BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA
III.1. Tujuan Penentuan Batas Wilayah negara baik itu darat maupun laut serta ruang diatasnya merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara. Tujuan kegiatan penentuan batas wilayah darat ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, langkah ini guna mengantisipasi terjadinya permasalahan batas, sehingga mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti, baik itu dari aspek yuridis maupun aspek teknis. Pekerjaan penentuan batas mencakup: 1. penetapan batas menurut aspek yuridis. 2. pengukuran koordinat batas di lapangan. 3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital.
III.2. Aspek Penentuan Batas. Batas wilayah yang dianggap paling mudah ditentukan secara alami adalah adanya air misalnya garis tengah sungai dan batas teritorial 12 mil laut dari pantai. Namun sungai atau pantai ini ternyata mengalami dinamika. Pantai atau tepi sungai bisa bergeser karena pasang surut, sedimentasi, erosi bahkan deformasi karena gempa. Selain air, yang juga sering dijadikan batas alam adalah patahan bukit, di mana air hujan akan mengalir ke dua arah yang berbeda. Definisi ini menguntungkan karena dengan demikian air tidak harus mengalir dari satu wilayah ke wilayah lain selain pada sungai.
Selain batas alam, batas buatan dibuat dengan suatu perjanjian. Batas ini bisa berupa jalan raya yang secara fisis kelihatan, atau bisa pula batas maya yang hanya didefinisikan secara verbal, misalnya dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah, perjanjian historis atau juga sertifikat tanah. Baik batas fisik maupun maya ternyata memiliki dinamika., jika tidak mencantumkan koordinat dan datum geodetiknya, masih akan memiliki potensi sengketa, terutama bila apa yang dideskripsikan secara verbal sudah sulit dijumpai di lapangan. Patok yang hilang tidak berkoordinat, maka sangat sulit
17
untuk direkonstruksi. Satu-satunya bentuk batas dengan perjanjian yang mudah direkonstruksi adalah batas dengan angka-angka lintang atau bujur ataupun elevasi tertentu dan datum yang diakui bersama.
III.3. Penentuan Batas Daerah Penentuan batas daerah meliputi dua bagian, yaitu di darat dan di laut.
III.3.1 Penentuan Batas Daerah Di Darat Kegiatan penentuan batas di darat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penetapan batas dan tahap penegasan batas.
III.3.1.1. Tahap Penetapan Batas Daerah Di Darat Penetapan batas wilayah di darat adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik diatas suatu peta dasar yang disepakati. Proses penetapan ini terdiri atas tiga tahapan kegiatan, yaitu: 1. Penelitian dokumen batas Dokumen batas yang perlu diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah yang bersangkutan serta data dan dokumen lainnya yang dianggap perlu. Selain itu perlu dipersiapkan juga antara lain: a. peta rupabumi (topografi) kawasan perbatasan, b. peta perbatasan wilayah yang telah ada, c. peta batas wilayah di darat yang ada, d. dokumen sejarah, 2. Penentuan peta dasar Peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas wilayah di darat secara kartometrik adalah peta rupabumi atau peta topografi dengan spesifikasi: a. Ketentuan skala 1:500.000 (untuk propinsi), 1:100.000 (untuk kabupaten) dan 1:50.000 (untuk kota), b. Datum yang digunakan adalah DGN 95 (WGS 1984), c. Sistem proyeksi peta yang digunakan adalah TM (Traverse Mercator),
18
d. Sistem grid yang digunakan adalah UTM (Universal Traverse Mercator), dengan grid geografis dan metrik,
3. Pembuatan peta batas wilayah kartometrik Peta batas wilayah kartometrik dibuat sesuai spesifikasi teknis yang ditentukan. Peta batas wilayah ini kemudian akan digunakan dalam tahap penegasan batas wilayah darat.
III.3.1.2. Tahap Penegasan Batas Daerah Di Darat Tahapan kegiatan penetapan dan penegasan batas wilayah di darat meliputi : 1. Tahap penelitian dokumen batas Pada tahap ini dilakukan inventarisasi dasar hukum tertulis maupun dasar hukum lainnya yang berkaitan dengan batas wilayah. Dasar hukum penegasan batas wilayah di darat antara lain adalah : staatsblad, nota residen, undang-undang pembentukan daerah, atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, peta minuteplan, peta topografi, peta rupabumi, atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan dan kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan penentuan batas wilayah. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka kedua tim bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas wilayah. Tetapi sebelum membuat kesepakatan kedua tim harus melakukan penelitian/pengkajian terhadap dokumen/data batas wilayah tersebut untuk: a. Menentukan dokumen/data yang akan dijadikan dasar dalam melakukan pelacakan di lapangan, b. Menentukan titik-titik batas yang disepakati, c. Pembuatan peta kerja pelacakan dan penegasan batas wilayah, d. Menentukan metode pelacakan, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas dan pembuatan peta batas wilayah.
19
2. Tahap pelacakan batas Kegiatan penentuan garis batas sementara adalah untuk menentukan garis batas sementara diatas peta yang sudah disepakati sebagai dasar hukum batas wilayah. Pelacakan di lapangan adalah kegiatan untuk menentukan letak batas wilayah secara nyata di lokasi sepanjang batas wilayah berdasarkan garis batas sementara pada peta atau berdasarkan kesepatakan sebelumnya. Kegiatan ini merupakan tahap untuk mendapatkan kesepakatan letak garis batas di lapangan, dengan atau tanpa sumber hukum tertulis mengenai batas tersebut. Kegiatannya dimulai dari titik awal yang diketahui kemudian menyusuri garis batas sampai dengan titik akhir sesuai dengan peta kerja. Berdasarkan kesepakatan, pada titik-titik tertentu atau pada jarak tertentu di lapangan dapat dipasang tanda atau patok kayu sementara sebagai tanda posisi untuk memudahkan pemasangan pilar-pilar batas. Penentuan garis batas sementara didasarkan pada : a. Tanda/simbol batas-batas yang tertera di peta, baik batas administratif maupun batas kenampakan detail lain di peta, b. Koordinat titik batas yang tercantum dalam dokumen-dokumen batas daerah, c. Nama geografis dari obyek-obyek geografis sepanjang garis batas, baik itu obyek alam, obyek buatan manusia, maupun obyek administratif, d. Jika tidak ada tanda-tanda batas yang tertera sebelumnya, maka penentuan garis sementara diatas peta ini dilakukan melalui kesepakatan bersama,
3. Tahap pemasangan pilar batas wilayah Pembuatan dan pemasangan pilar batas wilayah ditujukan untuk memperoleh kejelasan dan ketegasan batas antar wilayah di darat sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Jenis-jenis pilar batas adalah: a. Pilar Batas Utama (PBU) yaitu pilar batas yang dipasang di titik-titik tertentu terutama di titik awal, titik akhir garis batas, dan atau pada jarak tertentu di sepanjang garis batas wilayah. b. Pilar Batas Antara (PBA) adalah pilar batas yang dipasang diantara pilar-pilar batas utama dengan tujuan untuk menambah kejelasan garis batas antara dua
20
wilayah, atau pada titik-titik tertentu yang dipertimbangkan perlu untuk dipasang pilar batas utama. c. Pilar Acuan Batas (PAB) adalah pilar yang dipasang di sekitar batas wilayah dengan tujuan sebagai petunjuk keberadaan batas wilayah. Pilar acuan dipasang sehubungan pada batas yang dimaksud tidak dapat dipasang pilar batas utama karena kondisinya yang tidak memungkinkan (seperti pada kasus sungai atau jalan raya sebagai batas) atau keadaan tanah yang labil. Letak PBA dan PBU dapat dilihat pada gambar III.1
Gambar III.1 Contoh kedudukan PBU dan PBA (buku pedoman penetapan dan penegasan batas daerah)
Pemasangan pilar batas harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Pada kondisi tanah yang stabil, terhindar dari erosi dan abrasi. b. Mudah ditemukan dan mudah dijangkau. c. Aman dari gangguan aktivitas manusia maupun binatang. d. Punya ruang pandang ke langit yang relatif luas (untuk pilar batas yang akan diukur dengan metode GPS). 4. Tahap penentuan posisi pilar batas dan pengukuran garis batas Penentuan posisi pilar batas diukur sesegera mungkin setelah tahap pemasangan pilar batas selesai dlaksanakan. Standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah (berdasarkan pedoman penetapan dan penegasan batas daerah): •
Untuk PBU dan PABU (Pilar Acuan Batas Utama) = ± 15 cm
•
Untuk PBA dan PABA (Pilar Acuan Batas Antara) = ± 25 cm
21
Pengukuran garis batas hanya dilaksanakan kalau dianggap perlu, dan dilaksanakan terhadap segmen garis batas yang dianggap penting dan ditetapkan secara bersama oleh wilayah-wilayah yang berbatasan. Pengukuran garis batas dimaksudkan untuk menentukan koordinat horizontal dan vertikal titik-titik batas yang berbentuk patokpatok pada jarak tertentu sehingga dapat digambarkan bentuk garis batas sepanjang batas wilayah. 5. Tahap pembuatan peta batas wilayah Peta batas wilayah dapat dibuat berdasarkan penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada, pemetaan terestris, atau pemetaan fotogrametris. Selain berdasarkan batas wilayah, jenis peta batas dapat dibuat berdasarkan prosedur pembuatannya , yaitu : a. Peta hasil penetapan batas b. Peta batas hasil penetapan batas adalah peta yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dengan tidak melakukan pengukuran di lapangan. c. Peta hasil penegasan batas d. Peta batas hasil pengukuran adalah peta yang dibuat dengan peta dasar yang ada ditambah dengan data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. e. Peta hasil verifikasi f. Peta batas hasil verifikasi adalah peta batas yang telah dibuat oleh daerah dan hasilnya dilakukan verifikasi oleh tim PPBD pusat sebelum ditandatangani oleh menteri dalam negeri. Proses pembuatan peta batas wilayah dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada dan pemetaan terestris.
III.3.2. Penentuan Batas Daerah Di laut Undang-undang no.22 tahunm 1999 tentang pemerintah daerah, pasal 3 dan pasal 10, ayat 3 harus diartikan bahwa kewenangan provinsi di wilayah laut adalah selebar 12 millaut diukur dari garis pantai ke arah laut terbuka (kearah laut teritorial) dan kearah laut kepulauan (perairan nusantara). Tentu banyak yang bertanya garis pantai mana yang dimaksud, karena garis pantai itu bervariasi mengikuti variasi antarapasang surut (pasut) tinggi dan pasut rendah, dan
22
berubah setiap hari. Dalam UNCLOS 1982 maupun dalam UU no.6 tahun 1996, dipakai garis air rendah atau surut, low water line, untuk menentukan lebar laut teritorial. Oleh karena itu dalam penentuan lebar laut kewenangan daerah juga dipakai garis air rendah yang ditentukan pada saat pengukuran dilapangan. (Jacub Rais, 2003). Kegiatan penentuan batas di laut seperti halnya batas di darat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penetapan batas dan tahap penegasan batas. Penetapan batas wilayah di laut adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik diatas suatu peta dasar yang disepakati. Dalam setiap tahap kegiatan penegasan batas daerah di lapangan harus melibatkan tim PPBD daerah yang saling berbatasan. Tim teknis melakukan survey di lapangan menggunakan acuan peta batas kartometrik yang dimiliki, langkah pelacakan dimulai dilapangan. Pelacakan batas dimaksud pada tahap ini adalah kegiatan secara fisik di lapangan untuk meyakinkan apabila titik acuan yang ada pada peta kartometrik dapat dibuatkan titik referensinya. Sebagai hasil kegiatan pelacakan ini dapat ditandai dengan dipasangnya titik acuan atau pilar sementara ynag belum ditentukan titik koordinatnya. Idealnya setiap titik awal dilengkapi dengan satu titik acuan. Maka pembuatan pilar titik acuan diutamakan pada: a) daerah dengan pantai saling berhadapan dengan jarak kurang dari 2x12 mil laut b) pulau terluar dari satu daerah c) Daerah yang saling berbatasan dengan negara lain atau laut lepas d) Daerah yang pantainya sangat dinamis e) Daerah yang disekitar pantainya terdapat sumber daya alam yang potensial
III.4. Penentuan Batas Negara di Laut Dalam pembahasan penentuan batas negara, akan dititik beratkan pada penentuan batas negara di laut, karena daerah studi kasus penyusunan tugas akhir ini (Nanggro Aceh Darussalam) hanya memiliki batas dengan negara tetangga di laut saja.
III.4.1. Aspek Hukum Latar belakang dari penentuan batas negara di laut berawal dari klaim bangsa Indonesia dengan mengeluarkan Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) dan UU
23
No.6/1996 (Pengganti Perpu No.4/1960). Pada deklarasi ini Negara Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara kepulauan. Dengan kedua produk hukum ini, maka ordonasi laut teritorial yang sebelumnya berlaku di Indonesia, tidak berlaku. Dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939, laut teritorial membentang ke arah laut hanya sampai jarak tiga mil laut dari garis surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau dan daerah laut yang terletak pada sisi laut daerah laut dalam batas bandar yang ditetapkan. Sedangkan dalam Deklarasi Djuanda 1957, batas laut teritorial ditentukan sejauh 12 mil laut dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pulau-pulau dan dalam PP Pengganti UU/Perpu No. 4 Tahun 1960 perairan Indonesia terdiri dari laut teritorial (lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus terhadap garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau atau bagian pulau-pulau terluar) dan perairan pedalaman (semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar)
Dengan adanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut III (10 Desember 1982) yang berlaku efektif sejak 16 November 1994, dimana Konvensi internasional ini untuk mengatur masalah kelautan. Karena Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.17/1985, sehingga status Indonesia sebagai Negara Kepulauan diakui secara internasional, namun dengan begitu Indonesia harus melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengan wilayah kepulauan. Dan pada prakteknya UNCLOS 1982 dijadikan landasan hukum dalam melakukan kegiatan survei dan penetapan batas negara di wilayah perairan. Selain di atas landasan Hukum Laut Nasional lainya adalah: – UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia – UU No.1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia – UU No.5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia – UU No.17/1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 – Lampiran peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 38 Tahun 2002 tanggal 28 JUNI 2002 daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (yang digunakan dalam tugas akhir ini)
24
Dan landasan hukum internasionalnya adalah: Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 : •
Pasal 5 : Garis Pangkal Normal
•
Pasal 6 : Karang
•
Pasal 7 : Garis Pangkal Lurus
•
Pasal 9 : Mulut Sungai
•
Pasal 10 : Teluk
•
Pasal 13 : Elevasi Surut
•
Pasal 14 : Kombinasi Cara Penetapan Garis Pangkal
•
Pasal 47 : Garis Pangkal Kepulauan
Selain itu terdapat pula batas-batas yang didapat dari hasil perjanjian dengan negara tetangga, misalnya pada tugas akhir ini digunakan koordinat titik-titik batas dari perjanjian: •
Persetujuan antara Thailand–Indonesia–India mengenai titik Trijunction dan batas ke tiga negara di sekitar laut Andaman, tanggal 22 Juni tahun 1978.
•
Persetujuan antara pemerintah Kerajaan Thailand, Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai penentuan Titik Trijunction dan deliminasi batas yang berhubungan dari ketiga negara dilaut Andaman
III.4.2. Aspek Teknis Dalam penetapan batas suatu negara dengan negara lain di laut, aspek Geodesi adalah aspek yang menjadi pertimbangan utama. Aspek-aspek tersebut antara lain: titik pangkal, garis pangkal, garis air rendah, dan datum geodetik.
III.4.2.1. Titik Pangkal Titik pangkal merupakan titik-titik yang memiliki koordinat geografis yang dapat digunaklan untuk membentuk garis pangkal dalam penentuan batas suatu negara. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan bahwa garis pangkal harus ditunjukan pada peta, oleh karena itu titik pangkal yang membentuknya harus memiliki sistim koordinat yang sesuai sertatinkat ketelitian yang handal. Namun tingkat ketelitiannya tidak dicantumkan dalam 25
UNCLOS 1982, sehingga ketelitianya adalah ketelitian maksimal yang memungkinkan dicapai. III.4.2.2. Garis Pangkal Garis pangkal merupakan acuan awal untuk menentukan batas zona maritim suatu negara pantai. Pengertian garis pangkal itu sendiri menurut UNCLOS 1982, adalah kedudukan garis air rendah sepanjang pantai yang ditunjukan pada peta sekala besar resmi dari suatu negara pantai. Ada beberapa macam garis pangkal, antara lain: a) Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) b) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) c) Garis Penutup (Closing Line) d) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) Berikut ini akan diberikan penjelasan mengenai masing-masing garis pangkal tersebut. a) Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) Menurut UNCLOS 1982, garis pangkal normal didefinisikan sebagai garis air rendah sepanjang tepian daratan dan sekeliling pulau, atol dan batas instalasi pada pelabuhan permanen yang ditandai dengan simbol yang sesuai pada peta laut skala besar, ilustrasi garis pangkal normal dapat dilihat pada gambar III.2 Laut
Garis Air Rendah sepanjang Pantai = Garis Pangkal Normal
Pantai
Garis Pantai (Garis Air Tinggi)
Gambar III.2. Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) (Djunarsjah, 2000)
26
b) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) Menurut UNCLOS 1982, garis pangkal lurus didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik tertentu pada garis air rendah yang merupakan titik terluar. Penarikan terhadap garis pangkal lurus dapat ditentukan bila telah dilakukan survei terhadap kedinamikan pantai. Ilustrasi garis pangkal lurus dapat dilihat pada gambar III.3
Garis Air Rendah Terluar Garis Air Rendah
Garis Air Rendah
Garis Air Rendah Negara AA
Tidak Boleh Kepentingan Ekonomi
Elevasi Surut Garis Air Rendah
`
< 12 mil laut
Tidak Boleh Garis Air Rendah
Garis Air Rendah
Negara B
Gambar III.3. Garis Pangkal lurus (Straight Baseline) (Djunarsjah, 2000)
c) Garis Penutup (Closing Line) Secara umum merupakan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik pada muara sungai, teluk, instalasi pelabuhan dan lain-lain yang panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Terdapat 3 macam garis penutup, yaitu: garis penutup sungai, garis penutup teluk dan garis penutup pelabuhan. Ilustrasi garis penutup dapat dilihat pada gambar III.4
27
Laut Garis Lurus
Garis Penutup
Garis Air Rendah Garis Air Rendah
Laut Laut
Sungai Garis Penutup
Teluk
Pelabuhan
Garis Air Rendah
Gambar III.4 Garis Penutup (Closing Line) (Djunarsjah, 2000)
Garis penutup sungai dapat digunakan jika terdapat sungai yang mengalir langsung ke laut, maka garis pangkalnya yang ditarik adalah suatugaris lurus yang menghubungkan titik-titik pada garis air rendah kedua tepi sungai yang melintasi mulut sungai atau muara. Sedangkan mengenai garis penutup teluk, teluk itu sendiri didefinisikan sebagai suatu lekukan pantai, dimana luasnya sama atau lebih besar dari lauas setengah lingkaran yang mempunyai garis tengah yang melintasi mulut lekukan tersebut.
d) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) didefinisikan sebagai garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-tititk terluar dari pulau-pulau atau karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagaian dari negara kepulauan. Ilustrasi garis pangkal kepulauan dapat dilihat pada gambar III.5
28
Mercusuar
Garis Air Rendah
Pulau
Luas Perairan : Luas Daratan antara 1 : 1 dan 9 : 1
Elevasi Surut
Pula u
Garis Pangkal Kepulauan
Pulau
Garis Air Rendah =< 100 M atau 125 M (3 % dari Total)
Garis Air Rendah
Gambar III.5 Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) (Djunarsjah, 2000)
IV.4.2.3. Garis Air Rendah Garis air rendah merupakan garis yang menandakan pertemuan permukaan air pada saatv air rendah dengan daratan. Tentu banyak yang bertanya garis mana yang dimaksud, karena garis pantai itu bervariasi mengikuti variasi antarapasang surut (pasut) tinggi dan pasut rendah, dan berubah setiap hari. Dalam UNCLOS 1982 maupun dalam UU no.6 tahun 1996, dipakai garis air rendah atau surut, low water line, untuk menentukan lebar laut teritorial. Oleh karena itu dalam penentuan lebar laut kewenangan juga dipakai garis air rendah yang ditentukan pada saat pengukuran dilapangan. (Jacub Rais, 2003). Secara praktis bidang pertemuan tersebut diwakili oleh muka surutan peta atau chart datum. MUKA AIR TINGGI
PANTAI
MSL MSL
θ GARIS AIR RENDAH
MUKA AIR RENDAH DASAR LAUT
TITIK PANGKAL
ACUAN PENARIKAN BATAS LAUT Gambar III.6 Garis air rendah, serta kedudukannya dengan garis air tinggi dan MSL
29
IV.4.2.4. Datum Geodetik Datum geodetik adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi yang digunakan untuk pendefinisian koordinat geodetik, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh Bumi. Definisi lain dari datum geodetik adalah besaran-besaran yang menggambarkan kedudukan dan orientasi spasial elipsoid referensi terhadap bumi atau geoid (Purworahardjo,1986).
Elipsoid referensi yag digunakan sebagai datum geodetik dapat diwakili oleh: •
Parameter elipsoid (setengah sumbu panjang dan penggepengan)
•
Koordinat titik datum, termasuk defleksi vertikal
•
Undulasi deoid yang biasanya bernilai nol
•
Azimuth geodetik (untuk penentuan orientasi jaring survei)
Penetapan batas laut antara dua negara, akan mengalami kesulitan apabila masing-masing negara yang berbatasan tersebut menggunakan datum lokal yang berbeda-beda. Kesulitan ini terjadi karena posisi garis pantai dari masing-masing negara harus dibandingkan dalam rangka penentuan titik pangkal. Untuk mengantisipasi itu, maka IHO menyarankan penggunaan datum bersama sebagai referensi dalam penentuan batas tersebut. Penggunaan datum bersama bisa dilakukan dengan transformasi antar datum, dari datum lokal ke datum bersama atau dengan memakai datum salah satu negara yang berbatasan.
IV.4.2.5. Proyeksi Peta Sistem proyeksi peta adalah suatu persamaan tertentu untuk memindahkan unsurunsur pada permukaan yang melengkung ke bidang datar untuk dapat menyajikan unsurunsur dipermukaan bumi (bentuk ellipsoid) ke bidang datar dilakukan suatu transformasi dengan menggunakan rumus matematika tertentu, cara ini disebut proyeksi peta.
Dalam kaitannya dengan penetrapan garis pangkal dan batas-batas di wilayah perairan, tidak ada ketentuan UNCLOS 1982 yang mengharuskan untuk menggunakan sistim proyeksi tertentu. Pada dasarnya tidak ada sistem proyeksi yang tidak
30
menimbulkan kesalahan atau distorsi, akan tetapi kita akan meminimalkan pengaruh tersebut dengan memperhatikan berbagai faktor dalam pemilihan sisitem proyeksi.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sistem proyeksi diantaranya adalah tingkat ketelitian yang ingin dicapai, lokasi geografis,bentuk dan luas wilayah yang akan dipetakan setra ciri-ciri yang akan dipertahankan. Untuk keperluan pembuatan peta batas laut sebaiknya dipilih sistim proyeksi konform, dimana arah dapat dipertahankan, sehingga sudut dapat dipertahankan pula dengan baik terutama untuk keperluan pelayaran. Sistim proyeksi konform yang dapat dipilih antara lain proyeksi mercator dan proyeksi UTM.
III.5. Batas-Batas Di Sekitar Aceh Aceh yang berada di ujung utara pulau Sumatra, merupakan provinsi yang berada paling ujung dari Republik Indonesia, sehingga selain ada batas daerah antara provinsi Aceh provinsi Sumatra Utara, batas-batas antara kabupaten-kabupaten di Aceh, terdapat pula batas negara Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan India.
Diutara Aceh terdapat Laut Andaman, di laut tersebut terdapat batas seabed antara Indonesia dan Thailand, batas kontinen antara Indonesia dan India, batas seabed India dan Thailand serta titik trijunction yang merupakan titik pertigaan batas antara ketiga negara di laut Andaman, dapat dilihat pada gambar III.7. Ketiga negara tersebut melakukan perjanjian atas titik-titik batas tersebut, dengan nama perjanjian “PERSETUJUAN
THAILAND-INDIA-INDONESIA
MENGENAI
TITIK
TRIJUNCTION DAN BATAS KE TIGA NEGARA DI SEKITAR LAUT ANDAMAN” tanggal 22 Juni tahun 1978. Dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.1
Sedangkan di sekitar selat malaka terdapat batas kontinen antara Indonesia dan Malaysia (lihat gambar III.9) dengan perjanjian “Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia Tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara Tahun 1969” dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.2. Selain batas kontinen, di sekitar Aceh pada selat Malaka ini terdapat
31
pula titik-titik pangkal kepulauan Indonesia. Dimana titik-titik ini sebagai titik acuan dalam menentukan garis pangkal untuk mengklaim laut teritoral Indonesia. Laut teritorial ini ditarik sejauh 12 mil laut dari garis pangkal tersebut. Titik-titik pangkal tersebut tercantum dalam “Lampiran PP RI Nomor 38 Tahun 2002 Tanggal 28 Juni 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Ttitik-titik Garis Pangkal Kepulauan IIndonesia”. Untuk titik-titik batas kontinen dan titik-titik pangkal yang akan dilihat besar pergeseran deormasi co-seimicnya hanya diambil pada titik-titik yang berada di sekitar Aceh saja. Dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.3, dan plotingnya pada gambar III.9
Titik-titik batas antara kabupaten di Aceh diambil dari Kordinat beberapa titiktitik batas Kabupaten di Provinsi Aceh, yang didapat dari interpolasi titik-titik batas dari garis batas pada peta rupa bumi, lembar peta nomor 0421, skala 1:250000. Dan batas antara Kabupaten yang diambil adalah batas antara kabupaten Aceh Barat dan Aceh Besar (sebelum dimekarkan) di dekat pantai barat Aceh, serta antara kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Pidie. Untuk melihat daftar koordinat batas antara kabupaten Aceh Barat dan Aceh Besar dapat dilihat pada tabel IV.5. Sedangkan untuk melihat daftar koordinat batas antara kabupaten Aceh Besar dan Pidie dapat dilihat pada tabel IV.4. Dan ploting titik batas antara ketiga kabupaten dapat dilihat pada gambar III.8.
Gambar III.7 plot batas kontinen, seabed dan trijunction Indonesia-India-Thailand di laut Andaman pada google earth
32
Gambar III.8 plot batas kabupaten Aceh Barat-Aceh Besar-Pidie pada google earth
Gambar III.9 plot batas provinsi Aceh-Sumut, batas kontinen IndonesiaMalaysia dan titik-titik pangkal kepulauan Indonesia pada google earth
33