Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
3.1 Umum Perkembangan realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005-2008 menunjukkan adanya tren kenaikan dengan rata-rata petumbuhan sebesar 25,6 persen. Pertumbuhan tersebut terjadi baik pada penerimaan dalam negeri maupun hibah yang masing-masing rata-rata tumbuh sebesar 25,6 persen dan 20,9 persen. Secara lebih rinci, dalam periode 2005-2008, pertumbuhan penerimaan dalam negeri didukung oleh pertumbuhan penerimaan perpajakan yang rata-rata tumbuh sebesar 23,8 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 29,7 persen. Peningkatan realisasi pendapatan negara dan hibah tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan kondisi makroekonomi, faktor eksternal, dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah selama periode 2005-2008. Secara umum, kebijakan perpajakan diarahkan untuk terus meningkatkan penerimaan tanpa membebani perkembangan dunia usaha. Dalam hal ini, tiga strategi yang diterapkan Pemerintah adalah dengan melakukan (a) reformasi di bidang administrasi, (b) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan, dan (c) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi. Selain itu, dalam tahun 2009 Pemerintah telah mencanangkan program reformasi perpajakan jilid II sebagai kelanjutan dari reformasi perpajakan jilid I yang telah selesai pada tahun 2008. Fokus utama program reformasi perpajakan jilid II adalah peningkatan manajemen sumber daya manusia serta peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Program reformasi perpajakan jilid II ini dikemas dalam bentuk Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR). Di bidang PNBP, kebijakan yang diambil lebih diarahkan untuk mengoptimalkan penerimaan dengan menerapkan kebijakan antara lain (1) peningkatan produksi/lifting migas; (2) peningkatan kinerja BUMN; (3) melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan; (4) identifikasi potensi PNBP; dan (5) peningkatan pengawasan PNBP kementerian negara/lembaga. Pada tahun 2009, realisasi pendapatan negara dan hibah sedikit mengalami pelambatan seiring dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp872,6 triliun atau turun 11,1 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Penerimaan dalam negeri turun 11,0 persen, dengan perincian penerimaan perpajakan turun 1,0 persen dan PNBP turun 31,5 persen. Faktor-faktor yang menyebabkan melambatnya penerimaan antara lain relatif rendahnya Indonesian crude oil price (ICP), yaitu dari US$97,0 per barel pada tahun 2008 menjadi US$61,0 per barel pada tahun 2009 dan menurunnya volume serta nilai perdagangan internasional. Untuk mengurangi dampak buruk dari melambatnya laju perekonomian sebagai imbas dari krisis ekonomi global, Pemerintah telah mengambil kebijakan countercyclical pada awal tahun 2009. Kebijakan countercyclical tersebut dikemas dalam bentuk pemberian paket
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-1
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
stimulus fiskal yang bertujuan untuk (a) memelihara daya beli masyarakat; (b) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha menghadapi krisis global; dan (c) meningkatkan daya serap tenaga kerja dan meredam pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Total stimulus fiskal yang diberikan adalah sebesar Rp73,3 triliun, terdiri dari stimulus bidang perpajakan sebesar Rp56,3 triliun dan stimulus bidang belanja sebesar Rp17,0 triliun. Stimulus bidang perpajakan diberikan dalam bentuk tax cut/tax saving dan pemberian fasilitas pajak ditanggung pemerintah (DTP) kepada sektorsektor tertentu. Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan mulai pulih dari krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai level yang lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2009. Demikian juga halnya pada beberapa indikator makroekonomi lainnya yang secara umum diperkirakan akan mengalami perbaikan. Berdasarkan asumsi perbaikan kondisi ekonomi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2010 direncanakan sebesar Rp911,5 triliun. Dengan komposisi penerimaan dalam negeri sebesar Rp910,1 triliun dan hibah Rp1,4 triliun. Penerimaan perpajakan direncanakan mencapai Rp729,2 triliun, sedangkan PNBP Rp180,9 triliun. Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2010, Pemerintah menjalankan berbagai kebijakan baik di bidang perpajakan maupun PNBP. Pokok-pokok kebijakan perpajakan secara umum adalah melanjutkan kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya yang secara garis besar meliputi program ekstensifikasi perpajakan, program intensifikasi perpajakan, program kegiatan pasca sunset policy, serta program reformasi perpajakan jilid II yang telah dimulai pada tahun 2009. Di bidang PNBP, kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah antara lain optimalisasi penerimaan sumber daya alam (SDA) terutama dari sektor minyak dan gas bumi (migas), peningkatan kinerja BUMN, serta optimalisasi PNBP.
3.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2005-2008 dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2009 Selama periode 2005-2008, realisasi pendapatan negara dan hibah menunjukkan adanya tren peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 25,6 persen. Perkembangan makroekonomi yang cukup stabil pada periode 2005 hingga pertengahan 2008 merupakan faktor utama yang mendorong peningkatan pendapatan negara dan hibah. Namun demikian, seiring dengan terjadinya krisis pada akhir tahun 2008, realisasi pendapatan negara dan hibah diperkirakan mengalami pelambatan. Pada tahun 2009, realisasi pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp872,6 triliun, atau mengalami penurunan sebesar 11,1 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Perkembangan pendapatan negara dan hibah dapat dilihat pada Tabel III.1.
3.2.1 Penerimaan Dalam Negeri Realisasi penerimaan dalam negeri dalam periode 2005-2008 mengalami pertumbuhan ratarata sebesar 25,6 persen, dengan didukung pertumbuhan pada penerimaan perpajakan rata-
III-2
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
TABEL III.1 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) Uraian
2005
2006
2007
2008
2009*
Pendapatan Negara dan Hibah
495,2
638,0
707,8
981,6
872,6
I.
Penerimaan Dalam Negeri
493,9
636,2
706,1
979,3
871,6
a. Perpajakan
347,0
409,2
491,0
658,7
652,1
b. PNBP Hibah
146,9 1,3
227,0 1,8
215,1 1,7
320,6 2,3
219,5 1,0
II.
* RAPBN-P 2009 Sumber: Departemen Keuangan
rata sebesar 23,8 persen dan PNBP 29,7 persen. Dilihat dari komposisinya, penerimaan perpajakan memberikan kontribusi rata-rata sebesar 67,8 persen, sedangkan PNBP sebesar 32,2 persen. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri adalah (a) meningkatnya harga ICP dari US$51,8 per barel pada tahun 2005 menjadi US$63,8 per barel pada tahun 2006, US$69,7 per barel pada tahun 2007 dan US$97,0 per barel pada tahun 2008; (b) meningkatnya harga komoditi pangan, seperti gandum, kedelai, dan komoditi strategis seperti CPO dan turunannya; (c) keberhasilan pelaksanaan berbagai kebijakan perpajakan dan PNBP. Perkembangan penerimaan dalam negeri dalam periode 2005 – 2008 dapat dilihat pada Tabel III.2. TABEL III. 2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, 2005 - 2008 (triliun Rupiah)
Uraian Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan 1. Migas 2 Nonmigas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea masuk ii. Bea keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU
2005
2006
2007
2008
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
493,9 347,0 331,8 175,5 35,1 140,4 101,3 16,2 3,4 33,3 2,1 15,2 14,9 0,3 146,9 110,5 103,8 6,7 12,8 23,6 0,0
636,2 409,2 396,0 208,8 43,2 165,6 123,0 20,9 3,2 37,8 2,3 13,2 12,1 1,1 227,0 167,5 158,1 9,4 21,5 38,0 0,0
706,1 491,0 470,1 238,4 44,0 194,4 154,5 23,7 6,0 44,7 2,7 20,9 16,7 4,2 215,1 132,9 124,8 8,1 23,2 56,9 2,1
979,3 658,7 622,4 327,5 77,0 250,5 209,6 25,4 5,6 51,3 3,0 36,3 22,8 13,6 320,6 224,5 211,6 12,8 29,1 63,3 3,7
Sumber : Departemen Keuangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-3
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Pada tahun 2009, penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp871,6 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan Rp652,1 triliun dan PNBP Rp219,5 triliun. Dibandingkan dengan realisasi tahun 2008, perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri mengalami penurunan sebesar Rp107,7 triliun atau 11,0 persen, sedangkan penerimaan perpajakan dan PNBP masing-masing mengalami penurunan sebesar 1,0 persen dan 31,5 persen. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya penerimaan dalam negeri adalah (1) melambatnya laju pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh pada melemahnya daya beli masyarakat; (2) menurunnya ICP dari US$97,0 per barel pada tahun 2008 dan diperkirakan menjadi US$61,0 per barel pada 2009; (3) merosotnya volume dan nilai ekspor impor. Penerimaan dalam negeri dalam tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel III.3. TABEL III.3 PENERIMAAN DALAM NEGERI 2009 (triliun Rupiah) Uraian Penerimaan Dalam Negeri
APBN
Dok. Stimulus
RAPBN-P
% thd PDB
984,8
847,6
871,6
16,1
1. Penerimaan Perpajakan
725,8
661,8
652,1
12,0
a. Pajak Dalam Negeri
697,3
642,2
632,1
11,7
357,4
319,6
340,4
6,3
56,7
38,8
49,5
0,9
300,7
280,8
290,9
5,4
249,5
233,6
203,1
3,7
28,9
23,9
23,9
0,4
7,8
7,2
7,0
0,1
49,5
54,4
54,5
1,0
4,3
3,5
3,3
0,1
28,5
19,5
20,0
0,4
Bea masuk
19,2
17,2
18,6
0,3
ii. Bea keluar
9,3
2,4
1,4
0,0
258,9
185,9
i.
Pajak penghasilan 1. Migas 2. Nonmigas
ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak bumi dan bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA
219,5
4,0
173,5
103,7
140,0
2,6
Migas
162,1
92,0
129,1
2,4
ii. Nonmigas
11,4
11,7
10,9
0,2
i.
b. Bagian Laba BUMN
30,8
26,1
29,2
0,5
c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU
49,2 5,4
50,6 5,4
44,4 5,9
0,8 0,1
Sumber : Departemen Keuangan
3.2.1.1 Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan selama periode 2005-2008 mengalami peningkatan secara signifikan dari Rp347,0 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp658,7 triliun pada tahun 2008, atau ratarata tumbuh sebesar 23,8 persen. Peningkatan tersebut terjadi pada seluruh pos penerimaan, terutama pos penerimaan PPh, PPN dan PPnBM, dan cukai. Secara rata-rata dari tahun 2005-2008, PPh tumbuh sebesar 23,1 persen, PPN dan PPnBM tumbuh sebesar 27,4 persen,
III-4
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
dan cukai tumbuh 15,5 persen. Faktor utama yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan perpajakan adalah perbaikan sistem administrasi perpajakan sebagai hasil dari kegiatan modernisasi administrasi di bidang perpajakan, kepabeanan, dan cukai.
GRAFIK III.1 TAX RATIO DAN PENERIMAAN PERPAJAKAN, 2005 - 2008 13,6
700
13,4 Penerimaan Perpajakan
Tax Ratio
600
13,2
500
(%)
12,8
400
12,6 300
12,4 12,2
200
12,0 100
11,8
0
11,6 2005
2006
2007
2008
Sumber: Departemen Keuangan
(Triliun Rp)
13,0
Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Dalam periode 2005-2008, kontribusi pajak dalam negeri rata-rata mencapai Rp455,0 triliun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 23,3 persen. Sementara itu, kontribusi pajak perdagangan internasional rata-rata mencapai Rp21,4 triliun dengan pertumbuhan rata-rata 33,6 persen.
Dilihat dari proporsinya terhadap PDB (tax ratio), kontribusi penerimaan perpajakan meningkat dari 12,5 persen pada 2005 menjadi 13,3 persen pada 2008. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa peranan perpajakan semakin penting sebagai sumber utama pendapatan negara. Perkembangan tax ratio selama periode 2005-2008 dapat dilihat pada Grafik III.1. Pada tahun 2009, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp652,1 triliun atau 12,0 persen terhadap PDB, terdiri dari pajak dalam negeri Rp632,1 triliun dan pajak perdagangan internasional Rp20,0 triliun. Perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2009 tersebut 1,0 persen lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Penurunan penerimaan perpajakan terutama terjadi pada pajak perdagangan internasional yaitu 44,9 persen. Faktor utama yang mendorong turunnya penerimaan perpajakan, khususnya bea masuk, bea keluar, dan pajak dalam rangka impor (PDRI), adalah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan merosotnya nilai dan volume transaksi perdagangan internasional. Penurunan diperkirakan juga terjadi pada penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan PPnBM. Faktor utama yang menyebabkan penurunan penerimaan PPN dan PPnBM adalah melemahnya daya beli masyarakat yang berdampak pada berkurangnya konsumsi dalam negeri dan impor. Kebijakan Umum Perpajakan Sejak tahun 2002, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah pembaharuan serta penyempurnaan kebijakan dan administrasi perpajakan (tax policy and administration reform). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa peranan penerimaan perpajakan dewasa ini menjadi begitu penting dalam menopang keberlangsungan APBN. Secara umum, langkah-langkah pembenahan di bidang perpajakan yang telah dan akan terus dilakukan oleh Pemerintah meliputi pertama, reformasi di bidang administrasi; kedua, reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan ketiga, reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-5
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Program reformasi administrasi perpajakan, atau yang secara singkat disebut Modernisasi Perpajakan, mulai berjalan sejak tahun 2002 dan telah berakhir pada tahun 2008. Program ini dimulai dengan pembentukan Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) wajib pajak besar (large taxpayers office). Sampai dengan akhir 2008, telah berhasil dibentuk 330 KPP Modern. Meskipun program modernisasi perpajakan telah selesai pada tahun 2008, pada tahun 2009 telah dibentuk satu KPP untuk wajib pajak besar orang pribadi. Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amandemen tiga undang-undang perpajakan yaitu: Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Amandemen atas Undang-undang PPN yang sampai dengan saat ini masih dalam pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Reformasi kebijakan tersebut termasuk penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan yang menjadi aturan pelaksanaan dari kedua undang-undang yang telah disahkan tersebut. Sampai saat ini, baru dua undangundang yang berhasil direvisi dan telah mendapatkan persetujuan dari DPR yaitu Undangundang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang Nomor 36 tentang Pajak Penghasilan. Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling dan benchmarking. Selain itu, dalam tahun 2008, dan selanjutnya diperpanjang hingga Februari 2009, Pemerintah mengeluarkan program sunset policy yang mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan ketentuan pelaksanaannya (Boks III.1 : Sunset Policy). Tujuan dari program sunset policy adalah untuk mengajak masyarakat, khususnya para wajib pajak (WP), untuk mulai melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Selain itu, program Sunset Policy juga didisain untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. BOKS III.1 SUNSET POLICY Definisi : Kebijakan Sunset Policy merupakan suatu kebijakan yang memberikan fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan ketentuan pelaksanaannya. Tujuan : • Mendorong wajib pajak dan masyarakat untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan benar.
III-6
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
• Mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Masa Berlaku : Pada awalnya hanya akan berlaku dalam tahun 2008 (1 Januari hingga 31 Desember 2008). Melalui Perpu, Pemerintah memperpanjang hingga 28 Februari 2009 sehubungan dengan besarnya animo masyarakat terhadap program ini. Pengambil Manfaat : Fasilitas penghapusan sanksi administrasi diberikan kepada seluruh masyarakat dan wajib pajak baik orang pribadi maupun badan, dengan syarat: 1) Orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan pajak penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2009; dan 2) Wajib pajak orang pribadi dan badan yang dalam tahun 2008 membetulkan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya sehingga pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Fasilitas : • Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen tiap bulan dari pajak yang kurang dibayar. • Tidak dilakukan pemeriksaan kecuali ada data yang menyatakan SPT Tahunan PPh tersebut tidak benar atau SPT tersebut menyatakan lebih bayar atau rugi. Demikian pula dengan data dan informasi yang tercantum pada SPT Tahunan PPh yang disampaikan, tidak digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainya. Hasil: 1) Penambahan jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP ; 2) Penambahan jumlah SPT Tahunan PPh sebanyak 804.814 SPT; dan 3) Penambahan jumlah penerimaan PPh sebanyak Rp. 7,46 triliun.
Khusus di bidang kepabeanan, Pemerintah antara lain telah melakukan langkah langkah (a) pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; (b) pemberian fasilitas/ kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (pre entry classification and customs advice and valuation ruling, and pre-notification); (c) pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (d) pembentukan Kantor Pelayanan Utama dan KPPBC Madya; (e) meningkatkan pengawasan fisik dan administrasi lalu lintas BBM dan CPO; (f) melakukan kerjasama perdagangan Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral; (g) national single windows (NSW) dan Portal Indonesia National Single Windows; (h) peningkatan pelayanan kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (i) penegakan hukum di bidang kepabenan dan cukai melalui risk management, risk assesment, profilling dan targeting; dan (j) meningkatkan kepatuhan eksportir dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar bea keluar. Khusus di bidang cukai, sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, secara bertahap telah dan akan dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-7
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
pelaksanaan maupun sistem prosedur di bidang cukai sehingga dapat memberikan perlindungan atas kesehatan masyarakat. Namun demikian, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja produsen barang kena cukai (BKC) yang cukup besar. Hal ini dilakukan antara lain melalui (a) perubahan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai; (b) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (c) peningkatan pelayanan di bidang cukai; (d) peningkatan pengawasan di bidang cukai, terutama terhadap peredaran hasil tembakau & minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA) impor; (e) peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (f) penerapan kode etik (reward and punishment); dan (g) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek pemalsuan cukai. Selain melaksanakan reformasi di bidang perpajakan, guna mengurangi dampak negatif krisis global, dalam tahun 2009 Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dengan total dana sebesar Rp73,3 triliun atau 1,4 persen PDB. Khusus untuk perpajakan, stimulus fiskal yang diberikan adalah sebesar Rp56,3 triliun dalam bentuk penghematan pajak (tax cut/tax saving) dan subsidi pajak (lihat Boks III.2: Stimulus Fiskal Perpajakan). Tujuan program stimulus fiskal tersebut adalah untuk menjaga konsumsi masyarakat dengan meningkatkan daya beli, memperbaiki daya saing, dan daya tahan sektor usaha.
BOKS III.2 STIMULUS FISKAL BIDANG PERPAJAKAN Latar Belakang: Terjadinya krisis global diperkirakan akan berdampak serius pada perekonomian Indonesia karena berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan semula. Dampak krisis global telah menimbulkan dampak nyata terhadap perekonomian nasional yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan ekspor, penurunan produksi dan rasionalisasi tenaga kerja yang menimbulkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah penyesuaian darurat di bidang fiskal untuk menyelamatkan perekonomian nasional 2009 dengan memperluas program stimulus fiskal APBN 2009. Dasar Hukum : Pasal 23 UU APBN Tahun 2009. Dalam keadaan darurat Pemerintah dengan persetujuan DPR boleh mengambil langkahlangkah: • pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu APBN 2009; • pergeseran anggaran belanja antarprogram, antarkegiatan, dan/atau antarjenis belanja baik di dalam atau antar kementerian negara/lembaga; • penghematan belanja untuk peningkatan efisiensi dengan tetap menjaga sasaran yang harus tercapai;
III-8
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
• penarikan pinjaman siaga dari kreditor bilateral maupun multilateral; • penerbitan Surat Berharga Negara melebihi pagu APBN tahun yang bersangkutan. Keadaan darurat yang dimaksud antara lain adalah: • penurunan pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi yang menyebabkan turunnya pendapatan negara; • kenaikan biaya utang; • krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan nasional. Kebijakan : Pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical. yaitu memutar siklus yang negatif ke arah yang positif. Tujuan : 1) memelihara daya beli masyarakat; 2) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha menghadapi krisis global; 3) meningkatkan daya serap tenaga kerja dan meredam PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Alokasi Dana : Total dana yang dialokasikan untuk program stimulus fiskal adalah Rp73,3 triliun. Khusus untuk stimulus fiskal bidang perpajakan, total dana yang dialokasikan adalah Rp56,3 triliun. Rincian: •
Kebijakan stimulus fiskal untuk memelihara daya beli masyarakat, diberikan dalam bentuk tax saving dan subsidi pajak/DTP: o penyederhanaan lapisan penghasilan dari 5 menjadi 4 lapisan dan penurunan tarif PPh OP dari tarif tertinggi 35 persen —> 30 persen, stimulus sebesar Rp13,5 triliun. o peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), stimulus sebesar Rp11,0 triliun o DTP PPN minyak goreng sebesar Rp0,8 triliun. o DTP PPN bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp0,2 triliun. o PPh pasal 21 orang pribadi (OP) sebesar Rp6,5 triliun. Dalam hal ini, pajak yang dipungut oleh perusahaan dari karyawan ditanggung oleh Pemerintah dan dikembalikan kepada karyawan sebagai stimulus fiskal.
•
Kebijakan fiskal untuk meningkatkan daya saing dan daya tahan usaha diberikan dalam bentuk penurunan tarif tunggal WP badan dan pemberian keringanan pajak 5 persen dibawah tarif normal terhadap perusahaan masuk bursa. Di samping itu, WP badan juga mendapat keringanan beban pajak berupa pemberian insentif pajak untuk perusahaan yang bergerak pada sektor tertentu dan/atau berlokasi di daerah tertentu. Secara total, kebijakan fiskal untuk meningkatkan daya saing dan daya tahan usaha tersebut diharapkan dapat memberikan stimulus sebesar Rp18,5 triliun.
•
Kebijakan stimulus fiskal juga diberikan dalam bentuk: o Pemberian fasilitas bea masuk DTP sebesar Rp2,5 triliun. Tujuan dari pemberian fasilitas bea masuk DTP tersebut adalah untuk memenuhi penyediaan barang dan/atau jasa untuk kepentingan umum, mendorong sektor riil, dan meningkatkan daya saing industri tertentu di dalam negeri. o Pemberian subsidi PPN berupa pajak dalam rangka impor kepada perusahaan yang melaksanakan eksplorasi minyak dan gas bumi. Tujuannya adalah untuk menarik perusahaan agar berinvestasi pada industri minyak dan gas bumi. o Insentif PPh panas bumi yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi guna pembangkitan energi/listrik.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-9
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
STIMULUS FISKAL BIDANG PERPAJAKAN 2009 Alokasi (triliun Rp)
Uraian
Peraturan
Pelaksanaan
13,5 11,0
UU No. 36/2009 UU No. 36/2009
1 Jan 2009 1 Jan 2009
A. Penghematan Pembayaran Perpajakan 1. Penurunan tarif PPh OP (35% --> 30%) dan perluasan lapisan tarif 2. Peningkatan PTKP menjadi Rp15,8 juta 3. Penurunan tarif PPh Badan (30% --> 28%) dan perusahaan masuk bursa --> tarif 5% lebih rendah
11,0
18,5
UU No. 36/2009
1 Jan 2009
B. Subsidi Pajak/BM (DTP) kepada Dunia Usaha/RTS 1. PPh Panas Bumi 2. PPh Pasal 21 3. PPN Minyak Goreng 4. PPN Bahan Bakar Nabati (BBN) 5. PPN Eksplorasi Migas 6. Bea Masuk Industri
13,3 0,8 6,5 0,8 0,2 2,5 2,5
PMK 242/2008 PMK 43/2009 PMK 231/2008 PMK 242/2008 PMK 241/2009
1 Jan 2009 18 Mar 2009 23 Des 2009 1 Jan 2009 26 Feb 2009
Jumlah Stimulus
24,3
Sumber: Departemen Keuangan
BEA MASUK DTP 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Sektor Pesawat Terbang Komponen Kendaraan Bermotor Komponen Elektronika Kapal Industri Alat Besar Kemasan Infus Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sorbitol Industri Telematika Industri Pembuatan Methyltin Mercaptide Alat Tulis Berupa Ballpoint Lainnya Total Bea Masuk DTP
Alokasi (miliar Rp) 416,0 795,2 215,4 151,0 106,0 11,4 14,0 0,7 50,0 0,9 3,2 736,2
Peraturan PMK 26/2009 PMK 27/2009 PMK 28/2009 PMK 29/2009 PMK 30/2009 PMK 31/2009 PMK 33/2009 PMK 34/2009 PMK 35/2009 PMK 36/2009 PMK 37/2009 -
2.500,0
Sumber: Departemen Keuangan
Pajak Dalam Negeri Pajak dalam negeri terdiri dari PPh, PPN dan PPnBM, PBB, BPHTB, cukai dan pajak lainnya. Selama periode 2005-2008, penerimaan pajak dalam negeri meningkat dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp622,4 triliun pada tahun 2008. Rata-rata pertumbuhan dalam periode tersebut adalah 23,3 persen. Pertumbuhan penerimaan perpajakan dalam negeri tersebut terjadi pada semua jenis pajak dengan besaran pertumbuhan bervariasi. Pertumbuhan dari masing-masing jenis pajak dalam periode 2005-2009 dapat dilihat dalam Grafik III.2.
III-10
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
GRAFIK III.2 PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, 2005 - 2009
Persen (Y-o-Y)
90 80
2005
75,0
2006
2007
2008
2009*
87,0
70 60
53,2
50
45,4
40 30
35,7 28,5 22,9
18,0 17,4
20 10
21,5
15,7
37,8
28,5
28,6
25,6
17,6
13,7
13,6
18,3
19,3
19,7
14,7 9,5
6,9
3,9
1,9
14,0
11,6
10,8
0 (10)
-1,2
-7,7
-5,6
PPh non Migas
PPh Migas
PPN
PBB
-7,2
-3,1
-6,4
BPHTB
Cukai
Pajak Lainnya
* RAPBN-P Sumber : Departemen Keuangan
Dilihat dari besarnya kontribusi, PPh merupakan kontributor utama bagi penerimaan pajak dalam negeri selama periode 2005-2008, dengan kontribusi rata-rata sebesar Rp237,6 triliun atau 52,2 persen terhadap total penerimaan pajak dalam negeri. Kontributor terbesar kedua adalah PPN dan PPnBM yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar Rp147,1 triliun atau 32,2 persen dari total penerimaan pajak dalam negeri. Selanjutnya, cukai merupakan kontributor terbesar ketiga dengan kontribusi rata-rata Rp41,7 triliun atau 9,2 persen dari total penerimaan pajak dalam negeri. Kontribusi rata-rata dari masing-masing jenis pajak yang tercakup dalam pajak dalam negeri pada periode 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Grafik III.3. GRAFIK III.3 KONTRIBUSI PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, 2008 DAN 2009
2008 BPHTB 0,9%
Cukai 8,2%
2009
Pajak Lainnya 0,5% PPh Migas 12,4%
PBB 4,1%
PPN 33,7%
PPh Non-Migas 42,1%
BPHTB 1,1%
Cukai 8,6%
Pajak Lainnya 0,5% PPh Migas 7,8%
PBB 3,8%
PPN 32,1%
PPh NonMigas 46,0%
Sumber : Departemen Keuangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-11
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Sementara itu, penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp632,1 triliun. Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, PPh serta PPN dan PPnBM merupakan dua kontributor terbesar dengan kontribusi masing-masing mencapai Rp340,4 triliun dan Rp203,1 triliun. Secara persentase, kontribusi dari kedua jenis pajak tersebut masing-masing adalah 53,8 persen dan 32,1 persen. Sementara itu, cukai diharapkan dapat memberi kontribusi sebesar Rp54,5 triliun atau 8,6 persen dari total penerimaan pajak dalam negeri. Dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai sebesar Rp622,4 triliun, realisasi penerimaan pajak dalam negeri pada tahun 2009 diperkirakan naik sebesar Rp9,7 miliar atau 1,6 persen. Jenis-jenis pajak yang mengalami peningkatan adalah PPh nonmigas, BPHTB, cukai, dan pajak lainnya. Sedangkan untuk penerimaan PPh migas, PPN dan PPnBM serta PBB mengalami penurunan. Secara umum, rendahnya harga ICP pada tahun 2009 merupakan penyebab utama menurunnya penerimaan perpajakan, khususnya pajak migas. Pajak Penghasilan Dalam periode 2005-2008, penerimaan PPh meningkat rata-rata sebesar 23,1 persen. Berdasarkan komposisinya, PPh migas mampu memberikan kontribusi sebesar rata-rata 20,7 persen, sedangkan PPh nonmigas rata-rata 79,3 persen. Sementara itu, pada tahun 2009, penerimaan PPh direncanakan mencapai Rp340,4 triliun, atau meningkat 3,9 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp327,5 triliun. Peningkatan ini terutama berasal dari peningkatan penerimaan PPh nonmigas yang naik sebesar 16,1 persen. Sebaliknya, untuk penerimaan PPh migas justru mengalami penurunan sebesar Rp27,5 triliun atau 35,7 persen. PPh Migas Penerimaan PPh migas selama tahun 2005-2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 29,9 persen. Peningkatan tersebut terutama bersumber dari peningkatan penerimaan PPh gas alam yang rata-rata meningkat 26,7 persen dan PPh minyak bumi yang rata-rata meningkat 35,9 persen. Peningkatan realisasi penerimaan PPh migas tersebut disebabkan oleh meningkatnya ICP di pasar internasional dari US$51,8 per barel tahun 2005 menjadi US$97,0 per barel tahun 2008. Perkembangan realisasi PPh migas 2005-2009 selanjutnya dapat dilihat pada Tabel III.4. TABEL III. 4 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
LKPP
2006
% thd Total
PPh Minyak Bumi PPh Gas Alam PPh Migas Lainnya
11,8 23,3 0,0
33,6 66,3 0,0
Total
35,1 100,0
LKPP 14,7 28,5 0,0
2007
% thd Total 34,0 66,0 0,0
43,2 100,0
LKPP 16,3 27,3 0,4
2008
% thd Total
LKPP
2009
% thd Total
RAPBN-P
% thd Total
37,0 62,0 1,0
29,6 47,4 0,0
38,5 61,5 0,0
18,6 30,9 0,0
37,6 62,4 0,0
44,0 100,0
77,0
100,0
49,5
100,0
Sumber : Departemen Keuangan
III-12
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Pada tahun 2009, penerimaan PPh migas direncanakan mencapai Rp49,5 triliun. Dengan demikian, terjadi penurunan sebesar Rp27,5 triliun atau 35,7 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp77,0 triliun. Faktor utama yang menyebabkan turunnya penerimaan PPh migas adalah turunnya ICP dari rata-rata US$97,0 per barel pada tahun 2008 menjadi US$61,0 per barel pada tahun 2009. Penerimaan PPh migas tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.4.
GRAFIK III.4 PENERIMAN PPh MIGAS 2009 70 56,7
60
49,5
( triliun Rp )
50 38,8
40 30
20
PPh Nonmigas
10
Dalam periode 2005-2008, PPh nonmigas 0 meningkat dari Rp140,4 triliun pada tahun APBN Dok. Stim. RAPBN-P 2005 menjadi Rp250,5 triliun pada tahun Sumber: Departemen Ke uangan 2008, atau rata-rata tumbuh sebesar 21,3 persen. Secara garis besar, peningkatan PPh nonmigas berasal dari peningkatan penerimaan PPh Pasal 25/29 badan, yaitu rata-rata mencapai 27,4 persen, PPh pasal 21 mencapai ratarata 23,6 persen, dan PPh final dan fiskal luar negeri yang mencapai rata-rata 5,6 persen. Perkembangan realisasi PPh nonmigas 2005-2009 selanjutnya dapat dilihat pada Tabel III.5. TABEL III. 5 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
LKPP
2006
% thd Total
LKPP
2007
% thd Total
LKPP
2008
% thd Total
LKPP
2009
% thd Total
RAPBN-P
% thd Total
PPh Pasal 21
27,4
19,5
31,6
19,1
39,4
20,3
51,7
20,6
44,2
15,2
PPh Pasal 22
2,8
2,0
4,0
2,4
4,0
2,0
5,0
2,0
5,8
2,0
PPh Pasal 22 Impor
13,5
9,6
13,1
7,9
16,6
8,6
25,1
10,0
24,3
8,4
PPh Pasal 23
8,0
13,0
9,2
15,4
9,3
15,7
8,1
18,1
7,2
23,2
PPh Pasal 25/29 Pribadi
1,6
1,1
1,8
1,1
1,6
0,8
3,6
1,4
3,3
1,1
PPh Pasal 25/29 Badan
51,4
36,6
65,1
39,3
80,8
41,6
106,4
42,5
136,5
46,9
PPh Pasal 26
8,9
6,3
10,5
6,4
14,6
7,5
14,9
5,9
21,5
7,4
PPh Final dan Fiskal
21,9
15,6
24,1
14,6
21,6
11,1
25,8
10,3
32,1
11,0
PPh Non Migas Lainnya
-0,1
-0,05
0,04
0,02
0,01
0,01
0,02
0,01
0,00
0,0
194,4 100,0
250,5
99,9
290,9
100,0
Total
140,4 100,0
165,6 100,0
Sumber : Departemen Keuangan
Meskipun terjadi penurunan tarif PPh orang pribadi dan PPh badan, penerimaan PPh nonmigas dalam tahun 2009 direncanakan akan meningkat sebesar 16,1 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Peningkatan ini terutama berasal dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan dan PPh pasal 21 sebagai dampak dari diterapkannya program
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-13
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Target penerimaan PPh nonmigas tahun 2009 dapat dilihat dalam Grafik III.5.
GRAFIK III. 5 PENERIMAN PPh NONMIGAS 2009 305
PPh Nonmigas Sektoral
300,7 300
Penerimaan PPh nonmigas selama periode 2005-2008 didominasi oleh sektor keuangan, real estate, jasa perusahaan dan sektor industri pengolahan. Penerimaan PPh nonmigas dari sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan meningkat rata-rata sebesar 38,5 persen dari Rp35,7 triliun tahun 2005, menjadi Rp59,0 triliun tahun 2008. Sementara itu, penerimaan PPh nonmigas dari sektor industri pengolahan meningkat rata-rata 23,6 persen dalam kurun waktu yang sama. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas sektoral dapat dilihat dalam Tabel III.6.
( triliun Rp )
295
290,9 290 285
280,8 280 275 270 APBN
Dok. Stim.
RAPBN-P
Sumbe r: Departemen Ke uangan
TABEL III. 6 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
Real.
2006
% thd Total
Real.
2007
% thd Total
Real.
2009
2008
% thd Total
Real.
% thd Total
Perk. Real
% thd Total
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2,5
2,1
2,8
2,0
4,7
2,6
9,5
4,3
10,3
Pertambangan Migas
9,9
8,1
12,1
8,3
14,0
7,8
17,2
7,8
14,9
5,2
Pertambangan Bukan Migas
5,6
4,5
6,2
4,3
10,5
5,8
11,4
5,1
22,9
8,0
Penggalian Industri Pengolahan
3,6
0,1
0,1
0,1
0,1
0,2
0,1
0,5
0,2
0,4
0,1
33,9
27,7
34,7
24,0
41,9
23,3
55,0
24,9
64,0
22,3 2,2
Listrik, Gas dan Air Bersih
3,0
2,4
5,7
3,9
4,7
2,6
5,2
2,3
6,2
Konstruksi
2,5
2,0
3,1
2,1
4,8
2,7
5,0
2,3
6,7
2,3
Perdagangan, Hotel dan Restoran
11,1
9,1
13,5
9,3
16,9
9,4
23,4
10,6
32,6
11,4
Pengangkutan dan Komunikasi
11,3
9,3
14,7
10,2
16,3
9,1
19,8
9,0
18,3
6,4
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
35,7
29,2
44,3
30,6
54,8
30,5
59,0
26,7
94,8
33,0
Jasa Lainnya
6,7
5,5
7,6
5,2
10,7
5,9
11,1
5,0
14,0
4,9
Kegiatan yang belum jelas batasannya
0,1
0,1
0,1
0,0
0,2
0,1
4,0
1,8
2,0
0,7
122,4
100,0
145,0
100,0
179,7
100,0
221,0
100,0
Total
287,0 100,0
* Belum memperhitungkan PPh valas dan restitusi Sumber : Departemen Keuangan
Kontributor utama peningkatan sektor industri pengolahan adalah subsektor industri makanan dan minuman, industri pengolahan tembakau, industri kendaraan bermotor, dan industri alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau dua. Perkembangan realisasi PPh nonmigas sektor industri pengolahan dapat dilihat pada Grafik III.6. Dalam tahun 2009, penerimaan PPh nonmigas sektoral ditargetkan mencapai Rp287,0 triliun, meningkat Rp66,0 triliun atau 29,9 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp221,0 triliun. Sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan diperkirakan tetap menjadi kontributor utama bagi penerimaan PPh nonmigas, yaitu mencapai Rp94,8
III-14
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
GRAFIK III.6 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN, 2005 - 2008 12
10,7
Makanan dan Minuman
(triliun Rp)
10
Pengolahan Tembakau
8,0
Kendaraan Bermotor
8
Alat Angkutan, Selain Kend. Bermotor Roda Empat atau Dua
6 4
5,5
4,7 2,9
3,2
3,8
3,7 2,8
2,5
3,0
4,2 3,1
4,3
4,0
3,0
2 2005
2006
2007
2008
Sumber : Departemen Keuangan
triliun atau meningkat 60,7 persen dibanding tahun 2008. Peningkatan tersebut terutama berasal dari PPh pasal 25/29 badan, khususnya dari subsektor perbankan, yang mengalami peningkatan profit akibat dari tingginya suku bunga pada saat krisis ekonomi mulai terjadi. Sementara itu, sektor industri pengolahan diperkirakan menyumbang penerimaan sebesar Rp64,0 triliun atau meningkat 16,4 persen dibandingkan realisasinya dalam tahun 2008. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan menyumbang Rp32,6 triliun atau meningkat 39,2 persen jika dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2008. Besaran perkiraan realisasi dari seluruh sektor dalam tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel III.6.
PPN dan PPnBM Penerimaan PPN dan PPnBM selama periode 2005-2008 mengalami pertumbuhan ratarata sebesar 27,4 persen dari Rp101,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp209,6 triliun pada tahun 2008. Penerimaan PPN dan PPnBM memberikan kontribusi sebesar 30,1 persen terhadap penerimaan perpajakan. Secara umum, meningkatnya transaksi ekonomi yang terkait dengan konsumsi dalam dan luar negeri menjadi salah satu faktor utama yang mendorong meningkatnya penerimaan PPN dan PPnBM dalam periode tersebut. Perkembangan realisasi PPN dan PPnBM tahun 2005-2008 dapat dilihat pada Tabel III.7. Dilihat berdasarkan komponennya, PPN Dalam Negeri (PPN DN) mampu memberikan sumbangan lebih besar daripada PPN Impor. Selama periode 2005-2008, PPN Dalam Negeri menyumbang rata-rata 56,7 persen dari total penerimaan PPN dan PPnBM, sedangkan PPN Impor hanya memberikan kontribusi sebesar 37,9 persen. Perkembangan penerimaan PPN DN dan PPN Impor beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya selama periode 20052008 dapat dilihat pada Grafik III.7. Namun demikian, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat, target penerimaan PPN dan PPnBM pada tahun 2009 turun hingga mencapai Rp203,1 triliun. Penurunan tersebut terutama terjadi pada PPN Impor seiring dengan turunnya nilai impor yang disebabkan oleh berkurangnya transaksi perdagangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-15
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 7 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 - 2008 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
Real
A. PPN
2006
% thd Total
2007
% thd
Real
Total
Real
2008
% thd Total
Real
% thd Total
94,0
92,8
118,2
96,1
147,4
95,4
198,2
94,5
PPN DN
48,8
48,1
74,8
60,8
93,3
60,3
116,7
55,7
PPN Impor
44,9
44,3
43,1
35,0
53,9
34,9
81,1
38,7
0,3
0,3
0,3
0,2
0,3
0,2
0,3
0,1
PPN Lainnya B. PPnBM
7,3
7,2
4,8
3,9
7,1
4,6
11,5
5,5
PPnBM DN
4,9
4,8
3,1
2,5
4,7
3,0
7,5
3,6
PPnBM Impor
2,4
2,4
1,7
1,4
2,4
1,6
4,0
1,9
PPnBM Lainnya
-0,001
-0,001
0,002
0,002
0,021
0,014
0,012
0,006
Total (A + B)
101,3
100,0
123,0 100,0 154,5 100,0
209,6 100,0
Sumber : Departemen Keuangan
GRAFIK III. 8 PPN DAN PPnBM 2009
GRAFIK III. 7 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, 2005 - 2009 160
160.000 PPN & PPnBM DN PPN & PPnBM Impor Nilai Impor
120.000
100
100.000
80
80.000
60
60.000
40
40.000
20
20.000
0
0 2005
2006
2007
* Pe rkiraan Realisasi Sumbe r: De partemen Ke uangan
2008
2009*
250
249,5
233,6 203,1
( triliun Rp )
120
300
140.000
( juta US$)
( triliun Rp )
140
200 150 100 50 0 APBN
Dok. Stim.
RAPBN-P
Sumbe r: De partemen Ke uangan
internasional. Pada tahun 2008, nilai impor mencapai US$137.020,4 juta, turun menjadi US$109.627,3 juta pada tahun 2009. Di sisi lain, penerimaan PPN DN pada tahun 2009 diperkirakan mengalami peningkatan 10,0 persen, yaitu dari Rp124,5 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp136,9 triliun pada tahun 2009. Peningkatan ini dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan konsumsi dalam negeri dari Rp3.436,3 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp3.787,0 triliun pada tahun 2009. Meskipun masih dalam taraf pemulihan akibat krisis ekonomi, konsumsi dalam negeri mampu tumbuh secara positif sebesar 10,2 persen. Hal ini antara lain didorong oleh dikucurkannya paket kebijakan stimulus fiskal yang mampu menaikkan daya beli masyarakat di tengah terjadinya krisis ekonomi. Target penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.8.
III-16
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
PPN Sektoral Secara nominal, perhitungan penerimaan PPN sektoral lebih kecil dari penerimaan PPN dan PPnBM. Hal ini disebabkan karena penerimaan PPN belum memasukkan perhitungan PPnBM, PPN dari belanja yang dilakukan kementerian negara/lembaga, serta belum memasukkan transaksi yang offline. Dalam periode 2005-2008, sebagian besar penerimaan PPN sektoral berasal dari penerimaan PPN dalam negeri (PPN DN) yang rata-rata mencapai 61,1 persen, dengan kontribusi terbesar berasal dari sektor Industri Pengolahan. Sementara kontribusi penerimaan PPN impor mencapai 38,9 persen dengan kontribusi terbesar berasal dari sektor industri pengolahan. Pada tahun 2009, PPN DN sektoral diperkirakan mampu memberikan kontribusi sebesar 69,2 persen terutama didukung oleh sektor industri pengolahan. Selebihnya, 30,8 persen merupakan kontribusi dari PPN impor yang didominasi oleh sektor industri pengolahan.
PPN Dalam Negeri (PPN DN) Dalam periode 2005-2008, realisasi penerimaan PPN DN secara sektoral tumbuh rata-rata sebesar 27,8 persen, dari Rp55,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp116,5 triliun pada tahun 2008. Berdasarkan komposisinya, sebagian besar PPN DN bersumber dari penerimaan sektor industri pengolahan dengan kontribusi rata-rata mencapai Rp26,8 triliun, atau 30,5 persen dari total PPN DN. Pertumbuhan rata-rata yang terjadi pada sektor industri pengolahan selama periode 2005-2008 tersebut adalah sebesar 26,7 persen. Selanjutnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan kontributor terbesar kedua dengan kontribusi GRAFIK III. 9 rata-rata sebesar Rp15,2 triliun, atau 17,4 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN, 2005 - 2008 persen, dan pertumbuhan rata-rata 22,5 persen. Makanan dan Minuman
Secara lebih rinci, penerimaan PPN DN dari sektor industri pengolahan terdiri dari 10 Barang Galian Bukan Logam subsektor industri pengolahan tembakau, 8,0 8 industri makanan dan minuman, industri 6,4 5,9 kimia dan industri barang galian bukan 6 4,6 logam. Selama periode 2005-2008, kontribusi 3,6 3,6 3,5 4 dari subsektor industri pengolahan tembakau 2,8 2,7 2,3 2,2 1,8 rata-rata mencapai 32,6 persen, dengan 1,4 2 1,2 pertumbuhan rata-rata sebesar 16,5 persen. 0 Subsektor industri makanan dan minuman 2005 2006 2007 2008 berkontribusi rata-rata 15,8 persen, dengan Sumbe r: Departemen Ke uangan pertumbuhan rata-rata 27,8 persen. Selanjutnya, subsektor industri kimia dan sub sektor industri barang galian bukan logam rata-rata mampu memberikan kontribusi sebesar 11,2 persen dan 6,2 persen, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18,1 persen dan 22,3 persen. Perkembangan realisasi PPN DN sektor industri pengolahan tahun 2005-2008 dapat dilihat pada Grafik III.9. 12
Pengolahan Te mbakau
10,2
10,2
( triliun Rp )
Kimia
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-17
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Realisasi penerimaan PPN DN dalam tahun 2009 direncanakan mencapai Rp123,9 triliun, meningkat Rp7,4 triliun atau 6,3 persen dari realisasi 2008 yang mencapai Rp116,5 triliun. Target tersebut terutama bersumber dari sektor industri pengolahan sebesar Rp37,4 triliun atau tumbuh 0,6 persen apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp37,7 triliun. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas masing-masing diperkirakan akan mencapai Rp21,9 triliun dan Rp22,5 triliun atau masing-masing tumbuh 12,1 persen dan 27,7 persen. Perkembangan realisasi PPN DN sektoral tahun 2005-2009 secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel III.8. TABEL III. 8 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
Real.
2006
% thd Total
Real.
2007
% thd Total
Real.
2009
2008
% thd Total
Real.
% thd Total
Perk. Real.
% thd Total
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
1,6
2,8
1,8
2,2
2,0
2,0
3,0
2,6
1,9
1,5
Pertambangan Migas
2,9
5,2
16,8
21,0
14,6
14,5
17,6
15,1
22,5
18,1 0,8
Pertambangan Bukan Migas
0,8
1,4
1,3
1,6
1,8
1,8
1,4
1,2
1,0
Penggalian
0,0
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
18,5
33,2
22,3
27,9
28,6
28,4
37,7
32,3
37,4
30,2
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,4
0,8
0,6
0,7
0,5
0,5
0,6
0,5
0,9
0,7
Konstruksi
4,3
7,7
6,2
7,8
12,0
11,9
10,5
9,0
11,3
9,1
10,6
19,0
12,8
16,0
17,9
17,8
19,5
16,7
21,9
17,6
Pengangkutan dan Komunikasi
6,1
10,9
6,6
8,2
8,1
8,1
8,7
7,4
8,2
6,6
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
7,7
13,7
8,4
10,6
10,8
10,8
9,2
7,9
9,7
7,8
Jasa Lainnya
1,3
2,4
1,6
2,0
2,3
2,2
2,4
2,0
2,4
1,9
Kegiatan yang belum jelas batasannya
1,5
2,7
1,5
1,9
1,9
1,9
5,9
5,1
6,6
5,3
55,8
100,0
79,9
100,0
100,6
100,0
116,5
123,9
100,0
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Total
100,0
* Belum memperhitungkan restitusi Sumber : Departemen Keuangan
PPN Impor Realisasi penerimaan PPN impor selama periode 2005-2008 rata-rata tumbuh sebesar 21,7 persen, dari Rp45,2 triliun tahun 2005 menjadi Rp81,5 triliun dalam tahun 2008. Penerimaan PPN impor didominasi oleh tiga sektor yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertambangan migas serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi ketiga sektor tersebut ratarata sebesar 47,5 persen, 23,3 persen dan 22,0 persen. Dalam periode tersebut, sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,1 persen, sektor pertambangan migas 17,2 persen, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran 37,7 persen. Kontribusi dari masing-masing sektor terhadap penerimaan PPN impor tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel III.9. Dilihat secara lebih rinci, kontribusi dari sektor industri peng0lahan terhadap PPN impor terutama berasal dari subsektor industri kimia, subsektor industri kendaraan bermotor, subsektor industri makanan dan minuman, dan subsektor industri logam dasar. Selama periode 2005-2008, penerimaan PPN Impor dari industri kendaraan bermotor cenderung fluktuatif, sedangkan penerimaan PPN impor dari tiga industri lainnya meningkat.
III-18
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Perkembangan realisasi PPN impor sektor industri pengolahan tahun 2005-2008 dapat dilihat pada Grafik III.10.
GRAFIK III. 10 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL INDUSTRI PENGOLAHAN, 2005 - 2008
( triliun Rp )
Makanan dan Minuman Penerimaan PPN impor sektoral tahun 12 Kimia Logam Dasar 2009 ditargetkan mencapai Rp55,3 triliun, 10,2 Ke ndaraan Be rmotor 10 atau turun 32,1 persen dibandingkan 8,5 8,0 dengan tahun 2008. Penurunan tersebut 8 disebabkan oleh menurunnya devisa impor 6,4 5,6 6 bayar selama tahun 2009. Tiga sektor 4,9 4,6 utama yang mendukung penerimaan PPN 3,6 3,5 4 2,8 2,8 2,7 impor sektoral tersebut adalah sektor 2,2 1,8 industri pengolahan, sektor pertambangan 2 1,4 1,2 migas serta sektor perdagangan, hotel dan 0 restoran. Realisasi masing-masing sektor 2005 2006 2007 2008 tersebut menurun 31,3 persen, 53,8 persen Sumbe r: Departemen Ke uangan dan 18,6 persen jika dibandingkan realisasi tahun 2008. Kontribusi dari masing-masing sektor terhadap penerimaan PPN impor dapat dilihat pada Tabel III.9
TABEL III. 9 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Real.
2006
% thd Total
Real.
2007
% thd Total
Real.
2008
% thd Total
Real
2009
% thd Total
Perk. Real.
% thd Total
0,1
0,1
0,1
0,3
0,1
0,2
0,1
0,1
0,1
0,1
Pertambangan Migas
11,4
25,3
9,9
23,4
11,9
22,0
18,4
22,6
8,5
10,4
Pertambangan Bukan Migas
0,2
0,5
0,1
0,2
0,2
0,3
0,5
0,6
0,6
0,8
Penggalian
0,1
0,3
0,1
0,1
0,0
0,1
0,1
0,1
0,0
0,0
22,2
49,1
20,0
47,3
26,4
48,8
36,6
44,9
25,1
30,8
Listrik, Gas dan Air Bersih
Industri Pengolahan
0,2
0,3
0,2
0,5
0,1
0,2
0,2
0,2
0,3
0,3
Konstruksi
0,5
1,2
0,4
0,9
0,5
0,9
1,3
1,6
1,3
1,6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
8,1
17,9
9,0
21,4
12,4
23,0
21,1
25,9
17,2
21,1
Pengangkutan dan Komunikasi
1,9
4,1
2,0
4,7
1,8
3,3
2,4
3,0
1,3
1,6
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
0,4
1,0
0,4
0,9
0,4
0,8
0,7
0,8
0,7
0,9
Jasa Lainnya
0,1
0,2
0,1
0,2
0,2
0,3
0,2
0,2
0,1
0,2
Kegiatan yang belum jelas batasannya
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
45,2
100,0
42,3
100,0
54,0
100,0
81,5
100,0
55,3
67,8
Total * Belum memperhitungkan restitusi Sumber : Departemen Keuangan
Secara lebih rinci, sektor industri pengolahan didominasi oleh subsektor industri kimia, dengan kontribusi sebesar 31,6 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah subsektor industri makanan dan minuman dan subsektor logam dasar yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 13,2 persen dan 9,5 persen.
PBB dan BPHTB Dalam periode 2005-2008, penerimaan PBB mengalami peningkatan rata-rata sebesar 16,1 persen, yaitu dari Rp16,2 triliun tahun 2005 menjadi Rp25,4 triliun tahun 2008. Salah satu Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-19
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
faktor utama yang menyebabkan tingginya realisasi penerimaan PBB tersebut adalah adanya windfall PBB pertambangan migas karena melonjaknya harga minyak internasional pada tahun 2008. Selain itu, adanya tren kenaikan inflasi yang menyebabkan naiknya nilai jual obyek pajak (NJOP) dan dilaksanakannya kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi PBB juga turut mendorong peningkatan penerimaan PBB. Perkembangan realisasi PBB tahun 20052009 dapat dilihat pada Tabel III.10. TABEL III. 10 PERKEMBANGAN PBB, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
2006
2007
% thd % thd Real. Real. Total Total
Real.
2008
2009
% thd Total
Real.
% thd Total
RAPBN-P
% thd Total
PBB Pedesaan
4,5
27,8
5,8
27,7
1,7
7,3
1,4
5,6
0,9
3,6
PBB Perkotaan
3,6
21,9
3,8
18,2
4,9
20,5
5,0
19,6
6,1
25,6
PBB Perkebunan
0,1
0,9
0,2
0,7
0,4
1,7
0,6
2,4
0,6
2,7
PBB Kehutanan
0,1
0,6
0,1
0,4
0,1
0,5
0,2
0,6
0,2
1,0
PBB Pertambangan
7,4
45,7
10,5
50,4
16,6
69,9
18,2
71,6
16,0
67,1
PBB Lainnya
0,5
3,1
0,5
2,5
0,0
0,1
0,0
0,1
0,0
0,0
20,9 100,0
23,7
100,0
25,4
100,0
23,9
100,0
Total
16,2 100,0
Sumber : Departemen Keuangan
GRAFIK III. 11 PBB 2009 35
( triliun Rp )
30 25 20 15 10
28,9 23,9
23,9
Dalam periode 2005-2008, penerimaan PBB sektor pertambangan merupakan penyumbang terbesar dari total penerimaan PBB dengan rata-rata kontribusi sebesar 61,1 persen. Pertumbuhan rata-rata sektor pertambangan dalam periode tersebut adalah 34,8 persen. Selain PBB pertambangan, peningkatan yang cukup tajam juga terjadi pada penerimaan PBB perkebunan dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 61,1 persen dan kontribusi rata-rata 1,5 persen dari total penerimaan PBB.
5
Pada tahun 2009, penerimaan PBB ditargetkan mencapai Rp23,9 triliun. Apabila APBN Dok. Stim. RAPBN-P dibandingkan dengan realisasi tahun 2008, target penerimaan PBB tahun 2009 tersebut Sumbe r: De partemen Ke uangan menurun Rp1,5 triliun atau 5,9 persen. Penurunan tersebut terutama terjadi pada PBB pertambangan migas yang terkoreksi turun akibat rendahnya harga minyak internasional. Perkiraan realisasi PBB tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.11. 0
Sementara itu, penerimaan BPHTB dalam periode 2005-2008 mengalami peningkatan ratarata sebesar 17,5 persen. Faktor utama yang mendorong kenaikan tersebut disebabkan adanya
III-20
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
booming di sektor properti seiring dengan rendahnya suku bunga yang mendorong meningkatnya transaksi ekonomi, khususnya di bidang properti, sebelum terjadi krisis. Perkembangan realisasi BPHTB 2005-2008 dapat dilihat pada Grafik III.12. Dalam tahun 2009, penerimaan BPHTB ditargetkan mencapai Rp7,0 triliun, meningkat Rp1,4 triliun atau 25,2 persen apabila dibandingkan dengan realisasi 2008. Meningkatnya target realisasi tersebut antara lain dipengaruhi oleh mulai pulihnya kondisi perekonomian pada pertengahan tahun 2009 yang diharapkan dapat mendorong meningkatnya transaksi jual beli tanah dan bangunan. Perkiraan realisasi BPHTB tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.13. GRAFIK III. 13 BPHTB 2009
GRAFIK III. 12 BPHTB, 2005 - 2008 7
8,0
6,0
6
7,8
5,6
7,6
3,4
( triliun Rp )
( triliun Rp )
5 4
7,8
3,2
3 2
7,4 7,2
7,2
7,0
7,0 6,8
1
6,6
0
6,4
2005
2006
2007
Sumbe r: Departemen Ke uangan
2008
APBN
Dok. Stim.
RAPBN-P
Sumbe r: Departemen Ke uangan
Cukai Penerimaan cukai mengalami peningkatan secara signifikan dalam periode 2005-2008, tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp51,3 triliun pada tahun 2008. Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan cukai tersebut antara lain adalah (a) dilaksanakannya berbagai kebijakan yang bersifat intensifikasi maupun ekstensifikasi; (b) disempurnakannya berbagai peraturan di bidang cukai seperti penerapan tarif full spesifik; (c) dibentuknya kantor-kantor pelayanan bea cukai yang lebih modern sebagai bagian dari program modernisasi administrasi kepabeanan dan cukai; (d) peningkatan upaya pengawasan di bidang cukai terutama terhadap peredaran rokok ilegal serta pengawasan pita cukai palsu; dan (e) peningkatan produksi rokok, terutama rokok jenis sigaret kretek mesin. Perkembangan realisasi cukai tahun 20052009 dapat dilihat pada Tabel III.11. Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau. Selama periode 2005-2008, cukai hasil tembakau memberi kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan 15,2 persen. Sementara itu, kontribusi cukai ethyl alcohol mencapai 0,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 60,6 persen, dan cukai Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-21
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 11 PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
Real.
Cukai Hasil Tembakau
2006
2008
2009
% thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. RAPBN-P Total Total Total Total
32,6
98,2
Cukai Ethyl Alkohol (EA)
0,1
Cukai Minuman Mengandung EA
0,5
Denda Administrasi Cukai Cukai Lainnya Total
2007
37,1
98,1
43,5
97,4
0,3
0,1
0,4
0,4
1,5
0,6
1,5
0,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
33,3 100,0
37,8 100,0
% thd Total
49,9
97,4
1,0
0,4
1,5
0,9
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
44,7 100,0
53,3
97,6
0,8
0,5
0,9
1,7
0,8
1,5
51,3 100,0
54,5 100,0
Sumber: Departemen Keuangan
minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA) memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan 20,6 persen. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan cukai menunjukkan peningkatan sebesar 6,4 persen, yaitu dari Rp51,3 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp54,5 triliun pada tahun 70 2009. Dari jumlah penerimaan cukai 2009 60 tersebut, sebanyak Rp 53,3 triliun atau 97,6 54,5 54,4 persen dari total penerimaan cukai berasal 49,5 50 dari cukai hasil tembakau, dengan pertumbuhan 6,7 persen. Sementara itu, Rp 40 0,5 triliun atau 0,9 persen berasal dari cukai 30 ethyl alcohol dengan pertumbuhan 17,2 persen, dan Rp0,8 triliun (1,5 persen) berasal 20 dari cukai MMEA dengan penurunan 9,1 10 persen. Faktor utama yang mendorong naiknya penerimaan cukai ditengah lesunya 0 perekonomian dalam tahun 2009 adalah APBN Dok. Stim. RAPBN-P diberlakukannya kenaikan tarif terhadap Sumber: De partemen Ke uangan cukai tembakau dengan rata-rata kenaikan 7 persen. Selain itu, internal effort yang dilakukan oleh pemerintah berupa reformasi birokrasi dan pembenahan organisasi turut mempengaruhi peningkatan efisiensi pemungutan cukai. Perkiraan realisasi cukai tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.14. ( triliun Rp )
GRAFIK III. 14 CUKAI 2009
Sebagai komponen terbesar dalam pos penerimaan cukai, besarnya realisasi penerimaan cukai hasil tembakau sangat tergantung pada jumlah produksi rokok. Dalam periode 20052008, produksi rokok meningkat dari 220,1 miliar batang pada 2005 menjadi 249,7 miliar pada tahun 2008. Memasuki tahun 2009, produksi rokok mengalami penurunan hingga diperkirakan mencapai 240,4 miliar batang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai yang berfungsi sebagai regulator, telah berhasil menekan laju pertumbuhan produksi rokok sesuai dengan kesepakatan peta jalur industri hasil tembakau antara
III-22
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Pemerintah dengan pengusaha rokok. Perkembangan produksi rokok dalam periode 20052009 dapat dilihat pada Tabel III.12. TABEL III. 12 PERKEMBANGAN PRODUKSI ROKOK, 2005 - 2009
(miliar batang) 2005
Jenis Rokok
2006
2007
2008
2009 *
a. Sigaret Kretek Mesin (SKM)
126,6
125,4
131,7
144,5
139,6
b. Sigaret Kretek Tangan (SKT)
78,2
77,9
84,3
88,2
84,4
c. Sigaret Putih Mesin (SPM)
15,3
13,5
16,0
17,0
16,4
220,1
216,8
231,9
249,7
240,4
Total (a+b+c) * Perkiraan Realisasi Sumber: Departemen Keuangan
Pajak Lainnya Penerimaan pajak lainnya selama periode 2005-2008 menunjukkan adanya peningkatan rata-rata sebesar 14,0 persen. Sebagian besar dari penerimaan pajak lainnya tersebut berasal dari bea materai yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 95,9 persen terhadap total penerimaan pajak lainnya. Secara umum, meningkatnya realisasi penerimaan pajak lainnya dalam periode 2005-2008 dipengaruhi oleh semakin banyaknya transaksi yang menggunakan dokumen bermaterai. Perkembangan realisasi pajak lainnya tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel III.13.
TABEL III. 13 PERKEMBANGAN REALISASI PAJAK LAINNYA, 2005 - 2009 (triliun Rupiah) 2005 Uraian
Bea Meterai Pajak Tidak Langsung Lainnya Bunga Penagihan Pajak Total
Real.
2006
2007
2008
% thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Total Total Total Total
2,0
98,1
2,2
97,1
2,6
95,0
2,8
92,9
0,004
0,2
0,01
0,3
0,02
0,7
0,01
0,4
0,03
1,67
0,06
2,57
0,1
4,3
0,2
6,7
2,1 100,0
2,3 100,0
2,7 100,0
3,0 100,0
Sumber : Departemen Keuangan
Sampai dengan akhir tahun 2009, penerimaan pajak lainnya diperkirakan mencapai Rp3,3 triliun. Dibandingkan dengan realisasi 2008, penerimaan pajak lainnya pada tahun 2009 tersebut masih mengalami pertumbuhan sebesar Rp0,2 triliun atau 7,1 persen. Terjadinya perbaikan kondisi perekonomian pada paruh kedua tahun 2009 diharapkan dapat mendorong
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-23
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
terjadinya transaksi yang menggunakan dokumen bermaterai. Perkiraan realisasi pajak lainnya tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.15.
GRAFIK III. 15 PAJAK LAINNYA 2009 4,5 4,0
Pajak Perdagangan Internasional
25,0
( triliun Rp )
( triliun Rp )
13,6
12,1
10,0 4,2 0,3
1,4
1,1
0,0 2005
2006
* RAPBN-P 2009 Sumber: Departemen Keuangan
2007
2008
1,5 1,0
APBN Dok. Stim. Sumber: De partemen Keuangan
16,7 14,9
2,0
0,5
18,6
20,0
2,5
0,0
22,8
Bea keluar
5,0
3,3
3,0
GRAFIK III. 16 PERKEMBANGAN PAJAK PERDAGANGAN INTERNASIONAL, 2005 - 2009
15,0
3,5
3,5
Realisasi penerimaan pajak perdagangan internasional selama periode 2005-2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 33,6 persen, yaitu dari Rp15,2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp36,3 triliun pada tahun 2008. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditas strategis seperti CPO dan turunannya, serta meningkatnya volume ekspor dan impor. Namun demikian, dampak krisis ekonomi
Bea masuk
4,3
2009*
RAPBN-P
dunia menyebabkan target penerimaan pajak perdagangan internasional pada tahun 2009 menurun menjadi Rp20,0 triliun. Dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2008, penerimaan pajak perdagangan internasional tahun 2009 menurun sebesar Rp16,3 triliun atau 44,9 persen. Faktor utama yang mendorong penurunan tersebut adalah berkurangnya transaksi perdagangan internasional sebagai imbas dari krisis ekonomi yang terjadi secara global. Perkembangan penerimaan pajak perdagangan internasional dalam periode 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik III.16.
Bea Masuk Realisasi penerimaan bea masuk selama periode 2005-2008 meningkat dari Rp14,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp22,8 triliun pada tahun 2008. Dalam periode tersebut, rata-rata pertumbuhan penerimaan bea masuk adalah 15,1 persen. Namun demikian, nilai pertumbuhannya semakin menurun sebagai konsekuensi penerapan kebijakan harmonisasi tarif yang diberlakukan berdasarkan rata-rata tarif umum (Most Favoured Nations-MFN). Pada tahun 2005, tarif yang berlaku adalah 9,9 persen, turun menjadi 7,6 persen tahun 2008. Untuk produk pertanian, rata-rata tarif MFN yang berlaku pada tahun 2005 adalah 12,1 persen, turun menjadi 11,6 persen pada tahun 2008. Untuk produksi nonpertanian, ratarata tarif MFN turun dari 9,6 persen tahun 2005 menjadi 7,0 persen tahun 2008.
III-24
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Perkembangan rata-rata tarif MFN Indonesia tahun 2005-2008 dapat dilihat dalam Grafik III.17.
GRAFIK III. 17 PERKEMBANGAN TARIF IMPOR, 2005 - 2009 12,0
Selain itu, kebijakan penurunan tarif juga terjadi sebagai konsekuensi dari 9,6 9,5 8,0 7,8 7,8 7,6 kerjasama perdagangan 7,5 6,6 internasional dengan negara-negara 6,0 5,2 6,2 4,7 di Asia. Sejak tahun 2003, 4,0 3,8 2,8 2,8 3,9 Pemerintah telah bergabung di 3,0 2,7 2,6 2,4 2,0 1,9 dalam suatu Perjanjian perdagangan antar kawasan seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) melalui skema 2005 2006 2007 2008 2009 Common Effective Preferential TarSumber: De apartemen Ke uangan iff (CEPT). Sebagai konsekuensinya, Pemerintah harus menjadwalkan penurunan tarif hingga menjadi nol persen untuk negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2010. Dalam periode 2005 - 2008, rata-rata tarif CEPT telah mengalami penurunan yaitu dari 2,8 persen pada tahun 2005 menjadi 2,4 persen pada tahun 2008. Selanjutnya, pada tahun 2009 rata-rata tarif CEPT turun menjadi 1,9 persen. Selain berkomitmen dalam perjanjian AFTA, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian secara bilateral dan regional dengan beberapa negara lainnya, antara lain dalam perjanjian perdagangan ASEAN-China FTA dan ASEAN-Korea FTA serta kerjasama ekonomi kemitraan Indonesia-Jepang melalui skema IJ-EPA. Untuk mendukung perjanjian tersebut, sejak tahun 2005 Indonesia telah mulai menurunkan tarif bea masuk secara bertahap untuk 90,0 persen produk kategori normal track hingga menjadi nol persen pada tahun 2010 atau selambat-lambatnya tahun 2012. 9,9
9,9
9,5
Persen
10,0
ASEAN
China
Korea
Jepang
MFN
Penerimaan bea masuk pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp18,6 triliun, atau menurun sebesar 18,2 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Penurunan tersebut disebabkan oleh berkurangnya volume dan nilai impor sebagai imbas dari terjadinya krisis ekonomi. Perkembangan realisasi bea masuk dan nilai impor dalam periode 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik III.18.
Bea Keluar
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
160000,0
25,0 Bea masuk
Nilai Impor
140000,0 20,0
120000,0 100000,0
( triliun Rp )
15,0
80000,0 10,0
60000,0
( juta US$ )
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, tujuan pengenaan bea keluar untuk barang ekspor adalah (a) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (b) melindungi kelestarian sumber daya alam; (c) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; dan (d) menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Kebijakan bea keluar adalah instrumen yang digunakan pemerintah agar tujuan tersebut bisa tercapai, sehingga
GRAFIK III. 18 BEA MASUK DAN NILAI IMPOR, 2005 - 2009
40000,0
5,0
20000,0 0,0
0,0 2005
2006
2007
2008
2009*
* Perk iraan Realisasi Sumber: Departemen Keuangan
III-25
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
GRAFIK III. 19 PERKEMBANGAN HARGA CPO DAN BEA KELUAR, 2005 - 2009 2,5
1200 CPO
Bea Keluar
1000
2,0 1,5
( Triliun Rp )
1400
( US$/Ton )
pengenaan bea keluar untuk komoditi tertentu bukan semata-mata untuk mendapatkan penerimaan tapi berfungsi juga untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap komoditi tertentu.
Selama tahun 2005-2008 penerimaan bea 1,0 600 keluar mengalami peningkatan secara 0,5 400 signifikan dengan rata-rata sebesar 249,4 0,0 200 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007-2008 ketika harga CPO 0 -0,5 di pasaran internasional melampaui level US$1200/ton. Pada level tersebut, tarif bea Sumber: Departemen Keuangan keluar yang berlaku adalah 22,5 persen, sesuai dengan kebijakan tarif bea keluar progresif. Perkembangan penerimaan bea keluar dan CPO dalam periode 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik III.19. 800
Seiring dengan kondisi ekonomi dunia yang mengalami krisis, permintaan akan CPO dan 9,4 10,0 produk turunannya semakin melemah pada 9,0 akhir tahun 2008 sampai tahun 2009 sehingga 8,0 menyebabkan harga CPO jatuh di pasar 7,0 6,0 internasional. Sebagai akibatnya, pemerintah 5,0 menerapkan kebijakan tarif bea keluar nol 4,0 2,4 3,0 persen mulai akhir tahun 2008 hingga 1,4 2,0 pertengahan tahun 2009. Berdasarkan kondisi 1,0 tersebut, penerimaan bea keluar pada tahun 0,0 APBN Dok. Stim. RAPBN-P 2009 ditargetkan menjadi Rp1,4 triliun atau menurun sebesar 89,7 persen realisasi tahun Sumbe r: De partemen Ke uangan 2008. Perkiraan realisasi bea keluar pada tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III.20. ( triliun Rp )
GRAFIK III. 20 BEA KELUAR 2009
3.2.1.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kebijakan Umum PNBP Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP didefinisikan sebagai penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Kelompok PNBP meliputi (1) penerimaan negara yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; (2) penerimaan pemanfaatan sumber daya alam; (3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; (4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah; (5) penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (6) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan (7) penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri. Sementara itu, untuk jenis-jenis PNBP yang belum tercakup dalam kelompok tersebut, ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP). Dalam struktur APBN, PNBP dapat dikelompokkan menjadi (1) penerimaan sumber daya alam (SDA;
III-26
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
(2) penerimaan bagian Pemerintah atas laba badan usaha milik negara (BUMN); (3) PNBP lainnya; dan (4) pendapatan badan layanan umum (BLU). Sumber penerimaan SDA terdiri atas (a) penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas); dan (b) penerimaan SDA nonmigas, yang terdiri dari pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Perhitungan dan perkembangan penerimaan SDA migas dipengaruhi oleh (1) asumsi lifting minyak mentah dan gas bumi; (2) Indonesian crude oil price (ICP) yang pergerakan harganya mengikuti tren harga minyak dunia; (3) asumsi dan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat; dan (4) besaran cost recovery yang diterima oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), dimana cost recovery merupakan biaya-biaya yang dapat dikembalikan kepada KKKS dalam melakukan eksplorasi minyak bumi dan gas bumi. Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan SDA nonmigas antara lain (a) tingkat produksi beberapa jenis komoditas tambang, (b) harga beberapa komoditi tambang, (c) luas area dan volume produksi hasil hutan, (d) tingkat produksi budidaya perikanan dan kegiatan operasi kapal penangkap ikan, serta (e) kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah. Penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN (dividen), menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Keuangan, merupakan penerimaan Pemerintah dalam bentuk (1) dividen dari perusahaan persero atau perseroan terbatas yang besarnya ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS); (2) dana pembangunan semesta (DPS) dari perusahaan umum (Perum) yang besarnya ditetapkan dalam pengesahan laporan keuangan oleh Menteri Keuangan; dan (3) bagian laba Pemerintah dari Pertamina yang besarnya ditetapkan dalam rapat dewan komisaris, selama Pertamina belum disesuaikan dan beroperasi sebagai perusahaan perseroan. Faktor yang dapat mempengaruhi besaran dividen suatu BUMN antara lain adalah (a) jumlah kepemilikan saham pada suatu perusahaan; (b) laba perusahaan di tahun berjalan yang akan dijadikan dasar perhitungan dividen tahun selanjutnya; dan (c) besaran pay-out ratio, yaitu porsi laba yang dibagikan oleh pihak perusahaan kepada pihak pemegang saham, dalam hal ini adalah Pemerintah, dalam bentuk dividen. PNBP lainnya sebagian besar merupakan bagian dari kelompok penerimaan kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah. PNBP lainnya tersebut terdiri atas penerimaan yang bersumber dari (1) pendapatan dan penjualan sewa, (2) pendapatan jasa, (3) pendapatan bunga, (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan, (5) pendapatan pendidikan, (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi, (7) pendapatan iuran dan denda, serta (8) pendapatan lain-lain. Pengelolaan atas sumber PNBP lainnya tersebut sebagian besar dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga (K/L), antara lain Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Perhubungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan atas PNBP lainnya terutama yang berasal dari K/L antara lain adalah (1) jumlah dan volume obyek pengenaan, (2) tarif atas kegiatan pelayanan yang dilaksanakan, (3) kualitas pelayanan yang diberikan dan administrasi pengelolaan PNBP, serta (4) upaya optimalisasi yang dapat dilakukan. Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan pertimbangan yang cermat karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung Pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-27
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
PNBP yang bersangkutan serta aspek keadilan dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), definisi BLU adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai bagian atas barang dan/atau jasa layanan yang diberikan sesuai dengan tarif yang ditetapkan. Penetapan tarif diperhitungkan berdasarkan perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana, serta mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan serta kompetisi yang sehat. Selama kurun waktu 2005-2008, berbagai kebijakan telah diterapkan guna meningkatkan dan mengoptimalkan PNBP. Dalam bidang penerimaan SDA, kebijakan difokuskan pada (1) meningkatkan produksi/lifting minyak bumi dan gas bumi melalui pemberian fasilitas fiskal terhadap usaha eksplorasi migas, (2) penyempurnaan ketentuan dalam pengenaan cost recovery, (3) memperkuat pengawasan penerimaan dari sektor migas oleh BP migas, (4) melakukan revisi tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada sektor sumber daya mineral, (5) menggali potensi-potensi yang ada di sektor kehutanan dengan tanpa merusak lingkungan dan mempertahankan hutan, (6) mengoptimalkan penerimaan dari sektor perikanan dengan tetap meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir dan nelayan. Sedangkan dalam penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN, berbagai kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan PNBP, namun tetap mempertimbangkan peningkatan kinerja BUMN. Adapun kebijakan yang telah ditempuh berkaitan dengan hal tersebut meliputi (a) penyehatan perusahaan dengan mengoptimalkan investasi; (b) optimalisasi dividen payout ratio; dan (c) melakukan sinergi antar-BUMN agar dapat meningkatkan daya saing. Selama tahun 2005-2008, kebijakan PNBP lainnya difokuskan pada (1) optimalisasi PNBP pada K/L; (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing K/L; (3) monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP pada K/L; dan (4) peningkatan akurasi target dan penyusunan pagu penggunaan PNBP dan K/L yang realistis serta pelaporannya. Sementara itu, kebijakan mengenai pendapatan BLU difokuskan pada (a) mendorong peningkatan pelayanan publik instansi pemerintah; (b) meningkatkan pengelolaan keuangan BLU yang efisien dan efektif; dan (c) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah. Secara keseluruhan, PNBP mengalami tingkat pertumbuhan yang fluktuatif dan mencapai rata-rata sebesar 29,7 persen selama 2005-2008 dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 54,5 persen. Dalam tahun 2008, realisasi PNBP mencapai Rp320,6 triliun, meningkat sebesar Rp105,5 triliun atau 49,0 persen jika dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2007 sebesar Rp215,1 triliun. Dilihat dari komposisinya, peningkatan realisasi tahun 2008 lebih didorong oleh peningkatan penerimaan SDA migas sebesar Rp86,8 triliun atau 69,6 persen, dari Rp124,8 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp211,6 triliun pada tahun
III-28
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
2008. Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan ICP seiring dengan tren kenaikan minyak dunia dan pencapaian target lifting/produksi minyak. Dalam tahun 2009, PNBP diperkirakan akan mencapai Rp219,5 triliun, menurun sebesar Rp101,1 triliun atau 31,5 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Dengan perkiraan realisasi tersebut, PNBP diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar 25,2 persen terhadap perkiraan penerimaan dalam negeri. Tabel III.14 memperlihatkan secara rinci perkembangan PNBP selama 2005-2009. TABEL III.14 PPERKEMBANGAN PNBP, 2005-2009 (triliun Rupiah) 2005 LKPP I. Penerimaan SDA
2006 LKPP
2007 LKPP
2008 LKPP
2009 RAPBN-P
110,5
167,5
132,9
224,5
140,0
103,8
158,1
124,8
211,6
129,1
6,7
9,4
8,1
12,8
10,9
II. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
12,8
21,5
23,2
29,1
29,2
III. PNBP Lainnya
23,6
38,0
56,9
63,3
44,4
2,1
3,7
5,9
215,1
320,6
219,5
a. Penerimaan SDA Migas b. Penerimaan SDA Nonmigas
IV. Pendapatan BLU PNBP
-
-
146,9
227,0
Sumber : Departemen Keuangan
Penerimaan Sumber Daya Alam Penerimaan SDA yang terdiri dari penerimaan SDA minyak dan gas bumi (migas) dan penerimaan SDA nonmigas merupakan sumber utama penerimaan PNBP. Selama 20052008, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata sebesar 70,2 persen. Secara rinci, penerimaan SDA migas terdiri atas penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi. Sedangkan penerimaan SDA nonmigas terdiri dari penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi. Selama 2005-2008, penerimaan SDA memperlihatkan tren pertumbuhan yang meningkat, kecuali tahun 2007 dimana penerimaan SDA sedikit mengalami penurunan. Selama kurun waktu tersebut, penerimaan SDA tumbuh rata-rata sebesar 30,1 persen dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2006 sebesar 51,6 persen. Dalam tahun 2008, penerimaan SDA mencapai Rp224,5 triliun, atau meningkat 68,9 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Penerimaan SDA dalam tahun 2009 diperkirakan mencapai sebesar Rp140,0 triliun, turun sebesar Rp84,5 triliun atau 37,6 persen dari realisasi tahun 2008. Tabel III.15 memperlihatan perkembangan penerimaan SDA beserta komponen penerimaannya selama tahun 2005-2009.
Penerimaan SDA Migas Penerimaan SDA migas merupakan sumber utama baik bagi penerimaan SDA maupun PNBP secara keseluruhan. Selama tahun 2005-2008, rata-rata kontribusi penerimaan SDA migas
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-29
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III.15 PERKEMBANGAN PENERIMAAN SDA, 2005-2009 (triliun Rupiah) 2005 LKPP Penerimaan SDA Migas Minyak bumi Gas bumi Penerimaan SDA Nonmigas Pertambangan Umum Kehutanan Perikanan Panas Bumi Penerimaan SDA
2006 LKPP
2007 LKPP
2009
2008 LKPP
RAPBN-P
103,8 72,8 30,9
158,1 125,1 32,9
124,8 93,6 31,2
211,6 169,0 42,6
129,1 92,4 36,7
6,7 3,2 3,2 0,3 -
9,4 6,8 2,4 0,2 -
8,1 5,9 2,1 0,1 -
12,8 9,5 2,3 0,1 0,9
10,9 8,7 1,7 0,2 0,3
110,5
167,5
132,9
224,5
140,0
Sumber : Departemen Keuangan
terhadap total penerimaan SDA dan PNBP masing-masing sebesar 94,1 persen dan 65,9 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan atau penurunan penerimaan SDA migas akan secara signifikan berpengaruh terhadap penerimaan SDA maupun PNBP secara keseluruhan. GRAFIK III. 21 PERKEMBANGAN SDA MIGAS, 2005 - 2009 250,0
200,0
Gas bumi 42,6
Minyak bumi Rp Triliun
Selama tahun 2005-2008, penerimaan SDA migas mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 26,8 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008, dimana penerimaan SDA Migas meningkat sebesar Rp86,8 triliun atau 69,6 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Grafik III.21 memperlihatan fluktuasi penerimaan SDA migas selama 2005-2009 dan dilihat dari komposisinya, penerimaan minyak bumi lebih mendominasi penerimaan SDA migas jika dibandingkan dengan penerimaan gas bumi.
150,0
32,9 36,7
31,2
100,0 30,9
169,0
29,6
125,1 50,0
93,6
72,8
92,4 62,4
-
2005 LKPP
2006 LKPP
2007 LKPP
2008 LKPP
2009 2009 Dok. Stimulus RAPBN-P
Sumber: Departemen Keuangan Dalam tahun 2008, penerimaan SDA migas mencapai Rp211,6 triliun, terdiri dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp169,0 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp42,6 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2007, penerimaan minyak bumi meningkat sebesar Rp75,4 triliun atau 80,6 persen, dan penerimaan gas bumi meningkat sebesar Rp11,4 triliun atau 36,6 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan realisasi penerimaan SDA migas tahun 2008 adalah (1) adanya peningkatan rata-rata produksi/lifting minyak bumi harian, dimana pada tahun 2007 mencapai 899 ribu barel per hari (bph) menjadi 931 ribu bph pada tahun 2008; (2) realisasi harga ICP pada tahun 2008 (rata-rata Desember 2007-November 2008) mencapai
III-30
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
US$101,4 per barel, lebih tinggi dari realisasinya pada tahun 2007 sebesar US$69,7 per barel; dan (3) penurunan rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2007 sebesar Rp9.140,0 per dolar AS menjadi Rp9.691,1 per dolar AS pada tahun 2008, karena penerimaan SDA migas memuat komponen valuta asing (valas). Di samping itu, Pemerintah melalui BP Migas juga melakukan pengawasan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor migas. Dalam tahun 2009, penerimaan SDA migas diperkirakan mencapai Rp129,1 triliun, turun sebesar Rp82,5 triliun atau 39,0 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Penerimaan SDA migas tersebut bersumber dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp92,4 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp36,7 triliun. Penerimaan minyak bumi mengalami penurunan sebesar Rp76,6 triliun atau 45,3 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Penurunan penerimaan tersebut disebabkan oleh adanya penurunan asumsi ICP yang digunakan dalam perhitungan. Pada perkiraan tahun 2009, asumsi rata-rata ICP (DesemberNovember) yang digunakan untuk perhitungan penerimaan SDA migas GRAFIK III. 22 PERKEMBANGAN LIFTING MINYAK MENTAH DAN ICP, 2004 - 2009 adalah US$61,o per dolar lebih rendah dari realisasinya tahun 2008 sebesar US$101,4 per barel. Sementara itu, dari sisi produksi/lifting minyak, Pemerintah tetap optimis untuk mencapai rata-rata produksi minyak mentah harian sebesar 960 ribu bph meningkat dari realisasinya tahun 2008 sebesar 931 ribu bph. Guna mencapai tingkat lifting/produksi tersebut Pemerintah berusaha untuk memfasilitasi penanganan beberapa kendala yang dihadapi dalam proses produksi terkait dengan masalah perizinan, cuaca, mismanajemen, dan planning of development. Grafik III. 22 menunjukkan perkembangan lifting minyak mentah dan ICP tahun 2004 - 2009. 1.200
120
Target Lifting
1.072,0 1.037,0
Realisasi ICP (Des-Nov)
100
1.003,0
1.000
Lifting (ribu bph)
Realisasi Lifting
1.075,0
959,0 957,0
950,0
899,0
900
927,0 931,0
960,0
80
60
800
700
40
ICP (US$/barel)
1.100
600
20
500
0
400
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: Departemen Keuangan
Sementara itu untuk penerimaan gas bumi tahun 2009 yang diperkirakan sebesar Rp36,7 triliun apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 mengalami penurunan sebesar Rp5,9 triliun atau 13,8 persen. Penurunan penerimaan dari gas bumi ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan penurunan yang dialami oleh penerimaan minyak bumi. Penurunan penerimaan gas bumi tersebut terutama karena penurunan harga jual gas ke luar negeri, baik yang LNG maupun yang disalurkan mengikuti tren penurunan harga komoditi minyak mentah dunia. Terkait dengan upaya optimalisasi penerimaan SDA migas, Pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki ketentuan besaran cost recovery yang dipergunakan dalam perhitungan penerimaan SDA migas. Cost recovery merupakan komponen biaya yang dapat dikembalikan kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), terdiri atas (1) non-capital cost, pengeluaran eskplorasi dan pengembangan, pengeluaran produksi, dan pengeluaran administrasi, (2) capital cost, yaitu depresiasi atas investasi aset KKKS, dan (3) unrecovered cost, yaitu pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali. Selama tahun 2005-2008, cost recovery memperlihatkan kecenderungan yang meningkat seiring dengan upaya dalam peningkatan produksi/lifting minyak mentah dan gas bumi. Namun, proporsi cost recovery dengan gross revenue sektor migas memperlihatkan kecenderungan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-31
Bab III
30%
60
25%
50
20%
40
15%
30
10%
20
5%
10
0%
US$ juta
GRAFIK III. 23 PERKEMBANGAN COST RECOVERY, GROSS REVENUE DAN GOVERNMENT SHARE SEKTOR MIGAS, 2005 - 2009
% CR thd GR
yang menurun selama tahun 2005-2008. Proporsi cost recovery terhadap gross revenue berkisar antara 21-24 persen. Dalam tahun 2009, besaran cost recovery ditetapkan sebesar US$11,05 juta untuk mencapai target produksi/lifting minyak mentah 960 ribu bph dan gas bumi sebesar 7.526 MMBTU per hari. Grafik III.23 memperlihatkan perkembangan cost recovery, gross revenue, dan government share sektor minyak migas selama 20052009.
Pendapatan Negara dan Hibah
2005
Sumbe r: Departemen Keuangan
2006
2007
Gross Revenue (GR) Cost Recovery
2008
2009 RAPBN-P Government Share (GS) % Cost Recovery thd GR
Penerimaan SDA Nonmigas
Rp. triliun
Penerimaan SDA nonmigas merupakan PNBP yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam nonmigas yang terdiri atas penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi. Selama 2005-2009, perkembangan SDA nonmigas memperlihatkan tren meningkat terutama didorong oleh peningkatan penerimaan pertambangan umum. Selama periode tersebut penerimaan SDA nonmigas meningkat rata-rata sebesar 17,6 persen. Secara umum, penerimaan pertambangan umum memberikan kontribusi yang terbesar terhadap GRAFIK III. 24 PERKEMBANGAN SDA NONMIGAS, 2005 - 2009 penerimaan SDA nonmigas, yang disusul 14,0 kemudian oleh penerimaan kehutanan. Perikanan 0,1 0,9 Sedangkan penerimaan perikanan Pertambangan Panas Bumi 12,0 0,2 0,3 Kehutanan 0,2 memperlihatkan perkembangan yang cenderung 2,3 0,3 Pertambangan Umum 10,0 2,5 1,7 menurun. Untuk penerimaan panas bumi, 0,2 0,1 penerimaan ini mulai menjadi sumber 2,4 8,0 2,1 penerimaan APBN dalam tahun 2008. Dalam 0,3 6,0 tahun 2008, penerimaan SDA non migas 3,2 9,5 8,7 8,7 4,0 mencapai Rp12,8 triliun, meningkat sebesar Rp4,7 6,8 5,9 triliun atau 58,4 persen jika dibandingkan dengan 2,0 3,2 realisasi tahun 2007 dan merupakan peningkatan penerimaan SDA nonmigas tertinggi selama 20052005 2006 2007 2008 2009 2009 LKPP LKPP LKPP LKPP Dok. RAPBN-P 2008. Grafik III.24 memperlihatkan Stimulus Sumber: Departemen Keuangan perkembangan penerimaan SDA nonmigas selama 2005-2009. Sebagai sumber penerimaan terbesar dalam penerimaan SDA nonmigas, penerimaan pertambangan umum meningkat rata-rata sebesar 53,7 persen selama 2005-2008. Penerimaan pertambangan umum dalam penerimaan SDA nonmigas bersumber dari penerimaan iuran tetap dan penerimaan royalti. Dalam tahun 2008, penerimaan pertambangan umum mencapai Rp9,5 triliun yang bersumber dari penerimaan iuran tetap sebesar Rp0,1 triliun dan penerimaan royalti sebesar Rp9,4 triliun. Apabila dibandingkan dengan tahun 2007, realisasi penerimaan pertambangan umum meningkat sebesar Rp3,6 triliun atau 61,8 persen. Faktor utama peningkatan penerimaan pertambangan umum adalah peningkatan produksi komoditas utama pertambangan, yakni komoditi batu bara dari 217
III-32
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
GRAFIK III. 25 PERKEMBANGAN PRODUKSI BATU BARA, 2005 - 2009 250
250 217
225
193
200
juta ton
juta ton pada tahun 2007 menjadi 225 juta ton pada tahun 2008. Produksi tahun 2008 sebesar 225 juta ton tersebut belum memperhitungkan produksi dari kuasa pertambangan (KP) Daerah. Grafik III.25 memperlihatkan perkembangan produksi batu bara yang merupakan komoditas tambang utama selama 2005-2009.
Bab III
154 150
131
100 Dalam tahun 2009, penerimaan pertambangan umum diperkirakan akan 50 mencapai Rp8,7 triliun, menurun sebesar Rp0,8 triliun atau 8,3 persen jika dibandingkan 0 dengan realisasi tahun 2008. Penerimaan APBN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 pertambangan umum tahun 2009 Sumber: Departemen ESDM diperkirakan bersumber dari penerimaan iuran tetap sebesar Rp0,1 triliun dan penerimaan royalti sebesar Rp8,6 triliun. Faktor utama yang mempengaruhi penurunan penerimaan pertambangan umum adalah karena adanya penurunan harga komoditas tambang karena melemahnya permintaan akibat krisis global terkait dengan tren penurunan harga minyak dunia. Dalam tahun 2009, produksi batu bara ditargetkan sebesar 250 juta ton.
Penerimaan kehutanan selama 2005-2008 memperlihatkan perkembangan yang cenderung menurun dan rata-rata penurunannya sebesar 10,7 persen. Namun, dalam tahun 2008, penerimaan kehutanan mencapai sebesar Rp2,3 triliun, mengalami peningkatan sebesar Rp0,2 triliun atau 9,5 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Peningkatan penerimaan kehutanan dalam tahun 2008 tersebut didorong oleh penerimaan dari penerimaan dana reboisasi yang mencapai sebesar Rp1,6 triliun, dimana pada tahun 2007 realisasinya mencapai Rp1,4 triliun. Sedangkan sumber penerimaan kehutanan lainnya yang meliputi Iuran Hak atas Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dalam tahun 2008 masing-masing mencapai Rpo,1 triliun dan Rp0,6 triliun. Dalam tahun 2009, penerimaan kehutanan diperkirakan akan mencapai Rp1,7 triliun, menurun sebesar Rp0,6 triliun atau 25,9 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008. Faktor utama yang mendorong penurunan penerimaan kehutanan dalam tahun 2009 adalah penurunan penerimaan dari dana reboisasi akibat berkurangnya luasan dan potensi produksi kayu dari hutan alam. Dalam tahun 2009, penerimaan kehutanan dari dana reboisasi diperkirakan sebesar Rp1,0 triliun, sedangkan penerimaan kehutanan lainnya dari IHPH dan PSDH diperkirakan sebesar Rp0,1 triliun dan Rp0,4 triliun. Sumber penerimaan SDA nonmigas lainnya adalah dari penerimaan perikanan yang dalam perkembangannya cenderung terus mengalami penurunan. Selama periode 2005-2008, penerimaan perikanan mengalami penurunan rata-rata sebesar 33,3 persen. Kondisi ini terjadi terutama karena dampak penghapusan ijin operasi bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia untuk menangkap ikan yang berpotensi mengurangi sekitar 75,0 persen penerimaan dari kegiatan operasi kapal-kapal perikanan asing. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya Pemerintah untuk menghambat illegal fishing dan memperkuat industri dan armada perikanan nasional. Perusahaan asing boleh memiliki ijin tangkap ikan hanya bila mendaratkan hasil tangkapnya ke dalam negeri, dan mendirikan unit pengolahan di Indo-
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-33
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
nesia. Faktor lainnya adalah kenaikan harga BBM yang memicu meningkatnya biaya operasi penangkapan ikan mengakibatkan banyak pengusaha kapal mengalihkan usahanya ke sektor lain sehingga mengurangi penerimaan dari pungutan hasil perikanan (PHP). Dalam tahun 2008, penerimaan perikanan mencapai Rp77,8 miliar, menurun sebesar Rp38,5 miliar atau 33,1 persen jika dibandingkan dengan realisasinya tahun 2007. Sedangkan dalam tahun 2009, penerimaan perikanan diperkirakan akan mencapai Rp150,0 miliar, meningkat sebesar Rp72,2 miliar atau 92,8 persen jika dibandingkan dengan realisasinya tahun 2008. Peningkatan penerimaan perikanan diupayakan melalui beberapa kebijakan yang ditempuh guna peningkatan produksi sektor perikanan melalui budidaya perikanan, peningkatan kemampuan armada perikanan dalam negeri untuk menggantikan kapal asing, dan peningkatan pelayanan perijinan (mobile unit) dan administrasi penagihan. Penerimaan pertambangan panas bumi merupakan sumber penerimaan SDA nonmigas yang mulai dicatat dalam PNBP tahun 2008. Penerimaan pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian Pemerintah sebesar 34,0 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/NOI) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajakpajak dan pungutan-pungutan lain. Dalam tahun 2008, realisasi penerimaan panas bumi mencapai sebesar Rp0,9 triliun. Sedangkan untuk tahun 2009, penerimaannya diperkirakan mencapai Rp0,3 triliun, menurun sebesar Rp0,6 triliun atau 66,0 persen jika dibandingkan dengan realisasinya tahun 2008. Penurunan penerimaan ini terutama karena belum optimalnya produksi panas bumi dalam tahun 2009.
Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN Sumber lain penerimaan negara bukan pajak berasal dari penerimaan bagian Pemerintah atas laba (dividen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut ketentuan dalam Undangundang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam perkembangannya, BUMN saat ini memegang 5 peranan sebagaimana diamanahkan dalam pasal 2 UU Nomor 19 tahun 2003, yakni (a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (b) mengejar keuntungan; (c) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan (e) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Jumlah BUMN selama periode 2005-2008 terus mengalami perubahan, baik dari sisi bentuk perusahaan, maupun kelompok sektor usaha. Dari sisi bentuk perusahaan, BUMN dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk, yaitu (a) perusahaan umum (perum); (b) perusahaan perseroan (persero); dan (c) perseroan terbatas (persero Tbk). Dari sisi kelompok sektor usaha, BUMN dapat diklasifikasikan menjadi 35 sektor usaha yang tersebar kedalam 5 kelompok, yaitu: (a) jasa keuangan dan perbankan; (b) jasa lainnya; (c) bidang usaha logistik dan pariwisata; (d) agro industri, pertanian, kehutanan, kertas, percetakan, dan penerbitan; serta (e) pertambangan, telekomunikasi, energi, dan industri strategis. Sesuai dengan amanah
III-34
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
pasal 93 UU Nomor 19 tahun 2003, mulai tahun 2005 Pemerintah melakukan kebijakan untuk mengubah BUMN yang berbentuk perjan menjadi BUMN perum dan persero. Selama periode 2005-2007, jumlah BUMN yang dilaporkan adalah sebanyak 139 BUMN, dan pada tahun 2008 berjumlah 142 BUMN karena terjadi penambahan 3 BUMN baru yaitu PT Dirgantara Indonesia (persero) yang sebelumnya dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Asset (PPA) (persero), PT Askrindo (persero) yang sebelumnya mayoritas sahamnya dikuasai oleh Bank Indonesia, dan Perum LKBN Antara yang sebelumnya merupakan lembaga penyiaran publik. Selain mengelola kepemilikan saham pada sejumlah BUMN, Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN juga mengelola saham minoritas di sejumlah perusahaan. Kepemilikan saham minoritas merupakan kondisi dimana Pemerintah memiliki saham di bawah 51,0 persen terhadap total saham perusahaan. Selama periode 2005-2007, Pemerintah mempunyai kepemilikan saham minoritas pada 21 perusahaan, di tahun 2008 sebanyak 19 perusahaan, dan di tahun 2009 sebanyak 16 perusahaan. Saham minoritas Pemerintah di tahun 2009 antara lain tersebar di perusahaan yakni PT Indosat Tbk (14,3 persen), PT Bank Bukopin (18,2 persen), dan PT Freeport Indonesia Tbk (9,4 persen). Sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN karena saham Pemerintah bersifat minoritas. Jumlah BUMN dalam masing-masing bentuk dan sektor dalam periode 2005 - 2009 dapat dilihat dalam Tabel III.16. Selama periode 2005-2008, kinerja TABEL III. 16 BUMN terus mengalami perkembangan, JUMLAH BUMN, 2005-2009 sebagaimana diindikasikan oleh kontinuitas peningkatan aset, laba bersih, Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 belanja operasional (operational expenditure/opex), dan belanja modal (capital Perum 13 13 14 15 13 expenditure/capex). Selama periode Persero 114 114 111 113 116 tersebut, total aset BUMN tumbuh rata- Persero Tbk 12 12 14 14 15 rata sebesar 10,6 persen, laba bersih Jumlah BUMN 139 139 139 142 144 tumbuh rata-rata sebesar 25,1 persen, Jumlah Sektor BUMN 35 35 35 35 35 opex tumbuh rata-rata sebesar 288,5 Kepemilikan Minoritas 21 21 21 19 16 persen, dan capex tumbuh rata-rata Sumber: Kementerian Negara BUMN sebesar 50,4 persen. Dari sisi laba bersih, pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp82,4 triliun atau meningkat sebesar Rp10,9 triliun (15,3 persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Dari total perolehan, laba bersih tersebut sebagian besar disumbang oleh PT Pertamina sebesar Rp30,2 triliun (47,3 persen) dan kelompok BUMN perbankan sebesar Rp13,2 triliun (16,0 persen), sedangkan sisanya sebesar 44,8 persen disumbang oleh BUMN sektor lainnya. Dalam tahun 2009, laba bersih seluruh BUMN diperkirakan sebesar Rp65,3 triliun, lebih rendah Rp17,1 triliun (20,8 persen) terhadap perolehan laba bersih tahun 2008. Penurunan perkiraan laba bersih tersebut terutama di sebabkan oleh belum kondusifnya kondisi perekonomian di tahun 2009, sebagai akibat dinamika variabel makro seperti harga minyak, kurs, pertumbuhan kredit perbankan, serta harga komoditi pertambangan, pertanian dan perkebunan. Tabel III.17 memperlihatkan kinerja BUMN selama periode 2005-2009. Kinerja BUMN selama periode 2005-2008 mempunyai pengaruh yang signifikan di pasar modal. Total kapitalisasi pasar BUMN terbuka mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-35
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
23,7 persen, dan rata-rata prosentase terhadap total KINERJA KEUANGAN BUMN 2005 - 2009 (Rp triliun) kapitalisasi pasar sebesar 34,0 2009 persen. Total kapitalisasi pasar 14 PERKIRAAN 2005 2006 2007 2008 RKAP BUMN terbuka di tahun 2008 Aset 1.365,8 1.506,2 1.736,9 1.845,9 2.040,3 mencapai lebih dari sepertiga toLaba bersih 42,3 53,2 71,5 82,4 65,3 tal kapitalisasi pasar, yaitu sebesar Opex 538,8 62,6 626,3 962,8 836,3 Rp354,9 triliun atau 33,0 persen. Capex 39,9 48,0 91,2 128,3 152,1 Sampai dengan April 2009, total Sumber: Kementerian BUMN kapitalisasi pasar 15 BUMN terbuka sebesar Rp373,7 triliun atau 31,9 persen terhadap total kapitalisasi pasar. Perkembangan kapitalisasi BUMN selama periode 2005-2009 dapat dilihat pada Grafik III.26. TABEL III. 17
%
(Rp triliun)
Rp triliun
BUMN memiliki peranan yang cukup GRAFIK III. 26 PERKEMBANGAN KAPITALISASI BUMN, 2005 - 2009 signifikan dalam APBN, sebagaimana ditunjukkan dengan terus meningkatnya 700 50 kapitalisasi pasar BUMN terbuka % terhadap total kapitalisasi pasar kontribusi BUMN terhadap APBN. 600 40 Kontribusi tersebut antara lain terdiri dari 500 pembayaran pajak, penerimaan privatisasi, 30 400 dan dividen. Selama periode 2005-2008, 300 20 kontribusi BUMN tumbuh rata-rata sebesar 200 35,0 persen, dan memiiliki rata-rata 10 100 kontribusi sebesar Rp92,9 triliun per tahun. 0 0 Dari jumlah tersebut, porsi sebesar 75,3 2005 2006 2007 2008 2009 persen berasal dari pajak BUMN, 1,5 persen s.d April Sumber: Kementerian BUMN berasal dari penerimaan privatisasi, dan 23,3 persen berasal dari dividen. Terus meningkatnya jumlah perolehan laba BUMN dari tahun ke tahun menyebabkan kontribusi pajak BUMN menjadi sangat besar. Pajak BUMN selama kurun waktu 2005-2008 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar Rp20,2 triliun (35,5 persen) per tahun. Pajak yang dibayar oleh BUMN terdiri dari pajak penghasilan (PPh) BUMN dan pajak lainnya. Dalam periode tersebut, rata-rata pertumbuhan PPh BUMN mencapai 35,0 persen dan pertumbuhan pajak lainnya sebesar 35,9 persen. Meskipun pada tahun 2005 dan 2008 tidak terdapat BUMN GRAFIK III. 27 yang diprivatisasi, penerimaan dari privatisasi KONTRIBUSI BUMN TERHADAP APBN, 2005 - 2009 160 BUMN masih memberikan kontribusi rataPrivatisasi Dividen Pajak-pajak 140 rata sebesar Rp1,4 triliun per tahun. Dalam tahun 2009, total kontribusi BUMN terhadap 120 APBN diperkirakan sebesar Rp139,8 triliun, 100 lebih tinggi Rp9,2 triliun atau 7,0 persen bila 80 dibandingkan dengan tahun lalu. Hal tersebut 60 terutama disebabkan perkiraan setoran pajak 40 BUMN yang mengalami peningkatan sekitar 20 Rp8,5 triliun (8,4 persen) dari tahun 0 sebelumnya. Perkembangan kontribusi 2005 2006 2007 2008 2009 RAPBN-P BUMN terhadap APBN secara lebih rinci Sumber: Departemen Keuangan dapat dilihat pada Grafik. III.27.
III-36
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
GRAFIK III. 28 PERKEMBANGAN DIVIDEN BUMN, 2005 - 2009 Perbankan
Nonpe rbankan
% thd total PNBP
30
15 12
25 20
9
15
6
10 3
5
(%)
(Rp triliun)
35
Dalam kurun waktu 2005-2008 dividen BUMN terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar Rp5,4 triliun atau 35,1 persen per tahun. Penerimaan tertinggi dicapai pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp29,1 triliun atau 9,1 persen terhadap total PNBP dengan komposisi sektor perbankan sebesar Rp4,5 triliun (15,5 persen) dan sektor nonperbankan sebesar Rp24,6 triliun (84,5 persen).
Dalam tahun 2009 dividen BUMN diperkirakan sebesar Rp29,2 triliun, yang terdiri dari dividen BUMN perbankan Sumber: Departemen Keuangan sebesar Rp2,6 triliun (8,9 persen) dan BUMN nonperbankan sebesar Rp26,6 triliun (91,1 persen). Perkiraan dividen ini lebih tinggi sebesar 11,9 persen dari rencana yang ditetapkan dalam Dokumen Stimulus 2009. Peningkatan jumlah dividen tersebut terutama disebabkan oleh penyesuaian pay-out ratio PT Pertamina dari 50 persen menjadi 60 persen, sehingga rencana dividen yang berasal dari PT Pertamina bertambah sebesar Rp2,7 triliun atau total menjadi Rp15,1 triliun. Selain itu, faktor lain yang mendukung peningkatan dividen tahun 2009 adalah pencapaian total laba bersih BUMN di tahun buku 2008 yang mencapai Rp82,4 triliun. Perkembangan dividen BUMN 2005 - 2009 dapat dilihat pada Grafik III. 28. 0
0
2005
2006
2007
2008
2009 RAPBN-P
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
(%)
(Rp triliun)
Selama periode 2005-2008 PT Pertamina menjadi BUMN penyumbang dividen GRAFIK III. 29 PERKEMBANGAN LABA DAN DIVIDEN PERTAMINA terbesar dengan rata-rata kontribusi tiap dividen PT Pertamina % thd total dividen BUMN tahun sebesar 45,7 persen terhadap total 60 16 dividen BUMN (Grafik III.29). Hal ini tidak terlepas dari kinerja PT Pertamina 12 40 yang perolehan laba bersihnya terus meningkat setiap tahun. Selama periode 8 tersebut, PT Pertamina membukukan laba 20 bersih rata-rata sebesar Rp22,5 triliun per 4 tahun. Pada tahun fiskal 2007, dividen PT 0 0 Pertamina mencapai Rp11,1 triliun yang 2005 2006 2007 2008 2009 berasal dari dividen murni laba bersih RAPBN-P Sumbe r: De partemen Ke uangan tahun buku 2006 sebesar Rp9,7 triliun dan dividen interim sebesar Rp1,4 triliun. Pada tahun buku 2007, PT Pertamina memperoleh laba bersih sebesar Rp24,5 triliun. Dengan perhitungan pay-out ratio sebesar 45,0 persen, setoran dividen di tahun fiskal 2008 tersebut mencapai Rp14,1 triliun, yang terdiri dari dividen murni sebesar Rp11,1 triliun dan dividen interim sebesar Rp3,0 triliun. Perolehan laba tertinggi PT Pertamina terjadi di tahun 2008 yaitu sebesar Rp30,2 triliun atau meningkat sebesar 23,3 persen bila dibandingkan dengan laba bersih tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh windfall profit akibat lonjakan harga minyak pada kuartal II tahun 2008. Dalam tahun 2009 dividen PT Pertamina diperkirakan sebesar Rp15,1 triliun, lebih tinggi Rp1,0 triliun (7,2 persen) dari realisasi dividen tahun
III-37
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh penyesuaian pay-out ratio PT Pertamina dari 50 persen menjadi 60 persen, di samping perolehan laba bersih PT Pertamina tahun 2008 yang mencapai Rp30,2 triliun. Selain PT Pertamina, BUMN yang diperkirakan menyetor dividen terbesar dalam tahun 2009 antara lain adalah PT Telkom Tbk sebesar Rp3,0 triliun, PT Bank Mandiri Tbk sebesar Rp1,2 triliun, dan PT BRI Tbk sebesar Rp1,2 triliun. Perkiraan setoran dividen di tahun 2009 tersebut dipengaruhi oleh laba operasional yang diperoleh BUMN dalam tahun 2008. Beberapa BUMN dengan perolehan laba tertinggi tahun buku 2008 antara lain adalah PT Telkom Tbk sebesar Rp10,6 triliun, PT BRI Tbk sebesar Rp6,0 triliun, dan PT Bank Mandiri Tbk sebesar Rp5,3 triliun. Tabel III.18 memperlihatkan perkembangan beberapa BUMN utama pembayar dividen dalam tahun 2005-2009. TABEL III. 18 PERKEMBANGAN PEMBAYAR DIVIDEN BEBERAPA BUMN, 2005-2009 (Rp triliun)
No
BUMN
2005
2006
2007
2008
2009 RAPBN-P
1
PT Pertamina
3,7
12,0
11,1
14,1
15,1
2
PT Telkom Tbk
1,6
2,8
3,1
4,2
3,0
3
PT BRI Tbk
1,1
1,1
1,2
1,4
1,2
4
PT Bank Mandiri Tbk
1,8
0,2
1,0
2,6
1,2
5
PT BNI Tbk
1,6
0,7
1,0
0,3
0,1
6
PT Semen Gresik Tbk
0,1
0,3
0,3
0,5
0,7
7
PT Perusahaan Gas Negara Tbk
0,1
0,3
0,5
0,4
0,2
8
PT Bukit Asam Tbk
0,1
0,2
0,1
0,2
0,6
9
PT Aneka Tambang Tbk
0,2
0,2
0,4
1,3
0,3
10 PT Pupuk Sriwijaya Tbk
0,1
0,1
0,1
0,4
0,5
Sumber: Kementerian BUMN
Pencapaian penerimaan dividen BUMN tersebut tak lepas dari kebijakan optimalisasi dividen BUMN yang ditempuh pemerintah dengan difokuskan pada beberapa hal sebagai berikut: (a) penyehatan perusahaan dengan mengoptimalkan investasi/capex; (b) optimalisasi dividen payout ratio dengan mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan, penugasan oleh Pemerintah, dan peraturan yang berlaku; (c) pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik (KAP) sesuai jadwal yang ditetapkan; (d) melanjutkan langkahlangkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap orientasi dan fungsi BUMN tersebut yang meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi, dan sistem prosedur; (e) memantapkan penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan responsibilitas pada pendapatan pengelolaan BUMN, PSO maupun BUMN komersial; (f) melakukan sinergi antar-BUMN agar dapat meningkatkan daya saing dan memberikan multiplier effect kepada perekonomian Indonesia, antara lain dengan menumbuhkembangkan resource base sectors yang memberikan nilai tambah; dan (g) upaya dividen interim dengan memperhatikan cash flow perusahaan. Selain pengaruh faktor internal tersebut, dividen BUMN juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti harga minyak, kurs, volume kredit perbankan, loan deposit ratio (LDR),
III-38
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
serta harga komoditi pertambangan, pertanian dan perkebunan. ICP yang menembus level US$100/barel pada bulan Maret 2008 (US$103,1/barel) hingga mencapai titik tertinggi pada bulan Juli 2008 (US$134,9/barel) telah membawa windfall profit bagi BUMN sektor pertambangan khususnya PT Pertamina, yang total perolehan laba bersihnya lebih tinggi Rp4,8 triliun (18,9 persen) dari target laba bersih yang ditetapkan dalam RKAP 2008 sebesar Rp25,4 triliun. Kecenderungan menurunnya suku bunga kredit perbankan khususnya kredit investasi dan kredit konsumsi sampai dengan pertengahan tahun 2008 membuat volume kredit perbankan meningkat sebesar 3,0 persen selama periode Juli-Oktober 2008 dan LDR meningkat sebesar 10,7 persen pada kurun waktu Februari-Juli 2008. Dengan adanya peningkatan baik dari segi volume kredit maupun LDR, membuat total laba bersih yang dibukukan BUMN sektor perbankan selama tahun 2008 mencapai Rp13,6 triliun. Beberapa BUMN sektor perbankan yang memperoleh laba terbesar di tahun 2008 adalah PT BRI Tbk sebesar Rp5,9 triliun, PT Bank Mandiri Tbk sebesar Rp5,3 triliun, dan PT BNI Tbk sebesar Rp1,2 triliun. Namun di sisi lain, dampak tekanan krisis ekonomi global yang terjadi sejak awal kuartal IV 2008 memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja BUMN. Pelemahan ekonomi dunia selanjutnya berdampak pada pergesaran besaran asumsi makroekonomi selama tahun 2008 antara lain nilai tukar dan harga komoditi internasional terutama mineral. Nilai tukar rupiah yang mulai menembus level Rp10.000/US$ pada akhir Oktober 2008, terus melemah hingga mencapai level terendah (Rp12.650/US$) pada akhir November 2008, telah berdampak pada berkurangnya perolehan laba BUMN di tahun 2008 sebagai akibat adanya selisih kurs yang mencapai Rp12 triliun. Beberapa BUMN yang mengalami kerugian terbesar akibat selisih kurs di tahun buku 2008 antara lain PT PLN, PT Pupuk Sriwijaya, PT Indosat Tbk, PT PGN Tbk dan PT Pupuk Kujang. Perolehan laba BUMN sektor pertambangan di tahun 2008 juga mengalami penurunan sebagai konsekuensi dari penurunan harga komoditi dunia. Harga tembaga terus mengalami penurunan sejak bulan Juli 2008 pada kisaran harga US$414,9/ton hingga Desember 2008 yang menyentuh harga US$131,6/ton. Komoditi emas juga terus terkoreksi ke bawah selama periode Juli-September 2008 (US$972,6/troy ons menjadi US$752,5/troy ons). Akibatnya, perolehan laba bersih PT Antam Tbk mengalami penurunan yang cukup tajam sebesar Rp3,8 triliun (73,3 persen) bila dibandingkan dengan laba bersih yang diperoleh pada tahun 2007. Kondisi makroekonomi yang tidak kondusif dalam tahun 2009, akan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah untuk tetap dapat menjaga kinerja BUMN tanpa mengurangi penerimaan dividen. Untuk BUMN sektor perbankan, antisipasi peningkatan non performing loans (NPL) menjadi komponen pengurang laba BUMN perbankan sehubungan dengan cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif. Hal lain adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tentang Peningkatan Capital Adequacy Requirement (CAR) atau Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang juga mengurangi laba BUMN perbankan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah akan melakukan penyesuaian pay-out ratio terhadap beberapa BUMN perbankan yang membutuhkan tambahan capex untuk kegiatan investasi. Kebijakan penyesuaian pay-out ratio BUMN perbankan tersebut akan dikompensasi melalui upaya penyaluran kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan pengurangan dana simpanan dalam bentuk SBI. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit di tengah pelemahan perekonomian.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-39
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Selain itu, langkah kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dari dividen BUMN di tahun 2009 adalah dengan menerapkan kebijakan payout ratio 50-60 persen dengan beberapa pengecualian, yaitu (a) BUMN laba, namun masih mempunyai akumulasi kerugian dari tahun sebelumnya; (b) BUMN laba, tidak akumulasi rugi, namun mengalami kesulitan cash flow; (c) BUMN sektor asuransi, terkait dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diamanatkan nirlaba atau keuntungan semata-mata untuk kepentingan peserta dalam bentuk peningkatan santunan, sehingga kebijakan pay-out ratio secara bertahap pada tahun 2009 akan menjadi nol persen; dan (d) beberapa BUMN sektor perkebunan, dengan pertimbangan kemampuan keuangan perusahaan. Terkait dengan upaya peningkatan kinerja BUMN dalam tahun 2009, Pemerintah secara konsisten akan melakukan berbagai langkah pembenahan internal di tubuh BUMN. Langkahlangkah tersebut antara lain (a) peningkatan efisiensi di tubuh PT Pertamina; (b) peningkatan efisiensi pada BUMN-BUMN yang memiliki kinerja merugi, termasuk PT PLN; (c) penerapan prinsip-prinsip korporasi terhadap BUMN yang menjalankan kewajiban PSO (public service obligation); (d) restrukturisasi dan privatisasi secara terpadu; (e) penyehatan perusahaan dengan mengoptimalisasi investasi (capital expenditure) dari laba BUMN; (f) tidak menarik dividen dari BUMN yang mengalami akumulasi rugi; (g) melakukan upaya program restrukturisasi dan rightsizing BUMN, sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2008; dan (h) perbaikan governance dan pengawasan kinerja BUMN.
PNBP Lainnya PNBP lainnya terutama bersumber dari PNBP kementerian negara/lembaga (K/L) yang pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur secara spesifik jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. Pemungutan PNBP K/ L tersebut dilakukan dalam rangka pengaturan, pelayanan, dan pengawasan yang dilaksanakan oleh K/L yang bersangkutan. Pemungutan PNBP K/L tersebut pada intinya ditujukan untuk peningkatan pelayanan yang diberikan K/L kepada masyarakat. Hal ini tercermin pada ketentuan dalam UU Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Mekanisme penggunaan PNBP K/L harus terlebih dahulu disetor ke kas negara sebelum digunakan oleh instansi yang bersangkutan. PNBP lainnya yang bersumber dari berbagai K/L tersebut meskipun besaran penerimaannya relatif kecil, namun kecenderungannya meningkat setiap tahun dan masih dapat terus dioptimalkan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PNBP lainnya dari K/L adalah jumlah objek, besaran tarif, kualitas pelayanan yang diberikan dan administrasi/pengelolaan PNBP dan upaya optimalisasi. Faktor-faktor tersebut kemudian dipertimbangkan dalam penyempurnaan PP tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. Selain bersumber dari berbagai K/L, di dalam PNBP lainnya juga terdapat penerimaan tertentu seperti (1) pendapatan minyak mentah (DMO), yang sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia; (2) rekening dana investasi (RDI), yang pada tahun 2005-2008 dalam struktur APBN penerimaan ini selain berperan sebagai pembiayaan, juga sebagai penerimaan
III-40
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
dalam negeri pada PNBP lainnya, yaitu berupa pelunasan piutang nonbendahara. Sementara itu, dalam tahun 2009 penerimaan dari RDI sebagian besar masuk sebagai sumber pembiayaan, sementara kontribusi untuk PNBP lainnya relatif lebih kecil; (3) setoran yang berasal dari surplus Bank Indonesia (BI), besarannya tidak dapat diprediksi karena sangat dipengaruhi oleh kondisi keuangan global. Dalam struktur APBN, PNBP lainnya terdiri atas penerimaan yang bersumber dari (1) pendapatan penjualan dan sewa; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8) pendapatan lain-lain. Pengelolaan atas jenis-jenis PNBP tersebut dilaksanakan oleh K/L terkait, antara lain Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, dan Departemen Hukum dan HAM. GRAFIK III. 30 PERKEMBANGAN PNBP LAINNYA, 2005 - 2009 70
63,3
(Rp triliun )
60
56,9
50
44,4 38,0
40 30
23,6
20
Selama tahun 2005-2008, arah kebijakan PNBP lainnya difokuskan pada hal-hal sebagai berikut: (1) optimalisasi PNBP pada K/L; (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing K/L; (3) monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP pada K/L; dan (4) peningkatan akurasi target dan penyusunan pagu penggunaan PNBP dan K/ L yang realistis serta pelaporannya.
10
Dalam kurun waktu 2005—2008, realisasi PNBP lainnya rata-rata tumbuh sebesar 40,6 2005 2006 2007 2008 2009 RAPBN-P persen. Peningkatan jumlah penerimaan Sumber : Departemen Keuangan tertinggi terjadi dalam tahun 2007, yaitu meningkat Rp18,9 triliun jika dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2006. Hal tersebut disebabkan adanya setoran dari surplus BI sebesar Rp13,7 triliun dan peningkatan pendapatan dari kegiatan hulu migas yaitu dari Rp8,6 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp16,9 triliun pada tahun 2008, yang dipengaruhi oleh meningkatnya harga minyak mentah dunia pada tahun 2008. Grafik III.30 memperlihatkan perkembangan PNBP lainnya selama periode 2005—2009. 0
Sementara itu penerimaan PNBP lainnya dari beberapa K/L yang mempunyai pengaruh signifikan baik dari sisi penerimaan maupun kebijakan dapat dilihat pada Tabel III.19. Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, sebagian PNBP yang dipungut oleh berbagai K/L dapat digunakan kembali oleh K/L yang bersangkutan setelah disetor ke kas negara terlebih dahulu. Penetapan penggunaan PNBP tersebut berdasarkan pada keputusan Menteri Keuangan tentang izin penggunaan PNBP yang bersifat spesifik pada masing-masing K/L. Penggunaan PNBP pada beberapa K/L dapat dilihat pada Tabel III.20. Khusus untuk Depdiknas, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 115/KMK.06/ 2001, ditetapkan bahwa PNBP dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah disetor ke kas negara dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-41
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 19 PERKEMBANGAN PNBP LAINNYA TAHUN 2005 – 2009 (triliun Rupiah) No
Kementerian/Lembaga
1 2 3 4 5 6 7
Departemen Komunikasi dan Informatika * Departemen Pendidikan Nasional Departemen Kesehatan * Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Pertanahan Nasional Departemen Hukum dan HAM Peneriman Lainnya, seperti: - Rekening Dana Investasi (RDI) - Pendapatan minyak mentah (DMO) - Penjualan hasil tambang - Surplus BI - Penerimaan lain-lain Total PNBP Lainnya
2005
2006
2007
RAPBN-P 2009
2008
1,8 1,2 0,2 1,2 0,6 0,7
4,0 2,3 0,4 1,4 0,7 0,8
5,1 3,2 3,0 1,5 0,8 0,9
7,7 4,0 2,9 1,7 0,9 1,2
7,0 5,4 3,6 1,8 1,4 1,4
8,0 1,3 8,6
7,4 7,3 2,7 1,5 9,5
7,9 8,6 2,9 13,7 9,3
8,2 9,9 2,5 24,3
1,5 6,5 6,5 2,6 9,3
23,6
38,0
56,9
63,3
44,4
* Termasuk pendapatan BLU Sumber: Berbagai Kementerian/Lembaga TABEL III. 20 IZIN PENGGUNAAN PNBP PADA BEBERAPA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA No
1
Kementerian/Lembaga
4
Departemen Komunikasi dan Informatika (khusus Ditjen Postel) Departemen Pendidikan Nasional (khusus PTN non-BHMN) Departemen Kesehatan (khusus Ditjen Bina Kesmas) Kepolisian Negara Republik Indonesia
5
Badan Pertanahan Nasional
6
Departemen Hukum dan HAM
2 3
KMK izin penggunaan PNBP
a.l. KMK No. 174/KMK,02/2007 KMK No. 115/KMK.06/2001
% Penggunaan PNBP
12,31 - 95,17 sesuai kebutuhan riil
KMK No.359/KMK.06/2002 KMK No. 171/KMK,02/2007
81,40 - 98,87
KMK No. 77/KMK.06/2003
80,50 - 95,00 25 - 30
S-178/MK.01/2000
90,04
Sumber: Departemen Keuangan
Dalam RAPBN-P tahun 2009, target penerimaan PNBP lainnya diperkirakan mencapai Rp44,4 triliun, sedikit mengalami penurunan sebesar Rp6,2 triliun atau 12,3 persen jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Dokumen Stimulus 2009. Jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar Rp63,3 triliun, target dalam RAPBN-P 2009 tersebut mengalami penurunan sebesar Rp18,9 triliun atau 30,0 persen. Penurunan target PNBP lainnya antara lain dipengaruhi oleh dampak krisis ekonomi global yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai akhir 2009. Dalam rangka pencapaian target PNBP, khususnya yang berasal dari berbagai K/L, selain dengan penetapan, perbaikan, dan penyempurnaan peraturan pemerintah (PP) tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L, telah dilakukan berbagai upaya oleh masing-masing K/L berupa kebijakan-kebijakan optimalisasi dan efektifitas pungutan PNBP pada K/L. Berikut ini adalah perkembangan PNBP pada beberapa K/L penyumbang PNBP terbesar berikut kebijakan yang dilakukan K/L tersebut. III-42
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
PNBP Departemen Komunikasi dan Informatika PNBP Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam kurun waktu 20052008 terutama berasal dari PNBP Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang dipungut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 tentang Tarif atas PNBP yang berlaku pada Depkominfo. Jenis penerimaan tersebut terdiri atas (1) pendapatan hak dan perizinan (biaya hak penyelenggaraan frekuensi); (2) pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi (biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi); (3) pendapatan jasa tenaga, pekerjaan informasi, pelatihan dan jasa teknologi; (4) kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation); dan (5) pendapatan pendidikan, sewa, dan penghapusan aset. Dalam tahun 2008 realisasi penerimaan PNBP Depkominfo sebesar Rp7,7 triliun, mengalami peningkatan sebesar Rp2,6 triliun atau 51,0 persen jika dibandingkan dengan realisasi dalam tahun 2007 yang sebesar Rp5,1 triliun. Kenaikan tersebut antara lain karena meningkatnya penggunaan spektrum di pita seluler oleh para operator seluler. Selama periode 2005—2008 PNBP Depkominfo secara keseluruhan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 66,9 persen.
(Rp triliun)
Sementara itu, upaya pencapaian PNBP GRAFIK III. 31 Depkominfo pada tahun 2009 didukung PERKEMBANGAN PNBP DEPKOMINFO, 2005 - 2009 dengan kebijakan antara lain (1) pengenaan BHP frekuensi dengan metode lelang pada 7,7 8 pita frekuensi yang potensial (bandwith wire7,0 less access); (2) pembenahan database baik 6 pengguna frekuensi maupun 5,1 penyelenggaraan telekomunikasi; 4,0 4 (3) melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penyelenggaraan telekomunikasi dan 1,8 2 pengguna spektrum frekuensi berkenaan dengan kewajiban pembayaran PNBP; 0 (4) penegakan hukum secara intensif kepada 2005 2006 2007 2008 2009 RAPBN-P penyelenggara telekomunikasi dan pengguna Sumber : Departemen Kominfo spektrum frekuensi yang tidak mematuhi ketentuan perundangan dengan melakukan kerjasama dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) dari kantor Menko Perekonomian dan BPKP; (5) pembaharuan dan penambahan tools secara bertahap, antara lain sistem monitoring frekuensi, otomatisasi sistem manajemen/perizinan frekuensi dan alat pengujian; dan (6) peningkatan pendapatan hak dan perizinan (BHP) dan penerimaan dari WiFi. Perkembangan PNBP Depkominfo dapat dilihat pada Grafik III.31.
PNBP Departemen Pendidikan Nasional Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997, jenis penerimaan yang berlaku di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) terdiri atas (1) penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan; (2) penerimaan kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi PTN; (3) penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan; dan (4) penerimaan dari sumbangan hibah perorangan, lembaga pemerintah atau nonpemerintah. Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-43
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Realisasi PNBP Depdiknas tahun 2008 mencapai sebesar Rp4,0 triliun, meningkat Rp0,8 triliun atau 25,0 persen jika dibandingkan dengan tahun 2007. Kenaikan tersebut terutama disebabkan antara lain oleh adanya (1) kegiatan tri dharma perguruan tinggi; (2) kegiatan manajemen nonreguler; (3) kualitas proses belajar mengajar; serta (4) jumlah dan mutu kegiatan mahasiswa. Selama periode 2005—2008, PNBP Depdiknas mengalami peningkatan rata-rata sebesar 51,3 persen.
(Rp triliun)
Sementara itu, kebijakan PNBP Depdiknas pada tahun 2009 antara lain meliputi (1) meningkatkan kapasitas dan daya tampung perguruan tinggi; (2) meningkatkan pelaksanaan berbagai program kegiatan kerjasama, baik antarinstansi maupun lembaga nonpemerintah, serta dunia industri; (3) meningkatkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sehingga menghasilkan produk dari hasil penyelenggara kegiatan tersebut; (4) menghasilkan lulusan berkualitas yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan teknologi, humaniora, dan seni serta dapat bersaing di pasar internasional berdasarkan moral agama; (5) menghasilkan penelitian inovatif, yang mendorong GRAFIK III. 32 pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, PERKEMBANGAN PNBP DEPDIKNAS, 2005 - 2009 humaniora dan seni dalam skala nasional 6 maupun internasional; (6) menghasilkan 5,4 pengabdian kepada masyarakat untuk 5 4,0 memberdayakan masyarakat agar mampu 4 3,2 menyelesaikan masalah secara mandiri dan 3 berkelanjutan; dan (7) mendukung upaya 2,3 untuk mewujudkan pengelolaan keuangan 2 1,2 negara yang tertib, taat pada peraturan 1 perundang-undangan, efisien, ekonomis, 0 efektif, transparan, dan bertanggung jawab 2005 2006 2007 2008 2009 dengan memperhatikan rasa keadilan dan RAPBN-P Sumber : Departemen Pendidikan Nasional kepatutan. Perkembangan PNBP Depdiknas dapat dilihat pada Grafik III.32.
PNBP Departemen Kesehatan Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan (Depkes), jenis penerimaan di Depkes terdiri atas (1) penerimaan dari pemberian izin pelayanan kesehatan oleh swasta; (2) penerimaan dari pemberian izin mendirikan rumah sakit swasta; (3) penerimaan dari jasa pendidikan tenaga kesehatan; (4) penerimaan dari jasa pemeriksaan laboratorium; (5) penerimaan dari jasa pemeriksaan air secara kimia lengkap; (6) penerimaan dari jasa balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4); (7) penerimaan dari jasa balai kesehatan mata masyarakat (BKMM); (8) penerimaan dari uji pemeriksaan spesimen; dan (9) penerimaan dari jasa pelayanan rumah sakit. Dalam tahun 2008, realisasi PNBP Depkes mencapai Rp2,9 triliun, turun Rp0,1 triliun atau 3,3 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Sementara itu, PNBP dari Departemen Kesehatan pada tahun 2009 didukung dengan kebijakan antara lain (a) peningkatan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pelayanan; (b) peningkatan pelayanan dan sarana dan prasarana kesehatan yang terintegrasi sesuai standar, berorientasi pada kepuasan pelanggan; (c) peningkatan cost recovery rumah sakit untuk menuju kemandirian komputerisasi administrasi keuangan;
III-44
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
PNBP Kepolisian Negara Republik Indonesia
GRAFIK III. 33 PERKEMBANGAN PNBP DEPKES, 2005 - 2009 4 3,6 3,0
3
(Rp triliun)
dan (d) pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan dengan tegas. PP No. 13 Tahun 2009 ini merupakan penyempurnaan dari PP No.7 Tahun 2006. Perkembangan PNBP Depkes dapat dilihat pada Grafik III.33.
Bab III
2,9
2
1 0,4 0,2
0
2005 2006 2007 2008 2009 Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor RAPBN-P Sumber : Departemen Kesehatan 31 Tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, jenis penerimaan Polri terdiri atas (1) surat izin mengemudi (SIM); (2) surat tanda nomor kendaraan (STNK); (3) tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB); (4) surat tanda coba kendaraan (STCK); (5) bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB); (6) klinik pengemudi; dan (7) izin senjata api (Senpi).
Selama periode 2005—2008, PNBP Polri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,6 persen. Realisasi PNBP Polri tahun 2008 sebesar Rp1,7 triliun, meningkat sebesar Rp0,2 triliun atau 11,8 persen dibandingkan realisasi tahun 2007 sebesar Rp1,5 triliun. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi, sehingga daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut, penerimaan PNBP Polri dari STNK dan BPKB mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
(Rp triliun)
PNBP dari Kepolisian Negara RI pada tahun 2009 didukung dengan kebijakan antara lain (1) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui pelatihan teknis Lantas dan pendidikan pelatihan fungsional Lantas; (2) meningkatkan infrastruktur pendukung pelaksanaan operasional Polri di bidang lalu lintas berupa pengadaan Alsus Polantas, kendaraan patroli roda 2/roda 4, kendaraan patwal roda 2/roda 4, kendaraan uji SIM roda 2/roda 4, mobil unit pelayanan SIM, mobil GRAFIK III. 34 PERKEMBANGAN PNBP POLRI, 2005 - 2009 unit laka Lantas, driving simulator, komputer Samsat dan alat cetak TNKB; 2,0 1,8 1,7 (3) membangun perangkat Satpas dengan 1,5 memanfaatkan perkembangan ilmu 1,5 1,3 1,2 pengetahuan dan teknologi demi memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan Polri 1,0 yang lebih profesional dan modern; (4) peningkatan kinerja dengan menambah 0,5 jumlah loket pelayanan; dan (5) perbaikan sistem pelayanan SIM yang cepat, tepat, 0,0 benar dan mudah, serta tarif sesuai dengan 2005 2006 2007 2008 2009 RAPBN-P ketentuan yang berlaku. Perkembangan Sumbe r : Ke polisian Ne gara Re publik Indone sia PNBP Polri dapat dilihat pada Grafik III.34.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-45
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
PNBP Badan Pertanahan Nasional Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 tentang Tarif atas PNBP yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), jenis penerimaan yang berlaku di BPN bersumber dari (1) pelayanan pendaftaran tanah; (2) pelayanan pemeriksaan tanah; (3) pelayanan informasi pertanahan; (4) pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya; (5) pelayanan redistribusi tanah secara swadaya; (6) pelayanan penyelenggaraan program diploma satu (D1) pengukuran dan pemetaan kadastral; dan (7) pelayanan penetapan hak atas tanah (HAT). Selama periode 2005—2008, PNBP BPN mengalami peningkatan rata-rata sebesar 14,5 persen. Realisasi PNBP BPN tahun 2008 sebesar Rp0,9 triliun, meningkat sebesar Rp0,1 triliun atau 12,5 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2007. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi, rendahnya suku bunga dan menguatnya daya beli masyarakat.
(Rp triliun)
Dalam tahun 2009, PNBP dari Badan Pertanahan Nasional didukung dengan GRAFIK III. 35 PERKEMBANGAN PNBP BPN, 2005 - 2009 kebijakan antara lain (1) PNBP umum, yaitu memaksimalkan inventarisasi dan penghapusan 1,4 1,4 aset dan memaksimalkan rekapitulasi data penerimaan pada satuan kerja; (2) PNBP 1,2 fungsional, yaitu revisi peraturan yang 1 0,9 memudahkan pergeseran target PNBP 0,8 0,8 0,7 antardaerah maupun antarkegiatan, dan 0,6 0,6 pengembangan sistem layanan melalui program Larasita (mobil pelayanan berpindah0,4 pindah); (3) PNBP pendidikan, yaitu 0,2 memaksimalkan penerimaan mahasiswa pro0 gram Diploma I STPN sesuai dengan kapasitas 2005 2006 2007 2008 2009 RAPBN-P ruang dan dosen yang tersedia; serta (4) Sumber : Badan Pertanahan Nasional menambah jumlah juru ukur dan alat ukur tanah sehingga dapat meningkatkan pelayanan. Perkembangan PNBP BPN dapat dilihat pada Grafik III.35.
PNBP Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007, jenis penerimaan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) bersumber dari (1) surat perjalanan Republik Indonesia; (2) visa; (3) izin keimigrasian; (4) izin masuk kembali (re-entry permit); (5) surat keterangan 400 keimigrasian; (6) biaya beban; (7) smart card; dan (8) APEC business travel card (ABTC). Kebijakan PNBP Depkumham terutama di bidang keimigrasian yang telah dilaksanakan antara lain sebagai berikut: (1) merubah tarif biaya imigrasi seperti pas lintas batas smart card kartu perjalanan pebisnis Asia Pacific Economic Cooperation (KPP-APEC)/APEC
III-46
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
GRAFIK III. 36 PERKEMBANGAN PNBP DEPKUMHAM, 2005 - 2009 1,6
1,4 1,4
1,2
1,2
(Rp triliun)
1 0,8
0,9 0,8 0,7
0,6 0,4 0,2 0 2005
2006
2007
Sumber : Departemen Hukum dan HAM
2008
2009 RAPBN-P
bussiness travel card (ABTC); (2) menambah negara subyek Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK) dari 52 negara menjadi 63 negara; dan (3) memasukkan sistem foto terpadu berbasis biometrik (SPTBB) menjadi PNBP dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007. Dengan adanya kebijakan tersebut, dalam tahun 2008 PNBP Depkumham meningkat sebesar Rp0,3 triliun atau 33,3 persen menjadi sebesar Rp1,2 triliun apabila dibandingkan dengan realisasi PNBP pada tahun 2007 sebesar Rp0,9 triliun. Selama periode 2005— 2008, PNBP Depkumham mengalami peningkatan rata-rata sebesar 37,0 persen.
Sementara itu, pada tahun 2009 PNBP dari Depkumham didukung dengan kebijakan antara lain (1) peningkatan kualitas pelayanan keimigrasian melalui penerapan e-office dan penerapan sistem penerbitan surat perjalananan Republik Indonesia yang berbasis teknologi dan informasi; (2) menjadikan jasa penggunaan teknologi sistem penerbitan paspor berbasis biometrik menjadi sumber PNBP; (3) peningkatan kapasitas sistem teknologi informasi guna mendukung proses pelayanan permohonan pendaftaran hak kekayaan intelektual yang lebih mudah dan cepat; serta (4) pemberian pemahaman secara kontinyu kepada masyarakat atas pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual. Perkembangan PNBP Depkumham dapat dilihat pada Grafik III.36.
Pendapatan BLU
(Rp triliun)
Realisasi penerimaan dalam APBN yang GRAFIK III. 37 berasal dari pendapatan BLU telah dimulai PENDAPATAN BLU, 2007 - 2009 sejak tahun 2007. Pendapatan BLU 7,0 merupakan dari PNBP pada Kementeriaan 5,9 6,0 Negara/Lembaga yang sebelumnya tercatat sebagai PNBP lainnya. Meskipun penerimaan 5,0 PNBP dari BLU masih tergolong baru, 3,7 4,0 penerimaan tersebut mengalami 3,0 perkembangan yang cukup signifikan. Selama 2,1 2,0 tahun 2007-2008, penerimaan ini mengalami pertumbuhan sebesar 75,2 persen. Dalam 1,0 kurun waktu tersebut, fokus kebijakan yang 0,0 telah dilakukan adalah (1) mendorong 2007 2008 2009 RAPBN-P peningkatan pelayanan publik instansi Sumbe r: Departemen Keuangan pemerintah; (2) meningkatkan pengelolaan keuangan BLU yang efisien dan efektif; dan (3) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi pemerintah. Perkembangan pendapatan BLU dapat dilihat dalam Grafik III.37. Realisasi Pendapatan BLU tahun 2007 mencapai Rp2,1 triliun atau memberi kontribusi sebesar 1,0 persen dari total PNBP. Pada tahun 2008 penerimaan tersebut meningkat 75,2 Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-47
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
persen menjadi Rp3,7 triliun atau 1,2 persen dari total PNBP. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh (1) terus bertambahnya jumlah satker yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU; (2) perbaikan dalam penyusunan laporan keuangan BLU, yaitu melalui pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam RAPBN-P tahun 2009, target pendapatan BLU direncanakan sebesar Rp5,9 triliun atau memberikan kontribusi sebesar 2,7 persen dari total PNBP. Target pendapatan BLU tersebut meningkat sebesar Rp0,5 triliun atau 8,2 persen dari target yang ditetapkan dalam Dokumen Stimulus 2009 sebesar Rp5,4 triliun. Sedangkan jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 sebesar Rp3,7 triliun, target dalam RAPBN-P tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,2 triliun atau 57,8 persen. Hal tersebut terutama disebabkan jumlah satker yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU masih terus bertambah. Saat ini, satker yang menerapkan pengelolaan keuangan BLU berjumlah 69 satker, dan kemungkinan masih akan terus bertambah hingga akhir tahun 2009.
3.2.2 Penerimaan Hibah Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, definisi dari penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri tanpa diikuti kewajiban untuk membayar kembali. Penerimaan hibah yang dicatat di dalam APBN adalah penerimaan negara yang bersumber dari sumbangan atau donasi (grant) dari negara-negara asing, lembaga/badan internasional, lembaga/badan nasional, serta perorangan asing dan dalam negeri. Perkembangan penerimaan negara yang berasal dari hibah ini tergantung pada pledge dan kesediaan negara atau lembaga donor dalam memberikan donasi (bantuan) kepada Pemerintah Indonesia. Selain itu, pada umumnya penggunaan dana hibah harus sesuai dengan kesepakatan bersama yang tertuang dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara Pemerintah Indonesia dengan pihak donor. Dilihat dari sumber-sumbernya, hibah dari luar negeri dapat dibedakan menjadi hibah yang bersifat bilateral dan multilateral. Hibah bilateral adalah hibah yang berasal dari Pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga/badan keuangan yang ditunjuk oleh Pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan hibah, sedangkan hibah multilateral adalah hibah yang berasal dari lembaga multilateral, atau hibah yang berasal dari donor lainnya jika pihak yang memberikan hibah tidak termasuk di dalam lembaga bilateral ataupun multilateral. Selama tahun 2005—2008, realisasi penerimaan hibah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 22,9 persen dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 40,6 persen. Realisasi tertinggi terjadi dalam tahun 2008 yang mencapai Rp2,3 triliun, meningkat sebesar Rp0,6 triliun atau 35,7 persen jika dibandingkan dengan realisasinya tahun 2007. Peningkatan jumlah realisasi tersebut terutama didorong oleh penerimaan hibah luar negeri dari lembaga multilateral yang tercatat sebesar Rp2,0 triliun. Dalam realisasi tahun 2008, alokasi dana hibah diperuntukkan antara lain untuk membiayai program lanjutan Earthquake and Tsunami Support Project (ETESP); program ketahanan pangan, dan program
III-48
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Rp triliun
ataupun proyek pembangunan yang dikelola GRAFIK III.38 oleh K/L. Sedangkan hibah dalam kerangka PERKEMBANGAN HIBAH, 2005 - 2009 kerjasama bilateral diutilisasikan dalam 2,5 2,3 sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan dan pertanahan, 2,0 1,8 1,7 kelembagaan, keagamaan, sosial 1,5 kemasyarakatan serta tata ruang. Dalam 1,3 tahun 2009, penerimaan hibah diperkirakan 0,9 1,0 mencapai Rp1,0 triliun, menurun sebesar Rp1,3 triliun atau 57,0 persen. Penurunan 0,5 ini terutama dikaitkan dengan telah berakhirnya program rekonstruksi dan 2005 2006 2007 2008 2009 rehabilitasi daerah-daerah terkena bencana LKPP LKPP LKPP LKPP Dok. Stimulus sehingga komitmen lembaga multilateral Sumbe r: De partemen Ke uangan dan negara donor terhadap program tersebut berkurang. Perkembangan hibah dapat dilihat dalam Grafik III.38.
1,0
2009 RAPBN-P
3.3 Tantangan dan Peluang Kebijakan Pendapatan Negara Secara umum kondisi perekonomian nasional pada tahun 2010 akan semakin membaik. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya mulai stabilnya harga komoditi, membaiknya kondisi perekonomian internasional, pulihnya industri dalam negeri serta diserapnya stimulus fiskal dengan baik oleh perekonomian. Di samping itu, terjaganya stabilitas keamanan dan politik dalam negeri turut memberi dampak positif bagi kelangsungan kegiatan ekonomi, efektivitas kebijakan ekonomi dan perbaikan investasi. Berdasarkan kondisi perekonomian nasional tersebut, pendapatan negara dan hibah diperkirakan akan mengalami peningkatan pada tahun 2010. Peningkatan tersebut terutama didukung oleh peningkatan penerimaan dalam negeri. Sebagai sumber utama penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diharapkan dapat tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun 2009. Terkecuali PPh migas, semua jenis penerimaan pajak diharapkan akan meningkat kembali terutama PPN dan PPnBM yang didukung oleh meningkatnya transaksi perdagangan internasional. Sementara itu, masih menurunnya PPh migas disebabkan oleh jumlah produksi dan harga rata-rata ICP tahun 2010 yang masih lebih rendah dari tahun 2009. Di bidang perpajakan, kebijakan utama yang diambil untuk mencapai target penerimaan adalah reformasi perpajakan jilid II yang difokuskan pada sistem dan manajemen sumber daya manusia serta perbaikan teknologi informasi dan komunikasi. Kebijakan reformasi perpajakan jilid II ini merupakan kelanjutan dari program reformasi perpajakan jilid I yang telah selesai pada tahun 2008. Di bidang kepabeanan dan cukai, kebijakan yang dilaksanakan untuk mencapai target penerimaan adalah dengan meningkatkan efektivitas pemeriksaan dokumen dan barang, kebijakan menaikkan tarif cukai, meningkatkan fungsi unit pengawasan dan patroli laut serta secara konsisten melanjutkan program reformasi kepabeanan dan cukai. Sementara itu, PNBP dalam tahun 2010 akan lebih rendah dibandingkan perkiraan realisasi 2009 yang didorong oleh penurunan dari penerimaan SDA migas. Namun demikian, PNBP
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-49
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
diupayakan untuk memberikan kontribusi yang optimal tehadap pendapatan negara. Kebijakan dan langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah dalam mencapai target PNBP tahun 2010 adalah (1) meningkatkan produksi/lifting minyak mentah dan efisiensi dalam cost recovery guna mengoptimalkan penerimaan migas; (2) mengoptimalkan produksi komoditas tambang dan mineral serta perbaikan peraturan di sektor pertambangan; (3) menggali potensi penerimaan di sektor kehutanan dengan tetap mempertimbangkan program kelestarian lingkungan hidup; (4) mengoptimalkan dividen BUMN dengan tetap mempertimbangkan peningkatan investasi melalui program efisiensi operasi dan struktur kapital BUMN; serta (5) intensifikasi dan ekstensifikasi jenis pungutan, perbaikan pengelolaan sistem administrasi serta peningkatan kinerja dan pelayanan pada PNBP K/L.
3.4 Sasaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 Strategi kebijakan fiskal dalam tahun 2010 akan diarahkan untuk mendukung langkahlangkah pemulihan pereko-nomian nasional. Langkah pemulihan tersebut dilakukan dengan tetap memper-timbangkan kebijakan pengendalian defisit dalam tahun 2010 melalui optimalisasi penerimaan perpajakan dan kepabeanan, penghematan subsidi dengan efisiensi, dan penghematan dana alokasi khusus (DAK). TABEL III. 21 PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) 2009 Uraian
RAPBN-P
2010 % thd
RAPBN
PDB
Pendapatan Negara dan Hibah
872,6
I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan 1. Migas 2. Non-Migas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak bumi dan bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea masuk ii. Bea keluar 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah
871,6 652,1 632,1 340,4 49,5 290,9 203,1 23,9 7,0 54,5 3,3 20,0 18,6 1,4 219,5 140,0 129,1 10,9 29,2 44,4 5,9 1,0
Sumber : Departemen Keuangan
III-50
16,1 16,1 12,0 11,7 6,3 0,9 5,4 3,7 0,4 0,1 1,0 0,1 0,4 0,3 0,0 4,0 2,6 2,4 0,2 0,5 0,8 0,1 0,0
% thd PDB
911,5 910,1 729,2 702,0 340,3 39,9 300,4 267,0 26,5 7,4 57,0 3,8 27,1 19,5 7,6 180,9 111,5 101,3 10,2 23,0 36,7 9,7 1,4
15,1 15,0 12,1 11,6 5,6 0,7 5,0 4,4 0,4 0,1 0,9 0,1 0,4 0,3 0,1 3,0 1,8 1,7 0,2 0,4 0,6 0,2 0,0
Dalam tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp911,5 triliun, lebih tinggi Rp38,8 triliun atau 4,5 persen apabila dibandingkan dengan RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp872,6 triliun. Target tersebut terdiri dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp910,1 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp1,4 triliun. Lebih tingginya target pendapatan negara dan hibah tersebut terutama berasal dari penerimaan perpajakan seiring dengan meningkatnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat, meningkatnya jumlah wajib pajak, dan modernisasi administrasi perpajakan serta diterapkannya program reformasi perpajakan lanjutan mulai pertengahan tahun 2009 - 2010. Pendapatan negara dan hibah tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel III. 21.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
3.4.1 Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan dalam negeri tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp910,1 triliun. Target tersebut meningkat sebesar Rp38,4 triliun atau 4,4 persen apabila dibandingkan dengan RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp871,6 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp729,2 triliun atau 80,1 persen dari total penerimaan dalam negeri, sedangkan PNBP diperkirakan mencapai Rp180,9 triliun atau 19,9 persen dari total penerimaan dalam negeri.
3.4.1.1 Penerimaan Perpajakan Kebijakan Umum Perpajakan Pokok-pokok kebijakan umum perpajakan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari kebijakan umum perpajakan tahun-tahun sebelumnya. Secara garis besar, kebijakan umum perpajakan tahun 2010 mencakup program ekstensifikasi perpajakan, program intensifikasi perpajakan, dan program kegiatan pasca sunset policy. Di samping itu, sejak pertengahan tahun 2009, Pemerintah memutuskan untuk terus melanjutkan reformasi perpajakan melalui reformasi perpajakan jilid II. Program kebijakan ekstensifikasi dalam tahun 2010 dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia dan penambahan subyek pajak orang pribadi. Pengenaan pajak atas surplus Bank Indonesia didasarkan pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sementara itu, penambahan wajib pajak akan terus dilakukan melalui tiga pendekatan utama. Pertama, pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara. Kedua, pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan. Ketiga, pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui (1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 Retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait yang telah dikembangkan sejak tahun 2007. Sedangkan kegiatan pasca program sunset policy akan dititikberatkan pada 2 kegiatan utama, yaitu law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Kegiatan pembinaan dititikberatkan pada pembangunan komunikasi kepada setiap wajib pajak yang dilaksanakan melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-51
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Di samping ketiga program tersebut, Pemerintah akan terus berupaya untuk menyelesaikan pembahasan amendemen Undang-undang PPN dan PPnBM dengan DPR-RI. Tujuan amendemen undang-undang tersebut antara lain untuk (1) memberikan kepastian hukum; (2) menyederhanakan sistem PPN; (3) mengefisiensikan biaya administrasi; (4) meningkatkan kepatuhan wajib pajak; dan (5) mengamankan penerimaan pajak. Di bidang kepabeanan, optimalisasi penerimaan dilakukan antara lain melalui peningkatan manajemen tagihan/piutang yang ditujukan untuk mengukur tingkat kolektibilitas tagihan/ piutang. Upaya tersebut dilakukan melalui penerbitan surat paksa, surat sita dan pelaksanaan pelelangan. Selanjutnya, untuk meningkatkan pelayanan kepabeanan kepada masyarakat, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya Pabean dan pengembangan National Single Windows (NSW). Di samping kedua program tersebut, Pemerintah juga akan melakukan program intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli dan mesin sinar X dan sinar gamma. Di bidang cukai, optimalisasi penerimaan dilakukan melalui (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau minimal 5-10 persen; (2) perubahan ketentuan mengenai perijinan; (3) penyederhaan golongan pengusaha dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA). Untuk menjamin kepastian penerimaan cukai, pemerintah akan melakukan peningkatan pengawasan antara lain melalui (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Sedangkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah akan melanjutkan program reformasi dengan menerapkan KPPBC Madya Cukai, otomatisasi pelayanan dan pembayaran di bidang cukai, serta pembentukan unit layanan infomasi dan kepatuhan internal. Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah akan meningkatkan pengawasan dan audit. Peningkatan pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melakukan pemberantasan penyelundupan fisik dan pelanggaran administrasi; (4) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan obyek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi audit.
Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp729,2 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp77,0 triliun atau 11,8 persen dibandingkan dengan RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp652,1 triliun. Secara umum, terdapat 3 (tiga) faktor utama yang memengaruhi peningkatan penerimaan perpajakan yaitu (1) relatif membaiknya kondisi perekonomian nasional yang tercermin dari lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2010; (2) dilanjutkannya program reformasi perpajakan; dan (3) semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan.
III-52
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Pajak Penghasilan (PPh) Sejalan dengan perkiraan membaiknya kondisi perekonomian nasional, penerimaan PPh dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp340,3 triliun, menurun Rp0,1 triliun apabila dibandingkan dengan penerimaan PPh dalam RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp340,4 triliun.
PPh Migas Dalam tahun 2010, penerimaan PPh migas ditargetkan mencapai Rp39,9 triliun, turun sebesar Rp9,6 triliun atau 19,4 persen apabila dibandingkan dengan RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp49,5 triliun. Penurunan tersebut lebih disebabkan oleh menguatnya perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di tahun 2010.
PPh Nonmigas PPh nonmigas dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp300,4 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp9,6 triliun atau 3,3 persen apabila dibandingkan dengan penerimaan PPh nonmigas dalam RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp290,9 triliun. Lebih tingginya penerimaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak; (2) peningkatan law enforcement; (3) perluasan basis pajak; (4) pelaksanaan program intensifikasi perpajakan melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking; serta (5) berhasilnya program sunset policy dalam tahun 2009.
PPh Nonmigas Sektoral Penerimaan PPh nonmigas sektoral dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp289,4 triliun. Target tersebut meningkat Rp2,4 triliun atau 0,8 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp287 triliun. Target tersebut belum termasuk penerimaan PPh nonmigas dalam bentuk valuta asing dan belum memperhitungkan angka restitusi. Dalam tahun 2010, sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan menjadi kontributor utama dalam penerimaan PPh nonmigas, yaitu mencapai Rp73,5 triliun atau 25,4 persen dari total PPh nonmigas sektoral. Target tersebut menurun Rp21,3 triliun atau 22,5 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp94,8 triliun. Sektor industri pengolahan diperkirakan menjadi kontributor kedua dengan sumbangan mencapai Rp70,1 triliun atau 24,2 persen dari total PPh nonmigas sektoral. Apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 sebesar Rp64,0 triliun, target tersebut meningkat Rp6,1 triliun atau 9,6 persen. Sementara itu, sebagai kontributor ketiga, sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan menyumbang sebesar Rp38,5 triliun atau 13,3 persen dari total PPh nonmigas sektoral. Target tersebut meningkat Rp5,9 triliun atau 18,0 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp32,6triliun. Perkiraan penerimaan PPh nonmigas sektoral tahun 2009 - 2010 dapat dilihat pada Tabel III.22.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-53
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 22 PENERIMAAN PERPAJAKAN PPh NON MIGAS MENURUT SEKTOR EKONOMI, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) 2009 No
Sektor
Perk. Real
% thd Total
2010 YoY
Perk.
% thd Total
YoY 21,4
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
10,3
3,6
8,4
12,5
4,3
2
Pertambangan Migas
14,9
5,2
(13,2)
15,2
5,3
1,7
3
Pertambangan Bukan Migas
22,9
8,0
101,2
27,8
9,6
21,5
4
Penggalian
5
Industri Pengolahan
6
Listrik, Gas dan Air Bersih
7
Konstruksi
8
Perdagangan, Hotel dan Restoran
9
0,4
0,1
(22,1)
0,4
0,1
11,7
64,0
22,3
16,4
70,1
24,2
9,6
6,2
2,2
19,8
6,6
2,3
7,0
6,7
2,3
33,6
7,3
2,5
8,8
32,6
11,4
39,2
38,5
13,3
17,9
Pengangkutan dan Komunikasi
18,3
6,4
(7,6)
18,9
6,5
2,9
10
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
94,8
33,0
60,5
73,5
25,4
(22,5)
11 12
Jasa Lainnya Kegiatan yang belum jelas batasannya
14,0 2,0
4,9 0,7
26,9 (49,9)
15,0 3,6
5,2 1,3
7,1 83,1
100,0
29,9
100,0
0,8
TOTAL
287,0
289,4
Sumber: Departemen Keuangan
PPN dan PPnBM Penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp267,0 triliun, lebih tinggi Rp63,9 triliun atau 31,5 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp203,1 triliun. Target tersebut telah memperhitungkan potential loss dari diterapkannya amendemen Undang-undang PPN. Namun demikian, perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dilanjutkannya reformasi perpajakan serta meningkatnya konsumsi dalam negeri diharapkan dapat mengurangi potential loss tersebut.
PPN Dalam Negeri Sektoral Penerimaan PPN dalam negeri (PPN DN) sektoral dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp158,5 triliun. Apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp123,9 triliun, penerimaan PPN DN sektoral tersebut meningkat sebesar Rp34,6 triliun atau 27,9 persen. Sebagaimana tahun sebelumnya, sektor industri pengolahan diperkirakan menjadi kontributor utama dalam penerimaan PPN DN sektoral tahun 2010, yaitu mencapai Rp44,6 triliun, meningkat Rp7,2 triliun atau 19,3 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp37,4 triliun. Sektor pertambangan migas diperkirakan menjadi kontributor kedua dengan jumlah peneriman PPN mencapai Rp37,6 triliun, meningkat Rp15,1 triliun atau 67,1 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp22,5 triliun. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan menjadi kontributor ketiga dengan sumbangan mencapai Rp26,2 triliun, meningkat Rp4,3 triliun atau 19,6 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp21,9 triliun. Perkiraan penerimaan PPN DN sektoral tahun 2009 - 2010 dapat dilihat pada Tabel III.23.
III-54
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
TABEL III. 23 PENERIMAAN PERPAJAKAN PPN DN MENURUT SEKTOR EKONOMI, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) 2009 No
Sektor
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
2
Pertambangan Migas
3
Pertambangan Bukan Migas
4
Penggalian
5
Industri Pengolahan
6
Listrik, Gas dan Air Bersih
Perk. Real
2010
% thd TOTAL
YoY
Perk.
% thd TOTAL
YoY
1,9
1,5
(37,4)
2,0
1,3
4,9
22,5
18,1
27,7
37,6
23,7
67,0
1,0
0,8
(28,3)
1,0
0,7
5,6
0,1
0,1
0,3
0,2
0,1
31,3
37,4
30,2
(0,6)
44,6
28,2
19,2
0,9
0,7
49,2
1,1
0,7
20,4
7
Konstruksi
11,3
9,1
8,1
14,4
9,1
27,3
8
Perdagangan, Hotel dan Restoran
21,9
17,6
12,1
26,2
16,5
19,8
9
Pengangkutan dan Komunikasi
8,2
6,6
(5,1)
8,9
5,6
7,8
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
9,7
7,8
5,3
10,3
6,5
6,1
11
Jasa Lainnya
2,4
1,9
(0,5)
2,7
1,7
15,6
12
Kegiatan yang belum jelas batasannya
6,6
5,3
11,7
9,5
6,0
44,3
100,0
6,3
158,5
100,0
27,9
10
TOTAL
123,9
Sumber: Departemen Keuangan
PPN Impor Seiring dengan perkiraan membaiknya kondisi perekonomian nasional, meningkatnya konsumsi dalam negeri, penerapan kebijakan di bidang perpajakan, penerapan kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai, maka penerimaan PPN impor dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp104,3 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp49,0 triliun atau 88,6 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp55,3 triliun. Secara sektoral, sektor industri pengolahan, sektor pertambangan migas, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan tiga sektor utama penyumbang peningkatan PPN impor tersebut. Sumbangan sektor industri pengolahan diperkirakan mencapai Rp43,9 triliun, meningkat Rp18,8 triliun atau 74,9 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2009 yang mencapai Rp25,1 triliun. Sektor pertambangan migas diperkirakan mencapai Rp24,4 triliun, meningkat Rp13,9 triliun atau 163,5 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp8,5 triliun. Sedangkan sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan menyumbang Rp29,4 triliun, meningkat sebesar 12,2 triliun atau 70,9 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp17,2 triliun. Kontribusi masing sektor ekonomi terhadap penerimaan PPN impor tahun 2009 - 2010 dapat dilihat pada Tabel III.24.
PBB dan BPHTB Penerimaan PBB dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp26,5 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp2,6 triliun atau 11,0 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp23,9 triliun. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-55
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 24 PENERIMAAN PERPAJAKAN PPN IMPOR MENURUT SEKTOR EKONOMI, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) 2009 No
Sektor
Perk. Real
% thd Total
2010 YoY
Perk.
% thd Total
YoY
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
0,1
0,1
(21,7)
0,1
0,1
44,3
2
Pertambangan Migas
8,5
15,4
(53,8)
24,4
23,4
186,9
3
Pertambangan Bukan Migas
0,6
1,1
22,8
0,6
0,6
2,5 569,1
4
Penggalian
0,0
0,1
(63,5)
0,2
0,2
5
Industri Pengolahan
25,1
45,5
(31,3)
43,9
42,1
74,5
6
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,3
0,5
52,6
0,2
0,2
(26,7)
1,7
38,1
7
Konstruksi
8
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1,3
2,3
(0,8)
1,8
17,2
31,1
(18,6)
29,4
28,2
9
71,1
Pengangkutan dan Komunikasi
1,3
2,4
(46,0)
2,7
2,6
108,5
10
Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
0,7
1,3
12,0
0,6
0,6
(16,3)
11 12
Jasa Lainnya Kegiatan yang belum jelas batasannya
0,1 0,0
0,2 0,0
(34,0) (37,1)
0,2 0,2
0,2 0,2
85,0 751,5
100,0
(32,2)
104,3
100,0
88,7
TOTAL
55,3
Sumber: Departemen Keuangan
meningkatnya NJOP atas tanah dan bangunan serta meningkatnya kegiatan usaha hulu migas. Secara lebih rinci, penerimaan PBB tahun 2010 terdiri dari PBB pedesaan Rp1,0 triliun, PBB perkotaan Rp7,4 triliun, PBB perkebunan Rp0,8 triliun, PBB kehutanan Rp0,3 triliun, PBB pertambangan migas Rp16,7 triliun, dan PBB pertambangan umum Rp0,3 triliun. Sementara itu, penerimaan BPHTB tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp7,4 triliun. Jumlah tersebut meningkat Rp0,4 triliun atau 5,4 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp7,0 triliun.
Cukai Dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, kebijakan harga jual eceran, dan peningkatan tarif cukai sebesar 5,0 - 10,0 persen, maka penerimaan cukai dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp57,0 triliun. Jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp54,5 triliun, maka target tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun atau meningkat 4,5 persen.
Pajak Lainnya Penerimaan pajak lainnya dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp3,8 triliun. Apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang mencapai Rp3,3 triliun, maka terjadi peningkatan sebesar Rp0,6 triliun atau meningkat 17,4 persen. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan materai.
Bea Masuk Penerimaan bea masuk tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp19,5 triliun. Target tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, nilai tukar
III-56
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
rupiah, tarif efektif rata-rata, nilai devisa bayar, dan bertambahnya komitmen kerjasama perdagangan internasional melalui skim Free Trade Area (FTA). Apabila dibandingkan dengan bea masuk dalam RAPBN-P tahun 2009 yang mencapai Rp18,6 triliun, maka perkiraan penerimaan bea masuk tahun 2010 meningkat sebesar Rp0,9 triliun atau 4,7 persen. Target bea masuk sebesar Rp19,5 triliun tersebut sudah termasuk pemberian fasilitas pembayaran bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) sebesar Rp3,0 trliun.
Bea Keluar Penerimaan bea keluar dalam tahun 2010 akan sangat dipengaruhi oleh hasil perdagangan Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah atas tataniaga CPO baik berupa tarif, harga patokan ekspor (HPE), asumsi nilai tukar rupiah maupun volume ekspor CPO dan produk turunannya akan sangat memengaruhi target penerimaan bea keluar. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka penerimaan bea keluar dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp7,6 triliun. Target tersebut meningkat Rp6,2 triliun atau 445,4 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 yang hanya mencapai Rp1,4 triliun.
3.4.1.2 Penerimaan Negara Bukan Pajak Dalam tahun 2010, PNBP diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih optimal sebagai sumber penerimaan dalam negeri. Dalam RAPBN 2010, peranan penerimaan SDA masih mendominasi, terutama dari penerimaan migas. Berdasarkan asumsi makro yang ditetapkan, terutama indikator ICP, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dan produksi/lifting minyak bumi, maka PNBP 2010 ditargetkan sebesar Rp180,9 triliun. Target PNBP tersebut mengalami penurunan sebesar Rp38,6 triliun atau 17,6 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009, yang disebabkan oleh penurunan penerimaan SDA migas terkait dengan penguatan asumsi nilai tukar rupiah dalam tahun 2010. Kebijakan dan langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah dalam mencapai target PNBP tahun 2010 adalah (1) mengoptimalkan penerimaan dari sektor migas melalui peningkatan produksi/lifting minyak mentah dan efisiensi dalam cost recovery; (2) meningkatkan produksi komoditas tambang dan mineral serta perbaikan peraturan di sektor pertambangan; (3) menggali potensi penerimaan di sektor kehutanan dengan tetap mempertimbangkan program kelestarian lingkungan hidup; (4) mengoptimalkan dividen BUMN dengan tetap mempertimbangkan peningkatan efisiensi dan kinerja BUMN melalui optimalisasi investasi (Capital Expenditure); dan (5) meningkatkan kinerja pelayanan dan administrasi pada PNBP K/L. PNBP tahun 2009 - 2010 dapat dilihat dalam Tabel III.25.
Penerimaan Sumber Daya Alam Dalam tahun 2010, penerimaan SDA ditargetkan mencapai Rp111,5 triliun, menurun sebesar Rp28,5 triliun atau 20,4 persen dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Sebagai sumber utama PNBP, penerimaan SDA ditargetkan memberikan kontribusi terhadap PNBP sebesar 61,6 persen. Sebagian besar penerimaan SDA tersebut bersumber dari penerimaan SDA migas sebesar 90,8 persen dan sisanya sebesar 9,2 persen dari penerimaan SDA nonmigas. Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-57
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
TABEL III. 25 PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) 2009 Uraian
I. Penerimaan SDA
Dok. Stimulus
RAPBN-P
% Thd Dok. Stimulus
2010 RAPBN
103,7
140,0
135,0
111,5
92,0
129,1
140,3
101,3
11,7
10,9
93,3
10,2
a. Penerimaan SDA Migas b. Penerimaan SDA Nonmigas II. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
26,1
29,2
111,7
23,0
III. Lainnya
50,6
44,4
87,7
36,7
5,4
5,9
108,2
9,7
185,9
219,5
118,1
180,9
IV. Pendapatan BLU Jumlah Sumber: Departemen Keuangan
Penerimaan SDA Migas GRAFIK III. 39 PENERIMAAN SDA MIGAS, 2009 - 2010 140,0
Gas bumi
120,0 36,7
Minyak bumi
100,0
Rp triliun
Dalam tahun 2010, penerimaan SDA migas ditargetkan sebesar Rp101,3 triliun, menurun sebesar Rp27,8 triliun atau 21,6 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Sumber penerimaan SDA migas terdiri atas penerimaan minyak bumi sebesar Rp75,7 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp25,6 triliun. Grafik III. 39 menunjukkan perbandingan penerimaan SDA migas tahun 2009 dan 2010.
25,6
80,0 60,0 40,0
92,4 75,7
Penurunan penerimaan SDA migas tersebut 20,0 terutama dipengaruhi oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat 2009 2010 RAPBN-P RAPBN pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan Sumber: Departemen Keuangan tahun 2009. Sedangkan untuk ICP dan produksi/lifting minyak mentah relatif masih sama dengan tahun 2009. Dalam tahun 2010, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang digunakan untuk perhitungan adalah sebesar Rp10.000,0 per dolar Amerika Serikat, sementara untuk tahun 2009 sebesar Rp10.600,0 per dolar Amerika Serikat. Dari sisi produksi/lifting minyak mentah, Pemerintah menargetkan tingkat produksi/ lifting rata-rata harian sebesar 965 ribu bph dengan ICP diasumsikan sebesar US$60 per barel.
Penerimaan SDA Nonmigas Dalam tahun 2010, penerimaan SDA nonmigas yang terdiri dari penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi ditargetkan mencapai Rp10,2 triliun, menurun sebesar Rp0,7 triliun atau 6,5
III-58
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
GRAFIK III. 40 PENERIMAAN SDA NONMIGAS, 2009 - 2010 14,0
12,0
Pertambangan Panas Bumi
Perikanan
Kehutanan
Pertambangan Umum
persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Grafik III.40 memperlihatkan penerimaan pertambangan umum masih mendominasi penerimaan SDA nonmigas dengan kontribusinya sebesar 69,8 persen.
0,3 10,0
0,2
0,2
Penerimaan pertambangan umum dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp7,1 8,0 triliun yang bersumber dari penerimaan 6,0 iuran tetap sebesar Rp0,1 triliun dan penerimaan royalti sebesar Rp7,0 triliun. 8,7 4,0 Penerimaan tersebut diperkirakan 7,1 menurun sebesar Rp1,6 triliun atau 18,4 2,0 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. 2009 2010 Kondisi ini disebabkan lebih rendahnya RAPBN-P RAPBN Sumber: Departemen Keuangan penerimaan pendapatan royalti terkait dengan masih relatif rendahnya harga beberapa komoditi pertambangan dan mineral karena belum pulihnya permintaan. 1,7
0,1
Rp triliun
2,7
Penerimaan kehutanan dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp2,7 triliun, meningkat sebesar Rp1,0 triliun atau 59,3 persen dibandingkan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Penerimaan kehutanan ini bersumber dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) sebesar Rp0,01 triliun, provisi sumber daya hutan (PSDH) sebesar Rp1,2 triliun, dana reboisasi sebesar Rp1,3 triliun, dan dana penggunaan kawasan hutan sebesar Rp0,1 triliun. Lebih tingginya penerimaan kehutanan dalam tahun 2010 terutama didorong oleh peningkatan penerimaan PSDH karena meningkatnya hasil hutan. Namun, di sisi lain penerimaan IHPH mengalami penurunan karena Pemerintah menerapkan kebijakan untuk tidak lagi memberikan ijin baru atas hak pengusahaan hutan kecuali melanjutkan ijin yang telah ada dan atau yang tidak terurus oleh pengusaha. Penerimaan perikanan dalam tahun 2010 ditargetkan mencapai Rp0,1 triliun, menurun sebesar Rp0,1 triliun atau 32,0 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Penerimaan perikanan bersumber dari pungutan pengusahaan perikanan (PPP) termasuk di dalamnya pungutan perikanan asing (PPA) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Penerimaan perikanan ini relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan sumber penerimaan lainnya dalam SDA nonmigas namun diharapkan peranan sektor perikanan dalam perekonomian nasional terus meningkat. Beberapa faktor yang memengaruhi peranan sektor perikanan yaitu (1) peningkatan kegiatan ekonomi di sentra-sentra kegiatan nelayan di pelabuhan perikanan dan pasar ikan, (2) peningkatan kegiatan perikanan di sentra-sentra budidaya, dan (3) peningkatan kegiatan pengolahan ikan serta (4) penerimaan daerah melalui retribusi bidang kelautan dan perikanan. Sementara itu, penerimaan pertambangan panas bumi merupakan sumber penerimaan yang baru mulai tercatat pada paruh kedua tahun 2008. Dalam tahun 2010, penerimaan pertambangan panas bumi ditargetkan mencapai Rp0,2 triliun, menurun sebesar Rp0,1 triliun atau 31,2 persen dibandingkan perkiraan realisasinya pada tahun 2009. Penerimaan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-59
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian pemerintah sebesar 34 persen terhadap penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/NOI) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajak dan pungutan lain. Penerimaan panas bumi diharapkan dapat meningkat seiring dengan upaya pemerintah dalam diversifikasi energi dan pengurangan emisi karbon (CO2).
Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN 2010 Target dividen BUMN tahun 2010 sangat bergantung pada kondisi perekonomian. Dinamika variabel dan asumsi makro yang digunakan pada tahun 2009 akan sangat berpengaruh terhadap rencana dividen BUMN di tahun 2010. Variabel dan asumsi makro yang memiliki pengaruh kuat terhadap penentuan target dividen BUMN 2010 tersebut antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, ICP, nilai tukar, suku bunga, pertumbuhan kredit perbankan, dan harga komoditi. Tekanan krisis ekonomi global masih menjadi masalah utama bagi upaya optimalisasi kinerja BUMN di tahun 2009. Konsensus umum dalam berbagai diskusi dan analisis mengenai prospek perekonomian global masih memperkirakan potensi terjadinya laju pertumbuhan negatif di berbagai negara pada tahun 2009. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan krisis ekonomi global akan mencapai puncaknya pada tahun 2009. IMF telah berkali-kali merevisi publikasi World Economic Outlook (WEO) menuju titik yang paling pesimistis. Dalam WEO edisi Januari 2009, IMF memperkirakan laju PDB dunia tahun 2009 masih mencapai 0,5 persen. Namun, terus dikoreksi ke bawah hingga terakhir dalam WEO edisi bulan Juli 2009 IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 mengalami kontraksi atau minus 1,4 persen. Dari sisi permintaan, komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi antara lain adalah besaran konsumsi masyarakat dan investasi. Konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh besaran belanja operasional (opex) yang dikeluarkan oleh BUMN menjadi pendapatan masyarakat. Sedangkan komponen investasi terdiri dari investasi sektor swasta dan investasi BUMN dalam bentuk belanja modal (capex). Jumlah capex yang diinvestasikan BUMN akan memiliki pengaruh positif dalam menggerakkan sektor riil. Dalam RKAP tahun 2009 alokasi opex BUMN ditargetkan sebesar Rp836,3 triliun, 13,1 persen lebih rendah daripada realisasi opex tahun 2008 sebesar Rp962,8 triliun. Lebih rendahnya target opex BUMN tersebut disebabkan oleh berkurangnya operational cost BUMN akibat tren penurunan harga minyak dunia. Meskipun demikian, di tahun 2009 BUMN akan tetap melakukan ekspansi usaha sebagaimana diindikasikan dengan alokasi capex yang mencapai Rp152,1 triliun, naik sebesar 18,5 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp128,3 triliun. Dengan adanya peningkatan alokasi capex tersebut, diharapkan BUMN dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian dalam negeri dengan mendorong pertumbuhan di sektor riil. Peningkatan capex diharapkan dapat menciptakan multiplier effect dengan menyerap tenaga kerja dan mengurangi tingkat pengangguran. Namun demikian, peningkatan capex memiliki konsekuensi terhadap berkurangnya setoran dividen karena adanya penurunan laba BUMN dan penyesuaian pay-out ratio. Berkurangnya permintaan dunia terhadap minyak mentah telah membuat ICP terus mengalami penurunan sejak kuartal IV tahun 2008. Rata-rata ICP periode Januari-
III-60
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
Mei 2009 sebesar US$48,1 per barel, berada di level yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata ICP periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$104,8 per barel. Penurunan ICP yang sangat signifikan tersebut menyebabkan target laba PT Pertamina tahun 2009 terkoreksi turun sebesar 53,6 persen menjadi Rp14,0 triliun. Hal yang sama juga terjadi di sektor perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan turun sebesar 7,7 persen selama kurun waktu Januari-April 2009, sedangkan tingkat NPL naik dari 4,2 persen menjadi 4,6 persen. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah target laba BUMN sektor perbankan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar Rp3,2 triliun (23,5 persen) dari perolehan laba tahun 2008 menjadi sebesar Rp13,3 triliun. Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia telah melakukan kebijakan dengan menurunkan BI rate dari 8,75 persen menjadi 7,0 persen pada bulan Juni 2009, yang diharapkan akan berdampak terhadap penurunan suku bunga kredit yang disalurkan oleh BUMN perbankan. Penurunan tersebut diharapkan dapat meningkatkan volume kredit sehingga tekanan terhadap BUMN sektor perbankan dapat dikurangi. Berbeda dengan asumsi dan variabel makro tersebut di atas, nilai tukar dan harga komoditi mulai menunjukkan tren yang positif. Nilai tukar rupiah terus menguat selama periode MaretJuni 2009, dari level Rp12.000 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp10.237 per dolar Amerika Serikat. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut akan meminimalisasi kerugian kurs terhadap permintaan valas dalam negeri yang mayoritas dilakukan oleh BUMN. Harga komoditi tambang dan perkebunan juga terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu JanuariJuni 2009 harga komoditi alumunium mengalami kenaikan sebesar 12,8 persen, emas sebesar 6,3 persen, dan tembaga sebesar 75,3 persen. Untuk sektor perkebunan, harga CPO meningkat sebesar 26,1 persen, dan harga karet naik sebesar 33,1 persen. Dengan meningkatnya harga komoditi-komoditi tersebut, diharapkan target laba BUMN sektor pertambangan dan perkebunan akan meningkat sekitar 20,0 persen. GRAFIK III. 41 TARGET LABA BERSIH BEBERAPA BUMN TAHUN 2009 16,0 14,0 (Rp triliun)
Berdasarkan beberapa indikator di atas, total perolehan laba bersih BUMN tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp65,3 triliun, lebih rendah 26,2 persen dibandingkan dengan laba bersih BUMN tahun 2008 sebesar Rp82,4 triliun. Target perolehan laba bersih beberapa BUMN tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik III. 41.
14,0 11,5
12,0 10,0 8,0
5,9
5,2 6,0 Dengan mempertimbangkan perkiraan 4,0 2,6 2,5 perolehan laba bersih BUMN dan besaran 2,2 2,1 2,0 pay-out ratio dalam tahun 2009, maka 0,0 dividen BUMN dalam tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp23,0 triliun atau 12,8 Sumbe r: De partemen Ke uangan persen terhadap total PNBP. Target tersebut lebih rendah sebesar Rp6,2 triliun atau 21,3 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan dividen BUMN tahun 2009. Lebih rendahnya target penerimaan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan perkiraan laba bersih BUMN terutama dari BUMN besar seperti PT Pertamina dan BUMN sektor perbankan. Perkiraan dividen BUMN tahun 2010 tersebut berasal dari PT Pertamina sebesar Rp10,0 triliun (43,5 persen), BUMN sektor perbankan Rp4,0 triliun (17,4 persen), dan sisanya sebesar 39,1 persen PT Pertamina
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
PT Telkom
PT BRI
PT Bank Mandiri
PT PGN
PT Semen Gresik PT Bukit Asam
PT Pupuk Sriwidjaya
III-61
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
berasal dari BUMN sektor lainnya. Grafik III.42 memperlihatkan target dividen beberapa BUMN tahun 2010.
GRAFIK III. 42 TARGET DIVIDEN BEBERAPA BUMN TAHUN 2010 12
Guna menjaga kinerja BUMN sekaligus optimalisasi penerimaan dari 8 dividen BUMN di tahun 2010, Pemerintah akan mengambil beberapa 6 kebijakan antara lain (a) penetapan 4 3,2 pay-out ratio 0-25 persen untuk BUMN 1,7 1,7 2 sektor asuransi, khusus PT Jamsostek, 0,7 0,7 0,6 0,5 PT Taspen, PT Askes, dan PT Asabri 0 diterapkan kebijakan pay-out ratio 0 persen, terkait dengan UU No 40 Th Sumber: Departemen Keuangan 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimana BUMN asuransi menjadi organisasi nirlaba; (b) penetapan pay-out ratio nol persen untuk BUMN kehutanan, terkait dengan upaya pelestarian hutan di Indonesia; (c) penetapan pay-out ratio 0 persen untuk BUMN laba dengan akumulasi rugi; (d) penetapan pay-out ratio 0-60 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi; (e) penetapan pay-out ratio 10-25 persen untuk BUMN yang menjalankan proyek pemerintah di bidang infrastruktur, seperti PT Angkasa Pura (I dan II), PT Pelindo (I dan IV), dan PT Bio Farma; (f) penetapan dividen spesial untuk BUMN dengan laba windfall; (g) tidak menarik dividen bagi BUMN laba namun mengalami kesulitan cash flow; (h) peningkatan kinerja BUMN melalui optimalisasi investasi (capex), untuk konsolidasi modal kerja; dan (i) melakukan program restrukturisasi dan rightsizing BUMN, sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2008. 10,0
(Rp triliun)
10
PT Pertamina
PT Telkom
PT Bank Mandiri
PT BRI
PT PGN
PT Bukit Asam
PT Semen Gresik
PT BNI
PNBP Lainnya Dalam tahun 2010, target PNBP lainnya diperkirakan mencapai Rp36,7 triliun, mengalami penurunan sebesar Rp7,7 triliun atau 17,3 persen jika dibandingkan dengan perkiraan realisasi PNBP lainnya tahun 2009 sebesar Rp44,4 triliun. Target PNBP lainnya tahun 2009—2010 dapat dilihat dalam Grafik III.43. GRAFIK III. 43 PNBP LAINNYA 2009 - 2010 50 45 40 (Rp triliun )
Target PNBP lainnya tersebut bersumber dari PNBP K/L dan PNBP non-K/L. PNBP K/L memberikan kontribusi yang sangat signifikan baik dari segi penerimaan maupun kebijakan. Secara lebih rinci target PNBP lainnya dapat dilihat pada Tabel III.26.
44,4 36,7
35 30 25
Dalam rangka pencapaian target PNBP tahun 15 2010, khususnya yang berasal dari beberapa 10 5 K/L penyumbang terbesar PNBP Lainnya, 0 berbagai upaya akan dilakukan oleh masingRAPBN 2010 RAPBN-P 2009 Sumber: Departemen Keuangan masing K/L berupa kebijakan optimalisasi dan efektifitas pungutan PNBP. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pencapaian target PNBP dari beberapa K/L penyumbang terbesar PNBP lainnya berikut kebijakan yang akan dilakukan.
III-62
20
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
TABEL III. 26 TARGET PNBP LAINNYA, 2009 - 2010 (triliun Rupiah) No
RAPBN-P 2009
Uraian
RAPBN 2010
1
Departemen Komunikasi dan Informatika *
7,0
7,4
2
Departemen Pendidikan Nasional
5,4
4,0
3
Kepolisian Negara Republik Indonesia
1,8
1,8
4
Departemen Hukum dan HAM
1,4
1,2
5
Badan Pertanahan Nasional
1,4
1,1
6
Penerimaan lain seperti : - Rekening Dana Investasi (RDI)
1,5
1,7
- Domestic Market Obligation (DMO) Migas
6,9
6,3
- Penjualan hasil tambang
6,5
5,0
12,5
8,2
44,4
36,7
- Penerimaan lainnya Total * Termasuk Pendapatan BLU Sumber: Departemen Keuangan
PNBP Departemen Komunikasi dan Informatika GRAFIK III. 44 PERKEMBANGAN PNBP DEPKOMINFO, 2009 - 2010 8 7
(Rp triliun )
Berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 2009, jenis PNBP pada Depkominfo bersumber dari (1) penyelenggaraan pos dan telekomunikasi; (2) penyelenggaraan penyiaran; (3) jasa sewa sarana dan prasarana; serta (4) jasa pendidikan dan pelatihan. Dalam tahun 2010, PNBP lainnya Depkominfo ditargetkan sebesar Rp7,4 triliun lebih tinggi Rp0,4 triliun atau 5,7 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2009 sebesar Rp7,0 triliun. (lihat Grafik III.44).
7,0
7,4
6 5 4 3 2 1 0 RAPBN-P 2009
RAPBN 2010
Sumber : Departemen Kominfo
Dalam rangka mencapai target PNBP tersebut, pokok-pokok kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Depkominfo pada tahun 2010 adalah (a) pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Depkominfo dengan tegas. PP tersebut merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 28 Tahun 2005; (b) pembenahan database baik pengguna frekuensi maupun penyelenggara telekomunikasi; (c) pelaksanaan sosialisasi secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi berkenaan dengan kewajiban pembayaran PNBP; dan (d) pembaharuan dan penambahan tools secara bertahap antara lain pada sistem monitoring frekuensi, otomatisasi sistem manajemen/perizinan frekuensi dan alat pengujian. Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-63
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
PNBP Departemen Pendidikan Nasional Sumber utama PNBP lainnya pada Depdiknas adalah penerimaan dari sektor pendidikan tinggi yang berasal dari pendapatan pendidikan. Pendapatan pendidikan tersebut terdiri atas (1) pendapatan uang pendidikan; (2) pendapatan uang ujian masuk; (3) pendapatan ujian praktik; dan (4) pendapatan pendidikan lainnya. PNBP Depdiknas tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp4,0 triliun. Penerimaan tersebut turun sebesar Rp1,4 triliun atau 25,9 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan pendapatan pendidikan dalam tahun 2009 sebesar Rp5,4 triliun terutama karena sebagian PNBP Depdiknas beralih menjadi Pendapatan BLU (lihat Grafik III.45).
GRAFIK III. 45 TARGET PNBP DEPDIKNAS 2009 - 2010 6,0
5,4
(Rp triliun )
5,0
4,0
4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
Secara garis besar pencapaian target PNBP Depdiknas didukung oleh Sumber : Departemen Pendidikan Nasional kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Depdiknas pada tahun 2010 yaitu (a) meningkatkan kapasitas dan daya tampung perguruan tinggi; (b) meningkatkan pelaksanaan berbagai program kegiatan kerjasama, baik antarinstansi maupun lembaga nonpemerintah, serta dunia industri; dan (c) menghasilkan penelitian inovatif yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, humaniora dan seni dalam skala nasional maupun internasional. RAPBN-P 2009
RAPBN 2010
PNBP Kepolisian Negara Republik Indonesia GRAFIK III. 46 TARGET PNBP POLRI 2009 - 2010
(Rp triliun )
Target PNBP Polri untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1,83 triliun, lebih tinggi Rp0,03 triliun atau 1,8 persen terhadap perkiraan realisasi penerimaan dalam tahun 2009 sebesar Rp1,80 triliun (lihat Grafik III.46).
2,00 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
1,80
1,83
Secara garis besar, pencapaian target PNBP ` Polri didukung oleh kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Polri pada tahun 2010 yaitu (a) menambah satuan administrasi RAPBN-P 2009 RAPBN 2010 penyelenggaraan SIM (Satpas) dan sistem administrasi manunggal di bawah satu atap Sumbe r : Ke polisian Ne gara Re publik Indone sia (Samsat) keliling untuk daerah yang letaknya jauh dari satpas dan samsat; serta (b) membangun jaringan satpas yang online dalam penyelenggaraan SIM di seluruh Polda.
PNBP Badan Pertanahan Nasional Komponen PNBP pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdiri atas (1) PNBP umum; (2) PNBP fungsional; dan (3) PNBP pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi PNBP
III-64
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
Pendapatan Negara dan Hibah
Bab III
pada BPN antara lain (1) potensi ekonomi masyarakat; (2) kesadaran masyarakat akan kebutuhan kepastian hukum (hak atas tanah) dan manfaat peningkatan ekonomi masyarakat; serta (3) rasio pajak yang dikenakan terhadap masyarakat terkait dengan pelayanan penerbitan sertifikat hak atas tanah.
1,6 1,4
GRAFIK III. 47 TARGET PNBP BPN 2009 - 2010 1,4
(Rp triliun )
1,2
1,1
1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
RAPBN-P 2009 Sumber : Badan Pertanahan Nasional
RAPBN 2010
Dalam tahun 2010, PNBP BPN ditargetkan mencapai Rp1,1 triliun, turun Rp0,3 triliun atau 21,0 persen jika dibandingkan dengan perkiraan penerimaan dalam tahun 2009 sebesar Rp1,4 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya pengurusan sertifikasi pada BPN seiring dengan selesainya Program Nasional Sertifikasi Tanah. Grafik III.47 memperlihatkan target PNBP BPN 20092010.
Pencapaian target PNBP BPN didukung oleh kebijakan yang akan dilaksanakan oleh BPN pada tahun 2010 yaitu (a) meningkatkan sosialisasi kemudahan pelayanan pertanahan kepada masyarakat; dan (b) mendekatkan kantor pertanahan kepada masyarakat secara lebih adil dan merata di seluruh wilayah kabupaten/kota melalui “kantor pertanahan bergerak” yaitu Larasita.
PNBP Departemen Hukum dan HAM Dalam tahun 2010 PNBP Depkumham ditargetkan mencapai Rp1,2 triliun. Jumlah ini turun sebesar Rp0,2 triliun atau 14,3 persen apabila dibandingkan dengan perkiraan PNBP dalam RAPBN-P 2009 sebesar Rp1,4 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya volume kunjungan izin tinggal orang asing (lihat Grafik III.48).
(Rp triliun )
Pencapaian jumlah PNBP Depkumham GRAFIK III. 48 tersebut antara lain dipengaruhi oleh TARGET PNBP DEPKUMHAM 2009 - 2010 (1) peningkatan proses pelayanan 1,6 1,4 pendaftaran hak kekayaan intelektual yang 1,2 lebih mudah dan cepat yang didukung 1,2 teknologi informasi; (2) peningkatan permintaan paten khususnya pada biaya 0,8 ` pemeliharaan paten tahunan; 0,4 (3) peningkatan jumlah pemohon yang membayar ke kas negara berkaitan dengan 0,0 pungutan pelayanan jasa hukum Ditjen RAPBN-P 2009 RAPBN 2010 Administrasi Hukum Umum; serta Sumber : Departemen Hukum dan HAM (4) peningkatan volume kunjungan turis. Kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2010 antara lain dengan mengoptimalkan pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Depkumham.
Nota Keuangan dan RAPBN 2010
III-65
Bab III
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan BLU Dalam tahun 2010, pendapatan badan layanan umum (BLU) ditargetkan mencapai Rp9,7 triliun. Penerimaan ini meningkat sebesar Rp3,8 triliun atau 64,8 persen dari perkiraan pendapatan BLU dalam tahun 2009 sebesar Rp5,9 triliun (lihat Grafik III.49). GRAFIK III. 49 TARGET PENDAPATAN BLU 2009 - 2010 12 9,7
(Rp triliun )
10 8 6
5,9
4 2 0
RAPBN-P 2009 Sumber: Deaprtemen Keuangan
RAPBN 2010
Target pendapatan BLU tersebut sebagian besar bersumber dari penerimaan jasa pelayanan rumah sakit (RS) yang diperkirakan mencapai Rp3,6 triliun, perguruan tinggi yang dikelola Depdiknas sebesar Rp2,7 triliun, dan Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan (BTIP) yang dikelola oleh Depkominfo sebesar Rp1,3 triliun. Peningkatan target pendapatan BLU tahun 2010 terutama disebabkan oleh (1) terus bertambahnya jumlah satker yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU, terutama rumah sakit dan perguruan tinggi; dan (2) perbaikan dalam penyusunan laporan keuangan BLU melalui pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 Tentang Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
Secara garis besar pencapaian target Pendapatan BLU didukung oleh kebijakan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing BLU pada tahun 2010 yaitu (1) mendorong peningkatan pelayanan publik instansi pemerintah; (2) meningkatkan pengelolaan keuangan BLU yang efisien dan efektif; serta (3) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi pemerintah.
3.4.2 Penerimaan Hibah
III-66
GRAFIK III. 50 TARGET HIBAH 2009 - 2010 1,6
1,4
1,4 1,2
(Rp triliun )
Dalam tahun 2010, penerimaan hibah ditargetkan sebesar Rp1,4 triliun, meningkat sebesar Rp0,4 triliun dibandingkan dengan perkiraan realisasi penerimaan hibah tahun 2009 sebesar Rp1,0 triliun. Grafik III.50 memperlihatkan perkembangan target hibah 2009-2010. Faktor utama yang berpengaruh dalam peningkatan hibah tersebut terutama bersumber dari komitmen lembaga multilateral dan negara donor dalam membantu program pemerintah Indonesia terkait dengan isu perubahan iklim (climate change). Di samping itu, kebijakan pemerintah melalui perbaikan sistem administrasi dan penerapan sistem yang mewajibkan semua penerimaan hibah dicatat dalam APBN (on budget) juga efektif dalam mengoptimalkan penerimaan hibah dan meningkatkan akuntabilitas laporan penggunaan dana hibah.
1,0
1,0
0,8 0,6 0,4 0,2 2009 RAPBN-P
2010 RAPBN
Sumbe r: De partemen Ke uangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2010