TESIS
MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI KOTA DENPASAR BALI
ARDIANSYAH Nim 1091 86 1002
PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR KAJIAN LINGKUNGAN BINAAN ETNIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 0
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Balakang Sebagai produk budaya, arsitektur pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya dan teknologi. Faktor lingkungan mencakup kondisi alamiah lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu dan sebagainya. Faktor teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan keterampilan teknis membangun. Faktor budaya meliputi aspek-aspek falsafah, kondisi lingkungan, persepsi, norma dan religi, struktur sosial dan keluarga, ekonomi, dan lain-lain (Altman dalam Fanani, 2009). Menurut Altman bangunan masjid sebagai bangunan suci umat Islam keberadaanya di suatu daerah juga dipengaruhi oleh faktor budaya, lingkungan dan teknologi sehingga setiap wilayah memiliki warna arsitektur masjid yang berbeda, hal ini juga sejalan dengan filosofi umat Islam dimana manusia harus menjaga hubungan secara vertikal kepada Allah dan secara horizontal terhadap sesama manusia dan alam. Hubungan horizontal membuka kemungkinan kepada rancangan arsitektur masjid yang berupaya menjaga dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan budaya dimana masjid itu berada. Pada awal perkembangan peradabannya, Islam lebih berkonsentrasi pada pengaturan prilaku dan tidak terlalu mengutamakan bentuk simbol. Nabi Muhammad ketika diangkat sebagai Rasul
tidak dibekali oleh cetak biru
bangunan masjid atau gambar benda-benda perlambang dan sejenisnya. Lambang menempati posisi sebagai atribut sekunder dalam kebudayaan Islam, akan tetapi ketika kebudayaan Islam mulai menyusun bentuknya, seirama dengan itu 1
sejumlah lambang mulai diperkenalkan. Bentuk-bentuk Lengkung, Kubah, yang menjadi langgam arsitektur Islam saat ini menjadi bagian dari corak Islam ketika Islam telah menjadi pewaris sah dari budaya agung: Byzantium, Mesir, Persia dan India. Mihrab yang berasal dari tradisi koptik, minaret, kubah yang berasal dari persia dan byzantium, menyatu dengan lambang-lambang dekorasi floral, geometrik, kaligrafi dan muqarnas yang orisinal, menciptakan susunan kode kultural bagi arsitektur masjid. Sebagai atribut sekunder kebudayaan islam inilah yang oleh momentum sejarah dalam konteks sosiokultural telah digubah secara fisik menjadi unsur yang sangat dominan posisinya di dalam memberi kesan kesatuan wilayah budaya Islam (Arkoun, dalam Fanani, 2009). Pendapat Arkoun mengenai simbol melihat dari sisi geometris akan tetapi tidak mengkaji lebih dalam makna dan sejarah perkembangan simbol tersebut, berbeda dengan yang ditulis Akkach (2005), lahirnya simbol didalam arsitektur Islam didasari oleh kedalaman berfikir atau pemahaman mengenai ilmu tauhid dimana didalam kajiannya mengakar kepada kosmologi islam dan kaitanya terhadap konsep perkembangan bentuknya, didalam tulisannya juga mencoba mendalami pandangan sufisme terhadap bentuk bentuk yang mengandung simbol. Sejatinya Islam merupakan agama yang tidak terlalu mementingkan simbol akan tetapi keberadaan simbol muncul sebagai perwakilan dari rasa untuk mengungkapkan suatu pemahaman didalam agama dan pengungkapan kecintaan akan kebesaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Agama Islam tidak melarang penggunaan simbol atau lambang sebagai bentuk pengungkapan rasa persatuan umat dan Kebesaran Allah akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi
2
dengan mempertegas bentuk simbol atau lambang yang dilarang seperti gambar atau patung mahluk bernyawa serta lambang yang mengurangi nilai Ke Esaan Allah SWT . Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul untuk seluruh umat di dunia bukan untuk kelompok etnis tertentu, dimana setiap kelompok etnis umumnya memiliki simbol berbeda sehingga berbicara simbol akan sulit menjelaskan bagaimana simbol didalam arsitektur Islam. Merujuk terhadap bentuk masjid pertama yang dibangun Rasul tidak menempelkan lambang atau simbol tertentu karena
Rasulullah
lebih
mementingkan
fungsi
masjid
dan
bagaimana
memakmurkan masjid. Arsitektur Islam memiliki cakupan yang luas dan menerima bentuk simbol-simbol asalkan tidak bertentangan dengan aturan Islam, sehingga
membuka berjuta warna dan bentuk Arsitektur Masjid . Hal ini
diperkuat didalam tulisan Frisman dalam fanani dimana ditemukan terdapat tujuh tipologi dasar masjid di dunia sebagai pencerminan dasar berfikir Islam dan pembauran dengan budaya dan alam dimana Masjid tersebut berada. Tujuh tipologi dasar masjid di dunia tersebut meliputi, Semenanjung Arab, Spanyol dan Afrika Utara dengan hypostyle hall dan ruang terbuka didalam masjid. Kedua Sub-Saharan Afrika Barat berkarakter hypostyle hall dengan menggunakaghn batu-bata dari lumpur. Ketiga Iran dan Asia Tengah dengan penggunaan gerbang besar dan ruang terbuka ditengah dikelilingi massa bangunan. Keempat Indian Subcontinent dengan karakter tiga kubah yang berdekatan dengan halaman terbuka yang luas. Tipologi yang kelima adalah bergaya Turki dengan sentral dome yang masif dengan beberapa menara yang
3
menjulang yang dipengaruhi Arsitektur Byzantium. Ke enam adalah Bergaya Cina dimana terdapat ruang terbuka didalam pekarangan yang berisikan tamantaman dan beberapa massa bangunan. Bentuk yang terakhir adalah tipologi Masjid di Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang menyerupai wantilan (Frishman, Khan dalam Fanani, 2009). Dari tujuh tipologi dasar masjid tersebut terdapat ciri khas yang mencerminkan karakter arsitektur islam, hal ini disebabkan ada simbol-simbol islam tertentu yang melekat dan diakui menjadi elemen-elemen penting didalam masjid seperti lambang bulan sabit dan bintang, bentuk atap kubah, menara dan sebagainya. Elemen masjid tersebut berasal dan berkembang di timur tengah yang menyebar sejalan dengan perluasan wilayah pengaruh islam. Sehingga kalau ditarik dari sejarah awalnya lambang-lambang yang dikenal sebagai simbol yang mewakili agama Islam merupakan hasil karya cipta manusia, seperti lambang bulan sabit yang sejatinya sudah ada pada mata uang Persia dan Yunani sebelum hadirnya ajaran Islam. Di Indonesia, berdasarkan tulisan Frisman tergolong kedalam tipologi Masjid di Asia Tenggara dimana memiliki ciri bentuk atap yang bertumpang. Morfologi Arsitektur masjid di Indonesia awalnya dipengaruhi Arsitektur Tradisional akan tetapi seiring perkembanganya secara umum mulai dipengaruhi Arsitektur Masjid Timur Tengah dan Arsitektur Modern. Morfologi masjid- masjid tua di Indonesia berdasarkan beberapa penelitian memiliki sangkar, atapnya bertumpang atau bertingkat
denah persegi empat atau bujur terdiri dari dua atau lebih dan
semakin keatas semakin runcing, mempunyai serambi didepan atau disamping
4
ruangan utama masjid, dibagian depan atau samping masjid biasanya terdapat kolam yang digunakan untuk wudhu (menyucikan diri), disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Penelitian perkembangan kontur masjid di indonesia sudah dilakukan oleh peneliti Belanda bernama Pijper dimana dia menggambarkan morfologi masjid pada awal masa penjajahan yang banyak dijadikan referensi penelitian masjid di Indonesia, banyak penelitian berikutnya yang seperti yang dilakukan Bambang Setiabudi dimana ia meneliti keaslian morfologi masjid di Jawa. Penelitian masjid yang telah dilakukan oleh peneliti di Indonesia hanya menekankan pada aspek bentuk tipologi ruang, sebagai contoh di masjid tua indonesia terdapat serambi keliling akan tetapi tidak dijelaskan apakah fungsi serambi dapat digunakan untuk sholat berjamaah karena posisi shaf atau susunan shalat tidak boleh terputus oleh tiang atau dinding. Pada beberapa masjid tua di Indonesia seperti Masjid Agung Palembang, Bengkulu dan Minang tidak memiliki serambi keliling hal ini dimungkinkan agar makmum hanya melakukan sholat didalam masjid. Penelitian morfologi masjid di Indonesia banyak mengambil contoh masjid di jawa sehingga muncul teori bahwa masjid dijawa mempengaruhi morfologi masjid di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya sedangkan indonesia memiliki keragaman arsitektur tersendiri pada masing-masing wilayah, teori yang mengatakan ciri-ciri masjid tua di Indonesia memiliki serambi keliling harus dibuktikan lagi karena tidak semua masjid memiliki serambi karena apabila dibiarkan teori ini berkembang maka akan membatasi temuan mengenai morfologi ruang masjid di Indonesia aslinya.
5
Dalam beberapa penelitian morfologi masjid di Indonesia terdapat tiga teori dasar mengenai asal usul bentuk masjid di Indonesia pertama yaitu masjid di Indonesia dipengaruhi arsitektur dari luar seperti Malabar kemudian pendapat kedua arsitektur masjid di Indonesia bahkan di Asia dipengaruhi arsitektur masjid di jawa, sedangkan teori ketiga menyatakan bahwa arsitektur masjid lahir dari kearifan lokal setempat. Kearifan lokal mempengaruhi bentuk masjid menjadi kecendrungan teori penelitian masjid saat ini sehingga didalam penelitian masjid di Denpasar mencoba mengetahui apakah benar lingkungan lokal berperan terhadap bentuk morfologi masjid. Sebelum Islam masuk di Nusantara, setiap daerah sudah memiliki keragaman budaya dan kelompok etnik dengan agama Hindu dan Budha sebagai agama mayoritas mereka. Kepercayaan agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap budaya masyarakat pada masa itu, dimana secara tidak langsung terciptanya simbol atau lambang terkait kebudayaan dan kepercayaan mereka. Perubahan kepercayaan manjadi pemeluk agama Islam tidak merubah pandangan mereka secara total terutama kebudayaan yang sudah melekat sebelumnya. Sehingga bangunan masjid yang didirikan saat itu masih mencerminkan arsitektur tradisional masing-masing. Pada masa globalisasi saat ini semua nilai budaya asli indonesia mulai luntur termasuk arsitektur lokal masing-masing daerah. Penurunan nilai budaya tersebut juga terpengaruh terhadap bangunan masjid yang didirikan, sehingga bentuk arsitektur masjid mulai terpengaruh gaya global dimana pengaruh globalisasi terhadap arsitektur masjid adalah bentuk kubah dan
6
lengkung yang berasal dari Timur Tengah yang seakan akan menjadi paten atau bentuk wajib yang harus dihadirkan pada semua bangunan masjid. Salah satu daerah di Indonesia yang masih memegang teguh nilai lokal adalah Propinsi Bali khususnya Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi. Budaya Bali merupakan salah satu budaya yang masih berusaha bertahan ditengah pengaruh globalisasi dimana gaya hidup modern yang sudah menyeragamkan dunia tidak sepenuhnya mempengaruhi budaya mereka termasuk arsitektur, sehingga menjadi salah satu daya tarik para wisatawan baik lokal maupun internasional. Kota Denpasar memiliki sejarah dan peranan penting terutama perkembangan budaya Bali, sebagai ibukota propinsi Kota Denpasar memiliki jumlah penduduk terpadat dimana banyak kaum pendatang yang tinggal di kota tersebut salah satunya adalah perantau yang beragama Islam. Sebagai kelompok minoritas, umat Islam di Bali harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan kelompok mayoritas, sejalan dengan filosofi umat islam didalam menjaga hubungan secara horizontal terhadap sesama manusia dan alam sekitar sehingga tidak menutup kemungkinan hal ini juga berpengaruh terhadap bentuk morfologi arsitektur masjidnya. Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu sehingga Arsitektur Tradisional Bali menjadi kesatuan didalam kehidupan masyarakatnya. Didalam Arsitektur Bali tidak lepas dari elemen relief atau patung yang berwujud dewa , manusia dan fauna yang terdapat pada bangunan suci, publik, maupun pribadi. Di dalam Arsitektur Islam khususnya masjid keberadaan elemen tersebut dilarang
7
sehingga akan menjadi pertanyaan bagaimana arsitektur masjid beradaptasi terhadap pengaruh tersebut. Banyak penelitian yang mengaitkan pagar keliling, wantilan dan meru yang mempengaruhi bentuk masjid di Indonesia, akan tetapi bentuk tersebut sejatinya juga dimiliki oleh wilayah diluar Bali sebelum masuknya Islam akan tetapi karena Bali menjaga tradisi maka menjadi referensi utama. Arsitektur Bali juga dianggap sebagai renaissance nya arsitektur nusantara karena menyerap dan masih menggabungkan arsitektur nusantara
menjadi kesatuan dengan
perkembangan arsitektur Bali sehingga diharapkan temuan penelitian akan mewakili bagaimana bentuk morfologi arsitektur masjid asli di Indonesia. Penelitian ini juga akan menjadi penguji teori yang merujuk kepada bangunan yang menjadi referensi perbandingan asal usul bentuk masjid di nusantara. Penerapan Arsitektur Bali pada bangunan masjid terdapat dalam penelitian Salain terhadap masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana terdapat penggunaan bahan, konsep warna dan bentuk ragam hias Arsitektur Bali akan tetapi terdapat keunikan pada masjid tersebut dimana terdapat patung dan ornamen yang dilarang pada gerbang dan pagar masjid akan tetapi pada dinding luar masjid dan bagian dalam nya tidak ditemukan ornamen tersebut. Begitu juga dengan konsep ruang tidak terdapat dinding masif pemisah ruang dalam dan luar yaitu hanya berupa ukiran tembus berbahan kayu dan beton. Konsep ruang tersebut menegaskan kesatuan ruang dalam dan luar masjid. Sehingga kalau ditarik kesimpulan bangunan masjid meniru bangunan wantilan dan rumah pada Arsitektur Tradisional Bali.
8
Morfologi arsitektur masjid di Denpasar pada umumnya berbeda dengan bangunan Masjid yang ada di Jawa dan Wilayah lain di Indonesia pada umumnya, hal ini disebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi morfologi Masjid tersebut. Pemilihan lahan untuk masjid di Bali sulit dilakukan sehingga menyesuaikan lahan yang tersedia saja dan luasan lahan untuk terbatas, tidak seperti didaerah yang mayoritas Muslim dimana sebelum membangun masjid menentukan dan menganalisa lokasi yang paling strategis untuk dibangun masjid selalu dilakukan. Bentuk denah bangunan Masjid di Denpasar memilliki kecendrungan menyesuaikan bentuk tanah hal ini bertujuan agar pemanfaatan lahan optimal, selain itu terbatasnya lahan masjid di Denpasar juga mengakibatkan penambahan luas bangunan secara vertikal . Elemen masjid di denpasar tidak sebanyak masjid di Timur Tengah atau di Jawa Hanya beberapa masjid di denpasar yang menggunakan menara dan untuk ragam hias ada beberapa masjid yang menggunakan ornamen dan warna bergaya Arsitektur Bali akan tetapi terjadi sedikit modifikasi terhadap bentuk elemen ragam hias tersebut dengan mencampurkan bentuk simbol-simbol islam berupa kubah persia dan bulan sabit. Berbeda dengan masjid tua di Indonesia dimana didalam beberapa penelitian menyebutkan masjid dikelilingi oleh pagar akan tetapi beberapa masjid di Denpasar Umumnya tidak memiliki pagar melainkan dinding terluar bangunan berbatasan langsung dengan batas tanah akan tetapi hal ini dikarenakan terbatasnya lahan, sedangkan untuk masjid yang memiliki lahan cukup luas justru menunjukan pengaruh yang kuat arsitektur lokalnya yaitu terdapat bangunan masjid dengan dinding terbuka menyerupai wantilan atau bale yang dikelilingi
9
oleh pagar bentuk inilah yang menurut peneliti sebagai bentuk yang mewakili morfologi Arsitektur masjid di Denpasar . Morfologti khas yang terdapat di masjid Bali selain penggunaan elemen dekorasi juga untuk masjid yang memiliki pagar keliling bangunan utama masjid dibuat terbuka tanpa dinding sehingga terlihat menyerupai wantilan dan rumah tinggal pada bangunan tradisional Bali, hal ini merupakan temuan yang menguatkan teori bahwa lingkungan mempengaruhi arsitektur dan memang bentuk tipologi masjid di Indonesia mengambil bentuk wantilan atau pendopo yang ditambah dinding disekelilingnya akan tetapi di Bali justru tidak terdapat dinding sehingga apakah awal berdiri masjid memang menggunakan wantilan dan perkembangan berikutnya baru ditambahkan dinding disekelilingnya. Penelitian masjid tradisional di Indonesia belum banyak dilakukan oleh para arsitek dan ahli akademik. Sebagian besar penelitian datangnya dari sejarawan dan para ahli anthropologi. Sehingga terlalu sedikit juga penemuan penulisan akademik yang mencoba menyatukan antara fakta sejarah, keadaan sosio masyarakat suatu kawasan dengan produk arsitektur yang dihasilkan. Kajian ini sangat penting dalam usaha memahami aspek morfologi dan perkembangan bentuk masjid di nusantara secara keseluruhan (Utaberta dkk, 2009). Berdasarkan rujukan yang dikemukakan oleh Utaberta penelitian masjid di Denpasar Bali menjadi penting dilakukan karena seolah menjadi mesin waktu kembali dimasa awal masuknya agama Islam ditengah pengaruh budaya Hindu yang kuat, sehingga hasil temuan penelitian bisa menjadi pedoman atau menguji penelitian mengenai morfologi masjid tua di Indonesia, meliputi morfologi ruang, bentuk
10
bangunan dan perkembangan elemen masjid yang menyangkut penggunaan dan perkembangan lambang atau simbol Islam di tengah kuatnya pengaruh Arsitektur Tradisional Bali. Bentuk morfologi arsitektur masjid di Denpasar akan dikaji dan dikaitkan dengan teori-teori arsitektur islam untuk mengetahui apakah aplikasi atau bentuk arsitektur islami atau justru bertentangan dengan arsitektur Islam.
11
1.2 Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang terkait dengan penelitian Morfologi Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar ?
2.
Faktor apa yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan Masjid Di Denpasar Bali ?
3.
Bagaimana bentuk ragam hias pada bangunan masjid di Denpasar Bali ?
1.3 Tujuan Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar 2. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi bentuk ruang dan bangunan masjid di Kota Denpasar. 3. Mengetahui bentuk elemen dan ragam hias bangunan masjid di Kota Denpasar Bali. 1.4 Manfaat Manfaat akademis: ”Memberikan Pengetahuan Tentang Kaitan Morfologi Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Terhadap Sudut Pandang Masyarakat yang Membangun
Masjid
Tersebut
dan
Memberikan
Pengetahuan
Tentang
Perkembangan Bentuk Arsitektur Masjid di Kota Denpasar terkait perkembangan elemen dan simbol didalam Arsitektur Masjid. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan tentang arsitektur Islam.”
12
Manfaat Praktis : ” Memberikan Pedoman atau Gambaran bagi Arsitek atau masyarakat yang akan Merancang Masjid Khususnya di Kota Denpasar Bali. Juga menjadi referensi didalam merencanakan peraturan bangunan yang terkait dengan bangunan Masjid di Bali.”
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA. KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala
aktivitas
yang
mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural AlJin (72): 18, menegaskan bahwa ; ” Dan bahwasanya mesjid-mesjid itu adalah untuk Allah semata-mata; maka janganlah kamu seru bersama Allah sesuatu jua pun." 1 Didalam Tafsir tersebut dipaparkan bahwasanya mesjid-mesjid semata-mata kita bersujud, bertekun kita mendirikan rumah-rumah ibadat. Mesjid yang berarti tempat bersujud, yang kita sujud disana, sampai kita merendahkan diri memecahkan kening kita kelantai atau keatas tanah sekalipun, tidak lain hanya Allah. Allah tidak boleh di persekutukan dengan yang lain. Mempersekutukan dengan yang lain juga bisa dikaitkan dengan keberadaan patung atau ornamen terlarang didalamnya. Al-Quran juga nyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya dalam QS An-Nur [24]: 36-37) : ” Yaitu di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allah buat ditinggikan dan disebut namanNya, yaitu rumah-rumah yang disucikan namaNya 1
. HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid X.
14
didalamnya baik pagi atau petang. Yaitu orang laki-laki yang tidak dapat dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli karena mengingat Allah dan mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat dan mereka takut akan hari yang gelebak-gelebur padanya segala hati dan segala pandangan .” 2 Masjid merupakan tempat yang dibuat yang ditinggikan tempat dan namanya dan dipakai baik pagi dan petang untuk shalat dan bertasbih kepada Allah dan ditekankan kepada laki-laki agar tidak lalai oleh kesibukan mereka sehari-hari untuk melaksanakan shalat di dalam mesjid. Rasul Saw. bersabda, HR Bukharidan Muslim melalui Jabir bin Abdullah ; ”Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri .” 3 Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci pengganti wudhu tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. Dengan demikian, masjid menjadi
pangkal
tempat
Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan
tempatnya bersauh. kutipan diatas merupakan pengertian dasar masjid menurut Al-Quran dan Hadis, sedangkan didalam penelitian ini peneliti meninjau beberapa penulis dan penelitian yang berkaitan dengan morfologi arsitektur masjid. Salain (2011), didalam disertasi nya meneliti tentang Arsitektur Bali pada Masjid Al-Hikmah di Kertalangu Denpasar dimana didalam penelitiannya 2
. HAMKA. 1990. Tafsir Al Azhar Jilid VII.
3
. Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13.Terjemahan Hadist Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993. Daud. Cetakan ke-3 . Terjemahan Hadist Shahih Muslim. Jakarta : penerbit Widjaya 1993
15
ditemukan bahwa arsitektur masjid tidak melarang menerapkan unsur setempat berupa wujud, struktur, bahan, warna dan ornament. Penerapan Arsitektur Bali dipengaruhi beberapa faktor meliputi; kekuasaan, konsensus, ideology, identitas, hibriditas, dan Arsitektur Post Modern, faktor terkuat yang paling mempengaruhi di dalam penelitiannya adalah kekuasaan. Keberadaan Masjid Al-Hikmah bukan hanya berdampak pada Arsitektur tetapi juga berdampak pada politik, budaya, kerukunan umat, juga mengandung makna mendalam pada filosofis simbolik, estetika dan multikultur. Didalam disertasi Salain lebih menekankan pada pembahasan komponen estetika masjid dan faktor yang mempengaruhi bentuk masjid dan menemukan bahwa arsitektur Bali pada Masjid Al Hikmah dapat mempererat hubungan antar umat beragama, akan tetapi didalam penelitiannya salain tidak terlalu fokus menggali aspek keruangan dan bentuk ruang masjid kaitanya dengan pandangan pendiri masjid mengenai Al-Quran dan Hadist. Begitu juga Irsyad (2008), dimana ia meneliti tentang arsitektur Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak, Kalimantan Barat dimana penelitianya bertujuan untuk menggambarkan bentuk arsitektur dan ragam hias yang terdapat pada masjid sehingga dapat terlihat pengaruh-pengaruh yang ada, baik pengaruh lokal maupun asing. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis morfologi dan analisis gaya. Analisis morfologi dilakukan dengan cara menjelaskan bentuk arsitektur terhadap komponen-komponen Masjid Sultan Abdurrahman, sedangkan analisis gaya dengan cara mengklasifikasi ragam hias yang terdapat pada masjid. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa unsur lokal lebih mendominasi pada arsitektur masjid pada beberapa bagian ada pengaruh arsitektur Kolonial dan seni bangunan
16
Timur Tengah. Dalam penelitianya Irsyad juga mengkaji morfologi dan gaya didalam Arsitektur Masjid akan tetapi tidak menganalisa simbol-simbol dan tata ruang dalam masjid terhadap susunan jemaah dan orientasi kiblat. Peneliti selanjutnya lebih menekankan pada bentuk tata ruang dan struktur masjid di Jawa adalah Setiabudi (2006), dalam judul “ A Study on the History and Development of the Javanese Mosque : Typology of The Plan and Structure of The Javanese Mosque and
It‟s Distribution.” Dimana didalam tulisannya
membahas tentang perkembangan dan penyebaran arsitektur masjid di Jawa. Peneliti mempelajari statement yang dibuat oleh beberapa peneliti bahwa masjid di Jawa mempunyai bentuk denah persegi dengan empat pilar menjulang di tengah ruang sholat bangunan. Hasil dari studinya mengenai 127 masjid yang terpilih di Jawa dianggap bahwa sebuah penelitian detail tipologi dari denah dan struktur masjid di Jawa mengandung enam tipe. Penemuan ini menunjukan bahwa penelitian tipologikal akan memberikan data eksisting yang kompleks disamping memberikan kelompok hasil data baru yang mungkin akan melengkapi atau menyempurnakan pendapat. Didalam penelitian Setiabudi menekankan bahwa tipologi masjid atap tumpang dengan soko guru ditengahnya mencerminkan simbol masjid di Indonesia dan Asia Tenggara, akan tetapi peneliti tidak mengkaji detail elemen dekorasi yang terkait simbol-simbol islam di dalam Arsitektur Masjid tersebut. Untuk tata ruang setiabudi juga tidak mengkaji mengenai kaitan hadist terhadap tata ruang dan bentuk ruang masjid yang diteliti sehingga penelitian masih membuka ruang yang belum terjawab.
17
Sejalan dengan penelitian Irsyad Penelitian Masjid di Kalimantan juga dilakukan oleh Aufa (2010), dimana dalam penelitiannya ditemukan perbedaan antara masjid di Jawa dimana sebelumnya dikemukakan oleh beberapa peneliti bahwa masjid Jawa merupakan bentuk yang mempengaruhi semua masjid di Nusantara, akan tetapi justru masjid di Kalimantan memiliki bentuk dan makna atap yang berbeda dengan atap tumpang. Secara tipologi ruang tidak banyak berbeda dengan masjid di Jawa dimana terdiri dari mihrab, ruang shalat dan teras keliling. Atap bangunan berbentuk perisai bersudut runcing (60o) dan atap landai (20o), denah berbentuk bujur sangkar atau persegi yang semuanya mencerminkan simbolisasi pohon hayat, serta terdapat simbol burung enggang dipuncak masjid. Kedua simbol ini merupakan identitas dalam mitologi Suku Dayak. Didalam penelitiannya Aufa menganalisa simbol-simbol etnik dayak yang terdapat didalam masjid akan tetapi peneliti tidak mengaitkan bagaimana posisi simbol islam di dalam arsitektur masjid tersebut begitu juga dengan tata ruang dan bentuk ruang tidak diteliti lebih dalam didalam penelitian ini sehingga latar belakang bentuk ruang tidak digali secara rinci yaitu faktor sudut pandang pendiri masjid didalam mengatur bentuk ruang masjid tersebut. Tinjauan Pustaka lebih luas diperoleh dari penelitian Surat (2011), dengan judul Asas Pemikiran Seni Bina Masjid Tradisional di Alam Melayu, penelitian didasarkan pada kajian bahwa tipologi masjid bumbung meru dari alam melayu adalah didasarkan dari gagasan masjid timur tengah. Kajian ini menggunakan metodologi perbandingan tipologi masjid warisan alam melayu sebelum abad ke sembilan belas di Malaysia dan Indonesia serta masjid-masjid yang berada di
18
timur tengah khususnya yang dibangun dalam era dinasti Uthmaniah kajian ini bertujuan untuk menyumbangkan ilmu tentang tipologi masjid dan memberi masukan kepada arsitek yang menggunakan pendekatan ’revivalism’ atau ’regionalism’ karena memberi ruang lingkup yang luas sebagai ide dari hal perancangan masjid. Pada penelitian ini sudah terlihat jelas perkembangan masjid di Asia dibandingkan dengan tipologi masjid di Timur tengah dimana dipelajari perkembangan elemen masjid antara dua benua tersebut akan tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan analisa mengenai perkembangan simbol Islam di dalam Arsitektur Masjid sehingga penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif. Berkenaan dengan morfologi dan penelitian masjid di Indonesia merujuk pada Iskandar (2004), dalam tulisanya yang berjudul Tradisionalitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid meneliti tentang pengaruh dasar berfikir islam Tradisionalis dan Modernis terhadap tipologi masjid di Jawa Tengah. Asal usul arsitektur dan proses perkembangannya sampai saat ini, sering dilihat dalam dua kacamata pandangan yang berbeda. Pertama, objek arsitektural dianggap sebagai sesuatu yang unik dan orisinal, karena merupakan ekspresi yang dipikirkan oleh pembuatnya. Dengan demikian seharusnya tidak mungkin ada dua objek arsitektural yang persis sama, sekalipun dibuat oleh orang yang sama. Pandangan kedua, mengatakan sebaliknya bahwa objek arsitektural dapat memiliki nilai yang sama dengan objek yang lain yang dihasilkan dari aktivitas yang bersifat repetitif dan bahkan sengaja dibuat agar seterusnya dapat di ulangi lagi. Penelitian ini lebih lanjut merujuk pada pandangan kedua sebagai acuan.
19
Tindak lanjut dari konsep pengulangan ini tipologi dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas klasifikasi dan pengelompokan tipologi merupakan konsep untuk mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar, dengan cara memilah atau mengklasifikasikan keragaman bentuk dan kesamaan .di dalam penelitiannya iskandar mencoba meneliti perbedaan sudut pandang organisasi islam akan berpengaruh terhadap arsitektur masjid, akan tetapi hasil penelitian nya tidak menjelaskan perbedaan yang tegas secara fisik melainkan hanya konsep pembangunan nya saja. Begitu juga mengenai simbol di dalam arsitektur masjid tidak dikaji bagaimana perbedaan penerapan simbol pada masing-masing sudut pandang organisasi islam tersebut. Didalam penelitianya Iskandar juga tidak mengkaji kaitan sudut pandang Organisasi terhadap morfologi ruang dan orientasi kiblat bangunan masjid yang dipengaruhi sudut pandang mereka. Penelitian selanjutnya yang dirujuk penulis adalah Utaberta, dkk (2009) dalam judul Tipologi Reka Bentuk Arsitektur Masjid Tradisional di Indonesia menjelaskan perkembangan reka bentuk serta struktur-struktur masjid Tradisional yang telah dibangun di indonesia dan pemahaman aspek morfologi dan tektonik bagi perancangan masjid yang ada di nusantara.didalam penelitianya Utaberta mengungkapkan bahwa ragam bentuk morfologi masjid di Indonesia lahir dari pengaruh lokal dimana masjid tersebut berdiri. Adapun penelitian Rosniza (2008), mempelajari tipologi susunan ruang dalam masjid di Malaysia dimana di dalam studi dari 50 masjid di temukan 3 tipe
20
kelompok masjid berdasarkan tata ruang, entrance dan hubungannya dengan arah kiblat. Tipe A adalah entrance mempunyai hubungan yang sejajar dengan kiblat sedangkan tipe C hubungannya lemah. Tipe A adalah kelompok masjid yang rata-rata berusia tua dimana sumbu aksis pintu dan kiblat masih sejajar sedangkan tipe lain dibangun abad ke-19 dan ke-20. Kedua penelitian diatas membahas aspek tipologi masjid melalui aspek keruangannya. Fanani (2009), dalam bukunya Arsitektur Masjid membahas bagaimana masjid pertama dibangun berikut dengan proses perkembangannya serta menjelaskan elemen-elemen pembentuk bangunan masjid yang ada di Arab sampai Asia. Penulis juga meninjau tulisan Tjandrasasmita (2009), yang berjudul ”Arkeologi Islam Nusantara”, dimana di dalam bukunya membahas mengenai sejarah masuknya islam di Nusantara berikut pembentukan dan peninggalan budaya seni dan Arsitektur masjid. Peneliti juga meninjau tulisan Nas danVletter (2009),dalam bukunya yang berjudul ”Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia” dimana didalam bukunya terdapat kutipan dari peneliti Belanda mengenai morfologi awal masjid di Nusantara terkait dengan asal usul bentuk morfologi masjid di Indonesia termasuk keberadaan menara pada masjid. Dari beberapa tinjauan diatas penulis akan melakukan penelitian mengenai aspek morfologis akan tetapi penelitian akan mencoba mengkaji aspek ruang dan perkembangan elemen-elemen arsitektur Masjid di Bali. Adapun penelitian masjid di Bali penting dilakukan karena bagaimana pengaruh budaya Bali yang sangat
21
kental terhadap perkembangan simbol didalam elemen arsitektur Masjid. Aspek morfologi merupakan eksplorasi dasar sebelum kita menemukan temuan lebih lanjut berupa penemuan tipologi bangunan dan pemaknaan bangunan. Faktor pengaruh morfologi masjid di Jawa dan wilayah lain di Indonesia akan berbeda dengan faktor pengaruh Morfologi Arsitektur Masjid yang ada di Bali. Perbedaan faktor pengaruh inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti
morfologi
Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali meliputi bagaimanakah bentuk ruang dan bentuk bangunan masjidnya, serta mempelajari pengaruh Arsitektur Bali terhadap Morfologi Arsitektur masjid di Kota Denpasar Bali . 2.2 Konsep Pada bab ini diuraikan beberapa definisi operasional yang terkait dengan variabel baik itu dari judul ataupun operasional dari judul penelitian ”Morfologi Arsitektur Masjid di Kota Denpasar Bali” sebagai berikut: 2.2.1 Masjid Secara sederhana masjid adalah bangunan umat muslim yang berfungsi untuk menampung keperluan beribadah terutama sholat ( Poerwadarminta,2003). Ada tiga hal yang menjadi pedoman dasar pada setiap bangunan masjid yang juga akan berpengaruh terhadap perkembangan morfologi masjid, pertama adalah filosofi umat Islam yaitu menjaga hubungan vertikal antara manusia dan Allah, dan menjaga hubungan horizontal antara sesama manusia dan alam yang melingkupinya. Kedua adalah syarat terbentuknya bangunan masjid adalah adanya posisi imam dan makmum terdiri dari makmum laki-laki dan perempuan,
22
makmum perempuan juga menjadi bagian yang penting dialam mengatur zona pemisahan gender yang akan mempengaruhi ragam bentuk morfologi ruang masjid. Dari bentuk dasar imam dan makmum inilah awal berkembanganya berbagai macam bentuk morfologi masjid di dunia. Faktor selanjutnya yang menjadi pertimbangan di dalam bangunan masjid adalah orientasi kiblat dan susunan shaf shalat berjamaah. Orientasi kiblat adalah titik orientasi dimana jemaah menghadap pada saat melaksanakan sholat yaitu Ka‟bah di Masjidil Haram. Didalam melaksanakan sholat berjemaah susunan shaf harus rapat dan tidak boleh terputus sehingga akan berpengaruh pada konsep ruang masjid yang melihat aturan tersebut sehingga kalau melihat masjid nabawi pada masa awal hanya berupa lapangan terbuka yang dikelilingi pagar tanpa terdapat tiang ditengahnya. Imam Imam Makmum
Makmum
Qiblat
Gambar 2.1. Denah Dasar Bangunan Masjid ( Fanani, 2009:69)
Dari uraian di atas masjid memiliki fungsi utama sebagai tempat untuk melakukan shalat berjemaah dan penyampaian khutbah atau ceramah, akan tetapi fungsi utama tadi akan selalu diikuti fungsi sosial lainnya karena apabila umat
23
Islam mengikuti Sunnah Rasul maka akan banyak kegiatan yng bisa dikembangkan di Masjid. Di dalam bukunya Fanani (2009), ketika
Rasulullah Saw. berhijrah ke
Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia. Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Saw. Adalah Masjid
Quba', kemudian disusul dengan Masjid
Nabawi di Madinah. Masjid Quba dan Masjid Nabawi dibangun atas dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi
masjid
yang sebenarnya,
yakni
ketakwaan. Al-Quran
melukiskan bangunan kaum munafik itu dalam QS Al-Taubah [9]: 107 sebagai berikut, ”Dan (Begitu pula) orang-orang yang telah mengadakan suatu masjid untuk suatu bencana dan kekufuran dan memecah belah diantara orang-orang yang beriman dan untuk mengintip-intip bagi orang yang memerangi Allah dan RasulNya sebelumnya. Namun mereka akan bersumpah: ”tidak ada maksud kami, kecuali
24
kebaikan.” Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu adalah orang yang berdusta. 4 Sedangkan dari segi fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat pendidikan, (4)Tempat santunan sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, (6)Tempat pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, (8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat menawan tahanan, (10)Pusat penerangan atau pembelaan agama. Masjid,
khususnya
masjid
besar, harus mampu melakukan kesepuluh
peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin. Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala
sesuatu
yang
diduga mengurangi kesucian masjid
atau
dapat
mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. 4
. Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid IV. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama) 1990. hal 3128-3129
25
Morfologi dasar masjid terbentuk dari imam dan makmum, hal ini menjadi pedoman dasar bentuk ruang bangunan masjid, perkembangan denah bangunan selanjutnya dipengaruhi perkembangan fungsi dan pembagian gender antara jemaah laki-laki dan perempuan. Untuk ragam hias tidak ada aturan baku didalam Arsitektur Masjid karena Islam mencintai keindahan sehingga diperbolehkan membuat dekorasi didalam Arsitektur Masjid asalkan tidak menggunakan motif yang dilarang seperti hewan dan manusia. 2.2.2 Kiblat dan Shaf Kiblat merupakan pusat orientasi pada saat melaksanakan ibadah shalat baik itu pada saat shalat sendiri ataupun berjemaah. Kiblat merupakan arah orientasi bangunan Masjid dan Sholat bagi umat Islam tidak terpengaruh arah orientasi jalan bangunan masjid atau orang sholat akan tetap mengarah ke kiblat di Masjidil Haram meskipun tidak sejajar dengan bangunan disekitarnya (Akkach, 2005). Arah kiblat dijelaskan juga di dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 115 yang berbunyi: ”Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat; maka kemana juapun kamu menghadap, disanapun ada wajah Allah; Sesungguhnya Allah adalah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. 5 Di dalam tafsir Al Azhar dijelaskan oleh sebab itu pada dasarnya menerangkan agama bukanlah semata-mata urusan pribadi. Agamapun adalah kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat kalau sekiranya semua 5
. Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid I. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama)
26
orang menghadap kemana saja tempat yang disukainya meskipun yang disembah hanya satu, disaat itu mulailah ada perpecahan umat tadi, maka didalam Islam bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya tertentu, dengan rukun dan syaratnya tertentu, tempat mengahadapkan mukapun diatur menjadi satu. Masalah kiblat juga dikisahkan dari Anas bin Malik, katanya Rasulullah bersabda ; ”Barang siapa shalat seperti kita, menghadap kiblat seperti kita dan memakan binatang sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim yang berada dibawah perlindungan Allah dan RasulNya. Karena itu janganlah anda menghianati Allah..6 Masalah kiblat merupakan masalah yang telah lama muncul terutama di dalam menentukan arah orientasi masjid yang tepat, sulit untuk mengakuratkan orientasi ke Kabah akan tetapi pendiri masjid dituntut untuk mendekati orientasi ideal. Berdasarkan tulisan Soedibyo (2012), arah orientasi kiblat masjid yang paling sentral bagi umat islam yaitu Masjid Quba dan Masjid Nabawi berdasarkan citra satelit dan penginderaan dengan bantuan teklogi ternyata terdapat simpangan kiblat dimanah tidak tepat kearah ka‟bah. Pemahaman ini mendatangkan perspektif baru dalam memandang konsep kiblat. Selama ini kiblat dianggap identik dengan Ka‟bah sehingga arah kiblat adalah arah hadap ke Ka‟bah. Namun dengan eksistensi titik simpang Masjid Quba‟ yang sejauh 45 km dari Ka‟bah, sementara secara hakiki Masjid Quba‟ tetap menghadap kiblat, maka konsep lama tersebut perlu ditinjau ulang. Kiblat perlu didefinisikan ulang sebagai titik-titik
6
Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 202 hal 135
27
dimanapun berada sepanjang terletak di antara Ka‟bah dan titik simpang masjid Quba‟. Dan karena arah kiblat berlaku secara universal (dari segenap penjuru permukaan Bumi), maka titik-titik tersebut sebaiknya terhimpun dalam satu area berbentuk lingkaran dengan jari-jari 45 km yang berpusat di Ka‟bah. Lingkaran inilah kiblat dalam konsep yang baru.
Eksistensi lingkaran ini melingkupi seluruh bagian tanah haram Makkah, yakni area yang menurut perspektif sejumlah cendekiawan Muslim menjadi kiblat ijtihad (kiblat bagi segenap Umat Islam yang tinggal dan bermukim di luar batas tanah haram Makkah).Jika kita menarik garis lurus dari sebuah titik di permukaan Bumi ke arah tepi lingkaran berdiameter 45 km ini dan dibandingkan dengan garis yang sama namun diarahkan ke Ka‟bah, maka terbentuk sudut tertentu di antara dua garis tersebut. Dengan redefinisi konsep kiblat seperti di atas, maka sudut ini merupakan sudut yang dapat ditoleransi (ihtiyathul qiblat). Ihtiyathul qiblat sekaligus menjadi pembatas bagi akurasi perhitungan arah kiblat dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang belum tercakup dalam perhitungan. Dengan kata lain, sebesar apapun akurasi perhitungan arah kiblat, akurasi tersebut dibatasi oleh eksistensi ihtiyathul qiblat.
Konsep berikutnya adalah shaf. Shaf adalah susunan makmum di dalam shalat berjemaah. Shalat berjemaah terdiri dari minimal dua orang jemaah yang melaksanakan shalat bersama-sama dimana salah satu menjadi imam atau memimpin shalat dan satunya lagi mengikuti gerakan imam yang disebut makmum. Di dalam shalat berjemaah hanya ada satu imam dan jumlah makmum
28
tidak terbatas. Posisi Shalat Berjamaah sangat menentukan perkembangan bentuk ruang bangunan masjid dimana didalam shalat berjemaah deretan makmun harus lurus rapat dan tidak boleh ada penghalang antar makmum baik itu berupa dinding atau tiang bangunan. Terdapat beberapa konfigurasi shalat berjemaah. Untuk dua orang jemaah maka posisi imam dan makmum sejajar dengan imam disebelah kanan7.
Gambar 2.2. Posisi Imam satu Makmum, Posisi Imam dua Makmum dan lebih dari dua makmum
Untuk jumlah makmun tiga atau lebih semua posisi makmum dibelakang imam dengan susunan simetris terhadap posisi imam atau sumbu kiblat untuk tiga makmum sedangkan untuk jumlah yang lebih tidak harus simetris. Shaf harus lurus rapat tidak boleh renggang atau kosong bahu dan tumit saling menempel. 8 Shalat
tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf belakang atau
terdapat tiang masjid yang menghalangi. Cara menyusun shaf shalat berjemaah adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf wanita dimulai dari shaf belakang, hal ini didasari hadist riwayat Muslim yang berbunyi:
7
Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 415 hal 227
8
Hamidy, Fachruddin, Thaha, Arifin dan Zainuddin. Cetakan ke-13. Terjemahan Hadist Shahih Bukhari. Jakarta: penerbit Widjaya 1993 . 404 hal 226
29
” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.” 9 Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini didasari oleh QS An-Nur ayat 30-31; ” Katakanlah kepada orang-orang beriman(laki-laki) itu, supaya mereka menekurkan sebahagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih bersih bagi mereka sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan (ayat 30). Dan katakan pula kepada orang-orang yang beriman (perempuan) supaya merekapun menekurkan pula sebahagian pandang mereka dan memelihara kemaluan mereka. Dan janganlah mereka perlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada yang zahir saja. Dan hendaklah mereka menutup dada mereka dengan selendang dan janganlah mereka nampakan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka sendiri, atau kepada ayah mereka, atau bapak dari suami mereka, atau anak mereka sendiri, atau anak dari suami mereka(tiri) atau saudara laki-laki mereka, anak dari saudara laki-laki mereka, atau anak dari saudara perempuan mereka, atau sesama mereka perempuan atau siapa-siapa yang dimiliki oleh tangan mereka, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum melihat aurat perempuan. Dan janganlah mereka hentakan kaki mereka supaya diketahui orang perhiasan mereka yang tersembunyi. Dan taubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orangorang yang beriman agar kamu mendapat kejayaan.” 10 Beberapa kutipan hadist diatas sedikit banyak akan berperan didalam pertimbangan-pertimbangan bagi umat Islam yang akan mendirikan Masjid, sulit bagi kita untuk mengatakan mana yang paling benar akan tetapi didalam penelitian ini mencoba menggali kaitan pandangan mereka yang mendirikan masjid terhadap tuntunan hadist yang mereka pegang terhadap morfologi ruang bangunan masjid yang mereka dirikan.
9
Daud Ma‟mur. Terjemahan Hadist Shahih Muslim. I-V . Jakarta:penerbit Widjaya
10
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 7. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD (cetakan pertama) 1992. hal 4924-4925
30
2.2.3 Morfologi Kata morfologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu morphos, yang berarti bentuk atau form dalam bahasa Inggris. Pengertian kata morfologi adalah ilmu tentang bentuk atau the science of form, juga berarti sebagai studies of the shape, form, external structure or arrangement, especially as an object of study or classification (Gardiner, 1983). Menurut Alvares (dalam Iskandar,2002), morfologi sebagai analisis yang mempunyai aspek diakronik dan sinkronik. Diakronik karena terdapat perubahan ide dalam sejarah sedangkan sinkronik karena memiliki hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang berhubungan dengan aspek fisik lain seperti struktur dan tipologi fisik.. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Dengan melihat kaitan ini akan bisa dirasakan adanya kaitan yang erat antara organisasi ruang, hubungan ruang, bentuk ruang dan nilai ruang. Menyangkut kualitas figural dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarkhi dan hubungan-hubungan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan pada cara mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang diwujudkan melalui bentuk bangunan (Agus,1999). Menurut Schulz (1979), terdapat perbedaan antara tipologi dengan morfologi. Jika tipologi merupakan suatu klasifikasi untuk pengelompokkan bangunan (berarti lebih dari satu bangunan) berdasarkan tipe-tipe tertentu, sedangkan morfologi menyangkut perubahan bentuk pada satu bangunan. Perubahan bentuk
31
ini, menurut Schulz, menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang. Sistem figurasi ruang dihubungkan melalui pola hirarki ruang maupun hubungan ruang. Oleh sebab itu, kedua terminologi itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, baik secara metode maupun substansinya, sehingga sering disebut dalam satu rangkaian: tipomorfologi. Namun demikian, Moudon (1994), menyebutkan bahwa tipologi adalah gabungan antara studi tipologi dan morfologi, yaitu suatu pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan. Secara metodologi, untuk bisa merumuskan suatu tipologi arsitektur dalam arti klasifikasi dan pengelompokkan bangunan berdasarkan tipe-tipe tertentu, maka harus dilakukan terlebih dulu kajian morfologis pada satuan bangunan. Untuk kedua hal itu biasanya dipakai metode yang biasa dilakukan dalam sejarah, yang secara substansi mengikutsertakan aspek-aspek kebudayaan manusia. Morfologi pada penelitian ini bukan suatu pendekatan untuk mencari tipologi akan tetapi mencoba mempelajari morfologi ruang dan bentuk masjid serta melihat faktor yang mempengaruhi bentuk morfologi tersebut. Kajian ini bersifat Diakronik karena tidak mendetail membahas proses perkembangan sejarah bentuk masjid tetapi melihat kondisi masjid saat ini, hal ini dikarenakan masjid di Denpasar pada umumnya merubah bangunan lama dengan cara membongkar bangunan asli dan mendirikan bangunan yang baru. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana bentuk masjid di Denpasar serta apakah yang mempengaruhi bentuk tersebut apakah pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadist atau faktor
32
lainnya.. Tuntunan Al Quran dan Hadist menekankan
posisi kiblat didalam
masjid , susunan Shaf sholat berjamaah ,pemisahan gender antara makmum lakilaki dan perempuan dimana aturan atau tuntunan ini akan mempengaruhi bentuk morfologi masjid.didalam penelitian ini juga mencoba mempelajari pengaruh lingkungan terhadap bangunan masjid yaitu Arsitektur Bali akan tetapi peneliti tidak mengkaji arsitektur Bali secara dalam akan tetapi mencoba menangkap elemen tambahan di masjid yang tidak biasa digunakan pada Arsitektur Masjid di Indonesia kemudia menganalisa elemen tersebut apakah terdapat pada Arsitektur Bali. Penelitian ini juga mempelajari perkembangan elemen arsitektur pada Masjid di Denpasar terkait perkembangan
lambang atau simbol islam yang
umumnya dikenal pada Arsitektur Masjid dan mencari bagaimanakah penggunaan ragam hias Bali kedalam arsitektur Masjid di Denpasar.
33
2.3 Kajian teori 2.3.1 Arsitektur Islam Arsitektur Islam adalah hasil perancangan ruang dan sistem binaan yang berasaskan pada corak hidup umat islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar Islam. Salah satu masalah dalam arsitektur Islam adalah terletak pada proses bagaimana kerangka intelektual dalam memahami apa yang dipahami sebagai arsitektur Islam. Masalah yang mendasar dari proses berfikir dan kerangka intelektual tadi terletak pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang umumnya dilakukan oleh banyak orang ketika berbicara tentang arsitektur islam adalah pendekatan yang berorientasi kepada obyek atau pendekatan yang melihat produk dari suatu peradaban atau masyarakat Islam sebagai suatu produk yang Islami Pendekatan yang berorientasi kepada obyek mengidentikkan Arsitektur Islam dengan bangunan dan elemen fisik dari masjid. Bentuk-bentuk yang melambangkan Arsitektur Islam tadi lebih merupakan pembentuk image dan simbol-simbol yang membawa misi tersendiri. Adalah hal yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketika Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu . Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi , apapun bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai pada masyarakat saat itu (Utaberta,2004)
34
Menurut Utaberta (2011), dengan judul Rekonstruksi Pemikiran dan Filosofi dan Perancangan Arsitektur Islam Berbasiskan Al Qur‟an dan Sunnah dimana tulisanya menjelaskan beberapa prinsip dan nilai-nilai yang dapat menjadi dasar bagi pembentukan kerangka pemikiran, ide-ide dan filosofi Arsitektur Islam dimana prinsip-prinsip tersebut meliputi delapan prinsip meliputi Prinsip Pengingatan Pada Ibadah Kepada Tuhan, Prinsip Pengingatan Pada Ibadah dan Perjuangan, Prinsip Pengingatan Pada Kehidupan Setelah Kematian, Prinsip Pengingatan Akan Kerendahan Hati, Prinsip Pengingatan Akan Wakaf dan Kesejahteraan Publik, Prinsip Pengingatan Terhadap Toleransi Kultural, Prinsip Pengingatan Akan Kehidupan Yang Berkelanjutan, Prinsip Tentang Pengingatan Keterbukaan. Nasr (2003), berpendapat bahwa prinsip-prinsip Arsitektur Islam ialah: 1. Unitas (Tauhid) Hal paling mendasar dalam arsitektur Islam yang bisa kita pahami adalah konsep Unitas (At-Tauhid) yang tidak lain adalah ideologi prinsip dalam Islam. Dalam karya, unitas secara arsitektur tercermin dalam saling terkaitnya berbagai jenis fungsi kegiatan (sekuler dan religi tidak tampil terpisah), dihilangkannya istilah profan dan sakral. Prinsip unitas tercermin juga dalam bagaimana diperlakukannya eksterior dan interior. Dapat dirasakan bahwa antara ruang dalam dan pertamanan, keduanya menjadi satu perpaduan yang utuh
35
2. Realisme Realisme, dimana clarity dijunjung tinggi dalam mengartikulasikan fungsi elemen dan bahan. Setiap material diperlakukan sebagaimana mereka apa adanya, bukan sebagaimana mungkin mereka tampaknya. Diperlakukan dan dijunjung tinggi sedemikian rupa supaya menampakkan karakter mereka sebagai bagian dari kreasi Tuhan. 3. Kesatupaduan dengan tatanan alam Kesatupaduan dengan Tataan Alami. Dalam rancangan, fitur arsitektur buatan manusia menjadi satu kesatuan dengan fitur alami. Masjid bukan ruang suci yang terpisah dari ruang alam, tetapi adalah keluasan ke arah lingkungan buatan manusia yang selaras dengan alam. Terjadi perpaduan antara harmoni dan irama. 4. Kehampaan ruang Melebihi dari aspek-aspek di atas, yaitu sebuah tingkatan di mana ruang dihayati dan dirasakan secara totalitas dengan penggunaan seluruh indera manusia; atau kita kenal dengan sense of place. Bagaimana memberi peluang dan stimulan kepada seseorang untuk memahami hakikat di luar dirinya, seakan-akan mengajak ke alam immaterial, meninggalkan dunia menuju spiritual. Sebuah filosofi Cina mengatakan “kosong adalah isi, isi adalah kosong”. Dalam bahasa arsitektur, dapat kita artikan bahwa sesuatu yang berisi, ramai, penuh ornamen, sebenarnya tidak lain ialah menyiratkan sebuah kekosongan atau kehampaan. Sebaliknya, sesuatu yang bersih, polos, tanpa ornamen,
sebenarnya
adalah
menyiratkan
kepenuhan,
kematangan,
36
kesempurnaan. Hal ini diterapkan salah satunya pada detail mihrab ruang sholat yang penuh ornamen menurut beliau justru menyiratkan sebuah kekosongan pikiran agar kemudian bisa lebih khusyu‟ dalam beribadah.
Adapun Haider (2002), mengemukakan bahwa Arsitektur dapat dikatakan islami jika melingkupi empat hal. Pertama, kosmologi arsitektur tersebut mengandung nilai bahwa alam dan manusia mempunyai misi untuk menyembah Allah SWT. Manusia dianggap sebagai makhluk yang berakal dan berkemauan bebas namun bertanggung jawab kepada sesama manusia dan alam dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Kedua, Arsitektur yang merepresentasi nilai-nilai sejarah Islam yang terlihat dari dinasti-dinasti Islam, politik dan kota-kota Islam. Ketiga, Arsitektur yang menghormati konsep halal-haram sebagaiman yang terdapat dalam hukum islam. Keempat, arsitektur melambangkan spiritualitas Islam seperti penggunaan hiasan kaligrafi dan arabesques.
Rehman (2002), dalam the Grand tradition of Islamic Architecture menjelaskan bahwa arsitektur yang islam adalah arsitektur yang berlandaskan Qur‟an dan Hadist Rasulullah SAW. Bangunan arsitektur tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai: Pertama adalah tauhid dan risalah. Bangunan didirikan tidak ada didalamnya unsur syirik dalam pembuatannya, desain dan ornament di dalamnya (termasuk didalamnya penggunaan patung). Bangunan itu tidak dibuat dengan mengotori atau merusak alam, binatang dan tumbuhan. Oleh karena itu, hiasan dan ornament interior dalam aristektur Islam banyak menggunakan motif tumbuhan (arabesques), kaligrafi dan geometri. Kedua, Qur‟an memberikan
37
kesadaran akan lingkungan dan realitas lingkungan. Diantaranya adalah struktur matematika dalam Qu‟ran yang menghubungkan intelektual dan spiritual Islam dan Matematika sebagaimana yang terkandung dalam struktur dari Qur‟an sendiri dan simbol-simbol numeric dari huruf dan kata. Oleh karena itu, seni arsitektur Islam berkembang dalam konsep geometri, astronomi dan metafisik. Ketiga, Konsep Desain berbasis geometri murni. Bangunan memiliki “badan” yang didesain dengan konsep geometri. Adapun jiwanya dapat didesain dengan memodifikasi pencahayaan, ventilasi, efek suara, lansekap, warna, teksture, dan interior dan eksterior. Konsep ini bisa dilihat dari rumah-rumah, masjid, makam, atau taman. Empat, konsep syurga di Bumi. Dalam mendeskripsikan taman-taman Surga. Arsitektur Islam sangat dipengaruhi dengan konsep taman dan courtyard sehingga landsekap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangunan. Kelima, konsep cahaya. Cahaya sebagai simbol spiritualitas dikenal dalam dunia sufi. Arsitektur Islam mendesain pencahayaan, bayang-bayang, panas dan dingin dari angin, air beserta efek pendinginnya, dan tanah. Tujuannya adalah agar komponen insulating ini harmonis dengan alam. Konsep dan nilai tersebut diatas merupakan framework dalam mendesain rumah yang memiliki nilai-nilai Islam dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
38
2.3.2 Morfologi Masjid di Indonesia Kata morfologi banyak digunakan dalam beberapa bidang keilmuan, yaitu bagian dari ilmu yang mengacu pada pembahasan tentang bentuk, fungsi dan makna, dengan demikian morfologi masjid menjelaskan tentang bentuk, fungsi dan makna suatu masjid. Bentuk masjid awal sebagaimana menurut sejarah adalah sebuah bangunan sederhana berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Denah masjid pada kondisi awal relatif berbentuk bujur sangkar yang kemudian menjadi panutan bagi dibangunnya masjid-masjid sejenis. Akan tetapi tulisan mengenai pendirian masjid atau keberadaan masjid pada awal penyebaran islam di Indonesia banyak ditulis oleh peneliti Belanda dimana mereka menggambarkan morfologi masjid terdahulu dan darimana gaya yang mempengaruhi masjid tersebut. Banyak teori yang berkembang terkait dengan morfologi masjid di Indonesia diawali oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953), bahwa bangunan masjid tidak mungkin dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil dan sempit didalam candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan sebuah masjid dimana sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar oleh karena itu beliau berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) bangunan yang sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum Islam yang masih ada keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat, memiliki bumbung dan sisinya tidak memiliki dinding. Sehingga apabila sisi
39
tersebut dibuat dinding dan diberi mihrab pada sisi baratnya maka memenuhi kriteria sebuah mesjid. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh H.J de Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih bangunan yang dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena kegiatan tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid tradisional di Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar (India). Bukti yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens van Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki denah persegi empat dengan atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat digunakan untuk belajar agama. Hal yang sama juga ditemukan oleh Graff pada masjid di Sumatera Barat, berdasarkan perbandinagan inilah yang memperkuat kesimpulannya bahwa seluruh Masjid tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Khasmir atau India. Bentuk masjid yang digambarkan oleh graff yaitu bangunan berbentuk bujur sangkar sesuai dengan aturan di Jawa akan tetapi di tempat lain di Asia Tenggara boleh menggunakan bentuk persegi panjang, atap yang khas, beranda dan sebuah ruang tambahan dibelakang yang disebut mihrab. Namun Begitu menurut Nas dan Vletter (2009) pendapat Graff berbeda dengan peneliti Belanda Pijper diamana beliau menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa bukan dari pengaruh luar. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa yaitu; (1) berdenah bujur sangkar, (2). lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak
40
memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale(Banten), (3). memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, (4). mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab, (5). mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan (6). memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur. Masjid di dalam penelitian nya juga dijelaskan berdiri di atas tiang-tiang kayu dan ia juga yakin bahwa masjid-masjid lama memiliki dinding rapat, sedangkan jendela merupakan penemuan lebih baru. Pernyataan Pijper bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa tadi tampaknya juga diikuti oleh hampir semua kalangan termasuk para ilmuwan atau akademisi hingga sekarang. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa pengaruh bentuk arsitektur Masjid Jawa ini bukan hanya pada tipe masjid di Indonesia, namun hingga masjid-masjid di seluruh Asia Tenggara, antara lain Malaysia, Thailand (Patani), dan Philipina (Mindanau). Akan tetapi pendapat serupa juga dijelaskan oleh Tjandrasasmita (2009), dimana menurut beliau masjid-masjid kuno yang ada di Indonesia mempunyai corak atau bentuk yang berbeda dengan masjid yang ada di negeri lain. Kekhasan masjid-masjid kuno tersebut antara lain: (1) denahnya persegi empat atau bujur sangkar, (2) atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua atau lebih dan semakin keatas semakin runcing, (3) mempunyai serambi didepan atau disamping ruangan utama masjid, (4) di bagian depan atau samping
41
masjid biasanya terdapat kolam, (5) disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Setiabudi (2006), juga mencoba memperkuat penelitian sebelumnya dimana memperkuat teori bahwa masjid di Indonesia tidak terpengaruh oleh arsitektur dari luar beliau mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Pijper dimana Sejarah perkembangan morfologi masjid dijawa diawali dengan masa awal berdirinya masjid meniru bentuk bangunan lokal yang tergambar di dinding candi menyerupai bentuk meru dan pendopo atau wantilan di Bali. dimana terus berkembang dengan memiliki karakter empat pilar ditengah ruang shalat yang dikenal dengan soko guru dimana atribut tambahan seperti minaret sebenarnya tidak terdapat pada masjid di Jawa. Dengan menelaah tipologi bentuk dasar dan sifat dasar tersebut, maka dapat disimpulkan pula bahwa tradisionalitas langgam arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh sinkretisme, eklektisisme, dan simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid tipikal tradisional di Jawa yang memiliki ciri umum sebagai berikut: memakai material kayu, beratap tumpang, terdapat memolo (hiasan dari puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu), memiliki tempat wudlu berupa kolam atau gentong, beduk atau kentongan, serambi atau pendopo, pawestren (ruang shalat wanita), pagar dan gerbang, makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan tidak bermenara (kecuali pada perkembangan kemudian). Akan tetapi Aufa (2010) tidak terlau sependapat bahwa masjid di Jawa mempengaruhi masjid di luar jawa atau model masjid di Asia Tenggara berasal dari Jawa pendapat beliau diperkuat didalam penelitiannya terhadap masjid di kalimantan dimana bentuk denah dan atap
42
tumpang pada masjid memiliki makna yang berbeda dimana didalam kebudayaan dayak bentuk atap masjid melambangkan pohon hayat, selain itu juga terdapat simbol-simbol didalam ornamen masjid mewakili simbol suku dayak. Model masjid di jawa mempengaruhi morfologi masjid diluar Jawa juga diragukan oleh Utaberta dkk (2009), dimana didalam penelitiannya atap tumpang menyebar diseluruh masjid di Nusantara dan apabila dilihat dari sejarah kerajaan pertama islam yang berdiri di Sumatera yaitu Samudera Pasai sehingga seharusnya tipologi masjid mulai berkembang pada wilayah dimana islam awalnya berkembang, akan tetapi penelitian Utaberta tidak menekankan lebih rinci mengenai asal bentuk morfologi masjid tua di Indonesia akan tetapi teori utama yang dikemukakan oleh beliau adalah keberadaan bentuk arsitektur masjid di Indonesia awalnya lebih dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan masingmasing daerah hal ini diperkuat dengan penelitian mereka terhadap masjid-masjid di Padang, Jambi, Bengkulu, Palembang dan Lombok dimana memiliki karakter bentuk dan makna yang berbeda dengan masjid di Jawa. Di dalam tulisanya Utaberta juga merinci ciri-ciri khas yang dapat dilihat pada kebanyakan masjid di Indonesia adalah bentuk asas rata atas tanah yang digunakan. Asas rata yang biasa digunakan berbentuk segi empat sama dan biasa digunakan pada berbagai jenis candi di Pulau Jawa. Pada beberapa masjid yang masih terdapat di Pulau Jawa, pengaruh asas rata candi masih boleh dilihat sehingga kini. Pada bangunanbangunan yang juga memiliki fungsi seperti masjid seperti langgar, tajug dan bale, biasanya dibangun di atas tiang sebagaimana bentuk bangunan tradisional Indonesia yang lain. Selain dari asas rata, tembok atau pagar bangunan juga
43
merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi pembangunan masjid tradisional Indonesia. Hanya di kota-kota atau dalam bandar yang tidak mempunyai halaman yang luas saja dasar pembinaan tembok tersebut tidak dilakukan. Tetapi pada masjid bentuk Jawa yang asli, tembok adalah suatu yang penting bagi memisahkan antara „kawasan suci‟ dan „kawasan kotor‟. Pada bagian hadapan dari tembok biasanya dibangunkan gerbang yang mempunyai bermacammacam bentuk dan gaya. Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Tembok yang mengelilingi sebuah masjid ini sebenarnya bukanlah cirri khas seni bina Muslim, tetapi merupakan salah satu bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa yang disebut Pura Desa dan masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa di Bali terdiri dari tiga halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap halamannya dikelilingi oleh tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat pada bangunan-bangunan permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan masjid seperti makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam Sunan Giri di Gresik, makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam suci keluarga Raja Demak yang terdapat di persekitaran Masjid Demak. Berbeda lagi Morfologi Masjid menurut Iskandar (2004), morfologi masjid dipengaruhi sudut pandang Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap Tipologi masjid di Jawa Tengah. Pertama, masjid berbasis masyarakat NU umumnya memiliki bentuk dasar denah “tradisional Jawa” persegi empat (dalam arti fisik maupun simbolik); pengolahan denah masjid yang tidak berdasar
44
perhitungan rasional modular tetapi lebih berdasarkan intuisi (metode blackbox) dan pengalaman imitatif tukang; sinkretisme dan eklektisisme dalam penataan ruang, bentuk, dan fungsi; adanya orientasi kosmologis dan mistis; komposisi dan konfigurasi simbolik; penggunaan material tidak diterapkan mengikuti kaidah teknologik; gaya arsitektur masjid mengikuti langgam tradisional seperti bentuk atap tajug atau pemakaian kubah berlanggam Timur Tengah Arabian berdasar persepsi massa ummat Islam tentang “ciri” arsitektur masjid, dan lain-lain. Dari segi transformasi bentuk, tampak bahwa perubahan bentuk masjid bersifat inkremental; bentuk masjid tumbuh dan berkembang tanpa sekrenario dengan tempelan ruang dan bentuk yang tidak selalu menyatu dengan bentuk asal; dan lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tipologi masjid berbasis masyarakat
Islam
tradisionalis
(Nahdlatul
Ulama)
umumnya
dominan
menampilkan ciri tradisionalitas arsitektur. Kedua, sebaliknya, masjid berbasis masyarakat Muhammadiyah melahirkan tipologi masjid yang tidak terikat pada satu langgam tipikal tetapi mencari tipologi sesuai dengan konsep dan program rancangan masjid, atau bahkan tanpa terikat dengan suatu tipologi tertentu penggunaan material untuk konstruksi beton bertulang misalnya, tidak berdasarkan perhitungan rasional, tetapi berdasarkan intuisi dan pengalaman tukang; tak ada standarisasi, karena pendekatan rasional dan ide dalam mengolah bentuk; pengolahan denah dan tapak masjid memiliki kesetiaan kepada order berdasarkan grid rasional dan modul struktur tertentu; orientasi rasionalitas, fungsi, dan efisiensi; komposisi dan konfigurasi bentuk atau struktur berdasarkan pertimbangan estetik dan bukan simbolik/mistik; bentuk
45
bersifat ahistoris, noneklektik, dan non sinkretik; jika memakai idiom tradisional bentuk tetap diolah secara rasional dan terjadi desakralisasi; penggunaan material alam/tradisional diolah secara modern baik segi segi teknik maupun estetik, dan demikian pula penggunaan material buatan sehingga memberi ekspresi modernitas. Dari segi transformasi bentuk, hasilnya adalah bentuk-bentuk yang sudah final tanpa transformasi; jika ada perubahan, bentuk mengikuti rancangan yang terintegrasi dengan bentuk asal atau karakter tapak, dan lain-lain. Fenomena ini diinterpretasikan lebih jauh, menjadi sebuah konsep adanya keterkaitan antara doktrin atau faham keagamaan masyarakat pendukung masjid dengan perwujudan tipologi arsitektur masjid secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian Iskandar membuka ruang kosong yang menjadi pertanyaan para peneliti sebelumnya yang mencoba berdebat mengenai asal usul gaya bangunan masjid di Indonesia karena melalui penilitianya ada faktor yang cukup dominan didalam perencanaan masjid yaitu sudut pandang seseorang atau kelompok dengan pemahaman yang berbeda akan menghasilkan konsep bentuk bangunan Masjid yang berbeda pula. Penelitian selanjutnya yang sangat penting di dalam bangunan masjid yaitu Morfologi ruang dimana ruang shalat merupakan bagian pertama yang dipikirkan didalam membangun masjid. Penelitian mengenai ruang dalam masjid dilakukan oleh Rosniza (2008), menyatakan bahwa masjid di Malaysia memiliki tiga elemen dasar yaitu pintu masuk, ruang shalat dan teras atau koridor. Adapun susunan dari ketiga komponen ini akan senantiasa berubah seiring dengan waktu. Mulai dari awal berdirinya masjid dimalaysia tipologi ruangnya masih sangat sederhana
46
dimana pintu masuk masih membentuk sumbu aksis dengan kiblat ini berlaku pada masjid antara abad ke-18-19 M. Untuk masjid pertengahan abad ke-19 posisi entrance bangunan melintang terhadap sumbu axis kiblat sudah jarang ditemukan berada lurus dengan seperti masjid zaman sebelumnya akan tetapi dari bentuk ruang masih berupa persegi dan persegi panjang. Kategori masjid abad 20 orientasi entrance mengalami perubahan yaitu ada kecendrungan memusat ke tengah bangunan begitu pula dengan bentuk denah lebih banyak memakai bentuk memusat seperti lingkaran dan persegi delapan. Pada penelitian Rozniza tidak dijelaskan kaitan bentuk morfologi ruang tersebut terkait Al-Qur‟an dan Hadist sehingga keragaman bentuk denah akan menggambarkan pandangan dan pemahaman mereka yang mendirikan bangunan masjid tersebut. Menurut Salain (2011), Penerapan arsitektur lokal tidak dilarang didalam rancangan masjid ,pengaruh yang paling dominan didalam penerapan gaya arsitektur tersebut adalah konsensus atau kekuasaan. Selain itu penerapan arsitektur Bali pada masjid justru akan mempererat toleransi hubungan antar umat beragama. Didalam penelitian morfologi Arsitektur Masjid di Bali, hal pertama yang ingin digali adalah bagaimana morfologi ruang masjid terkait dengan bentuk ruang utama masjid. Kemudian dari bentuk yang didapatkan peneliti mencoba menggali sudut pandang dan pemahaman jemaah didalam merencanakan sebuah bangunan masjid. Peneliti juga akan membedah elemen-elemen di dalam bangunan masjid dimana perkembangan elemen arsitektur masjid menurut Fanani (2009), meliputi Mihrab yang digunakan untuk imam memimpin shalat, Zulla
47
merupakan ruangan terdepan di dalam masjid yang berbatasan dengan dinding kiblat, bagian selanjutnya mimbar merupakan podium untuk menyampaikan khutbah,
didalam masjid juga terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada
masjid juga sering terdapat gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada posisi gerbang masuk kedalam masjid, elemen berikutnya adalah kolom baik itu pada bagian beranda dan deretan kolom didalam masjid yang terkadang berbentuk portal-portal tersusun dengan ukiran-ukiran floral atau kaligrafi, bagian selanjutnya adalah kubah atau atap dimana merupakan elemen yang penting didalam masjid karena selain berfungsi untuk melindungi bangunan dari hujan panas juga memberikan karakter yang kuat terhadap bangunan masjid, tempat wudhu juga menjadi elemen penting didalam pembahasan morfologi masjid, bagian terakhir yang menjadi elemen pada bangunan masjid adalah menara atau yang dikenal minaret. Tidak semua elemen diharuskan terdapat didalam masjid karena bagian penting dari masjid hanya berupa ruangan untuk melaksanakan shalat berjamaah yang biasanya terdiri dari ruang mihrab dan ruang shalat sudah cukup untuk syarat sah nya shalat berjamaah. Elemen-elemen pada masjid tersebut
merupakan
elemen
sekunder
yang
selanjutnya
berkembang
menyesuaikan dengan budaya dimana masjid tersebut berada sehingga sangat menarik bagaimana perkembangan elemen masjid tersebut di dalam Arsitektur Masjid di Denpasar Bali.
48
2.4 Model Penelitian
Arsitektur Islam
Arsitektur Masjid
Arsitektur Tradisional Indonesia
Morfologi Arsitektur Masjid Indonesia Keterbatasan Lahan
Arsitektur Tradisional Bali
Islam Minoritas
Tuntunan Al-Quran dan Hadist Bentuk Ruang dan Bangunan masjid
Lambang dan Simbol Islam
Elemen Arsitektur Bali
Ragam Hias Masjid di Dernpasar
MORFOLOGI ARSITEKTUR MASJID DI DENPASAR BALI
Gambar 2.3. Model Penelitian
49
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif . Penelitian
deskriptif
kualitatif
menganut
paham
fenomenologis
dan
postpositivisme yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas sebagai suatu ciri, karakter, model, tanda atau gambaran tentang situasi atau fenomena tertentu tanpa membahas makna secara dalam. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Metode rasionalistik-kualitatif merupakan metode dengan peneliti bertindak sebagai instrumen utama, penelitian dilakukan dengan proses interview secara mendalam dan mendetail secara silang dan berulang untuk dapat mengetahui perkembangan kawasan, lingkungan serta perubahan – perubahan yang mungkin terjadi (Bungin, 2009). Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi, ataupun data-data lainnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana kondisi di lapangan, proses apa-apa saja yang telah berlangsung dengan cara diagnosa dan menerangkan hubungan yang terjadi di lapangan dengan kajian teori, untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan dari 50
masalah yang ada sekarang, yang kesemuanya disusun secara sistematis berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan (Moleong 2002:7). Penelitian Deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, model, karakter dan gambaran tentang kondisi dan situasi tertentu (Bungin,2009) Penelitian Ini Bersifat deskriptif untuk memperoleh data kualitatif dengan cara mengobservasi artefak bangunan masjid sebagai objek kajian. bertujuan untuk menghasilkan sebuah deskripsi tentang apa yang dialami dan terjadi yang menyangkut ide atau keingingan masyarakat Muslim yang akan dijadikan sasaran penelitian, sertra deskripsi pengamatan morfologi masjid dan mengenai prilaku mereka. Untuk mengetahui morfologi ruang dan wujud masjid digunakan metode studi kasus yang dilakukan dengan mempelajari 30 kasus dilapangan. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ini adalah Kota Denpasar Propinsi Bali. Adapun alasan penelitian pada lokasi tersebut adalah karena selain sebagai ibukota propinsi Kota Denpasar memiliki penduduk yang multikultural sehingga kemungkinan akulturasi semakin besar yang akan mempengaruhi morfologi Arsitektur Masjidnya.
51
3.3 Jenis dan Sumber Data a. Data primer Sumber data Primer dalam penelitian ini adalah dokumentasi berupa fotofoto dan pengukuran dilapangan sedangkan informasi mengenai keberadaan masjid diperoleh dari, MUI Denpasar. Data mendalam dalam penelitian ini diperoleh dari informan kunci yang paham dan mengerti mengenai Masjid diantaranya, tokoh masyarakat, pengurus yayasan atau pengurus masjid dan jemaah sekitar masjid. b. Sumber data sekunder Sumber data pelengkap dalam penelitian ini adalah dengan mengambil beberapa sumber tambahan atau pelengkap, yaitu studi kepustakaan berupa buku-buku yang menunjang penelitian 3.4 Teknik Pengumpulan Data Metode Pengumpulan data yang digunakan dengan cara kualitatif dimana dalam penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data, Yaitu : 1. Wawancara Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang tepat dan obyektif dengan cara menggunakan seperangkat pertanyaan baku baik urutan, kata-kata dan cara penyajiannya dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide untuk memperoleh informasi mengenai Arsitektur Masjid di Denpasar Bali. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan metode wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan dengan atau
52
tanpa menggunakan pedoman, kekhasan wawancara ini adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin,2009). Wawacara mendalam didalam penelitian ini digunakan agar mendapatkan data akurat mengenai persepsi dan informasi mengenai objek penelitian. Adapun informan yang akan diwawancarai atau adalah tokoh-tokoh masyarakat diantaranya, Pengurus Masjid atau ketua yayasan , dan Jemaah yang menggunakan masjid jemaah disini adalah jemaah yang berada disekitar bangunan masjid yang selalu beribadah di masjid tersebut. Selanjutnya informan yang mewakili Instansi pemerintah diantaranya Departemen Agama, dan majelis Ulama Indonesia cabang denpasar. Adapun bentuk wawancara yang digunakan adalah individu dengan individu agar informasi yang diperoleh bisa lebih luas. Pengumpulan data secara wawancara dilakukan dengan memberikan jenis pertanyaan yang sama dengan sumber informan berbeda agar diketahui sudut pandang mereka terhadap objek yang diamati. Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teori maka peneliti mencoba merumuskan daftar pertanyaan wawancara. 2. Observasi Metode Observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif meliputi observasi partisipatif, observasi tidak berstruktur dan observasi berkelompok (Bungin,2009). Metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode observasi partisipatif dimana metode pengumpulan data digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan terhadap objek. Adapun hal hal yang hendak diamati didalam penelitian ini adalah mengamati aktivitas penggunaan
53
masjid baik itu pada saat shalat ataupun kegiatan lain yang dilakukan didalam masjid sehingga dapat diamati dimana pembagian ruang berdasarkan gender. Bagian lain yang akan diamati adalah bagaimana penggunaan ruang didalam masjid menyesuaikan dengan apa yang dikemukakan didalam wawancara. Observasi juga dilakukan pada saat shalat jum‟at dimana tambahan ruang yang sering digunakan apabila ruang dalam masjid tidak bisa menampung jemaah. 3. Studi Dokumentasi Dilakukan guna mengumpulkan sumber data yang berasal pengukuran langsung berupa sketsa gambar dan foto-foto baik itu foto elemen bangunan maupun peristiwa penggunaan masjid atau sumber lain yang mendukung pengumpulan data penelitian. Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik Triangulasi sumber. Triangulasi berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode penelitian kualitatif (Moleong, 2000:178) Triangulasi sumber yang digunakan dapat ditempuh dengan cara-cara, antara lain sebagai berikut (Moleong, 2000:178); a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan pribadi c. Membandingkan apa yang dikatakan seseorang pada saat diteliti sepanjang waktu.
54
d. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang seperti rakyat biasa, pejabat pemerintah dan orang-orang berpendidikan. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang bersangkutan. Triangulasi sumber dapat di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1. Model triangulasi sumber
Triangulasi sumber penting dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dari sumber yang berbeda sehingga peneliti bisa mendiskusikan arguman atau informasi yang diperoleh dari informan. 3.5 Instrumen Penelitian Dalam Penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri dan memerlukan instrumen pendukung berupa buku catatan dan kertas gambar, alat perekam, digital camera, scanner dan sebagainya Peneliti sebagai Instrument diharapkan memiliki kepekaan teoritik, sehingga mampu unuk memberikan arti, penafsiran, memberi hipotesa dan melakukan tes-tes terhadap data yang didapatkan.
55
3.6 Analisis Data Strategi analisis data adalah Analisis Morfologi Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data mengenai
Elemen
pembentuk Arsitektur dan Informasi mengenai makna a. Pengumpulan Data rancangan. Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi dari informan yang mengetahui mengenai sejarah berdirinya masjid dan penggunaanya. b. Reduksi Data Menurut Sanafiah Faizal (1990:43) reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. c. Sajian Data Sajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang memungkinkan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan (Moleong,1995:106). Sajian data ini bertujuan untuk menyusun informasi yang diperoleh dari penelitian lapangan guna menarik simpulan.sajian data berupa tabel baik tulisan atau gambar untuk mencari perbedaan dan kesamaan untuk menguatkan argumen teori yang akan dimunculkan. d. Kesimpulan atau Verifikasi data Proses selanjutnya adalah penarikan simpulan yang digunakan sebagai suatu hasil dari pengambilan data lapangan melalui informan yang
56
mengetahui seluk beluk bangunan masjid di Bali, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai bentuk arsitektur masjid dan elemen-elemen pembentuknya. Kesimpulan ini dibuat sesingkat mungkin sewaktu memikirkan kembali yang terlintas di dalam pikiran kemudian menganalisis selama ia meneliti. Didalam penelitian ini dilaskukan dengan dua langkah analisis data dimana langkah pertama mengumpulkan data secara
kualitatif
dari
lapangan
kemudian
mencocokan
atau
membandingkan bentuk morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar dengan Morfologi Masjid di Timur Tengah . 3.7 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data yaitu dengan menggunakan tabel dan gambar. Tabel merupakan penyajian data dalam bentuk kolom dan baris, sedangkan gambar penyajian datanya melalui bagan, grafik, peta sketsa dan foto. Cara lainnya yaitu dengan naratif yaitu brupa penguraian-penguraian. Karena penelitian ini merupakan penelitian morfologi sehingga dibutuhkan perkawinan antara tabel dan gambar, yaitu gambar-gambar disusun di dalam bentuk tabel sehingga pengelompokan akan lebih mudah di baca.
57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Masjid di Denpasar Bali Belum terdapat data yang akurat baik dari Majelis Ulama Indonesia maupun dari departemen Agama mengenai jumlah bangunan Masjid di kota Denpasar. Hal ini dikarenakan Masjid di Bali sering juga disebut dengan istilah Musholla padahal secara fungsi memiliki kesamaan dimana salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh bangunan masjid adalah diselenggarakannya ibadah sholat jum‟at. Mengkategorikan Masjid tidak bisa dari ukuran skala bangunan. Rasullullah bersabda: ” Barang Siapa, demi keridhaan Allah, mendirikan sebuah masjid walaupun seluas burung merpati, niscaya Allah akan membangunkannya istana di syurga” 11 Berdasarkan hadis tersebut sulit kita mengkategorikan bangunan masjid berdasarkan ukuannya. Sehingga peneliti melakukan sensus terhadap bangunan masjid dan musholla di Kota Denpasar dan mengkategorikan kembali bangunan yang seharusnya berfungsi sebagai masjid. Kategori masjid juga sering dikaitkan dengan dilaksanakan Sholat Jum‟at dan Sholat lima waktu didalamnya. dari segi fungsi Menurut Shihab (1996), Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya
sehingga lahir
peranan
masjid
yang
beraneka ragam. Sejarah
mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid 11
. Ash Shidiieqy, M.A. 1970. Koleksi Hadist-Hadist Hukum Al-Ahkamun Nabawiyah.Hadist diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim (577) hal 345. Bandung: PT Alma‟Arif
58
Nabawi, yaitu sebagai: (1) Tempat ibadah, (2) Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya. (3)Tempat pendidikan, (4)Tempat santunan sosial, (5)Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, (6)Tempat pengobatan para korban perang, (7)Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, (8)Aula dan tempat menerima tamu, (9)Tempat menawan tahanan, (10)Pusat penerangan atau pembelaan agama. Pemilihan kasus juga pertimbangan gaya arsitektur yang digunakan meliputi masjid yang menggunakan kubah bergaya Timur Tengah, masjid yang menggunakan atap tumpang, masjid yang menggunakan pagar dan tanpa pagar, masjid yang memiliki gerbang masuk bergaya Arsitektur Bali, modern dan Timur Tengah. Bentuk ruang meliputi konsep perletakan tiang dan dinding pembatas serta arah kiblat bangunan dan sholat juga menjadi pertimbangan penetapan kasus. Berdasarkan pertimbangan diatas peneliti memilih 30 kasus sebagai objek pembahasan dimana penyaringan kasus selain objek termasuk kategori masjid juga memilih sample yang mewakili kesamaan bentuk dan rupa pada sample yang ada seperti bentuk tata ruang, gaya arsitektur dan elemen lainnya. kasus-kasus tersebut meliputi; Masjid An-Nur (1), Masjid Masjid Al Furqon (2), Masjid agung Sudirman (3), Masjid Al Falaq (4), Masjid Al-Ghurabah (5), Masjid AlIkhlas (6) Masjid Nurullah (7), Masjid Quba (8), Masjid Nurut Taqwa (9), Masjid Suci (10), Masjid Raya Ukkhuwah (11), Masjid Al-Ikhlas (12), Masjid Baitul Makmur (13), Masjid Bina Taqwa (14), Masjid Al-Muhajirin IKMS (15), Masjid
59
Baitul Muqimin (16), Masjid Ar-Rahmat (17), Masjid Al-Qomar (18), Masjid Al Muhajirin (19), Masjid Sadar (20), Masjid Baitul Mukminin (21), Masjid Al Falah (22), Masjid Asy Syuhada (23), Masjid Al-Ihsan (24), Masjid Ar-Rahman (25), Masjid Al Hikmah (26), Masjid At-Taqwa (27), Masjid Baitturahman (28), Masjid Darussalam (29),Masjid Al Furqon Gatsu (30). Berdasarkan jumlah kasus tersebut peneliti akan mendeskripsikan beberapa kasus yang dianggap mewakili karakteristik dari masjid di Denpasar.
Gambar 4.1. Tampak 30 kasus masjid di Denpasar
60
Gambar 4.2. Peta Lokasi 30 kasus masjid di Denpasar
61
4.1.1 Masjid An Nur Masjid ini terletak di Jalan Diponegoro no 167. Awal berdiri masjid pada tahun 1942 kemudian direnovasi pertama kali pada tahun 1955, dimana perletakan batu pertama dilakukan oleh tokoh Masyumi, Muhammad Natsir. Pada saat itu bangunan masjid tersebut bernama Masjid Sanglah. yang artinya singgah diambil karena pada mulanya daerah pembangunan masjid tersebut
adalah daerah
singgahnya orang-orang yang berasal dari daerah lain di Bali yang kebetulan merantau. Pada tahun 1962 Masjid yang sebelumnya bernama Masjid Sanglah berubah nama menjadi masjid An-Nur. Renovasi bangunan masjid dilakukan kembali pada 13 Mei 1978 dan selesai pada 1 Maret 1982, dan bentuknya masih bertahan sampai saat ini. Bangunan Masjid An Nur memiliki luas sekitar 850 m2 berupa bangunan dua lantai. Masjid An Nur berdiri diatas lahan berbentuk persegi panjang dengan luas lahan sekitar 650 m2. Bangunan sejajar dengan bentuk lahan sisi lebar dan panjangnya. Tepat diseberang bangunan masjid terdapat bangunan pengurus yayasan yang sebagian disewakan untuk keperluan yayasan berupa petak toko dan gedung serbaguna yang luas nya sekitar 600 m2. Fungsi tambahan pada bangunan Masjid An-Nur adalah tempat menyelanggarakan pengajian rutin dengan mendatangkan penceramah dari luar Bali, tempat untuk melakukan perawatan jenazah, tempat untuk belajar mengaji dan bimbingan untuk muallaf. Bangunan Masjid An-Nur terdiri dari dua lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang sholat tambahan yang digunakan pada sholat Jum‟at dan juga terdapat ruang sholat khusus jemaah wanita yang dibatasi oleh partisi berupa tirai kain.
62
Gambar 4.3. Fasad depan masjid dan denah Masjid An Nur
Bentuk gubahan massa bangunan mengikuti bentuk tanah dan memiliki jarak sekitar 2,5 m pada sisi kiri dan kanan, pada sisi dinding barat atau kiblat bangunan berjarak 3 m dari pagar yang berbatasan dengan jalan dimana terdapat ruangan pengurus masjid, wc dan ruang wudhu laki-laki pada sisi kiri, dan ruang wudhu
63
wanita pada sisi kanan. Dari ruang wudhu wanita terdapat pintu samping yang menuju ruang sholat wanita akan tetapi pembatasan hijab belum sempurna karena masih berpapasan antara makmum laki-laki dan wanita karena makmum laki-laki sering sholat di lantai dasar. Pada bagian sisi timur bangunan masjid memiliki jarak delapan meter dari pagar yang berbatasan dengan jalan utama dimana pada sisi selatan dan utara halaman depan masjid terdapat tempat wudhu khusus lakilaki. Sebelum memasuki halaman depan masjid terdapat sebuah gerbang yang menyatu dengan pagar depan masjid. Masjid An-Nur memiliki sebuah menara atau minaret pada halaman depan pojok sebelah kanan. Halaman depan masjid dimanfaatkan untuk parkir motor dan sebagai ruang sholat pada saat sholat jum‟at. Ruang sholat utama masjid An-Nur berada di lantai dua. Arah orientasi bangunan pda Masjid An-Nur tidak tepat mengrah kiblat melainkan kearah barat. Begitu juga dengan arah orientasi sholat sejajar dengan orientasi bangunan berdasarkan informasi takmir dan pengurus masjid
An-Nur hal tersebut tidak terlalu
dipermasalahkan karena ada sedikit toleransi mengenai arah kiblat. Masjid An-Nur memiliki bentuk gubahan massa yang sederhana dimana dari tampilan bangunan mencerminkan arsitektur modern dengan bentuk geometri sederhana berupa kubus . Dasar bangunan masjid berupa bangunan solid tanpa kolong dibawahnya. Tinggi pondasi lantai sekitar 20 cm dari permukaan halaman masjid. Bagian tubuh masjid An Nur yaitu ruang utama masjid menghindari terdapatnya tiang yang bisa memutus shaf sholat berjemaah kecuali pada ruang sholat lantai bawah karena alasan struktur tiang bangunan tetap menjadi bagian penting bangunan sehingga baris shaf menyesuaikan terhadap posisi tiang
64
bangunan. Ruang mihrab pada Masjid An-Nur secara arsitektural tidak memiliki bentuk khusus melainkan hanya berupa penjorokan ruang kedepan (lihat gambar 4.4) Sedangkan mimbar hanya berupa meja kecil yang tidak memiliki tangga seperti mimbar di Timur Tengah.
Mihrab Masjid An-Nur
Mimbar Masjid An-Nur
Gambar 4.4 . Foto mihrab dan mimbar Masjid An Nur
Dinding bangunan masjid membatasi seluruh bagian dalam bangunan baik itu di lantai dasar maupun lantai atas bangunan. Jendela masjid berbahan kayu dan memiliki bentuk yang sederhana berupa persegi panjang yang mengisi antar kolom bangunan. Akan tetapi permainan dinding di depan jendela membentuk karakter masjid berupa bentuk lengkung yang membingkai jendela di belakangnya. Selain sebagai elemen estetik, bentuk lengkung juga berfungsi untuk menahan sinar matahari dan hujan agar tidak langsung ke bangunan. Untuk kolom tidak ada bentuk khusus melainkan hanya berbentuk persegi panjang yang berfungsi sebagai struktur. Hanya pada kolom lantai bawah bagian depan yang ditambah profil tiang bergaya arsitektur Bali dengan bahan batu alam dan ekspos bata merah (Lihat gambar 4.5)
65
Gambar 4.5 Kolom Masjid An-Nur
Bentuk atap masjid secara geometri terlihat rata tanpa bentuk atap yang menyudut akan tetapi apabila dilihat dari atas maka atap berbentuk limas yang dikelilingi atap beton yang berfiungsi sebagai talang air. Bentuk atap tidak tampak karena selain ukuran atap yang kecil ditambah sudut kemiringan atap sekitar limabelas derajat. Plafon bangunan masjid menggunakan bahan tekwood pada lantai atas dan menggunakan gypsum pada plafon lantai dasar. Desain plafon berbentuk polos hanya pada bagian tengah ruang sholat utama yang ada permainan bentuk berupa susunan balok memanjang dan atap lengkung yang memiliki pola dasar bentuk lengkung kubah, akan tetapi dibuat memanjang. Bangunan masjid An-Nur memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar sebelum memasuki bangunan. Gerbang ini dibangun menyusul setelah bangunan utama berdiri dan memiliki karakter desain yang berbeda dengan bangunan masjid. Gerbang masuk terdiri satu akses dengan membentuk portal berbentuk lengkung menyerupai kubah. Diantara gerbang dan bangunan masjid dihubungkan oleh atap beton yang terdapat kubah kecil ditengahnya dengan sentuhan cat prade emas. Untuk desain pagar dan gerbang menjadi satu kesatuan dengan menggunakan finishing batu marmer berwarna coklat muda, dari bentuk dan gaya
66
gerbang mengadopsi bentuk portal pada bangunan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram di Arab Saudi.
Gambar 4.6 Gerbang dan pagar masjid An Nur
Masjid An-Nur memiliki menara yang memiliki ketinggian sekitar dua belas meter. Ketinggian bangunan di Bali dibatasi sehingga menara berfungsi sebagai elemen pelengkap bangunan.. Dari fungsi tersebut menara masjid yang ideal memiliki ketinggian sekitar 16 meter keatas. Hal ini bertujuan agar terlihat dari kejauhan yang memudahkan jemaah yang mencari masjid dan memberikan kesan monumental pada bangunan. Ragam hias pada bangunan terdapat pada gerbang dan dinding depan lantai dasar bangunan masjid. Ragam hias dinding masjid dan pagar memiliki gaya yang berbeda di mana , pada gerbang mengadopsi gaya Timur Tengah sedangkan pada bagian dinding masjid bagian depan menggunakan corak Arsitektur Bali yang dihiasi oleh ayat-ayat al-Qur‟an pada bagian tengahnya.
67
4.1.2 Masjid Al-Furqon Masjid selanjutnya sebagai kasus kedua adalah Masjid Al-furqon yang beralamat di Jalan PB Sudirman di komplek TNI Kodam Udayana memiliki luas bangunan sekitar 400 m2 . Bangunan masjid mulai berdiri pada tahun 1982 berupa bangunan satu lantai kemudian dikembangkan lagi kebelakang akan tetapi tetap bangunan satu lantai. Pada tahun 2002 bangungan direnovasi total sampai dengan bentuknya saat ini berupa bangunan dua lantai. Masjid al Furqon tidak memiliki fungsi tambahan hanya ada ruangan dilantai atas yang dimanfaatkan untuk anak-anak belajar mengaji. Hampir sama dengan kasus pertama arah kiblat masjid ini sejajar dengan orientasi bangunan yaitu ke barat ada toleransi orientasi kiblat yang seharusnya sekitar 35 derajat ke arah utara. Bentuk lahan Masjid ini melebar pada bagian bawahnya dimana bentuk bangunan masjid dibuat optimal mengikuti bentuk lahan yang tidak simetris tersebut. Ruang utama masjid berada di lantai dasar bagian depan berbentuk siku pada sisi kiri bangunan sedangkan pada bagian kanan dinding jika menghadap kiblat melebar kebelakang. Pada ruang utama masjid terdapat banyak kolom struktur di tengah ruangan yang secara modular tidak teratur sehingga banyak shaf sholat yang terputus. Pada bagian depan ruang sholat utama terdapat void atau bukaan yang dapat melihat ke ruang sholat lantai atas. Ruang sholat khusus wanita berada di pojok kiri bawah masjid atau bagian tenggara yang dibatasi oleh anyaman dinding rotan yang tidak permanen. Ruang maihrab Masjid Al Furqon bearada di sisi bagian depan lantai dasar masjid, dengan sebuah mimbar di sisi kanan ruang mihrab dilihat dari arah menghadap kiblat.
68
Gambar 4.7. Fasad depan dan denah Masjid Al-Furqon
69
Dinding bangunan masjid Al Furqon tidak terlalu terdapat elemen arsitektural yang kuat melainkan hanya berfungsi sebagai pembatas lingkungan ruang dan dalam. Hampir bisa dikatakan bangunan masjid ini tidak memiliki jendela melainkan hanya berupa jendela kecil dan lubang udara hal ini dikarenakan posisi bangunan berbatasan langsung dengan jalan sehingga tidak memungkinkan untuk membuat jendela berukuran besar. Permainan dinding yang memberikan karakter masjid adalau permainan lisplank struktur lantai dua yang dibuat deretan lengkungan setengah lingkaran. Bangunan masjid al Furqon tidak memiliki tiang bangunan yang dihias secara khusus hanya berupa kolom berbentuk dasar persegi panjang yang sebagian dilapisi dengan batu marmer.
Gambar 4.8. Foto dinding luar dan plafon atas Masjid Al-Furqon
70
Atap bangunan masjid menggunakan bentuk yang tidak umum pada masjid di Indonesia pada umumnya dimana biasanya berbentuk menyerupai wantilan atau atap limasan akan tetapi pada masjid Al- Furqon atap berbentuk atap perisai yang memanjang menyerupai atap bangunan rumah tradisional Bali. Selain itu secara konsep struktur atap tersebut dibuat tidak menyatu dengan dinding tembok berfungsi sebagai ventilasi. Plafon masjid pada lantai atas berbahankan plywood yang dcat putih dengan mengekspos balok berbentuk lengkung yang menopang atap, sedangkan plafon lantai dasar menggunakan plafon gypsum. Masjid Al Furqon tidak memiliki gerbang atau pagar keliling bangunan melainkan hanya terdapat pagar pada bagian barat sisi bangunan (ruang mihrab). Terdapat satu menara masjid berbahan beton bertulang berwarna putih pada bagian depan ruang mihrab yang memiliki diameter sekitar 2x2 meter dengan 5 ruas bagian jika ditotalkan memiliki ketinggian sekitar 12 meter.
Gambar 4.9. Foto menara masjid Al-Furqon
Terdapat dua tempat wudhu pada masjid Al Furqon yaitu disisi tenggara bangunan dimana digunakan oleh makmum laki-laki dan di sisi utara bangunan yang juga terdapat wc didalamnya berjarak sekitar 25 meter dari bangunan utama dan dikhususkan untuk wudhu wanita. Ragam hias dan ornamen tidak terlalu 71
menonjol pada objek ini melainkan hanya berupa ukiran pada pintu masuk utama dan tempelan ornamen pada bagian pagar depan masjid dan pada ujung jurai luar atap yang bercorak arsitektur Bali.
Tempat Wudhu
Tempat Wudhu
Gambar 4.10. Tempat wudhu, pagar dan pintu utama Masjid Al-Furqon
4. 1. 3 Masjid Agung Sudirman Kasus ketiga adalah masjid Agung Sudirman beralamat di jalan PB sudirman komplek perkantoran Kodam IX Udayana memiliki luas bangunan sekitar 1500 m2 dengan luas lahan 7500 m2. Didirikan pada tahun 1983 dan direnovasi kembali sampai bentuk saat ini pada tahun 1995.bangunan baru membongkar seluruh bangunan sebelumnya sehingga tidak ada bagian yang masih bertahan saat ini. Masjid agung sudirman memiliki lahan yang paling luas dari semua masjid yang ada di Denpasar sehingga didalam satu lahan tersebut terdapat fungsi
72
tambahan yakni berupa sekolah tingkat dasar dibawah yayasan masjid Sudirman. Bangunan Masjid Sudirman memiliki bentuk hall terbuka yang menyerupai bentuk wantilan dan memiliki konsep terbuka tanpa dinding.
Gambar 4.11. Fasad depan , ruang dalam dan fasilitas penunjang sekolah di Masjid Agung Sudirman
Untuk ruangan masjid hanya terbagi dua yaitu ruang sholat makmum laki-laki pada bagian depan dan sepertiga ruangan dimanfaatkan untuk ruang sholat wanita, sedangkan pada ruangan mezanin digunakan untuk ruang sholat wanita pada saat tarawih dan ruang sholat laki-laki pada saat sholat jum‟t. Pada bagiam depan sejajar dengan ruang mihrab digunakan untuk ruang takmir dan pengurus masjid. Sedangkan bangunan diluar masjid pada bagian depan digunakan sebagai ruang penjaga masjid dan gudang. Pada sisi utara bangunan masjid atau sisi kanan apabila menghadap kiblat terdapat sekolah tingkat dasar berupa bangunan berlantai dua.
73
Orientasi bangunan Masjid Sudirman menghadap ke kiblat dengan membentuk sudut 34,50 o dari arah barat menuju arah barat daya, sehingga orientasi kiblat dan bangunan sejajar. Bangunan Masjid terletak ditengah lahan, karena ukuran lahan yang cukup luas maka bangunan tidak terlalu menyesuaikan bentuk lahan sehingga bangunan berbentuk simetris . Pondasi bangunan berupa lantai permanen dengan ketinggian sekitar 25 cm dari lantai sekeliling masjid dengan dikelilingi teras pada sisi utara, timur dan selatan bangunan, karena konsep bangunan tanpa menggunakan dinding maka sehingga di sekeliling teras dibatasi oleh pot-pot memanjang yang membentuk taman sehingga membentuk ruang pembatas semu antara ruang dalam dan luar.
Gambar 4.12.Denah Masjid Agung Sudirman
Ruang utama masjid Agung Sudirman memiliki ukuran yang besar tetapi masih terdapat kolom didalam ruang dengan modul sekitar 5m dan keberadaan tiang-tiang tersebut juga memutus shaf shalat berjamaah. ruang utama berkesan 74
luas dan monumental hal ini disebabkan selain ukran ruang yang besar juga ketinggian plafon yang mengikuti bentuk atap. Untuk ruang mihrab pada Masjid Agung Sudirman memiliki lebar sekitar lima meter dan dilengkapi dua buah mimbar di sisi kiri dan kanan nya. Profil dinding mihrab dihiasi oleh bentuk kubah setengah lingkaran dengan seperempat kubah disisi kanan dan kirinya, dengan tekstur yang rata dengan dinding depan ruang sholat. garis profil hanya berupa perbedaan penggunaan material yaitu menggunakan granit berwarna hitam. Di bagian atas mihrab terdapat tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an.
Gambar 4.13. Mihrab dan kolom Masjid Agung Sudirman
Masjid Agung Sudirman tidak memiliki dinding bangunan melainkan menyatu dengan halaman akan tetapi sekeliling masjid dibatasi oleh taman dan pagar keliling bangunan sehingga bangunan tidak terasa begitu terbuka. Untuk kolom dan portal masjid ini menggunakan profil pada tiang yang menyatu dengan balok sehingga memberikan kesan dinamis pada tampilan kolom yang membentuk portal tersebut. Pada kaki kolom atau tiang terdapat penebalan bentuk dan diberi pelapis granit berwarna hitam dengan profil granit putih ditengahnya.
75
Bentuk atap Masjid Agung Sudirman berupa atap limas bertingkat dua yang menurut hasil wawancara mengaplikasikan konsep arsitektur Bali yaitu wantilan, karena dianggap cocok untuk iklim dan bentang yang lebar. Struktur atap dibuat dari bahan beton selain berfungsi untuk menahan beban gaya juga memiliki nilai estetika terhadap plafon bangunan yang dibuat mengikuti bentuk atap.
Gambar 4.14. Bentuk atap dan plafon Masjid Agung Sudirman
Gerbang masuk menuju Bangunan dibuat dari bahan pipa baja dan setengah tiang dari bahan beton sehingga tidak terlalu menonjol. Bangunan masjid Agung Sudirman tidak memiliki menara atau minaret karena tinggi atap bangunan dianggap mencukupi ketinggiannya. Terdapat tiga tempat wudhu pada bangunan masjid dua pada sisi kanan dan kiri bangunan masing-masing dilengkapi wc untuk wudhu laki-laki dan pada bagian depan masjid atau sisi timur masjid yang berfungsi sebagai tempat wudhu wanita yang langsung terhubung dengan ruang sholat wanita. Masjid Agung Sudirman tidak terlalu menonjolkan ragam hias maupun ornamen, elemen tersebut hanya terdapat pada jurai luar atap, dasar tiang, dan balok struktur bangunan.
76
4.1.4 Masjid Al-Falaq
Kasus ke empat adalah masjid Al-Falaq beralamat di Jl. M.T. Haryono II No. 14, Denpasar. Masjid ini baru berdiri pada 1 April 2011 berupa bangunan dua lantai dengan bentuk denah persegi panjang berukuran 7,5 x 12,5 m dengan total luas bangunan sekitar 100 m2 berada dilahan seluas 140 m2. Tidak ada fungsi tambahan pada bangunan masjid melainkan hanya sebagai tempat melaksanakan sholat berjamaah, hal ini disebabkan terbatasnya lahan untuk fasilitas penunjang. Ruang masjid hanya terdiri dari ruang utama untuk melaksanakan sholat, ruang wuhu dan wc serta ruang pengurus dan takmir masjid. Ruang sholat utama berada dilantai dasar dengan ruang mihrab didepannya, ruangan terbagi manjadi dua dibagian depan digunkan untuk makmum laki-laki dan bagian belakang seperempatnya digunakan untuk makmum perempuan. Pembatas hijab antara makmum laki-laki dan perempuan menggunakan partisi berbahan rotan yang tidak permanen.
Arah kiblat dan bentuk lahan hampir sejajar orientasinya sehingga arah kiblat ruang sholat hanya bergeser sekitar 15o kearah Barat Daya, jadi masjid Al-Falaq tetap konsisten terhadap arah kiblat walaupun hanya berbeda sedikit toleransinya.lantai masjid langsung pada fundamen yang masif seperti yang dikemukakan pijper bahwa bangunan msjid kuno di Indonesia berbeda dengan bangunan vernacular yang bebrbentuk kolom. Pada bangunan ini memiliki ketinggian lantai sekitar satu meter dari tanah atau permukaan jalan samping
77
masjid, hal ini bertujuan untuk menjaga kebersihan masjid dan membedakan hirarki ruang yang tegas dengan lingkungan luar.
Gambar 4.15. Fasad dan denah Masjid Al-Falaq
Ruang utama masjid Al Falaq berukuran 7,5 m x 10 m, tidak ada tiang di tengah ruangan sehingga shaf jemaah tidak terputus tinggi plafon sekitar empat meter sehingga memberikan kesan yang luas terhadap ruang sholat utama akses masuk keruang utama terdapat pada sisi kiri dan kanan bangunan masjid dan pada
78
bagian sisi samping kiri belakang yang langsung terhubung dengan ruang wudhu , dari ruang wudhu terdapat akses tegak lurus terhadap ruang mihrab menuju ruang sholat . Ruang mihrab memiliki ketinggian lantai yang sejajar dengan ruang sholat utama dimana bentuk gerbang mihrab merupakan atap kubah yang dibuat bertingkat dua dengan penegasan bentuk menggunakan perbedaan warna dengan menggunakan granit berwarna hitam yang kontrs dengan dinding pada bagian kiblat yang berwarna cream atau cokelat muda. Masjid Al Falaq memiliki dinding bangunan yang masif dengan menggunakan jendela yang berukuran besar dengan bentuk lengkung setengah lingkaran pada puncak yang letaknya simetris terhadap modul truktur kolom atau tiang bangunan. pada bagian dalam dinding bengunan dilapisi keramik berwarna cokelat muda sedangkan pada bagian luar dinding ebagian dilapisi oleh batu alam dan sebagian lagi hanya dicat warna cream dan coklat. kolom atau tiang bangunan masjid ini polos tanpa ragam hias disekelilingnya penampangnya hanya berbentuk persegi panjang yang difinishing cat dan keramik. Bangunan masjid hanya memiliki dua teras kecil disisi kanan dan kiri bangunan tidak emiliki serambi keliling. Bangunan Masjid Al-Falaq tidak menggunakan atap tumpang melainkan hanya berupa atap datar berbahan beton bertulang yang ditambahi bentuk kubah yang kecil yang tidak mendominasi pada bagian tengah atapnya untuk plafon bangunan menggunakan bahan gypsum dengan motif bentuk pada bagian tengah plafon menggunakan motif bintang delapan. Bangunan juga memiliki satu menara yang berdiri pada bagian puncah tepatnya pojok kanan dinding kiblat masjid yang menemani dominasi atap kubah. Bangunan masjid tidak memiliki gerbang dan pagar keliling. Pagar hanya terdapat
79
pada teras samping dan pada bagian depan bangunan yang berbatasan dengan jalan umum. Ragam hias pada bangunan masjid terdapat pada jendela dan pintu yang menggunakan kaca patri berlafaskan ayat-ayat suci Al-Quran. 4.1.5 Masjid Al-Ghurabah Masjid selanjutnya yang menjadi kasus kelima adalah Masjid Al-Ghurabah, masjid ini terletak di jalan tengku umar denpasar masjid ini dahulunya adalah rumah tinggal yang kenudian diubah funginya menjadi masjid dan didirikan pada tahun 1998 dengan luasan bangunan sekitar 341 m2 diatas lahan 350 m2, berbentuk bangunan satu lantai dengan tambahan lantai dua di bagian belakang bangunan yang digunakan untuk pengurus dan takmir masjid. Masjid ini tidak memiliki fungsi penunjang . fungsi ruang meliputi ruang utama yang digunkan untuk sholat berjamaah bagi makmum laki-laki memiliki luas sekitar 160 m2 kemudian ruang sholat wanita pada bagian belakang sebelah kiri membentuk ruang tersendiri dan dibatasi oleh tirai kain. Pada bagian belakang sebelah kanan terdapat ruangan yang igunakan untuk anak-anak mengaji. Ruang sholat dan mengaji digunkan oleh makmum laki-laki pada saat melaksanakan sholat jum‟at. Ruang wudhu laki-laki terdapat pada bagian depan bangunan yang dapat diakses langsung sebelum memasuki masjid sedangkan ruang wudhu wanita berada didalam bangunan disebelah ruang mengaji yang juga dilengkapi dengan kamar kecil. Orientasi bangunan kearah barat sejajar dengan bentuk lahan akan tetapi untuk arah sholat tidak mengikuti bangunan melainkan di belokan 34,5o derajat kearah Barat Daya. Bentuk ruang disisi utara bangunan mengikuti bentuk lahan yang tidak siku.
80
Gambar 4.16. Foto Fasad luar dan gambar denah Masjid Al Ghurabah
81
Bangunan berdiri diatas fundamen masif dengan ketinggian sekitar tiga puluh sentimeter dari permukaan jalan. Ruang utama masjid memiliki bentang lebar tanpa kolom atau tiang ditengahnya sehingga shaf tidak terputus, akan tetapi pada ruang tambahan di sisi utara terdapat tiang sehingga memutus sebagian kecil garis shaf, berdasarkan hasil wawancara pengurus dan takmir masjid memahami aturan mengenai susunan shaf sholat berjemaah sehingga susuan shaf diatur agar tidak banyak yang terputus oleh tiang atau dinding. Akses masuk menuju ruang utama terdapat dua pintu besar disebelah sisi kiri kalau menghadap kiblat atau disisi selatan bangunan yang langsung berbatasan dengan jalan umum.. Mihrab bangununan berukuran 2x2 m dengan benrtuk gerbang menggunakan bentuk proyeksi lengkungan kubah dimana penegasan bentuk tidak menggunakan perbedaan warna akan tetapi dengan menonjolkan bagian sehingga berbentuk profil yang membingkai gerbang ruang mihrab. Bahan profil mihrab sama dengan dinding pada sisi kiblat yaitu menggunakan batu marmer berwarna cream. Pada mihrab terdapat satu buah mimbar yang berbentuk meja kecil berukuran 80x90x90 cm dengan ukiran polos terletak pada sisi kanan menuju kiblat. Dinding bangunan Masjid berbentuk masif dengan bentuk jendela dan pintu yang cukup besar dan dinding dibagian dalm ruang sholat utama dilapisi dengan batu marmer berwarna cokelat muda. Bentuk jendela dan pintu memiliki karakter yang berbeda dengan bentuk gerbang mihrab yaitu menggunakan bentuk segitiga pada bagian atasnya.Bentuk kolom bangunan sangat sederhana yaitu berupa balok tegak polos yang difinishing batu marmer, masjid ini tidak memiliki serambi keliling
82
melainkan berupa satu teras pada akses masuk bangunan masjid yang langsung terhubung dengan ruang utama masjid.
Gambar 4.17. Foto mihrab, pintu dan jendela Masjid Al-Ghurabah
Bentuk atap bangunan Masjid Al Ghurabah menggunakan atap tumpang yang sekilas berbentuk tumpang tiga akan tetapi pada bagian puncaknya tidak terdpat kubah atau lambang bulan sabit dan bintang sehingga kalau dilihat dari luar maka bangunan ini tidak mencerminkan sebuah Masjid. Bentuk plafon pada ruang utama masjid mengikuti bentuk atap dengan menonjolkan struktur kuda-kuda atap dengan struktur susunan usuk atau kasau menyerupai struktur atap pada bangunan tradisional Bali. Bangunan masjid Al Ghurabah tidak memiliki gerbang masuk, menara dan ragam hias arsitektural termasuk kaligrafi atau penggalan ayat AlQur‟an. Melainkan hanya berupa dinding polos yang dilapisi oleh batu marmer hampir pada seluruh permukaan dinding dan kolom bangunannya.
Gambar 4.18. Foto atap dan plafon Masjid Al-Ghurabah
83
4.1.6 Masjid Al-Ikhlas Masjid Al Ikhlas merupakan kasus keenam dimana beralamat di Jl Pulau Misol, masjid ini berada di tengah permukiman yang padat dengan kondisi jalan menuju bangunan hanya bisa dicapai kendaraan bermotor. Masjid Al-Ikhlas didirikan pada tahun 1985 sebelumyna berupa bangunan satu lantai baru pada tahun 2011 ditambah lantai mezanin tanpa membongkar bangunan melainkan menambahkan konstruksi baja diatas ruang utama masjid. Tidak terdapat fungsi penunjang pada masjid. Orientasi masjid sejajar dengan bentuk lahan terutama pada sisi kiri bangunan yang menempel pada batas lahan sehingga bangunan hanya menyisakan satu teras samping di sebelah kanan atau sisi utara masjid. Sebelumnya orientasi kiblat sholat sejajar dengan orientasi masjid ke Barat akan tetapi terjadi penyesuaian orientasi kiblat sehingga susunan sejadah membentuk sudut 34,5o kearah barat daya.
Gambar 4.19. Foto ruang luar dan dalam Masjid Al Ikhlas
Ruang utama masjid sebelumnya bebas kolom sehingga shaf tidak terputus dikarenakan bangunan tidak mampu lagi menampung jemaah maka dibuat lantai mezannin diatasnya berbahan baja sehingga tidak menggangu struktur bangunan lama, sehingga terdapat tambahan tiang ditengah ruang utama dan menyisakan ketinggian plafon sekitar 2,80 m. Lantai mezanin menyisakan void pada sisi
84
bagian depan agar ruang bawah dan atas masih terhubung. Akses menuju ruang utama hanya dari sisi utara bangunan yang dilengkapi dengan dua akses pintu.
Gambar 4.20. Denah Masjid Al- Ikhlas
Mihrab pada bangunan Masjid Al Ikhlas berukuran 1,5 x 2,5 m dengan membentuk gerbang dari dua pillr berbentuk bulat dengan mahkota berbentuk proyeksi atap kubah dengan tulisan kalimat Allah pada bagian puncaknya, bagian gerbang berwarna hijau tua sehingga kontras dengan dinding yang berwarna putih. Sebenarnya terdapat tiang di tengah ruang mihrab akan tetapi tidak ditonjolkan dengan tetap diberi warna putih. Bangunan masjid berkonsep tertutup dengan dikelilingi dinding masif, sedangkan bukaan jendela dan ventilasi hanya terdapat pada sisi utara masjid hal ini disebabkan bangunan masjid menempel pada sisi yang lainnya. Bentuk jendela menyatu dengan lubang ventilasi dengan bentuk jendela kayu dan pintu bergaya bangunan tahun 80 an. Bentuk atap 85
bangunan berupa atau limas bertingkat dua dengan bentuk pelafon mengikuti bentuk atap tersebut dengan menggunakan penutup plafon gypsum. Bangunan ini tidak memiliki menara, gerbang masuk dan ragam hias arsitektural melainkan hany bentuk profil pada mihrab dan sebauh gambar besar disamping mihrab bergambarkan Masjidil Harram di Mekah Al Mukaromah. 4.1.7 Masjid Nurullah Kasus ketujuh yang dipilih oleh peneliti adalah Masjid Nurullah beralamat di PB sudirman IV gang Karya Bhakti III. Bangunan ini berada di Komplek TNI Kodam Udayana, didirikan pada tahun 1983 dan kemudian direnovasi pada tahun1990. Bangunan ini memiliki luas total sekitar 90 m2 dengan luas lahan sekitar 1300 m2. Sehingga masih memungkinkan bangunan masjid untuk melakukan pengembangan. Tidak ada fungsi tambahan pada bangunan masjid akan tetapi masjid menyediakan ruangan untuk musafir yang hendak berteduh atau menginap sementara di Masjid .
Gambar 4.21.Denah Masjid Nurullah
Orientasi bangunan masjid mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan orientasi sholat. ruang utama masjid hanya memiliki luas sekitar 36m2 sedangkan
86
sisanya berupa serambi dan bangunan penunjang seperti ruang wudhu, takmir dan pengurus masjid. Tidak terdapat kolom ditengah ruang sholat utama akan tetapi shaf diserambi terputus oleh dinding sehingga kalau merujuk pada hadis maka shalat diruang serambi tidak sah, akan tetapi takmir masjid memiliki pandangan yang berbeda. Ruang mihrab memiliki ukuran yang cukup besar yaitu 2,5x2 m dimana terdapat sebuah mimbar disisi kanannya yang digunakan untuk khotib menyampaikan khutbah. Gerbang pada ruang mihrab menggunakan bahan batu granit berwarna hitam yang membentuk pilar kemudian untuk bagian mahkotanya menggunakan kaligrafi yang membentuk bingkai berbentuk lengkung. Dinding bangunan hanya pada ruang utama yang dibatasi dinding masif akan tetapi untuk akses masuk tidak menggunakan daun pintu melainkan dibiarkan terbuka dengan dibatasi bidang dining di depan akses masuk kedalam masjid,
ruang utama
memiliki tiga akses yaitu dari sisi utara yaitu ruang wudhu yang langsung terhubung, sebelah selatan dimana berhadapan dengan pintu pagar masuk menuju masjid dan pada bagian timur yang terhubung langsung denga ruang serambi. Atap bangunan Masjid Nurullah berbentuk atap tumpang dua dengan sudut kemiringan berbeda yaitu 30o dan 45o dan dikelilingi atap serambi dengan kemiringan sekitar 15o, terdapat dua kubah kecil pada atap bangunan yaitu diatas atap ruang utama dan ruang mihrab. Bentuk plafon pada ruang utama tidak mengikuti kemiringan atap melainkan berbentuk lengkung kubah bawang yang dirotasikan. Masjid Nurullah tidak memiliki gerbang dan menara sedangkan ragam hias arsitektural berupa ukiran atau ornamen berupa kaligrafi dan penggalan ayat Al-Quran pada dinding mihrabnya.
87
4.1.8 Masjid Quba Masjid selanjutnya yang menjadi objek penelitian dan sekaligus menjadi kasus kedelapan adalah Masjid Quba. Masjid ini beralamat di Lingkungan Kartika Gang I No 54 dan hanya berjarak sekitar 200 m dari masjid Nurullah yang samasama berada di komplek TNI Kodam Udayana Sudirman. Masjid ini didirikan pada tahun 1980 dimana memiliki luas bangunan 160m2 dengan luas lahan sekitar 260m2. Bangunan berupa bangunan satu lantai dengan luas ruang utama sekitar 120 m2 dan teras belakang 40 m2. Tidak ada fungsi penunjang pada masjid Quba melainkan hanya tempat untuk belajar mengaji bagi anak-anak pada serambi belakang.
Gambar 4.22. Denah Masjid Quba
Ruang utama berada di bagian utara bangunan yang digunakan untuk ruang sholat laki-laki sedangkan ruang sholat wanita berada disamping kiri ruang sholat laki-laki. Dimana seharusnya ruang sholat wanita berada di bagian belakang
88
makmum laki-laki. Didepan ruang mihrab terdapat ruang pengurus yayasan. Ruang wudhu terdapat di depan sebelum memasuki masjid dan pada sisi selatan atau samping paling kiri bangunan yang juga terdapat wc. Orientasi bangunan tidak mengikuti bentuk tapak melainkan menyesuaikan orientasi arah kiblat sehingga terdapat ruangan yang bentuknya menyesuaikan bentuk tapak yang menyudut seperti ruang serambi belakang dan ruang samping kiri masjid. Ruang utama Masjid berbentuk persegi panjang yang memanjang terhadap dinding kiblat dimana terdapat satu tiang bangunan yang memotong shaf sholat berjamaah. akses masuk keruang utama berada di sisi utara berhadapan dengan pintu pagar masuk kedalam masjid. Penerangan dimasjid pada siang hari cukup efektif dimana ukuran dan jumlah jendela sesuai dengan ukuran ruang nya. Ruang mihrab berukuran 2,5 x 2,25m , tidak terdapat bentuk gerbang pada mihrab melainkan hanya dinding ruangan yang menjorok keluar berbentuk portal polos.
Gambar 4.23. Foto fasad luar, mihrab dan ruang shalat
Dinding bangunan tidak memiliki bentuk lengkung baik itu bentuk setengah lingkaran atau kubah. Sedangkan bentuk jendela sangat sederhana dengan menggunakan jendela berbentuk persegi dengan menggunakan kaca nako. Kolom bangunan pada Masjid Quba terdiri dari kolom beton berukuran 20x20cm dan kolom pipa baja berdiameter 50cm yang menopang atap serambi bagian belakang
89
dan ruang sebelah kiri bangunan yang sebelumnya adalah serambi. Atap Masjid Quba berbentuk tumpang bertingkat dua sama dngan konsep atap Masjid Nurullah. Plafon pada Masjid Quba tiak memiliki motif khusu hanya berupa lafon berbahan plywood dengan ketinggian dari lantai hanya sekitar 2,80m. Masjid Quba tidak memiliki gerbang, akan tetapi memiliki menara kecil yang terbuat dari besi menyerupai antena televisi. Tidak terdapat ragam hias maupun ornamen pada Masjid Quba. 4.1.9 Masjid Nurut Taqwa Kasus kesembilan adalah Masjid Nurut Taqwa yang juga berada di Komplek perumahan TNI tepatnya beralamat di Jl. Kapten Japa Asrama Yang batu. Didirikan pada tahun 1983, kemudian dilakukan penambahan pada sisi samping dan belakang pada tahun 1993 saat ini memiliki luas bangunan sekitar 300 m2 dengan luas lahan 400 m2. Dimana bangunan optimal menggunakan lahan. Tidak ada fungsi tambahan pada masjid melainkan hanya untuk anak belajar mengaji. Masjid Nutur Taqwa berorientasi kearah kiblat sedangkan dinding bangunan mengikuti bentuk lahan masjid. Ruang sholat pada masjid ini terdiri dari 3 ruang yang tesekat oleh dinding. Ruang sholat utama berada pada bagian paling depan didekat ruang mihrab memiliki persegi panjang dengan ukuran 4,5x 11,5 m sedangkan ruang sebelah kanannya dibatasi dinding berjendela. Pada ruang utama tidak ada tiang ditengahnya akan tetapi untuk ruang sholat tambahan pada bagian samping kanan dan belakang dibatasi oleh dinding dan jendela sehingga shaf benar-benar terputus. Akses menuju ruang dalam masjid terdapat pada sisi kiri
90
dan belakang masjid sedangkan pada sisi kanan bangunan dibangun menempel dinding pagar.
Gambar 4.24. Fasad luar dan denah Masjid Nurut Taqwa
Mihrab Masjid Nurut Taqwa memiliki ukuran 2x1.5 m dengan elemen pembentuk portal atau gerbang mihrab menggunakan bahan keramik berwarna hijau tua dengan mahkota berupa penggalan ayat Al-Quran yang membentuk garis lengkung setengah lingkaran. Keramik berwarna hijau kontras terhadap dinding
91
yang berwarna hijau muda. Terdapat sebuah mimbar pada sisi kanan ruang mihrab dan sebuah jam besar di sebelah pojok kiri atas ruang mimbar. Mihrab pada Masjid Nurut Taqwa berbeda dengan masjid lainnya dimana umumnya tidak dicat melainkan menggunakan pelitur berwarna kuning atau cokelat tua. Dinding bangunan pada ruang utama menggunakan bentuk jendela berbentuk persegi sederhana berukuran sekitar 1x1 m dibagi dua lubang jendela sedangkan untuk aksen dinding dibuat polos pada bagian luar, sedangkan pada bagian dalam bangunan pada bagian bawah dinding dilapisi keramik. Untuk pintu menggunakan dua daun pintu dengan bentuk standar berukuran sekitar 1,20x2,20 m berbahanjkan kayu kelapa. Dinding pada bangunan tambahan pada bagian belakang dinding dibuat terbuka dengan membentuk lubang besar dengan bentuk lengkung pada bagian atasnya. Sedangkan pada lubang dinding diisi dengan teralis besi berwarna cat hijau tua. kolom pada masjid berbentuk penampang persegi panjang dan persegi dengan dilapisi keramik. Sedangkan portal yang memiliki bentuk lengkung kubah bertingkat bergaya bizantium terdapat pada bangunan belakang. Bentuk atap Masjid Nurut Taqwa terdiri dari dua massa atap dimana massa pertama berada pada ruang utama dimana berbentuk atap perisai dengan tambahan kubah ditengahnya, memiliki konsep yang sama dengan masjid Al-Furqon di Jalan Sudirman sedangkan atap pada bangunan tambahan di belakang memiliki bentuk tumpang bertingkat tiga. Untuk plafon terdapat tiga jenis yaitu pada ruang utama menggunakan plafon ber trap biasa dengan bahan tekwoood berwarna putih, sedangkan ruangan samping ruang utama yang digunakan untuk ruang
92
belajar mengaji menggunakan plafon anyaman bambu sedangkan plafon pada bangunan tambahan dibelakang menggunakan plafon berbahan anyaman bambu akan tetapi menempel pada gording struktur atap sehingga bntuknya menyesuaikan bentuk atap dan mengekspos deretan kasau, selain itu bentuk tersebut memungkinkan untuk sirkulai udara yang optimal.
Gambar 4.25. Foto mihrab, ruang shalat dan plafon Masjid Nurut Taqwa
Bangunan Masjid Nurut Taqwa tidak memiliki gerbang masuk dan pagar keliling bangunan akan tetapi memiliki menara yang terbuat dari struktur pipa baja yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakan kubah stainless sebagai titik tangkap pandangan dan tempat meletakan pengeras suara. Tidak terdapat ragam hias pada masjid melainkan kaligrafi dan ayat Al-Qur,an. 4.1.10 Masjid Suci Masjid besar yang memiliki luas bangunan sekitar 1700 m2 adalah Masjid Suci sebagai kasus ke sepuluh
berdiri pada tahun 1991 dan dilakukan
pengembangan pada lantai atasnya yang rampung sekitar tahun 1999 . bangunan Masjid Suci terdiri dari tiga lantai dimana sampai saat ini masjid masih melakukan renovasi pda bagian dalam lantai 2 dan 3 bangunan. Masjid Suci memiliki fungsi penunjang yaitu berupa sekolah setingkat taman kanak-kanan dan sekolah dasar pada bagian lantai paling atasnya dimana berfungsi sebagai tempat
93
belajar agama Islam untuk anak-anak. Di lantai tiga juga terdapat kantor pengurus yayasan yang menangani masalah sekolah tersebut. Lantai dasar bangunan memiliki fungsi sebagai ruang utama, ruang pengurus yayasan, ruang wudhu lakilaki pada sisi kanan dan ruang wudhu wanita pada sisim kiri bangunan, ruang holat wanita berada di pojok kiri bawah ruang utama dengan dibatasi tirai kain. Lantai dua bangunan memiliki fungsi sebagai ruang sholat tambahan yang digunakan makmum wanita pada saat sholat tarawih sedangkan pada hari jum‟at digunakan oleh makmum laki-laki. Bangunan ini berorientasi ke Barat sedangkan orientasi sejadah atau kiblat sejajar terhadap bangunan sehingga terdapat toleransi terhadap arah kiblat yang hanya sekitar sepuluh derajat ke arah Barat Daya.
Gambar 4.26. Foto fasad luar dan denah Masjid Suci Denpasar
94
Ruang utama dimana ruang mihrab berada terdapat di lantai dasar bangunan dimana didalam ruangan terdapat deretan kolom berukuran 30x55 cm dengan modul 7,2 horizontal dan 3,6m vertikal , ruang mihrab terdapat pada modul horizontal bagian tengah dimana ruang sholat dibelakangnya memiliki void yang bisa melihat ke lantai dua bangunan. tinggi perlantai bangunan sekitar 4,2 m sehingga memberikan kesan monumental terutama pada mihrab bangunan dimana membentuk gerbang berupa portal setinggi bangunan dua lantai. Mihrab pada bangunanmasjid Suci berukuran 4x2m dengan tinggi sekitar delapan meter, gerbang pembentuk mihrab terdiri dari dua pilar berbentuk bulat dengan diameter 40 cm berwarna biru tua dilapisi coating sedangkan bagian mahkot gerbang menyatu dengan bentuk proyeksi kubah bergaya persia. Pada ruang mihrab terdapat sebuah mimbar yang berukuran cukup besar sekitar 1x1,4m dengan tinggi 2,5 m mimbar ini memiliki corak yang sama dengan mimbar di timur tengah dimana memiliki anak tangga dan atap berbentuk kubah pada bagian atasnya. Untuk finishing mimbar ini dilapisi dengan prade emas dan pelitur kayu berwarna merah manggis. Selain mimbar apada ruang mihrab dibuat mimbar khusus untuk imam meminpin sholat yaitu berupa perabot kayu yang menyerupai dampar kayu berukuran 1,2x2m dengan dilengkapi dinding berhias kaligrafi dan mahkota. Pada sisi kiri dan kanan ruang mihrab terdapat dua buah ruangan yang juga memiliki gerbang yang menggunakan bentuk lengkung yang berfungsi sebagai pengimbang ruang mihrab dan menghilangkan kesan dinding masif pada sisi dinding bagian barat bangunan. Bukaan dan permainan fasad bangunan hanya terdapat pada sisi selatan dan timur bangunan.
95
Gambar 4.27. Foto mihrab, mimbar dan portal lengkung Masjid Suci
Dinding lantai dasar menggunakan dinding tambahan yang berbentuk kubah dengan tipe lengkung dengan ditopang profil kolom berwarna putih kecoklatan sedangkan pada dinding bagian dalam menggunakan keramik berwarna hitam dengan ukiran kayu ditengahnya. Sedangkan pada bagian akses masuk ruang utama menggunakan pengulangan bentuk lengkung. Pada dinding lantai dua dinding bangunan dikelilingi teras sedangkan pada bagian dinding terdapat permainan penebelan dinding yang menonjol dengan menggunakan bentuk lengkung. Dimana pada bagian dalam lengkung tersebut berupa dinding dengan finihing keramik berwarna hitam atau jendela. Pada dinding lantai ketiga juga
96
memiliki corak yaang sama dengan lantai dua akan tetapi pada bagian tengahnya menggunakan skala yang lebih sempit dan tinggi, begitujuga dengan pagar pembatas teras juga menggunakan besi tempa berbentuk kubah. Pintu dan jendela masjid menggunakan kayu difinishing pelitur hitam dengan beragam ukiran didalamnya. Bangunan masjid menggunakan bentuk kolom persegi panjang pada bagian dalam sedangkan pada bagian yang memusat digunakan kolom bulat seperti pilar pada ruang mihrab dan pilar bangunan teras utama bagian depan dimana menopang sampai bagian lantai ketiga bangunan dan mengapit tangga yang langsung terhubung ke lantai atas bangunan. bagian atap bangunan menggunakan bentuk datar dan dilengkapi dua buah kubah pada bagian atap depan dan samping kiri bangunan. bangunan ini tidak terlalu menonjolkan bagian plafon bangunan dimana didominasi plafon datar dengan beberapa profil gypsum yang umum digunakan di bangunan lainnya. Masjid Suci Denpasar memiliki gerbang masuk yang menyatu dengan pagar dengan menggunakan tiga buah portal dengan bentuk lengkung menyerupai garis lengkung atap kubah bawang dimana pada bagian tengah mempunyai ukuran yang dominan dibanding dua bentuk lengkung dibagian kanan dan kirinya. Masjid suci memiliki dua menara yang berdiri diatas lantai atap pada pojok kiri dan kanan bagian depan bangunan dimana konsepnya meniru bangunan tajmahal india dimana mengurangi dominasi kubah bagian tengah masjid. Menara juga berfungsi sebagai titik tangkap dan identitas bangunan masjid. Ragam hias pada bangunan
97
Masjid Suci berupa permainan bentuk profil dan lengkung juga berupa bentuk pagar bangunan baik itu kolom, balok maupun portal sedangkan untuk ornamen pada bangunanberupa bentuk kaligrafi dan ukiran kayu berbentuk penggalan ayat Al-Quran.
Gambar 4.28. Detail ragam hias dan ornamen Masjid Suci
4.1.11. Masjid Ukkhuwah Kasus Ke Sebelas adalah Masjid Raya Ukkhuwah, masjid ini beralamat di Jl Kalimantan No.19 masjid ukkhuwah didirikan pertamakali pada tahun 1927 akan tetapi direnovasi kembali sampai bentuknya saat ini pada tahun 1977. Masjid ini memiliki luas bangunan sekitar 1570 m2 diatas lahan seluas 1150 m2. Terdapat beberapa fungsi tambahan atau penunjang masjid ini yaitu dilengkapi dengan perpustakaan, gedung Aula pada lantai dasar dan toko yang disewakan, masjid Ukkhuwah juga melayani fungsi tambahan melayani ibadah haji dan umroh baik pelatihan maupun keberangkatan. Bangunan Masjid Ukhuwanh terdiri dari dua lantai . lantai dasar terdiri dari ruang Aula yang juga dimanfaatkan untuk sholat,
98
ruang pengurus yayasan, ruang wudhu pria dan wanita, kamar mandi dan toilet dan toko yang disewakan. Sedangkan untuk lantai dua bangunan terdiri dari ruang utama yaitu ruang sholat makmum laki-laki, ruang mihrab, ruang sholat khusus wanita yang terhubung dengan tangga khusus keruang wudhu di lantai dasar. Kemudian dilantai dua terdapat ruang perpustakaan dan ruang pengurus manasik haji. Bangunan Masjid Ukkhuwah berorientasi kearah kiblat, sehingga peosisi bangunan tidak lagi mengikuti lahan melainkan kiblat sehingga posisi sejadah sejajar dengan bangunan, bentuk ruang utama walaupun denahnya tidak sejajar lahan tetap persegi empat hanya ruangan dibagian batas dinding yang mengikuti bentuk lahan. Bagian dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar satu meter dari jalan raya sehingga memberikan nilai yang tinggi dan menjaga kesucian bangunan dari kotoran yang diterbangkan debu. Ruang utama Masjid berada di lantai dua dimana ruang sholat laki-laki tidak terdapat tiang pada bagian tengahnya karena menggunakan atap berbentang lebar dengan bentangan ruang 16x16 m yang bebas kolom akan tetapi pada bagian pinggir terdapat kolom dengan modul sekitar empat meter. Meskipun terdapat kolom didalam ruang sholat susunan sejadah disesuaikan agar tidak memutus susunan shaf shalat berjamaah. Ruang utama terlihat sangat luas dan lapang hal ini selain ruang bebas kolom juga memiliki plafon yang cukup tinggi dan pencahayaan yang mencukupi karena dikelilingi jendela, ruang sholat untuk wanita berada di bagian belakang ruang sholat lakilaki dan dibatasi dinding permanen berupa dinding kaca berbingkai alumunium berwarna cokelat dan dilapisi kaca film sehingga makmum wanita bisa melihat
99
kearah makmum laki-laki akan tetapi makmum laki-laki tidak bisa melihat kearah makmum perempuan. Lantai sholat ruang utama dan dinding bagian dalam dilapisi oleh batu marmer berwarna putih sehingga dapat menahan panas dari luar dan lebih kedap suara.
Gambar 4.29. Fasad luar dan denah Masjid Ukkhuwah
Ruang mihrab pada bangunan ini tidak terlalu ditonjolkan hanya berbentuk dinding yang menjorok kedalam tanpa gerbang penegas hanya terdapat tulisan petikan ayat Al-Quran pada bagian atas sebelum memasuki ruangan. Mihrab
100
berukuran besar sekitar 4x2,5 m dengan sebuah mimbar dan jam berdiri di sebelah kiri dan kanan nya. Mihrab terbuat dari bahan kayu dan plywood dengan difinishing pelitur dan berukuran kecil tanpa tangga dan atap.
Gambar 4.30. Mihrab Masjid Ukkhuwah
Dinding bangunan pada dasarnya didominasi oleh jendela kaca berbingkai alumunium terutama dinding pada lantai dasar, akan tetapi karakter dinding bangunan lebih kuat pada dinding bagian lantai atas dimana dibuat modul bidang vertikal yang membatasi antar jendela dan menjorok keluar kemudian pada bagian atasnya membentuk portal segitiga sehingga jendela berada didalam menciptakan kesan dinding lebih tebal. Fungsi dinding tersebut juga bertujuan agar jendela lebih terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung.
Gambar 4.31. Foto jendela Masjid Ukkhuwah
Kolom atau tiang bangunan berbentuk penampang persegi panjang dan dilapisi dengan batu marmer. Bangunan masjid tidak memiliki serambi karena 101
pengurus yayasan berpandangan apabila terdapat serambi maka dikhawatirkan orang akan melaksanakan sholat disana padahal kalau terputus shafnya sholat harus dilulang. Atap Masjid Raya Ukkhuwah berbentuk atap Tumpang bertingkat dua dimana menurut informasi dari pengurus masjid alasan mengapa atap dibuat bertumpang dua karena menjaga hubungan beragama karena bangunan bertumpang tiga adalah bangunan suci bagi umat hindu, oleh karena itu bangunan Masjid lebih banyak menggunakan atap bertumpang dua. Bentuk plafon masjid pada ruang utama mengikuti bntuk atap dan menonjolkan garis kayu yang menyerupai konstruksi atap pada bangunan tradisional Bali.
Gambar 4.32. Bentuk atap dan plafon Masjid Ukkhuwah
Bangunan Masjid Ukkhuwah memiliki dua gerbang dan satu menara. Gerbang masjid memiliki satu pintu utama dan berukuran dinding yang sangat tebal. Gebang masjid menyatu dengan pagar masjid pada sisi selatan dan utara karena pada sisi barat berfungsi sebagai toko yang disewakan sedangkan pada sisi timur bangunan menempel pada lahan. Maotif pagar dan gerbang menggunakan bentuk dasar segitiga pada bagian atasnya sedangkan lapisan dindingnya menggunakan perpaduan batu alam berwarna hitam dan putih. Menara masjid terdiri dari tujuh ruas dengan bagian kepala menara lebih besar daripada bagian badan menara. Bentuk menara tidak menggunakan bentuk kubah akan tetapi
102
menggunakan motif segitiga seperti bagian inding dan pagar bangunan utama. Tinggi menara masjid sekitar 15 meter. Ragam hias arsitektural bangunanMasjid tidak terlalu banyak hanya beberapa komponen saja yang seperti profil balok pada ruang utama, profil pada gerbang dan pagar sedangkan untuk ornamen tidak ditemukan pada masjid ini melainkan sebuah petikan ayat Al-Qur‟an pada bagian atas ruang mihrab. 4.1.12 Masjid Al Ikhlas Kasus kedua belas adalah Masjid Al Ikhlas yang berlokasi di Jl. Gunung Batukaru 92. Bangunan ini didirikan pada tahun 1981 berupa tanah wakaf. Bangunan asal berukuran 10x10 Kemudian direnovasi kembali dan rampung pada tahun 2006. Fungsi tambahan masjid adalah terdapat Taman Pendidikan Qur‟an (TPQ). Bangunan baru hasil renovasi tahun 2006 berorientasi kearah kiblat sehingga bentuk bangunan tidak sejajar dengan lahan dan menciptakan beberapa ruang yang menyudut. Ruang utama Masjid terdapat pada lantai dasar berbentuk persegi dimana konsep bangunan bersifat terbuka tanpa dinding kecuali pada bagian depan ruang sholat yang sejajar dengan ruang mihrab. Terdapat deretan tiang struktur pada ruang sholat utama masjid sehingga shaf sholat terputus oleh tiang tersebut. Ruang mihrab masjid berukuran 3.6 x 2.7m dengan tinggi 7 meter menembus ke void lantai dua. Mihrab dibentuk oleh profil kolom yang dilapisi granit berwarna hitam dengan bagian puncak dihiasi bentuk lengkung. Pada bagian paling atas gerbang mihrab terdapat kalimat Allah SWT. Terdapat mimbar pada
103
sisi kiri ruang mihrab, mimbar pada masjid ini memiliki ukuran yang besar dan memiliki atap mimbar .bentuk mimbar ini perpaduan antara mimbar bertangga dan mimbar berbentuk meja pada umumnya dan difinishing dengan pelitur berwarna kuning. Dinding dasar bangunan seperti yang dikemukakan sebelumnya memiliki konsep terbuka dan dikelilingi pagar dan bangunan disekitarnya. Ruang terbuka ini berfungsi agar sholat berjemaah bisa menggunakan ruang diluar masjid dan untuk melancarkan sirkulasi udara deretan kolom pada dinding lantai dasar
berupa
bentuk
kolom
yang
dihubungkan
oleh
lengkung
semi-
circular.sedangkan dinding bagian lantai atas lebih mencirikan karakter bangunan masjid menggunakan konsep yang sama dengan masjid Ukkhuwah dimana membuat bidang-bidang pembatas antar jendela dan pada bagian atas dibuat lebih maju sehingga melindungi jendela dari cuaca yang membedakan masjid ini menggunakan susunan lengkung semi-circular pada bagian atas jendela bagian atas. Selain jendela dinding bagian atas juga dihiasi oleh profil yang berbentuk lengkung yang sama akan tetapi pada bagian tengahnya diisi oleh batu alam.
104
Gambar 4.33. Denah Masjid Al-Ikhlas
Bagian atap bangunan menggunakan kubah setengah bola bertingkat dengan ukuran kubah pada bagian atas jauh lebih kecil dibanding kubah dibawahnya. Untuk ragam hias masjid menggunakan bentuk deretan lengkung semi circular pada lisplank bagian atas , pada bagian pagar menggunakan motif bintang delapan.
Gambar 4.34. Foto kubah, fasad bangunan, mimbar , profil dan detail Railing
4.1.13 Masjid Baitul Makmur Kasus ke tigabelas adalah Masjid Baitul Makmur mulai berdiri tanggal 31 oktober 1983 merupakan hasil sumbangan amal bhakti Muslim Pancasila bangunan ini dibawah yayasan baitul makmur. Masjid kemudian direnovasi menjadi dua lantai pada tahun 1987 dan terjadi lagi pengembangan kebelakang yang telah dimulai pada 17 november 2008 sampai saat ini masih dilakukan pengembangan kebelakang. Fungsi penunjang bangunan Masjid Baitul Makmur menyewakan ruang serba guna pada bagian lantai dasar bangunan yang juga 105
dimanfaatkan sehari-hari untuk ruang kelas TPQ. Masjid Baitul Makmur juga menerima pengurusan jenazah. Bentuk denah bangunan berorientasi kearah kiblat sehingga susunan shaf sejajar dengan dinding arah kiblat, akan tetapi sisi dinding lainnya tidak sejajar dengan barisan shaf. Bangunan menyisakan halaman pada bagian utara dan barat dimana pada bagian utara terdapat gerbang masuk bangunan yang membentuk yang dimanfaatkan sebagai parkir motor.
Gambar 4.35. Fasad bangunan dan denah bangunan Masjid Baitul Makmur
Ruang utama Masjid berada di lantai atas bangunan, dengan bentuk atap bentang lebar tanpa tiang ditengahnya. Dinding bangunan tidak
ada yang
bersudut siku karena masjid menyesuaikan bentuk tanah, terdapat void pada bagian belakang dibelakang shaf sholt wanita. Ruang sholat wanita pada masjid dibatasi oleh panel kayu setinggi 1,20 m yang bisa dipindahkan. Jendela untuk cahaya masuk terdapat pada bagian utara bangunan dan bagian sekeliling plafon batas antara dag dan atap dan yang paling besar berada diatas void belakang. Ruang mihrab pada Masjid Baitul Makmur berukuran 4 x 2m dengan bentuk yang sangat sederhana tanpa hiasan khusus seperti mahkota diatasnya.bangunan baitul makmur memiliki deretan kolom pada fasad muka bangunan berjumlah lima pillar
106
berbentuk penampang bulat berdiameter 30 cm. yang membentuk dinding semu membatasi tangga naik keruang utama dan teras atas. Bangunan ini tidak memiliki serambi keliling. Bentuk atap bangunan masjid beratap tumpang dua dengan ekspos balok-balok stainless pada puncak atap sekaligus symbol bulan sabit diletakan. Bentuk atap masih menggunakan konsep bentuk masjid sebelumnya akan tetapi masjid sebelumnya memiliki tumpang tiga. Masjid Baitul Makmur memiliki gerbang masuk menuju halaman depan dengan bentuk portal segitiga akan tetapi lurus pada bagian atasnya. Mahkota gerbang ditopang oleh dua pillar dimana masing-masing pillar dibagi menjadi dua dan tergabung didalam satu fundamen. Permukaan gerbang dilapisi dengan dinding granit berwarna hijau muda dan putih kehijauan. Masjid Baitul Makmur tidak memiliki menara akan tetapi ada rencana membuat menara pada sisi kanan arah kiblat bangunan. Tempat wudhu masjid terbagi menjadi dua yaitu bagian lantai dasar bangunan tepatnya dibawah tangga yang dilengkapi toilet yang digunakan oleh makmum laki-laki sedangkan tempat wudhu untuk wanita berada di lantai dua bangunan.
Gambar 4.36. Bentuk plafon, railing pagar, mimbar , dan entrance utama Masjid Baitul Makmur
Masjid baitul makmur memiliki konsep desain modern sehingga tidak memiliki ragam hias dan ornament pada bangunan akan tetapi ragam hias
107
bangunan justru terdapat pada kolom dan balok lantai dasar bangunan yang memiliki motif seperti ragam hias pada bangunan kolom dan balok Arsitektur Bali.
Gambar 4.37. Bentuk kolom dan motif balok Masjid Baitul Makmur
4.1.14 Masjid Bina Taqwa Masjid selanjutnya sebagai kasus keempat belas adalah Masjid Bina Taqwa. beralamat di Jl Gunung mas I , Berdiri pada 17 september 1995 . Masjid ini dibatasi sungai pada sisi barat dan jalan umum pada sisi selatan dan timur. Bangunan berbentuk bangunan satu lantai dengan luas sekitar 160 m2 yang melebar kesamping sepanjang jalan didepanya. Masjid ini tidak memiliki fungsi penunjang melainkan hanya untuk belajar mengaji bagi anak-anak. Bangunan ini berorientasi ke Barat dan arah kiblat pun mengikuti orientasi ke barat karena dianggap ada toleransi mengenai arah kiblat menurut pengurus masjid. Karena bangunan menghadap arah Barat sehingga bentuk bangunan menyesuaikan bentuk lahan sehingga dinding masjid sejajar dengan bentuk tanah. Ruang utama masjid berbentuk persegi panjang yang menyamping, tidak ada tiang ditengah ruang akan
108
tetapi bangunan memiliki serambi di depan dan samping kiri yang terputus oleh dinding masjid. Mihrab pada masjid terdapat portal dengan kolom dilapisi marmer warna abu-abu dan mahkota berbentuk lengkung tipe ogee yang dilapisi bahan yang sama, sedangkan dinding pada bagian sisi kiblat dilapisi marmer berwarna merah muda sehingga bagian mihrab menonjol.
Gambar 4.38. Fasad muka, bentuk plafon dan mihrab Masjid Bina Taqwa
Gambar 4.39. Denah Masjid Bina Taqwa
Masjid Bina Taqwa memiliki bentuk atap perisai dan terdapat bentuk atap limas yang berbentuk tumpang pada bagian tengahnya yang menjadi pusat bangunan. Sedangkan plafon bangunan dibuat polos bertrap berbahan gypsum.
109
Terdapat gerbang massuk kedalam bangunan yang menggunakan gaya gerbang Arsitektur Bali akan tetapi berukuran kecil dan menyatu dengan pagar masjid.ragam hias msjid terdapat pada bagian pagar, lubang ventilasi,juri luar sedangkan ornament bangunan berupa tulisan kalimat Allah pada bagian puncak ruang mihrab.
Gambar 4.40. Gerbang masuk, simbol Kalimat Allah, dan jurai atap Masjid Bina Taqwa
4.1.15 Masjid Al –Muhajirin Kasus kelimabelas memiliki gaya Arsitektur yang khas dimana merupakan akulturasi Arsitektur Bali dan Minang, masjid ini merupakan masjid yang dibangunan oleh persatuan orang minang yang merantau di Bali sehingga mereka mencoba membawa Arsitektur Minang kedalam bangunan Masjid nya. Masjid ini bernama Masjid Al Muhajirin IKMS (Ikatan Keluarga Minang Saiyo). Masjid ini didirikan pada 5 desember 1999 memiliki luas sekitar 1500m2. Fungsi penunjang masjid minang saiyo adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak berupa TPQ dan TPA, Gedung serba guna pada lantai dasar masjid, lapangan olahraga pada halaman belakang masjid. Masjid Al Muhajirin juga berfungsi sebgai kantaor Yayasan Ikatan Keluarga Minang di Denpasar. Lantai dasar bangunan terdiri dari ruang serbaguna yang sering dimanfaatkan untuk tabligh, belajar mangaji dan
110
disewakan untuk acara resepsi. Sedangkan pada lantai atas bangunan terdiri dari ruang pengurus Ikatan Keluarga Minang yang berada pada bagian paling depan masjid yang berbentuk pavilion. Lantai atas masjid juga terdapat ruang sholat dan ruang takmir masjid. Bangunan sekolah memiliki massa bangunan yang terpisah dari bangunan masjid berupa bangunan dua lantai, dimana bagian lantai dasar dimanfaatkan untuk ruang wudhu dan wc, ruang kantor yayasan. Sedangkan pada lantai atas bangunan difungsikan sebagai ruang kelas. Orientasi bangunan kearah barat sedangkan orientasi kiblat tetap ke kabah sehingga sejadah membentuk sudut 34,5o kearah Barat Daya.
Gambar 4.41. Fasad luar dan denah Masjid Al Muhajirin IKMS
111
Ruang utama masjid terdapat pada lantai dua bangunan. Ruang sholat memiliki bentang lebar tanpa tiang ditengahnya sehingga tidak memutus shaf sholat. penerangan pada ruang sholat cukup memadai karana bangunan dikelilingi oleh jendela kecuali pada dinding arah kiblat. Mihrab Masjid Saiyo tidak memiliki bentuk yang khusus dimana hanya berupa ruang berukuran 2,5 x2 m tanpa memiliki portal atau gerbang masuk, akan tetapi penegasan ruang mihrab adalah penurunan plafon didepan ruang mihrab. Terdapat satu mimbar berupa podium kecil disebelah sisi kanan ruang mihrab. Bangunan masjid Saiyo dikelilingi serambi pada lantai dasar dan atas bangunan yang juga membentuk dinding masjid. Dinding keliling masjid berupa pasangan dinding setengah bata dengan menggunakan jendela dan pintu kayu.
Gambar 4.42. Pintu dan jendela Masjid Al-Muhajirin IKMS
Sedangkan pada serambi kelliling terutama pada lantai atas elemen pagar juga menjadi pembentuk wajah bangunan dan pada sisi luar serambi dibuat dinding yang menutupi serambi yang berbentuk portal dan dinding yang mengisi pojok teras masjid. Elemen dinding pagar menggunakan bahan batu alam berwarna kuning dan berwarna hitam khas bangunan Arsitektur Bali.
112
Bentuk kolom bangunan depan Msjid terutama dibawah ruang sekretariat IKMS menggunakan pilar berbentuk persegi berukuran 80x80 cm dengan bentuk profil dan penggunaan batu alam khas Arsitektur Bali. Bentuk kolom bangunan Masjid lainnya berbentuk penampang bulat berada di bagian luar dan bagian dalam ruang di lantai dasar sedangkan bentuk kolom pada dinding dan teras keliling masjid menggunakan kolom persegi.
Gambar 4.43. Ragam hias kolom dan balok Masjid Al Muhajirin IKMS
Atap bangunan Masjid Al Muhajirin terdiri dari dua massa atap. Atap pertama berbentuk atap tumpang dua dengan kubah kecil dipuncaknya dengan
113
jurai melengkung keatas pada bagian bawah atap melingkupi bangunan ruang sholat utama. Sedangkan massa kedua atap berbentuk bagonjong khas minang yang berorientasi ke empat arah dimana menaungi ruang secretariat IKMS. Diantara ruang secretariat dan ruang sholat utama dihubungkan oleh selasar. Plafon masjid pada ruang utama masjid mengikuti bentuk kemiringan atap sehingga terkesan monumental. Plafon masjid menggunakan batangan kayu list yang disusun seperti rangka atap pada Arsitektur Bali, diantara pelafon tumopang pertama dan kedua terdapat bukaan jendela mati dengan menggunakan penutup kaca patri. Plafon pada ruang mihrab terdapat bentuk dua kubah. sedangkan pada lantai dasar bangunan menggunakan plafon tidak bertrap dengan profil ditengahnya.
Gambar 4.44. Plafon Masjid Al Muhajirin IKMS
Bangunan msjid tidak memiliki gerbang masuk akan tetapi bangunan dikelilingi pagar dan pagar depan bangunan menggunakan bentuk dan corak pagar arsitektur Bali dengan menggunakan dinding tebal yang dilapisi batu alam berwarna hitam Yang menyatu dengan batu alam pada dinding bangunan. Masjid Al Muhajirin IKMS tidak memiliki menara yng berdiri terpisah dengan bangunan masjid akan tetapi memiliki empat menara yang menempel pada keempat sudut bangunan masjid dengan karakter badan menara menyerupai bangunan angkulangkul sedangkan bagian atap atau puncaknya menggunakan empat atap lengkung
114
khas minang. Menara pada masjid ini berfungsi sebagai titik tangkap dan penyeimbang bentuk atap pada bangunan utama.
Gambar 4.45. Menara pojok masjid Al -Muhajirin IKMS
Ragam hias dan ornament bangunan Masjid Al Muhajirin terdapat pada Portal bangunan, Dinding teras, Kolom bangunan, dinding bangunan meliputi jendela dan pintu, pelafon bangunan, menara dan talang air keliling atap Masjid. Pada portal bangunan yaitu dinding yang menutup sebagian teras atas dan bawah memiliki bntuk yang monumental dilapisi batu alam berwrna hitam khas Bali dimana terdapat profil dan ornament yang menempel pada dinding tersebut. Sedangkan pada dinding teras dibuat massif dengan dilapisi batu alam berwarna kuning dan hitam juga terdapat profil dan ornament yang menempel. Kolom bangunan memiliki kaki dan capital kolom untuk bagian depan mencerminkan kolom atau tiang khas Bali dengan fundamen yang masif. Detail ragam hias pada masjid Al Muhajirin juga terdapat pada bagian plafon bangunan dimana motif ukran ditempelkan pada plafon dengan dilapisi prade emas dan perak dengan warna dasar berwarna hijau. Untuk jendela dan pintu ornament terapat pada ventilasi, hanya pada pintu masuk utama ruang sholat menggunakan dua daun
115
pintu yang berukir. Bagian menara masjid menggunakan profil batu alam yang dipahat dan dipadukan dengan bata merah yang biasanya digunakan pada dinding bangunan Bali.
Gambar 4.46. Ragam hias dan ornamen Masjid Al Muhajirin IKMS
116
4.1.16. Masjid Baitul Muqimin Kasus ke enambelas adalah Masjid Baitul Muqimin beralamat di Jl Buana raya Gg Buana Mertha Pd. Sambian. Masjid ini merupakan hasil bantuan dari pemerintah Uni Emirat Arab yang diresmikan pada tanggal 14 september 1997. Masjid berupa banguna satu lantai dengan luas badan bangunan 130 m2 diatas lahan seluas 220 m2. Bangunan masjid tidak memiliki fungsi penunjang selain posisi bangunan ditengah permukiman yang padat juga lahan masjid tidak memungkinkan untuk penambahan fungsi. Masjid Baitul Muqimin terdiri dari ruang sholat ruang pengurus, teras atau serambi, ruang wudhu dan wc. Orientasi bangunan Masjid pada saat pembangunan adalah kearah Kiblat akan tetapi setelah diperiksa kembali ternyata masih kurang tepat maka orientasi sholat masih disesuaikan kembali. Sisi kanan dan kiri bangunan menyesuaikan bentuk lahan sedangkan ruang utama tetap berbentuk persegi.
Gambar 4.47. Fasad muka dan denah Masjid Baitul Muqimin
Ruang utama masjid merupakan ruang sholat yang digunakan untuk sholat berjamaah didalam ruang sholat tidak ada ruang khusus untuk makmum wanita
117
dan konsep ruangan bebas kolom karena bentangan atap yang tidak begitu besar luas ruang utama ini sekitar 52 m2. Terdpat ruang sholat disisi kanan ruang utama akan tetapi terputus oleh dinding bangunan akan tetapi pada sholat jum‟at ruangan tersebut dan serambi di depan digunakan untuk sholat. Mihrab bangunan berukuran 2,5x1,5 m dengan tinggi plafon sekitar 2,40 m. portal pembentuk ruang mihrab berupa profil yang ditonjolkan berwarna cokelat dilatari dengan dinding berwarna putih.terdapat sebuah mihrab kecil yang terbuat dari bahan kayu dipelitur.Dinding bangunan masjid di dominasi oleh jendela-jendel besar dengan jendela pada bagian tengah memiliki tambahan berbentuk segitiga pada bagian atasnya dengan menggunakan kaca warna, sedangkan penutup jendela menggunakan kaca nako agar sirkulsi udara lebih lancar. Bentuk Atap Masjid Baitul muqimin menggunakan atap tumpang dua dengan menggunakan mahkota atap bergaya Arsitektur Bali, dimana biasanya terdapat kubah kecil dengan profil bulan bintang. Ruang antara atap tumpang pertama dan kedua digunakan untuk meletakan pengeras suara. Plafon bangunan mengikuti bentuk atap dengan mengekspos struktur rangka atap dan memberikan bukaan atas sehingga tembus keruang atap tumpang bagian atas yang berfungsi sebagai akses cahaya dan sirkulasi udara. Masjid Baitul Muqimin tidak memiliki gerbang, menara dan ragam hias atau ornament.
118
4.1.17 Masjid Ar Rahmat Dari Kasus ke enam belas kasus berikutnya adalah Masjid Ar Rahmat beralamat di Jalan Buana Raya Perumahan Buana Mas Indah masjid ini memiliki luas hanya sekitar 120 m2 masjid ini memiliki konsep bangunan dua lantai akan tetapi hanya pada bagian atas yang dimanfaatkan untuk masjid sedangkan ruangan bawah berfungsi sebagai toko yang disewakan bangunan ini didirikan sekitar tahun 1995. Untuk orientasi kiblat bangunan ini tegak lurus terhadap lahan dan menghadap ke Barat sehingga ada toleransi terhadap arah kiblat. Ruang sholat masjid berukuran 10x10m tidak ada tiang ditengah ruangan dan tidak terdapat perbedaan ruang dengan ruang sholat wanita.
Gambar 4.48. Fasad muka dan denah Masjid Ar Rahmat
119
Dinding masjid memiliki lima jendela besar dengan membentuk segitiga meruncing dibagian atas nya. Begitu juga dengan bentuk atap merupakan penggunaan atap sederhana brupa penggabungan atap pelana dan perisai sehingga apabila orang yang belum pernah sholat dimasjid ini akan sulit untuk mengetahui kalau bangunan ini berfungsi sebagai bangunan masjid. 4.1.18 Masjid Al Qomar Kasus ke delapan belas adalah Masjid Al-Qomar . Masjid ini beralamat di jalan tengku umar (marlboro) didirikan pada tahun 1985 dan direnovasi kembali pada tahun 1997 dan selesai pada tahun 2007 berberntuk bangunan dua lantai dengan lantai mezanin pada bagian belakang diantara lantai dasar dan atas . Fungsi penunjang masjid adalah sekolah tingkat taman kanak-kanak di sisi kiri bangunan dengan massa bangunan yang berbeda. Bangunan masjid Al-Qomar memiliki luas bangunan sektar 800 m2 diatas lahan seluas 650 m2, orientasi bangunan mengarah ke kiblat sehingga sejajar dengan susunan shaf sholat. bagian dasar bangunan memiliki ketinggian sekitar 60 cm dari tanah sehingga pada bagian dinding pondasi lantai terdapat ornament dan dasar kolom bergaya arsitektur Bali. Ruang utama masjid berfungsi sebagai ruang sholat laki-laki terdapat di lantai atas bangunan sedangkan ruang mezanian dimana perluasan bordes tangga digunakan untuk makmum wanita. Ruang sholat utama bebas kolom hanya terdapat bagian keliling dinding bangunan. Untuk ruang sholat lantai dasar terdapat kolom ditengah nya yang memiliki bentuk penampang persegi panjang.
120
Sedangkan ruangan bagian belakang dibawah ruang mezanin digunakan untuk ruang belajar mengaji dan ruang penyimpanan perlengkapan sholat. pada bagian pojok ruang dibawah mezanin digunakan untuk kantor sekolah Taman KanakKanak akan tetapi memiliki akses dari depan bangunan
Gambar 4.49. Fasad luar dan denah Masjid Al Qomar
Bangunan Masjid Al Qomar memiliki dua buah ruang Mihrab yaitu dilantai dasar dan lantai atas bangunan akan tetapi yang dipakai hanya pada mihrab lantai atas, dinding mihrab menggunakan material yang sama dengan dinding disisi kiblat akan tetapi dibuat profil yang lebih menonjol dengan menggunakan lapisan
121
yang sama berbentuk lengkung tipe ogee atau kubah berbentuk bawang. . Dinding bangunan masjid menggunakan pasangan dua bata sehingga sangat tebal dan kokoh. Seluruh permukaan dinding bagian dalam masjid dilapisi batu marmer berwarna kuning muda kecoklatan. Untuk tampilan fasad menggunakan langgam Arsitektur bali pada bagian tampak muka bangunan dengan mengekspos dinding bata merah dan batu alam abu-abu kehitaman, sedangkan pada bagian samping bangunan
menggunakan jendela berbentuk lengkung berbahan alumunium.
Untuk dinding samping dibuat lagi massa tambahan yang menempel pada bangunan dengan memiliki bentuk atap sendiri sehingga member irama pada bangunan, ruang tersebut pada lantai dasar membentuk atap bagi teras samping bangunan. Akses masuk masjid berada disamping dan sisi depan sebelah kiri berdekatan dengan ruang wudhu.
Gambar 4.50. Ragam hias, mihrab, dan ruang sholat utama Masjid Al Qomar
122
Bangunan ini memiliki konsep bentuk kolom persegi dan persegi panjang dengan penutup menggunakan dua macam bahan yaitu berlapis marmer dan batu alam berwarna hitam. Untuk kolom pada bagian luar pada sisi barat bangunan menggunakan bentuk yang besar dengan dibagi menjadi tiga bagian kolom kaki, badan dan kepala atau kapital yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali sedangkan pada kolom samping bgian luar denganh penampang persegi panjnag dilapisi bahan marmer dengan membentuk portal. Sedangkan kolom bagian dalam bangunan semuanya dilapisi bahan batu marmer dengan bentuk penampang persegi panjang.
Gambar 4.51.Detail ragam hias kolom Masjid Al Qomar
Bangunan Masjid Al Qomar juga terdapat portal-portal lengkung yang menjadi ciri khas arsitektur Islam di Timur tengah terutama terdapat pada pintu masuk samping dan pintu masuk bagian depan. Bangunan masjid tidak memiliki serambi keliling hanya terdapat teras pada sisi utara bangunan yang berbatasan dengan jalan. Portal bagian samping menggunakan pelapis marmer sedangkan pada bagian depan menggunakan pelapis batu alam. Atap bangunan Masjid Al Qomar memiliki bentuk atap tumpang dua, terdapat tiga massa atap pada masjid yang pertama atap ruang utama, kedua atap ruang
123
samping kanan masjid dan ketiga ruang pengurus yayasan bagian depan sehingga dari ketiga atap tersebut melahirkan komposisi yang dinamis, atap ruang utama memiliki ukuran dominan. Ketiga atap memiliki kubah berbahan stainless dengan profil bulan bintang dipuncaknya. Plafon ruang dalam menggunakan plafon gypsum sedangkan plafon bagian luar menggunakan plafon papan dengan lebar 10 cm yang tersusun rapat dan dilapisi pelitur, plafon masjid pada ruang utama berbentuk dasar lingkaran bertingkat dengan profil plafon menggunakan motif kubah. Masjid Al-Qomar memiliki Gerbang bangunan pada bagian depan bangunan bergaya Arsitektur bali, menyatu dengan pagar depan dan ruang wudhu berupa bangunan dua lantai dimana lantai atas berfungsi sebagai ruang pengurus yayasan. Gerbang utama menggunakan bahan batu alam dan ekspos bata merah akan tetapi tidak terdapat motif hewan atau patung pada sisi pagar seperti gerbang pada Arsitektur Bali. Pada gerbang masjid juga dilakukan sedikit perubahan seperti menambahkan bentuk kubah kecil di permukaan atas gerbang dan pagar.
Gambar 4.52. Bentuk atap dan plafon Masjid Al Qomar
124
Gambar 4.53. Pagar dan gerbang masjid Al Qomar
Masjid Al Qomar tidak memiliki menara bangunan akan tetapi memiliki banyak ragam hias dimana perpaduan ragam hias arsitektur Bali dan Islam, seperti bagian pagar menggunakan bentuk kubah, begitu juga dengan pagar ruang pengurus menggunakan bahan bata merah dan batu alam akan tetapi membentuk kubah. Begitu juga dengan pintu pagar menggunakan motif bintang yang sering dipakai sebagai simbol islam, ornament bali juga digunakan pada dinding depan dan profil kaki dan kepala kolom masjid.
Gambar 4.54. Detail ornamen masjid Al -Qomar
125
4.1.19 Masjid Al -Muhajirin Kasus kedua puluh adalah masjid Al Muhajirin. Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini didirikan pada tahun 1326 Hijriyah atau sekitar tahun 1905 . Pada waktu pertama kali didirikan, Masjid Al-Muhajirin masih berukuran 12×12 meter. Awal pertama kali dibangun, masjid ini bernama Hamsul Mursalin. Kehadiran kaum pendatang asal Madura, Bugis, Melayu, serta Bali yang mendiami kampung Kepaon setelah itu menuntut adanya peralihan nama masjid sebagai pusat sarana ibadah yang diembel-embeli dengan Muhajirin. Kehadiran seorang tokoh Islam yang berasal dari Gujarat bernama Haji Abdurrahman menjadikan masjid ini sebagai tempat peribadatan tersebut dengan nama Masjid Jamik al-Muhajirin. Pada tahun 1976 terjadi gempa bumi sehingga masjid harus direnovasi, akan tetapi renovasi baru selesai pada tahun 1991 berupa bangunan dua lantai. Fungsi tambahan pada masjid adalah didirikan sekolah Taman Pendidikan Qur‟an sedangkan fungsi lainnya untuk menyelenggarakan sholat lima waktu. Bangunan ini berorientasi ke barat dimana terdapat toleransi ke arah kiblat untuk shaf beberpa terputus oleh kolom bangunan. Bentuk bangunan sejajar dengan bentuk tanah sehingga bangunan dibangun penuh untuk sisi kiri dan kanan dengan dinding yang sejajar dengan jalan, sedangkan pada bagian depan atau timur bangunan terdapat halaman yang terdiri dari bangunan ruang wudhu dan sekolah Tingkat Taman kanak-kanak dan halaman parkir motor.
126
Gambar 4.55. Denah Masjid Al Muhajirin Kepaon
Pondasi lantai dasar bangunan sekitar satu meter dari jalan karena daerah ini dahulunya sering terendam air pada saat hujan. Ruang utama masjid berada di lantai dasar dengan ruang mihrab yang tembus kelantai dua yang disatukan dengan void karena mimbar memiliki atap yang tinggi maka konsep mimbar menggunakan bentuk yang tinggi dengan beberapa anak tangga menuju tempat duduknya dengan dilengkapi atap kubah diatasnya. Dinding bangunan bagian luar sederhana tanpa pemakaian lapisan batu alam atau marmer akan tetapi dari dalam bangunan dinding bagian lantai dasar diberi profil lengkung dengan jendela didalamnya. Bangunan muhajirin memiliki portal dengan dretan kolom disepanjang sisi kiri dan kanan ruang sholat utama. Bangunan masjid Muhajirin tidak memiliki menara dan serambi keliling dikarenakan keterbatasan lahan.
127
Gambar 4.56. Mihrab dan void Masjid Al Muhajirin
Atap bangunan menggunakan atap tumpang tiga akan tetapi tumpang ketiga digantikan dngan atap berbentuk kubah berbahan beton dengan kalimat Allah dipuncaknya . bentuk plafon masjid muhajirin mengikuti bentuk atap sehingga kubah dapat dilihat dari dalam. Bangunan Masjid tidak memiliki menara dan gerbang dan sedikit ragam hias atau ornament.
Gambar 4.57 Portal dan Plafon Masjid Al Muhajirin
4.1.20 Masjid Sadar Kasus kedua puluh adalah Masjid Sadar. Masjid ini beralamat di Jalan Kenangan 15 Sesetan memiliki luas bangunan sekitar 600 m2 diatas lahan seluas 500 m2. Fungsi tambahan masjid ini adalah sekolah tingkat Taman kanak-kanak pada bagian belakang masjid. Bangunan masjid ini sangat konsisten terhadap orientasi kiblat sehingga bangunan dan arah sholat berorientasi ke kiblat meskipun 128
bentuk lahan sangat sulit untuk mengikuti orientasi tersebut. Pondasi bangunan sekitar 1,20 m dari jalan dengan beberapa anak tangga sebelum masuk ke masjid. Masjid sadar juga sangat menunjang konsep susunan shaf tanpa kolom sehingga hampir semua ruang sholat tidak memiliki tiang dibagian tengahnya, hampir sama dengan masjid ukkhuwah Masjid Sadar memisahkan ruang sholat laki-laki dan perempuan dengan pembatas pintu dan jendela kaca. Ruang sholat utama masjid berada di lantai dasar membentuk void dengan ruangan dibelakangnya, ruang masjid terdiri dari tiga modul ruang yang semakin kebelakang bergeser kekanan. Ruang mihrab masjid memiliki plafon yang tinggi dengan portal atau gerbang berbentuk kubah lengkung, karena mihrab memiliki atap yang tinggi maka mimbar digunakan ukuran yang besar yang memiliki anak tangga dan atap kubah diatasnya, mimbar tersebut berbahan kayu yang dilapisi pelitur kayu. Masjid Sadar tidak memiliki kolom atu tiang yang dijadikan elemen estetika baik bagian dalam maupun luar bangunan, permainan fasad bangunan adalah penambahan bidang dinding antara jendela yang menjorok keluar sejauh satu meter sehingga memberikan ruangan bayangan yang memberikan kesan dinding tebal dan kokoh. Bentuk seperti ini juga memberikan perlindungan ruang dalam dari panas matahari dan hujan. Atap bangunan menggunakan atap bertumpang dua, karena bentuk denah yang tidak simetri maka bangunan terdiri dari tiga masa atap masing-masing bertumpang dua. Sedangkan untuk plafon bagian atas bangunan mengikuti bentuk atap dan mengekspos struktur rangka atap dimana memiliki konsep struktur atap Arsitektur Bali.
129
Gambar 4.58. Fasad luar dan denah Masjid Sadar
Gambar 4.59. Bentuk Atap dan Plafon Masjid Sadar
130
4.1.21 Masjid Baitul Mukminin Kasus ke duapuluh dua adalah masjid Baitul Mukminin. Beralamat di Jl Tukad Pakerisan Gg. XV A Panjer. Memiliki luas bangunan 960 m2 diatas lahan seluas 650 m2. Masjid berupa bangunan dua lantai. Fungsi penunjang bangunan adalah sekolah TPQ . ruang lantai dasar terdiri dari ruang parkir motor, ruang kelas, ruang pengurus masjid, tempat wudhu dan wc. Sedangkan ruang utama Masjid berada di lantai atas. Bangunan Masjid berorientasi ke Barat sedangkan orientasi sholat tetap kearah kiblat tidak sejajar dengan masjid. Lantai dasar bangunan tidak dibatasi dinding atau terbuka kecuali ruang wudhu, pengurus dan kelas. Ruang utama masjid terdapat kolom yang memutus garis shaf makmum. Dibagian belakang ruang sholat laki-laki sebelah kanan terdpat ruang sholat khusus wanita yang dibatasi tirai kain. Mihrab bangunan memiliki bentuk ruang melengkung pada bagian depan dan portal sebelum masuk ruang mihrab menggunakan lekuk dinding berbentuk kubah bawang . diatas lubang dinding tersebut terdapat kaligrafi yang membentuk puncak pilar dan bagian atas mihrab berbentuk petikan ayat Al Qur‟an dengan bingkai membentuk segitiga. Dinding bangunan masjid tidak menggunakan banyak jendela melainkan jendela kecil yang tersembunyi dibalik kolom dan diantara atap dan dinding bangunan sehingga dari luar dinding masjid terlihat sangat polos. Atap bangunan masjid menggunakan atap tumpang dua tanpa kubah pada puncak atapnya.
131
Gambar 4.60. Fasad Luar dan Denah Masjid Baitul Mukminin
Gambar 4.61. Plafon, Mihrab dan Ventilasi Masjid Baitul Mukminin
Ragam hias dan ornamen masjid Baitul mukminin berupa kaligrafi dan tulisan arab pada dinding masjid dan lubang ventilasi diantara dinding dan atap ruang sholat utama. Kaligrafi menggunakan bahan semen yang dicetak sesuai bentuk yang diinginkan kemudian dilapisi cat berwarna emas.
132
Gambar 4.62. Detail Ornamen Kaligrafi
4.1.22 Masjid Al-Falah Kasus ke duapuluh 22 adalah masjid Al Falah beralamat di Komplek Perumahan Kerta Rahayu Sidakarya. Masjid ini berukuran sekitar 130 m2 dengan luas lahan sekitar 220 m2. Fungsi tambahan masjid adalah tempat belajar mengaji pada ruangan belakang yang berfungsi sebagai serambi. Konsep bangunan masjid ini terbuka tanpa dinding yang menggantikan posisi dinding adalah pagar samping dan depan bangunan. Ruang utama masjid bebas kolom dan orientasi bangunan kea arah Barat sedangkan orientasi sholat kearah kiblat ruang mihrab masjid membentuk tiga sisi sudut sedangkan bagian depan mihrab dibatasi dengan replica bentuk kolom dengan mnggunakan keramik hijau tua dengan bagian puncak berbentuk datar, pilar ruang mihrab menyambung pada bagian kiri dan kanan dinding mihrab membentuk garis lengkung setengah lingkaran . Bentuk atap masjid menggunakan atap tumpang dua dengan bentuk pelafon mengikuti bentuk atap pada tingkat bawah sedangkan struktur atap hanya diekspos sebagian.
133
Gambar 4.63. Fasad Luar, Mihrab, dan Ruang terbuka Masjid Al Fallah
Gambar 4.72. Denah Masjid Al Fallah
4.1.23 Masjid Assyuhada
Kasus ke duapuluh lima adalah Masjid tua bernama Assyuhada dibangun akhir Abad XVII itu menyimpan bukti-bukti peninggalan bersejarah Islam. Salah satunya mimbar yang dibuat oleh para ulama-ulama pendahulu perintis Kampung Islam Pulau Serangan. Masjid yang awalnya hanya dibangun di atas tanah seluas 8 meter x 7 meter tersebut sangat sederhana. Terbuat dari bahan kayu menyerupai
134
rumah panggung (bangunan khas Bugis). Akibat kondisi Masjid tua sudah termakan usia, pembangungan serta renovasi pun dilakukan. Masjid Assyuhada kini berdiri cukup megah ditengah perkampungan kampung Bugis Pulau Serangan Bali. Masjid Assyuhada memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan warga dan tempat anak-anak belajar mengaji. Salah satu keunikan masjid ini tidak ada bangunan yang menghalangi arah kiblat masjid dan bangunan di bagian selatan masjid orientasinya tidak kearah barat sehingga membentuk ruang disepanjang halaman masjid, akan tetapi dibangun belakangan sebuah rumah panggung yang dipindahkan dari lokasi yang sebelumnya berbeda sebagai langkah pelestarian yang dilakukan warga Kampung Bugis Pulau Serangan. Bangunan masjid berorientasi ke kiblat sehingga dianggap sejajar dengan arah orientasi sholat. bentuk denah sejajar dengan bentuk lahan dan jalan didepan masjid sehingga secara tidak langsung jalan dan posisi kavling permukiman juga sejajar dengan arah kiblat.
Gambar 4.65. Denah dan fasad luar Masjid Assyuhada
Bangunan memiliki fundamen yang massif tanpa kolong dengan ketinggian pondasi sekitar satu meter dari tanah. Lantai masjid dilapisi bahan marmer
135
berwarna abu-abu tua dengan ukuran 60x60 cm pada bangunan lama sedangkan bangunan tambahan menggunakan keramik putih polos. Ruang utama masjid terdapat empat tiang ditengahnya berupa soko guru yang berfungsi menopang struktur atap akan tetapi posisi kolom tidak memutus shaf sholat.
Masjid Asyuhada memiliki mihrab yang sederhana hanya cukup untuk satu imam dengan ukuran sekitar 1x2m dengan bentuk lengkung pada bagian atap dan dinding depan mihrab. Pada bagian atas gerbang mihrab terdapat mahkota lengkung berbentuk profil tanpa profil tiang disisi kanan dan kirinya. Meskipun ukran masjid sangat kecil akan tetapi masjid ini memiliki mimbar yang besar dilengkapi dengan tangga dan atap berbentuk kubah dengan ukiran berprade emas dengan warna dasar berwarna hijau, akan tetapi posisi mimbar berada di depan ruang mihrab dimana pada umumnya masjid di denpasar mimbar berada di dalam mihrab. Dari ukuranya mimbar tidak pas didalam ruang mihrab yang memiliki ukuran sangat kecil. Dinding bangunan Masjid Assyuhada berupa dinding massif dengan ketebalan dinding sekitar 30 cm dengan dilengkapi beberapa jendela kayu. Pintu masuk utama kedalam masjid berada tegak lurus terhadap kiblat, dimana menjadi ciri masjid tua di Indonesia. Bangunan Masjid tidak memiliki serambi keliling akan tetapi memiliki teras depan yang cukup besar. Pada bagian sisi kanan bangunan lama terdapat bangunan baru yang memiliki ukuran yang sama dengan bangunan lama akan tetapi dari sisi arsitektur tidak memiliki karakter yang sama dengan bangunan lama. Bentuk atap masjid berupa atap tumpang dua akan tetapi bentuk atap saat ini sudah dipugar dan diganti penutup atap yang baru, atap sebelumnya memiliki tritisan yang pendek berbeda dengan bentuk sekarang
136
atap diperpanjang dan bercorak Arsitektur Bali. Bagian plafon masjid menggunakan bahan teakwood berwarna putih pada bagian dalam dan teras bangunan dengan bentuk datar kecuali pada bagian tengah yang membentuk persegi delapan.
Gambar 4.66. Serambi, Ruang Sholat dan Mihrab Masjid Assyuhada
Masjid Assyuhada tidak memiliki gerbang dan menara masjid akan tetapi memiliki pagar yang dibuat belakangan karena masjid sebelumnya terbuka. Ragam hias Masjid menggunakan profil baik itu bagian dinding , jendela, pintu dan kolom bangunan yang dilapisi dengan cat berwarna putih. Bangunan Masjid Asyuhada banyak dipengaruhi Arsitektur Portugis pada profil dan ketebalan dindingnya.
Gambar 4.67. Detail Profil Beton Masjid Assyuhada
137
Bangunan tambahan masjid termasuk bangunan samping sudah
berbaur
dengan arsitektur Bali baik itu berupa konsep bentuk atap dengan menggunakan atap perisai juga warna dan bentuk pagar bangunan.
4.1.24 Masjid Al-Ikhsan
Dari Masjid Assyuhada kasus selanjutnya adalah Masjid Al Ikhsan Sanur. Masjid ini berupa bangunan satu lantai konsep terbuka dengan luas bangunan sekitar 900 m2 diatas lahan sekitar 2000 m2. Masjid al Ikhsan tidak memiliki fungsi tambahan seperti sekolah atau gedung sewa akan tetapi terdapat Sekretariat MUI Kota Denpasar. Ruang masjid Al Ikhsan didominasi oleh ruang sholat dengan sedikit ruang penunjang. pada bagian depan berupa ruang sholat laki-laki dimana terdapat deretan kolom bangunan yang membentuk tiga ruangan bebas kolom ditengahnya dan sekaligus membentuk tiga massa atap. Massa atap bagian belakang digunakan untuk ruang sholat wanita dan dibatasi oleh partisi dari kayu lapis. Orientasi bangunan kearah kiblat sejajar dengan orientasi sholat akan tetapi terdapat beberapa shaf jemaah yang terputus oleh kolom atau tiang bangunan. bentuk denah bangunan tidak mengikuti bentuk tanah disebabkan bangunan tegak lurus terhadap arah kiblat bukan kearah Barat atau menyesuaikan bentuk kavling bangunan. Masjid Al-Ikhsan memiliki mihrab bangunan yang memiliki bentuk gerbang segitiga dan dilengkapi oleh mimbar berukuran besar dengan tangga dan atap berbentuk kubah.
138
Gambar 4.68. Denah Masjid Al Ikhsan
Bangunan Masjid Al Ikhsan hanya memiliki dinding pada dinding sisi barat bangunan dan ruang wudhu dan pengurus yayasan. Sebelumnya masjid tidak memiliki pagar, karena alasan keamanan dan kesucian masjid maka dibangun pagar keliling masjid. Pengganti dinding bangunan adalah deretan kolom yang membentuk portal segitiga yang membentuk batas ruang dalam dan luar. Masjid Al Ikhsan memiliki serambi keliling karena tidak memiliki dinding maka serambi terkesan menyatu dengan ruang dalam bangunan.
Gambar 4.69. Konsep Ruang tanpa dinding dan Mihrab Masjid Al Ikhsan
139
Atap bangunan Masjid terdiri dari tiga massa atap yang berbentuk tumpang dua akan tetapi tumpang bagian atas tidak meruncing melainkan membentuk sudut yang datar. Bentuk plafon ketiga atap mengikuti kemiringan atap, trap pertama tanpa mengekspos struktur rangka sedangkan trap kedua plafon terlihat menonjolkan struktur rangka atap terutama kasau bangunan.
Gambar 4.70. Bentuk Atap dan Plafon Masjid Al Ikhsan
Bangunan Masjid Al Ikhsan memiliki gerbang yang menyatu dengan pagar keliling bangunan gerbang berbentuk dua pillar tanpa membentuk portal dengan bentuk bagian puncak setengah segitiga yang mengarah ke sisi dalam gerbang, dilapisi batu alam dan profil berwarna hijau, sedangkan pagar keliling bangunan berwarna kuning serupa dengan batu alam pada gerbang dengan diberi profil pada bagian dasar dan tiang pagar. Masjid Al Ikhsan tidak memiliki menara masjid. Sedangkan tempat wudhu berada disisi kanan untuk laki-laki dan sisi kiri untuk makmum perempuan. Ragam hias masjid Al Ikhsan terdapat pada bagian pagar,
140
plafon dan mihrab. Ragam hias pada plafon meliputi profil kayu yang dibentuk untuk membibgkai laigrafi yang terbuar dari kaca yang dilukis dengan cat minyak. Sedangkan ragam hias pada pagar berupa profil yang dibuat dari bahan beton. Untuk mihrab profil bangunan dibuat dari batu granit yang diasah dan ditempel.
Gambar 4.71. Gerbang, Pagar dan Ragam Hias Masjid Al Ikhsan
141
4.1.25 Masjid Ar-Rahman
Masjid ke Dua puluh Lima adalah masjid Ar-Rahman masjid ini beralamat di Jalan Tukad Balian Gg I No 9 denpasar, masjid ini berdiri pada tahun 1986 berupa bangunan dua lantai dengan luas sekitar 450 m2 diatas lahan seluas 290 m2. Bangunan ini tidak memiliki fungsi penunjang karena memiliki keterbatasan lahan. Ruang bagian bawah berfungsi sebagai ruang wudhu, wc, parkir motor dan ruang pengurus yayasan. Masjid Ar Rahman berorientasi ke kiblat sehingga arah sholat sejajar dengan bangunan sedangkan bentuk denah bangunan hampir sama dengan masjid Sadar dimana tidak sejajar dengan bentuk lahan.
Mihrab bangunan masjid berukuran 2x2,4 m berbatsan langsung dengan ruang takmir masjid. Semua dinding ruang utama dilapisi marmer berwarna kuning, hanya pilar pembatas mihrab yang terdapat dua pilar dilapisi marmer berwarna abu-abu. Konsep dinding bangunan tertutup pada bagian lantai atas dengan bentuk jendela yang di lingkupi bidang dinding yang membentuk deretan dinding setengah kubah dengan jendela didalamnya. Dinding tersebut selain sebagai elemen pembentuk wajah bangunan juga berfungsi sebagai pelindung dari cuaca. Dinding Masjid di lantai dasar berkonsep terbuka tanpa dinding pada sisi kiri bangunan sedangkan pada sisi lain bangunan menempel dengan pagar pembatas. Masjid Ar Rahman terdiri dari tiga massa atap dimana bentuk yang paling besar di ruang utama bagian tengah dan bentuk atap lebih kecil pada ruang sholat utama bagian depan dan diatas tangga. Ketiga atap dihubungkan oleh atap dag beton masing-masing atap berbentuk atap bertumpang dua. Plafon bangunan
142
polos hanya pada bagian ketiga atap plafon mengikuti bentuk atap dan mengekspos struktur sehingga cahaya dan udara bisa masuk kedalam ruangan.
Gambar 4.72. Fasad Luar dan Denah Masjid Ar Rahman
143
Gambar 4.73. Mihrab dan Ruang Sholat Masjid Ar Rahman
Gambar 4.74. Lantai Dasar Masjid Ar Rahman
Gambar 4.75. Bentuk Plafon Masjid Ar Rahman
Bangunan tidak memiliki gerbang masuk maupun menara masjid. Sedangkan untuk ragam hias terdapat pada profil memanjang, profil jendela serta pada tiang
144
bangunan lantai dasar dan bagian luar. Tiang bagian lantai dasar beberntuk bulat dengan kapital dan dasar tiang menggunakan pelapis berwarna emas berbentuk melingkari kolom, sedangkan pada dinding luar lantai atas kolom berada pada sudut bangunan dengan kepala tiang mengikuti bentuk tiang persegi. 4.1.26 Masjid Al-Hikmah Kasus ke 28 adalah Masjid Al Hikmah masjid ini memiliki Gaya Arsitektur Bali yang paling kental dibanding masjid di Denpasar lainnya. Masjid ini beralamat di Jalan Soka 18 Denpasar Timur. Masjid ini berdiri pada tahun 1978 kemudian direnovasi kembali pada tahun 1998 dengan menyerap Arsitektur Bali. Masjid Al Hikmah berupa bangunan satu lantai dengan luas bangunan sekitar 220 m2. Masjid ini memiliki fungsi penunjang yaitu sekolah tingkat taman kanakkanak berupa bangunan dua lantai disisi kiri bangunan masjid. Orientasi Masjid Al Hikmah ke Arah kiblat sehingga posisi denah bangunan tidak sejajar dengan bentuk lahan bangunan. Bentuk bangunan tetap berbentuk persegi panjang, penyesuaian bentuk tapak hanya pada desain halaman dan tempat berwudhu. Ruang Utama masjid berada di ruang paling depan dengan dibatasi dinding massif yang membentuk beberapa gerbang masuk kedalam ruangan. Ruangan utama tidak terdapat kolom dibagian tengahnya sehingga tidak memutus shaf sholat berjamaah, begitu juga dengan ruang dibelakang ruang utama yang sekilas menyerupai serambi yang diperpanjang kebelakang karena konsep dindingnya semi terbuka. Mihrab pada ruang utama masjid memiliki bentuk dasar gerbang kubah bawang dibentuk dengan menggunakan bahan dan warna material yang
145
berbeda dengan dinding.serta ditunjang dengan dua pillar dengan kaki dan kepala kolom menggunakan profil berwarna hitam. Didalam ruang mihrab terdapat mimbar yang memiliki bentuk yang sederhana dan menggunakan bahan yang tidak umum digunakan yaitu kaca dan alumunium.
Gambar 4.76. Fasad Luar dan Denah Masjid Al Hikmah
Pada bagian kiri dan kanan ruang mihrab terdapat bentuk portal yang mengimbangi ruang mihrab akan tetapi memiliki skala yang lebih kecil. Pada pilar pembentuk portalnya bagian sebelah kiri dilapisi oleh ukiran yang terbuat dari plat
146
metal. Sebelum memasuki ruang utama masjid dari arah depan terdapat tiga portal yang membentuk gerbang masuk ke ruang utama, gerbang tersebut memiliki bentuk atas lengkung dengan dominasi gerbang bagian tengah, diantara gerbang kiri dan kanan terdapat pilar yang membatasinya.
Gambar 4.77. Mihrab Masjid Al Hikmah
Dinding bangunan Masjid Al Hikmah bersifat semi terbuka karena tidak ada pintu permanen yang memisahkan ruang luar dan dalam sedangkan bagian dinding bangunan dipenuhi ukiran yang tembus sehingga cahaya dan udara dapat masuk kedalam bangunan, sehingga didalam ruangan terasa menyatu dengan lingkungan luar masjid. Terdapat dua dinding di dalam masjid Al Hikmah, dinding pertama adalah dinding yang membatasi ruang sholat pertama dimana dibatasi oleh dinding tanpa pintu sedangkan jendela samping dan bagian atas dipenuhi oleh ukiran kayu tembus. Dinding lapis kedua masjid adalah dinding yang sebenarnya membatasi serambi dengan lingkugan luar masjid finfishing dinding menggunakan ekspos bata merah khas bangunan Bali. Pada dinding terluar dibatasi oleh beberpa titik dinding massif diantara pintu geser yang berukir
147
tembus sedangkan sisa penutup masjid berupa ukiran ventilasi yang terbuat dari bahan beton dengan ukiran tembus cahaya.
Gambar 4.78. Ragam Hias Masjid Al Hikmah
Masjid Al Hikmah menggunakan bentuk kolom dengan penampang persegi dilengkapi dengan kaki dan kepala kolom dengan menggunakan warna gelap. Diantara kolom bangunan membentuk beberapa portal dengan bentuk setengah lingkaran dan ellips. Pada ruangan belakang ruang utama kolom membentuk portal yang besar dengan garis lengkung dimana kolom pembatas keruang utama mengikuti pola lengkung tersebut. Sedangkan portal yang terbentuk antara tiang berbentang pendek membentuk deretan tiga garis lengkung setengah lingkaran. Bangunan ini sebenarnya memiliki serambi akan tetapi ditutupi oleh dinding pembatas sehingga berfungsi sebagai ruang dalam masjid.
Gambar 4.79. Bentuk Ruang dan Plafon Masjid Al Hikmah
148
Atap bangunan Masjid Al Hikmah menggunakan atap tumpang tiga dimana pada kasus lainnya masjid tidak ada yang menggunakan atap tumpang tiga karena mereka menghindari meniru bangunan suci hindu yang biasanya bertumpang tiga atau ber angka ganjil pada bagian puncak atap terdapat tiga trap balok persegi kemudian diatasnya terdapat kubah bertingkat tiga dan pada bagian puncaknya diakhiri dengan lambing bertuliskan kalimat Allah SWT. Bentuk plafon pada ruang utama mengikuti bentuk atap dengan menyisakan void dibagian puncak berbentuk lingkaran dengan bingkai bermotif persegi empat yang sudutnya dilengkungkan. Pada ruang dibelakang ruang utama bentuk plafon mengikuti bentuk lengkung pada portal yang menghubungkan antara kolom bangunan. Gerbang Pada Masjid Al Hikmah merupakan elemen bangunan yang paling kuat karakter Arsitektur Bali mulai dari penggunaan bahan, ukiran dan bentuk gerbang akan tetapi yang membedakanya adalah hiasan pada bagian puncak gerbang berupa kubah dengan lambing bulan sabit pada bagian puncaknya. Bangunan Masjid Al Hikmah tidak memiliki bentuk ukiran atau ornament yang bermotif hewan dan manusia kecuali pada bagian gerbang depan. Banyak kontroversi yang disebutkan dari beberapa pengurus masjid lain di Denpasar mereka menganggap akulturasi pada masjid Al Hikmah melewati jalurnya. Akan tetapi kalau melihat posisi gerbang berada di ring terluar bangunan masjid dan dibatasi lagi dinding sebelum masukke pekarangan dengan dihiasi kubah kecil belafaskan Allah dan Muhammad.
149
Gambar 4.80. Gerbang Masjid Al Hikmah
Masjid Al Hikmah tidak memiliki menara. Akan tetapi masjid ini memiliki banyak ragam hias dan ornamen didalamnya, hampir pada semua komponen bangunan meliputi dinding bangunan, pagar, kolom, plafond an atap bangunan. Mulai dari gerbang bangunan memiliki bentuk ukiran yang bermotif tumbuhtumbuhan, manusia dan hewan dimana elemen tersebut dilarang didalam Islam. Pada kolombangunan ragam hias terdapt pada kepala dan kaki kolom, sedangkan pada dinding bangunan meliputi ornament yang ditempel sampai beragam ukiran baik itu berbahan kayu ataupun batu. 4.1.27 Masjid At-Taqwa Kasus ke 27 adalah masjid At Taqwa Masjid ini berada di dalam Komplek Polisi Daerah Bali. Masjid ini pertama berdiri pada tahun 1971 dan direnovasi total pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 1997. Masjid At Taqwa didirikan untuk memenuhi kebutuhan jemaah pegawai Polda dan masyarakat umum yang hendak menggunakan Masjid tersebut. Tidak terdapat fasilitas penunjang khusus di Masjid At-Taqwa akan tetapi pada bagian belakang masjid terdapat beberapa kamar yang digunakan untuk tamu dan pengurus masjid tinggal. Bangunan Masjid
150
At-Taqwa berorientasi kearah kiblat sehingga sejajar dengan shaf jemaah. Masjid ini terdiri dari dua lantai bangunan dimana ruang shalat utama terdapat dilantai bawah sekaligus tempat ruang mihrab berada dan ruang shalat khusus wanita terdapat pada sisi kanan belakang dari arah kiblat masjid dengan pembatas berupa panel kayu berbahan plywood berwarna putih. Lantai atas bangunan masjid digunakan untuk ruang shalat tambahan pada bagian depan bangunan dibuat void yang tembus ke ruang depan pada ruang shalat lantai dasar. Mihrab pada masjid ini memiliki portal berbentuk kubah bawang bertingkat dua dengan bahan berlapis batu granit, pada bagian atas dinding mihrab terdapat kaligrafi berbahan kayu berdiameter sekitar dua meter. Terdapat sebuah mimbar kecil berbentuk kubus berbahan kayu dan bertuliskan Polda Bali dan nama Masjid yang menandakan bahwa masjid tersebut dibawah naungan Polda Bali. Dinding masjid dibuat tertutup permanen dengan marmer sebagai pelapis pada interior bangunan sedangkan pada bangian muka bangunan hanya berupa lapisan cat. Permainan fasad dinding berada pada sekeliling serambi lantai atas dimana terdapat bentuk lengkung setengah lingkaran yang membentuk portal dan dibuat dinding penutup permanen setelah portal secara bergantian dengan finishing menggunakan keramik berukuran seperti batu-bata berwarna merah tua. Kolom dan balok pada bangunan masjid At-Taqwa menggunakan bentuk yang mewakilkan detail sambungan dan ukiran kayu yang umumnya digunakan pada Arsitektur Bali terutama pada bagian lantai atas dan teras pintu masuk utama Masjid. Satu keunikan yang dimiliki masjid ini adalah satu-satunya masjid yang memiliki beduk dari sekian kasus yang ditemukan pada Masjid di Denpasar.
151
Gambar 4.81. Fasad Luar dan Denah Masjid At Taqwa
Atap bangunan Masjid At-Taqwa berbentuk atap tumpang dua dengan bentuk sudut atap semakin mengecil pada ujungnya. Sedangkan untuk plafon masjid mengikuti bentuk atap yaitu dengan menonjolkan struktur atap sebagai elemen estetika bangunan dan untuk mengatur sirkulasi udara agar lebih lancar. Masjid ini tidak memiliki gerbang akan tetapi memiliki pagar keliling dimana sedikit mengadopsi gaya pagar Arsitektur Bali. Untuk tempat wudu‟ berada pada bagian luar bangunan dan bagian selasar belakang masjid. Ragam hias pada masjid ini terdapat pada bentuk balok dan kolom yang menganalogikan ukiran kayu dan juga
152
profil pada fasad luar bangunan. Bagian dalam bangunan terdapat ukiran-ukiran kayu berbentuk kaligrafi yang disusun didepan dinding mihrab dan sebagai ventilasi pada bagian atas bangunan dengan memanfaatkan ukiran tembus.
Gambar 4.82. Bentuk mihrab dan plafon Masjid At Taqwa
4.1.28 Masjid Baitturahman Kasus dua puluhdelapan adalah masjid baitturahman. Masjid Baiturahman sendiri berada pada bagian tengah Dusun Wanasari dimana dahulu lokasi tersebut adalah sebuah bangunan Pura. Posisi bangunan masjid bearada dipersimpangn jalan sehingga memiliki posisi paling strategis di lingkungan tersebut. Akan tetapi bangunan masjid sebelumnya tidak berada di pinggir jalan utama sebelum lahan rumah didepannya dibebaskan untuk dilakukan perluasan masjid. Berdasarkan sejarah nya daerah dusun wanasari dahulunya merupakan kelompok penduduk menengah kebawah dengan matapencaharian utama berupa buruh dan pedagang 153
kecil. Sampai saat ini dapat terlihat lingkungan sekitar bangunan Masjid terlihat sangat padat dan tidak begitu teratur, begitupula dengan estetika bangunan rumah penduduk tidaklah terlalu menjadi prioritas.
Gambar 4.83. Denah Masjid Baitturahman
Pada tahun 1904 M, diatas tanah yang kini bernama Dusun Wanasari telah berdiri sebuah Loji (Tangsi Belanda). Disekitar loji hanya tumbuh alang-alang.
154
Penghuni loji memanfaatkan mata air disekitar jembatan untuk tempat mandi. Pada saat sebelum itu penduduk pendatang sebagian besar menempati tanah disekitar pasar payuk (priuk) Pasar Badung Sekarang. Masjid Baiturrahman yang ada di Kampung Jawa, berdiri sejak 1920-an, hampir bersamaan dengan adanya kuburan Muslim di dekat kampung itu. Di Denpasar ada beberapa pemakaman Muslim, salah satu yang terbesar adalah pemakaman Kampung Jawa. Salah satu keranda milik pemakaman itu terbuat dari bahan kayu jati dan di sisi kepalanya tertulis dengan ukiran tahun 1926, yang menandakan keranda itu dibuat. "Artinya pemakaman sudah ada sejak atau sebelum 1926 dan masjid Baiturrahman pastilah berdiri
lebih
dahulu
ketimbang
pemakamannya,"
kata
takmir
Masjid
Baiturrahman, H Muchtar Basyir. Pembangunan Masjid Kampung jawa pertama kali pada saat kepala dusun dipegang oleh Bapak Suwati (1920-1932) dimana pada masa ini sebenarnya bukan membangun dari awal melainkan memindahkan bangunan masjid dari pertigaan Kampung Jawa ke Lokasi Masjid Baiturrahman sekarang. Dimana pada awalnya adalah bangunan sebuah Pura Sari, yang oleh penyungsungnya pura itu dibongkar dan tanahnya diperuntukan mendirikan Masjid. Perluasan bangunan Masjid Baiturrahman sampai pada kondisi sekarang dibangun pada saat dusun Wanasari dipimpin oleh H Moch Rifai pada tahun 1967 sampai dengan 1995. Posisi Mihrab pada Kampung Jawa berada pada lantai 2 bangunan, dimana Mihrab merupakan ruangan terdepan dimana berfungsi sebagai posisi imam memimpin shalat berjamaah dan tempat khatib menyampaikan khutbah. Pada ruangan lantai 3 digunakan untuk ruang shalat sebagai ruang tambahan pada saat
155
shalat berjamaah. Di kota lain di Indonesia apabila bangunan Masjid terdiri dari dua Lantai atau lebih posisi Mihrab berada pada ruang lantai dasar.
Gambar 4.84. Tangga dan fasilitas penunjang Masjid Baitturahman
4.1.29. Masjid Darussalam
Kasus ke 29 adalah Masjid Darussalam beralamat di Jalan HOS. Cokroaminoto No. 155 Ubung - Denpasar. Masjid ini awalnya berupa bangunan satu lantai akan tetapi mengalami perubahan pada tahun 90 an hingga menjadi tiga lantai masjid ini selain tempat mengerjakan ibadah shalat juga sering digunakan oleh orang-orang yang hendak beristirahat sejenak karena posisi masjid merupakan pintu gerbang dari dan menuju kota denpasar. Bangunan masjid berupa bangunan tiga lantai dimana lantai dasar berfungsi sebagai ruang sholat dan juga tempat beristirahat bagi mereka yang singgah. Lantai dua bangunan berfungsi sebagai ruang shalat utama dimana terdapat ruang mihrab pada sisi bagian barat.Untuk jemaah wanita juga terdapat di sisi belakang sebelah kiri ruang sholat dengan dibatasi tirai. Orientasi bangunan kearah barat dimana terlihat bangunan berupaya untuk berorientasi ke kiblat walaupun bentuk lahan masjid yang kurang beraturan. Meskipun orientasi bangunan berusaha berorientasi ke
156
kiblat akan tetapi susunan shaf masih tetap tidak sejajar. Bentuk arsitektur bangunan Masjid Darussalam secara umum bergaya hipostyle atau timur tengah terlihat pada pada dinding luar bangunan yang menggunakan bentuk lengkung . Pada bagian
atap terjadi penggabungan bentuk atap tumpang dan kubah.
Penggabungan kedua bentuk tersebut juga terlihat pada bentuk plafon bangunan dimana terlihat penonjolan struktur atap limasan dan lengkungan kubah yang memusat pada titik tengah bangunan.
Gambar 4.85. Fasad luar dan denah Masjid Darussalam
157
Ruang utama bangunan masjid terdapat di lantai dua terdapat kolom ditengah ruang sholat yang memutus barisan shaf sholat berjemaah. Ruang mihrab yang juga berada di lantai dua memiliki posisi simetris terhadap ruang memiliki ruang yang menjorok kebagian luar sebelah barat berukuran 2,5 x 2 m, dengan dibatasi portal lengkung berbahan granit berwarna hitam.
Gambar 4.86. Mihrab dan ruang sholat Masjid Darussalam
Pada lantai dasar bangunan Masjid Darussalam tidak memiliki dinding keliling kecuali hanya dibatasi oleh pagar bangunan, sedangkan untuk lantai dua dan tiga bangunan menggunakan dinding bata diplester dengan menggunakan jendela berbahan kayu. Bangunan masjid tidak terlau mengekspos ragam hias ataupun simbol tertentu didalamnya akan tetapi bagian yang paling menonjol adalah tiang bangunan yang dibuat berukuran besar dengan profil pada kaki dan kepala kolom. Masjid ini tidak terdapat gerbang dan menara masjid sedangkan tempat wudhu berada di bagian luar bangunan pada lantai satu dan bagian dalam sejajar mihrab pada lantai dua bangunan.
4.1.30. Masjid Al Furqon Gatsu
Masjid terakhir yang diangkat kedalam kasus yaitu Al Furqon Gatsu. Masjid ini berada pada sisi jalan berada pada ketinggian kontur sekitar lima meter terhadap jalan. Masjid memiliki ukuran denah hanya sekitar 8 x 12 m, berbentuk
158
bangunan tiga lantai. Orientasi bangunan masjid ini tidak sejajar dengan orientasi shaf shalat berjemaah dimana posisi bangunan sejajar dengan bentuk lahan yang sejajar dengan jalan. Bagian dasar bangunan bersifat semi terbuka tidak memiliki pintu tetapi dibatasi oleh dinding masif berlapiskan batu marmer pada permukaan dalam dan luar bangunan, akses masuk masjid setelah melewati pagar depan berupa portal yang ditopang beberpa deret kolom. Sedangkan untuk menuju lantai atas bangunan tangga berada pada sisi kanan diluar ruang lantai dasar. Posisi mihrab bangunan ini berada pada pojok kanan bagian barat dengan posisi mihrab tegak lurus terhadap arah kiblat.
Gambar 4.87. Fasad Luar,Ruang Sholat dan Denah Masjid Al Furqon Gatsu
159
Kolom dan lengkung portal pada bangunan masjid meniru bentuk detail pada Arsitektur Masjidil Haram di Mekah sehingga hampir tidak ditemukan ragam hias atau elemen bernuansa arsitektur Bali. Begitupula dengan lambang atau ornamen Islam tidak dijumpai pada bangunan ini melainkan hanya detail pada mihrab dan pintu masuk dengan menggunakan bentuk lengkung dan profil khas Timur Tengah. Masjid Al Furqon ini tidak memiliki bentuk atap baik itu kubah ataupun atap tumpang karena pada bagian atasnya dibuat datar dengan menggunakan plat beton bertulang sehingga bangunan menyerupai bangunan gedung atau ruko. Bangunan Masjid Al Furqon tidak memiliki gerbang dan menara.
Gambar 4.88. Bentuk Portal pada Pintu Masuk dan Mihrab Masjid Al Furqon Gatsu
160
4.2 Bentuk Ruang Masjid di Denpasar Fungsi ruang utama bangunan masjid adalah ruang sholat, sehingga setiap bangunan masjid selalu berupaya untuk mengoptimalkan luasan ruang utamanya baru kemudian diikuti ruang penunjang. Ruang utama masjid juga sering digunakan untuk mendengar khotbah dan ceramah agama sehingga secara fisik dituntut menampung luasan yang optimal. Pengurus atau pendiri masjid umumnya memiliki pandangan berbeda terhadap bentuk ruang sholat yang ideal, Secara fisik mereka memiliki pandangan yang sama yaitu memiliki ruangan yang luas, penerangan alami yang cukup dan ventilasi udara yang baik, tetapi berdasarkan pemahaman pengurus atau pendiri masjid terhadap tuntunan Al Quran dan hadist mereka memiliki pandangan yang berbeda. pandangan mereka yang memegang tuntunan Al-Quran dan Hadist Rancangan ruang sholat yang baik adalah tidak terdapat penghalang ditengah ruangan baik itu berupa dinding ataupun tiang karena sholat berjamaah makmun harus merapatkan shaf sehingga apabila terdapat sesuatu yang menghalangi maka harus mengulang kembali shalatnya, hal ini salah satunya sesuai dengan hadist riwayat Abu Daud no: 682 , Tirmidzi 230-231: ”Shalat tidak sah atau harus diulang apabila sendirian di shaf belakang atau terdapat tiang masjid yang menghalangi” Rancangan masjid yang berpegang teguh pada hadist tersebut umumnya tidak memiliki tiang yang akan memotong susunan shaf serta tidak memiliki serambi keliling yang dibatasi oleh dinding, karena dikhawatirkan akan digunakan untuk sholat. Yayasan atau pengurus masjid yang memegang teguh aturan ini
161
biasanya menempelkan poster atau tulisan di depan pintu masuk masjid mengenai aturan shalat berjemaah yang benar berdasarkan Al-Quran dan Hadist. Adapun pandangan
kelompok
yang kurang memahami atau memiliki
pandangan lain merasa keberadaan tiang atau dinding tidak merupakan suatu permasalahan walaupun mereka mengakui ruang sholat ideal tanpa ada penghalang tiang ataupun dinding, sehingga pada pintu masuk masjid tidak dipasang poster atau tulisan mengenai tuntunan sholat tersebut.
Gambar 4.89. Fungsi Serambi yang dijadikan Ruang Sholat
162
Dapat disimpulkan terdapat dua macam bentuk ruang masjid di Denpasar yang pertama susunan shaf makmum tidak ada yang menghalangi baik itu berupa dinding atau tiang kemudian bentuk yang kedua shaf terputus oleh tiang atau dinding. Bentuk ruang pertama dibagi lagi menjadi dua yaitu ruangan yang bebas tiang dan ruangan bertiang tetapi jarak baris shaf jemaah diatur agar tidak sejajar dengan tiang (lihat tabel 4.1). Bentuk ruang utama masjid didenpasar umumnya berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang adapun permainan bentuk lainnya hanya pada ruang penunjang atau dinding diluar ruang sholat saja. Bentuk bujur sangkar atau persegi panjang yang simetris selain memudahkan struktur atapnya juga penggunaan ruang lebih optimal. Tabel 4.1 Bentuk Susunan Sholat Masjid di Denpasar
No Ragam Susunan Sholat
Keterangan Gambar
1. Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat yang paling dianggap ideal karena shaft lurus dan rapat tanpa ada penghalang.
163
2. Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat yang masih mempertahankan susunan shaft meskipun terdapat tiang ditengah ruang karena shaf makmum disesuaikan posisinya.
3. Susunan shaft berjemaah ini merupakan susunan sholat dimana posisi tiang bangunan memutus shaf makmum berbeda dengan kasus sebelumnya dimana posisi shaf disesuaikan.
4. Bentuk susunan terakhir adalah shaft benar-benar terputus oleh dinding permanen, dimana umumnya peralihan ruang sholat utama terhadap selasar atau serambi masjid.
Morfologi ruang sholat pada masjid di Denpasar Bali umumnya terdapat tiang ditengah ruang utama akan tetapi dalam perkembangannya morfologi ruang masjid mengarah pada bentuk susunan ruang tanpa pembatas kolom maupun
164
dinding yang memutus shaf sholat berjamaah. Selain susunan shaf pemisahan gender menjadi kajian penting didalam bangunan masjid di Denpasar. Ruang sholat pada bangunan masjid terbagi menjadi dua yakni ruang sholat untuk makmum laki-laki dan ruang sholat untuk wanita, data yang diperoleh dari 30 kasus hampir dari semua kasus memiliki pandangan yang sama mengenai aturan ini akan tetapi ada yang sangat fanatik (memegang kuat aturan) dan ada yang tidak terlalu kuat didalam pelaksanaanya. Aturan dasar menyusun jemaah sholat adalah bagi pria dimulai dari shaf terdepan sedangkan bagi shaf wanita dimulai dari shaf belakang yang menjadi dasar pegangan bagi pengurus, jemaah dan pendiri masjid adalah hadist riwayat Muslim no:440, Abu daud no:678, Nasa‟i no:819 yang berbunyi: ” Sebaik baik shaf kaum laki-laki adalah yang pertama, dan yang paling buruk adalah yang paling akhir, sebaik baik shaf kaum wanita adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang paling depan.” Pada ruang utama masjid di denpasar ruang sholat wanita terletak pada bagian belakang makmum laki-laki baik itu sebelah kiri atau sebelah kanan, akan tetapi yang membedakan pandangan mereka adalah mengenai pembatas atau hijab antara makmum laki-laki dan wanita sehingga dapat dilihat sejauh mana keyakinan atau pemahaman mereka mengenai hal tersebut dapat dilihat dari pembatas yang mereka buat antara makmum laki-laki dan perempuan. Semakin permanen atau semakin tertutup hijab jemaah laki-laki dan perempuan berarti menggambarkan pengurus semakin paham atau memegang teguh aturan tersebut . Pembatas antara makmum laki-laki dan wanita sangat penting dilakukan hal ini
165
didasari oleh QS An-Nuur ayat 30-31(tafsir Ibnu Katsir) & Riyadhus Shalihin 2/171-224: ” Sutra atau tirai sebagai alat atau sarana hijab untuk mencegah timbulnya fitnah dan dosa akibat pandangan dan lirikan pada saat sebelum dan sesudah shalat serta mencegah pria dari dosa akibat lewat didepan wanita yang sedang shalat” Terdapat empat jenis pembatas ruang sholat laki-laki dan wanita pada bangunan masjid di denpasar yaitu; berupa tirai , partisi kayu atau rotan, dinding pembataspermanen dan perbedaan lantai bangunan. Partisi berupa tirai merupakan pembatas yang digunakan dengan menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa digeser atau dipindahkan. Tabel 4.2 Penggunaan Pembatas Ruang Sholat Jemaah Laki-laki dan Perempuan Masjid di Denpasar No
No Kasus
Jenis Partisi Nama Masjid Tirai/ Kain
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7 Kasus 8 Kasus 9 Kasus 10 Kasus 11 Kasus 12 Kasus 13
AN-NUR AL-FURQON AGUNG SUDIRMAN AL-FALAQ AL-GHURABAH AL IKHLAS NURULLAH QUBA NURUT TAQWA SUCI RAYA UKKHUWAH AL-IKHLAS BAITUL MAKMUR
x x -
Dinding Kayu/Anya man tidak permanen x x x x x
Partisi kaca/ dinding permanen
Perb Lantai
x x x -
x x -
166
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kasus 14 Kasus 15 Kasus 16 Kasus 17 Kasus 18 Kasus 19 Kasus 20 Kasus 21 Kasus 22 Kasus 23 Kasus 24 Kasus 25 Kasus 26 Kasus 27 Kasus 28 Kasus 29 Kasus 30
BINA TAQWA AL-MUHAJIRIN(IKMS) BAITUL MUQIMIN AR-RAHMAT AL-QOMAR AL-MUHAJIRIN SADAR BAITUL MUKMININ AL-FALAH ASY-SYUHADA AL-IHSAN AR-RAHMAN AL-HIKMAH AT-TAQWA BAITTURAHMAN DARUSSALAM AL-FURQON (Gatsu)
x x x x -
x x x
x x -
x x x x -
x = ditemukan, - =tidak ditemukan
Partisi
berupa
tirai
merupakan
pembatas
yang
digunakan
dengan
menggunakan kain dimana pembatas ini bisa dipindahkan dan dibuka pada kondisi tertentu misalnya pada saat sholat jum‟at dimana kaum wanita tidak diwajibkan mengerjakannya maka ruangan sholat wanita digunakan untuk keperluan makmum laki-laki sehingga pembatas tirai bisa digeser atau dipindahkan. Pembatas hijab yang menggunakan tirai dan partisi bergerak memiliki keuntungan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan jemaah karena pada saat sholat fardu memang tidak terlalu besar akan tetapi pada saat tarawih jumlahnya bisa berimbang sehingga tirai bisa digeser posisinya membelah jemaah laki-laki dan wanita. Untuk masjid berukuran cukup besar maka pembatas ruang makmun laki-laki dan wanita dipisahkan secara tegas akan tetapi pembatasnya dibuat transparan atau memanfaatkan bangunan lantai atas untuk jemaah wanita sehingga kontak langsung dapat dihindarkan.
167
Gambar 4.90 Pembatas Hijab Ruang Sholat Wanita
Pembahasan selanjutnya adalah ruang penunjang masjid di Denpasar meliputi; ruang aula, ruang belajar mengaji, ruang takmir, ruang pengurus masjid, ruang penyimpanan perlengkapan, ruang wudhu, retail atau toko dan ruang kelas untuk TPQ atau TPA. Ruang aula adalah ruang di dalam masjid yang digunakan untuk pertemuan-pertemuan yang membutuhkan kapasitas yang cukup besar biasanya dimanfaatkan untuk menyelenggarakan acara syukuran, akad nikah dan resepsi. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari berbagai pengurus masjid ada yang menganggap ruang yang digunakan sebagai ruang sholat dapat
168
juga berfungsi sebagai ruang sholat akan tetapi pendapat lain yang muncul bahwa dengan menyatukan kedua fungsi tersebut dikhawatirkan kebersihan ruang sholat akan terganggu sehingga ruang aula sebaiknya terpisah dengan ruang sholat. Ruang berikutnya adalah ruang
belajar mengaji
dimana mayoritas tidak
menggunakan ruang khusus melainkan memanfaatkan ruang pojok diruang sholat atau ruang sholat tambahan baik itu dilantai bawah atau lantai atas ruang sholat utama, ruang belajar mengaji juga sering memanfaatkan serambi bangunan sehingga kesucian ruang sholat utama tetap terjaga. Ruang lainnya adalah ruang takmir yang berfungsi untuk pengurus masjid yang bertindak sebagai penyelenggara sholat fardu baik itu sebagai imam atau yang menyiapkan peralatan untuk kegiatan ibadah masjid, adapun posisi ruang takmir umumnya terletak dibagian depan sejajar dengan mihrab dan tergabung dengan ruang audio dan penyimpanan untuk keperluan ruang utama. Ruang selanjutnya adalah ruang pengurus masjid yang dimanfaatkan untuk keperluan administrasi, perawatan dan pemanfaatan masjid jumlah dan besaran ruang pengurus beragam tergantung fasilitas penunjang yang diberikan masjid misalnya, mengadakan bimbingan ibadah haji, zakat, sekolah , dan ruang serba guna maka membutuhkan ruang pengurus yang cukup besar. Posisi dan bentuk ruang pengurus menyesuaikan dan memanfaatkan ruang-ruang yang tidak bisa digunakan untuk ruang sholat. Ruang penting pada bangunan masjid selanjutnya adalah ruang wudhu. Ruang wudhu merupakan ruangan yang digunakan sebagai ritual pertama sebelum melaksanakan sholat dimana sarana yang digunkan untuk berwudhu adalah air
169
sehingga ruangan ini bersifat basah, pada dasarnya ruang wudhu tidak memerlukan dinding partisi permanen sehingga posisinya bisa diluar bangunan atau dilapangan terbuka, akan tetapi ruang wudhu khusus wanita memiliki persyaratan tersendiri hal ini dikarenakan adanya hijab antara laki-laki dan wanita sehingga diperlukan ruang wudhu tertutup untuk jemaah wanita. Tempat wudhu pada masjid di Denpasar umumnya menggunakan kran air untuk berwudhu sehingga kalau melihat ciri-ciri masjid tua yang dikemukakan oleh Pijper dan Tjandra sasmita bahwa terdapat kolam pada bangunan masjid tua di Indonesia dimana kolam tersebut berfungsi sebagai tempat untuk mengambil wudhu, di Denpasar tidak ditemukan masjid yang menggunakan kolam. Untuk ruang wudhu masjid di Denpasar terbagi menjadi dua yaitu ada yang menggunakan ruangan khusus dan menggunakan pojok halaman masjid dengan menempel dipagar masjid. Karena berwudhu merupakan urutan pertama didalam melaksanakan ibadah sholat maka pergerakan jemaah wanita dan laki-laki harus diperhatikan akan tetapi hanya sedikit bangunan masjid yang membuat jalur dan susunan ruang khusus sehingga ruang sholat wanita dan tempat wudhunya memiliki jalur khusus. Hanya beberapa kasus yang memiliki tempat wudu‟ khusus wanita sekaligus memperhatikan pergerakan sesudah wudu‟ tanpa bersinggungan langsung dengan jemaah laki-laki, sedangkan pada kasus lain ruang sholat atau menuju ruang sholat masih belum sepenuhnya tertutup sehingga makmum lakilaki dan wanita masih bisa saling terlihat.(lihat tabel 4.3)
170
Tabel 4..3 Konsep Pemisah Wudu‟ Laki-Laki dan Perempuan Konsep Pembatas No
Nomor Kasus
Nama Masjid
1 Kasus 1 AN-NUR 2 Kasus 2 AL-FURQON 3 Kasus 3 AGUNG SUDIRMAN 4 Kasus 4 AL-FALAQ 5 Kasus 5 AL-GHURABAH 6 Kasus 6 AL IKHLAS 7 Kasus 7 NURULLAH 8 Kasus 8 QUBA 9 Kasus 9 NURUT TAQWA 10 Kasus 10 SUCI 11 Kasus 11 RAYA UKKHUWAH 12 Kasus 12 AL-IKHLAS 13 Kasus 13 BAITUL MAKMUR 14 Kasus 14 BINA TAQWA 15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) 16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN 17 Kasus 17 AR-RAHMAT 18 Kasus 18 AL-QOMAR 19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN 20 Kasus 20 SADAR 21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ 22 Kasus 22 AL-FALAH 23 Kasus 23 ASY-SYUHADA 24 Kasus 24 AL-IHSAN 25 Kasus 25 AR-RAHMAN 26 Kasus 26 AL-HIKMAH 27 Kasus 27 AT-TAQWA 28 Kasus 28 BAITTURAHMAN 29 Kasus 29 DARUSSALAM 30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) X = ditemukan, - = tidak ditemukan
Tempat Wudu Terpisah x x x x x x x x x x x x x x x x -
Jalur Khusus Menuju rg sholat x x x x x -
Tempat Wudhu Bergabung x x x x x x x x x x x x x x
4.3 Pengaruh Arah Kiblat dan Bentuk lahan terhadap Ruang Masjid Arah kiblat mempengaruhi bentuk ruang dan susunan ruang Masjid di Denpasar, pada dasarnya yang menjadi pedoman didalam merencanakan ruang masjid adalah menghadap kiblat dan mampu menampung banyak jemaah dan tidak memutus shaf sholat. Di kota denpasar didalam menentukan kiblat maka sebelum membangun masjid panitia pembangunan masjid menghubungi BMG
171
(Badan Metereologi Geofisika untuk menentukan kordinat arah kiblat dimana berdasarkan data yang didapatkan dilapangan masjid di denpasar memiliki arah kiblat 34,50o dari arah barat menuju utara, setelah ditemukan kordinat tersebut maka diajukan ke pengadilan agama untuk mendapatkan keabsahan data. Permasalahan arah kiblat sering menjadi perdebatan didalam kelompok pengurus maupun jemaah masjid, sebagian ada yang sangat meyakini bahwa kiblat sholat adalah Kabah di Masjidil Harram Mekah sehingga arahnya harus benar sedangkan ada yang berpendapat masih terdapat toleransi beberapa derajat karena jauhnya jarak antara Indonesia dan Mekah sehingga sulit untuk mendapatkan arah tersebut, simpangan arah kiblat juga ditemukan pada orientasi kiblat masjid Nabawi ternyata juga tidak terlalu tepat ke Kabah. Akan tetapi peneliti tidak mendalami pandangan apa yang benar dari kedua tersebut akan tetapi hal ini perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap morfologi ruang masjid. Pada kasus 01 orientasi masjid ke arah Barat sehingga diamati banyak jemaah yang tidak sejajar orientasinya sehingga terdapat jemaah yang mengulang kembali sholatnya, pada kasus 01 juga terdapat tempelan poster yang berisikan mengenai aturan arah kiblat berdasarkan hadist yang tidak terlalu menguatkan keakuratan arah kiblat, hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan paham diantara jemaah. Analisa arah kiblat merupakan bagian penting sebelum memulai pendirian masjid. Dimana sejatinya setiap masjid berusaha mendapatkan orientasi yang tepat ke Kabah sehingga berdasarkan hasil pengamatan teknologi memiliki pengaruh yang kuat terhadap penentuan arah kiblat. Temuan teknologi kompas dan GPS sedikit banyak mempengaruhi dan membantu didalam menentukan arah
172
yang benar sehingga kecendrungan masjid tua yang didirikan sebelum mengenal teknologi tersebut memiliki orientasi yang kurang tepat sedangkan untuk masjid yang baru didirikan sudah mengorientasikan bangunannya kearah kiblat. Kemajuan
teknologi
membuat
pemerintah
melalui
Departemen
Agama
mengadakan penyesuaian arah kiblat yang benar bagi masjid-masjid yang sudah berdiri sehingga banyak masjid di Denpasar yang arah sholatnya tidak sejajar dengan arah bangunan, akan tetapi untuk beberapa kasus tetap mempertahankan orientasi nya sejajar bangunan karena selain menganggap ada toleransi arah juga pemanfaatan kapasitas jemaah lebih optimal apabila kiblat sejajar dengan dinding bangunan. tahun pendirian masjid juga berpengaruh terhadap orientasi ini terutama untuk masjid yang didirikan diatas tahun 1980 memiliki arah orientasi yang sejajar, kecuali untuk bangunan masjid yang berada di lahan yang sangat sempit. (lihat gambar 4.91) Tabel 4. 4 Orientasi Bangunan dan Arah Kiblat Masjid di Denpasar Konsep Pembatas No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nomor Kasus
Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7 Kasus 8 Kasus 9 Kasus 10 Kasus 11 Kasus 12 Kasus 13 Kasus 14
Nama Masjid
AN-NUR AL-FURQON AGUNG SUDIRMAN AL-FALAQ AL-GHURABAH AL IKHLAS NURULLAH QUBA NURUT TAQWA SUCI RAYA UKKHUWAH AL-IKHLAS BAITUL MAKMUR BINA TAQWA
Arah Kiblat Tidak Sejajar
Bangunan Mengikuti Arah Kiblat
Arah Kiblat Mengikuti Bangunan
TIPE A x x x x
TIPE B x x x x x x -
TIPE C x x x x -
173
15 Kasus 15 AL-MUHAJIRIN(IKMS) 16 Kasus 16 BAITUL MUQIMIN 17 Kasus 17 AR-RAHMAT 18 Kasus 18 AL-QOMAR 19 Kasus 19 AL-MUHAJIRIN 20 Kasus 20 SADAR 21 Kasus 21 BAITUL MUKMININ 22 Kasus 22 AL-FALAH 23 Kasus 23 ASY-SYUHADA 24 Kasus 24 AL-IHSAN 25 Kasus 25 AR-RAHMAN 26 Kasus 26 AL-HIKMAH 27 Kasus 27 AT-TAQWA 28 Kasus 28 BAITTURAHMAN 29 Kasus 29 DARUSSALAM 30 Kasus 30 AL-FURQON (Gatsu) X = ditemukan , - = tidak ditemukan
x x x x
x x x x x x x x -
x x x x -
Dari analisa tabel diatas dari 30 kasus terdapat tiga bentuk orientasi arah kiblat pada masjid di denpasar yaitu; pertama, bangunan masjid tetap menghadap arah barat akan tetapi arah shaf tetap mengarah ke kiblat, kedua orientasi ruang sholat utama atau masjid keduanya menghadap arah kiblat kemudian bentuk yang ketiga arah bangunan berbeda tipis terhadap arah kiblat sehingga shaf tetap sejajar dengan dinding depan bangunan. Berdasarkan analisa data dilapangan kecendrungan orientasi masjid dengan melihat melihat arah perkembangan bentuk masjid, bangunan masjid berupaya untuk
mensejajarkan antara orientasi
bangunan dan orientasi sholat. Penentuan konsep arah kiblat adalah dasar didalam membentuk morfologi ruang masjid di Denpasar sehingga setelah melihat bentuk tapak orientasi dan bentuk ruang saling mengisi dan menyesuaikan agar penggunaan lahan optimal.
174
Gambar 4.91. Orientasi Kiblat Masjid di Denpasar
Ruangan sholat idealnya antara orientasi bangunan dan arah kiblat sejajar sehingga selain ruang terkesan terencana juga memberikan nilai yang lebih terhadap bentuk ruang dalam yang justru lebih optimal penggunaannya. Masjid didenpasar umumnya memiliki orientasi kiblat Tipe B.
4.4 Analisis Bentuk Arsitektural Analisis arsitektural meliputi analisis morfologi terhadap bagian dasar, tubuh, atap, serta komponen-komponen pendukung yang terdapat pada masjid di Denpasar Bali. Analisa terhadap bagian tersebut diperinci lagi menjadi bagian dasar (pondasi), tubuh (ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom
175
atau portal, serambi), atap dan komponen-komponen tambahan (gerbang,menara dan tempat wudhu‟). 4.4.1
Analisis Bagian Dasar Bangunan
Pondasi merupakan komponen yang menghubungkan bangunan dengan tanah. Didalam mendirikan bangunan diatas pondasi beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu kedalam dan kondisi tanah. Selain faktor struktur pondasi bangunan juga menentukan pencitraan bangunan sehingga ketebalan pondasi atau dasar bangunan memberikan nilai ruang tersendiri. Apabila melihat kondisi lingkungan sekitar maka pondasi bangunan umumnya di Denpasar menggunakan bahan batu kali. Ketebalan pondasi berperan menentukan ketinggian lantai dasar dari tanah dimana menjadi ciri bangunan di Bali baik itu Bale maupun rumah tinggal. Konsep penebalan ini juga diterapkan bangunan masjid di Denpasar. Perbedaan ketinggian lantai yang jauh dari tanah digunakan karena dapat menjaga kesucian masjid dan membentuk ruang pembatas semu antara ruang dalam dan luar masjid. Pada dasarnya tidak ada filosofi dari arsitektur Islam yang mengatur mengenai ketinggian pondasi sehingga beberapa masjid memiliki pondasi yang tinggi yang menyerupai bangunan pada rumah tradisional Bali. Bagian dasar bangunan yaitu berupa kaki bangunan pada arsitektur bali terdapat ragam hias yang melengkapinya, hal ini juga terdapat pada beberapa kasus bangunan masjid di Denpasar.
176
Gambar 4.92 Fundamen Lantai dasar Masjid di Denpasar
4.4.2
Analisis Bagian Tubuh Masjid
Analisis pada bagian tubuh masjid meliputi analisis terhadap bagian-bagian komponen yang berada pada tubuh masjid seperti; ruang utama, mihrab, mimbar, dinding bangunan, kolom atau portal, dan serambi, berikut ini merupakan pembahasan dari komponen-komponen dari bagian tubuh masjid tersebut. 4.4.2.1 Ruang Utama Ruang utama merupakan satu komponen utama pada suatu bangunan masjid yang berfungsi untuk tempat jemaah melakukan ibadah sholat. Pada masjidmasjid di Indonesia pembagian ruang pada umumnya terdiri dari beberapa ruangan, yaitu ruang utama berbentuk bujur sangkar yang dibatasi dinding pada setiap sisinya dengan penonjolan pada bagian mihrab.pada bagian lainnya didalam ruang utama dipisahkan untuk tempat sholat kaum wanita dan anak-anak. Kemudian terdapat ruang serambi yang berupa ruang terbuka lebar berfungsi untuk melaksanakan kegiatan keagamaan serta tempat menyimpan beduk untuk memberi tanda waktu sholat (Rochim dalam Agus, 1999:88) Masjid di Denpasar Bali memeiliki bentuk denah bujur sangkar dan persegi panjang dibagian dalam masjid biasanya terdiri dari beberapa ruangan sehingga memiliki perbedaan dengan ruang sholat pada masjid di Indonesia pada umumnya
177
dimana ruangan tidak terbagi-bagi. Ruangan Utama pada bangunan masjid di Bali memiliki pendekatan bagaimana untuk menampung jemaah semaksimal mungkin dan mengatur sirkulasi udara yang optimal sehingga rancangan masjid banyak yang menyesuaikan bangunan arsitektur bali dimana bangunan di dalam tapak dibuat tanpa dinding. Karena tidak ada aturan konsep dinding didalam Islam maka bentuk tersebut di pakai pada beberapa bangunan Masjid di Denpasar, sehingga bangunan masjid dibuat pagar keliling kemudian ruangan utamanya dibuat terbuka. Konsep tanpa dinding pembatas membuat kapasitas sholat lebih optimal sehingga jemaah bisa memanfaatkan ruang serambi atau selasar karena tidak ada dinding yang bisa memutus shaf sholat.
Gambar 4.93 Konsep Dinding terbuka Masjid di Denpasar
178
Bentuk masjid dengan konsep terbuka ini merupakan salah satu indikasi arsitektur Bali mempengaruhi arsitektur masjid, karena konsep ini biasanya terdapat pada bangunan bale pada bangunan suci maupun rumah tinggal. 4.4.2.2 Mihrab Pengertian mihrab yang dikenal sekarang adalah sebuah ruangan didalam masjid tempat imam memimpin sholat, terletak disisi barat laut masjid sebagai arah tanda kiblat. Pada umumnya mihrab masjid di Indonesia terletak pada dinding barat masjid tepatnya dibagian tengah dibagian barat masjid dan berjumlah satu buah. Di negara-negara Islam, jumlah mihrab didalam sebuah masjid terkadang lebih dari satu dan mihrab tersebut tempat para imam dari masing-masing mazhab yang terdapat disana (Aboebakar dalam Fanani,2009) Berdasarkan kasus masjid Di Kota Denpasar tidak ditemukan masjid yang memiliki dua buah mihrab dan memiliki bentuk ruang mihrab yang relatif sama yaitu berupa bujur sangkar dan persegi panjang yang melintang terhadap arah kiblat yang menjorok keluar. Bentuk tampak mihrab pada majid di Denpasar umumnya terdiri dari lima tipe bentuk dasar pertama bentuk portal melengkung dengan kubah bawang tidak bertingkat dan bertingkat yang kedua bentuk lengkung berupa setengah lingkaran tidak bertingkat dan bertingkat.bentuk ketiga gabungan kubah bawang dan setengah lingkaran, bentuk keempat bentuk segitiga dan yang kelima berbentuk datar. Bentuk dasar tipe pertama merupakan bentuk portal mihrab yang menggunakan bentuk lengkung yang dikenal dengan kubah bawang dimana terdiri dari dua jenis yaitu bentuk kubah satu tingkat dan bentuk kubah yang bertingkat
179
dua atau lebih. Bentuk dasar mihrab tipe kedua merupakan bentuk portal yang berupa lengkungan setengah lingkaran dimana terbagi menjadi dua bentuk lengkung yaitu tidak bertingkat dan bertingkat. Bentuk dasar tipe tiga merupakan bentuk mihrab dengan memiliki bentuk dasar gabungan dari tipe satu dan dua, dimana. Bentuk tipe keempat adalah mihrab yang berbentuk segitiga. Sedangkan bentuk terakhir adalah berbentuk datar berupa persegi panjang. Tabel 4.5 Bentuk Ambang Mihrab Masjid di Denpasar No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nomor Kasus
Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7 Kasus 8 Kasus 9 Kasus 10 Kasus 11 Kasus 12 Kasus 13 Kasus 14 Kasus 15 Kasus 16 Kasus 17 Kasus 18 Kasus 19 Kasus 20 Kasus 21 Kasus 22 Kasus 23 Kasus 24 Kasus 25 Kasus 26 Kasus 27 Kasus 28 Kasus 29 Kasus 30
Nama Masjid
AN-NUR AL-FURQON AGUNG SUDIRMAN AL-FALAQ AL-GHURABAH AL IKHLAS NURULLAH QUBA NURUT TAQWA SUCI RAYA UKKHUWAH AL-IKHLAS BAITUL MAKMUR BINA TAQWA AL-MUHAJIRIN(IKMS) BAITUL MUQIMIN AR-RAHMAT AL-QOMAR AL-MUHAJIRIN SADAR BAITUL MUKMININ AL-FALAH ASY-SYUHADA AL-IHSAN AR-RAHMAN AL-HIKMAH AT-TAQWA BAITTURAHMAN DARUSSALAM AL-FURQON (Gatsu)
Konsep Bentuk Portal Mihrab 1. Kubah Bawang
2. Setengah Lingkaran
3. Kombinasi 1&2
4. Segitiga
5. Datar
x x x x x x x x x -
x x x x x x x
x x x x x x -
x x x -
x x x x x x x -
X = ditemukan , - = Tidak ditemukan
180
Dari ketiga puluh kasus bentuk mihrab masih kental nuansa arsitektur Timur Tengah tidak ditemukan mihrab yang menggunakan ragam hias arsitektur Bali sehingga pada bagian paling inti memberikan makna resistensi yang kuat terhadap pengaruh lingkungan.
Gambar 4.94 Foto Mihrab Masjid di Denpasar
4.4.2.3 Mimbar Mimbar merupakan tempat yang digunakan untuk berkhotbah atau memberikan ceramah untuk menyampaikan suatu berita (pengumuman) pada jemaah sholat. Umumnya hal ini diberikan khotib yang menyampaikan khotbah sebelum
menyelenggarakan
sholat
Jum‟at.
Umumnya
didalam
khotbah
dikemukakan masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Kata mimbar berarti tempat duduk, kursi maupun tahta. Mimbar telah menjadi bagian dari masjid sejak zaman Rasulullah. Mimbar juga telah digunakan
181
rasulullah untuk mengajar, serta menyiarkan pengumuman penting seperti mengharamkan minuman keras (Aboebakar,1955). Pada umumnya mimbar terbuat dari bahan kayu yang dipenuhi dengan hiasan dan ukiran. Mimbar dinegara-negara Islam atau mimbar tua di Indonesia umumnya berbentuk kursi yang tinggi dan memiliki tangga. Akan tetapi tidak seperti mimbar pada Mssjid di Denpasar Bali dimana pada umumnya mimbar hanya berupa kotak yang terdapat tempat duduk dibaliknya yang tidak memiliki anak tangga untuk mencapai keatas mimbar dan tidak memiliki atap penutup mimbar yang biasanya berbentuk setengan kubah pengaruh dari seni timur tengah dan biasanya terdapat pada masjid tua di Indonesia.
Gambar 4.95 Mimbar Masjid di Denpasar
4.4.2.4 Pola Dinding Luar Masjid di Denpasar Dinding bangunan merupakan komponen penting yang membentuk wajah bangunan. dinding bangunan bisa berupa jendela, pintu dan tiang yang membentuk kesatuan satu sama lainnya. Pada pembahasan mengenai dinding pada bangunan masjid peneliti tidak menggambarkan bagian per unit melainkan mencari modulasi pengulangan fasad dinding bangunan tersebut. Jendela pada bangunan masjid di Denpasar tidak memiliki bentuk yang khusus justru permainan bidang dinding dan kolom nya menjadi satu kesatuan dengan jendela. 182
Berdasarkan beberapa kasus elemen pembentuk dinding masjid di Denpasar menggunakan bentuk dasar setengah kubah lingkaran. Sedangkan hanya pada satu dua kasus yang menggunakan bentuk segitiga atau kubah bawang.
Gambar 4.96. Ragam Fasad Masjid di Denpasar
Bentuk fasad bangunan masjid di Denpasar umumnya tidak terlepas dari bentuk lengkung berupa tembereng lingkaran maupun kubah bawang, hal ini mencitrakan masih kuatnya pengaruh Arsitektur Timur Tengah
terhadap
bangunan masjid di Denpasar Bali, walaupun pada bagian fasad masjid menggunakan bahan dan tekstur Arsitektur Bali keberadaan bentuk ini.
183
4.4.2.5 Kolom dan Portal Salah satu yang menjadi elemen penting didalam komponen masjid adalah kolom dan portal. Kolom atau tiang merupakan komponen yang berfungsi sebagai struktur yang menopang dinding dan atap bangunan akan tetapi keberadaannya juga dimanfaatkan untuk menempatkan elemen dekorasi dan nilai tambah estetika bangunan. Sedangkan portal adalah balok penghubung diantara dua kolom atau tiang dimana didalam arsitektur masjid bentuk lengkung antar tiang menjadi ciri khas rancangan masjid. Adapun keberadaan kolom maupun portal didalam masjid justru secara fungsi mengganggu pemanfaatan ruang yang efektif karena umumnya rancangan masjid membutuhkan ruangan yang lebar tanpa kolom ditengah ruang. Akan tetapi menurut Setiabudi (2006), yang menjadi ciri khas masjid di Jawa yang mempengaruhi arsitektur masjid di Asia Tenggara adalah keberadaan kolom atau tiang di tengah ruangan yang berjumlah empat buah yang dikenal dengan istilah soko guru. Apabila melihat dari segi fungsi keberadaan tiang tersebut semata-mata sebagai struktur penopang atap tumpang akan tetapi soko guru didalam masjid Demak memiliki makna simbolik Merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga yang berjumlah 4. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal. keberadaan soko guru juga ditemukan pada masjid tua di Nusantara
184
dan Asia Tenggara seperti Malaysia.
Prinsip kesetiaan kepada agama dan
adaptasi kepada budaya lokal memungkinkan Arsitektur Islam menerima warisan budaya agung arsitektur peninggalan Yunani, Romawi, maupun Kristiani kolom dan portal merupakan sebagian elemen yang diwarisi akan tetapi ciri khas portal pada masjid di Timur Tengah menggambarkan lengkungan pada dahan pohon kurma dimana sering digunakan oleh orang untuk duduk bersandar (Fanani, 2009 hal 56-60). 4.4.2.6 Serambi Serambi merupakan teras yang memanjang di sekeliling dinding luar masjid atau pada bagian sisi tertentu. Banyak penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia dilengkapi dengan serambi keliling seperti yang dikemukakan oleh de graff dalam Nas dan Vletter (2009), bahwa salah satu ciri dari masjid di Jawa memiliki serambi keliling, hal serupa juga dikemukakan oleh Pijper dalam Nas dan Vletter bahwa masjid di Jawa memiliki beranda baik di sebelah depan (timur) atau samping yang disebut Surambi atau Siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Tjandrasasmita (2009) ,dimana menurut beliau masjid-masjid kuno di Indonesia mempunyai serambi di depan atau disamping ruangan utama masjid. Sedangkan Setiabudi (2006), menyebutkan masjid di Jawa dilengkapi dengan Serambi atau pendopo, serambi pada masjid di Jawa umumnya berupa bangunan dengan massa terpisah dengan bangunan masjid yaitu menyerupai pendopo seperti pada Masjid Demak. Penelitian yang manjadi petunjuk tranformasi bentuk masjid dari masjid kuno sampai saat ini dikemukakan oleh Rosniza (2008), dimana dalam penelitian
185
nya terhadap masjid di Malaysia ditemukan serambi keliling umumnya ditemukan didalam masjid tua sedangkan untuk masjid yang baru cenderung tidak memiliki serambi keliling. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat kita pastikan bahwa serambi merupakan elemen yang tidak terlepas dari keberadaan ruang masjid akan tetapi penelitian yang dilakukan sebelumnya terlalu umum menyimpulkan bahwa ciri masjid tua di Jawa dan di Nusantara umumnya memiliki serambi keliling, padahal banyak masjid tua yang tidak memiliki serambi keliling seperti masjid Agung di Palembang dan masjid tua lainnya di Sumatera. Akan tetapi hal yang paling penting untuk dijawab adalah mengapa nasjid tersebut memiliki serambi atau mengapa masjid tersebut tidak memiliki serambi. Apabila melihat dari fungsi secara umum serambi berfungsi sebagai ruang peralihan antara ruang luar dan ruang utama didalam masjid yang seharusnya digunakan untuk sirkulasi pengguna masjid, pelindung ruang dalam dari cuaca dan sebagai tempat bersantai atau tempat jemaah bersosialisasi. Serambi pada masjid tua di Indonesia lebih digambarkan sebagai tempat untuk bersantai dan duduk duduk bagi para jemaah sebelum atau sesudah melaksanakan sholat bahkan pada kondisi jemaah yang banyak serambi dimanfaatkan sebagai tempat sholat. Meskipun demikian keberadaan serambi bukan hal wajib didalam masjid , berdasarkan hasil penelitian masjid di Denpasar dari ketiga puluh kasus hanya ditemukan enam kasus masjid yang memiliki serambi sedangkan masjid lainnya tidak memiliki serambi melainkan hanya teras depan yang tidak dibatasi kolom dan hanya berfungsi sebagai sirkulasi karena kurang nyaman atau tidak bisa digunakan untuk duduk duduk oleh jemaah , sedangkan ada beberapa kasus dimana serambi dan ruang
186
dalam menjadi satu kesatuan karena bangunan tidak memiliki dinding pembatas melainkan terbuka. Tabel 4.6 Bentuk Serambi Masjid di Denpasar No
Nomor Kasus
Nama Masjid
Bentuk Atap Berserambi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7 Kasus 8 Kasus 9 Kasus 10 Kasus 11 Kasus 12 Kasus 13 Kasus 14 Kasus 15 Kasus 16 Kasus 17 Kasus 18 Kasus 19 Kasus 20 Kasus 21 Kasus 22 Kasus 23 Kasus 24 Kasus 25 Kasus 26 Kasus 27 Kasus 28 Kasus 29 Kasus 30
AN-NUR AL-FURQON AGUNG SUDIRMAN AL-FALAQ AL-GHURABAH AL IKHLAS NURULLAH QUBA NURUT TAQWA SUCI RAYA UKKHUWAH AL-IKHLAS BAITUL MAKMUR BINA TAQWA AL-MUHAJIRIN(IKMS)
BAITUL MUQIMIN AR-RAHMAT AL-QOMAR AL-MUHAJIRIN SADAR BAITUL MUKMININ AL-FALAH ASY-SYUHADA AL-IHSAN AR-RAHMAN AL-HIKMAH AT-TAQWA BAITTURAHMAN DARUSSALAM AL-FURQON (Gatsu)
Teras Depan
Tidak Berserambi x x
x x x x x x x
x x
x x x x x x x x x x x x x x x x x
x
x x x
X = ditemukan , - = Tidak ditemukan
Temuan pada penelitian masjid di Denpasar keberadaan serambi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu keterbatasan lahan dan pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist. Faktor keterbatasan lahan cukup
187
kuat didalam keberadaan serambi pada bangunan masjid di Denpasar, keberadaan serambi pada lahan yang terbatas dianggap tidak diperlukan karena ruang utama masjid kekurangan menampung jumlah jemaah sehingga bangunan diperlebar mengoptimalkan lahan dengan menggunakan ruangan ysng seharusnya bisa berfungsi sebagai serambi tersebut. Meskipun bangunan masjid tidak memiliki serambi bangunan masjid memiliki teras depan terutama di pintu utama masjid. Faktor kedua yang mempengaruhi keberadaan serambi pada masjid di Denpasar adalah pemahaman pengurus maupun pendiri masjid terhadap Al-Quran dan Hadist dimana aturan sholat berjemaah menghendaki shaf sholat tidak boleh terputus baik oleh tiang ataupun dinding, sedangkan serambi memiliki posisi diluar bangunan yang dibatasi dinding. Masjid yang memiliki serambi umumnya sering digunakan makmum untuk melaksanakan sholat berjemaah pada saat ruang dalam tidak menampung padahal dari aturan Al-Quran dan Hadist mereka harus mengulang sholat mereka karena dianggap tidak sah, untuk itulah pendiri masjid tidak membuat serambi di sekililing masjid karena di khawatirkan akan digunakan oleh jemaah untuk sholat. 4.4.3 Analisis Bagian Atap Bangunan Atap merupakan komponen penting didalam memberikan karakter gaya suatu Arsitektur. Frishman, Khan dalam Fanani, (2009), membagi tujuh tipologi Arsitektur masjid di dunia dimana salah satunya tipologi Masjid di Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang menyerupai wantilan. Dari teori yang dibangun salah satu faktor pertimbangan adalah bentuk atap dimana atap tumpang menjadi karakter masjid di Asia
188
Tenggara. Banyak teori yang di bangun mengenai asal usul morfologi masjid di Nusantara dengan menitik beratkan pada analisis bentuk atap bangunan. Stutterheim (1953), menyatakan bahwa bangunan masjid tidak mungkin dipengaruhi oleh arsitektur candi karena ruang-ruang kecil dan sempit didalam candi tidak dapat dijadikan sebagai model dari perancangan sebuah masjid dimana sebuah masjid memerlukan ruangan yang luas dan besar oleh karena itu beliau berpendapat bangunan gelanggang menyabung ayam (wantilan) bangunan yang sesuai. Bangunan ini merupakan bangunan sebelum Islam yang masih ada keberadaan nya di Bali, bentuk denah persegi empat, memiliki bumbung dan sisinya tidak memiliki dinding. Akan tetapi pendapat stutterheim ditentang oleh H.J de Graff (1963), menururt beliau tidak mungkin orang islam memilih bangunan yang dahulunya digunakan untuk berjudi sebagai model masjid karena kegiatan tersebut haram didalam islam. Selain itu menurut beliau bumbung wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid tradisional di Indonesia, de Graaf juga berpendapat bahwa model masjid masjid tradisional di Indonesia mengambil model dari Gujarat, Kashmir dan Malabar (India). Bukti yang memperkuat pendapatnya berdasarkan hasil studi Jan Huygens van Linschoten dimana didalam kajiannya bahwa masjid di malabar juga memiliki atap bumbung bertingkat dimana salah satu tingkat digunakan untuk belajar agama. Nas dan Vletter (2009) dan Setiabudi (2006) juga memberikan keterangan bahwa ciri dari masjid tua di Jawa memiliki bentuk atap tumpang sedangkan secara lebih luas Tjandrasasmita (2009), mengatakan bahwa salah satu cirri masjid tua di Nusantara memiliki bentuk atap tumpang, pendapat beliau dirasakan
189
membuka peluang penelitian bahwa atap tumpang belum tentu berasal dari Jawa hal ini diperkuat dengan penelitian Rosniza (2008), dimana didalam penelitiannya menyimpulkan bentuk atap masjid tua di Nusantara lahir dari kearifan lokal budaya masing-masing daerah dimana penelitiannya terhadap masjid minang dan daerah lainnya memiliki bentuk atap tumpang yang berbeda dengan masjid di Jawa. Kearifan lokal berperan penting didalam bentuk arsitektur masjid di setiap daerah diperkuat oleh penelitian Aufa (2010), dimana didalam temuan penelitiannya bentuk atap tumpang Masjid Sultan di Kalimantan selain memiliki bentuk dan sudut kemiringan yang berbeda dengan masjid di Jawa juga memiliki makna bentuk yang berbeda pula termasuk symbol-simbol yang terdapat pada atap masjid. Di dalam buku yang sama Nas dan Vletter (2009), menyatakan bahwa kehadirn bentuk atap kubah di Nusantara disebabkan pengaruh dari luar seperti Timur Tengah dan India hal ini dipengaruhi faktor politik dan keinginan para ulama atau petinggi umat muslim membangun masjid di Nusantara dengan gaya arsitektur masjid di Timur Tengah karena mereka sering mengunjungi tempat tersebut baik dalam kunjungan dagang, politik maupun saat menunaikan ibadah Haji. Kehadiran bentuk atap masjid kubah di Nusantara diawali oleh masjid Agung di Aceh yang menggunakan atap kubah yang kemudian menyebar sampai saat ini sehingga bangunan masjid yang didirikan saat ini cenderung menggunakan bentuk atap kubah. Berdasarkan beberapa kutipan teori diatas memang sulit untuk membenung atau mengatur gaya masjid yang akan didirikan khususnya bentuk atap karena tidak ada aturan yang melarang penggunaan bentuk atap tertentu di dalam bangunan masjid. Walaupun umat islam berkiblat dari segi
190
akidah kepada negeri Arab bukan berarti juga berlaku pada bentuk arsitekturnya hal ini sesuai dengan penelitian Surat (2011), dimana ia menganggap asas pemikiran bentuk atap bumbung meru yang terdapat di alam Melayu sesungguhnya didasari oleh gagasan masjid di Timur Tengah. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa bentuk memiliki posisi tidak terlalu penting asalkan tidak bertentangan dengan filosofi dasar aturan Agama Islam. Dari banyak penelitian belum banyak yang bisa menyimpulkan makna bentuk atap tumpang atau mengapa mesjid menggunakan atap tumpang tersebut dari penelitian yang sudah dilakukan kebanyakan alasan mengapa menggunakan bentuk atap tersebut dikarenakan bentuknya menunjang untuk ruang yang memerlukan bentang lebar akan tetapi didalam merumuskan teori yang tepat kita harus melihat kembali bangunan yang memiliki bentuk menyerupai atap tumpang sebelum masuknya agama Islam di Nusantara. Terdapat dua jenis bangunan yang pada masa sebelum masuknya agama Islam yang memiliki bentuk atap tumpang yaitu wantilan (Bali) atau pendopo(Jawa) dan Meru(bangunan suci Hindu) atau Pagoda (bangunan suci umat Budha). Beberapa peneliti sebelumnya kurang sepakat kalau masjid mengadopsi bentuk wantilan karena bangunan ini sering digunakan sebagai sarana judi, sedangkan bentuk atap meru atau pagoda tidak memiliki ruang yang cukup besar didalamnya akan tetapi hal yang paling mendasar dimiliki oleh nenek moyang di Nusantara sebelum masuknya Islam bahwa bentuk atap bangunan memiliki nilai dan makna yang tinggi sebagai contoh hampir semua rumah adat yang ada menganggap bagian atap merupakan area paling suci sehingga bagian atap diletakan simbol atau tempat penyimpanan
191
barang pusaka. Atap bertingkat pada bangunan tradisional juga memiliki makna yang berbeda makin banyak tingkatannya maka semakin tinggi nilai bangunan tersebut. Seperti di bugis rumah yang memiliki atap tingkat makin banyak menunjukan tingkat sosial pemiliknya. Kepercayaan Hindu juga mengatakan jumlah tingkatan atap lebih dari dua merupakan bentuk yang hanya boleh digunakan untuk bangunan suci bagi para dewa. Dari pandangan nenek moyang Nusantara bentuk atap bertingkat pada meru dan pagoda memiliki nilai yang sakral sehingga bentuk atap tumpang pada masjid tua di Indonesia bukan karena kebutuhan akan struktur atap semata melainkan setelah masuk Islam mereka tetap memandang bahwa atap tumpang memiliki nilai sakral yang cocok untuk diterapkan pada atap masjid, akan tetapi mereka juga menggunakan konsep wantilan atau pendopo di dalam bentuk atap karena wantilan atau pendopo memiliki fungsi yang sama dengan ruang sholat dimana sama-sama perlu menampung jumlah orang banyak didalamnya sehingga bentuk atap tumpang masjid di Nusantara mengadopsi bentuk yang sering digunakan sebelumnya, bentang lebar yang dibutuhkan ruang sholat dirasakan sesuai dengan wantilan atau pendopo sedangkan nilai sakral bangunan masjid meminjam bentuk meru. Dari dugaan mengenai bentuk atap masjid yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya penelitian masjid di Denpasar bali dianggap peneliti sebagai perwakilan dari proses terbentuknya arsitektur masjid di Nusantara hal ini karena di Bali penganut agama Hindu masih mendominasi dan pengaruh budaya luar baik Islam maupun Modern cukup kuat ditengah masyarakat lokal yang berusaha teguh mempertahankan Budaya dan Kepercayaannya.
192
Tabel 4.7 Penggunaan Bentuk Atap Masjid di Denpasar Bali No
Nomor Kasus
Nama Masjid
Bentuk Atap Atap Tumpang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 Kasus 5 Kasus 6 Kasus 7 Kasus 8 Kasus 9 Kasus 10 Kasus 11 Kasus 12 Kasus 13 Kasus 14 Kasus 15 Kasus 16 Kasus 17 Kasus 18 Kasus 19 Kasus 20 Kasus 21 Kasus 22 Kasus 23 Kasus 24 Kasus 25 Kasus 26 Kasus 27 Kasus 28 Kasus 29 Kasus 30
AN-NUR AL-FURQON AGUNG SUDIRMAN AL-FALAQ AL-GHURABAH AL IKHLAS NURULLAH QUBA NURUT TAQWA SUCI RAYA UKKHUWAH AL-IKHLAS BAITUL MAKMUR BINA TAQWA AL-MUHAJIRIN(IKMS)
BAITUL MUQIMIN AR-RAHMAT AL-QOMAR AL-MUHAJIRIN SADAR BAITUL MUKMININ AL-FALAH ASY-SYUHADA AL-IHSAN AR-RAHMAN AL-HIKMAH AT-TAQWA BAITTURAHMAN DARUSSALAM AL-FURQON (Gatsu)
Atap Kubah
Atap Datar x
Atap Perisai x
x x x x x x x
x x
x x x x x x x x x x x x x x x x x
x
x x x
Penggunaan atap tumpang pada masjid di Kota Denpasar Bali masih banyak digunakan berdasarkan penelitian dilapangan setiap pendiri masjid berusaha untuk membaur dengan budaya lokal sehingga bentuk atap tumpang dinilai memiliki bentuk yang sesuai dengan bentuk atap bangunan lokal . uniknya dari kasus yang ditemui atap tumpang Masjid di Denpasar rata-rata bertumpang dua, hanya pada kasus 5 dan kasus 9 yang menggunakan atap tumpang tiga, berdasarkan hasil
193
wawancara mendalam para pendiri masjid berusaha menjaga hubungan baik dengan etnis lokal yaitu penganut agama Hindu dimana atap tumpang tiga hanya boleh digunakan pada bangunan suci mereka sehingga para pendiri bangunan masjid menghindari menggunakan atap bertumpang tiga. Hal ini justru memperkuat pendapat peneliti bahwa bentuk atap tumpang masjid di Nusantara mungkin mengadopsi bentuk bangunan meru. Karena para nara sumber banyak mengaitkan atap Masjid dengan bangunan meru dibandingkan dengan wantilan. Adapun karakter bentuk atap tumpang pada Masjid di Denpasar Bali terbagi menjadi dua tipe yang pertama
atap tumpang satu dan dua memiliki sudut
kemiringan yang sama dan jarak antar atap bervariasi berkisar 25 cm sampai dengan 80 cm. sedangkan yang kedua terdapat perbedaan kemiringan sudut atap antara tumpang pertama dan kedua dengan jarak antar atap yang juga bervariasi. Pada beberapa kasus atap tumpang tidak terlihat dari fasad luar karena jarak pandang fasad yang sempit, akan tetapi terlihat jelas dari bentuk plafon bangunan di bawah atap tumpang yang mengikuti bentuk kemiringan atap diatasnya bahkan ada beberapa yang mengekspos struktur atap seperti gaya plafon pada bangunan Arsitektur Tradisional Bali. Terdapat empat kasus masjid di Denpasar yang menggunakan atap kubah, sedangkan masjid yang menggunakan kombinasi atap kubah dan tumpang terdapat pada kasus 19 dan 29, dimana atap kubah menggantikan posisi atap tumpang kedua. Selain atap tumpang Terdapat empat kasus masjid yang menggunakan atap perisai seperti atap bangunan Bale pada Arsitektur Tradisional Bali. bentuk atap seperti ini jarang ditemukan pada atap
194
masjid lain di Nusantara sehingga bentuk ini merupakan gambaran bahwa lingkungan memiliki pengaruh terhadap arsitektur Masjid di Denpasar. 4.4.4 Analisis Komponen Tambahan Masjid 4.4.4.1 Gerbang Bangunan Gerbang merupakan pintu masuk sebelum kehalaman dalam masjid atau ruang dalam masjid. Menurut Pijper dalam Nas dan Vletter (2009), bangunan masjid di Nusantara memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya (gerbang) di bagian muka sebelah timur. Tjandrasasmita (2009) juga mengungkapkan disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang. Hal yang sama juga ditemukan olehUtaberta dkk (2009), dimana mereka mengungkapkan bahwa Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Fanani (2009), didalam tulisanya juga mengatakan selain didalam masjid terdapat elemen kaligrafi dan ornamen, pada masjid juga sering terdapat gerbang yang terdapat pada pintu utama atau pada posisi gerbang masuk kedalam masjid. Kota Denpasar sebagai kota Budaya masih memegang teguh keberdaan gerbang, dimana hampir semua bangunan baik itu bangunan suci, publik sampai bangunan tempat tinggal tidak lepas dari keberadaan gerbang. Keadaan lingkungan di sekitar secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjid di Denpasar Bali. Sejatinya keberadaan gerbang merupakan bagian yang yang terpisahkan dari masjid hal ini dapat ditemukan pada masjid di Timur
195
Tengah dan Asia. Akan tetapi gerbang pada bangunan mereka cenderung menyatu dengan badan bangunan sehingga gerbang berfungsi sebagai pintu masuk utama bukan bagian yang menyatu dengan pagar keliling. Walaupun Kota Denpasar didominasi
penggunaan
gerbang
didalam
bangunan
tidak
semuanya
mempengaruhi keberadaan gerbang pada masjidnya. Hal ini dapat dilihat dari 30 kasus yang diambil hanya delapan kasus yang memiliki gerbang. Dari delapan kasus , tiga kasus memiliki gerbang yang bergaya Arsitektur Bali meliputi kasus no 14,18 dan 26. sedangkan yang lainnya bergaya Timur Tengah dan Modern.
Gerbang Masjid Al Hikmah
Gerbang Masjid Nurut Taqwa
Gerbang Masjid Al Qomar
Gerbang Masjid An Nur
196
Gerbang Masjid Baitul Makmur
Gerbang Masjid Ukkhuwah
Gerbang Masjid Al Ikhsan
Gambar 4.97 Bentuk Gerbang Masjid di Denpasar
Keberadaan gerbang pada Arsitektur Bali selain sebagai batas peralihan juga berfungsi sebagai pembatas area profan dan sakral. Sedangkan menurut Nasr (2003), Arsitektur Islam tidak mengenal istilah profan dan sakral melainkan semua ruang memiliki nilai yang sama. Hal ini juga sejalan dengan data dan analisa yang diperoleh dari lapangan bahwa keberadaan gerbang hanya merupakan pembatas dan kreasi seni di dalam menciptakan keindahan Arsitektur Masjid.
197
4.4.4.2 Pagar Keliling Masjid Pagar keliling masjid merupakan tembok yang mengelilingi bangunan masjid dimana merupakan salah satu yang disebutkan sebagai ciri masjid tua di Indonesia. Menurut Utaberta (2009), Tembok yang mengelilingi sebuah masjid ini sebenarnya bukanlah ciri khas seni bina Muslim, tetapi merupakan salah satu bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa yang disebut Pura Desa dan masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa di Bali terdiri dari tiga halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap halamannya dikelilingi oleh tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat pada bangunan-bangunan permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan masjid seperti makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam Sunan Giri di Gresik, makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam suci keluarga Raja Demak yang terdapat di persekitaran Masjid Demak. Dari beberapa teori yang mengatakan bahwa salah satu ciri masjid tua di Indonesia adalah memiliki pagar keliling yang merupakan pengaruh bangunan pura dapat diperkut dengan temuan pada penelitian ini, dari 30 kasus tidak semua kasus memiliki pagar keliling bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pagar, hal ini salah satunya disebabkan oleh keterbatasan lahan sehingga keberadaan pagar terkadang hanya pada beberapa sisi bangunan karena sisi lainya suah menempel dengan bangunan sebelahnya. Ketinggian pagar pada masjid bervariasi sekitar satu meter sampai dengan dua meter. Adapun finishing pagar umumnya di plester dan menggunakan profil dan batu alam serta menggunakan vriasi rangka terali besi. Dari 30 kasus hanya lima
198
kasus yang tidak menggunakan pagar hal ini karena bangunan berada dilahan sempit sehingga bangunan menempel pada daerah milik jalan.
Gambar 4.98 Konsep Tanpa Pagar dan Konsep Menggunakan Pagar pada Masjid di Kota Denpasar
4.4.4.3 Bentuk Menara Masjid Menara merupakan elemen tambahan pada masjid , keberadaan menara merupakan elemen yang diadopsi dari kebudayaan agung Persia dan Romawi, adapun fungsi dari menara adalah elemen vertikal yang berfungsi memberikan nilai keagungan kepada suatu bangunan. pada ciri-ciri masjid tua di Indonesia tiak ada yang menyebutkan salah satunya memiliki menara sehingga menara bukanlah bagian dari masjid di Indonesia. Akan tetapi keberadaan mulai muncul setelah beberapa lama bangunan masjid tersebut berdiri hal ini sesuai tulisan schouten dalam Nas dan Vletter (2009), menyebutkan bahwa masjid di Banten, Ternate, Makasar, dan Jepara telah dilengkapi menara, saya menduga dari ketiga masjid sebelumnya yang ia maksud adalah atap tumpang susun tiga atau lima. Ia
199
menyebutkan bahwa menara itu digunakan untuk mengumandangkan azan. Keberadaan menara pada masjid di Denpasar Bali juga hampir sama dengan masjid yang disebutkan Schouten yaitu dibangun menyusul setelah bangunan masjid tersebut berdiri. Untuk gaya arsitektur menara masjid umumnya selalu menyesuaikan gaya arsitektur masjid itu sendiri akan tetapi melihat pada teori yang diungkapkan Iskandar (2004), perancangan masjid terkadang tidak ada skenario atau terencana dengan baik melainkan mengalir apa adanya, ditambah kemunculan menara beberapa tahun setelah masjid tersebut berdiri. Dari beberapa kutipan diatas sangatlah jelas keberadaan menara benar-benar merupakan elemen tambahan dimana keberadaanya bukanlah suatu keharusan. Dari 30 kasus Masjid di kota Denpasar terdapat dua jenis menara pada masjid, pertama menara yang berdiri terpisah dari bangunan yang biasanya berada disisi bangunan dan menara yang menyatu pada badan bangunan. keberadaan menara pada Masjid di Denpasar salah satunya dikarenakan peraturan yang membatasi ketinggian bangunan sehingga ketinggian menara kurang optimal sehingga pemilihan menara yang menyatu dengan badan bangunan lebih menjadi pilihan. Menara yang terpisah dari bangunan terdapat pada kasus 01, 02, dan 03 sedangkan yang menyatu dengan badan bangunan terdapat pada kasus 04, 10, 15, dan 28. Dari semua kasus umumnya menara masjid bergaya timur tengah hanya pada kasus 15 yang menggunakan gaya akulturasi Minang dan Bali .
200
\ Gambar 4.99 Bentuk Menara Tunggal Pada Masjid di Denpasar
Gambar 4.100 Bentuk Menara Sudut Pada Masjid di Denpasar
Keberadaan menara pada masjid di Indonesia sebelumnya berfungsi untuk mengumandangkan azan fungsi ini sebenarnya tidak berubah hal ini dapat dilihat
201
fungsi menara masjid di Denpasar saat ini digunakan untuk meletakan pengeras suara pada bagian puncak menara. Begitupula pada bentuk menara sudut atau menara yang menyatu dengan badan bangunan. Dari hasil wawancara keberadaan menara dimanfaatkan sebagai penanda keberadaan masjid agar dapat dilihat dari jarak yang cukup jauh dan juga berperan untuk memberikan kesan keagungan 4.5 Analisis Ragam Hias Analisis ragam hias pada masjid di kota Denpasar bertujuan untuk melihat bagaimanakah perkembangan lambang atau simbol Islam di dalam Arsitektur masjid terhadap pengaruh Arsitektur Bali dan melihat bagaimanakah Arsitektur masjid beradaptasi atau mentransformasikan elemen-elemen tersebut kedalam Arsitektur Islam. Adapun didalam kajian ini akan dibagi menjadi empat bagian bahasan yaitu meliputi ragam hias yang bergaya timur tengah, modern, ragam hias bergaya Arsitektur Bali dan Perpaduan dan modifikasi Arsitektur Bali. Ragam hias bergaya arsitektur Timur Tengah banyak ditemukan pada masjid di Denpasar baik itu penggunaan bentuk atap kubah sampai detail yang meniru fasad Masjidil Harram hal ini ditemukan pada kasus 01 dan 30 dimana dari bentuk dan pemakaian material marmer mencerminkan gaya arsitektur tersebut. Penggunaan atap kubah merupakan salah satu perkembangan yang lahir pada abad ke-20 dimana arsitektur Post Modern turut menyumbang penyebaran dan penggunaan bentuk tersebut. Dimana kelompok Islam di seluruh penjuru dunia ingin mengungkapkan kesatuan didalam keimanan melalui arsitektur dimana salah satunya memanfaatkan bentuk kubah tersebut. Penyebaran dan penggunaan gaya Timur Tengah ini juga disebabkan kekaguman dan kecintaan para pendiri masjid
202
akan tanah Arab sehingga mereka mencoba memberikan nuansa Arsitektur di Timur Tengah kedalam Arsitektur Masjid di Indonesia.
Gambar 4.101 Ragam Hias Bergaya Timur Tengah
Penggunaan Ragam Hias bergaya timur tengah umumnya pada bagian Mihrab masjid dimana secara hirarki memiliki nilai ruang yang paling tinggi karena tempat imam memimpin sholat, bahkan pada masjid yang menggunakan Arsitektur Bali masih mempertahankan bentuk mihrab bergaya timur tengah tersebut. selain pada mihrab aplikasi ragam Hias ini umumnya terdapat pada Pagar, gerbang dan dinding masuk kedalam masjid. Hal lainya yang menunjukan keagungan nilai Arsitektur Timur Tegah adalah pada menara masjid meskipun penggunaan bentuk atap mencirikan Arsitektur Masjid di Indonesia dengan menggunakan atap tumpang pada puncak menara tetap menggunakan atap kubah. Ciri arsitektur Timur Tengah yang juga melekat pada bangunan masjid di Denpasar adalah keberadaan kaligrafi dan bentuk portal pada interior bangunan masjid. 203
Selain penggunan ragam hias bergaya Timur Tengah masjid di Denpasar Bali juga banyak ditemukan mengguanakan gaya arsitektur modern hal ini mempertegas bahwa sebenarnya Islam tidak diharuskan fanatik didalam membangun Arsitektur Masjid sehingga berkreasi diperbolehkan asal tidak bertentangan dan menimbulkan keresahan didalam jemah masjid. Ragam hias modern yang dimaksud adalah penggunaan bentuk yang sangat sederhana baik itu penggunaan profil geometris sederhana sampai detail yang tidak umum digunakan baik itu pada arsitektur Timur Tengah maupun Arsitektur Bali.
Gambar 4.102. Penggunaan Ragam Hias dan Bentuk Modern Pada Masjid di Denpasar
Tidak hanya ragam hias konsep pemikiran modern juga mempengaruhi Masjid di Denpasar hal ini ditemukan pada beberapa kasus yang tidak menggunakan profil atau ornamen didalam Arsitektur Masjinya baik itu bagian luar ataupun bagian dalam bangunannya.
204
Lingkunagn sekitar sangat berperan untuk mempengaruhi gaya arsitektur masjid di Denpasar hal ini terbukti dari banyak penggunaan ragam hias bergaya Bali pada komponen bangunan masjid baik itu gerbang, pagar, kolom, dinding, plafón, sampai bagian atap bangunan. Gerbang dan pagar merupakan elemen paling terdepan dari bangunan masjid dan umumnya menjadi titik tangkap mata sebelum memasuki masjid, sehingga baik gerbang maupun pagar pada Masjid di Denpasar Bali banyak yang menggunakan bentuk Arsitektur Bali. Selain pada pagar penggunaan elemen tersebut juga banyak terdapat pada ornamen yang melekat pada dinding , kolom dan balok
Gambar 4.103. Penggunaan Ragam Hias Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar
Pengaruh arsitektur Bali yang hampir terdapat pada semua kasus yang digunakan adalah pengguaan bentuk plafón yang menonjolkan kasau yang sering ditemukan pada bangunan Bale pada Arsitektur Tradisional Bali. Meskipun dari segi tampilan bangunan tersebut menggunakan konsep modern maupun Timur
205
Tengah. Bagian atap juga sedikitnya terpengaruh karena terdapat penggunaan ragam hias pada jurai luar atap yang umumnya terdapat pada bangunan Tradisional Bali.
Gambar 4.104. Bentuk Plafon Bergaya Arsitektur Bali Pada Masjid di Denpasar
Perpaduan dan Modifikasi Ragam Hias Arsitektur Bali dengan gaya arsitektur Timur tengah dan etnik lain merupakan temuan unik
didalam penelitian ini
karena hal ini merupakan tolak ukur dari beberapa teori yang dikaji karena selain lingkungan berpengaruh terhadap gaya Arsitektur lingkungan juga bisa melahirkan perpaduan gaya arsitektur yang unik seperti aplikasi ragam hias arsitektur Bali yang dikawinkan dengan Arsitektur Minang yang terdapat pada kasus 15 dimana kelompok etnik minang berupaya mempertahankan budaya mereka didalam penggunaan ragam hias arsitektur Bali. Kemudian hal ini juga ditemukan pada kasus 18 dan 26 dimana terjadi modifikasi elemen ragam hias Arsitektur Bali dan ragam hias yang dikenal pada Arsitektur Islam pada umumnya seperti bentuk kubah. Seperti pada gerbang masjid Al Hikmah pada bagian puncak gerbang diganti bentuk kubah dan lambang bulan sabit dan bintang. Begitu juga pada gerbang dan pagar masjid Al-Qomar juga terdapat bentuk kubah pada elemen pagar. Sedangkan pada kasus 15 atau masjid Al Muhajirin IKMS
206
bentuk menara merupakan perpaduan bentuk Arsitektur Bali dan Minang sehingga hal ini mencerminkan terjadi adaptasi Arsitektur Masjid di Denpasar.
Gambar 4.105 Adaptasi Ragam Hias Arsitektur Bali
Dari semua kasus yang dijumpai termasuk bangunan masjid yang di dominasi Arsitektur Tradisional Bali uniknya tetap mempertahankan Arsitektur Timur Tengah atau tampilan Arsitektur Modern yang sederhana pada bagian interior masjid sehingga apabila dibuat hirarki penggunaan Arsitektur Bali pada bangunan masjid terdapat tiga tingkatan dimana yaitu ruang dalam bangunan, kulit luar bangunan, dan pagar atau gerbang bangunan. Penggunaan ragam hias Bali hanya terjadi di Kulit Luar dan Pagar bangunan.
207
Gambar 4.106 Hirarki Pengaruh Elemen Ragam Hias Bali
Berdasarkan gambar diatas angka 1 menunjukan bagian inti masjid yaitu ruang mihrab dan ruang sholat inti pada bagian ini elemen ragam hias cenderung bergaya arsitektur timur tengah atau bahkan sangat polos elemen dekorasinya, sedangkan pada nomor 2 yaitu bagian interior bangunan seperti pada bagian serambi dalam atau ruang peralihan mulai terdapat elemen ragam hias bernuansa Bali akan tetapi jumlahnya sedikit. Pada hirarki nomor 3 meliputi dinding luar atau fasad bangunan pada bagian ini elemen arsitektur Bali banyak diterapkan baik itu berupa ukiran, relief, atau pemakaian bahan bangunan mencerminkan arsitektur lokal akan tetapi pada kulit ketiga ini umumnya bentuk elemen arsitektur Bali masih diadaptasikan dengan arsitektur Islam baik itu kaligrafi atau tidak menggunakan elemen yang dilarang seperti motif hewan dan manusia. Sedangkan pada hirarki no 4 yaitu bagian pagar keliling. elemen arsitektur Bali sangat kuat pengaruhnya hal ini dapat terlihat dari kasus masjid Al Hikmah dimana terdapat motif hewan dan manusia yang dilarang keberadaanya di Masjid.
208
4.6 Morfologi Arsitektur Masjid di Denpasar Bali Kajian teori terhadap morfologi masjid pada penelitian masjid di denpasar akan dibahas berdasarkan masing-masing teori yang dirujuk pada tinjauan teori. Meliputi Utaberta, Nasr, dan Haider. Menururt Utaberta arsitektur Islam adalah bertujuan mengingatkan kepada Allah hal ini tercermin pada
penggunaan
lambang tulisan Allah dan petikan ayat Al-Quran pada setiap masjid yang ada di Denpasar baik itu dipuncak menara, ambang mihrab atau dinding bagian Barat ruang sholat. Arsitektur masjid juga harus mengutamakan tawadu’ atau kerendahan hati hal ini tercermin dari beberapa kasus yang memiliki bentuk yang sederhana tanpa diklengkapi banyak ragam hias akan tetapi bukan berarti bangunan yang mewah mengabaikan konsep ini karena kemungkinan memiliki tujuan yang lain akan tetapi konsep Islam yang baik adalah kesederhanaan. Arsitektur Islam juga mengutamakan kesejahteraan publik hal ini juga merujuk pada fungsi masjid sebagai bangunan yang berfungsi sebagai wadah sosial yang menjadi pusat kegiatan atau kehidupan masyarakat hal ini tercermin dari keberadan fungsi penunjang pada masjid di Denpasar seperti badan amil zakat, sekolah dan fasilitas sosial lainnya. Menururt Utaberta toleransi merupakan bagian yang penting hal ini mencerminkan bahwa toleransi sudah tercipta melalui arsitektur masjid seperti penggunaan gaya arsitektur Bali pada bangunan masjid meskipun tidak semua kasus mengadaptasinya bukan berarti tidak ada toleransi didalamnya karena ditemukan beberapa konsep yang diterapkan. Teori Arsitektur Islam yang dikemuakan oleh Nasr juga menguatkan bahwa Masjid di Denpasar mencerminkan Arsitektur Islam hal ini dengan ditemukannya
209
bahwa didalam Islam tidak dikenal istilah profan dan sakral melainkan menjadi kesatuan yang utuh di dalam bangunan masjid karena pada kondisi tertentu halaman masjid juga bisa digunakan untuk melaksanakan sholat dan posisi mihrab pun bisa digantikan keposisi lainnya. Kemudian kejujuran aplikasui material disini masjid tampil apa adanya dan terlihat jelas bahan yang digunakan tanpa ada usaha untuk mengaburkan atau menutupinya. Kemudian temuan yang menguatkan teori Nasr adalah kesatupaduan dengan tatanan Alami dimana pada masjid di Denpasar terdapat kasus yang tidak memiliki dinding sehingga bangunan menyatu dengan halaman sekitar akan tetapi untuk menjaga kesuciannya masjid dikelilingi oleh pagar sehingga konsep terbuka ini jelas memberikan gambaran bahwa bangunan masjid menjadi kesatuan dengan tatanan alam. Kemudian teori yang dikemukakan Nasr tentang kehampaan ruang tercermin pada dekorasi ruang dalam masjid yang umumnya kososng terhadap ukiran dan ragam hias mencerminkan bahwa memiliki banyak makna atau justru penuh isi. Teori yang dibangun Haider mengenai Arsitektur Islam yaitu Alam dan manusia sembah Allah dapat diartikan kebebasan menggunakan gaya arsitektur pada bangunan masjid berarti seluruh alam tidak ada syarat atau perlakuan khusus sama halnya didalam menyembah Allah, kemudian hampir sama dengan Utaberta manusia juga harus menjaga toleransi antar umt beragama. Arsitektur Islam mempresentasikan nilai sejarah Islam pada teori ini merupakan gambaran masih banyaknya penggunaan gaya arsitektur Timur Tengah dan India pada masjid seperti penggunaan kubah dan ragam hiasnya hal ini mencerminkan kemajuan
210
arsitektur Islam di Timur Tengah pada masa kemajuan dinasti Islam dan perkembangan kota Islam . Arsitektur menghormati halal dan haram juga berusaha diterapkan pada arsitektur masjid walaupun tingkat kualitasnya berdasarkan tingkat keimanan dan pemahaman seperti pemisahan gender jemaah laki-laki dan perempuan dan yang banyak menjadi perdebatan adalah keberadaan elemen yang diharamkan pada masjid Al-Hikmah pada kasus 26 dimana terdapat elemen patung pada gerbang yang sangat diharamkan keberadanya didalam arsitektur Islam. Keberadaan kaligrafi dan petikan ayat uci Al Quran pada masjid di Denpasar melambangkan spiritualitas Islam. Rehman didalam teorinya memiliki pandangan yang sama dengan haider dimana melarang keras ada syirik di dalam Arsitektur Islam seperti keberadaan patung dan elemen yang bermotif mahluk bernyawa selain tumbuhan. Rehman juga mengemukakan pendapat yang sama dengan Nasr dimana bangunan Islam adalah Arsitektur yang menjadi kesatuan dengan tatanan alami dan tidak merusak alam, alam disini selain bersifat fisik juga lingkungan budaya sekitar seperti toleransi didalam penggunaan gaya arsitektur setempat kedalam rancangan Arsitektur Masjid. Dalam kasus masjid Al Hikmah penggunaan patung pada elemen pagar sangat bertentangan dengan arsitektur Islam, akan tetapi keberadaan elemen tersebut hanya pada bagian pagar dan tidak ditemukan pada dinding luar maupun dalam bangunan sehingga konsep ini jarang ditemukan pada arsitektur masjid lain di nusantara, sama halnya masjid demak dimana elemen naga dan relief masih ditemukan pada bangunan. Keberadaan elemen tersebut sangat erat kaitanya dengan pandangan dan kedalaman fiqih karena tidaklah mudah pendiri
211
masjid meletakan eleman tersebut didalam masjid tanpa pertimbangan yang mendasar yaitu meningkatkan harmonisasi dan toleransi beragama. Berdasarkan teori perkembangan kontur masjid di Indonesia dimana terdapat tiga kelompok teori dasar yang membahas mengenai asal usul bentuk morfologi masjid di nusantara. Pendapat pertama yang menerangkan bahwa masjid di nusantara dipengaruhi oleh arsitektur di luar nusantara seperti malabar, sedangkan teori kedua mengatakan morfologi masjid nusantara berasal dari kearifan lokal dimana masjid tersebut berdiri. Pendapat ketiga mengenai asal bentuk masjid di nusantara adalah dari Jawa yang dianggap oleh beberapa peneliti mewakili karakter masjid di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian masjid di denpasar Bali peneliti memiliki dugaan bahwa asal usul bentuk masjid di nusantara adalah kearifan lokal dimana masjid tersebut berdiri, sebagai contoh bentuk masjid tua di minang memiliki karakter yang berbeda dengan jawa dimana meskipun atap bertumpang tiga atau lebih akan tetapi memiliki bentuk bagonjong seperti rumah gadang, begitu juga masjid di Kalimantan dalam penelitian aufa bentuk atap dan kemiringan sudut atap berbeda dengan atap tumpang masjid di Jawa. Hal yang sama juga ditemui pada masjid di Denpasar bentuk masjid umumnya memiliki dinding terbuka menyerupai wantilan atap bangunan bale yang dikelilingi oleh pagar, bentuk morfologi ini bisa dikatakan tidak dijumpai pada masjid lainnya di Nusantara kecuali pada masjid tua di Jawa seperti masjid Demak akan tetapi bagian yang terbuka bukan bangunan inti melainkan fungsi tambahan yang juga bisa digunakan untuk sholat. Peneliti juga memperkuat teori yang dikemukakan oleh Stutterheim dalam nas & vletter (1953) bahwa bangunan wantilan memang
212
paling memungkinkan untuk selanjutnya berkembang menjadi dasar bentuk masjid di Nusantara karena memiliki bentang yang luas dan mampu menampung banyak jemaah. Akan tetapi tampilan bangunan wantilan memiliki bentuk yang sederhana sedangkan pada masa sebelum masuknya Islam masyarakat di Nusantara memiliki kepercayaan Hindu Budha yang membaur dengan kepercayaan animisme dan dinamisme sehingga masing-masing lokal memiliki kepercayaan terhadap makna sebuah bangunan seperi bentuk yang sakral atau yang memiliki nilai tinggi, sebagai contoh yang sangat umum bangunan suci ataupun para pembesar atau Raja memiliki bentuk atap bertingkat, sebagai contoh rumah di bugis semakin seseorang memiliki posisi yang tinggi maka jumlah tingkat atapnya semakin banyak. Kaitan pemahaman terhadap bentuk arsitektur tradisi inilah yang digunakan untuk bangunan masjid, dimana bangunan wantilan mewakili fungsi dengan bentangnya sedangkan untuk atap dibuat bertumpang sebagai simbolisasi keagungan. Pendapat stutterheim ini ditentang oleh H.J de Graff (1963), dimana teorinya mengatakan tidak mungkin orang muslim menggunakan bangunan yang juga sering digunakan untuk sabung ayam menjadi bangunan suci. Disini de graff lupa akan filosofi dasar umat islam dimana didalam agama islam tidak melihat masa lalu seseorang apakah dia bekas pelacur atau penjahat sekalipun apabila mereka bertobat maka mereka akan diterima dan diampuni dosa yang telah lalu ,sehingga ada kaitannya dengan bangunan masjid meskipun bangunan itu sebelumnya digunakan sebagai tempat maksiat tidak menjadi masalah dirubah menjadi sebuah masjid asalkan fungsi lama tidak dipakai lagi sebagai tempat untuk maksiat.
213
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 SIMPULAN
Lingkungan berpengaruh terhadap arsitektur masjid di Denpasar. Walaupun masjid di Indonesia saat ini umumnya dipengaruhi arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India, masih ada masjid di Denpasar yang mengambil konsep lokal dan diterapkan didalam bangunan masjid. Konsep lokal tersebut ditemukan pada konsep bangunan tanpa dinding seperti bale atau wantilan dan dikelilingi oleh pagar, keberadaan dinding hanya pada bagian sebelah barat. Keunikan morfologi arsitektur masjid di Denpasar adalah penerapan elemen ragam hias bali banyak ditemukan pada bagian terluar bangunan yaitu pagar dan dinding luar bangunan masjid akan tetapi semakin mendekati bangunan inti yaitu ruang sholat utama dan mihrab elemen arsitektur Bali tidak ditemukan, sehingga terlihat jelas walaupun arsitektur masjid terpengaruh oleh Arsitektur Bali terdapat resistensi budaya didalam nya. Bentuk ruang sholat utama pada masjid di Denpasar umumnya memiliki bentuk dasar persegi dan setiap ruang berupaya menghindari keberadaan tiang di tengah ruang sholat. Selain itu orientasi ruang sholat seiring waktu berupaya agar tegak lurus dengan arah kiblat. Bentuk lainnya adalah atap tumpang, dari beberapa kasus umumnya masjid di Denpasar menggunakan atap tumpang akan tetapi umumnya memiliki tumpang dua, berdasarkan hasil wawancara atap tumpang dua ini digunakan untuk menjaga toleransi terhadap kepercayaan Hindu dimana jumlah atap tumpang tiga sering digunakan pada
214
bangunan suci umat hindu. Berdasarkan pengamatan dilapangan terdapat dua kecendrungan dasar arah perkembangan bentuk arsitektur masjid di Denpasar yang pertama adalah berusaha untuk mengadopsi dan memodifikasi Arsitektur Bali pada rancangan masjidnya dan kedua bangunan masjid mengarah kepada bentuk arsitektur masjid bergaya Timur Tengah dan India hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus seperti masjid yang menambahkan elemen tambahan yang menyerupai masjid di Timur Tengah walaupin hanya pada bagian tertentu masjid. Berkaitan dengan perkembangan teori morfologi masjid di nusantara pada penelitian ini ditemukan bahwa lingkungan lokal berpengaruh terhadap pembentuan morfologi masjidnya, sehingga pendapat yang dikemukakan oleh De Graaf
bahwa masjid tua di Indonesia dipengaruhi bentuk masjid Malabar
kuranglah kuat. Begitu juga pendapat Pijper yang mengatakan bahwa morfologi masjid di Jawa mempengaruhi masjid di nusantara juga sulit untuk diterima. Dari hasil pengamatan peneliti sependapat dengan Stutterheim dalam nas & vletter (1953), dimana secara fungsi masjid memerlukan ruangan yang lebar dimana wantilan atau pendopo merupakan bangunan yang memiliki ukuran yang sesuai untuk dijadikan masjid dan untuk menambahkan nilai sakralnya para pendiri masjid mengambil bentukan meru sehingga tidak heran masjid di nusantara beratap tumpang. Selain atap didalam perkembangannya wantilan tersebut dibuat dinding keliling sehingga terciptalah bentuk dasar masjid-masjid di Nusantara. Pada arsitektur masjid di Bali ditemukan lagi masjid yang menyerupai bentuk wantilan tanpa ada dinding akan tetapi memiliki pagar keliling dan ini memberikan makna bahwa pengaruh lokal sanga kuat pada pembentukan karakter
215
masjid. Masjid di Denpasar umumnya sesuai dengan Arsitektur Islam berdasarkan teori yang direferensi dimana umumnya arsitektur islam menjaga hubungan yang baik dengan alam dan sesama manusia sehingga penggunaan elemen arsitektur Bali tidak dipermasalahkan asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
5.2 REKOMENDASI
Penelitian masjid di Indonesia masih perlu dikaji lebih dalam, berdasarkan data arkeologi islam di Nusantara sangat sulit untuk mengetahui kapan islam masuk dan berkembang, data yang diperoleh umumnya dari peninggalan makam tua, catatan perjalanan seperti Laksamana Cheng Ho dan keberadaan kerajaan Islam. Kaitan kapan dan dimana islam pertama kali berkembang di Nusantara adalah sangat penting terhadap pembentukan dasar morfologi masjid tua yang ada di Nusantara. Penelitian majid di Denpasar merupakan salah satu penelitian masjid yang memperkuat bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap bentuk morfologi masjid, karena muncul teori yang menyatakan bentuk masjid di Indonesia dipengaruhi arsitektur India khususnya malabar bahkan tidak sedikit teori yang menyatakan masjid Jawa mempengaruhi bentuk masjid di Nusantara. Penelitian masjid di Denpasar merupakan pintu gerbang untuk penelitian masjid selanjutnya karena untuk memperkuat teori yang ada harus mempelajari lokus yang lebih luas yaitu diseluruh Bali dan mempelajari kaitan kaum pendatang yang berasal dari luar Bali seperti NTB, Jawa, dan Sulawesi karena di Denpasar ditemukan beberapa perkampungan etnis . Pandangan pendiri masjid terhadap
Al-Quran dan Hadist berpengaruh kuat terhadap bentuk morfologi
216
masjid di Denpasar, sehingga perlu dikaji apakah konsep bentuk masjid-masjid tua di Nusantara sudah mempertimbangkan hal tersebut, dan bagaimana budaya lokal bersinergi mempengaruhi morfologi masjid tersebut.
217
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Elfida .1999. Diktat kuliah Tipologi dan Morfologi Arsitektur, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil danPerencanaan, Universitas Bung Hatta. A. Hasymi. Prof. 1981. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: PT. Alma‟arif, Akkach, S. 2005. Cosmology And Architecture in Premodern Islam, New York : State University Of Newyork Press, Albany. p. 13-25 AV. Moudon. 1994. Getting to Know The Built Landscape Typomorphology dalam Ordering space Type in Architecture and Design. New York: Van Nostrand Reinhold. Bungin, H.M Burhan. 2009. Penelitian Kulitatif. Jakarta: Kencana Cataldi, G, Maffei, G.L. & Vaccaro, P, 2002, “Severio Muratori and the Italian School of Planning Typology”, Urban Morphology, Vol.5. CH, Schulz. 1979. Genius Loci. New York: Rizzoli International Publication Fanani, A. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang Pustaka Gardiner, Stephen.1983. Introduction to architecture. Oxford: Equinox Ltd.
Haider, S. G. (2002) On What Makes Architecture Islamic : Some Reflections and Proposal, RoutledgeCurzon, London. Iskandar, S. B. 2004. Tradisionlitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.32, No. 2. Universitas Kristen Petra. Loekito, J. 1994. Studi Tentang Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung Surabaya pada Periode Sebelum Tahun 1942. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Kristen Petra,
218
Lexy J. Moleong. 1995a. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya :Bandung. Mann, A.T. 1993.Sacred Architecture, Great Britain, Element book Ltd.
Muhammad Irsyad. 2008. Tinjauan Arsitektur Masjid Sultan Andurrahman Pontianak Kalimantan Barat. Skripsi . Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Nasr, S.H. 2003.” Islam Religion, History and Civilization.”, Harper San Francisco, USA Naimatul Aufa .2010.” Tipologi Ruang dan Wujud Arsitektur Masjid Tradisional Kalimantan Selatan” Journal of Islamic Architecture Vol I, 2010:Bandung. Rehman, A. (2002) The Grand Tradition of Islamic Architecture, RoutledgeCurzon, London. Rosniza Binti Othman & Inangda, N & Ahmad, Y, 2008, “ A Typological Study Of Mosque Internal spatial Arrangement : A Case Study on Malaysian Mosque 1700-2007.” Journal Of Design and the Built Environment: University of Malaya Kuala Lumpur. Salain, R. 2011.”Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar”(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Schultz, C, N.1988. Architecture: Meaning and Place.Rizzoli, New York. Shihab, Q. 1997. Wawasan Al-Quran; Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Penerbit Mizan. Nas, P.J.M & Vletter,M.D. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Poerwadarminta. 2003. “Kamus Umum Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka.
219
Setiabudi, B. 2006. A Study on the History and development of the Javanese Mosque : typology of The Plan and Structure of The Javanese Mosque and It’s Distribution Journal of Asian Architecture and Building engineering. Vol.5, No 2 pp 229-236. Sudibyo, 2012. Sang Nabi pun Berputar, Arah Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya, cetakan pertama. Surakarta : Tinta Medina. Tjandrasasmita. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Cetakan pertama. Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta. Utaberta, N & Kosman, K,A & Tazilan A, S, M , 2009 :229-245, “Tipologi reka Bentuk Arsitektur Tradisional di Indonesia.” International Journal of the malay world and Civilization . Utaberta, nangkula. 2004. Konsep Arsitektur Islam dan perumahan islam dari Perspektif Sunnah. Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas Muhammadiyah Surakarta
220
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN Penelitian Masjid di Denpasar No
Nama
Umur
No Telp/hp
1
Dennyanto
37
081999589441
2
Sumarno
42
08155786143
3
Lilik
38
08164719069
4
Irawan
43
081933035433
5
Abdul Hamid
52
03617928641
6
Dwi Santoso
35
03617905441
7
Wahyudi
37
08188350241
8
H. Sulaiman
55
08179787664
9
M. Shodiq
51
081338488011
10
Mursyid
51
08123683378
11
Ferri Hendri
52
081558132355
12
Imam Sultoni
36
08124693533
13
Andi Maryono
39
081558320973
14
H. Achmad Rosyid
60
08123012859
15
Sutomo Awibowo
48
081238113841
16
Sumarto
46
08124645598
17
Sutoyo.Sag
47
03618448022
18
Suherman
44
081338080040
19
Joko Iswono
38
08886209920
20
Samto Adam
34
081558872325
21
M. Salim
49
081236012955
22
Djaffar Sidiq
33
081916604957
23
Mahyuddin
43
081338755431
24
H. Nurzainuddin
56
08179752391
25
Iskandar
44
087861081333
221
26
Teguh Wiryono
46
7435747
27
H.Moh.Jupri
54
081337937475
28
Herman
55
081338755111
29
Suwadi
43
08563812208
30
Suwarso
48
7416484
31
Edy Sutikno
51
7808028
32
H. Loekito
54
08123659033
33
Adi Kusno
38
03618013075
34
Abdurrachman Alwi
38
081933004118
35
H.M Bustomi
53
0817566885
36
H. Jayus
47
081337303365
37
Muh. Nuruddin
42
08179716595
38
Suraji
46
0817388810
39
Lahmuddin
44
457525
40
Suriyanto
38
087861191423
41
H.Hariyanto
49
081353299320
42
Noer Hasan
43
081337986117
43
Pepen
32
03618447732
44
Wahyono
35
7950417
45
Ahmadi. SH
43
08164710601
46
Halim
41
08123609883
47
Joko Irianto
36
081805518400
48
Suyono
62
081558090880
222