BAB I PUASA MENURUT QURAISH SHIHAB DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEHATAN MENTAL
1.1. Latar Belalakang Masalah Manusia sebagai hamba Allah S.W.T. lahir ke dunia ini adalah dalam keadaan suci (fithrah). Suci dari noda dan dosa. Namun setelah sekian lama hidup dan berinteraksi dengan sesama makhluk dan lingkungan, maka sadar atau tidak sadar manusia telah banyak melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan timbulnya dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Allah S.W.T. telah memberikan perangkat akal dan nafsu agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, tidak jarang akal manusia dikendalikan oleh nafsunya, sehingga timbullah dosa. Dengan demikian, manusia telah keluar dari fitrahnya yang suci itu. Manusia bisa terganggu kesehatan mentalnya, akibat dari dosa-dosa yang ada dalam dirinya. Beberapa perbuatan seperti berdusta, menipu, korupsi, berzina, membunuh, dan sebagainya, adalah sebenarnya perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani pelakunya. Perbuatan-perbuatan dosa tersebut tidak akan dilakukan oleh orang yang memiliki derajat takwa yang tinggi. Sebab, secara sederhana taqwa sendiri diartikan sebagai mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. Perbuatanperbuatan dosa seperti menipu, korupsi, berdusta merupakan larangan keras dari Allah S.W.T. (Maratua Simanjuntak, 2001: 67-68).
1
2
Setiap perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hati nurani, pasti akan menimbulkan konflik batin. Konflik batin merupakan konflik dalam diri manusia sendiri. Apabila konflik tersebut berkepanjangan dalam diri seseorang, maka lama kelamaan akan timbul berbagai bentuk gangguan kejiwaan, seperti stres, cemas, selalu curiga, minder, phobi/takut dan sebagainya. Ironisnya, berbagai gangguan mental tersebut justru dapat membawa dampak negatif terhadap kesehatan fisik/tubuh. Sehingga terjadi pula gangguan pada organ-organ tubuh dalam berbagai bentuk keluhan si penderita, seperti darah rendah, lever, eksim, dan sebagainya. Semua keluhan itu tergolong dalam penyakit psikosomatis (penyakit jasmani akibat gangguan
kejiwaan).
Keluhan
itu
tidak
akan
sembuh
selama
ketidakseimbangan jiwanya belum dipulihkan (A. Nazri Aldani, 2001: 71). Banyak cara yang ditawarkan oleh agama untuk menyucikan jiwa, di antaranya melalui puasa. Puasa, di samping sebagai tindak ibadah, juga sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan, sebab puasa merupakan bentuk pengabdian dan cara mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, maka akan merasakan ketenangan batin. Seperti hal ibadah-ibadah lainnya, hikmah ibadah puasa tidak terhitung banyaknya yang kebanyakan tidak bisa diketahui terutama hikmah yang bersifat ruhaniah. Misalnya bagaimana puasa menjadi benteng terhadap api neraka, dapat menghapuskan dosa fitnah, dan dapat mengantarkan manusia ke gerbang kerajaan Ilahi, merupakan hikmah-
3
hikmah ruhaniah yang tidak dapat diketahui prosesnya. Ini tidak mengherankan, karena masalah ruh adalah urusan Allah, dan puasa adalah ibadah untuk Allah semata-mata yang mendapat ganjaran langsung, dan tidak terbatas dari Allah S.W.T. sendiri. Dengan demikian, kalaupun terdapat hikmah dan faedah puasa untuk kesehatan tubuh dan kematangan jiwa serta meningkatkan keakraban sosial, hal- itu sama sekali tidak menggantikan fungsi puasa sebagai perbuatan ibadah yang hikmahnya bersifat ruhaniah. Ibadah puasa bila direnungkan akan banyak sekali ditemukan hikmah dan manfaat psikologis, misalnya saja bagi mereka yang senang berfikir mendalam dan merenungkan kehidupan ini puasa mengandung falsafah hidup yang luhur dan mantap, dan bagi mereka yang senang mawas diri dan berusaha turut menghayati perasaan orang lain akan menemukan dalam puasa prinsip-prinsip hidup yang sangat berguna. Sedangkan bagi mereka yang ingin melakukan ibadah secara intensif, pada bulan puasalah kehidmatan ibadah itu akan mereka hayati. Disadari ataupun tidak, puasa akan memberi pengaruh positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will), karya (performance), bahkan kepada ruh manusia, apabila rukun dan syaratnya dipenuhi dan dilakukan dengan penuh sabar dan ikhlas. Bila digali lebih dalam akan ditemukan lebih banyak lagi hikmah psikologis dari ibadah puasa (Aslim D. Sihotang, 2001: 251-254). Apalagi jika melihat tujuan utama dari pada puasa, yaitu untuk memperoleh derajat takwa, dan dapat meneladani sifat-sifat Allah,
4
sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab. Menurutnya, bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukanlah tujuan utama puasa. Beragama menurut M. Quraish Shihab merupakan upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontoh sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa) dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada (M. Quraish Shihab, 1998: 530). Tentu saja, sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal, tetapi mencakup sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai hamba, misalnya Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Damai, dll. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, sehingga diperoleh ketenangan. Apabila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa sebagaimana pengertian sesungguhnya dapat dicapai sebagai tujuan puasa (M. Quraish Shihab, 1998: 531). Nampaknya, tujuan puasa sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dapat dikembangkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Kalau hawa nafsu seseorang sudah dapat dikuasai, dengan sendirinya apa yang dimaksudkan dengan gangguan kejiwaan dapat dicegah, karena memang dorongan nafsu itulah akar permasalahan timbulnya penyakit mental.
5
Puasa sebagaimana gagasan M. Quraish Shihab dapat mengantar manusia ke derajat taqwa dan peneladaan sifat-sifat Allah, akhirnya akan mampu mengantar manusia untuk menormalisir kesehatan mentalnya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa puasa merupakan salah satu pencegah dari gangguan kejiwaan dan faktor yang terpenting dalam mewujudkan mental yang sehat. Jiwa merasa tenang, tentram, dan bahagia. Atas dasar itu pulalah penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap pemikiran M. Quraish Shihab mengenai “Puasa dan Implikasinya terhadap Kesehatan Mental”.
1.1. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dan akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pemikiran M. Quraish Shihab tentang puasa? 2. Bagaimanakah hubungan pemikiran M. Quraish Shihab tentang puasa terhadap kesehatan mental?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat, maka penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Untuk mendeskripsikan pemikiran M. Quraish Shihab mengenai puasa. 2. Untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab mengenai puasa dan hubungannya dengan kesehatan mental.
6
Setelah dikemukakan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan informasi dan acuan bagi praktisi bimbingan dan konseling Islam dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling Islam. 2. Secara teoritis dapat menambah khazanah keilmuan bimbingan dan konseling Islam dan dapat dikembangkan lebih lanjut.
1.4. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai puasa dan kesehatan mental telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk buku, ataupuan tulisan-tulisan lain. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai posisi penelitian ini di hadapan karya yang sudah, berikut penulis kemukakan beberapa tulisan yang relevan. Lutfiyah (1997) dalam skripsinya “Puasa dalam Tradisi Sufisme Menurut Imam al-Ghazali” menyebutkan bahwa puasa dalam tradisi sufisme menurut al-Ghazali adalah menjaga pandangan dalam melihat sesuatu yang akan melahirkan hati mengingat Allah. Rahasia yang terkandung dalam puasa di antaranya memperlemah fisik dari sarana syetan untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan jahat. Puasa juga sangat berpengaruh bagi tradisi sufi, yaitu dalam menahan hawa nafsu dan syahwat, bukan menambah kekuatan syahwat. Jumiati (2003) menulis skripsi “Pemikiran al-Ghazali tentang Syukur, Kufur
dan
Implikasinya
terhadap
Kesehatan
Mental”.
Skripsi
ini
7
mengungkapkan bahwa syukur menurut al-Ghazali tersusun menjadi tiga bagian, ilmu, hal (keadaan) dan amal (perbuatan). Sedangkan syukur yaitu menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata datang dari Allah S.W.T. dan menyatakan kegembiraan karena memperoleh kenikmatan tadi serta menggunakan nikmat tersebut. Syukur dilakukan dengan tiga cara; lisan, hati, dan perbuatan. Implikasi syukur terhadap kesehatan mental diwujudkan dengan beriman, bertakwa, qana’ah, hatinya tentram, suka berbuat baik, mengetahui potensi yang ada dalam dirinya maupun yang ada dalam lingkungannya
dan
mudah
berintegrasi
terhadap
diri
sendiri
dan
lingkungannya. Semua ini merupakan indikator-indikator yang dibutuhkan dalam kesehatan mental sebagai upaya preventif, kuratif, dan developmental bagi kesehatan jiwa. Karena dengan bersyukur dapat menghilangkan kecemasan, riya, tidak qana’ah, selalu merasa tidak puas yang dapat mengakibatkan kecemasan dan konflik-konflik batin. Barakah Arbaiyah (2000) menulis “Kesehatan Mental dan Urgensinya bagi Integritas Kepribadian”. Skripsi ini mengungkapkan bahwa integritas kepribadian merupakan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri dan kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup dan kesanggupan mengatasi emosi (stres). Dengan kepribadian yang integrital maka kehidupannya akan seimbang. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai mental yang sehat karena keseimbangan prinsip dalam hidup yang akan mendapatkan ketenangan batin dan terhindar dari gangguan penyakit jiwa.
8
Berdasarkan beberapa penelitian yang diilustrasikan di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap “Puasa Menurut M. Quraish Shihab dan Hubungannya dengan Kesehatan Mental”. Tanpa sikap a priori penulis berkesimpulan selama ini belum ada kajian yang secara khusus mengkaji topik yang akan penulis angkat.
1.5. Kerangka Teoritik Berbicara mengenai kesehatan mental, perlu kiranya mengemukakan beberapa pendapat ahli mengenai batasan kesehatan mental itu sendiri. Zakiah Daradjat (1984: 4) berpendapat bahwa yang dimaksud kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan dan bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia dunia dan akhirat. Sri Rahayu Partosuwido sebagaimana dikutip oleh Thohari Musnamar mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah adanya keseimbangan mental (mental equilibrium) yang harmonis sehingga dapat memecahkan problema-problema hidupnya secara sehat (Thohari Musnamar, 1992: viii). Sedangkan Hamdani Bakran al-Dzaky (2001: 447) mengemukakan bahwa dari sudut pandang Islam, mental yang sehat adalah terintegrasinya jiwa muthma’innah (jiwa yang tentram), jiwa ruhiyyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa mardhiyah (jiwa yang diridhai).
9
Ciri-ciri orang yang memiliki mental sehat adalah apabila; pertama, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Kedua, mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan lingkungannya secara baik terutama terhadap perubahan yang biasa terjadi. Ketiga, mampu mengembangkan segala daya, potensi dan bakat secara optimal. Keempat, adanya kesesuaian antara fungsi-fungsi kejiwaan. Kelima, dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan diri untuk menghadapi masalah yang biasa terjadi. Keenam, dapat menjawab tantangan hidupnya dengan baik. Ketujuh, beriman dan bertakwa kepada Allah S.W.T. (Umar, 2000: 34). Seseorang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tingggi, ia akan memperoleh ketenangan dan ketentraman batin dalam hidupnya. Bila ia menghadapi suatu problematika hidup, ia menghadapinya dengan sadar dan tidak mudah putus asa, karena sebenarnya dalam diri manusia tauhid (yang beriman) tidak terjadi putus asa. Reaksi-reaksi kompensasi dan mekanisme pertahanan diri yang sifatnya merugikan (Zakiah Daradjat, 1982: 40-41). Faktor-faktor yang mempengaruhi mental seseorang menjadi sehat atau terganggu, secara umum ada dua; pertama, faktor intern, yaitu faktor dari dalam diri seseorang seperti keimanan, ketakwaan, sikap menghadapi problema hidup, keseimbangan dalam berpikir, dan kondisi kejiwaan seseorang. Kedua, faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang seperti kondisi lingkungan baik lingkungan keluarga, masyarakat,
10
maupun lingkungan pendidikan seseorang, dan keadaan ekonomi (Zakiah Daradjat, 1990: 15). Menurut Kartini Kartono, bahwa orang yang tidak sehat mentalnya ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis, iri hati, cemburu, kemarahan-kemarahan yang eksplosif, dan ketegangan batin yang kronis (Kartini Kartono, 1989: 5). Penyembuhan terhadap gangguan kejiwaan (neurosis) adalah dengan menggunakan metode bimbingan dan konseling. Sedangkan penyembuhann terhadap penyakit kejiwaan (psikosis) dengan metode psikoterapi (M. Hamdani al-Dzaky, 2001: 168-169).
1.6. Metode Penelitian Untuk mendapatkan sebuah penelitian yang akurat, ilmiah dan sistematis, maka diperlukan seperangkat metodologi yang tepat dan memadai. Kerangka metodologis yang akan penulis gunakan dalam penelitian cukup sederhana, namun penulis memandang kerangka ini cukup tepat, yaitu dengan mengikuti langkah-langkah: 1. Jenis dan Pendekatan Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yang bertumpu pada kajian dan telaah teks. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merupakan sumber utama,
11
yaitu tulisan-tulisan M. Qurasiy Shihab mengenai puasa, seperti buku Wawasan al-Qur’an; Tafsir al-Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Qur’an al-Karim, di samping bukubuku lain. Sedangkan sumber sekundernya berupa buku-buku ataupun tulisan-tulisan orang lain yang terkait dengan materi yang akan diteliti misalnya buku Nasihat Para Ulama; Hikmah Puasa karangan Syahruddin Siregar, dkk., Esensi Puasa karangan Bahaudin Mudhary, Mengatasi
Kegoncangan
Jiwa,
Membangun
Ketahanan
Mental
Perspektif al-Qur’an dan Sains, ataupun dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an mengenai puasa seperti surat Maryam (19) ayat 26, surat alZumar (39) ayat 10, dan surat al-Baqarah (2) ayat 183, 184, 185. 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kepustakaan
(library
research), oleh karena itu pengumpulan datanya akan dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber–sumber tertulis. Penelitian seperti ini menurut Sutrisno Hadi (1995; 5) sebagai penelitian murni literer karena datanya terfokus pada data literatur. 4. Analisis Data Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretatifdeskriptif yang berfungsi untuk mendeskripsikan tentang pandangan M. Quraiys Shihab mengenai puasa. Tujuannya untuk menjelaskan kebenaran atau kesalahan dari suatu fakta, kemudian dianalisa untuk
12
memperhatikan sisi-sisi data yang harus atau memang memerlukan analisa lebih lanjut (Sumadi Suryabrata, 1998: 18). Kemudian akan dilakukan analisis isi (content analysis) yaitu analisis ilmiah tentang isi data. Secara teknik, content analysis ini menurut Noeng Muhadjir (1996: 68-69) mencakup upaya klarifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk membuat prediksi atas tema-tema yang dibahas, yaitu mengenai puasa dan kesehatan mental. Penggunaan analisis isi ini sangat dibutuhkan ketika menganalisis pemikiran M. Quraish Shihab.
1.7. Sistematika Penulisan Rencana penulisan skripsi ini akan disusun dalam lima bab. Hal ini dimaksudkan agar mampu memberikan gambaran yang utuh dan terpadu mengenai masalah yang akan diteliti yaitu mengenai pendapat M. Quraish Shihab mengenai puasa dan implikasinya terhadap kesehatan mental. Bab pertama pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian sekaligus berfungsi sebagai argumentasi, penelusuran pustaka yang dengan cara ini akan diketahui posisi penelitian ini di hadapan karya lain, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua akan memaparkan teori tentang puasa dan kaitannya dengan kesehatan mental. Bab ini memuat gambaran umum tentang puasa yang meliputi pengertian puasa, tujuan puasa, dan hikmah puasa. Kemudian gambaran umum tentang kesehatan mental yang meliputi pengertian
13
kesehatan mental, ciri kesehatan mental, faktor-faktor kesehatan mental, dan gangguan kejiwaan. Bab ketiga akan menyajikan pendapat gagasan M. Quraiys Shihab mengenai puasa. Bab ini akan dibagi pada beberapa sub bab, yaitu biografi M. Quraish Shihab, pemikiran keislaman M. Quraish Shihab secara umum, dan pemikirannya mengenai puasa. Bab keempat merupakan analisis yang memuat, analisis terhadap pemikiran M. Quraish Shihab mengenai puasa, dan pemikiran puasa M. Quraish Shihab hubungannya dengan kesehatan mental. Bab kelima merupakan penutup. Bab ini memuat kesimpulan sebagai penegasan jawaban atas problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah diutarakan sebelumnya, kemudian akan dilengkapi dengan saran-saran dan kata penutup.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adlani, A. Nazri, 2001. “Ramadhan Memperkokoh Ketahanan Mental Kejiwaan”, dalam Syahrin Harahap (Penyunting), Nasihat Para Ulam Hikmah Puasa; Berpuasalah Agar Hidup Dibimbing Nurani Menuju-Nya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Al-Dzaky, M. Hamdani Bakran, 2001. Psikoterapi dan Konseling Islam, Surabaya: Fajar Pustaka Baru. Arbaiyah, Barakah, 2000. “Kesehatan Mental dan Urgensinya bagi Integritas Kepribadian”, Semarang: Skripsi Fakultas Dakwah, Tidak Dipublikasikan. Daradjat, Zakiah, 1982. Pendidikan Agama dan Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang. , 1984. Kesehatan Mental dan Peranannya dalam Pendidikan Agama dan Pengajaran, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. , 1990. Keseehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung. Hadi, Sutrisno, 1995. Metodologi Research, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Jumiati, 2003. “Pemikiran al-Ghazali tentang Syukur, Kufur dan Implikasinya terhadap Kesehatan Mental”, Semarang: Skripsi Fakultas Dakwah, Tidak Dipublikasikan. Kartono, Kartini dan Jenny Andani, 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung: Mandar Maju. Lutfiyah, 1997. “Puasa dalam Tradisi Sufiisme Menurut Imam al-Ghazali”, Semarang: Skripsi Fakultas Ushuluddin, Tidak Dipublikasikan. Muhadjir, Noeng, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin. Musnamar, Tohari, 1992. Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Pres. Shihab, M. Quraish, 1998. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan. , 2002. Tafsir al-Misbah, Bandung: Pustaka al-Hidayah. , 1999, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan.
15
Sihotang, Aslim D., 2001. “Hubungan Puasa dengan Kesehatan Jasmani dan Rohani”, dalam Syahrin Harahap (Penyunting), Nasihat Para Ulam Hikmah Puasa; Berpuasalah Agar Hidup Dibimbing Nurani Menuju-Nya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Simanjuntak, Maratua, 2001. “Puasa dan Shalat Membentuk Manusia yang Tangguh”, dalam Syahrin Harahap (Penyunting), Nasihat Para Ulam Hikmah Puasa; Berpuasalah Agar Hidup Dibimbing Nurani Menuju-Nya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suryabrata, Sumadi, 1998. Metodologi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Umar, A., 2000. “Laporan Penelitian Individu tentang Epistimologi Kesehatan Islami Relevansinya dalam Kehidupan Modern”, Semarang: IAIN Walisongo.