Arsitektur Masjid Jami’Sulthan Ayyub Sanggau M. Kasim Abdurrahman Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta
[email protected] This paper seeks to uncover the historical and religious inscriptions on the Mosque of Sulthan Ayyub Sanggau, West Kalimantan. This research used a qualitative research perspective. The Research found that the mosque still retain traditional Islamic architectural style of the main building. It is seen in the conical dome, roof shingle materials used, and mustaka located on the top of the roof of the mosque. The influence of local architectural styles seen in the mosque dominated the paint in yellow and green. The mosque is still storing artifacts as evidence of the triumph of Islam at the time, particularly by maintaining building domes, towers, flagpoles, pulpits, and some other Islamic inscriptions. Keywords: Islamic epigraphy, Masjid, Sulthan Ayyub Paku Negara, Sanggau West Kalimantan. Tulisan ini berupaya mengungkap sejarah dan inskripsi keagamaan pada Masjid Sulthan Ayyub Sanggau Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menemukan fakta bahwa Masjid ini mempertahankan gaya arsitektur tradisional Islam pada bangunan utama, seperti terlihat pada kubah yang berbentuk kerucut, atap menggunakan bahan sirap, dan terdapat mustaka di bagian puncak atap masjid. Pengaruh arsitektur lokal nampak pada warna yang didominasi warna kuning dan hijau. Masjid ini menyimpan artefak sebagai bukti kejayaan Islam pada saat itu, terutama dengan mempertahankan bangunan kubah, menara, tiang bendera, mimbar, dan beberapa inskripsi keislaman lainnya. Kata kunci: epigrafi Islam, masjid, Sulthan Ayyub Paku Negara, Sanggau Kalimantan Barat.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
Pendahuluan Beberapa kajian awal yang pernah dilakukan terhadap rumah ibadah kuno di Indonesia, antara lain adalah kajian tentang masjid pada Menara Masjid Kudus, yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1920. Ia memperkirakan bahwa Menara Masjid Kudus berasal dari abad ke 16 Masehi, dan dianggap merupakan gaya bangunan peralihan dari gaya bangunan rumah ibadah agama Hindu Majapahit yang berbentuk Candi. Pada tahun 1922 penelitian dilanjutkan oleh J.E. Jasper, yang mengkhususkan pada seni ukir dan seni bangunan. Ia berpendapat bahwa seni ukir dan seni bangunan di Kudus merupakan seni bangunan Jawa Hindu Majapahit. Tahun 1934, Steinman juga melakukan kajian terhadap ornamen yang terdapat pada masjid Mantingan dan makam Ratu Kalinyamat, serta melakukan kajian perbandingan dengan ornamen yang terdapat di candi-candi. Penelitian tentang menara dan masjid kuno di Indonesia selanjutnya dilakukan oleh G.F Pijper tahun 1947. Dia menyimpulkan bahwa masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak mempunyai menara, seperti menara di Masjid Kudus bukan menara asalnya, melainkan bangunan dari zaman Hindu sebelum datangnya Islam.1 Sejalan dengan perkembangan zaman, corak dan bentuk bangunan masjid-masjid di Indonesia juga mengalami perkembangan dan perubahan, baik terhadap masjid kuno maupun masjid yang didirikan kemudian, seperti masjid-masjid pada masa kepemimpinan Soeharto.2
1
M. Johan Irmawati, Peran Arkeologi dalam Kajian Nusantara, Jurnal Lektur Keagamaan, Puslibang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Vol 7, Nomor 1, Tahun 2009, h. 138-139. 2 Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YAMP) telah membangun sekitar 900 buah masjid yang tersebar di seluruh peloksok tanah air I ndonesia. Masjid-masjid yang dibangun YAMP ini bebentuk bangunan joglo yang berasitektur Jawa, beratap dua tingkat, dilengapi dengan puncak bertulikan huruf Arab “Allah” di atasnya (Effendi Djohan, Sejarah Masjid-masjid Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama, 1999, h. 1)
236
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
Dalam sejarah Islam Indonesia, para penyebarnya seperti Wali Songo tidak serta merta mengadakan perubahan sosial keagamaan secara cepat, atau menggantikan nilai-nilai budaya lokal yang sudah berakar ratusan tahun dengan nilai-nilai budaya Islam yang baru diperkenalkan. Mereka berusaha memasukkan ajaran Islam antara lain dengan membangun masjid. Para wali tidak mau menerapkan secara langsung bentuk dan pola masjid yang ada di negeri Islam asal mereka. Misalnya, tidak ada bentuk mesjid yang dibangun dengan berkubah dan bermenara tinggi menjulang. Mereka selalu membangun masjid dengan memanfaatkan potensi setempat, antara lain pemanfaatan bangunan ibadah agama Hindu.3 Setelah itu, muncullah langgam arsitektur masjid yang secara berangsur-angsur menunjukkan perubahan penting, sesuai kondisi politik dan tingkat kemampuan teknologi masyarakat Islam Indonesia. Masjid serta benda-benda peninggalan bersejarah di dalamnya merupakan saksi sejarah, sekaligus juga merupakan saksi sejarah masuk dan berkembangnya agama-agama ke wilayah dimana rumah ibadah itu berdiri. Menurut Hasan Muarif Ambary bahwa benda-benda bersejarah tersebut merupakan salah satu instrumen analisa untuk menelusuri sejarah masuknya agama-agama di Indonesia, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia secara umum. Seperti di wilayah lain di Indonesia, Kalimantan juga memiliki masjid bersejarah yang masih dilestarikan, seperti salah satunya adalah Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Kabupaten Sanggau di Kalimantan Barat, yang dijadikan sebagai objek penelitian ini. Masjid tersebut adalah salah satu rumah ibadah bersejarah, yang terdapat di dataran tinggi bagian utara Propinsi Kalimantan Barat. Pemilihan daerah ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian serupa belum pernah dilakukan peneliti terdahulu, juga
3
Masjid-masjid peninggalan eks Kesunan Kudus di Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah, seperti Masjid Menara Kudus, Masjid Ngaknguk, Masjid Loram Kulon, Masjid Telingsing, dan Masjid Jipang, baik pintu utama memasuki masjid maupun pintu di dalam masjid, berbentuk sesembahan Agama Hindu atau Gapura yang terbuat dari batu bata merah tanpa semen
237
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
karena masih terbatasnya informasi dan data tentang rumah ibadah bersejarah di daerah tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-arkeologis yang terkait dengan sejarah dan kekunoan. Pendekatan penelitian maupun analisis data dalam tulisan ini disesuaikan dengan sifat penelitian, yaitu historis dan arkeologis. Pendekatan historis dilakukan untuk menganalisas dan mendeskripsikan latar belakang sejarah keberadaan masjid bersejarah, sedangkan pendekatan arkeologis dilakukan untuk menganalisis dan mendeskripsikan benda-benda kuno serta simbolsimbol yang ada di dalamnya. Analisis dan deskripsi data historis maupun arkeologi tersebut kemudian diperkaya dengan penafsiran, terutama yang didasarkan pada penjelasan para tokoh agama, hasil kajian, dan pendapat masyarakat setempat. Oleh sebab itu, sumber data tentang Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau ini dikelompokan menjadi dua macam. Pertama, data primer: yaitu data yang diperoleh dari studi dokumentasi atau bahan bacaan, naskah, dan sumber lain yang berhubungan dengan penelitian. Kedua, data sekunder: yaitu data yang diperoleh melalui observasi dan wawan cara langsung dengan para ahli atau tokoh masyarakat terkait, antara lain: pengelola rumah ibadah, pejabat Kementerian Agama, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sejarawan, budayawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di daerah penelitian. Deskripsi Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau Daerah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat banyak dihuni oleh suku Dayak, Melayu, Tiong Hoa, Batak, Sunda, Jawa, Minang, Madura dan Flores, sementara kehidupan ekonominya ditopang oleh dua komoditas utama, yaitu karet dan sawit. Bahasa yang digunakan tergantung daerahnya masing-masing, tetapi pada umumnya menggunakan bahasa Melayu. Agama yang dianut masyarakat Sanggau mayoritas Islam, selebihnya terdapat penganut Kristen dan Hindu, meskipun dahulunya mereka adalah penganut animisme.
238
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
Dalam konteks historis, di wilayah ini pernah hidup sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Islam Paku Negara yang didirikan salah seorang santri dari “Pesantren Nurul Kamal” Banten bernama Abdurahman. Dalam melakukan dakwah Islam di Kalimantan Barat, ia menikah dan mengislamkan pemimpin masyarakat setempat yang masih menganut Hindu bernama Dara Mas Ratena. Abdurahman dinobatkan menjadi raja pertama di kerajaan Paku Negara di Desa Mengkiang. Mereka tinggal dan beraktivitas di istana yang disebut Keraton Rumah Besar. Salah satu putra Abdurahman yang bernama Sulthan Ayyub Paku Negara menggagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada pertama di Sanggau (1826 M), yang berjarak hanya sekitar 10 meter dari Keraton Surya Negara (istana Rumah Besar) yang menandakan bahwa masjid dan keraton tak terpisahkan.4
Gambar 1: Rumah Besar dulu dan sekarang
4
http://luthfianis.blogspot.com/2012/07/dakwah-abdurahman-disanggau.html. Diakses Minggu, 29 Juli 2012.
239
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
Gambar 2: Masjid Jami’ Sulthan Ayyub (Foto Dok. Kasim)
Sekilas tampak bahwa pengaruh Jawa dan Melayu sangat kental pada arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub ini. Hal tersebut terlihat dari kubah yang berbentuk tumpang dan warna-warna kuning cerah, juga bentuk denah bangunan aslinya yang berbentuk bujur sangkar. Masjid tersebut berdiri kokoh sekitar 15 meter dari bangunan Kerajaan Sanggau, sekitar 10 meter dari bibir sungai Kapuas. Ia merupakan masjid tertua dan menjadi pusat dakwah Islam di wilayah Sanggau, yang dibangun di atas tanah seluas 480 m2 dengan luas bangunan masjid (bangunan induk) 264 m2. Di sebelah baratnya berbatasan dengan rumah Idham Halid, sebelah timur berbatasan dengan TPA/Q, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan rumah H. Namsyait, sementara sebelah utara berbatasan dengan jalan raya dan sungai. Umumnya, di sekitar masjid tua terdapat makam pendiri atau orang yang berjasa dalam syi’ar agama di daerah tersebut. Demikian juga dengan Masjid Jami’ Sulthan Ayyub ini, sekitar 300 m sebelah kanannya ditemukan makam Panembahan H. Abang Soelaiman Pakunegara bin Penembahan H. Abang Muhammad Angkan Pakunegara, yang memerintah dari tahun 1876 sampai dengan tahun 1908.
240
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
Gambar 3: Makam Panembahan H. Abang Soelaiman Pakunegara (1876-1908) (Foto Dok. Kasim)
Pada bagian samping kanan masjid terpampang papan nama masjid berwarna dasar hitam yang terbuat dari kayu dengan tulisan nama masjid dengan huruf Arab, lengkap dengan alamatnya yaitu: Jl. Pangeran Mas no.21 Lingkungan Kantu Sanggau.berwarna putih. Masjid ini diberi pagar sekelilingnya yang dicat khas warna Melayu, yaitu hijau dan kuning serta putih. Pagar besinya dicat hijau dan temboknya berwarna kuning. Memag terdapat halaman, akan tetapi tidak ada taman dan tanpa pepohonan karena lokasinya terbatas. Atap masjid bagian depan berbentuk segi tiga, pada atap tersebut tertera nama masjid Jami’Sulthan Ayyub ini yang ditulis dengan huruf Arab dengan backgroundnya berwarna hijau tua dan tulisannya berwarna kuning. Di atas atap sirap terdapat sebuah menara yang di bawahnya berbahan kayu, berukir terawang dan berwarna kuning, sedangkan di atas dan bawahnya diberi warna hijau. Bagian atasnya terdapat pula penutup berbentuk segi enam, yang pada puncaknya ada sejenis mustaka berbentuk kerucut dan di ujungnya tumpul. Fungsi dari menara tersebut adalah untuk mengumandangkan azan. Menara itu sendiri dibuat pada masa Panembahan H. Sulaiman Paku Negara (27 Rajab 1291 H), kemudian disempurnakan kembali pada saat masjid dikelola oleh H. Zakaria. Di atas atap pada bangunan utama terdapat sebuah kubah sebagai ciri atau identitas masjid. Kubah tersebut bermakna terciptanya suasana yang agung sehingga manusia merasa kecil di 241
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
hadapan Khaliknya. Bentuk kubah Masjid Jami’ Sulthan Ayyub bertingkat/tumpang berbentuk segi empat, yang letaknya menyatu dengan bangunan induk, berbentuk kerucut di ujungnya (mustaka), serta berwarna hijau dan tanpa ornamen. Di depan pintu masuk di sebelah kiri tangga terdapat tiang bendera yang masih asli. Tiang ini sudah ada sejak berdirinya masjid. Memasuki bangunan utama masjid terdapat tujuh anak tangga, terbuat dari keramik berwarna orange yang selusurnya terbuat dari stainless steel anti karat. Di atasnya ada awning untuk menaungi agar sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan utama. Di atas pintu masuk dijumpai tulisan doa masuk dan keluar dari masjid. Terdapat pula empat buah daun pintu masjid berukuran tinggi 2,40 m dan lebar 2,00 m. Model pintu lipat ini tanpa ornamen pada pintu susun sirih/sirip, warna pintu hijau, dan diberi list kuning. Pintu di masjid ini berjumlah tiga, yang di depan untuk tempat masuk jama’ah laki-laki, yang di sebelah kanan untuk tempat masuknya jama’ah perempuan, sedangkan yang di sebelah depan kanan sebagai pintu darurat. Pada kanan dan kiri pintu utama terdapat jendela berkaca bening yang membantu pencahayaan dari luar. Jumlah jendela masjid ini ada 10 buah, dua buah berkaca bening di depan dekat pintu masuk, sedang delapan buah lainnya terbuat dari kayu berukuran 1.30 m panjang dan 1.30 m lebarnya, berwarna hijau dengan ornament susun sirih di kanan dan kiri bangunan utama. Di bawah jendela terdapat sebuah prasasti/tanda wakaf yang isinya tanda dimulainya renovasi masjid tersebut. Di sebelah kanan dan kiri tangga di bawah jendela bagian muka dan di sebelah kanan pintu masuk, terdapat wadah berbentuk kotak-kotak yang berfungsi untuk menyimpan sepatu atau sandal jama’ah. Dan di sebelah kiri tangga terdapat sebuah bedug yang berfungsi sebagai penanda masuknya waktu salat, tetapi bedug ini baru dibuat ketika masjid direnovasi, ukuran panjangnya 1 m dan berdiameter 1,5 m, sedangkan yang aslinya sudah rusak, tetapi masih disimpan oleh pengurus. Balai beduk yang aslinya telah ada sejak tahun 1339 H. 242
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
Masjid ini tidak mempunyai serambi pada pintu utamanya. Serambi kecil hanya ada di dekat bedug di samping kanan bangunan utama. Fungsi serambi untuk menyimpan bak sampah, dan sebagainya. Warna dinding serambi pada bangunan induk kuning cerah. Tidak terdapat kolam/kullah yang biasanya digunakan untuk berwuduk, sebagaimana umumnya terdapat pada masjid-masjid kuno. Tempat wudhu sekarang ditempatkan di sebelah kanan masjid dengan menyediakan beberapa buah keran. Pada salah satu dindingnya yang berkeramik warna biru dicantumkan tulisan do’a sebelum wuduk beserta artinya: “All±hummagfirl³ ©anb³ wa wassi‘ l³ f³ d±r³ wa b±rikl³ f³ rizq³” Artinya: “Ya Allah ampunilah dosaku, lapangkanlah rumah tanggaku dan berkahilah rizki untukku.”
Sedangkan pada dinding yang lain, tempat wuduknya dilapisi keramik biru di bagian bawahnya, dan bagian atasnya berkeramik kuning. Di antara keduanya diberi list hijau yang di atas listnya dihiasi dengan tulisan niat berwuduk, sementara transkripsinya berwarna dasar kuning dan tulisan hitam. Niat wuduk tersebut adalah: “nawaitu al-wu«µ’a li raf‘i al-¥ada£ al-a¡gar far«an lill±hi ta‘±l±.” Diatas tempat wudhu ini diberi awning agar teduh dan pada lantainya diberi bantalan yang berfungsi sebagai tempat duduk. Di sebelah kanan tempat wudhu terdapat dua buah toilet untuk laki-laki dan wanita, dengan kasonya berwarna hijau serta daun pintunya dicat kuning. Toilet tersebut sudah sesuai dengan ketentuan pembuatan toilet menurut kaidah Islam, di mana posisi toilet tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat. Pada masjid ini tidak terdapat aula atau gedung pertemuan, maupun ruang peristirahatan, yang ada hanya kantor sekretariat yang terdapat di bagian kiri masjid dan sebuah perpustakaan kecil di bagian dalam sebelah kanan. Bagian depan bangunan (sebagai entrance saat ini) digunakan sebagai perpustakaan. Tujuannya untuk menambah pengetahuan para jama’ah dengan banyak membaca buku-buku islami. Di perpustakaan ini hanya ada satu buah rak bersusun lima dan diberi empat bagian untuk memisahkan 243
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
masing-masing katalog. Di depannya terdapat sebuah rak buku kecil dicat putih bersusun empat yang juga dipenuhi buku-buku Islami bergambar untuk anak-anak.
Gambar 4: Perpustakaan (Foto Dok. Kasim)
Memasuki bangunan utama masjid ini, nampak keteduhan dan kenyamanan masjid karena di dalam masjid senantiasa disebut Asma Allah Yang Maha Agung dan Mulia. Sebab, tempat ini selalu digemakan Kalam Ilahi yang Suci, juga tempat dijalinnya kasih sayang antar sesama muslim, terutama melalui forum komunikasi atau penyelenggaraan ta’lim dan da’wah Islamiyah dari berbagai lapisan usia anak, remaja, dan dewasa dalam satu wadah. Bangunan utama masjid berlantai keramik berwarna coklat dengan plafon berwarna putih, ditopang oleh empat buah tiang (kolom) berbentuk persegi, dan terbuat dari kayu ulin. Tiang tersebut masih asli dengan ukuran 34,5 cm x 33 cm, tinggi 8 m, dan berwarna kuning dengan list hijau. Tiang yang ada di dalam bangunan utama seluruhnya berjumlah 34 buah, yaitu terdiri dari 4 buah tiang utama dan 30 tiang yang terpancang di tempat lainnya. Fungsinya aadalah sebagai tiang penopang kubah dan rangka bangunan. Di tengah plafon
244
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
antara keempat tiang utama tergantung beberapa buah lampu hias antik yang masih asli.
Gambar 5: Empat tiang penyanggah (kolom) yang asli masih dipergunakan (Foto Dok. Kasim)
Bagian dalam ke arah kiblat terdapat mihrab tempat imam memimpin salat, berbentuk persegi empat, dan berukuran 3x4 m2. Terdapat pula di dalam mihrab antara lain berupa kaligrafi di dinding bagian dalam atasnya, demikian juga pada depan, kanan dan kirinya. Adapun kaligrafi yang tertera di bagian atas muka adalah Surah an-Nµr ayat 35: Artinya: “kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun.”
Sedangkan di sebelah kiri atasnya terdapat tulisan Surah alFurq±n ayat 74: Artinya: “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Sementara itu, kaligrafi di sebelah atas kanannya tertulis Surah al-Isr±’ ayat 24: Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
245
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
Selain itu, inskripsi di atas belakang tertera ‘Syahadatain’ yaitu: Asyhadu all± ill±ha illall±h, wa asyhadu anna Mu¥ammadan rasµlull±h. Secara bahasa, syahadat tauhid artinya menyaksikan keEsaan Allah Swt., sedangkan syahadat Rasul artinya menyaksikan dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw.5
Gambar 6: Mihrab dan Mimbar untuk imam salat (Foto Dok. Kasim)
Benda lainnya yang ada di mihrab adalah sebuah sajadah dan jadwal salat, sedangkan di atas plafon tergantung sebuah lampu hias, juga sebuah mimbar/podium. Mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbahnya. Bentuk mimbarnya serupa dengan mimbar di Masjid Nabawi (Madinah). Mimbar tersebut berukuran panjang bawah 265 cm, panjang tengah 240 cm, lebar dasar 116 cm, lebar atas 90 cm, tinggi tengah depan 90 cm, dan tinggi belakang lebih dari 3 m dengan ketebalan kayu 9,8 cm.
5
https://www.facebook.com/BelajarAgamaIslamItuIndah/posts/1226078712 49605. Diakses pada 30 Januari 2013.
246
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
Gambar 7: Mihrab dan Mimbar untuk imam salat (Foto Dok. Kasim)
Di dalam mimbar terdapat 5 buah anak tangga yang dilapisi dengan karpet merah. Ornamen ini memiliki atap sebagai ciri khas kedaerahan. Di depannya terpasang bendera berwarna hijau, sedangkan di belakangnya juga dipasang bendera berwarna kuning. Ornamen/ukiran Arabesque di depan dan kiri kanan mimbar berupa ukiran kaligrafi asmaul husna. Di bagian atas dan bawah tempat masuk mimbar ada ukiran bunga berwarna perak dengan daundaunnya yang berwarna hijau. Di sebelah kanan mihrab terdapat pula sejenis lemari dengan 10 daun pintu tempat penyimpanan buku-buku Islami dan Al Qur’an. Di atasnya terdapat sebuah jam dinding dan jadwal waktu salat berbentuk jam, dan juga terpajang sebuah inskripsi yang masih asli tulisan tangan Raja Sulaiman, menggunakan huruf Arab yang bertuliskan kalimat tauhid dan rasul di atas kayu ulin. Ragam hiasan ornamen masjid pun bersifat sederhana namun tetap elegan yaitu berupa tulisan tangan dalam bentuk kaligrafi pada dinding tembok bagian atas dan mimbar yang dibuat dari bahan kayu yang diukir dengan kaligrafi dan ukiran di dinding dibuat pada tanggal 1 Muharram 1340 H.
247
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
Gambar 8: Inskripsi asli yang masih disimpan dan dipajang (Foto Dok. Kasim)
Di sebelah kiri mimbar masjid terdapat inskripsi dengan tinggi 44 cm, panjang 96 cm, tebal 2 cm, berbentuk segi tiga yang di atasnya ada tulisan Muhammad timbal-balik. Semuanya diukir di atas kayu ulin berwarna dasar hijau dan tulisan warna kuning emas, yaitu tulisan: “All±hu wa¥dahµ l± Syar³kalah Mu¥ammadun rasµlull±hi ¡allall±hu ‘alaihi wasallam fainnaka man¡µrun-man¡µrun.” Artinya: Allah Yang Maha Esa tidak ada sekutu baginya Muhammad utusan Allah SWT. Maka sesungguhnya engkau ditolong.
Tulisan kaligrafi di atas ditulis oleh Raja Sulaiman, pada bulan Muharram 1306 H. Panjang bawah 150 cm, panjang atas 140 cm, tinggi tengah 71 cm, tinggi kiri tengah 41 cm, tebal (lebar) 1 cm, dan menggunakan kayu tikam (informasi dari Bpk. Ade Syahrizal).
Gambar 9: Kaligrafi baru (Foto Dok. Kasim)
Selanjutnya, pada setiap sisi plafon masjid ini dihiasi dengan kaligrafi baru yang ditulis oleh Bapak Kasfal Anwar S.Ag pada tahun 2010. Di atas pintu masuk utama bagian depannya terpampang kaligrafi do’a masuk masjid, yaitu: All±hummagfir l³ ©unµb³ wafta¥ l³ abw±ba ra¥matik Artinya: “Ya Allah! ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah pintu-pintu karunia dan rahmat-Mu.”
Sedangkan pada bagian dalamnya terdapat do’a keluar masjid berbunyi:
248
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
All±humma ¡alli ‘al± Mu¥ammad All±hummaghfir l³ wafta¥ l³ abw±ba ra¥matik. Artinya: “Ya Allah, berilah rahmat atas Nabi Muhammad saw. Ya Allah ampunilah akau dan bukakanlah pintu-pintu keutamaan-Mu.”
Pawestren adalah tempat salat perempuan yang terdapat di bagian belakang masjid, benda-benda yang terdapat di dalamnya hanya perlengkapan salat bagi wanita. Masjid ini masih menggunakan bahan kayu asli, hanya sebagian atapnya saja yang diganti karena sudah lapuk termakan usia. Pada awalnya, masjid ini tidak menggunakan paku dan ketika direnovasi barulah ada menggunakan paku. Pada ruang utama, tampak sekali warna budaya Melayu Islamnya yang didominasi dengan warna kuning dan hijau. Masjid ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat da’wah, juga merupakan sarana sosial sebagai pusat pelestarian kebudayaan dan juga sebagai wadah belajar ilmu agama dan lainnya dan pusat pengabdian masyarakat. Aktivitas keagamaannya tidak pernah sepi, antara lain: 1) perayaan hari-hari besar Islam; 2) lomba dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah oleh BKMT (Badan Kontak Majlis Taklim); 3) salat tarawih, Idul Fitri, dan ’Idul Adha serta pemotongan hewan kurban; 4) penyelenggaraan manasik haji; 5) pengajian anak-anak TPA/TPQ; 6) kegiatan remaja/sekolah; 7) kajian kitab kuning; 8) tahlilan dan membaca surah Yasin; 9) kegiatan ibu-ibu majelis taklim, dan 10) pengumpulkan dana untuk relokasi pemakaman baru. Di masa Panembahan Gusti Muhammad Tahir III Kusuma Negara dilakukan rehabilitasi, baik dengan biaya swadaya masyarakat maupun biaya Kerajaan Sanggau. Bahkan menjelang perang Dunia ke II telah dibentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ yang baru dari swadaya masyarakat sekitar tahun 1940, hanya saja upaya tersebut terhenti karena pecahnya Perang Dunia ke II. Bangunan masjid saat ini sudah 2 kali direnovasi, namun renovasi secara besar-besaran (total) dilakukan pada tahun 2009 dengan memakan dana Rp. 700.000.000,-. Dana tersebut berasal dari anggaran renovasi keraton yang bersumber dari APBD. Berhubung pondasinya sudah miring sementara masjid merupakan 249
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
kawasan Revitalisasi Keraton, maka dimulailah renovasi masjid tersebut hingga tampak seperti sekarang ini, bahkan tahun 2015 sudah direncanakan pula pembangunan 1 menara baru. Analisa Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau Masjid ini bergaya arsitektur Islam tradisional karena menerapkan bentuk-bentuk bujur sangkar pada bangunan utamanya. Kubahnya berbentuk segi empat dan kerucut dengan bahan dari kayu yang terkesan anggun, kokoh, dan sederhana. Masjid kuno yang sudah beberapa kali direnovasi ini masih menonjolkan gaya arsitektur pra-Islam. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga dijadikan sebagai obyek wisata religi, pusat pendidikan dan pusat aktivitas syi’ar Islam. Sejumlah masjid yang dibangun di berbagai daerah senantiasa menonjolkan unsur-unsur daerah dengan nilai-nilai tradisionalnya, hal ini terjadi karena keterikatannya dengan budaya lokal tradisional yang sangat kuat, juga karena masjid tampil dengan corak Islam yang tradisional daerah. Gaya bangunan kuno Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau ini masih dipertahankan secara utuh, meskipun bangunannya diperluas dari dua bagian utama. Walaupun saat ini penampilannya sudah berbeda dan nampak modern, tetapi masih mengabadikan elemenelemen dan memajang benda-benda Islam bersejarah seperti kubah, menara, tiang bendera, lampu gantung, mimbar, dan beberapa inskripsi lama/asli lainnya. Jika berkunjung ke masjid ini, maka jama’ah dan wisatawan dapat melihat keunikan arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara arsitektur Islam dengan Hindu-Jawa. Arsitektur Islam dapat dilihat dari kaligrafi yang menghiasi hampir setiap sisi plafon masjid dan warna hijau yang menyejukkan mata, ditambah lagi kombinasi warna kuning yang melambangkan kerajaan. Sedangkan pengaruh Hindu-Jawanya membekas pada bentuk kubah dan menaranya yang bertumpang. Hal ini merupakan kekhususan gaya arsitektur masjid kuno Indonesia, sebagaimana yang terdapat pada bentuk atap bertingkat lebih dari satu. Beberapa bukti yang 250
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
mendukung pendapat tersebut antara lain bangunan Hindu di Bali yang disebut Wantilan. Atapnya bertingkat dan relief pada candicandi pada masa Majapahit juga menggambarkan atap yang bertingkat, termasuk penggunaan bedug untuk memberitahukan masuknya waktu salat juga merupakan pengaruh Hindu. Menara yang bentuknya unik dan artistik berbentuk segi enam itu melambangkan Rukun Iman yang enam. Sebab, Agama Islam dijalankan berdasarkan keyakinan kepada yang enam, yaitu: 1) keyakinan kepada Allah SWT selaku pencipta alam semesta; 2) malaikat sebagai pengabdi dan yang menjalankan dan menjaga regulasi alam; 3) Kitab Suci sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia dan alam semesta; 4) Rasul sebagai penuntun umat dalam menjalani kehidupan di dunia yang berrefleksi pada kehidupan akhirat; 5) hari kiamat sebagai pemutus segala kenikmatan dunia dan menjadi pintu menuju kehidupan akhirat yang kekal, dan; 6) takdir sebagai penyemangat kehidupan dan penetralisasi harapan yang tak berujung melalui pasrah kepada ketentuan Allah yang tersurat, tetapi selalu berusaha dan menggantungkan harapan pada perubahan dengan ketentuan Allah yang mugayyar. Kubah masjid yang dasarnya berbentuk persegi empat bermakna mazhab yang empat, yaitu Mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi. Mazhab dijadikan sebagai pedoman yang jelas batasan, bagian, prinsip dan kaidah-kaidahnya dari suatu pemikiran ulama tersebut dalam menjalani sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’. Adapun bagian atas dari menara dan kubah masjid tersebut terdapat bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas yang merupakan lambang vertikalitas dan berorientasi ke “atas”, yaitu ibadah yang semata hanya ditujukan kepada Sang Maha Pencipta, Maha Tinggi, dan berada di atas segalanya. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan tinggi. Hal tersebut memberikan kesan bahwa ruang di bawahnya merupakan ruang yang suci, keramat, dan biasa disebut desibut cella. Sedangkan sakaguru (kolom) adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat) dan terdapat di depan 251
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
ruang mihrab sehingga mengandung makna kosmologis. Sebab, imam sebagai pemimpin itu harus diikuti perbuatannya. Sementara itu, makmum semuanya sama atau sederajat di hadapan Allah Swt. yang Maha Tinggi dan Maha Mulia tanpa penunjukkan hirarki. Di sisi lain, struktur utama dan penutup bangunan berbahan kayu, berdimensi kolomnya 30X30 cm bujur sangkar, dan tinggi kolom 1 m. Tiang sakaguru yang berjumlah empat buah itu bermakna empat sahabat Rasulullah. Mereka selalu setia membantu perjuangannya dalam menegakkan syi’ar Islam. Salah satu obyek yang masih diabadikan adalah mimbar tempat khutbah yang juga berornamen khas Melayu. Mimbar yang memiliki lima anak tangga ini bermakna lima Rukun Islam. Ketika imam melangkahkan kakinya untuk menaiki anak tangga, maka harus bersamaan dengan bilal yang sedang mengucapkan salawat. Artinya, setiap langkah hidup manusia harus sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Adapun makna bendera pada mimbar dapat dipahami bahwa: bendera berwarna hijau berarti atau melambangkan perdamaian Islam; bendera warna kuning bermakna tahta kerajaan. Jadi, kerajaan Islam senantiasa memberikan keadaan damai dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Kaligrafi yang menghiasi hampir setiap sisi dinding bagian atas ditulis secara artistik dan professional juga memiliki makna tersendiri. Setiap ayat yang diukir indah itu mengandung pesanpesan spiritual bagi setiap jama’ah yang hadir di masjid, antara lain agar mereka benar-benar dapat memahami Islam dengan nurani dan ikhlas. Intinya, agar mereka beribadah semata karena Allah ta’ala. Salah satu di antaranya adalah kaligrafi yang terdapat di dinding bagian atas pintu masuk utama tertulis surat An-Nis±’ ayat 38: Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, Maka syaitan itu adalah teman yang seburukburuknya”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia agar bersikap dermawan, misalnya dengan menginfakkan sebagian rizkinya kepada yang
252
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
membutuhkannya semata-mata karena rasa kasih dan sayangnya kepada saudaranya, yang kekurangan dan tak seberuntung dirinya serta mengharap ridha Allah dan bukan karena riya, yaitu melakukan sesuatu karena ingin dilihat dan dipuji orang, termasuk tidak berteman dengan syaitan karena mereka adalah musuh Allah dan manusia yang nyata. Kaligrafi lainnya di depan mihrab adalah Surat al-‘Ankabµt ayat 45 yang berbunyi: Artinya: “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain) dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam penafsiran surah di atas, Thabathaba’i menjelaskan bahwa perintah melaksanakan salat pada ayat ini dinyatakan sebabnya, yaitu karena “salat melarang atau mencegah kemungkaran dan kekejian”. Ini berarti bahwa salat adalah amal ibadah, yang pelaksanaannya membuahkan sifat kerohanian dalam diri manusia sehingga menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan munkar, juga hati akan menjadi suci dari kekejian dan kemungkaran serta menjadi bersih dari kotoran dosa dan pelanggaran6. Sementara itu, menurut Sayyid Quthub bahwa salat itu ketika didirikan akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Sebab, salat itu merupakan hubungan dengan Allah yang di dalamnya orang akan malu berjumpa dengan-Nya, jika ia membawa dosadosa besar dan perbuatan keji. Dari sudut lain, bagian kanan mihrab di atas jendela juga ada sebuah kaligrafi yang menyetir Surah at-Taubah ayat 18: Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orangorang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.”
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an),(Tangerang: Lentera Hati, 2002), h. 93.
253
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas mengajarkan bahwa orang yang dapat memakmurkan masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah, percaya kepada hari kebangkitan dan hari pembalasan, melakukan salat sebagaimana yang diperintahkan, menunaikan zakat harta mereka, dan tidak takut selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan menjadi orang-orang yang mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar di sisi Allah.7 Penerapan warna dominan kuning dan hijau mengisyaratkan kuatnya serapan budaya, komposisi yang harmonis, dan fanatisme kesukuan Melayu yang memuliakan ningrat kerajaan. Perpaduan itu menunjukkan kuatnya harmoni yang menghargai berbagai budaya dari masyarakat, yang ditempatkan sebagai potensi untuk membangun harmoni dan toleransi antar ummat beragama dalam rangka membina kesatuan dan persatuan bangsa. Hal unik lainnya terlihat pada makam raja Sulaiman. Batu nisannya bahkan terbuat dari kayu belian, namun masih utuh sampai saat ini. Pahatan kaligrafi dan tanamannya acapkali menghiasi makam dan nisan para raja, yang dapat disebut dengan arabesque. Hal tersebut menunjukkan telah terjadinya proses akulturasi seni pahat budaya Hindu dan Islam, khususnya di daerah Sanggau dan sekitarnya. Penutup Secara historis maupun arkeologis, dapat dikatakan bahwa arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau di satu sisi mendapat pengaruh dari budaya Hindu, tetapi di sisi lain ada upaya untuk mengombinasikannya dengan gaya arsitektur Islam tradisional. Hal tersebut dibuktikan dengan diterapkannya bentukbentuk bujur sangkar pada bangunan utamanya, juga arsitektur Melayu Islam dari segi warnanya yang dominan kuning dan hijau, termasuk gaya dan bahan kubah, atap, mustaka, menara, mimbar,
7
254
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah..., h.95.
Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub Sanggau — M. Kasim Abdurrahman
dan berbagai inskripsi lainnya yang mempertahankan ciri khas lokalnya walaupun sudah dua kali mengalami renovasi. Berdasarkan beberapa temuan di atas, penelitian ini merekomendasi beberapa hal, antara lain: 1) Masjid Jami’ Sulthan Ayyub ini mampu mempertahankan bentuk aslinya, juga menyimpan benda-benda bersejarah dengan cukup baik. Hanya saja, area atau lahannya terlalu kecil sehingga sebaiknya Pemda setempat perlu memperluasnya, tujuannya agar dapat menampung jama’ah lebih banyak dan menyelenggarakan kegiatan keagama annya lebih massif; 2) Kementerian Agama melalui Badan Litbang dan Diklat diharapkan dapat melanjutkan penelitian ini, terutama terhadap daerah yang masih terbatas data dan informasinya tentang rumah ibadah bersejarah; 3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat masuk dalam Direktori Rumah Ibadah Bersejarah, yang tengah disusun Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan.
Daftar Pustaka Effendi, Djohan. 1999. “Sejarah Masjid-masjid Kuno di Indonesia”, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama. M. Djohan, Irmawati. 2009. “Peran Arkeologi dalam Kajian Nusantara”, Jurnal Lektur Keagamaan, Puslibang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Vol 7, Nomor 1, Tahun 2009. Shihab, M. Quraish. 2002.” Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an)”.Tangerang: Lentera Hati. Sumber Online: luthfianis. dakwah-abdurahman-di-sanggau.html. Minggu, 29 Juli 2012. http:// blogspot.com/2012/07/
255
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 235 - 256
BelajarAgama Islam Itu Indah/ posts/ 122607871249605 Januari 2013. https: //www.facebook.com/ Kabupaten Sanggau http: //id. wiki pedia.org/wiki/
30
Informan: 1. Drs. H. Ade Syahrizal Bsc bin H. Ade Mohd. Nuh (Pengurus Masjid Jami’ Sulthan Sanggau dan Guru SLTA. SanggauKalbar). 2. H. Nasri, S.Ag (Ketua KUA Kec. Sanggau –Kalbar). 3. Fachrurrozi (pegawai Kankemenag Sanggau-Kalbar).
256