BAB III KONSEP PUASA MENURUT M. QURAISH SHIHAB
3.1. Biografi M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Pebruari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren al-Hadits al-Faqihiyah, mulai dari Tsanawiyah hingga Aliyah.. Selanjutnya, M. Quraish Shihab melanjutnya pendidikan tingginya di Al-Azhar, Kairo. Tahun 1967, dia meraih gelar sarjana (Lc) dari Fakultas Ushuluddin Departemen Tafsir Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutnya pendidikanya pada fakultas yang sama hingga memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969, dengan menulis tesis Al-Izaj al-Tasyri’i li al-Qur’an al-Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang, M. Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor Bindang Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin Ujung Pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di IAIN seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur) maupun di luar IAIN, seperti Pembantu Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang Pembinaan Mental. Selama di Ujung Pandang, ia sempat melakukan penelitian, misalnya penelitian masalah “Penerapan
33
34
Kerukunan Hidup di Indonesia Bagian Timur” (1975) dan masalah “Wakaf Sulawesi Selatan” (1978). Tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir, untuk melanjtunya studinya ke Program Doktor (S-3) pada almamaternya yang dulu, Universitas al-Azhar. Tahun 1984, ia dapat menyelesaikan studinya dengan menulis desertasi Nazam al-Durar Li al-Biqaiy Tahqiq wa alDirasah, dan berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium summa cumlaude, disertai penghargaan Tingkat I (Mumtaz Ma’a Mataba’at al-Syaraf al-‘Ula). Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Syarif Hidayatullah), bahkan sempat menjabat sebagai rektor. Selain aktivitasnya di IAIN, ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), Ketua Lembaga Pengembanagan al-Qur’an, Menteri Agama RI (1997), dan Duta Besar Indonesia di Mesir. Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain; Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri (M. Quraish Shihab, 1995: iix).
35
M. Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis seperti menulis dalam rubrik Pelita Hati, mengasuh rubrik Tafsir al-Amanah dalam majalah yang terbit dua mingguan di Jakarta, dan mengasuh salah satu rubrik tanya jawab seputar agama di Harian Republika. Selain itu, dia juga sempat tercatat sebagai dewan redaksi Jurnal Ulum al-Qur’an, dan Mimbar Utama yang keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk buku-buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, ia juga menulis buku-buku terutama tafsir al-Qur’an, antara lain; Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan, Wawasan alQur’an, Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surat-surat Pendek, Jilbab; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer, dan beberapa buku kumpulan fatwa-fatwanya yang pernah dimuat di media seperti di Harian Republika.
3.2. M. Quraish Shihab dan Pemikirannya tentang Islam Nama M. Quraish Shihab tidak asing lagi dalam kajian keislaman di Indonesia, terutama dalam bidang tafsir. Ia dikenal rendah hati dan tidak pernah menggurui. Ulasannya yang mudah dipahami dan logis-realistis, kerap membuat para pembaca dan penonton televisi terkesan karena kemampuannya menjelaskan setiap persoalan ketika mengasuh rubrik di Harian Republika maupun tampil di telivisi ketika momentum Ramadhan.
36
Seiring dengan laju perkembangan zaman, berkembang pula problematika yang dihadapi oleh manusia yang sebelumnya belum dikenal. Bagi umat Islam, problematika tersebut tentunya memerlukan pemecahan hukum agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Beberapa persoalan kontemporer seperti operasi plastik, euthanasia, dan kloning kerap kali muncul dan lagi-lagi belum ada pemecahan yang didasarkan pada perspektif hukum Islam atau fiqh yang memuaskan. Padahal, sebenarnya jika merujuk kembali pada ortodoxi Islam (al-Qur’an dan hadits), persoalanpersoalan tersebut dapat ditemukan rujukannya walaupun secara eksplisit dan dengan kerangka pemahaman modern tentunya (M. Quraish Shihab, 2001: vii-viii). Pada dataran tersebut, M. Qurash Shihab mencoba tampil memberikan beberapa solusi dengan fatwa-fatwanya seputar persoalan agama, terutama persoalan aktual yang belum pernah muncul sebelumnya. Berawal dari rubrik tanya jawab yang dimuat di Harian Republika, tampil di televisi, kemudian tanya jawab tersebut dibukukan dalam beberapa buku fatwa, ataupun buku-buku lain. Ketika memberikan fatwa-fatwanya, ataupun mengemukakan gagasannya yang dituangkan dalam bentuk buku, kerangka pemikiran keislaman M. Qurasih Shihab banyak merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadits, di samping juga banyak mengungkapkan pendapatnya sendiri dengan disertai analisa-analisa yang logis dengan mengedepankan aspek kemaslahatan. Terkadang juga dengan merujuk pada pendapat ulama terdahulu yang masih relevan.
37
Salah satu contoh fatwa yang dikemudkan M. Quraish Shihab, dapat disimak ketika memberikan jawaban pada persoalan boleh tidaknya membagi harta warisan dengan membagi rata kepada seluruh ahli waris yang seluruhnya sepakat dengan pola pembagian tersebut dengan tidak adanya keterpaksaan. M. Quraish Shihab memberikan jawaban bahwa: “harta warisan adalah hak masing-masing ahli yang berdasar anugerah Allah dan berdasar ketetapan-Nya. Jika salah seorang di antara mereka bersedia memberi haknya kepada orang lain, atau semua ahli waris sepakat membaginya secara rata, maka hal itu dapat dibenarkan. M. Quraish Shihab selanjutnya berargumen; “bukankah harta tersebut telah menjadi milik dan wewenang masing-masing?” Tentu saja ini selama pembagian secara rata itu bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan Allah tidak adil dan atau keliru. Karena jika demikian, ini berarti menolak ketetapan Allah sehingga mengakibatkan kemurtadan” (M. Quraish Shihab, 2001: 87-88). Jika disimak, jawaban tersebut memberikan nuansa bahwa di bidang fiqh atau hukum Islam, wawasan agama didasarkan pada prinsip-prinsip yang jelas, dan dengan tujuan memelihara agama, jiwa, jasmani, harta benda, dan kehormatan. Hukum-hukum ditetapkan dengan memperhatikan bahkan
memilih yang
mudah serta tidak
sebagaimana disebutkan dalam
memberatkan manusia,
kaidah fiqh idza dzaqa al-sya’a il-tasa’
(apabila sesuatu telah sempit pasti lahir dari kesempitan itu ketetapan hukum yang lapang). Karenanya, ada ketetapan-ketetapan hukum yang
38
berbeda dengan hukum dasar sebagai akibat lahirnya kebutuhan mendesak atau darurat, di samping ada rukhshah (izin dan kemudahan-kemudhan yang telah ditetapkan sejak semula). Di samping mudah, ia logis dan tidak dogmatis karena ketetapan-ketetapan hukumnya didasarkan pada illah-illah yang logis lagi terukur. Itu semua demi mencapai kemaslahatan. Sedemikian besar peranan tolok ukur wawasan ini sehingga teks-teks keagamaan dapat dipahami secara metafora atau ditakwilkan jika makna lahiriannya setelah dikaji secara logis dan terukur bertentangan dengan kemaslahatan. Fiqh sendiri merupakan pemahaman atau ilmu yang diperoleh melalui jalan ra’yu (pemikiran) dan ijtihad dengan menggunakan observasi dan penyelidikan, karenanya terkadang masih bersifat samar. Dengan kata lain, fiqh itu masih dalam dataran prediksi. Dapat pula dikatakan bahwa fiqh merupakan sekumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diistinbathkan dari dalil-dalil yang rinci. Karenanya, tidak berlebihan jika M. Yusuf al-Qardlawi menyatakan bahwa fiqh merupakan buku-buku fiqh atau ensiklopedi fiqh, atau sekumpulan atau seperangkat hukum-hukum yang telah dibukukkan (dikodifikasi) (M. Yusuf al-Qardlawi, 1997: 17-18). Itualah nuansa pemahaman M. Quraish Shihab dalam memecahkan problematika riil kontemporer. Nampaknya, M. Quraish Shihab juga ingin membuktikan bahwa kedua sumber rujukan Islam (al-Qur’an dan hadits), selalu siap untuk dijadikan tolok ukur untuk memecahkan problematika yang dihadapi oleh manusia modern. Memang ada sebagian orang yang menganggap bahwa umat Islam saat ini masih tertidur panjang, tetapi
39
sebenarnya tidak mati. Jika umat Islam saat ini tergolong terbelakang, tetapi tidak salah jalan atau sesat. Itu semua jika masih dalam berpegang pada ajaran agama. Ketika kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) mengalami puncaknya, tidak henti-hentinya kedua sumber ajaran Islam mempersembahkan buah pemikiran yang segar jika selalu dikaji, walaupun kemajuan umat Islam dalam bidang tersebut masih jauh dari harapan. M. Quraish Shihab mau membuktikan bahwa Islam juga dapat dijadikan petunjuk bagi seluruh manusia dan untuk seluruh masa. Selain itu, M. Quraish
Shihab
juga
ingin
membuktikan
bahwa
Islam
selalu
menghubungkan manusia dan segala aktivitasnya dengan Allah S.W.T. Walaupun perhatian tertuju kepada manusia, atau alam, tetapi pikiran dari Allah dan bimbingan-Nya, kendati dalam persoalan kecil dan semudah apapun. Pada konteks ini perlu dicatat beberapa ciri yang menonjol dan sekaligus merupakan landasan yang membentuk wawasan keagamaan dan pandangan agama Islam (M. Quraish Shihab, 2001: ix). Itulah gambaran singkat pokok pemikiran M. Quraish Shihab mengenai keislaman secara makro, di samping gagasan-gagasannya mengenai tafsir. Dia pulalah yang ikut andil dalam memperkenalkan metode tafsir maudhu’i (tematik) di Indonesia dalam beberapa karyanya.
40
3.3. Pandangan M. Quraish Shihab mengenai Puasa Menurut M. Quraish Shihab bahwa puasa dalam tinjauan hukum adalah seseorang berkewajiban megendalikan dirinya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan makan, minum, dan hubungan seks (fa’ali) dalam waktu tertentu, sekaligus berusaha mengembangkan potensinya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan “peta” Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Hakikat dalam menjalankan puasa sendiri adalah adanya hal-hal yang harus dibatasi selama melakukan puasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran untuk melakukan segala macam dosa. Sebab, shiyam atau shaum pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa disamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa (M. Quraish Shihab, 1998: 532). Hadits qudsi yang menyatakan antara lain bahwa; “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, menurut M. Quraish Shihab dipersamakan dengan firman Allah dalam surat al-Zumar (39) ayat 10:
.ﺏ ٍ ﺎﺤﺴ ِ ِﻴﺭ ﻡ ﺒِ ﹶﻐ ﻫ ﺭ ﺠ ﻥ َﺃ ﻭﺎ ِﺒﺭﻭﻓﱠﻰ ﺍﻟﺼ ﻴ ﺎ ِﺇ ﱠﻨﻤ... “… Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (Q.S. al-Zumar [39]: 10).
yang
Menurut Quraish Shihab orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Menurutnya, tidak dapat disangkal bahwa puasa merupakan suatu kewajiban yang memerlukan kesabaran. Allah dengan segala kemurahan-Nya bermaksud memberi imbalan bagi yang memenuhi
41
apa yang diwajibkan-Nya itu. Untuk itu Allah menegaskan kedekatan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, khususnya mereka yang berpuasa, dan menganjurkan kepada mereka agar dalam berpuasa memperbanyak permohonan dan harapan kepada Allah (M. Quraish Shihab, 2000: 381). Mengenai tujuan puasa, menurut Quraish Shihab sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu la’allakum tattaquun. Untuk memehami tujuan tersebut perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw. Seperti hadits berikut:
رب ﺻﺎﺋﻢ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺻﻴﺎﻣﻪ اﻻ اﻟﺠﻮع “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. (H.R. Bukhari). (M. Yusuf alQardlawi, 1998: 87). Menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama puasa. Ini dikuatkan oleh al-Qur’an bahwa Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan. Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya; puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan, dan tidak ada yang mengetahui selain dirinya dan Allah. Sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saatsaat tertentu dari siang hari puasa. Menurut Quraish Shihab ada motivasi menahan diri dari keinginan itu. Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
42
mereka. Dengan demikian, orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah S.W.T. dan ini merupakan keunikan tersendiri (M. Quraish Shihab, 1998: 531). Sementara ada yang berpandangan bahwa orang yang melakukan puasa dengan berbagai motif, misalnya sebagai protes sosial, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagainya. Namun demikian seseorang yang berpuasa dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh al-Qur’an, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata. Taqwa sebagai salah satu tujuan puasa, menurut Quraish Shihab berarti menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti; “hindarilah, jauhillah, atau jagalah dirimu dari Allah” (M. Quraish Shihab, 1998: 531). Makna takwa tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada”. Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa, atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Siksa Allah sendiri menurut Quraish Shihab ada dua macam; Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya
berlaku di alam raya ini, seperti “ makan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit. Tidak mengendalikan diri dapat
43
menjerumuskan kepada bencana, atau api panas dan membakar, dan hukumhukum alam dan masyarakat lainnya. Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syari’at, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lainlain yang dapat mengakibatkan siksa neraka (M. Quraish Shihab, 1998: 531). Selanjutnya, Quraish Shihab berpendapat bahwa “menghindari siksa atau hukum Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintah-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah S.W.T.). Rasa takut ini pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah S.W.T. (yang menyiksa)”. (M. Quraish Shihab, 1998: 532). Dengan demikian, yang bertaqwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah S.W.T. setiap saat. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal ini, antara lain dengan jalan berpuasa. Sisi keunikan lain dari ibadah puasa ini menurut Quraish Shihab karena sebagai upaya manusia meneladani Allah S.W.T. Sebab, hakikatnya beragama merupakan upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Manusia menurut Quraish Shihab mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa’ali yaitu makan, minum
44
dan hubungan seks. Allah S.W.T. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
... ﻦ َﻟ ُﻪ ْ ن َﻟ ُﻪ َو َﻟ ٌﺪ َوَﻟ ْﻢ َﺗ ُﻜ ُ َأﻧﱠﻰ َﻳﻜُﻮ... “… Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri …?” (Q.S. al-An’am [6]: 101). Allah S.W.T. juga berfirman dalam surat al-Jin ayat 3:
.ﺣ َﺒ ًﺔ َوﻟَﺎ َو َﻟﺪًا ِ ﺨ َﺬ ﺻَﺎ َ ﺟ ﱡﺪ َر ﱢﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ا ﱠﺗ َ َوَأ ﱠﻧ ُﻪ َﺗ َﻌﺎﻟَﻰ “Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak”. (Q.S. al-Jin [72]: 3). Al-Qur’an juga memerintahkan Nabi S.a.w. untuk menyampaikan ayat demikian:
… ﻄ َﻌ ُﻢ ْ ﻄ ِﻌ ُﻢ َوﻟَﺎ ُﻳ ْ ض َو ُه َﻮ ُﻳ ِ ت وَا ْﻟ َﺄ ْر ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻃ ِﺮ اﻟ ﱠ ِ ﺎ ﻓَﺎﺨ ُﺬ َو ِﻟﻴ ِ ﻏ ْﻴ َﺮ اﻟﱠﻠ ِﻪ َأ ﱠﺗ َ ُﻗ ْﻞ َأ “Apakah Aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan …?” (Q.S. alAn’am [6]: 14). Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontoh sifat-sifat Allah tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berpuasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Menurut Quraish Shihab, tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada contoh di atas, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk Ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Damai, Maha Kuat, Maha Mengetahui, dll. sehingga dengan puasa dapat menumbuhkan kepekaan sosial. Upaya
45
peneladan tersebut menurut Quraish Shihab dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka taqwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai. Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut, bukan pada sisi lapar dan dahaga, sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi S.a.w. menyatakan bahwa “banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (M. Quraish Shihab, 1998: 533). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa menurut Quraish Shihab, ada tiga hikmah yang terkandung dalam puasa, yaitu; untuk melatih kesabaran sehingga dapat mengekang nafsu yang menguasai jiwa, untuk memperoleh taqwa atau terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa yang mendatangkan siksa Allah, dan upaya untuk meneladani sifat-sifat Allah.