjolan bentuk busur lengkung pada ambang pintu, ornamen geometri dan atap kubah. Unsur-unsur arsitektural di atas hingga saat ini masih dianggap mewakili “identitas universal” arsitek-tur Islam, sebagaimana diyakini oleh banyak orang. Secara keseluruhan, masjid ini bisa dilihat sebagai arsitektur masjid Nusantara (yang setempat) berlanggam Jawa yang dibungkus atau “ditopengi” oleh selubung arsitektur masjid berlanggam Pan Islamic sebagai identitas universal Islam (yang pendatang). Jadi bisa dikatakan adanya penempelan antara langgam Jawa (yang setempat) di satu sisi dengan langgam Pan Islamic (yang pendatang) di sisi yang lain, dan bukan peleburan. Ruang utama berupa ruang dalam masjid, tempat utama peribadahan shalat atau khotbah yang dilingkupi oleh dinding berpintu banyak, berlanggam Jawa, memiliki sifat sakral, tertutup, dan dapat dikategorikan sebagai arsitektur perlindungan. Sedangkan ruang tambahan beru-pa serambi dan mezanin di lantai atasnya, berfungsi sebagai tempat kegiatan sosial masjid dan limpahan kegiatan peribadahan di dalam masjid, berlanggam Pan Islamic, memiliki sifat profan, terbuka, dan bisa dikategorikan sebagai arsitektur pernaungan. Kedua jenis ruang ini dipisahkan oleh unsur pemisah berupa dinding berpintu banyak, berlanggam Indische Empire, yang juga berfungsi sebagai penghubung antara ruang luar dan ruang dalam, ruang sakral dan ruang profan.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| I 071
Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural
Gambar 5. Masjid berlanggam Jawa dan dibungkus atau “ditopengi” selubung fasad berlanggam Pan Islamic. Keberadaan atap tajugnya semakin tenggelam oleh dominasi atap dan menara berkubah. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Dari penjelasan di atas dapat ditunjukkan bahwa ruang utama masjid yang berlanggam Jawa (yang setempat) tidak diserentakkan kehadirannya dengan ruang serambi dan mezanin masjid yang berlanggam Pan Islamic. Unsur dinding ber-pintu banyak yang berlanggam Indische Empire difungsikan sebagai unsur penyekat atau pemisah kedua ruang tadi yang memang sengaja tidak disandingkan. Dengan demikian, hasil dari pengembangan dan pembaharuan rancangan masjid ini memiliki pemaknaan identitas langgam yang ambigu. Langgam Jawa yang tertampilkan pada bangu-nan utama masjid beserta atap tumpang tajugnya bisa dilihat sebagai unsur arsitektur utama yang diletakkan di ranah yang bersifat sakral. Pada ruang dalam khas Jawa yang ditunjukkan oleh unsur sakaguru (kolom utama), suasana tertutup, tenang, hening, dilingkupi oleh dinding dan kemiringan atap tajug. Sementara, jika dilihat dari luar, masjid ini secara visual menampakkan wujud langgam Pan Islamic yang dominan, dan nyaris tak terlihat langgam Jawa yang diselubunginya. Jika kita berada di ruang dalam masjid, kita merasakan berada di ruang yang beridentitas Jawa. Sementara jika kita berada di serambi masjid, kita merasakan identitas ruang Timur Tengah.
Gambar 6. Tampilan ruang dalam Masjid Agung Jami’ Malang saat ini. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Unsur dinding beserta pintu berjalusi yang berlanggam Indische Empire di kedua sisinya (sisi dalam dan sisi luar bangunan) menunjukkan perpaduan yang selaras dan menyatu dengan kedua ruang yang dipisahkannya. Pada ranah ruang dalam masjid yang berlanggam Jawa, keberadaan dinding beserta pintu berjalusi ini menunjukkan keterpaduannya dengan semakin mengokohkan identitas Jawa yang lebih kaya. Sebaliknya, di ranah serambi, identitas Pan Islamic menunjukkan dominasi yang kuat karena keterpaduannya dengan dinding dan pintu ini yang mencitrakan kemegahan. Kajian Kritis Masjid Agung Jami’ Malang menunjukkan adanya keterpisahan secara tegas antara langgam Jawa pada ruang dalamnya dengan langgam Pan Islamic pada ruang luarnya. Sehingga secara visual masjid ini merupakan masjid Jawa yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Timur Tengah. Dinding masif beserta pintu berjalusi berlanggam Indische Empire menjadi unsur pemisah antara kedua ruang tadi. Adanya kombinasi antara dinding dan pintu berjalusi yang berlanggam Indische Empire dengan ruang dalam yang berlanggam Jawa dan ruang luar yang berlanggam Pan Islamic, semakin menegaskan fungsi dinding masif ini sebagai penyelaras antara ruang dalam dan ruang luar yang berbeda karakternya masing-masing. Wujud pengembangan pada dua massa bangunan utama masjid Jami’ Malang beserta ruang
I 072 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Pudji Pratitis Wismantara 1
dalamnya bisa dikategorikan sebagai presservasi. Mengingat bangunan ini bersejarah dan bernilai arsitektur tinggi, maka titik tolak tindakan pengembangannya adalah memelihara dan melestarikan sesuai kondisi bangunan dan lingkungan yang bersangkutan dari kerusakan. Preservasi dilakukan dengan merujuk pada kondisi seperti aslinya, dengan tingkat perubahan kecil.
Gambar 8. Ruang dalam masjid sebelah barat, merupakan pengembangan awal Masjid yang dibangun di tahun 1920an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Gambar 7. Ruang dalam masjid sebelah timur, merupakan bagian awal Masjid yang dibangun di tahun 1870an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Pengembangan pada fasad masjid mengacu pada perluasan bagian serambi di tahun 1950an, dengan perubahan tampilan menjadi bangunan berlanggam timur tengah (Pan Islamic), dengan diberi penampil gerbang beratap kubah dan atap dak beton. Wujud pengembangan ini bisa dikategorikan sebagai renovasi. Renovasi ini dilakukan mengingat bagian serambi ini memerlukan adaptasi fungsi berupa penambahan lantai mezanin di atasnya. Renovasi dilakukan dengan merubah sebagian atau beberapa bagian, terutama bagian dalam bangunan untuk menampung fungsi lama dengan persyaratan baru.
Gambar 9. Bagian serambi masjid, merupakan pengembangan mutakhir masjid yang rancang kembali di tahun 1990an. Sumber: dokumentasi pribadi (2008).
Pengembangan dan pada pembaharuan arsitektur yang berperan dalam menciptakan identitas atau memori suatu kawasan sekaligus menghadirkan konteks kekiniannya. Usaha pengembangan pada rancangan arsitektur mensyaratkan adanya kombinasi antara unsur-unsur yang setempat dan unsur-unsur yang pendatang, yang lama dan yang baru tanpa harus menghapuskan atau mengabaikan salah satu unsur.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| I 073
Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural
ditentukan. Serambi ini selanjutnya berfungsi sebagai selubung yang “menopengi” atau membungkus bangunan utama masjid. Sehingga terjadi pemisahan dalam penghadiran ruang dalam masjid dengan serambi. Dinding berlanggam Indische Empire yang memisahkan kedua bagian bangunan ini berfungsi sebagai pembatas yang tampilan agregatnya selaras dengan dua ruang yang dipisahkannya.
Gambar 10.. Hasil pemetaan ruang pada Masjid Jami’ Malang. Setidaknya ada modifikasi antara unsur klasik dan modern, sekaligus setempat dan pendatang. Sumber: hasil analisis (2016).
Gambar 11. Ambiguitas Masjid Jami’ Malang, muncul karena pertemuan antara dua entitas yang saling bertolak belakang: klasik dan modern, setempat dan pendatang, sakral dan profan, terlindung dan ternaung. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, dan karena itulah bersifat komplementer.
Pada kasus Masjid Agung Jami’ Malang, bangunan utama berupa ruang dalam masjid yang berlanggam kombinasi Jawa-Indische Empire, pengembangan yang dilakukan berupa presservasi. Preservasi ini dimanfaatkan untuk melestarikan dan mengembalikan kondisi bangunan bersejarah sesuai dengan aslinya. Sementara, pada serambi masjid yang berlanggam kombinasi Pan Islamic-Indische Empire, pengembangan yang dilakukan berupa renovasi. Renovasi ini digunakan untuk merubah sebagian atau beberapa bagian rancangan serambi dengan tetap mengacu pada langgam awal yang telah I 074 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Pembaharuan Arsitektur Nusantara mengandung dua aspek yang saling melengkapi, yaitu aspek ajeg [continuity, “al-muhafazhah”] dan aspek perubahan [change, “al-akhdzu”] (Wismantara, 2014). Dalam khazanah peradaban muslim Nusantara, dikenal kaidah populer yang sering dikutip KH. Achmad Siddiq, yang berbunyi, “Almuhafazhah ala-l-qadimi-sh-shalih wal akhdzu bi-l-jadid-l-ashlah” (Baso, 2015). Terjemahan bebas kaidah ini, adalah mempertahankan sesuatu yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Sesuai dengan kaidah di atas, pembaharuan Arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang ini juga meniscayakan adanya dua prinsip, yaitu “almuhafazhah” (pelanggengan tradisi) dan “alakhdzu” (penggerakan tradisi). Menurut Baso (2016), kedua prinsip ini harus berjalan seimbang, tak boleh saling berbenturan, dan tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Pengunggulan prinsip “al-akhdzu” dengan pengesampingan “almuhafazhah”, akan berakibat pada hilangnya orientasi dan identitas suatu tradisi kulturalnya, sehingga dapat menimbulkan kondiri kehilangan arah atau mudah terbawa arus tradisi budaya asing. Pengedepanan prinsip “al-muhafazhah” dan penanggalan “al-akhdzu”, akan berakibat pada timbulnya sikap kemapanan, kejumudan (konservatif) yang justru akan menjauhkan diri dari semangat zaman yang berorientasi kekinian. Dengan berpegang pada dua prinsip pembaharuan ini, pengembangan arsitektur masjid akan selalu kontekstual dan relevan dengan semangat dan dinamika zaman, dengan tetap berangkat dari tradisi masing-masing lokalitas. Prinsip “al-muhafazhah” pada Masjid Agung Jami’ Malang dapat dijumpai pada penggunaan unsur-unsur yang setempat, seperti memperta-
Pudji Pratitis Wismantara 1
hankan keaslian kesan bentuk dan suasana ruang masjid Jawa (tipe Demakan) pada bagian bilik masjid. Prinsip “al-akhdzu” pada masjid ini dapat ditemui pada penggunaan teknologi dan bahan baru yang berupaya “menemani” teknologi dan bahan lama. Memasukkan unsur langgam Eropa dan Pan-Islamic dan menyatukannya dengan langgam lokal Jawa-Demakan, juga merupakan upaya mendialogkan antara unsur yang lama dan yang baru ke dalam satu kesatuan arsitektural yang utuh. Salah satu ciri yang menonjol pada Masjid Agung Jami’ Malang adalah kemunculan karakter ambigu. Menurut Ratna (2008), ambigu memiliki arti taksa, hakikat tanda dengan banyak makna. Ambigu memiliki kesejajaran dengan konotasi, merupakan ciri khas karya seni. Ambiguitas masjid ini, misalnya ditunjukkan oleh perpaduan yang saling melekat antara unsur yang lama dan yang baru, yang setempat dan yang pendatang, serta yang ajeg (al-muhafazhah) dan yang berubah (al-akhdzu) tanpa saling mengalahkan satu sama lainnya. Jika kita berada di bagian serambi masjid, akan terasakan kesan dan suasana arsitektur berlanggam Pan-Islamic yang bersifat profan, baru, dan ternaung. Jika kemudian kita masuk ke dalam bilik masjid, akan terasakan kesan dan suasana arsitektur berlanggam Jawa-Demakan yang bersifat sakral, lama, dan terlindung. Perwujudan total masjid ini memperlihatkan eksistensi masjid Jawa-Demakan sebagai unsur utama atau esensial, yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Pan-Islamic sebagai unsur tambahan atau bungkus. Penutup Penjabaran pengembangan dan pembaharuan arsitektur masjid di atas, memberikan keabsahan dalam pembentukan identitas masjid yang berwawasan Nusantara. Keunggulan pengembangan pada kasus di atas memberi kontribusi mempertemukan “secara dialogis” unsur-unsur yang saling kontradiktif tanpa harus menjadi salah satu di antaranya, dan mengembangkannya menjadi wujud baru yang kaya dan bersifat ambigu. Ambiguitas Masjid Agung Jami’ Malang, muncul karena pertemuan antara dua entitas
yang saling bertolak belakang: klasik dan modern, setempat dan pendatang, sakral dan profan, terlindung dan ternaung, serta orientasi vertikal dan horisontal. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, dan karena itulah bersifat komplementer. Masjid ini bisa dibaca sebagai masjid Jawa-Demakan yang diselubungi atau ditopengi oleh fasad yang bercitra Pan-Islamic. Kecenderungan (fitrah) manusia, selalu merindukan kebaharuan (Pangarsa, 2010). Kebaruan itu adalah pencapaian harkat dan derajat manusia menuju yang lebih sempurna, ke arah Allah Yang Maha Sempurna. Pada saat ini, konservasi arsitektur justru harus diletakkan dalam konteks kebaharuan. Saat ini masayarakat muslim dihadapkan pada kondisi modernitas, di mana kita dihadapkan pada berbagai pilihan yang kita bawa dari masa lalu, dengan kemungkinan baru di masa depan. Dengan demikian, pencarian ekspresi dan wujud arsitektur baru, harus mencerminkan upaya (ijtihad) kita dalam menafsirkan kondisi kebaruan kita. Daftar Pustaka Wayne (1978). Architecture and Critical Imagination. Old Woking. England: John Wiley &
Attoe,
Sons, Ltd. Baso, Ahmad (2015). Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid 1. Tangerang: Pustaka Afid Baso, Ahmad (2016). Islam Pasca Kolonial. Tangerang: Pustaka Afid. Hatmoko, Adi Utomo (1999). “Weaving Heritage Sites into Larger Context”, Procedding of International Seminar on Vernacular Settlement, Faculty of Engineering University of Indonesia, 1999. Khan, Hasan ud-Din (1994). “An Overview of Contemporary Mosques”, Martin Frishman & Hasan ud-Din Khan (eds.), Mosque: History, Architectural Development and Regional Diversity. London: Thames & Hudson. Pangarsa, Galih W. (2010). Materialisme pada Masjid Nusantara. (E-book Engine on arsiteknusantara. blogspot.com), Malang: @You Publish. [10 Agustus 2015] Pangarsa, Galih W. (2008). Arsitektur untuk
Kemanusiaan: Teropong Visual Culture atas Karyakarya Eko Prawoto. Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Ratna, Nyoman Kutha. (2006). Postkolonialisme Indonesia: Relevansi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| I 075
Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural Widodo, Dukut Imam (2004). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayu Media. Wirjoprawiro, Zein Mudjiono (1986). Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: Bina Ilmu. Wismantara, Pudji Pratitis (2014). Eksistensi & Rekontekstualisasi Arsitektur Masjid Nusantara. Malang: UIN Maliki Press.
I 076 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016