1 BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung D...
BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak sebagai mubaligh Islam. Masyarakat Jawa menyebut mereka dengan sebutan “Wali Songo”. Dengan kehadiran bangunan Masjid Agung Demak yang berwibawa ini telah digunakan oleh para penguasa Kesultanan Demak sebagai alat untuk mengharapkan sebuah pengakuan dan dukungan terutama dari seluruh rakyatnya. Artinya, bentuk Masjid Agung Demak ini tidak begitu saja muncul dengan tibatiba yang mungkin akan terasa asing bagi sebagian besar rakyat Demak pada saat dibangunnya masjid ini. Unsur-unsur bangunan Masjid Agung Demak banyak meniru dan mengembangkan dari bentuk-bentuk bangunan yang telah merakyat sebelumnya. Metode dakwah dengan cara ikut membaur bersama jama’ah yang kebanyakan masih berpaham Hindu adalah yang paling efektif dilakukan oleh para mubaligh Islam pada waktu itu. Masjid Agung Demak yang didirikan pada masa-masa awal penyebaran Islam Jawa kemungkinan besar masih bertalian erat dengan produk arsitektur masa-masa sebelumnya. Bentuk gunungan menjadi citra dasar dari bentuk bangunan-bangunan yang dinilai sakral dan keramat. Masjid yang telah dimodifikasi sebagai tempat untuk bersujud ketika masyarakat sudah secara terbuka menerima agama Islam sebagai agamanya memberikan ruang terhadap masjid sebagai pusat hubungan ketiga bagi umat
129
Muslim. Mengapa demikian? Kebudayaan Islam sendiri dilihat sebaagai sebuah perilaku atau perbuatan yang menciptaan hubungan integrasi dari sebuah kesatuan sosial umat Muslim. Perilaku tadi bersifat kongkrit dan merupakan bentuk dari kebudayaan jasmaniah dari seorang Muslim yang terlihat dari amalan yang biasa disebut sebagai perbuatan taqwa yang mempunyai relasi antara manusia dengan sang pencipta (Allah) dan memunculkan aktifitas ibadah. Dari pemahaman terhadap taqwa tersebut, akhirnya melahirkan sebuah kesatuan sosial umat Muslim dengan Tuhanya yang akhirnya membentuk masjid sebagai pusat ibadah bagi umat Muslim. Jadi simbol Masjid Agung Demak disini dimaknai sebagai sebuah kriteria dari proses integrasi sosial yang telah menjadikan semua lapisan masyarakat Muslim menganggap Masjid sebagai pusat orientasi kultur (medan budaya). Hal inilah yang menjadikan Masjid Agung Demak mempunyai sebuah nilai simbolis yang penting bagi masyarakat Demak khususnya, dan masyarakat Islam di Nusantara pada umumnya hingga kini. Hal ini terkonsepsi oleh karena Masjid Agung Demak dikonstruksi masyarakat ke dalam hubungan antara relasi etis dan estetika. Setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Islam di Demak mengadakan Grebeg Besar di Masjid Agung Demak untuk memperingati Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan Sholat Ied dilanjutkan penyembelihan hewan qurban. Pada waktu itu kegiatan tersebut dilakukan di lingkungan Masjid Agung Demak dengan keramaian syiar-syiar keagamaan dan sampai saat ini kegiatan tersebut masih tetap berlangsung, bahkan dikembangkan. Tujuan Grebeg Besar hakikatnya adalah merayakan “Hari Raya Kurban” sekaligus memperingati 40 hari peresmian
130
Masjid Agung Demak. Tradisi Grebeg Besar di Demak sebagai sebuah ritual tahunan umat Muslim Demak tentu mempunyai fungsi sosial, dimana dalam ritual ini merupakan sebuah manisfestasi berupa hajat bagi para penganut agama Islam di Jawa. Tradisi yang sudah turun temurun ini merupakan hasil cipta rasa ulama masa lalu. Makna, nilai dan fungsi ritual Grebeg Besar dapat dijadikan sebagai tuntunan serta pandangan hidup dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya kebudayaan intelektual Islam yang digagas oleh para Wali Songo dan ulama dengan membentuk sebuah pelembagaan Islam. Pelembagaan ini salah satunya berupa pendirian Masjid Agung Demak sebagai patron untuk proses islamisasi di Jawa pada waktu itu. Masjid Agung Demak sengaja dikonstruksi oleh para wali sebagai tempat pertemuan keagamaan, dan tempat peleburan status sosial bagi kaum Muslim. Dari pendirian Masjid Agung Demak inilah konstruksi baru terbentuk karena masyarakat akan dibawa memasuki ranah kultural baru di dalam proses evolusi kebudayaan. Dalam hal ini adalah kebudayaan Islam yang khas di Jawa. Islam adalah cara hidup bagi yang menganutnya, baik dimanapun dan kapanpun Islam masuk dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Pada saat itu pula Islam telah menjadi pedoman pola perilaku mulai dari cara berpikir dan bertindak yang akhirnya membentuk sebuah kultur yang khusus. Dari kenyataan yang terlihat dari sejarah perkembangan Islam di Demak membuktikan bahwa Islam mengandung aspek keagamaan dan aspek kebudayaan. Demak sebagai suatu wilayah basis dari penyebaran agama Islam membentuk perilaku masyarakatnya sebagai penganut Islam yang khas di Jawa, khususnya bagi
131
masyarakat pesisir Jawa. Proses itu berlangsung terus-menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan setiap generasi memeberikan setting yang berbedabeda. Sampai hari ini jejak-jejak kerajaan Demak masih bisa ditemukan dan dirasakan dampaknya bagi masyarakat. Bentuk itu terlihat dalam bingkai kebudayaan fisik yang masih dapat kita saksikan hingga hari ini. Kebudayaan fisik itu bisa dilihat dari simbol utama kota Demak sebagai “Kota Wali” yaitu Masjid Agung Demak. Keyakinan masyarakat akan kekeramatan dan kesakralan pada Masjid Agung Demak menempatkan bentuk konstruksi baru yang terbentuk. Konstruksi ini bersifat magis, artinya akan menempatkan orang-orang di dalam medan budaya yang terbentuk (Masjid Agung Demak) akan menjaga hubungan dengan dunia yang sifatnya magis dan sakral dengan dunia profan yang mengelilinginya. Bentuk konstruksi ini pada akhirnya akan membentuk sebuah pola relasi keselarasan dengan sikap-sikap yang saling menghormati dan mengagungkan medan budaya tersebut. Namun dibalik pesona magis yang dihadirkan oleh kota Demak, Demak yang sekarang adalah sebuah kota yang masih mencari bingkai kebudayaannya yang khas di pesisir Utara Pulau Jawa. Tradisi perayaan Grebeg Besar yang masih dipertahankan hingga saat ini menjadi menarik untuk dilihat karena ada perkembangan yang signifikan dalam hubungan antara praktik keagamaan dengan dorongan industri budaya. Hal ini berangkat pada asumsi dimana tradisi tidak semestinya ditempatkan sebagai lawan dari modernitas, tetapi tradisi itu harus bersifat kontekstual.
132
Disini saya melihat bahwa tradisi yang masih bertahan di Demak mengacu pada suatu dinamika dalam struktur masyarakat Demak yang diakronik maupun sinkronik. Secara diakronik, tradisi diartikan sebagai nilai-nilai yang masih berlanjut dari masa lampau lalu dipertentangkan dengan kehidupan saat ini (modernitas). Islam yang berdialektika dengan budaya lokal tersebut pada akhirnya membentuk sebuah varian Islam yang khas dan unik, seperti Islam Jawa. Varian Islam tersebut bukanlah Islam yang tercerabut dari akar kemurniannya, tapi Islam yang di dalamnya telah berakulturasi dengan budaya lokal. Dalam istilah lain, telah terjadi “inkulturasi”. Proses inkulturasi ini merupakan bentuk internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dengan cara akomodatif atau untuk mempertahankan identitas. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan oleh para wali pada saat itu dengan menggunakan proses inkulturasi dialektika antara ajaran Islam dengan kultur Jawa masih tetap terpelihara akar ideologisnya. Poin terakhir yang dilihat penulis disini adalah munculnya proses sinkretisme. Sikap toleran ajaran Islam yang dipraktikan terhadap budaya lokal membawa para Wali Songo dapat mentradisikan ritual-ritual yang menjembatani masyarakat dalam menerima ajaran Islam. Proses sinkretisme ini tercermin dari pendirian Masjid Agung Demak dan tradisi Grebeg Besar yang diciptakan oleh para wali pada saat itu. Proses eksternalisasi yang dirasakan masyarakat pada saat itu nampaknya telah larut terhadap emosi dan nalar keagamaan masyarakat. Jika dilihat lebih mendalam, proses sinkretisme yang terjadi merupakan faktor integratif dalam hubungan antar kepercayaan yang ada di masyarakat. Hal ini
133
telah berhasil dilakukan oleh para wali dengan menggunakan pendekatan model tasawufnya (praktik-praktik magis). Dengan demikian Masjid Agung Demak hadir dengan seluruh pesona magis yang dimilikinya akibat didukung dari proses sinkretisme yang terlibat di dalamnya. Masjid Agung Demak pada akhirnya membentuk konstruksi sosial yang bersifat magis dan sakral karena mengandung mitologi dan mistifikasi yang datang melalui proses pelembagaan Islam yang dilakukan oleh Wali Songo. Untuk dapat menjaga bentuk konstruksi magis yang dihadirkan itu, maka para wali menciptakan berbagai tradisi ritual yang menghadirkan tiga aspek utama, yaitu ritual doa (mengikut syariat Islam), festival-festival budaya dan aktivitas sosial. Semua aspek tersebut dilandasi dengan corak magis dan religius mengingat cara pandang orang Jawa tentang keagungan adalah kekuatan magis seperti yang dihadirkan oleh Masjid Agung Demak serta tradisi Grebeg Besarnya.