BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting dalam kehidupan karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada tanah. Dalam berbagai aspek kehidupan orang membutuhkan tanah. Tanah berfungsi sebagai tempat pemukiman, sebagai tempat usaha dan lahan pertanian. Seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk khususnya di daerah perkotaan yang tidak diimbangi dengan jumlah lahan yang tersedia, sehingga menyebabkan tanah-tanah yang tersedia tidak cukup luas untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di atasnya. Selain untuk mendapatkan tanah sangatlah sulit, dikarenakan tanah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Salah satu cara untuk menguasai tanah atau memiliki tanah adalah melalui proses jual beli. Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.1 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang. Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur
1
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, hlm.79
dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di bawah judul "Tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian", dengan menyatakan bahwa "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".2 Perjanjian jual beli tanah sangat rentan dengan permasalahan, walaupun dalam perjanjian jual beli tanah telah diletakkan uang muka sebagai pengikat. Apabila calon pembeli tidak tepat membayar pelunasannya, maka calon penjual bisa berpaling kepada pembeli lain yang membayar secara tunai dengan harga tinggi. Salah satu cara atau solusi untuk menghindari calon penjual berpaling kepada pembeli lain adalah menuangkan klausula pada perjanjian akan jual beli. Hal ini dilakukan untuk keamanan obyek yang diperjanjikan. Jika suatu perjanjian digantungkan pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut harus dianggap tidak terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa dimaksud.3 Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian,
2
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT.RadjaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.7 3 Subekti, Op. cit, hlm.5
demikianlah Pasal 1265 KUHPerdata.4
Dengan demikian syarat batal itu
mewajibkan kreditur untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Artinya ada penyelesaian terlebih dahulu. Dalam kasus perjanjian jual beli yang masih ada keterikatan dengan pihak lain terdahulu, haruslah diselesaikan terlebih dahulu apalagi ada klausula yang menyatakan tidak diperbolehkan menjual kepada pihak lain. Apabila hal ini dilanggar, maka konsekuensi hukumnya dapat dibatalkan perjanjian jual beli tersebut dan hakim akan berpendapat baik penjual maupun pembeli beritikad buruk. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal dengan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang menghapus dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli tanah tidak sama lagi dengan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal 1458 KUHPerdata. UUPA menciptakan unifikasi dibidang hukum tanah yang didasarkan pada hukum adat. Oleh karena itu, meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli, dapat dipahami pengertian jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian hukum adat mengingat hukum tanah nasional yang berlaku adalah hukum adat. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal ini isinya tidak 4
R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.328
ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang sengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi meskipun dalam UUPA hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membahasnya dalam bentuk tesis berjudul "KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN UANG MUKA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960".
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian jual beli tanah dengan uang muka setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960? pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Samarinda
(Studi Kasus Nomor:
30/Pdt.G/2002/PN.Smda). 2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian perjanjian jual beli tanah dengan uang muka setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960? (Studi Kasus
pada
Putusan
30/Pdt.G/2002/PN.Smda).
Pengadilan
Negeri
Samarinda
Nomor
:
C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.5 Adapun tujuan yang hendak dicapai, yaitu : 1.
Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian jual beli tanah dengan uang muka setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (Studi Kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor:30/Pdt.G/2002/PN.Smda) b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian perjanjian jual beli tanah dengan uang muka setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (Studi Kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor : 30/Pdt.G/2002/PN.Smda).
2.
Tujuan Subyektif Untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut:
5
Soerjono Soekanto, 1998, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 3
1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umumnya, serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM, ditemukan penelitian yang memiliki relevansi dengan perjanjian jual beli tanah, diantaranya adalah : 1. Penelitian dengan judul Perikatan Jual Beli Tanah Dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional (Studi Kasus Di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan) ditulis oleh Raihani Fachrin (2009). Penelitian tersebut membahas tentang: a. Mengapa para pihak melaksanakan perikatan jual beli tanah di hadapan notaris ? b. Apakah dengan perikatan jual beli tanah, para pihak sudah merasa aman dan mendapatkan perlindungan hukum ?
Kesimpulan dari penelitian diatas bahwa dalam praktek di Kota Banjarbaru, perikatan jual beli tanah dilaksanakan karena beberapa hal antara lain karena status tanah belum bersertipikat sedangkan proses peralihan hak harus segera dilaksanakan, pelayanan Notaris terhadap masyarakat yang harus melakukan perbuatan hukum termasuk perikatan jual beli tanah pada setiap saat pada setiap saat dan terjadinya pembelian tanah secara kredit sehingga belum bisa balik nama. Para pihak yang melakukan perikatan jual beli tanah di Kota Banjarbaru menyatakan merasa telah mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum. Mereka tidak mempermasalahkan apakah perlindungan hukum dan kepastian hukum menurut hukum tanah nasional ataukah menurut hukum nasional yang didasarkan pada hukum perjanjian KUHPerdata. Ada perbedaan dengan penelitian terdahulu yaitu pada penelitian ini membahas mengenai kekuatan hukum dan kekuatan pembuktian perjanjian jual beli tanah dengan uang muka, sedangkan penelitian terdahulu mengkhususkan mengapa terjadinya perikatan jual beli tanah di hadapan notaris. 2. Penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris apabila terjadi sengketa perdata, ditulis oleh Elva Fitrianingsih (2011). Penelitian ini membahas tentang:
a. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat oleh notaris apabila diajukan alat bukti lain oleh pihak lawan dalam sengketa perdata di Pengadilan Negeri Yogyakarta ? b. Bagaimanakah tanggung jawab notaris mengenai akta otentik yang dibuatnya apabila terjadi sengketa perdata di Pengadilan ? Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa akta otentik memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sempurna dan mengikat. Akta otentik dapat dibatalkan oleh institusi pengadilan bila terdapat kesalahan atau cacat dalam proses pembuatan atau bentuk akta, yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur formalitas pembuatan akta. Namun akta otentik notaris tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan bila terdapatnya kesalahan adalah pada unsur materialnya atau mengenai kebenaran dari isi akta. Jika akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut mengandung unsur kesalahan yang bertentangan dengan hukum dan atas itu dapat menimbulkan kerugian-kerugian yang secara sengaja dilakukan dengan mengetahui
sebelumnya,
maka
notaris
dapat
dituntut
untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tanggung jawab Notaris dapat berbentuk sanksi administratif dan juga sanksi perdata. Dalam hal ini prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk itu, sementara penjatuhan sanksi perdata melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang amar putusannya menghukum notaris untuk
membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang menggugat notaris berperkara. Apabila notaris tidak turut digugat dalam sengketa perdata tersebut maka notaris tidak wajib mempertanggung jawabkan kerugian yang diderita pihak penggugat. Perbedaannya
adalah
pada
penelitian
terdahulu
membahas
mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta otentik, sedangkan persamaannya adalah mengenai kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh notaris. Dengan demikian, dapat dikatakan penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan yang diberikan dalam pasal tersebut menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Ketentuan terhadap pasal ini masih terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain seperti diuraikan di bawah ini: a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. b. Kata perbuatan menyangkut juga tanpa consensus. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. d. Tanpa menyebut tujuan. e. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan.