BAB III KONSEP ILMU MENURUT YÛSUF AL-QARDÂWI DAN AL-GAZÂLÎ
A. Yûsuf Al-Qardâwi 1. Biografi dan Karyanya Dalam buku autobiografinya, Yûsuf
Al-Qardâwi memulai
menceritakan kelahirannya dengan mengatakan: kami tidak pernah berkeinginan atau berharap agar dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota besar seperti Kairo, yang merupakan tempat kelahiran Ahmad Amin; di Damaskus yang merupakan tempat kelahiran Ali Thathawi, sehingga kami dapat bercerita panjang mengenai keistimewaan dan keindahan kota kelahiran kami. Kenyataannya, kami dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kampung terpencil yang terdapat di pedalaman Mesir dan jauh dari hiruk pikuk kota modern.1 Yûsuf Al-Qardâwi dilahirkan di sebuah desa di Republik Arab Mesir pada tahun 1926.2 Dia lahir dalam keadaan yatim. Oleh sebab itulah dia dipelihara oleh pamannya. Pamannya ini yang mengantarkanYûsuf AlQardâwi kecil ke surau tempat mengaji. Di tempat ituYûsuf Al-Qardâwi terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya beliau mampu menghafal al-Qur'an dan menguasainya hukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik. Itu terjadi pada saat dia masih berada di bawah umur sepuluh tahun. Orang-orang di desa itu telah menjadikan dia sebagai imam dalam usianya yang relatif muda, khususnya pada saat shalat subuh. Sedikit orang yang tidak menangis saat shalat di belakangYûsuf Al-Qardâwi. Setelah itu dia bergabung dengan sekolah 1
Yûsuf Al-Qardâwi, Perjalanan Hidupku 1, Terj. Cecep Taufikurrahman dan Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 9. 2 Yûsuf Al-Qardâwi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 1, Terj. As'ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 960
45
46
cabang al-Azhar. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan itu dan selalu menempati ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil, hingga salah seorang gurunya menggelarinya dengan "allamah" (sebuah gelar yang biasanya diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas, pent). Dia meraih ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di Sekolah Menengah Umum. Padahal saat itu dia pernah dipenjarakan. Setelah itu beliau masuk fakultas Ushuludin di Universitas alAzhar. Dari al-Azhar ini dia lulus sebagai sarjana S1 pada tahun 1952. Beliau meraih ranking pertama dari mahasiswa yang berjumlah seratus delapan puluh. Kemudian ia memperoleh ijazah setingkat S2 dan memperoleh rekomendasi untuk mengajar dari fakultas Bahasa dan Sastra pada tahun 1954. Dia menduduki ranking pertama dari tiga kuliah yang ada di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun 1958 dia memperoleh ijazah diploma dari Ma'had Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah dalam bidang bahasa dan sastra. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan ijazah setingkat Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur'an dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin. Pada tahun 1973 dia berhasil meraih gelar Doktor dengan peringkat summa cum laude dengan disertasi yang berjudul AzZakat wa Atsaruha fi Hill al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya
dalam
Memecahkan
Masalah-masalah
Sosial
Kemasyarakatan). Dia terlambat meraih gelar doktornya karena situasi politik Mesir yang sangat tidak menentu. 3 Yûsuf Al-Qardâwi pernah bekerja sebagai penceramah (khutbah) dan pengajar di berbagai masjid. Kemudian menjadi pengawas pada Akademi Para Imam, lembaga yang berada di bawah Kementerian Wakaf di Mesir. Setelah itu dia pindah ke urusan bagian Administrasi Umum untuk Masalah-masalah Budaya Islam di al-Azhar. Di tempat ini dia bertugas untuk mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang 3
Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yûsuf Al-Qardâwi, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 3-6
47
menyangkut teknis pada bidang dakwah. Pada tahun 1961 dia ditugaskan sebagai tenaga bantuan untuk menjadi kepala sekolah sebuah sekolah menengah di negeri Qatar. Dengan semangat yang tinggi dia telah melakukan pengembangan dan peningkatan yang sangat signifikan di tempat itu serta berhasil meletakkan pondasi yang sangat kokoh dalam bidang pendidikan karena berhasil menggabungkan antara khazanah lama dan kemodernan pada saat yang sama. Pada tahun 1973 didirikan fakultas tarbiyah untuk mahasiswa dan mahasiswi, yang merupakan cikal bakal Universitas Qatar. Syaikh Yusuf ditugaskan di tempat itu untuk mendirikan jurusan Studi Islam dan sekaligus menjadi ketuanya.4 Pada tahun 1977 dia ditugaskan untuk memimpin pendirian dan sekaligus menjadi dekan pertama fakultas Syari'ah dan Studi Islam di Universitas Qatar. Dia menjadi dekan di fakultas itu hingga akhir tahun ajaran 1989-1990. Dia hingga kini menjadi dewan pendiri pada Pusat Riset Sunnah dan Sirah Nabi di Universitas Qatar. Pada tahun 1990/1991 dia ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di alJazair. Di negeri ini dia bertugas untuk menjadi ketua Majlis Ilmiyah pada semua universitas dan akademi negeri itu. Setelah itu dia kembali mengerjakan tugas rutinnya di Pusat Riset Sunnah dan Sirah Nabi. Pada tahun 1411 H, dia mendapat penghargaan dari IDB (Islamic Development Bank) atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan. Sedangkan pada tahun 1413 dia bersama-sama dengan Sayyid Sabiq mendapat penghargaan dari King Faisal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Di tahun 1996 dia mendapat penghargaan dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia atas jasa-jasanya dalam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1997 dia mendapat penghargaan dari Sultan Brunai Darus Salam atas jasa-jasanya dalam bidang fikih.5 Dr. Yûsuf Al-Qardâwi adalah salah seorang tokoh umat Islam yang sangat menonjol di zaman ini, dalam bidang ilmu pengetahuan, 4 5
Yûsuf Al-Qardâwi, Perjalanan Hidupku 1, op. cit, hlm. 419 Ishom Talimah, op. cit, hlm. 5.
48
pemikiran, dakwah, pendidikan dan jihad. Kontribusinya sangat dirasakan di seluruh belahan bumi. Hanya sedikit kaum muslimin masa kini yang tidak membaca buku-buku dari karya tulis, ceramah dan fatwaYûsuf AlQardâwi. Banyak umat Islam yang telah mendengar pidato dan ceramahYûsuf Al-Qardâwi baik yang beliau ucapkan di masjid-masjid maupun di universitas-universitas, ataupun lewat radio, TV, kaset dan lain-lain. Pengabdiannya untuk Islam tidak hanya terbatas pada satu sisi atau satu medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta melebar ke banyak bidang dan sisi. Kami akan berusaha membahas sumbangan dan aktivitasYûsuf Al-Qardâwi itu dalam bahasan di bawah ini secara lebih terperinci. 1. Dalam bidang ilmu pengetahuan 2. Dalam bidang fikih dan fatwa 3. Dalam bidang dakwah dan pengarahan 4. Dalam bidang seminar dan muktamar 5. Dalam kunjungan dan ceramah-ceramah 6. Dalam bidang ekonomi Islam 7. Dalam amal sosial 8. Dalam usaha kebangkitan umat 9. Dalam bidang pergerakan dan jihad 10. Keterlibatannya dalam lembaga-lembaga dunia.6 Adapun Karya-karya Yûsuf Al-Qardâwi dapat disebutkan di antaranya: 1. Al-Halal wal-Haram fil-Islam 2. Fatawa Mu'ashirah juz 1 3. Fatawa Mu'ashirah Juz 2 4. Fatawa Muashirah Juz 3 5. Taysir al-Fiqh: Fiqh Shiyam 6. Al-Ijtihad Fisy-Syari'ah al-Islamiyyah 6
Ibid, hlm. 5-6.
49
7. Madkhal Li Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah 8. Min Fiqhid-Daulah al-Islam 9. Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Muashir l 10. Al-Fatwa baina al-Indhibath wat-Tasayyub 11. Awamil as-Sa'ah wal-Murunah fisy-Syari'ah al-Islamiyyah 12. Al-Fiqh al-Islami bainal-Ashalah wat-Tajdid 13. Al-Ijtihad al-Mu'ashir bainal-Indhibath wal-Infirath 14. Ziwaj al-Misyar 15. Adh-Dhawabith asy-Syariyyah li Binaa al-Masajid 16. Al-Ghina' wal-Musiqa fi Dhau'il-Kitab was-Sunnah 17. Fiqhuz-Zakat (dua juz) 18. Musykilat al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha al-Islam 19. Bai'al-Murabahah lil-Amir bisy-Syira' 20. Fawaidul-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram 21. Daurul-Qiyam wal-Akhlaq fil-Iqtishad al-Islami 22. Bidang Ulum Al-Qur'an dan Sunnah 23. Ash-Shabru wal-'IImu fil-Qur'an al-Kariem 24. Al-'Aqlu wal-'lmu fil-Qur'an al-Kariem 25. Kaifa Nata'amal Ma'al-Qur'an al-'Azhiem? 26. Kaifa
Nata'amal
Ma'as-Sunnah
an-Nabawiyyah
berinteraksi dengan Sunnah) 27. Tafsir Surat ar-Ra'd 28. Al-Madkhal li Dirasatas-Sunnah an-Nabawiyyah 29. Al-Muntaqa fit-Targhib wat-Tarhib (dua juz) 30. As-Sunnah Mashdar lil-Ma'rifah wal-Hadharah 31. Nahwa Mausu'ah lil-Hadits an-Nabawi 32. Quthuf Daniyyah min al-Kitab was-Sunnah 33. Al-Iman wal-Hayat 34. Mauqif al-Islam min Kufr af-Yahud wan-Nashara 35. Al-Iman bil-Qadar 36. Wujudullah
(Bagaimana
50
37. Haqiqat at-Tauhid 38. Bidang Fikih Perilaku 39. Al-Hayat ar-Rabbaniyyah wal-'Iimu 40. An-Niyat wal-Ikhlash 41. At-Tawakkul 42. At-Taubat Ila Allah 43. Tsaqafat ad-Da'iyyah 44. At-Tarbiyyah al-lslamiyyah wadrasatu Hasan al-Banna 45. Al-Ikhwan al-Muslimin 70 'Aaman fil al-Da'wah wa al-Tarbiyyah 46. Ar-Rasul wal-'lLmu 47. Rishafat al-Azhar baina al-Amsi wal-Yaum wal-Ghad 48. Al-Waqtu fi Hayat al-Muslim 49. Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Juhud wat-Tatharruf 50. Ash-Shahwah al-lslamiyyah wa Humum al-Wathan al-'Arabi walIslami 51. Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Ikhtilafal-Masyru' wat-Tafarruq al- Madzmum 52. Min Ajli Shahwah Rasyidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya 53. Ayna al-Khalal? 54. Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyah fil al-Marhalah al-Qadimah 55. Al-Islam wal-'Almaniyyah Wajhan bi Wajhin 56. Fi Fiqh al-Awlawiyyat (FiqihPrioritas) 57. Ats-Tsaqafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah baina al-Ashalah wa alMuasharah 58. Malamih al-Mujtama' al-Islami alladdzi Nunsyiduhi 59. Ghayrul al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami 60. Syari'at- al-Islam Shalihah lil-Tathbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin 61. Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm 62. Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir 63. Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat 'Ala Ummatina 64. Al-Hill al-Islami Faridhah wa Dharurah
51
65. Bayyinal-Hill al-Islami wa Syubuhat al-'ilmaniyyin wal-Mutagharribin 66. A'da' al-Hill al-Islami 67. Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah 68. Jailun-Nashr al-Mansyud 69. An-Naas wa al-Haq 70. Ummatuna bainal-Qarnayn 71. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam 72. Syumul al-Islam 73. Al-Marji'iyyah al-'Ulya fi al-Islam li al-Qur'an was-Sunnah 74. Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kaysf wa al-Ru'aa wa min alTamaim wa al-Kahanah wa al-Ruqa 75. Al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Dhau'Nushush al-Syari'ah wa Maqashidiha 76. Al-'Ibadah fi al-Islam 77. Al-Khashaish al-'Ammah fi al-Islam 78. Madkhal li Ma'rifat al-Islam 79. Al-lslam Hadharat al-Ghad 80. Khuthab al-SyaikhYûsuf Al-Qardâwi juz 1 81. Khuthab al-SyaikhYûsuf Al-Qardâwi juz 2 82. Liqaat wa Muhawarat hawla Qadhaya al-Islam wal-'Ashr 83. Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq 84. Qadhaya Mu'ashirah 'Ala Bisath al-Bahts 85. Al-Iman Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi 86. Asy-Syaikh al-Ghazali kama 'Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn 87. Nisaa' Mu'minaat 88. Al-Imam al-Juwaini Imam al-Haramain 89. 'Umar bin Abdul Aziz Khamis al-Khulafa' al-Rasyidin 90. Nafahat wa Lafahat (kumpulan puisi) 91. Al-Muslimin Qadimum (kumpulan puisi) 92. Yusuf ash-Shiddiq (naskah drama dalam bentuk prosa) 93. 'Alim wa Thagiyyah 94. Ad-Din fi 'Ashr al-'Ilmi
52
95. Al-Islam wa al-Fann 96. An-Niqaab lil-Mar'ah baina al-Qawl bi Bid'atihi wal-Qawl bi Wujubihi 97. Markaz al-Mar'ah fil-Hayah al-lslamiyyah 98. Fatawa lil-Mar'ah al-Muslimah 99. Jarimah ar-Riddah wa 'Uqububat al-Murtad fi Dhau' al-Qur'an wasSunnah 100. Al-Aqlliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami 101. Al-Mubasyyirat bi Intishar al-Islam 102. Mustaqbal al-Ushuliyyah al-lslamiyyah 103. Al-Quds Qadhiyat Kulli Muslim 104. Al-Muslimun wal-'Awlamah 105. Kaset-kaset Ceramah SyaikhYûsuf Al-Qardâwi 106. Limadza al-Islam 107. Al-Islam alladzi Nad'u Ilaihi 108. Wajib Asy-Syabab al-Muslim 109. Muslimat al-Ghad 110. Ash-Shaliwah al-Islamiyyah bainal-'Amal wal-Mahadzir 111. Qimat al-Insan wa Ghayat Wujudihi fil-Islam 112. Likay Tanjah Muassasah az-Zakat fit-Tathbiq al-Mu'ashir 113. At-Tarbiyyah 'inda al-Imam asy-Syathibi 114. Al-Islam Kama Nu'minu Bihi 115. Insan Suratal-'Ashr 116. As-Salam al-Mustahil bainal-'Arab wa Israel 117. Al-Islam wal-Muslimun wa 'Ulum al-Mustaqbal 'Ala A'tab al-Qarn al- Qadim 118. Al-Muslimin wat-Takhalluf al-'Ilmi 119. Ash-Shahwah al-Islamiyah wa Fiqh al-Awlawiyyat
53
2. Pemikiran Yûsuf Al-Qardâwi tentang Konsep Ilmu Menurut
Al-Qardâwi
di
antara
ilmu,
ada
yang
hukum
mempelajarinya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah, serta ada pula yang tercela. Ilmu yang wajib dipelajari terbagi menjadi dua, yaitu wajib 'ain (wajib bagi setiap orang) dan wajib kifayah (wajib bagi sebagian orang). Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan yang lainnya "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim". Maksud muslim di sini mencakup laki-laki dan juga perempuan, sehingga mereka bersepakat bahwa hadis tersebut mencakup muslim dan muslimah, walaupun tidak terdapat lafazh wa muslimah dalam hadis tersebut. Menurut Al-Qardâwi para pakar hadis berbeda pendapat tentang 'ilm yang wajib dipelajari. Masing-masing kelompok memprioritaskan spesialisasi ilmu yang mereka geluti. Seorang teolog (ahli kalam) berpendapat, bahwa ilmu yang wajib dicari adalah ilmu kalam karena ia merupakan ilmu untuk mengetahui keesaan Allah, mengimani para malaikat, kitab dan utusan-utusan-Nya serta hari kiamat. Dan ini adalah pondasi agama. Ahli fikih menyatakan bahwa yang wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu fiqih, karena ia adalah ilmu untuk mengetahui yang halal dan yang haram, keabsahan suatu ibadah dan konsistensi transaksi sesuai syariat.7 Pakar ilmu tafsir mengatakan bahwa yang wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu untuk menafsirkan kitab Allah sebagai dasar agama dan referensi umat Islam. Sedangkan pakar hadis menyatakan bahwa yang wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu hadis sebagai penjelas AlQur'an dan simbolisasi sejarah hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau. Menurut Al-Qardâwi, seorang ahli tasawuf berpendapat bahwa yang harus diutamakan adalah ilmu untuk menuju akhirat dan jalan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, cara penyucian jiwa dan penyembuhan penyakit7
Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 187.
54
penyakit setan serta menutupi celah-celah yang bisa dimasuki. Pakar ushul fikih lebih menyatakan bahwa ilmu usul fikihlah yang lebih utama untuk dipelajari karena ia merupakan ilmu untuk menyimpulkan maksud dari sebuah teks dan mengambil konklusi dari sesuatu yang tidak memiliki dalil tekstual. Bahkan ada yang mengatakan, ilmu bahasa Arab seperti Nahwu, Sharraf dan Balaghah adalah lebih utama karena ia merupakan instrumen untuk memahami Al-Qur'an dan hadis. Ada juga yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah ilmu kedokteran sebab dengannya dapat diketahui sehat dan sakitnya seseorang. Salah seorang mereka membagi ilmu kepada dua macam; ilmu agama dan ilmu jasmani, dan ilmu jasmani lebih utama dari pada ilmu agama. Sedangkan sebagian lain yang menyebutkannya bahwa pernyataan tersebut perlu dikaji lagi. Menurut Al-Qardâwi sendiri bahwa ia melihat pendapat-pendapat tersebut mencampuradukkan antara ilmu yang wajib dipelajari
oleh
setiap
muslim
laki-laki
dan
perempuan,
yaitu
mencampuradukan antara yang fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu tafsir, hadis, ushul fikih dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tak terkecuali ilmu kedokteran adalah yang wajib dipelajari dalam lingkup sebuah umat, namun tidak wajib dipelajari oleh semua individu, maka hal seperti ini masuk dalam kategori fardhu kifayah. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat secara kolektif, dan cukup sebagian orang melaksanakannya untuk menutupi kekosongan dan memenuhi kebutuhan, kalau tidak ada seorang pun yang melakukan seluruh kaum tersebut menanggung dosa. 8 Menurut Al-Qardâwi di antara yang termasuk dalam 'kategori fardhu ain pada zaman sekarang, menurut pendapat dan ijtihad AlQardâwi adalah seorang muslim harus belajar baca tulis dan menghilangkan stempel buta huruf. Buta huruf telah menjadi penghambat umat dari kemajuan dan perkembangan, dan belajar menjadi salah satu faktor kemuliaan dan kemenangan atas musuh mereka. Dalam arena 8
Ibid, hlm. 188.
55
persaingan ekonomi dan peradaban di zaman sekarang tidak ada tempat lagi bagi umat yang mayoritas individunya buta huruf.9 Menurut Al-Qardâwi, salah satu kaidah syara' menetapkan, "Satu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib." Umat Islam wajib berada pada posisi paling depan dan maju serta memiliki kekuatan dan keunggulan, dan itu tidak akan
tercapai
kecuali
dengan
memberantas
buta
huruf
dan
memasyarakatkan budaya belajar pada semua anggotanya, dengan demikian kita akan dapat menyaingi umat lain.10 Menurut Al-Qardâwi, salah satu himbauan al-Qur'an dalam dunia ilmu pengetahuan adalah manusia diwajibkan belajar kepada siapa saja yang mempunyai ilmu, dan bermanfaat bagi hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Sekalipun ia lebih muda umurnya dan lebih rendah derajatnya.11Nabi Muhammad Shallallahu Alaih wa Sallam sendiri telah memerangi buta huruf pada masa hidupnya sejak tahun kedua hijrah ketika beliau memerintahkan kepada para tawanan perang yang pandai menulis untuk mengajari sepuluh dari putra-putra orang Islam cara tulisbaca. Kewajiban umat Islam sekarang adalah menyempurnakan langkah tersebut sehingga tidak terbelakang dalam kompetisi peradaban dan agar umat Islam tidak pengekor umat lain, tapi menjadi lokomotif kemajuan karena posisinya sebagai umat terbaik.12 Menurut Al-Qardâwi, sebuah lontaran pertanyaan yang harus dijawab, yakni bagaimana seorang muslim mendapatkan ilmu yang harus dituntutnya? Dan metode apa yang lebih bermanfaat baginya? Menurut Al-Qardâwi, jawaban atas pertanyaan ini berbeda sesuai perbedaan kondisi individu seorang muslim, karena kondisi seorang muslim yang
9
Ibid, hlm. 194. Ibid, hlm. 194 11 Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 253. 12 Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa Sunnah, op. cit, hlm. 194. 10
56
pandai membaca tidak sama dengan kondisi seorang muslim yang tidak dapat membaca.13 Menurut Al-Qardâwi, seorang muslim bisa mendapatkan ilmu yang wajib tersebut adalah dengan cara talaqqi (menerima langsung) dan mendengarkan secara bertatap muka dari para ulama yang terpercaya dalam ilmu dan ketakwaan mereka serta mendalam pemahamannya akan agama dan realita secara kebersamaan. Ini yang wajib bagi para orang awam, dan tidak ada alternatif lain bagi mereka dalam hal ini. Usaha yang dituntut dari seorang muslim dalam kondisi seperti ini adalah memilih seorang guru yang dia belajar kepadanya. la harus mampu membedakan antara seorang alim tempat ia meminta nasehat dan peringatannya, dan seorang ahli fikih tempat ia menanyakan hukum-hukum syariat. Karena tidak semua pemberi nasehat yang berpengaruh, atau orator ulung, atau ahli tafsir dan hadis memiliki kredibilitas dalam fikih dan fatwa-fatwanya. Yang demikian karena Allah menganugerahkan bakat dan kemampuan pada tiap-tiap orang, kecuali yang dianugerahkan kepadanya semua bakat dan kemampuan tersebut, dan hal itu sedikit.14 Menurut Al-Qardâwi, golongan muslim yang awam tidak sedikit pula dari golongan terpelajar sering mencampuradukkan urusan ini. Mereka menyangka bahwa para pemberi nasehat profesional juga seorang yang mendalam dalam hukum-hukum syariat sehingga mereka meminta fatwa dalam berbagai masalah yang pelik, dan mereka pun menjawab sesuai kemampuan pengetahuan mereka yang kadang terjerumus ke dalam kesalahan fatal, sementara mereka tidak menyadarinya. Jika mereka termasuk orang-orang yang bertindak adil, niscaya mengatakan, "Tanyakan kepada selain kami, karena kami tidak mengetahuinya." Semoga Allah menganugerahkan rahmat-Nya kepada orang yang menyadari dan berbuat sesuai batas kemampuannya. Karena sebuah hadis 13
Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op. cit, hlm. 253. 14 Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa Sunnah, op. cit, hlm. 195.
57
shahih dari Bukhari dan Muslim memperingatkan kita dari orang-orang yang ditanya dan memberikan fatwa tanpa didasari ilmu pengetahuan, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Menurut Al-Qardâwi, di antara sarana edukatif zaman sekarang adalah pita kaset yang merupakan sarana penting dan besar pengaruhnya, karena seseorang dapat menggunakannya, baik ketika dalam perjalanan maupun di rumah, dan seorang perempuan pun dapat menggunakannya di dapur tanpa merasa repot untuk mendengarkan atau memahaminya.15 Selain dari itu adalah, program-program keagamaan yang disiarkan oleh stasiun-stasiun televisi dan radio, dan yang mungkin dapat disajikan melalui alat audio visual seperti video. Seorang muslim hendaknya mampu memfilter apa yang didengarnya dari kaset-kaset tersebut, karena tidak setiap kaset yang berbau agama itu baik untuk didengarkan, karena sebagian kaset tersebut merupakan sajian yang dibumbui kebohongan dan semacamnya. Sehingga bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya, lebih banyak sisi destruktifnya dibanding sisi konstruktifnya, karena isinya tidak semuanya dilandaskan kepada ilmu yang benar dan dalil-dalil syar'i yang shahih. Menurut Al-Qardâwi, banyak di antaranya yang dipenuhi oleh ancaman adzab kubur dan hari akhir yang berlebih-lebihan, dibangun atas dasar metode yang mempersulit dan bukan mempermudah (taysir), serta menjauhkan dan bukan mendekatkan diri pada kebenaran, hal itu adalah karena bertolak belakang apa yang diperintahkan Nabi Saw. Sebagian orang tua menurut Al-Qardâwi, telah menceritakan kepadanya bahwa putrinya sering bangun tengah malam dengan penuh ketakutan dan gemetaran. Hal tersebut menghantuinya dalam tempo yang cukup lama semenjak ia mendengarkan kaset tentang azab kubur yang dilebih-lebihkan. Di dalamnya dikisahkan tentang ular-ular sebesar gajah serta kalajengking sebesar keledai dan seterusnya. 15
Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op. cit, hlm. 254.
58
Menurut Al-Qardâwi, sarana lain di era moderen sekarang ini adalah jaringan internet yang banyak menyajikan info-info keislaman. Semua itu mengharuskan umat Islam untuk memperingatkan setiap muslim agar tidak mengambil ajaran agamanya kecuali dari orang-orang yang telah terpercaya, diakui kualitas ilmu dan agamanya, serta tidak mengambilnya dari sembarang orang menurut seleranya. Tapi hendaknya ia meneliti dan berhati-hati akan setiap sumber agama yang diambilnya, karena tidak semua buku dan risalah yang diterbitkan suatu percetakan bisa dipercaya. Cukup banyak buku yang penuh dengan khurafat dan kekeliruan. Di antara yang perlu diwaspadai adalah israiliyyat dalam kitabkitab tafsir dan hadis-hadis palsu dalam kitab hadis, serta cerita-cerita dan khayalan-khayalan yang tidak logis dalam buku-buku nasehat, anjuran dan ancaman. Menurut Al-Qardâwi, hendaknya kepada setiap muslim yang berusaha untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tidak keliru mencari guru, karena itu carilah orang yang benar-benar paham tentang ilmu hadis, karena tidak semua ulama dan pemberi nasehat memahami hal tersebut.16 Sebaiknya seorang muslim memiliki sebuah buku yang mencakup hadis-hadis shahih, seperti Al-Maqashid Al-Hasanah karangan AsSakhawi, atau Kasyf Al-Khafa' wa Al-Ilbas fiima Isytahara min Al-Hadis 'ala Alsinah An-Naas karangan Al-'Ajlauni, dan lain-lain. Menurut Al-Qardâwi, seorang muslim juga dapat belajar dengan cara membaca dan menelaah buku-buku karangan para ulama terpercaya. Semua buku tersebut akan tetap mengandung nilai dan pengaruhnya serta medan pendidikan dan peningkatan wawasan, karena buku lebih tahan lama umur dan pengaruhnya. Seorang muslim secara umum harus dapat memilih buku-buku yang dibacanya, dan terlebih lagi dalam memilih buku-buku keagamaan. Karena percetakan-percetakan setiap harinya menerbitkan buku yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, yang baru 16
Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa Sunnah, op. cit, hlm. 195.
59
dan yang usang. Cukup banyak hal di dalamnya yang bermanfaat dan membahayakan, dan seorang muslim hendaknya mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Orang bijak mengatakan, "Beritahukan kepadaku, apa yang sedang engkau baca?" Maka akan aku beritahukan siapa kamu!" Di sini Al-Qardâwi mewanti-wanti adanya racun dalam buku bacaan sebagaimana yang terdapat dalam kaset-kaset. Di antara bukubuku tersebut ada yang tampak bahaya dan kefatalannya, seperti bukubukunya orang-orang kafir dan para zending yang terang-terangan. Ada juga buku yang mengandung racun berselubungkan madu, seperti bukubukunya para sekularis, marxisme dan yang semisalnya, mereka yang dapat menyesatkan seorang muslim biasa dari jalan kebenaran, karena kebatilan dipaksa sedemikian indah, sehingga banyak orang yang tertipu. Dan yang paling berbahaya adalah buku-buku agama yang tidak berdasarkan ilmu yang benar yang tidak diteliti dan diseleksi. Buku-buku tersebut dipenuhi kekeliruan, berlebih-lebihan dan menyesatkan. Bukubuku tersebut laku laris di tengah-tengah orang awam yang tidak dapat membedakan antara barang bermutu dan palsu.17 Contoh lain menurut Al-Qardâwi adalah buku-buku tulisan para ekstrimis yang mengharamkan hampir semua yang halal, mempersulit dan bukan mempermudah serta menjauhkan dan bukan mendekatkan. Sudah semestinya ada sebuah pengawasan atas buku-buku dan selebaranselebaran
yang
dikeluarkan
untuk
umum,
sebagaimana
adanya
pengawasan atas produksi makanan yang rusak, terkontaminasi dan kadaluarsa. Menurut Al-Qardâwi, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membaca literatur klasik karena untuk hal tersebut dibutuhkan perangkat-perangkat dan kunci-kunci tertentu khusus untuk dapat membuka dan memahaminya. Sebab di dalamnya terdapat banyak istilah 17
Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op. cit, hlm. 255.
60
dan problematika ilmiah yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, baik secara linguistik, syariat dan logika yang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk ini dibutuhkan adanya talaqqi dari para ahli di bidang tersebut untuk menguraikan simpul-simpulnya dan mengembalikan kepada dasar-dasarnya. Karena orang yang bukan ahlinya jika membacanya sendirian, maka ia bagaikan berjalan di tengah padang tanpa seorang pemandu jalan, sehingga ia akan celaka dan hilang. Menurut
Al-Qardâwi,
orang-orang
yang
mendalam
pengetahuannya memperingatkan tentang orang yang belajar dari shuhufiyyin, yakni orang yang mendapat ilmu dengan cara otodidak dari buku semata tanpa duduk di bangku sekolah, berkumpul dengan para ahlinya, dan berbaur dengan guru-guru dan murid-muridnya. Karena itulah sebagian universitas zaman sekarang mewajibkan presentase kahadiran seorang mahasiswa pada perkuliahan sebesar 75%, dan tidak dianggap sebagai mahasiswa suatu perguruan tinggi kalau dia tidak memenuhinya.18
B. Al-Gazâlî 1. Biografi dan Karyanya Al-Gazâlî (1058 – 1111 M), nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi AsySyafi'i Al-Gazâlî.19 Secara singkat, dipanggil Al-Gazâlî atau Abu Hamid AlGazâlî. la dipanggil Al-Gazâlî karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Menurut As-Subki sebagaimana dikutip Solihin bahwa ayah Al-Gazâlî adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis 18
Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa Sunnah, op. cit, hlm. 195. 19 Pradana Boy, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, UMM Press, Malang, 2003, hlm. 175.
61
pengajian. Menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Gazâlî dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.20 Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya:
ﺗﻨِﻰﺎﻓﹶﺎﻙ ﻣ ﺍﺪﺭ ﺳِﺘ ﺘﻬِﻰ ﺍﺷ ﻭﹶﺃ ﻂ ﺨﹼ ﻌﻠﱡ ِﻢ ﺍﹾﻟ ﺗ ﺪ ِﻡ ﻋ ﻋﻠﹶﻰ ﺎﻴﻤﻋ ِﻈ ﺳﻔﹰﺎ ﻨﹶﺄِﺇﻥﱠ ِﱃ ﹶﻟ ﻳ ِﻦﻫ ﹶﺬ ﻱ ﺪ ﻭﹶﻟ ﻓِﻰ 21
"sesungguhnya aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini." Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya. Suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya ia menyarankan pada kedua anak titipan tersebut untuk belajar di madrasah sekaligus menyambung hidup mereka dengan mengelola madrasah tersebut.22 Di madrasah tersebut, Al-Gazâlî mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Ai-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan. Selama berada di Naisabur, Al-Gazâlî tidak saja belajar kepada AlJuwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tamsawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti dalam hidupnya. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Gazâlî 20
Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.
111. 21
Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 37. 22 Ibid, hlm. 40
62
dengan sebutan Bahr Mu'riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Gazâlî membuatnya menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati Imam Haramain timbul rasa iri.23 Setelah Imam Haramain wafat (478 H./1086 M.), Al-Gazâlî pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/1091
M).
Kota
ini
merupakan
tempat
berkumpul
sekaligus
diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antarulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatanperdebatannya, ternyata ia sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Gazâlî.24 Sejak saat itu nama Al-Gazâlî menjadi termasyhur di kawasan Kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/1090 M," meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan diskusi dengan para tokoh paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu. Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, semua itu menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya lalu meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi," atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
23
Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan: "Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati." 24 A.Mustofa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 1997, hlm. 215
63
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Gazâlî menunjukkan keistimewaanya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis25 di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang. Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Gazâlî mencapai 300 buah. la mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak. Karya-karyanya itu membuat Al-Gazâlî tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. sendiri. Mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian serupa itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. "Titisan" Al-Gazâlî dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides). Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan Filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Gazâlî. Di kalangan Kristen abad pertengahan, pengaruh Al-Gazâlî merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dipandang sebagai "titisan" Kristen dari Al-Gazâlî. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Gazâlî juga memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi 25
Yang dimaksud skeptis di sini yaitu Al-Gazâlî ketika dalam proses pencarian kebenaran ia mengalami keraguan terhadap kebenaran ilmu yang selama ini ia yakini sebagai kebenaran.
64
ilmiah yang lebih kuat dibandingkan ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel abest seller-nya Umberto Eco, The Name of the Rose Dunia Islam mengenal Al-Gazâlî sebagai sosok ulama yang sangat alim dan berilmu tinggi sehingga diberi gelar kehormatan dengan sebutan Hujjatul Islam (pembela Islam).26 Dia adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazâlî dan Shalahuddin alAyyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat dengan orang Kristen.27 Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazâlî dapat menjadikan sunnah, filsafat dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan seimbang.28 Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasajasa Al-Gazâlî bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya, menyebutkan, "Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Gazâlî." Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian pandangan lawan-lawannya. Sebagai mana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Gazâlî pun tidak lepas dari kekurangan. Adapun karya-karya Al-Gazâlî dapat dijelaskan bahwa Al-Faqih Muhammad ibnul Hasan bin Abdullah al- Husaini al-Wasithy dalam kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 98 judul kitab karya Al-Gazâlî. Sedangkan as-Subky dalam kitabnya, ath-Thabaqat asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 58 judul karyanya. Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftahus Sa'adah wa Misbahus Siyadah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab. la menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak 26
Abdillah F Hassan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara, Surabaya, 2004,
hlm. 193 27
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hlm. 177 28 Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, Intimedia & Ladang Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 115
65
mudah bagi orang yang ingin mengenal nama-nama kitabnya. Bahkan pernah dikatakan, Al-Gazâlî memiliki seribu minus satu karya. Walaupun hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan, namun orang yang mengenal kondisi Al-Gazâlî sebenarnya, bisa jadi akan membenarkan informasi tersebut. Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama kitab Al-Gazâlî dalam bukunya, Muallifatul Ghazali, sebanyak 487 judul. Di antara karya-karya itu bisa disebutkan di sini.29 a. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam 1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosof) 2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof) 3. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Moderasi Dalam Aqidah) 4. Al-Muqidz minal-Dhalal (Pembebas Dari Kesesatan) 5. Al-Maqshad al-Asna fi Ma'ani Asma'illah al-Husna (Arti Nama-Nama Tuhan), 6. Faisahal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan Islam dan Atheis) 7.
Al-Qisthas al-Mustaqim (Jalan Untuk Menetralisir Perbedaan Pendapat)
8. Al-Mustadziri (Penjelasan-penjelasan) 9. Hujjah al-Haq (Argumen Yang Benar) 10. Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (Pemisah Perselisihan dalam PrinsipPrinsip Agama) 11. Al-Muntaha fi 'ilmi al-Jidal (Teori Diskusi) 12. Al-Madznun bihi 'ala ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada yang Bukan Ahlinya) 13. Mihaq al-Nadzar (Metode Logika) 14. Asraru ilm al-Din (Misteri Ilmu Agama) 15. Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Pokok Agama)
29
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 189
66
16. Iljam al-Awwam fi Ilm al-Kalam (Membentengi Orang Awam dari Ilmu Kalam) 17. Al-Qaul al-Jamil fi Raddi 'ala Man Ghayyar al-Injil (Jawaban jitu untuk Menolak Orang yang Mengubah Injil) 18. Mi'yar al-Ilmi (Kriteria Ilmu) 19. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam) 20. Itsbat al-Nadzar (Pemantapan Logika) b.Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh 1. Al-Basith (Pembahasan Yang Mendalam) 2. Al-Wasith (Perantara) 3. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat) 4. Khulashah al-Mukhtashar (Inti Sari Ringkasan Karangan) 5. Al-Mankhul (Adat Kebiasaan) 6. Syifa' al-'Alil fi al-Qiyas wa al-Ta'wil (Terapi yang Tepat pada Qiyas dan Ta'wil) 7. Al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah (Jalan Menuju Kemuliaan Syari'ah) c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf 1. Ihya 'Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) 2. Mizan al-'Amal (Timbangan Amal) 3. Kimya' al-Sa'âdah (Kimia Kebahagiaan) 4. Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya) 5. Minhaj al-'Abidin (Pedoman Orang yang Beribadah) 6. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat) 7. Al-Anis fi al-Wahdah (Lembut-Lembut dalam Kesatuan) 8. Al-Qurabah ila Allah 'Azza wa Jalla (Pendekatan Diri pada Allah) 9. Akhlaq al-Abrar wa Najat al-Asyrar (Akhlak Orang-Orang Baik dan Keselamatan dari Akhlak Buruk)
67
10. Bidayah al-Hidayah (Langkah Awal Mencapai Hidayah) 11. Al-Mabadi wal al-Ghayah (Permulaan dan Tinjauan Akhir) 12. Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis) 13. Nashihat al-Muluk (Nasihat untuk Raja-Raja) 14. Al-Ulum al-Ladduniyah (Risalah Ilmu Ketuhanan) 15. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci) 16. Al-Ma'khadz (Tempat Pengambilan) 17. Al-Amali (Kemuliaan) d.Kelompok Ilmu Tafsir 1. Yaqut al-Ta'wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode Ta'wil dalam Menafsirkan al-Qur'an) 2. Jawahir al-Qur'an (Rahasia-Rahasia al-Qur'an).
2. Pemikiran Al-Gazâlî tentang Konsep Ilmu Al-Gazâlî berbicara konsep belajar dimulai dengan konsep ilmu yang memang keduanya tali temali dan tidak bisa dipisahkan secara tegas. Ia mengupas masalah ilmu dimulai pada halaman enam. Menurut AlGazâlî jika manusia ingin selamat dan hendak beribadah, maka lebih dahulu harus mencari ilmu, karena ilmu itu pokok ibadah. Ketahuilah menurut Al-Gazâlî bahwa ilmu dan ibadah merupakan dua mutiara yang menyebabkan adanya apa yang dilihat dan didengar, seperti: kitab-kitab karangan para pengarang, pengajaran para pengajar, petuah para pemberi fatwa dan renungan para pemikir. Bahkan lanjut Al-Gazâlî karena ilmu dan ibadah maka kitab suci diturunkan dan para utusan diutus. Karena ilmu dan ibadah pula langit bumi seisinya ini diciptakan Allah.30 Ilmu dan ibadah merupakan bagian yang penting dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tanpa ilmu maka ibadah bisa menjadi keliru, sebaliknya ilmu tanpa ibadah akan menjadi sia-sia. Karena 30
Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, (Beirut: Dar-al-Fikri, tth), hlm. 6
68
keduanya harus dijalankan dan dipahami secara baik. Namun demikian ilmu sangat penting untuk menerangi cara ibadah yang benar dan diridhai Tuhan.31 Selain ilmu dan ibadah, maka menurut Al-Gazâlî merupakan perkara yang pasti hilang, rusak, tidak ada kebaikannya, kosong dan tidak ada faedahnya (faedah yang kekal). Ilmu itu lebih mulia dan lebih utama daripada ibadah. Meskipun demikian, manusia harus beribadah, selain berilmu. Jika ia tidak mau beribadah, maka ilmunya sama dengan debu yang bertaburan. Sebab, kedudukan ilmu bagaikan pohon, sedangkan ibadah bagaikan buah pohon tersebut Kemuliaan tentu menjadi milik pohon, karena pohon merupakan asal, tetapi pohon itu tidak ada gunanya kalau tanpa buah. Bila demikian kata Al-Gazâlî jelaslah bahwa hamba tidak bisa lepas dart ilmu dan Ibadah. Lebih jauh Al-Gazâlî mengutip Imam Al-Hasan Al-Bashriy yang berkata : "Tuntutlah ilmu ini tanpa merugikan ibadah dan lakukanlah ibadah tanpa merugikan ilmu". Manakala sudah ditetapkan bahwa hamba tidak boleh meninggalkan ilmu dan ibadah, maka harus diketahui pula bahwa ilmu lebih utama untuk didahulukan. Karena, ilmu merupakan asal dan menjadi petunjuk benar bagi ibadah. Selanjutnya menurut Al-Gazâlî, ilmu menjadi asal yang diikuti dan wajib didahulukan atas ibadah hanyalah karena dua hal: 1. Supaya bisa menghasilkan ibadah yang selamat dan benar. Sebab, pertama kali manusia wajib mengenal Allah yang disembah, kemudian beribadah
kepadaNya.
Bagaimana
mungkin
dapat
beribadah
(menyembah) Dzat yang tidak dikenal asma-Nya, sifat-sifat DzatNya, sifat-sifat yang wajib bagiNya dan sifat-sifat yang mustahil ada padaNya? Boleh jadi menurut Al-Gazâlî bahwa manusia mempunyai keyakinan yang menyimpang dari kebenaran mengenai Dzat dan sifatNya, sehingga mengakibatkan ibadah orang tersebut menjadi seperti debu yang bertebaran. Kemudian manusia wajib mengetahui 31
Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, juz 1, (Surabaya: Salim Nabhan, tth), hlm. 5
69
apa yang harus dilakukan, yaitu kewajiban-kewajiban agama menurut cara yang telah diperintahkan Allah untuk dilakukan. Selain itu wajib juga mengetahui larangan-larangan Allah yang harus ditinggalkan. Kalau tidak mengetahui, lalu bagaimana cara berbuat tha'at terhadap apa yang tidak diketahui itu, bagaimana cara mengerjakannya? Bagaimana cara melakukan sebagaimana mestinya, atau bagaimana cara dapat menjauhi maksiat, padahal orang itu tidak mengetahui bahwa itu maksiat ? Jadi kata Al-Gazâlî bahwa ibadah-ibadah menurut agama Islam seperti bersuci, salat, puasa dan sebagainya wajib diketahui hukum-hukumnya dan syarat-syaratnya, supaya dapat melaksanakannya dengan benar. Karena, boleh jadi manusia itu telah bertahun-tahun dan sudah lama melakukan perbuatan yang dapat membatalkan bersuci atau salatnya, serta tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah, sedangkan manusia tersebut tidak merasa, misalnya: melakukan sujud dengan menelentangkan telapak kaki, atau berwudlu yang
airnya
tidak
mengenai
seluruh
wajah.
Kadang-kadang
menghadapi kemusykilan, tetapi orang itu tidak menemukan orang yang bisa ditanyai tentang masalah yang menyulitkan hati itu, padahal orang itu tidak mengetahui hukumnya.32 2. Selanjutnya Al-Gazâlî menuturkan bahwa manusia wajib pula mengetahui larangan-larangan Allah yang berkaitan dengan perbuatan hati yang menjadi lawan dari perangai-perangai, seperti: benci kepada takdir Allah, melanturnya angan-angan tanpa mengingat akhirat, riya, takabur, yang kesemuanya itu harus dijauhi. Sebab, ibadah hati yang dituturkan di atas juga termasuk fardhu 'a'in yang ditetapkan dan diperintahkan Allah, serta dilarang perbuatan yang menjadi lawannya. Mungkin saja lanjut Al-Gazâlî bahwa manusia mengeluh dan membenci ketentuan (qadla) Allah, lalu menganggapnya sebagai merendah diri kepada Allah. Kadang-kadang riya benar-benar, tetapi mengira telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau sebagai ajakan 32
Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, op. cit, hlm. 7
70
kepada masyarakat berbuat baik, lalu manusia itu menghitung-hitung pahala dari Allah terhadap perbuatan maksiat (riya) ini. Manusia memperkirakan ganjaran besar di tempat siksa Allah. Jadi manusia tersebut berada dalam jaringan tipu-daya setan yang sangat besar dan kealpaan yang teramat buruk. Demi Allah kata Al-Gazâlî bahwa hal ini merupakan bencana yang sangat jelek bagi orang yang beramal tanpa ilmu. Selain apa yang tersebut di atas, sesungguhnya amal-amal lahiriyah itu ada hubungannya dengan amal-amal yang samar (amal hati). Amalamal hati ini bisa membaguskan amal lahir dan dapat pula merusakkannya Amal-amal hati itu seperti : ikhlas, riyaa, ujub, mengingat anugerah Allah dan sebagainya. Barang siapa tidak mengetahui amal-amal batin dan sebab-sebab berpengaruhnya pada ibadah lahiriyah, serta cara-cara memelihara amal lahir dan amal batin yang jelek, maka amal lahir orang tersebut tentu tidak dapat selamat dari kerusakan, akibatnya ia kehilangan amal lahir dan sekaligus amal batin. Yang tinggal pada dirinya tidak ada lain kecuali celaka dan kepayahan. Ini merupakan kerugian yang nyata.
33
Tha'at dan ibadah tidak bisa berhasil bagi hamba dan tidak dapat selamat, jika tidak menggunakan ilmu, karena itu wajib mendahulukan ilmu yang ada hubungannya dengan ibadah. 3. Penyebab kedua orang wajib mendahulukan ilmu ialah: Ilmu yang bermanfaat itu bisa menimbulkan rasa takut kepada Allah.34 Ilmu kata Al-Gazâlî dapat menimbulkan bermacam-macam laku tha'at dan mencegah berbagai maksiat, dengan mendapat pertolongan Allah. Selain dua hal ini (timbulnya tha'at dan tercegahnya maksiat), bukanlah menjadi tujuan hamba dalam beribadah kepada Allah. Lalu ilmu apakah yang menuntutnya dianggap fardlu itu ? Dan apakah batasan ilmu yang wajib dihasilkan oleh hamba dalam masalah ibadah? Selanjutnya AlGazâlî menjawab bahwa ilmu yang fardhu menuntutnya itu secara global
33 34
Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Juz 1, op. cit, hlm. 6 Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, op. cit, hlm. 7
71
ada tiga yaitu: Ilmu Tauhid, Ilmu Sirri: Ilmu yang berhubungan dengan gerak hati dan Ilmu Syari'ah. Adapun batas kewajiban mempelajari tiga ilmu ini adalah sebagai berikut: 1. Dari Ilmu Tauhid. Sekedar mengetahui
bisa
bahwa
mengetahui Tuhan
Maha
pokok-pokok mengetahui,
agama Maha
seperti kuasa
berkehendak, hidup dan berfirman, mendengar dan melihat, Maha Esa tanpa ada yang menyukutuiNya, mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, bersih dari sifat kekurangan dan kemusnahan, bersih dan tanda-tanda kebaruan, menyendiri dengan sifat qidam dari setiap yang baru. Juga mengerti bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan UtusanNya, dan membenarkan semua yang diterangkan Nabi SAW seperti mengenai akhirat. Kemudian mengetahui tanda sunnah Rasulullah. Dalam kondisi ini Al-Gazâlî memeperingatkan agar hati-hati yakni jangan sampai membuat bid'ah dalam agama Allah tanpa berdasar Al-Qur'an atau Atsar (Hadis Nabi atau perkataan para shahabat beliau), yang bisa mengakibatkan manusia tersebut berada dalam kedudukan yang mengkhawatirkan di hadapan Allah Ta'ala. Secara umum kata Al-Gazâlî bahwa segala hal yang tidak dimengerti seseorang, lalu orang itu merasa tidak aman dari kerusakan, maka adalah fardlu 'ain mencari ilmunya dan tidak boleh meninggalkannya. Inilah keterangan yang benar, demikian tegas AlGazâlî. 2. Dari Ilmu Sirri. Yang termasuk fardlu 'ain mempelajarinya ialah: mengetahui mana yang wajib dikerjakan dan mana yang wajib ditinggalkan, supaya seseorang dapat benar-benar mengagungkan Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, niat yang benar dari selamatnya iman. 3. Dari Ilmu Syari'ah.
72
Yang dianggap fardlu 'ain mempelajarinya yaitu mengetahui seluk-beluk perbuatan yang difardlukan kepada manusia, agar dapat mengerjakannya dengan benar. Misalnya: bersuci dan salat. Adapun haji, zakat dan jihad, jika memang telah menjadi fardlu 'ain bagi orang itu, maka mengetahui' ilmunya juga fardlu 'ain, supaya bisa mengerjakannya dengan benar.35 Untuk memperkuat pendapat dan uraiannya, Al-Gazâlî menggunakan dalil-dalil di bawah ini:36
(122 :ﻳ ِﻦ )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔﻮﹾﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﺘ ﹶﻔ ﱠﻘﻬﻴﻢ ﻃﹶﺂِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ ﱢﻟ ﻬ ﻨﻣ ﺮﹶﻗ ٍﺔ ﺮ ﻣِﻦ ﹸﻛﻞﱢ ِﻓ ﻧ ﹶﻔ ﻮ ﹶﻻ ﹶﻓﹶﻠ Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (Q.S. At-Taubah: 122)37
(43 :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﻨﺤﻞﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﻢ ﹶﻻ ﺘﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ِﺮ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ ﺳﹶﺄﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﺃ ﻓﹶﺎ Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. An-Nahl: 43)38
ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪﺭﺳ ﺮ ﹶﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﹶﺃﻥﱠ ﻳﺮ ﻦ ﹶﺃِﺑﻲ ﻫ ﻋ ـ ِﺔﺠﻨ ِﺑ ِﻪ ﹶﻃﺮِﻳﻘﹰﺎ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﻪ ﹶﻟﻪ ﻬ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ﺳ ﺎ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻋ ﹾﻠﻤﺘ ِﻤﺲﻳ ﹾﻠ ﻚ ﹶﻃﺮِﻳﻘﹰﺎ ﺳﹶﻠ ﻦ ﻣ ﻭ ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ 39
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: barangsiapa menempuh jalan bertujuan mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (H.R. Muslim).
35
Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Juz 1, op. cit, hlm. 6 Ibid, hlm. 9 37 Soenaryo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1978), hlm. 301 38 Ibid., hlm. 408. 39 Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf al-Dimasqi. Riyad as-Salihin, (Beirut: al Ijtimaiyah tth), hlm. 529. 36
73
ـ ِﻪﻋﹶﻠﻴ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍﺭﺳ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﺮ ﹶﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻳﺮ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫ ﻋ ﻩ ﺍ ﹶﻻـﺎ ﻭﻭﻣ ﺎﱃﺗﻌ ﷲ ِ ﺍﺎ ِﺇﻻﱠ ِﺫ ﹾﻛﺮﺎ ﻓِﻴﻬﻮ ﹲﻥ ﻣﻣ ﹾﻠﻌ ﻧ ﹲﺔﻌﻮ ﻣ ﹾﻠ ﺎﻧﻴﺪ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺍﻟ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ (ﻌِّﻠﻤﹰﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ﺘﻣ ﻭ ﺎ ﹶﺃﺎِﻟﻤﻭﻋ 40
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Dunia itu terkutuk dan terkutuk pulalah isinya, kecuali zikir dan taat kepada Allah Ta'ala, orang alim dan orang yang belajar. (HR. Turmudzi).
ـ ِﻪﻋﹶﻠﻴ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﻮ ِﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻦ ﻋ ﻱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺪ ِﺭ ﺨ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺍﹾﻟ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻋ ـ ﹸﺔ )ﺭﻭﺍﻩﺠﻨ ﻩ ﺍﹾﻟ ﺎﺘﻬﻨﻣ ﻳﻜﹸﻮ ﹶﻥ ﻰﺣﺘ ﻴ ِﺮﺧ ﻦ ﻦ ِﻣ ﺆ ِﻣ ﻣ ْ ﻊ ﺒﺸ ﻳ ﻦ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟ ﺳﻠﱠ ﻭ (ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ 41
Artinya: Dari Anas ra., ia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: "Barangsiapa ke luar rumah untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai pulang". (HR. Turmudzi).
ﻢ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﷲ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍﺭﺳ ﻣ ﹶﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﹶﺃﻥﱠ ﺎﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﹸﺃﻣ ﻋ ﺻﻠﱠﻰ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻢ ﹸﺛﻢ ﺎ ﹸﻛﺩﻧ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ ﻀﻠِﻲ ﺎِﺑ ِﺪ ﹶﻛ ﹶﻔﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻌ ﺎِﻟ ِﻢﻀﻞﹸ ﺍﹾﻟﻌ ﹶﻓ ﻤﻠﹶـ ﹶﺔ ﻓِـﻲ ﻨﻰ ﺍﻟﺣﺘ ﺽ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﻭﹶﺃ ﺘﻪﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﻭ ﷲ َ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍ ﺳﻠﱠ َ ﺍﷲ ﺮ )ﺭﻭﺍﻩ ـﺨﻴ ﺱ ﺍﹾﻟ ِ ـﺎﻌِّﻠﻤِـﻰ ﺍﻟﻨ ﻣ ﻋﻠﹶﻰ ﺼﻠﱡﻮ ﹶﻥ ﻴﺕ ﹶﻟ ﻮﻰ ﺍﹾﻟﺤﺣﺘ ﻭ ﺎﺤ ِﺮﻫ ﺟ (ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ 42
Artinya: Dari Abu Umamah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Keutamaan seorang alim dibandingkan dengan seorang ahli ibadah, adalah laksana keutamaan diriku dibanding dengan orang yang paling rendah di antara kalian." Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah, para malaikatNya, dan penghuni semesta langit, bahkan semut di lubangnya, bahkan ikan-ikan bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang lain." (HR. Turmudzi). 40
Ibid., hlm. 530 Ibid., hlm. 530. 42 Ibid., hlm. 531 41
74