KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA MENURUT TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB TESIS
Di susunoleh: JULIASARI NIM 2811011000001
Pembimbing : Prof. Dr. ZAINUN KAMAL F, MA Dr. AKHMAD SODIQ, MA
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1436 H/2015 M
ABSTRAK
Tesis ini menemukan temuan sementara bahwa konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab lebih Pancasilais jika dibandingkan dengan konsep pendidikan karakter yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kemendiknas. Konsep Pendidikan Karakter Bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab tidak sekedar menanamkan, memupuk, dan menumbuhkan beraneka ragam karakter bangsa pada individu manusia semata, namun juga yang terpenting adalah kesemuanya dilandaskan atas prinsip ketauhidan. Dengan demikian, konsep Pendidikan Karakter Bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab lebih Pancasilais. Karena, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi ruh bagi kedelapanbelas pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemendiknasnya. Kedelapanbelas komponen pendidikan karakter bangsa: religius, jujur, toleransi, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab dalam Tafsir al-Mishbah membentuk karakter bangsa yang rahmat bagi seluruh makhluk (rahmatan li al-alamin). Metode penelitian ini bersifat kualitatif, karena hanya memustakan pada kegiatan ontologisme, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar yang memiliki yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi, sehingga analisis pun bukan menggunakan angka, tetapi dengan interprestasi terhadap data yang berupa kata-kata, kalimat ataupun dokumentasi lainnya. Metode yang digunakan adalah Tafsir Maudhu’i (tafsir tematik). Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada analis induktif. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dengan membaca sumber utama atau primer Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dari Volume 1 sampai 15.
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan hidayah yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Selesainya tesis dengan judul” Konsep Pendidikan Karakter Bangsa Menurut Tafsir al-Misbah Karya M.Quraish Shihab” Ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi penulis. Tentunya, banyak kalangan yang terlibat memberikan kontribusi baik dalam bentuk materi, pikiran, maupun waktu mulai dari persiapan penelitian (proposal) hingga BAB V dalam bentuk karya tesis. Tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak yang telah ikut mendukung baik secara moral, pengayaan gagasan serta metodologi penelitian. Oleh karena itu dari lubuk yang paling dalam, Penulis menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya Kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA . Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Prof.Dr.H.Zainun kamal,MA dan Dr.Akhmad Sodiq, MA. Dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi sehingga selesai tesis ini. 3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan 4. Dr. Fahriany, M.Pd. Ketua Program Studi Magister FITK 5. Dr. Jejen Musfah, MA. Sekretaris Program Magister FITK serta penguji Work in Progres I, II dan sidang promosi tesis yang telah memberikan motovasi dengan memberikan tahapan cara menulis yang baik dan benar 6. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi. MA . Penguji promosi sidang tesis yang telah memberikan masukan dan arahannya. 7. Prof. Dr. Salman Harun, MA . Penguji Work in Progres II 8. Dr. Khalimi, MA . Penguji Komprehensif , Work in progress I dan II serta sidang promosi tesis yang telah memberikan motivasi 9. Dr. Anshari, Lal, MA. (alm) selaku penguji Komprehensif dan Work in Progres 1 yang telah memberikan masukan positif 10. M.Zeni S, Adam Ziad dan Kafka Ranggani yang merupakan bagian dari keluarga yang dengan ikhlas memberikan semangat. Akhirnya, penulis mengucapkan do’a kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dan kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang turut memberikan jasa dan budi baiknya. Jakarta, 10 Juli 2015 Juliasari
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................. i PERYATAAN PENULIS ........................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................ vi PEDOMAN LITERASI ........................................................................... vii BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... B. Permasalahan ................................................................................ C. Tujuan Penelitian ......................................................................... D. Tinjauan kepustakaan ................................................................... E. Metode Penelitian .........................................................................
1 8 9 9 9
BAB II : KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan ............................................... B. Pengertian Karakter ...................................................................... C. Pendidikan Karakter Bangsa ......................................................... D. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ...... E. Pendidikan Karakter Menurut al-Quran ........................................
11 13 19 25 27
BAB III : BIOGRAFI QURAISH SHIHAB A. Pendidikan dan karir ..................................................................... 32 B. Karya-karya M.Qraish shihab ...................................................... 34 C. Karakteristik Tafsir al-Misbah ..................................................... 35 BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. B. C. D. E. F. G.
Religius ........................................................................................ Jujur .............................................................................................. Toleransi ...................................................................................... Disiplin ......................................................................................... Kerja Keras .................................................................................. Kreatif ........................................................................................... Mandiri .........................................................................................
41 51 57 69 78 86 92
H. I. J. K. L. M. N. O. P. Q. R.
Demokratis ................................................................................... Rasa Ingin Tahu ........................................................................... Semangat Kebangsaan ................................................................. Cinta Tanah Air ............................................................................ Menghargai Prestasi ..................................................................... Bersahabat/Komunikatif .............................................................. Cinta Damai ................................................................................. Gemar Membaca .......................................................................... Peduli Lingkungan ....................................................................... Peduli Sosial ................................................................................. Tanggung Jawab ..........................................................................
100 107 111 114 116 119 122 132 138 146 149
BAB V : PENUTUP ................................................................................ 155 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 156
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Para pakar pendidikan, yang kemudian diamini oleh pemerintah, menyebutkan “nation and character building” (membangun karakter bangsa) adalah tugas dan inti pokok tujuan pendidikan nasional Negara Republik Indonesia (Azra, 2006; Djalil dan Megawangi, 2006; Jalal dan Supriadi, 2001; Suyatno, 2010; Lickona, 1992; Lickona, Schaps, Lewis, 2007). Apapun bentuk kurikulum pendidikan nasional, bertujuan untuk membentuk generasi bangsa yang berkarakter kebangsaan. Visi-misi profetik pendidikan nasional Indonesia diterjemahkan kemudian oleh pemerintah melalui “Pendidikan Karakter” (BSNP, 2006; Tim Pendidikan Karakter-Kemendiknas, 2010). Pendidikan karakter bangsa menjadi “booming”, seakan ini adalah hal baru pendidikan di Indonesia. Dapat dilihat misalnya, tiap pidato pejabat Negara, di kementerian dan lemabaga apapun, judulnya adalah “Membangun Karakter Bangsa” atau “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, bahkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), melalaui Badan Penelitan dan Pengembangan-Kemendiknas, memunculkan 18 (delapanbelas) karakter bangsa yang menjadi acuan/pedoman pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025; PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014; Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional Tahun 2010; Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; Permendiknas No, 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional). Kemudian, Kemendiknas mewajibkan Pusat Kurikulum dan Buku (Puskurbuk) meredisain Kurikulum Nasional yang berpedoman pada 4 Pilar bangsa. Setiap mata pelajaran di sekolah harus berpedoman dan menanamkan 4 Pilar itu. Sehingga Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI harus diterjemahkan ke dalam setiap mata pelajaran. Secara konsep sosiologis, 18 nilai karakter yang dikembangkan Kemendikbud ini digali dari nilai-nilai khas/asli bangsa Indonesia. Pertanyaan yang menggelitik penelitian ini adalah bagaimanakah konsep pendidikan karakter bangsa yang terperinci dalam 18 nilai secara Islami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mendedahkan konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Mengapa Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab? Menurut penulis, Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan yang paling banyak dipercayai oleh umat Islam dengan berbagai aneka-ragam mazhab-nya. Selain itu, ia merupakan praktisi pendidikan Mantan 1
2
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, tak terkecuali pendidikan. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah. Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan, yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berda dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agara karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut, begitupun dengan konsep pendidikan karakter bangsa (Shihab, Vol. 15, 2006: 645). Sementara itu, pendidikan di Indonesia cendrung mengukur keberhasilan pendidikan dari kelulusan nilai ujian dan juga angka-angka yang bagus dalam raport guna memenuhi keberhasilan suatu pendidikan. Padahal yang demikian itu cendrung mengabaikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna sebagai standar pendidikan, yang mengakibatkan pendidikan di Indonesia tidak membaik, terlebih lagi dapat membentuk karakter kebangsaan. Karena mengabaikan potensi pendidikan untuk membangun masyarakat, lingkungan dan bangsanya. Kondisi pelajar dewasa ini cukup memprihatinkan, maraknya seks bebas dikalangan pelajar, beredarnya video-video porno, penyalahgunaan narkotika, tawuran antar pelajar, pelanggaran nilai-nilai agama, moral dan etika (Estede, 2014). Berlawanan dengan fakta negatif pelajar di atas, berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang yang menilai dan bertanya, apa yang salah dengan bangsa ini? Mungkin gambaran ini dapat kita lihat apa yang salah dengan bangsa ini. Pertama, kondisi moral generasi muda yang rusak, hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar dan sebagainya. Kedua, pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi). Ketiga, rusaknya moral bangsa dan mejadi akut, korupsi, asusila, kejahatan, tindakan criminal pada semua sektor pembangunan, dan lain-lain). Keempat, kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. Kelima, daya kompetitif yang rendah, sehingga banyak produk dalam negeri dan sumber daya manusia tergantikan oleh produk dan sumber daya manusia luar negeri (Kesuma dkk, 2012: 2).
3
Anshari menambahkan informasi bahwa kemorosotan moral tersebut tidak hanya di Indonesia saja yang pernah mengalaminya, bahkan Negara besar dan maju seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jepang, China juga pernah mengalaminya. Sehingga untuk keluar dari masalah tersebut, para pendidik disana menganjurkan agar pendidikan nilai dilaksanakan disemua sekolah (Anshari, 2012: 3). Menyikapi problema pendidikan di atas, E. Mulyasa menyimpulkan bahwa korban dari pendidikan yang kurang efektif dan sedang mengalami krisis sebenarnya adalah peserta didik, bukan guru. Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut larut dan berjalan terus menerus. Harus diciptakan suatu cara sehingga keingintahuan anak anak yang bersifat alamiah, perbedaan individual, dan kemampuan peserta didik sendiri dapat penghargaan dan berkembang secara wajar (Mulyasa, 2009: 60). Menurut Darma Kusuma, dalam kerangka inilah perlunya modernisasi pembelajaran untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif, dengan system evaluasi yang adil dan transparan untuk mewujudkan perbaikan yang berkesinambungan. Pembelajaran efektif ditandai oleh sifatnya yang menekankan pada pemberdayaanpeserta didik secara aktif. Pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, tetapi lebih penekanan kepada interalisasi apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani serta dihayati dan dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didik. Pembelajaran efektif juga akan melatih dan menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Lebih dari itu, pembelajaran efektif menekan kan bagaimana agar peserta didik mampu belajar cara belajar (learning how to learn) (Kesuma, 2009: 4). Ia juga menjelaskan bahwa melalui kreatifitas guru, pembelajaran dikelas melalui sebuah aktifitas yang menyenangkan (joyfull learning). Pembelajarn efektif antara lain mewujudkan dengan kecakapan hidup (life skill), dan kompetisi kewirausahaan (enterpreneurship) kepada peserta didik, sebagai bekal dasar sebagi hidup dimasyarakat yang sangat beragam dan penuh tantangan. Moderalisasi pembelajaran juga ditandai dengan sistem evaluasi yang efektif dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi secara teratur bukan hanya ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tapi yang terpenting adalah memanfaatkan hasilnya untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran sistem evaluasi harus mampu memberikan umpan balik kepada guru untuk terus menerus meningkatkan kemampuan setiap peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan (Kesuma, 2009: 4). Di sisi lain, Sunarsih (2010) berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran, baik formal, nonformal maupun informal, merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, agar manusia tersebut dapat berhasil dalam kancah perjuangan hidup bermasyarakat dan bernegara. Juga menjadi bekal dalam meniti kehidupan serta menjadikan manusia yang beramal saleh. Pendapat Sunarsih diperkuat oleh pakar Pendidikan Karakter Thomas Lickona bahwa dunia pendidikan perlu mengangkat masalah-maslah moral yang muncul, mulai dari masalah ketamakan dan ketidakjujuran hingga tindak kekerasan dan pengabaian diri, seperti penyalah
4
gunaan narkoba dan tindakan bunuh diri. Pandangan baru tentang konsep pendidikan moral pun akhirnya mencapai suatu kesepakatan. Saat ini, di seluruh dunia mulai dari masyarakat secara individual sampai dengan organisasi kemasyarakatan, baik kaum liberal maupun konservatif, telah meminta sekolahsekolah untuk melibatkan peran pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan anak-anak (Lickona, 2012: 4). Sejalan dengan pendapat Lickona, pakar pendidikan Indonesia Abuddin Nata (2010: 150) juga menyatakan lebih lanjut bahwa pendidkan karakter juga terkait dengan tiga mantra pendidikan, yaitu pendidikan individual, pendidikan sosial, dan pendidikan moral. Pendidikan individual terkait dengan kebebasan seseorang mengekpresikan diri dan potensinya secara bertanggung jawab, sehingga ia memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan pilihan atas berbagai alternatif yang kemudian menjadikan pilihan moralnya. Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa telah dilakukan diberbagai direktorat dan bagian lembaga pemerintah, terutama di berbagai unit Kementerian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak lima tahun mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kesuma dkk, 2009: 2). Saat ini pendidikan karakter sedang dan telah menjadi trend serta isu penting dalam sistem pendidikan. Upaya menghidupkan kembali (reinventing) pendidikan karakter ini tentunya bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi justru merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Kesuma dkk, 2009: 6). Amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau karakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Undang-Undang SistemPendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003, Pasal 3 ayat 2 dan 3). Menurut Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip Yayah Khaeriyah (2010: 10), menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah mengantarkan anak pada tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah semata dan beribadah kepada Allah itu menurut adanya ilmu tentang hakikatnya. Berupa ilmu mengenai asma, sifat, perintah dan seluruh larangan-Nya. Ibadah menuntut kepada kedua dasar utama, pertama Kecintaan kepada Allah. Kedua, kerendahan hati dan ketundukan kepada-Nya. Pendidikan pada anak sejak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam pengembangun sumber daya manusia (SDM), sehingga
5
stimulasi dini yang salah satunya adalah pendidikan mutlak diperlukan dalam membentuk kepribadian dan karakter yang tepat pada anak, baik itu yang ada hubungannya dan karakter anak atau sebagai warga negara yang baik. Dalam ajaran Islam, fase pendidikan kepada bayi dimulai dengan melantunkan azan di telinga kanannya, dan iqamat di telinga kirinya. Ajaran ini bertujuan untuk memperkenalkan sejak dini kata-kata yang berisikan kebesaran dan keagungan Tuhan kepada anak. Dengan mendengar azan, maka kalimat syahadat yang merupakan inti dari ajaran Islam menjadi salah satu kalimat yang pertama kali di dengar oleh anak sebagi titik tolak pengenalan terhadap ajaran Islam. Begitulah cara Islam memberi ajaran dan pelajaran dini bagi anak tentang syiar Islam (Kemendiknas, 2010: 183). Secara fitrah, orang tua muslim ingin agar anaknya menjadi anak yang shaleh berbudi pekerti yang baik, patuh pada norma-norma agama, hormat terhadap kedua orang tua serta sukses di dunia-akhirat, bermanfaat bagi masyarakat serta menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Hal tersebut merupakan motivasi dan keinginan yang sangat dalam guna meraih keinginan dan harapan. Dalam sejarahnya, pendidikan karakter bangsa bukanlah suatu topik baru dalam pendidikan. Pada kenyataannya pendidikan pendidikan karakter bangsa sudah seumur pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku yang berbudi (Lickona, 2012: 7). Dalam analisa Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter sama halnya dengan mendidik watak, moral, perilaku atau mendidik ahlak mulia anak sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidik anak sejak usia dini sangat penting dilakukan, karena dalam pendidikan tersebut merupakan dasar pembentukan kepribadian manusia dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur, kepandaian dan keterampilan. Karakter atau akhlak yang baik dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak bukan hanya sekedar teori, tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban (Lickona, 2012: 8). Pendidikan karakter atau pendidikan moral memegang peranan sebagi salah satu pondasi yang sangat penting dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, seorang guru dituntut memiliki kepandaian untuk membantu anak untuk membentuk akhlak atau karakternya. Dalam prosesnya diperlukan suatu keteladanan dari guru, baik dari perilaku maupun cara guru berbicara, dan sebagainya yang terkait dengan hal itu. Isjoni menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak negeri kita, sebagai titik awal dari pembentukan SDM yang berkualitas, yang memiliki wawasan, intelektual, kepribadian, tanggung jawab, inovatif, kreatif, proaktif dan partisipatif serta semangat mandiri. Pendidikan anak memang harus dilaksanakan sejak dini, agar anak biasa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti
6
pendidikan sejak dini menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal (Isjoni, 2010: 40). Sementara itu, Anton Widyanto dalam penelitiannya di wilayah Bireun dan Banda Aceh, seperti yang dikutip oleh Anshari (2012: 2), menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan kemorosotan moral bangsa saat ini yang terjadi di sekolah adalah terkait dengan akhlak siswa. Keluhan-keluhan tentang sikap dan perilaku siswa terhadap guru, ketaatan terhadap peraturan sekolah, maupun sikap dan perilaku antar sesama siswa itu sendiri, walaupun bukanlah hal yang baru. Intinya, kebanyakan (tentu tidak semua) para siswa dan bahkan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi dewasa ini telah mengalami kemorosotan akhlak yang semakin memperihatinkan. Mengingat adanya tuntutan tingkat intensitas dan kualitas pendidikan karakter, proses pendidikan karakter ini akan dapat dilakukan dengan berpedoman pada konsep pendidikan dari al-Qur’an. Karena dalam hal ini konsep pendidikan AlQur’an yang apabila ditanamkan sejak kecil, dapat dijadikan sebagai tonggak utama terbentuknya mental dan kepribadian anak sehat. Hal tersebut berlandaskan pada hasil penelitian Diana Mutiah (2010: 10) yang berkesimpulan bahwa masa kanak-kanak yang bahagia dapat menjamain paling tidak lebih dari separuh keberhasilannya di masa dewasa. Masa-masa ini adalah peletak dasar dalam keberhasilannya kelak usia dewasa, peletak dasar dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, sosial dan spiritualanak usia dini memiliki karakter yang khas, baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, metode pengajaran yang diterapkan untuk anak usia dini juga perlu disesuaikan dengan kekhasan yang dimiliki oleh anak. Potensi dan kemampuan anak akan berkembang secara optimal bila pengunaan metode pengajaran yang diterapkan tepat dan sesuia dengan karakter anak sehingga memacu tumbuhnya sikap dan prilaku yang positif (Isjoni, 2010: 41). Berdasarkan hal tersebut, Bimo Walgito (2010: 180) menyatakan bahwa sikap seseorang merupakan sesuatu yang tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk dan dipelajari, seperti dari kedua orang tuanya, orang yang disekitarnya, atau dari masyarakat. Sikap dibentuknya atau dipelajari terhadap objek tertentu, misalnya objek terhadap anak, sikap terhadap orang tua, sikap terhadap orang asing.Karena sikap dibentuk atau dipelajari maka sikap dapat disesuaikan dengan perilaku, namun sebaliknya orang dapat mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya, yang mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya. Selaras dengan Waalgito, Samsul Munir (2007: 224) berpendapat bahwa berkaitan dengan konsep pendidikan alQur’an, biasanya anak kecil oleh kebanyakan orang dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai al-Qur’an dan dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalisasinya. Padahal sebenarnya mereka mampu menyimpan memori seperti yang terdapat disimpan oleh computer. Dapat ditegaskan pula bahwa pendidikan karakter di atas merupakan upayaupaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
7
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatanyang berpedoman paada al-Qur’an (Amin, 2007: 224). Abuddin Nata (2012: 166) memperkuat pernyataan itu dengan menjelaskan bahwa ketika menjelaskan tentang karakter, al-Qur’an memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk dan baik, apabila orang mempraktikannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an, misalnya, memperkenalkan karakter Fira’un yang sombong, melanggar larangan Tuhan, melampui batas, berbuat zalim, durhaka diktator, dan otoriter, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan dan memperkenalkan juga karakter Nabi Muhammad Saw yang tidak mau kompromi terhadap kemungkaran, kasih sayang terhadap sesama, senantiasa ruku, sujud, dan senantiasa mengharap ridha Allah. Dalam konteks kekinian, pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementrian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurilulum telah merumuskan proram “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu (Kesuma dkk, 2009: 8). Adapun tentang istilah pendidikan karakter bangsa, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasioanal yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” (Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Puskur Balitbang-Kemendiknas, 2010: 4). Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pemerintah sudah mencanangkan sejak 2010 mengenai pendidikan karakter. Ada delapan belas karakter yang diterapkan oleh pemerintah berkaitan dengan karakter bangsa. Karena hal-hal tersebut itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti kedelapan belas karakter bangsa tersebut
8
secara Islami. Oleh karenanya, konsep pendidikan karakter bangsa akan dibahas menurut persfektif Tafsiral-Misbah karya Quraisy Shihab. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian mengenai latar belakang permasalahan yang diungkapkan, maka dapat diidentifikasi berbagai masalah yang muncul dalam penelitian ini, antar lain: pertama, tentang kemerosotan akhlak bangsa Indonesia yang hal ini memunculkan beberapa persoalan, antara lain: pertama, terdapat kerusakan karakter bangsa yang terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, khususnya dalam dunia pendidikan. Kedua, penyebab kemerosotan moral bangsa Indonesia. Ketiga, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemerosotan moral bangsa. Keempat, apakah pendidikan karakter di sekolah sudah menjadi jembatan bagi pemerintah dan insan pendidikan untuk membangun bangsa. Kelima, apakah pendidikan karakter bangsa sudahkah sejalan dengan tuntunan dan tuntutan nilai-nilai Islami. Keenam, Bagaimana pandangan tafsir al-Misbah terhadap pendidikan karakter Bangsa. 2. Batasan Masalah Berdasarkan dari masalah-masalah di atas penelitian ini dibatasi hanya akan difokuskan pada delapan belas karakter bangsa. Focus obyek permasalahan pun dibatasi hanya mengenai pendidikan karakter bangsa dalam perfektif Tafsir alMisbah Karya Quraisy Shihab. Sekali lagi, sebagaimana sudah di jelaskan di atas, karya tafsir al-Misbah dijadikan focus objek kajian karena tafsir ini banyak diakui dan dipercayai oleh segenap kalangan umat Islam di Indonesia dan dunia dalam segenap mazhabnya. Di samping itu, selain sebagai seorang mufassir, M. Quraish Shihab juga sekaligus merupakan seorang praktisi pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan jabatan kerjanya yang pernah menjadi Mantan Rektor Universita Islam Negeri Peringkat Kesatu di Indonesia, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahkan ia juga pernah menjadi Menteri Kementerian Agama, yang salah satu divisinya adalah menangani Pendidikan Islam di Indonesia. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan ke dalam sebuah pernyataan sebagai berikut: a. Bagaimana rumusan pendidikan karakter bangsa yang Islami sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir al-Misbah? b. Bagaimana konsep al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah? c. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur’an?
9
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui konsep al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah? 2. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur’an? D. Tinjauan Keperpustakaan Penelitian mengenai pendidikan karakter bangsa dalam pandangan al-Qur’an memang bukanlah hal yang baru untuk diteliti, banyak sudah peneliti yang melakukan kajian terhadap permasalahan ini, di bawah ini penulis akan menguraikan satu persatu penelitian-penelitian tersebut, yaitu: Disertasi yang ditulis oleh Anshori UIN Syarif Hidayatullah (2006) yang berjudul Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah. Desertasi ini menuliskan langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan jender dalam Tafsir al-Misbah. Meskipun sama-sama memfokuskan kajian pada Tafsir al-Misbah, Disertasi ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat jender. Metode dan Konsep Pendidikan Akhlak dalam Tafsir al-Misbah karya Lailatul Maskhuroh (2010). Penelitian tesis ini mengemukakan bagaimana Tafsir M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat akhlak dan konsep pendidikan akhlak menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Tesis ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat akhlak, adapun relevansi karakter dan akhlak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Berdasarkan kajian literatur pustaka sependek yang penulis temukan tersebut, maka apa yang menjadi kajian penulis bukan merupakan pengulangan tema-tema penelitian yang sudah ada. E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian yang bersifat kualitatif, karena hanya memustakan pada kegiatan ontologisme, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar yang memiliki yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi, sehingga analisis pun bukan menggunakan angka, tetapi dengan interprestasi terhadap data yang berupa kata-kata, kalimat ataupun dokumentasi lainnya (Sugiono, 2006: 20). Metode yang digunakan adalah Tafsir Maudhu’I (tafsir tematik). Tafsir maudhu’i menurut ’Abd al-Sattar ialah salah satu metodologi ilmu tafsir yang membahas dalam berbagai masalah al-Qur’an yang menyatu dari sisi makna atau tujuan, yaitu dengan cara mengumpulkan ayatayatnya yang bertebaran di dalam berbagai surah, kemudian menelitinya dalam bentuk khusus dan dengan beberapa syarat khusus untuk menjelaskan maknanya,
10
mengeluarkan inti sarinya, dan menyatukannya dengan ikatan yang menyeluruh (al-Farmawi, 1994: 41). Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada analis induktif (Raco, 2010: 44). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dengan membaca sumber utama atau primer Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. 2. Sumber Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data pada dua sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder (Sugiono, 2006: 308). Sumber primer berupa Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Adapun sumber sekundernya adalah Kitab-kitab tafsir, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa Indonesia. selain itu, juga penulis menggunakan jurnal-jurnal, buku-buku, makalah-makalah seminar, tesis atau desertasi yang ada kaitannya dengan yang pembahasan yang penulis teliti. Sumber tersebut juga dilengkapi dengan Kamus-kamus bahasa yang memuat daftar kata-kata, yang mana isinya dipakai untuk menemukan ayat-ayat dalam al-Quran dan merupakan petunjuk praktis dan kamus-kamus yang lain yang relevan dengan pembahasan. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka cara pengumpulan data yang dilakukan penulis menggunakan teknik studi dokumentasi. Karena itu, penulis menggunakan metode maudhu’i (pendekatan tafsir tematik), yaitu dengan cara menghimpun ayat ayat yang bekaitan dengan tema, teknik studi dokumentasi di antaranya: Studi dokumen serta studi pustaka. Sebuah tafsir akan coba menelaah noktah-noktah al-Qur’an berdasarkan tema per tema, agar ditemukan titik konfigurasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya secara logis, agar bisa ditemukan kuantum epistemologis yang ditorehkannya secara relevan (Umar, 2005: 4). 4. Teknik Analisa Data Teknik analisa data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang Pendidikan karakter bangsa dengan data-data yang diperoleh penulis dari sumber-sumber primer maupun sekunder (Sugiono, 2006: 309). Dalam penelitian ini data-data yang telah terkumpul, selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola diskriptifanalisis, lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data tesebut akan dielaborasi dengan teori-teori yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa dan al-Qur’an (Sugiono, 2006: 309).
BAB II KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Dalam dunia pendidikan ada dua istilah yang hampir sama bentuknya dan juga sering digunakan, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Istilah ini berasal dari kata pedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak (Djumransyah, 2008: 21). Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 232), pendidikan merupakan kata benda yang mendapat awalan „pe‟ dan akhiran „an‟ yang berarti proses, perbuatan, cara mendidik. Dalam bahasa Inggris, kata “pendidikan” diterjemahkan dengan “education” merupakan kata benda dari kata “educate” yang berarti mendidik. Sedangkan dalam bahasa Arab, umumnya pendidikan disepadankan dengan kata ta’lim. Kata ta’lim, dalam Kamus Munjid (Ma‟luf, 1986: 526, 512, 247) merupakan bentuk masdar dari „alama yang berarti pengajaran. Sementara itu kata ta’dib berasal dari kata adaba artinya mendidik dan melatih akhlaknya. Adapun kata tarbiyah yang memiliki akar kata rabaya berarti mendidik, mengasuh dan memelihara. Selaras dengan pengertian sematik tersebut, Abuddin Nata (2012: 164) menyatakan bahwa pendidikan secara umum adalah upaya mempengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan (Djumransyah, 2008: 22). Sama dengan pendapat Abudin, Doni Koesoema (2007: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai pada diri peserta didik semata, melainkan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Ia juga menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, kata “pendidikan” secara terminologi memiliki beberapa pengertian di antaranya, dalam ensiklopedi pendidikan, pendidikan berarti sutu usaha manusia untuk membawa si anak yang belum dewasa ketingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatan secara moril (Poerbakawatja, 1981: 257). Pengertian pendidikan yang jelas lagi didefinisikan oleh Azyumardi Azra (1999: 3). Menurut Azra, meskipun pendidikan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai kalangan, namun pada dasarnya semua pandangan tersebut bertemu pada satu kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan proses penyuapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Dalam konstituas legalitas pendidikan nasional, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 11
12
Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara,” (UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011). Konstitusi pendidikan sebelumnya, menjelaskan bahwa ada tiga tujuan pendidikan, yaitu pertama, menurut Undang-undang No.2 tahun 1985, pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. Kedua, dalam TAP MPR No. ll/MPR/1993 tujuan pendidikan lebih terperinci disebutkan bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja professional, serta sehat jasmani dan rohani. Ketiga, TAP MPR No. 4/MPR/1975 secara lebih terperinci dari point kedua menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun dibidang pendidikan yang didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila sekaligus membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa , mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, serta mencintai bangsa dan ssama manusia sesuai dngan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945 bab ll (Pasal 2,3 dan 4) (Aunillah, 2011: 11-12). Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 adalah; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kesuma dkk, 2012: 6). Sementara itu, menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Hamdani dan Saebani (2013: 5), menjelaskan bahwa bahwa pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu: pertama, fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberi ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan. Kedua, fungsi pengembangan kedewasaan berfikir melalui proses transmisi ilmu pengetahuan. Ketiga, fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini dengan pemahaman ilmiah. Keempat, fungsi ibadah, yaitu sebagai bagian dari pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia.
13
Azyumrdi Azra (1999: 5) menjelaskan bahwa pendidikan sejatinya membuat manusia menjadi lebih terarah dengan tuntunan yang dipelajari dan memiliki kedewasaan dalam berfikir dan bertindak untuk mencapai tujuan hidup, pendidikan itu sendiri bermanfaat bagi manusia untuk berfikir kreatif dan ketajaman analisis serta tetap menjaga kelembutan hati. Dengan demikian, dapat disimpulkan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan dan dipersiapkan menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi, berkepribadian akhlak mulia kecerdasa berfikir dan bertindak serta tunduk dan patuh terhadap norma sosial masyarakat dan agama dan menjadi manusia bertakwa kepada Tuhannya. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan dalam tulisan ini adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam semua lingkungan dan sepanjang hayat dan semua situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup. B. Pengertian Karakter Karakter merupakan kepribadian yang mendasar dalam kehidupan seseorang yang menjadi indikator perilaku kehidupan sehari-hari, jika baik karakter seseorang maka baik pula kehidupannya begitu juga sebaliknya jika buruk karakter seseorang maka buruk pula kehidupannya. Menurut Thomas Lickona (2012: 10-12) menyatakan bahwa terdapat beberapa konsep lain yang memiliki kemiripan makna dengan karakter, yaitu moral, etika, akhlak, dan budi pekerti. Antara karakter dan moral misalnya, memiliki hubungna yang sangat erat, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral. Dengan kata lain, karakter merupakan kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunya moral yang baik, maka akan memiliki yang baik terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1991: 1149), watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan berarti pula tabi‟at, dan budi pekerti. Selanjutnya jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda (Poerwadarminta, 1991: 941). Dalam bahasa Arab, karakter sering disebut dengan istilah akhlak, yang oleh Ibnu Maskawaih diartikan sebagai sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah sifat dan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang kungan.dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Kasron, 2000: 56). Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak „khuluk’ yang berarti watak, budi pekerti, karakter (Mustofa, 1999: 11). Dengan demikian, kata akhlak menujukan pada
14
pengertian adanya hubungan yang baik antara khaliq dan makhluk yang diatur dalam agama (Amin, 1988: 59). Adapun kata akhlak/karakter dari segi terminologi di antaranya adalah menurut Ahmad Amin (Amin, 1988: 62), Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Sebelum Amin, Ibnu Maskawaih (1999: 56) mengartikan akhlak sebagai karakter yang merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Lebih rinci, Zakiah Daradjat (1998: 6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah akhlak ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan ini harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Sedangkan, kata „moral‟ secara terminologi berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti adat kebiasaan batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara langsung dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk (Abdullah, 2007: 90). Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa akhlak adalak suatu sifat yang mengatur tingkah laku, kebiasaan manusia dan segala perbuatan yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan serta tatanan masyarakat yang menjadi pedoman di suatu tempat baik dan buruk yang menjadikan seseorang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya, karena akhlak itu timbul dari fikiran , kebiasaan dan bawaan yang tertanam dalam dari diri manusia itu sendiri. Akhlak berbeda dengan karakter. Secara etimologi, karakter berarti mengukir dan sifat-sifat kebajikan. Secara konseptual, konsep karakter dapat diartikan sebagai usaha terus menerus seorang individu atau kelompok dengan berbagai cara untuk mengukir, mengembangkan atau melambangkan sifat-sifat kebajikan pada dirinya sendiri atau pada orang lain ((Poerwadarminta, 1991: 347). Dalam kamus psikologi, sebagaimana dikutip oleh M. Furqon Hidayatullah (2010: 9), karakter didefinisikan dengan kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Karakter juga berbeda dengan etika. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat, memiliki terminology yang berbedabeda. Ahmad Amin dalam buku Akhlak Tasawuf karya Abudin Nata (2006: 90) mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dijalankan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Titik tekan etika ada pada masalah baik dan buruknya perilaku manusia dalam akal dan fikiran manusia. Karakter merupakan unsur antropologis manusia, disanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologi ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan. Karakter
15
dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum , tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun bertindak (Samani dan Haryanto, 2011: 42). Pakar pendidikan karakter dari Barat, Winston menyatakan bahwa dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positip apa saja yang dilakukan guru dan dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Samani dan Haryanto, 2011: 43). Selaras dengan pendapat Winston, Ross Stagner (1974: 245) mendifinisikan bahwa bahwa: “The term character has almost as extensive a variety of meaning as does the term as "personality" we shall confine our attention to two of these, which cover all the important penomena which are relevant to our topic. character first of all refers to individual’s behavior in so far as it conforms to local mores or ethical standards . thus one in said to have a good character if he act executes those acts which are expected by his society and refrains from those which are forbidden in the society. to some extant this tend to reduce to the common saying that a man of good character is one who has never been arrested although most of us are inclined to go a little further than this. character may be thought of as behaving in accordance with social expectancies.” Karakter mengacu pada individu, perilaku sejauh itu sesuai dengan adat-istiadat lokal atau standar etika, sehingga dapat dikatakan memiliki karakter yang baik jika ia bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan menjauhi hal-hal yang dilarang dalam masyarakat. Beberapa yang masih ada ini cenderung mengurangi ke umum mengatakan bahwa seorang karakter yang baik adalah orang yang tidak pernah ditangkap meskipun kebanyakan dari kita cenderung untuk pergi sedikit lebih jauh dari ini. Karakter dapat dianggap sebagai berperilaku sesuai dengan harapan sosial.”
Meringkas pendapat di atas, Suyanto (http://belajarpsikologi.com/pengertianpendidikan-karakter diakses tanggal 3 Juli 2014) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Sedangkan menurut Kertajaya bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu. Menurut pakar pendidikan karakter, Lickona (2012: 79), secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang
16
tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Seorang Filusuf Yunani bernama Aristoteles mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain. Aristoteles mengingatkan kepada kita tentang apa yang cendrung kita lupakan dimasa sekarang ini: Kehidupan yang berbudi luhur termasuk kebaikan yang berorientasi pada diri sendiri (seperti kontrol diri dan moderenisasi) sebagaimana halnya dengan kebaikan yang berorientasi pada hal lainnya seperti kemurahan hati dan belas kasihan, dan kedua jenis kebaikan ini berhubungan. Kita perlu untuk mengendalikan diri kita sendiri-keinginan kita, hasrat kita untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain (Lickona, 2012: 81). Karakter merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat, perbaikan moral tidak akan terwujud tanpa adanya keimanan kepada Tuhan, karakter yang dimiliki setiap orang berbeda dan unik oleh karena itu yang berorientasi terhadap dirinya itu menjadi manusia yang lebih baik dan bermatabat. Karakter adalah sifat pribadi yang relative stabil pada diri individu yang jadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Sifat pribadi maksudnya ciri-ciri yang ada di dalam pribadi seseorang yang terwujudkan dalam tingkah laku. Relatif stabil adalah suatu kondisi yang apabila telah terbentuk akan tidak mudah diubah (Budimansyah, 2012: 2). Dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Budimansyah, 2012: 6). Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Fatah Yasin (2008: 15) mengutip perkataan John Dewey yang juga dikutip dalam bukunya Zakiyah Daradjat menyatakan bahwa “pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin.” Pernyataan Dewey mengisyaratkan bahwa sejatinya suatu komunitas kehidupan manusia, di dalamnya telah terjadi dan selalu memerlukan pendidikan, mulai dari model kehidupan masyarakat primitif sampai pada model kehidupan masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan kebutuhan hidup manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia dan telah berlangsung sepanjang peradaban manusia itu ada. Dan hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki peran rangkap dalam hidupnya yaitu sebagai makhluk individu yang perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat di mana mereka hidup. Untuk itu pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni di samping mengembangkan kepribadian manusia secara individual, juga mempersiapkan
17
manusia sebagai anggota penuh dari kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan dunianya (Yasin, 2008: 16). Saat ini pendidikan karakter sedang dan telah menjadi trend serta isu penting dalam sistem pendidikan kita. Upaya menghidupkan kembali pendidikan karakter ini tentunya bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi justru merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Diknas, 2012: 64). Menurut Diana Mutiah (2010: 5) bahwa pendidikan karakter sama halnya dengan mendidik watak, moral, perilaku atau mendidik akhlak anak sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Karakter atau akhlak yang baik dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak bukan hanya sekedar teori tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Masih Menurut Diana Mutiah (2010: 6), “Pendidikan karakter atau pendidikan moral memegang peranan sebagai salah satu fondasi yang sangat penting dalam pendidikan terutama pada pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kepandaian membantu anak untuk membentuk akhlak atau karakternya.” Sedikit lebih rinci, Isjoni (2012: 40) menyatakan bahwa dalam prosesnya sangat diperlukan suatu keteladanan dari guru, baik dari perilaku maupun cara guru berbicara, dan sebagainya yang berkaitan dengan hal itu. Pendidikan karakter akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak negeri ini, sebagai titik awal dari pembentukan SDM yang berkualitas, yang memiliki wawasan, intelektual, kepribadian, tanggung jawab, inovatif, kreatif, proaktif dan partisipatif serta semangat mandiri. Pendidikan anak memang harus dilaksanakan sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Mengingat adanya tuntutan tingkat intensitas dan kualitas pendidikan karakter, proses pendidikan karakter ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada pendidikan al-Qur‟an. Karena dalam hal ini, pendidikan al-Qur‟an yang apabila ditanamkan sejak kecil, dapat dijadikan sebagai tonggak utama terbentuknya mental dan kepribadian anak yang sehat. “Masa kanak-kanak yang bahagia dapat menjamin paling tidak lebih dari separuh keberhasilannya di masa dewasa. Masamasa ini adalah peletak dasar dalam keberhasilannya kelak di usia dewasa, peletak
18
dasar dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, sosial dan spiritualnya” (Mutiah, 2010: 10). Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak mulia hendaknya ditanamkan sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam lingkungan keluarga melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan itu kemudian dikembangkan dan diaplikasikan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Di sini diperlukan kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-lembaga keagamaan yang dapat mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia di kalangan umat (alMunawwar, 2003: 27). Apa isi karakter? Menurut Lickona (2013: 15) isi dari karakter yang baik adalah kebaikan. Kebaikan seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan kasih sayang adalah disposisi untuk berprilaku secara moral. Karakter adalah objektifitas yang baik dan kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak. kebaikan – kebaikan tersebut ditegaskan oleh masyarakat dan agama diseluruh dunia. Karena hal tersebut secara intristik baik, punya hak atas atas nurani kita. Ada sepuluh esensi kebajikan menurut Thomas Lickona (2013: 18-19) yang dapat membangun karakter kuat, yaitu kebijaksanaan, keadilan, keberanian, pengendalian diri, cinta, sikap positif, bekerja keras, integritas, syukur dan kerendahan hati. Jelas sangat sulit untuk mempraktikkan sepuluh kebajikan tersebut dalam kehidupan nyata setidaknya dalam beberapa waktu, tetapi jika lebih konsisten dalam mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari tidak tutup kemungkinan akan menjadi harapan bagi kemajuan. Pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum telah merumuskan program “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 3-4). Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 3 ayat 2 dan 3). Pemerintah sudah mencanangkan sejak tahun 2010 melalui renstranya mengenai pendidikan karakter. Ada 18 karakter yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Ke 18 karakter tersebut akan dibahas menurut al-Qur‟an.
19
C. Pendidikan Karakter Bangsa Di atas telah disinggung bahwa pendidikan karakter bukan hanya sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya, tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia Indonesia yang religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 4). “Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekat, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil” (Auinillah, 2011: 19). Pendidikan Karakter sebagai usaha membangun kesadaran melakukan berbagai kebajikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Menurut Hill (Budimansyah, 2012: 5), karakter menentukan pikiran pribadi seseorang dan tindakan yang dilakukannya, karakter yang baik adalah motivasi batin untuk melakukan apa yang benar, sesuai dengan standar tertinggi perilaku, dalam setiap situasi. Dengan demikian pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berfikir dan berprilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan warga Negara serta dengan membantu mereka membuat keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang dianggap memiliki karakter mulia apabila mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang potensi dirinya serta mampu mewujudkan potensi itu dalam sikap dan tingkahlakunya. Adapun ciri yang dapat dicermati pada seseorang yang mampu memanfaatkan potensi dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap terpuji, seperti penuh reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatifinovatif, mandiri, berhati-hati, rela berkorban, berani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai waktu, penuh pengabdian, dedikatif, mampu mengendalikan diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib (Majid dan Andayani, 2011: 8). Seseorang yang memiliki karakter positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik dan unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Dengan demikian karakter atau karakteristik adalah realisasi perkembangan positif dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku (Majid dan Andayani, 2011: 9). Menurut Suwito (1995: 174), tujuan pendidikan
20
akhlak yang dirumuskan oleh ibn Maskawaih dalam desertasi yang dikutip oleh Suwito adalah merupakan perwujudan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga memperoleh kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini akan akan memiliki potensi karakter yang kuat yang bertindak tanpa ada paksaan untuk melakukan sesuatu yang baik yang sesuai dengan ajaran agam dan norma social. Bila peserta didik bertindak sesuai dengan potensi dan kesadarannya tersebut maka disebut sebagai pribadi yang berkarakter baik atau unggul indikatornya adalah mereka selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, negara, serta dunia internasional pada umumnya, dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi (Aunillah, 2011: 19). Di antara karakter baik yang hendak dibangun dalam kepribadian peserta didik adalah bisa bertanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, menepati janji, ramah, peduli kepada orang lain, percaya diri, pekerja keras, bersemangat, tekun, tak mudah putus asa, bisa berpikir rasional dan kritis, kreatif dan inovatif, dinamis, bersahaja, rendah hati, tidak sombong, sabar, cinta ilmu dan kebenaran, rela berkorban, berhati-hati, bisa mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang buruk, mempunyai inisiatif, setia, menghargai waktu, dan bisa bersikap adil (Azzet, 2011: 29). Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa maupun warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai kehidupan, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolongmenolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (http://imamkarawang.wordpress.com/2012/01/18/9-pilar-pendidikan-berkarakter diakses tangggal 3 Juli 2014). Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dan terkondisikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka kebiasaan itu akan berubah menjadi kebiasaan.Lebih lanjut bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
21
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya (Samani dan Haryanto, 2011: 105). Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dinyatakan sebagai berikut: pertama, Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, pendidikan budaya karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu, pelaksaaan Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi Pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan (Samani dan Haryanto, 2011: 106). Dewasa ini banyak pihak ataupun lembaga menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang sedang terjadi, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal, perkosaan, minum minuman keras, mencuri, dan lain sebagainya. Bahkan di kotakota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal atau biasa disebut sekolah dijadikan sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter agar muncul suatu generasi yang handal (Samani dan Haryanto, 2011: 107). Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Budimansyah, 2012: 8). Pendidikan karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat,
22
ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya (Budimansyah, 2012: 9-10). Dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa yang diterbitkan oleh Kemendiknas (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 4) dijelaskan bahwa “Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.” Anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. Pendidikan karakter akan berjalan efektif dan utuh jika melibatkan tiga institusi, yaitu keluarga sekolah dan masyarakat. Pendidikan karakter tidak akan berjalan dengan baik jika mengabaikan salah satu institusi, terutama keluarga. Pendidikan informal dalam keluarga memiliki peran penting dalam proses pembentukan karakter seseorang. Hal ini disebabkan keluarga merupakan lingkungan tumbuh dan berkembangnya anak sejak mulai usia dini hingga menjadi dewasa. Melalui pendidikan dalam keluargalah karakter seorang anak dibentuk (Syarbini, 2014: 3). Mengapa perlu melakukan pendidikan karakter? Bagi bangsa Indonesia sekurang-kurangnya memiliki empat alasan utama, yakni historis, yuridis, sosiologis, dan paedagogis. 1. Alasan historis Alasan historis perlunya pendidikan karakter terkait dengan proses perjalanan sejarah perjuangan bangsa sejak perlawanan yang bersifat kedaerahan, kebangkitan nasional, revolusi fisik merebut kemerdekaan, hingga mempertahankan kemerdekaan. Pada setiap periode perlawanan tersebut terdapat etos perjuangan yang patut diteladani, seperti jiwa sepi in pamrih rame ing gawe. Mentalis tersebut dimanifestasikan oleh perjuangan yang tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan jasa, yang penting Indonesia terbebas dari penjajahan yang menghisap darah Ibu Pertiwi. Berholopis kuntul baris, rawe-rawe rantas malang-malang putung adalah mentalis bekerja sama yang kokoh antara rakyat dan pemimpin, antara sesame rakyat, maupun antara sesama pemimpin sehingga daya juang waktu itu sangat dahsyat. Ingat “bambu runcing” berani berhadapan (face to face) dengan tank baja;
23
atau “ketapel” berani menghalau pesawat tempur; “bedil dorlok” sanggup melumpuhkan senapan otomatis . kalau bukan karena daya juang yang sangat dahsyat, sepertinya sangat mustahil para pejuang dengan bambu runcing sanggup melumpuhkan altileri Belanda. Generasi sekarang berada sudah semain jauh dari sumbu perjuangan tersebut. Oleh karena itu jika etos perjuangan tidak diajarkan , maka generasi pemuda kita tidak akan mewarisi karakter pejuang itu. Bagaimana jadinya Indonesia jika generasi mudanya yang nota bene sebagai pewaris bangsa menjadi generasi yaang lemah, tidak berkarakter tangguh. Dalam konteks demikianlah pendidikan karakter diperlukan untuk mewariskan etos perjuangan bangsa (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 5). 2. Alasan yuridis Alasan yuridis adalah alasan berdasarkan undang-undang. Misalnya menurut Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 ditegaskan bahwa Visi Pembangunan Nasional adalah “…terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.” Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 5) Jika memperhatikan visi pembangunan nasional “…terwujudnya karakter bangsa yang tangguh…” tentu saja program pendidikan karakter mutlak perlu dilakukan, jika tidak mustahil karakter bangsa yang tangguh akan terwujud. Demikian pula halnya dengan fungsi pendidikan nasional “…membentuk watak dan peradaban bangsa…” serta sepuluh tujuan pendidikan nasional: beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kraetif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab mengindikasikan perlunya pendidikan karakter untuk mewujudkannyab(Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 6-7). 3. Alasan Sosiologis Alasan sosiologis adalah alasan yang timbul dari adanya kenyataan dimasyarakat seper ti merebaknya berbagai perilaku buruk yang sangat jauh dari kehidupan berkarakter yang melanda Indonesia. Kondisi demikian mendorong Pemerintah untuk melakukan penguatan kembali proses pendidikan hingga menyentuh aspek pengembangan karakter tidak saja dirasakan bangsa Indonesia yang memang masih sedang berbenah diri menuju masyarakat berkeadaban, namun Negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat merasakan hal yang sama.
24
Kebutuhan dimaksud lebih didorong oleh adanya kenyataan semakin menurunnya moralitas warganegara terutama sejak memasuki era global satu decade terakhir (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 8). 4. Alasan Pedagogis Alasan pedagogis adalah alasan perlunya pendidikan karakter dilakukan untuk mendidik warga Negara. Secara psikopedagogis anak adalah seseorang warga Negara hipotetik. Artinya, warga Negara yang belum jadi yang masih harus dididik menjadi seorang yang sadar akan kewajibannya dan hak- haknya sebagai insan Tuhan, insane sosial , dan insan politik. Dengan demikian hidup berkarakter itu tidak lahir dengan sendirinya melainkan harus dibina melalui proses pendidikan. Dalam konteks demikianlah pendidikan karakter dibutuhkan dan diperlukan untuk membina peserta didik agar hidup berkarakter, yakni kehidupan yang menempuh jalan lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai dengan fitrah manusian yang berorientasi kebenaran dan keluhuran. Ada tiga tujuan pendidikan karakter yakni pribadi yang berkarakter, sekolah /kampus yang berkarakter, dan masyarakat yang berkarakter. Ketiga tujuan tersebut harus dicapai dan diwujudkan secara terintegrasi. pencapaian tujuan yang satu dipengaruhi dan mempengaruhi tujuan yang lain. Pribadi berkarakter misalnya dapat dihasilkan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang bekarakter. Sekolah atau perguruan tinggi yang berkarakter juga akan menjadi cahaya bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya kehidupan masyarakat yang berkarakter akan menjadi lahan subur bagi pembentukan sekolah dan kampus berkarakter, termasuk bagi tumbuh kembangnya pribadi-pribadi berkarakter (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 6). Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dibuat oleh Diknas. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya. Delapan belas (18) nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 9-10) adalah: 1. Religius. Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
25
7. Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 12. Menghargai Prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 14. Cinta Damai. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 15. Gemar Membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. D. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan dan yang banyak dikemukakan untuk mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa tersebut itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Sementara
26
itu, kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Berdasarkan dari Kemendiknas, fungsi pendidikan Budaya dan karakter bangsa terdiri dari tiga, yaitu: pertama, pengembangan. Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berprilaku baik; bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa. Kedua, perbaikan. Perbaikan memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat. Ketiga, penyaring. Penyaring untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemdiknas, 2010: 7). Adapun tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: pertama, mengembangkan potensi kalbu/ nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiiki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai geenerasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreatifitas, dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh dengan kekuatan (dignity) (Kemdiknas, 2010: 7). Nilai nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diindentifikasi dari sumber sumber sebagai berikut (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 4): 1. Agama: Masyarakat Indonesia adalah masyarkat beragama. Oleh karena itu , kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilainilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. 2. Pancasila: Negara Keatuan Republik Indonesia ditegaskan atas prinsip- prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum,
27
ekonomi, kemasyarkatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang lebih baik, yaitu warganegara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga Negara. 3. Budaya: Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyatakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4. Tujuan pendidikan nasional: Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiapwarga Negara Indonesia, dikembangkan oleh sebagai satuan pendidikan diberbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga Negara Indonesia . Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. E. Pendidikan Karakter Menurut al-Qur’an Pengertian pendidikan karakter tersebut apabila dihubungkan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah terlihat memiliki kesamaan. Di dalam al-Qur‟an karakter dalam arti sifat, tabi‟at dan sikap batin sebagaimana tersebut di atas sama dengan pengertian akhlak. Di dalam al-Qur‟an surat al-Qalam ayat 4 Allah berfirman:
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. AlQalam: 4). Quraish Shihab (2008: 187) menafsiri ayat di atas dengan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi dan kecenderungan ganda, yakni positif ke arah baik atau negatif ke arah buruk. Jika ingin berbahagia, maka dia harus mengembangkan diri ke arah yang baik. Karena itu kedurhakaan terjadi akibat ulah manusia sendiri yang enggan menggunakan potensi positifnya. Dua sisi inilah yang disinggung dalam QS. Asy-Syams (91) ayat 8,
Maka Allah mengilhamkan kepada ketakwaannya. (QS. Al-Syams/91: 8).
jiwa
itu
(jalan) kefasikan
dan
Masih menurut Quraish Shihab (2008: 189), dalam ayat tersebut disebutkan bahwa manusia memiliki potensi baik (positif) dan buruk (negatif) dalam dirinya. Sifat dasar inilah yang kemudian akan dapat berubah, baik bertambah dan berkembang atau bahkan hilang seiring pertumbuhan usianya. Perubahan tersebut
28
akan dipengaruhi oleh berbagai hal, baik internal maupun eksternal. Secara internal, potensi baik maupun buruk akan berubah jika dia mengalami pertimbangan batin atau kecenderungan melakukan sesuatu. Hal ini dialami jika kekuatan pikiran (intelektual), jiwa (spiritual) dan rasa (emosional) yang dimilikinya telah seimbang atau memasuki usia dewasa. Adapun pengaruh eksternal yang dapat merubah karakter manusia diantaranya karena faktor lingkungan. Pembiasaan yang ditanamkan oleh lingkungan tempat dimana dia lahir dan berkembang sedikit banyak akan mempengaruhi pembentukan karakternya. Dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter di atas merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan yang berpedoman pada al-Qur‟an (Mutiah, 2012: 12). Dalam perspektif Islam, kemampuan dasar sama dengan fitrah yang dalam pengertian etimologi mengandung mankna kejadian atau suci. Fitrah berarti menjadikan. Seperti dalam surat al-Rum ayat 30 disebutkan sebagai berikut:
“Maka Hadapkanlah wajahmu denagn lurus kepada agama (Islam) sesuai Fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. al-Rum/30: 30). Menyikapi ayat di atas, Hamid dan Saebani (2013: 63) berpendapat bahwa pendidikan karakter juga mengacu pada perkataan Nabi Muhammad Saw bahwa anak yang baru dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci tanpa dosa. Semua diberikan potensi dasar untuk dapat mengembangkan diri mereka. Kekuatan dari karakter yang stabil adalah dapat mengendalikan emosi, dapat mengaktualisasikan dirinya dikehidupan masyarakat, meraih mimpi dan cita-cita baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial. Allah menganugerahkan komponen-komponen fitrah manuisia yang bersifat aktif, dinamis dan responsif terhadap pengaruh lingkungan. Menurut H.M Arifin dalam buku Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Hamid dan Saebani, 2013: 64) menyebutkan komponen-komponen tersebut, yaitu: 1. Bakat, yakni kemampuan pembawaan yang potensial mengacu pada kemampuan akademis, profesial dalam berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan kognisi, konasi, dan emosi. 2. Insting atau ghazirah, kemampuan berbuat atau beraktivitas tanpa melalui proses belajar, kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak lahir yang termasuk pada kapabilitas manusia.
29
3.
Driver atau dorongan hawa nafsu, seperti yang mendorong kea rah perbuatan tercela dan merendahkan orang lain (lawwamah), nafsu yang mendorong ke arah perbuatan merusak, membunuh, memusuhi orang lain (amarah), serta nafsu yang mendorong kea rah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Muthmainnah). 4. Karakter atau watak, karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial etis seseorang, karakter berkaitan erat dengan personalitas seseorang. 5. Intuisi, merupakan kemampuan psikologi untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi ini menggerakkan hati nurani (conscience), manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus diluar kesadaran akal fikirannya, tetapi mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Sisi negatif dapat ditekan pertumbuhannya dengan cara menanamkan perilaku positif dalam setiap lingkup kehidupan anak, mulai sejak dalam kandungan hingga usia sekolah. Sehingga energi negatif yang ada dalam dirinya mengecil atau bahkan hilang sama sekali (penulis tidak menafikan bahwa tidak ada manusia yang sempurna kecuali Rasulullah saw). Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari thaghut (setan). Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif berupa: 1. Kekuatan spiritual: Iman, Islam, ihsan dan taqwa. 2. Kekuatan potensi manusia positif: „aql al-salim, qalb al-salim, qalb al-munib dan nafs al-mutmainnah. 3. Sikap dan perilaku etis: istiqâmah, ikhlâs, jihad dan amal saleh (http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektifislam-pendahulan/ diakses pada tanggal 23 Mei 2014). Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (profesional). Energi negatif disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Energi negatif berupa:
1. 2.
Kekuatan thaghut: kafir, munafiq, fasiq dan syirik. Kekuatan kemanusiaan negatif: pikiran jahiliyyah, qalb al-maridl, qalb almayyit, dan nafs al-lawwamah.
30
3.
Sikap dan perilaku tidak etis: takabbur, hub al-dunya, zhalim dan amal sayyiat (http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektifislam-pendahulan/ diakses pada tanggal 23 Mei 2014).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirik, nafsul lawwâmah dan amal sayyiât. Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki (http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islampendahulan/ diakses pada tanggal 23 Mei 2014). Menurut Ary Ginanjar Agustian (dalam Syarbini, 2014: 39), buku Model pendidikan Karakter dalam keluarga teori ESQ menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positip sesungguhnya akan menunjuk kepada sifat Allah, yaitu Asma al-Husna. Naa-nama mulia ini merupakan sumber inspirasi setiap karakter positip yang dirumuskan oleh siapapun. Dari sekian banyak karakter yang diteladani dari nama-nama allah tersebut Ary merangkunya dalam 7 (tujuh)karakter dasar atau 7 (tujuh) budi utama yaitu: Jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja sama. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai yang dikembangkan merupakan dari ahlak terpuji (akhlak mahmudah) yang telah dicontohkan oleh Rasullah Saw. Perilaku Rasulullah dalam kesehariannya merupakan model karakter seorang Muslim yang sebenarnya. Berikut ini beberapa contoh karakter mulia yang harus diinternalisasikan dan implemantasikan dalam setiap kehidupan Muslim, terutama anak-anak dalam keluarga, yaitu Keimanan dan ketakwaan, kejujuran, percaya diri, disiplin, tanggung jawab, keadilan, sopan santun, pemaaf, sabar, peduli (Syarbini, 2014: 40). Juwairiyah (2010: 2) dalam bukunya Hadits Tarbawi, menjelaskan bahwa pada dasarnya semenjak lahir manusia sudah dianugerahi fithrah atau potensi untuk menjadi baik dan jahat, akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa. Oleh karena itu, apabila di kemudian hari dalam perkembangannya anak menjadi besar dan dewasa dengan sifat-sifat yang buruk, maka hal itu merupakan akibat dari pendidikan keluarga, lingkungan dan kawankawan sepermainannya yang notabene mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat buruk tersebut. Anak ibarat selembar kertas putih, warna kehidupan yang akan diterimanya semua tergantung dengan dirinya, keluarga, sekolah serta lingkungan yang membentuk karakter dan pribadi anak tersebut. Dalam diskursus pendidikan karakter memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karakter (Majid dan Andayani, 2011: 58). Oleh karena itu Azzet (2011: 18) sangat sepakat bila nilainilai universal agama dijadikan dasar dalam pendidikan karakter. Karena keyakinan seseorang terhadap kebenaran nilai yang berasal dari agamanya bisa menjadikan
31
motivasi yang kuat dalam membangun karakter. Sudah tentu anak didik dibangun karakternya berdasarkan nilai-nilai universal dari agama yang dipeluknya masingmasing (Sa‟dillah, 2012: 38-39). Pendidikan karakter yang sesuai dengan agama adalah membentuk insan kamil yang berbudi luhur mengembangkan sebagai hamba Tuhan kedalam ilmu pengetahuan dan dapat menerapkannya dikehidupan masyarakat. Kemampuan membaca tanda-tanda Tuhan merupakan kunci utama lahirnya manusia yang berkesadaran. Manusia berkesadaran adalah manusia yang yang sadar diri, sadar alam, dan sadar Tuhan (ūlū al-albāb). Orang-orang ūlū al-albāb adalah orangorang yang selalu berzikir dan berpikir. Objek zikir adalah Allah dan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu, sedangkan pengenalan alam didasarkan pada penggunaan akal, yaitu berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi memiliki keterbatasan dalam memikirkan zat Allah. Sinergi seperti inilah yang melahirkan manusia-manusia berilmu tetapi tetap tunduk dan patuh kepada Allah (Shihab, 2000: 290-291).
BAB III BIOGRAFI QURAISH SHIHAB
A. Biografi M. Quraish Shihab: Pendidikan dan Karir Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang, sebuah kota di Provinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. Sejak belia, ia sudah tertarik pada disiplin Tafsir al-Quran. Ia salah satu putra dari Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang Guru Besar dalam bidang tafsir. Ayah Shihab, sering kali mengajak Quraish Shihab bersama saudara yang lainnya untuk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dari Quraish Shihab terhadap studi alQuran. Sejak Kecil sekitar umur 6 atau 7 tahun, beliau harus sudah ikut mendengarkan ayahnya mengajar al-Qur‟an. Ketika itu ayahnya, selain mengajarkan cara membaca alQur‟an, juga menceritakan kisah-kisah yang diambil dari al-Qur‟an. Sejak saat itulah
kecintaan beliau terhadap al-Qur‟an mulai tumbuh (Shihab, 1994: 14). Riwayat pendidikannya dimulai dengan pendidikan dasarnya (SD-SLTP) di Ujung Padang, lalu ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang (19561958) sambil nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqhiyyah, Malang. Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo Mesir untuk melanjutkan studinya. Dengan bekal ilmu yang diperoleh di tanah air, Quraish diterima dikelas II pada tingkat Tsanawiyah al-Azhar (Setingkat Aliyah atau Sekolah Menengah Umum jika di Indonesia). Setelah selesai tingkat tersebut, Quraish berniat untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar, jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, hal ini sesuai dengan kecintaan terhadap bidang ini. Namun jurusan yang dipilihnya ia memerlukan persyaratan yang cukup ketat, dan pada saat itu Quraish Shihab belum memenuhi syarat yang ditetapkan. Tapi itu tidak menyurutkan langkahnya dalam studi juruan tafsir hadist, meski ia harus mengulang satu tahun, padahal, pada saat yang sama jurusan-jurusan lain pada fakultas lain membuka pintu lebar-lebar untuknya. Pada tahun1967, Quraish berhasil meraih gelar Lc (setingkat S1) kemudian beliau melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA (S2) untuk spesialisasi bidang tafsir al-Quran tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’ li al-Quran al-Karim (Shihab, 1994: 6). Setelah meraih gelar magisternya, ulama yang hobi nonton sepak bola dan penggemar bola voli ini, kembali ke tanah kelahirannya untuk mengamalkan ilmu yang didapatnya. Quraish dipercaya menjabat sebagai Wakil Rektor dibidang Akademik dan Kemahasiswaan pada IAIN (kini UIN) Alauddin Ujung Pandang, setelah sebelumnya menjadi dosen pengasuh materi tafsir dan ulumul Qur‟an ditempat yang sama. Selain itu, ia diangkat juga sebagai Kordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) wilayah VII, Indonesia bagian Timur. Kiprahnya di luar kampus sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam pembinaan mental. Selama rentang waktu itu pula, Quraish sempat melakukan berbagai penelitian antara lain, penelitian dengan tema “Penerapan 32
33
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978) (Shihab, 1994: 6). Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan studi S3 pada almamater yang sama. Pada kesempatan ini, ia memfokuskan diri untuk melakukan penelitian bagi keperluan penulisan serta disertasi. Dalam waktu relatif singkat hanya dua tahun, yaitu pada tahun 1982, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang tafsir dengan judul disertasi Nazhm al-Durar li al-Biqa’i: Tahqiq wa Dirasah, dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I Muntaz Ma’a Martabat al-Syaraf al-Ula (dengan pujian tingkat pertama) (Shihab, 1994: 6). Ketika di Mesir, Quraish tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas kemahasiswaan, namun ia sangat aktif memperluas pergaulan bersama mahasiswamahasiswa antar Negara, hal tersebut dilakukan untuk mengambil suatu manfaat dalam perkembangan ilmunya, khusus dari segi kebahasaan. Mengenai kegiatan ini, Quraish mengatakan “dengan bergaul terhadap mahasiswa-mahasiswa asing ada dua manfaat yang dapat diambil. Pertama, dapat memperluas wawasan dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Kedua, memperlancar bahasa Arab” (Shihab, 1994: 4). Sekembalinya dari Mesir, di Indonesia, dan setelah meraih gelar Doktor. Pada tahun 1984, Quraish ditugaskan di Fakultas Ushuluddin Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (yang mulai tahun 2002 berubah menjadi UIN), selang beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: ketua MUI Pusat (sejak 1984); anggota Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan IlmuIlmu Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim seIndonesia (ICMI). Disela-sela kesibukan itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negri (Shihab, 1994: 14). Tepilihnya Quraish sebagai Menteri Agama RI (1998) merupakan awal karirnya sebagai Pejabat Tinggi pada masa pemerintahan Suharto. Namun, jabatan ini tidak bertahan lama diembannya karena pergantian pimpinan yang terjadi secara mendadak. Angin reformasi yang melanda Indonesia menjadikan jabatan Menteri Agama hanya beberapa bulan saja. Lalu pada tahun 1999 kebijakan Pemerintahan B.J. Habibie, ia ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo sampai akhir periode, yaitu 2002. Setelah itu, ia kembali ke almamaternya dan menekuni tugasnya sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Anwar, 2002: 172). Aktifitas keorganisasian Quraish memang sangat padat, namun itu tidak berarti beliau kehabisan waktu untuk bisa tetap aktif dalam dunia intelektual. Ide-ide
34
segarnya senantiasa hadir di beberapa media massa. Dulu, di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu beliau mengisi rubrik “Pelita Hati” begitu pula fatwafatwanya di harian Republika dan Majalah Ummat, selalu segar di tengah-tengah masyarakat. Beliau juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, beliau juga dulu tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Jurnal Studi Islamika; Indonesia Journal for Islamic Studies, Ulumul Quran dan Mimbar Ulama, dan refleksi; Jurnal kajian Agama dan Filsafat, kesemuanya terbit di Jakarta (Shihab, 1994: 7). Quraish shihab dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Dengan latar belakang keilmuan yang ditempuh secara formal (by training), dan kemampuan menyampaikan pendapat dengan bahasa yang sederhana, serta kecenderungan pemikirannya yang moderat (Id.M.Wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diunduh pada tanggal 15 September 2014), beliau tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Dalam mengarungi bahtera hidupnya, Quraish ditemani oleh Fatmawati sang istri tercinta. Bersamanya, ia bertukar pikiran, berwelas-asih dalam mengayuhkan langkah kaki untuk membina kelima anaknya; empat putri dan satu putra, yaitu Najlah, Najwa, Nasywa, Ahmad dan Nahla (Shihab, 1996). B. Karya-karya M. Quraish Shihab Quraish Shihab merupakan penulis yang produktif, yang berbagai buku ilmiah berupa artikel dalam majalah, makalah-makalah seminar, jurnal atau kolom Tanya jawab dengan metode maudhu’i maupun buku-buku yang diterbitkan, beberapa karyanya dalam bentuk buku yang penulis temukan antara lain adalah: Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan (1978), Peranan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1978), Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fatihah (1988), Tafsir al-Amanah (1992), Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1994), Sejarah Ulumul Quran (1994), Study Kritik alManar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1994), Wawasan al-Quran: Tafsir maudhu’i atas berbagai Persoalan Umat (1996), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1996), Tafsir al-Quran al-Karim (1997), Ensiklopedi Islam (1997), Haji Mabrur Bersama Quraish Shihab (1997), Hidangan Ilahi; Ayat-ayat Tahlil (1997), Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (1997), Mukjizat al-Quran; Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitahuan Ghoib (1998), Fatwa-fatwa Seputar al-Quran dan Hadist (1999), Fatwa-fatwa Seputar Agama (1998), Menyikapi Tabir Ilahi; Asmaul Husna dalam Perspektif al-Quran (1998), Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, dan Malaikat dalam al-Quran dan as-Sunah (1999), Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama al-Quran (2000), Menjemput Maut; Pembekalan Menuju Allah (2001), Fatwa-fatwa Seputar Tafsir al-Quran (2001), Anda Bertanya Quraish Shihab Menjawab; Berbagai Masalah Keimanan (2002), Tafsir al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-Quran 1-15 Volume (2003), Dia Dimana-mana; Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena (2004), Kumpulan Tanya Jawab Qurasib Shihab; Mistik, Seks, dan Ibadah (2004), Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer
35
(2004), Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Dan Pemikiran (2007) (Anshori, 2006: 63-64). Demikian beberapa karya Quraish Shihab yang berhasil dipaparkan pada bagian ini, tentunya masih banyak lagi karya tulisannya beluam disebutkan, baik itu berupa makalah, rubik dalam berbagai surah kabar maupun buku-buku yang diterbitkan. Dalam hal pengutipan pendapat ulama, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama yang bersangkutan. Di anara ulama yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab adalah Muhammad Thahir Ibnu `Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir; Muhammad Husain ath-Thabathaba‟i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an; al-Biqa‟i; al-Sya`rawi; al-Alusi; al-Ghazali; Muhammad Abduh dan lain-lain. Walau dalam menafsirkan al-Qur‟an, Quraish Shihab sedikit banyaknya mengutip pendapat orang lain, namun sering kali dia mencantumkan pendapatnya, dan dikontektualisasi pada keadaan Indonesia (Anshori, 2006: 65). C. Karakteristik Tafsir al-Misbah Pada bagian ini penulis akan menjelaskan sekilas tentang Tafsir al-Misbah, baik dari segi pemilihan nama, sumber, methode, corak, dan sistematika penafsiran Tafsir al-Misbah. 1. Pemilihan Nama Tafsir al-Misbah Karya besar M. Quraish shihab yang satu ini diberi nama “Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian,” yang biasa disingkat dengan Tafsir al-Mishbah saja. Penamaan Tafsir al-Mishbah pada kitab tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Dan yang paling mengetahui alasan-alasannya tersebut hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit Quraish Shihab tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada sambutannya atau sekapur sirih. Dalam analisis Hamdani Anwar (2002: 176-177), pada Kata Pengantar Tafsir alMishbah tersebut adalah terdapat alasan pemilihan nama, al-Mishbah ini paling tidak mencakup 2 (dua) hal, yaitu pertama, pemilihan nama itu didasarkan pada fungsinya, al-Misbah berarti lampu yang gunanya menerangi kegelapan. Dengan pilihan nama ini dapat diduga bahwa Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami al-Quran secara langsung kerena bahasa (Shihab, 2000: v-viii). Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab dalam hal tulis menulis di Jakarta. Sebelum ia bermukim di Jakarta pun memang sudah aktif, tetapi produktifnya sebagai penulis dapat dinilai setelah bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai pengasuh rubrik “Pelita Hati”, Pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang disajikan menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbah itu berasal. Karena Lentera merupakan
36
paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan al-Mishbah; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab untuk menjadikan nama karyanya (Anwar, 2002: 176-177). 2. Sumber Penafsiran al-Mishbah Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan tafsirnya, apakah menafsirkan alQuran dengan mengunakan al-Quran dengan al-Hadits, al-Quran dengan riwayat Sahabat, kisah Israiliyyat, atau menafsirkan al-Quran dengan filkiran (ra’y) (Tafsiralmisbah.wordpress.com/biografi-m-quraish-shihab/, diunduh pada tanggal 15 September 2014). Dalam literaratur Ulum Quran, sumber penafsiran ini dapat dibagi pada dua macam, yaitu penafsiran bi-al-ma’tsur, adalah penafsiran al-Quran dengan alQuran, al-Hadits, pendapat sahabat dan tabi‟in (Anshori, 2006: 51-52). Sedangkan penafsiran bi al-Ra’y adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir bi al-Ra’y ini disebut juga dengan tafsir bi al-Ijtihad, yaitu penafsiran yang menggunakan penalaran akal. Tafsir bi al-ra’yi disebut juga tafsir bi al-diniyah atau tafsir bi al-ma’qul, yaitu: penjelsan-penjelsan yang bersendi pada akal dan ijtihad, berpegang pada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya (Shihab, et.al, 1999: 177; alShiddieqy, 1980: 227). Penetepan Tafsir al-Misbah ini dapat dikelompokkan pada tafsir bi al-Ra’y. hal ini dikatakan dengan pernyataannya yang diungkapkan pada sekapur sirih, serta merupakan sambutan dari karya ini, dan redaksi yang digunakannya adalah sebagai berikut (Shihab, 2000: v-viii): “Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqa‟i (w. 885 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertai penulis di Universitas al-Azhar, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syaikh Mutawalli al-Sya‟rawi, dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir IbnAsyur, Sayyid Muhammad Hussain Thabathaba‟I, serta beberapa pakar tafsir lainnya.
2. Metode Penafsiran al-Misbah Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai, dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan (Baidan, 2010: 1). Dalam kaitan ini, maka metode tafsir berarti sistem yang dikembangkan untuk memudahkan dan memperlancar proses penafsiran al-Qur‟an secara keseluruhan.
37
Setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam menafsirkan alQur‟an. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga penulisan tafsir sampai tahun 1960, para ulama tafsir menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Penafsiran ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Quran secara terpisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh (Shihab, 1994: 73). Al-Farmawi dan Hasan „Aridl (1996: 11-13) membagi metode penafsiran ini kepada empat macam, yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran dan maudhu’i. Yang dimaksud dengan metode dalam sub-bab ini adalah metode penafsiran yang biasa digunakan dalam wacana Ulum al-Qur’an, dan umumnya digunakkan oleh para ulama tafsir seperti disebutkan di atas, yakni metode tahliliy, ijmaliy, mauqaran, dan mudhu’I (Al-Farmawi, 1996: 11). Metode tahliliy (urai) atau dinamai juga metode tajzi’iy (parsial) adalah metode penafsiran yang menjelaskan ayat dari berbagai seginya, ayat demi ayat, sebagaimana urutannya mushaf al-Qur‟an. Karakteristik utama dari tafsir ini adalah menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan tertib ayat dan surah dalam mushaf, menguraikan makna dan kandungan ayat secara komprehensif dari berbagai segi, termasuk makna lafadz, sebab turun, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, pendapat-pendapat mufassir lain sekitar ayat tersebut dan sebagainya. Karakteristik lainnya adalah adanya upaya dari penafsiran untuk memasukan ide-idenya berdasarkan latar belakang ilmu, faham, dan keahlian yang dimiliki kedalam tafsir ayat (Al-Farmawi, 1996: 12). Metode ijmali (global) adalah metode yang menyajikan penafsiran secara global dan singkat tapi mancakup, dengan bahasa popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca, sehingga terasa oleh pembacanya bagai tatap berada dalam gaya kalimat-kalimat al-Quran. Kemudian metode maudhui’iy (tematik) atau juga metode tauhidiy adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Kemudian metode muqaran (perbandingan) adalah metode yang berupaya membandingakan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadits Nabi Muhammad Saw., yang kelihatan bertentangan atau juga membandingkan pendapat beberapa ulama yang bertentangan menyangkut ayat-ayat tertentu (Shihab, 1997: 7). Kalau dilihat dari pemaparan metode yang digunakan oleh Quraish, dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahliliy. Karena dapat dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuia dengan susunan yang terdapat dalam mushaf. Metode ini sengaja dipilih oleh penulisnya, karena ia mengungkapkan semua isi al-Quran secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung didalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh pembacanya (Anshari, 2006: 51). Tapi walau demikian, sebenarnya Quraish juga tidak secara otomatis meninggalkan yang lain. Ini terbukti pada setiap akan membahas suatu ayat secara
38
detail, terlebih dahulu Quraish memberikan penjlelasan secara global; dan pada beberapa tempat beliau menerapkan metode muqaran (Shihab1, 2000: 95, 183, 455). Karena pada banyak tempat beliau pun memadukan metode thaliliy ini dengan tiga metode lainnya, khususnya metode maudhu’iy. Bentuk ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai dengan urutan mushaf tersebut, Quraish juga pertama-tama menafsirkannya secara global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat yang sesuai topiknya, lalu pada saat-saat tertentu, beliau menyuguhkan perbandingan pendapat-pendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas. Tetapi walau bagaimanapun, kalau penulis ingin berpedoman pada empat macam metode penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas, maka penulis harus secara tegas memilih salah satunya, dan metode yang paling pas dari tafsir alMisbah ini adalah metode tahliliy. Pemilihan metode tahliliy ini juga didasarkan atas kesadaran beliau bahwa metode yang ia gunakan sebelumnya, setidaknya pada karya yang berjudul “Wawasan al-Qur’an,” selain keunggulan dalam memperkenalkan konsep al-Qur‟an tentang tema-tema tertentu secara utuh, ia juga tidak luput dari kekurangan. Menurutnya, al-Qur‟an memuat tema yang tidak terbatas, oleh sebab itu dengan menggunakan metode maudhu‟i saja, sangat sulit memperkenalkan semua tema-tema tersebut. Untuk melengkapi kekurangan tersebutlah Quraish menggunakan metode tahliliy dalam karyanya ini (Anshari, 2006: 52). 3. Corak Penafsiran al- Mishbah Dalam menafsirkan al-Qur‟an para mufassir mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam karyanya. Terdapat beberapa corak penafsiran, antara lain: Tafsir falsafi, Tafsir Ilmi, Tafsir Lughawi, Tafsir fiqih, Tafsir Adab al-Ijma’I dan sebagainya. Quraish Shihab (1994: 72) menyebutkan enam corak yang tafsir yang sudah dikenal hingga saat ini. Pertama, corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam, serta akibat kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur‟an. Kedua, adalah corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan filsafat di satu pihak dan kepercayaan lama yang di bawa oleh pemeluk Islam baru. Ketiga, adalah corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan, serta usaha memahami ayat-ayat al-Qur‟an sejalan dengan perkembangan ilmu. Keempat, adalah corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih. Kelima, adalah corak tasawuf akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi. Keenam adalah corak sastra budaya kemasyarakatan yang dirintis oleh Muhammad Abduh, yakni corak tafsir yang menjelaskan ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta untuk menaggulangi masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan petunjuk al-Qur‟an dan menyampaikan dalam bahasa yang indah dan mudah dipahami.
39
Tafsir adab al-ijtima’i ini sangat menitik beratkan pada penjelasan ayat-ayat alquran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam satu redaksi dengan menonjolkan tujuan utama dari tujuan-tujuan al-Qur‟an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian mengadakan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku (Shihab, 1994: 72). Corak atau warna tasfir dipengaruhi oleh kecenderungan dan aliran masingmasing serta berusaha menafsirkan al-Qur‟an dengan warna suatu cabang ilmu yang diminatinya. Misalnya saja seorang ahli nahwu sangat mementingkan i’rab dalam pemafsirannya akan memperluas pembahasan kaidah nahwu dan permasalahannya serta makna-makna kebahasaan bagi lafadz-lafadz al-Qur‟an (Faudah, 1987: 77-78). Dari bermacam-macam corak, tafsir al-Mishbah dapat dikategorikan dalam corak Sastra Budaya Kemasyarakatan (adab al-ijtima’i), yaitu suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menyembuhkan penyakit-penyakit atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat-ayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, tapi indah di dengar (Shihab, 1994: 25-27; Shihab1, 3-77; Shihab2, 2000: 315-316). Corak tafsir ini menekankan penjelasan makna ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta menawarkan langkah-langkah untuk menanggulangi masalah-masalah yang ada berdasarkan petunjuk ayat. Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah (2):120, yang biasa dijadikan dalil Kristenisasi, bahwa “memang orang-orang Kristen tidak akan pernah rela kepadamu (Islam) sebelum engakau mengakui ajarannya.” Quraish mencoba menjelaskan bahwa ayat ini bukan berbicara tentang hal itu (Shihab1, 2000: 293-296). Tetapi jika ditinjau secara keseluruhan isi kitab ini, maka jelas bahwa kitab tafsir ini sangat kental dengan corak adabi, dan dalam kasus tertentu yang sangat terbatas, kitab ini memperlihatkan corak ijtima’I (Anwar, 2002: 179). 4. Sistematika Penulisan al-Mishbah Untuk memudahkan pembaca dalam suatu karya, biasanya seorang penulis menggunakan suatu sistem yang dapat memudahkan penulis menuyusun karya tersebut. Setiap penulis menganut sistem yang berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing. Tidak berbeda dengan Tafsir al-Mishbah juga menggunakan sistematika penulisan yang dapat dikatakan berbeda dengan karya tafsir sebelumnya. Jika dikelompokkan berdasarkan sistematika yang sering digunakan oleh para penafsir al-Qur‟an kita dapat membaginya dalam dua bagian; pertama, sistematika penyajian penulisan tafsir berdasarkan urutan surah yang ada dalam mushaf standar. Kedua, sistematika penulisan yang mengacu pada urutan turunnya wahyu-
40
wahyu (Gusmian, 2003: 222). Dalam hal ini tafsir al-Mishbah termasuk dalam kelompok pertama. Berikut ini adalah sistematika penulisan tafsir al-Mishbah, (Anshari, 2006: 67), yaitu: a. Kitab tafsir ini dimulai dengan pengantar penulis yang diberi judul “sekapur sirih” yang berisiskan penjelasan penulisan mengani latar belakang penulisan tafsir ini. Dan uraian-uraian lain tentang tafsir ini. b. Pada setiap awal penulisan surah diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surah yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surah, nama lain surah dan lain sebaginya. Terutama surah al-Fatihah, keterangannya tampak diuraikan secara penjang lebar. Hal ini dapat dimaklumi karena surah ini sebagai pembuka dan merupakan induk al-Qur‟an. Dalam al-Fatihah terkandung intisari al-Qur‟an secara keseluruhan. c. Quraish sangat memberi penekanan penjelasan pada munasabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur‟an. Maka dalam memulai sebuah bahasan sebuah surah, Quraish tidak lupa menyertakan keserasian antara surah yang sedang dibahas dengan surah yang sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, Quraish sangat terpengaruh oleh Ibrahim Ibn Umar alBiqa‟iy (809-889 H) dalam bukunya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa Suwar, seorang tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis disertasi. d. Penulisan dalam tafsir ini, sebagaimana yang diakui oleh Quraish dalam pengantarnya, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai urutannya. Pengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok yang sama. Demikian dilakukan sebagai konsekwensi logis terhadap kecenderungan terhadap metode maudhu’i dan ketidak cocokannya terhadap metode tahliliy. Namun, pengelompokan dalam tafsir ini hanya dititikberatkan pada pengelompokan nomor ayat. e. Dan diikuti dengan terjemahannya, ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan pemahamannya sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada satu terjemahan al-Qur‟an (seperti terjemahan versi Depag). Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur‟an di dalam tafsirnya, berbeda dengan terjemahan yang tersebar luas di masyarakat. f. Kemudian langkah selanjutnya, Quraish menjelaskan kandungan ayat demi ayat secara berurutan. Kemudian beliau memisahkan terjemahan makna al-Qur‟an dengan sisipan atau tafsirnya dengan tulisan normal (tegak). Kadang-kadang juga beliau menghadirkan penggalan teks ayat, baik berupa kata (kalimat) atau frase (kelompok kata), kemudian menjelaskan makna kata tersebut. g. Pemulisan uraian kosa kata pada tafsir ini hanya yang di pandang perlu saja untuk menghindari bertele-telenya penjelasan kosa kata dan kaedah-kaedah yang disajikan.
BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM TAFSIR AL-MISBAH
Al-Qur‟an telah banyak memukau banyak orang dari berbagai tingkat intelektual, dari bermacam-macam sikap dan watak, yang hidup dalam berbagai era dan zaman. Al-Qur‟an juga telah menunjukkan kepada mereka tentang kecermatannya yang mendalam, keindahan tulisannya, serta sifat menakjubkannya yang tidak dapat diragukan lagi (Nadwi, 1996: 15). Selain itu, ia juga merupakan kebenaran, kebajikan, kebaikan, dan moral yang tinggi. Sebagai bangsa yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tentu tidak salah jika menjadikan Kitab Suci umat, al-Qur‟an, sebagai inspirasi dan aspirasi dalam membangun karakter bangsa. Sebagai Kitab Suci, al-Qur‟an sarat dengan konsep dan nilai-nilai moral yang sangat relevan untuk dijadikan sebagai rujukan utama dalam pembinaan karakter masarakat, khususnya generasi mudanya. Hal ini sangat beralasan, sebab al-Qur‟an telah terbukti berhasil dalam merubah karakter bangsa Arab yang sebelumnya diwarnai dengan berbagai macam bentuk penyimpangan. Sejak hadirnya al-Qur‟an di tengah-tengah masyarakat Arab, terjadi suatu transformasi budaya dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang berperadaban. Oleh karenanya, maka pendidikan karakter bangsa yang telah di-pakem-kan oleh Pemerintahan perlu dikaji bagaimana al-Qur‟an menjelaskannya. Bab ini diperuntukkan untuk membahas pendidikan karakter bangsa di bawah naungan alQur‟an. Dengan demikian, diharapkan konsep pendidikan karakter bangsa Indonesia itu benar-benar Islami dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ada 18 karakter bangsa yang akan dibahas satu persatu sesuai dengan Tafsir alMishbah yang meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku. A. Religius Religius didefinisikan sebagai suatu sikap dan perilaku yang patuh terhadapa ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Menurut indeks al-Qur‟an yang telah dikumpulkan oleh Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf (1994: 215-216), ciri dari kereligiusan itu bisa dilihat dari ketaatan seseorang pada agamanya. Lebih lanjut, Asyarie dan Yusuf menjelaskan bahwa Kata taat dalam dalam alquran ada 52 ayat. Sedangkan perintah untuk mentaati Allah diulang sebanyak 8 kali. Perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya terulang sebanyak 4 kali. Perintah untuk mentaati ulil amri hanya satu kali. Sedangkan ayat yang menjelaskan mentaati Allah sama dengan mentaati Rasul juga 1 kali. Kata taat terindeks di al-Qur‟an dalam 52 ayat, yaitu, (2;93,285); (3;17,173); (4;13,34,59,65,69,80,81); (5;7,92); (8;20,46); (9;71); (20;90); (24;52,53,54,56); (26;108,110,126,132,144,150,163,179); (29;65); (31;32); (33;31,35,66); (38;17,19,30,44); (43;63); (47;21,33); (48;17); (49;14); (51;50); (58;13); 41
42
(64;12,16); (66;5,12); (71;3); (72;14); (81;21); (98;5). Perintah untuk mentaati Allah termaktub dalam QS: (8;1); (12;32); (17;16); (23;34); (24;47); (26;151); (33;33,67,71). Perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dapt dilihat di QS; (3;32,50,132); (4;59). Perintah untuk mentaati ulil amri hanya satu kali, yaitu QS; (4;59). Sedangkan ayat mentaati Allah sama dengan mentaati Rasul juga 1 kali, yaitu QS; (4;80). (Asyarie dan Yusuf, 1994: 215-216). Allah menurunkan peraturan hidup bagi manusia lewat disampaikannya wahyu kepada Rasul Muhammad Saw. Dalam konteks ini, Rasul adalah pemberi penjelasan pada wahyu yang telah diterimanya, lewat sabda-sabda (aqwal), perbuatan-perbuatan (af‟al) dan pengakuannya (taqrir). Ketaatan ini bukan hanya tanda bukti keimanan seseorang, tetapi menempuh kehidupan yang penuh dengan rahmat, baik dunia maupun akhirat (Lajnah Pentashih al-Qur‟an-Kemenag, 2011: 87). Dalam penelusuran penulis, ada beberapa faktor indikasi religius yang pertama adalah taat, seperti dalam surat Ali‟ Imran/3:132 (Shihab, 2013: 12):
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.” (QS. Ali‟ Imran/3:132). Ayat di atas, dalam penjelasan Tafsir al-Misbah, setelah menekankan secara khusus petunjuk-Nya tentang riba, di sini dikemukakan tuntunan umum menyangkut kewajiban taat kepada Allah Swt dan Rasul Muhammad Saw. Ayat ini menggandengkan kewajiban taat kepada rasul dengan kewajiban taat kepada Allah. Penggandengan tersebut terbaca dengan jelas, dengan tidak diulanginya kata “taatilah.” Perintah menaati Rasul Saw semacam ini difahami sebagai perintah menaati-Nya dalam hal-hal yang serupa dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. Dalam konteks larangan riba, para ulama memperkenalkan dua jenis riba. Yang pertama adalah riba al-Jahiliyah atau riba al-Nasi‟ah (Sabiq12, 1988: 123), seperti riba yang dijelaskan oleh ayat ini. Yang kedua adalah riba al-Fadhl. Riba model pertama diharamkan oleh Rasul Saw. Dalam konteks larangan ini, Nabi Saw bersabda memberi petunjuk bahwa: “Gandum dengan gandum, yang serupa dengan yang serupa, dan tangan dengan tangan (secara konten); emas dengan emas, yang serupa dengan serupa, dan tangan dengan tangan (secara kontan); perak dengan perak, kurma dengan kurma, garam dengan garam (semua serupa dengan yang serupa dan tangan dengan tangan secara kontan), siapa yang melebihkan atau menawarkan kelebihan maka dia telah melakukan riba (Shihab2, 2000: 262). Perintah taat kepada Rasul dalam ayat ini, antara lain adalah perintah taat kepada beliau dalam sabda beliau melarang riba nasi‟ah yang diharamkan al-Quran karena inilah jenis riba yang dilarang al-Qur‟an. Adapun riba al-Fadhl, berhubung karena tidak ditemukan larangannya dalam al-Quran, ia tidak dicakup oleh perintah taat kepada Rasul oleh ayat ini. Kendati demikian, jangan duga bahwa riba alFadhl tidak haram, jangan duga juga bahwa Allah tidak mewajibkan
43
mengindahkan larangan Nabi itu karena di tempat lain Allah menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. Al-Nisa/4:59). Pengulangan kata “taatilah” di sini, sekali kepada Allah dan sekali kepada Rasul saw., menunjukkan bahwa beliau memiliki kemandirian dalam menetapkan hokum sehingga, dengan demikian, perintah taat itu mencakup segala ketentuan hukum beliau, baik ditemukan dasarnya dalam alQur‟an maupun tidak. Selanjutnya, karena tidak ditemukan perintah taat yang dikaitkan secara langsung dengan ulil amri, ini berarti mereka tidak memiliki hak untuk ditaati kecuali jika apa yang mereka perintahkan atau larang sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya atau nilai-nilai yang diamanahkan agama-Nya. Dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, seseorang, baik perorangan atau kelompok, diharapkan mendapatkan rahmat dan kasih sayang. Rahmat dan kasih sayang itu tidak dijelaskan oleh ayat ini, siapa yang mencurahkannya agar pikiran dapat mengarah ke semua pihak dan tentu saja dari sumber segala sumber rahmat, yaitu Allah SWT (Shihab2, 2000: 263). Faktor yang kedua, yaitu menjauhkan diri dari maksiat, salah satu godaan terbesar dalam kehidupan seorang Muslim adalah godaan setan yang akan selalu menarik dan memojokkan manusia dalam kemaksiatan yang membawa kepada dosa (Lajnah Pentashih al-Qur‟an Kemenag, 2011: 89), sebagaimana tuntunan QS. al-Nur ayat 30 dan surat al-Ma‟arij ayat: 29. Allah berfirman dalam Qs. Al-Nur ayat 30 (Shihab, 2013: 353):
“Katakanlah Nabi (Muhammad Saw) kepada orang-orang mukmin laki-laki; hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka (yakni, untuk melihat sesuatu yang terlarang, seperti aurat perempuan) dan (hendaklah pula) memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci (lebih terhormat) bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti apa yang mereka perbuat. (QS. AlNur/24: 30). Tafsiran dalam Tafsir Al-Misbah, setelah memberi tuntunan menyangkut kunjungan ke rumah-rumah yang intinya melarang melihat apa yang dirahasiakan atau enggan dipertunjukkan oleh penghuni rumah, kini dilanjutkan dengan perintah memelihara pandangan dan kemaluan. Larangan ini sejalan pula dengan izin memasuki tempat-tempat umum. Karena, di tempat umum, apalagi yang jauh dari pemukiman seseorang, boleh jadi matanya liar dan dorongan seksualnya menjadijadi. M. Quraish Shihab (Vol 8, 2000: 523) mengutip pendapat Thahir Ibn Asyur yang menghubungkan ayat di atas dengan ayat sebelumnya, bahwa setelah ayat sebelumnya menjelaskan ketentuan memasuki rumah, di sini diuraikan etika yang harus diperhatikan bila seorang telah berada di dalam rumah, yakni tidak
44
mengarahkan pandangan kepadanya dan membatasi diri dalam pembicaraan, serta tidak mengarahkan pandangan kepadanya kecuali pandangan yang sukar dihindari. Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad Saw, bahwa hai Rasul „katakanlah,‟ yakni perintahkanlah, kepada pria-pria Mukmin yang demikian mantap imannya bahwa hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka, yakni tidak membukanya lebar-lebar, untuk melihat segala sesuatu yang terlarang, seperti aurat wanita, dan sesuatu yang kurang baik dilihatnya, seperti tempat-tempat yang kemungkinan dapat melengahkan, tetapi tidak juga menutupnya sekali sehingga merepotkan mereka. Di samping itu, hendaklah mereka memelihara secara utuh dan sempurna kemaluan mereka sehingga sama sekali tidak menggunakannya, kecuali pada yang halal. Tidak juga membiarkannya kelihatan, kecuali kepada siapa yang boleh melihatnya. Bahkan, kalau dapat tidak menampakkannya sama sekali walau terhadap istri-istri mereka; yang demikian itu, yakni menahan pandangan dan memelihara kemaluan, adalah lebih suci dan terhormat bagi mereka. Karena dengan demikian, mereka telah menutup rapat-rapat salah satu pintu kedurhakaan yang besar, yakni perzinahan. Wahai Rasul, sampaikanlah tuntunan ini kepada orang-orang mukmin agar mereka melaksanakannya dengan baik dan hendaklah mereka terus awas dan sadar karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (Shihab8, 2000: 523). Ayat ini menggunakan kata al-Mu‟minun yang mengandung makna kemantapan iman yang bersangkutan, berbeda dengan yaa ayyuha al-ladzina amanu yang digunakan oleh ayat 27 ketika berbicara tentang perizinan masuk rumah. Hal ini menurut al-Biqa‟i dalam Tafsir al-Misbah mengisyaratkan sulitnya menghindarkan mata di tempat umum dan bahwa ini hanya dapat dilaksanakan secara baik oleh mereka yang telah mantap iman dalam kalbunya. Karena kedurhakaan di sini tidak sejelas dan sekentara kedurhakaan ketika memasuki rumah tanpa izin. Kata yaghudhdhu terambil dari kata ghadhdha yang berarti „menundukkan‟ atau „mengurangi.‟ Yang dimaksud di sini adalah mengalihkan arah pandangan serta tidak memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik (Shihab8, 2000: 524). Thabaathaba‟i memahami perintah memelihara furj (kemaluan) bukan dalam arti memeliharanya sehingga tidak digunakan bukan pada tempatnya, tetapi memeliharanya sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Bukan dalam arti larangan berzina. Ayat ini tidak menyebutkan pengecualian dalam hal kemaluan sebagiamana halnya dalam QS.al-Mu‟minun/23: 5-6. Agaknya, ayat ini mencukupkan penjelasan surah al-Mu‟minun itu dan juga karena di sini ia berbicara tentang orang-orang Mukmin yang sempurna imannya dan dikemukakan dalam konteks peringatan (Shihab8, 2000: 525). Faktor yang ketiga adalah Taubat, manusia adalah manusia, al-nas huwa alnas, begitu kata Ibrahim ibn Adham dalam kata-kata hikmahnya. Adalah manusiawi, bahwa manusia mungkin ada kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Maka Allah Maha Ghaffur selalu menerima taubat dari hambanya. Orang yang memilki kualitas spiritual tinggi akan selalu bertaubat jika ada kesalahan atau dosa
45
yang dilakukannya (Lajnah Pentashihan al-Qur‟an Kemenag, 2011: 90). Seperti dalam ayat al-Furqan/25: 70-71;
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan barang siapa bertobat dan mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya. Asbabun Nuzul ayat 70 dari riwayat al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa‟i meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra; Dia berkata:” Beberapa orang musyrik sudah banyak membunuh dan sering berzina, lalu datang kepada Nabi Saw. Dan berkata: “Apa yang engkau katakan dan serukan itu baik jika engkau memberitahukan kepada kami bahwa semua yang kami perbuat ada tebusannya.” Maka turun: “Walladzina la yad‟una….‟ Dan turun pula: “Qul Ya „ibadiyahlladzina asrafu….‟ (QS. Al-Zumar/39: 53).” (Shihab, 2013: 366-367). Dalam ayat tersebut dijelaskan, “kecuali dia yang telah taubat,” yakni menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya, serta memohon ampun kepada Allah, dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar dan tulus, serta mengamalkan amal shaleh yang sempurna. Maka, mereka itu akan diampuni Allah, sehingga mereka terbebaskan dari ancaman siksa, bahkan akan diganti Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Dan adalah Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha penyayang (Lajnah Pentashihan alQur‟an Kemenag, 2011: 90). Penjelasan di atas sejalan dengan Firman Nya dalam surah Yunus/10: 9, sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di syurga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. Yunus/10: 9). Penjelasan dalam Tafsir al-Misbah (Shihab9, 2000: 156) Ayat 70 di atas menyatakan bahwa siksa dan ancaman itu akan menimpa semua yang melakukan
46
dosa-dosa di atas. Kecuali, siapa yang telah bertaubat yakni menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya. Serta, bermohon ampun kepada Allah, dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar dan tulus serta telah mengamalkan amal shaleh yang sempurna. Kalau itu telah dipenuhinya, maka mereka itu, yakni bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, akan diampuni Allah sehingga mereka terbebaskan dari ancaman siksa. Bahkan, akan diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Dan adalah Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat ini berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw, menyangkut sekelompok orang musyrik yang ingin insyaf namun telah membunuh sedemikian banyak banyak orang dan telah sering kali pula berzina. Mereka mengakui keunggulan Islam, tetapi kata mereka; ”Bagaimana dosa-dosa kami itu, adakah jalan keluarnya?” ayat ini demikian juga surat al-Zumar ayat 53 turun mengomentari pertanyaan itu. Demikian penjelasan sahabat Nabi Saw, Ibn Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Para Ulama berbeda pendapat tentang makna firman-Nya: Yubiddilu Allah sayyiathim hasanat/akan diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Yang jelas, ia bukan berarti bahwa amal-amal buruk yng pernah meraka lakukan akan dijadikan baik oleh Allah dan diberi ganjaran. Karena, jika demikian bisa aja seseorang yang selama hidupnya berbuat kejahatan lalu bertaubat, memeroleh kedudukan yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak banyak berdosa (Shihab9, 2000: 156). Ada ulama yang memahami penggalan ayat ini dalam arti Allah mengganti aktivitas mereka, yakni yang tadinya merupakan amal-amal buruk, setelah mereka bertaubat menjadi aktivitas yang berkisar pada amal-amal baik. Dengan kata lain, kalau yang bersangkutan karena akibat dosa-dosa yang dilakukannya bagaikan mengasah dan mengembangkan potensi negatifnya sehingga selalu terdorong untuk melakukan dosa, dengan bertaubat secara tulus, ia mengasah, mengasuh dan mengembangkan potensinya positif sehingga pada akhirnya dia selalu terdorong untuk melakukan amal-amal shaleh (Shihab9, 2000: 157). Ada juga yang memahaminya dalam arti kenangan mereka terhadap amal-amal buruk itu membuahkan kebajikan. Itu terjadi karena , begitu mereka mengenangnya, mereka bertaubat. Taubat pertama ini diterima Allah sehingga terhapuslah dosa itu. Namun, yang bersangkutan masih terus mengenangnya dan takut jangan sampai Allah belum menerima taubatnya, maka dia taubat lagi untuk kedua kalinya . Nah disini karena dosanya telah terhapus oleh taubat pertama – maka taubat kedua ini dicatat sebagai amal shaleh. Demikian seterusnya, bertambah amal baiknya setiap dia mengenang dosa tersebut sambil bertaubat (Shihab9, 2000: 158). Di sisi lain, boleh jadi juga ada yang terheran-heran mendengar pergantian keburukan dengan kebaikan sebagaimana diinformasikan ayat yang lalu. Di samping itu, ayat yang lalu boleh jadi mengesankan bahwa penganugerahan taubat yang dimaksud hanya tertuju kepada kaum musyrikin yang melakukan dosa-dosa yang disebut disana, bukan kepada selain mereka dari orang Muslim yang berdosa. Untuk menampik kesan dan kemungkinan kesalah pahaman di atas, ayat ini
47
menegaskan bahwa: dan siapa saja di antara manusia yang bertaubat menyesali semua dosanya, apapun dosa itu, memohon ampun kepada Allah dan atau kepada yang dizaliminya dan mengerjakan amal shaleh walau hanya sekedar wajib baginya, maka sesungguhnya dia telah dinilai senantiasa bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Allah akan menerima amalnya yang sedikit itu dan mengembangkannya. Yang bersangkutan akan dianugerahi-Nya taufik dan hidayah sehingga dari saat ke saat niat dan tekadnya untuk mendekat kepada Nya semakin kukuh dan amalnya akan semakin baik dan bertambah. Akan semakin mudah baginya apa yang tadinya dia rasakan sulit serta semakin ringan apa yang sebelumnya diduga berat (Shihab9, 2000: 156-157). Ini sejalan dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimana mereka. (QS.Yunus /10: 9). Demikianlah ketentuan Allah yang berlaku, jangan heran dengan ketentuan ini, dan jangan juga terhadap penggantian kejahatan dan kebaikan itu! Bukankah Dia telah menyatakan sebelum ini (antara lain pada ayat yang lalu) bahwa: Allah senantiasa Maha pengampun lagi Maha Penyayang? (Shihab9, 2000: 159). Kata fainnahu, mengandung isyarat bahwa Allah menjanjikan untuk yang bersangkutan berkesinambungan taubatnya sehingga dia akan semakin dekat kepada-Nya. Dan, kesinambungan taubat itulah yang mengantar kepada lahirnya amal amal baik yang baru dan yang merupakan penggantian amal buruk menjadi amal baik. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dorongan kepada yang bermaksud meninggalkan sesuatu yang negatif agar meninggalkannya disertai dengan niat taubat kepada Allah. Merokok, misalnya, paling tidak adalah sesuatu yang negatif, kalau enggan berkata haram. Ada orang yang ingin menghentikannya kebiasaan merokok dengan alasan kesehatannya terganggu. Kepada mereka dianjurkan oleh ayat ini agar menghentikan kebiasaan buruk itu, bukan atas sekedar dorongan menjaga kesehatan, tetapi meninggalkannya demi Allah yang melarang melakukan hal-hal buruk, kurang baik atau tidak bermanfaat (Shihab9, 2000: 160). Dasar-dasar pendidikan karakter religiusitas berasal dari peraturan perundangundangan yang secara langsung dan tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama, di sekolah-sekolah ataupun dilembaglembaga pendidikan formal di Indonesia. Adapun dasar dari segi yuridis formal tersebut ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
48
1. Dasar Ideal Dasar ideal adalah dasar dari falsafah negara pancasila dimana sila pertama dari pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa seluruh bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 (Prasetia Pancakarsa) disebutkan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk merealisasi hal tersebut, diperlukan adanya pendidikan agama, karena tanpa pendidikan agama akan sulit mewujudkan sila pertama dari pancasila tersebut. Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
2. Dasar Struktural atau Konstitusional Yakni dasar dari UUD 1945, dalam Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: a. Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa. b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. (Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Bunyi ayat di atas mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama dan negara melindungi umat beragama untuk menunaikan ajaran agama dan beribadah sesuai agamanya masing-masing. 3. Dasar Operasional Yang dimaksud dengan dasar operasional adalah dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia seperti yang disebutkan Tap MPR No.IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan kembali pada Tap MPR No.IV/MPR/1978 Jo Ketetapan MPR No.II/MPR/1983, Ketetapan MPR No.II/MPR/1988, dan ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimasukkan kedalam kurikulum disekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri. Dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999 disebutkan bahwa meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sitem pendidikan agama sehingga lebih terpadu dan integral dengan sitem pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai (Saleh, 2006: 9-11). Kemudian dikuatkan lagi dengan Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Bab X Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut. (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidakan
49
agama; (b) pendidikan kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu pengetahuan alam; (f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani, dan (i) ketrampilan/kejujuran dan muatan lokal. (2) Pendidikan tinggi wajib memuat: (a) pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan, dan (c) bahasa (UUSPN No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional ((UUSPN No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional). 4. Dasar Religius Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dasar-dasar yang bersumber dari agama Islam yang tertera dalam ayat Al-Quran maupun Hadits Nabi menurut ajaran Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan perintah dari Tuhan yang merupakan ibadah kepadanya (Suprayogo, 2007: 63-64). 5. Dasar dari Sosial Psikologis Semua manusia di dunia ini membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama atau religi. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya dzat yang maha kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka meminta pertolongan. Hal semacam itu terjadi pada masyarakat primitif maupun pada masyarakat yang modern (Daradjat, et.al, 1987: 86), dan sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Ra‟ad ayat 28, yang berbunyi:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra‟d: 28). Oleh karena itu, manusia akan selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan agama yang dianutnya. Itulah sebabnya, bagi orangorang muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam agar dapat mengarahkan fitrah mereka kearah yang benar sehingga mereka dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. tanpa adanya pendidikan agama dari satu generasi ke generasi berikutnya, manusia akan semakin jauh dari agama yang benar (Daradjat, et.al, 1987: 86). Selanjutnya untuk mengenai tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
50
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dalam merumuskan tujuan-tujuan di atas, kiranya perlu diperhatikan halhal berikut (UUSPN No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional): a. Harus memenuhi situasi masyarakat Indonesia sekarang dan yang akan datang. b. Memenuhi hakiki masyarakat c. Bersesuaian dengan Pancasila dan Undang-Undang 1945 d. Menunjang tujuan yang secara hirarki berada di atasnya. Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa tujuan pendidikan agama Islam harus mendukung tujuan instusional dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan agama harus mengarahkan tujuannya untuk memenuhi tuntutan dari lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tersebut, dan secara umum harus memenuhi tujuan pendidikan nasional. Singkatnya tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik anak-anak, pemuda pemudi dan orang dewasa supaya menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal soleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang masyarakat yang sanggup hidup diatas kaki sendiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya bahkan sesama umat manusia (Mansyur dkk, 1981: 34; Yunus, 1983: 13). Berdasarkan penjelasan di atas, maka nilai pendidikan karakter bangsa tentang religius tidak bertentangan dengan tuntunan al-Qur‟an. Menurut Kemendiknas, kereligiusan seseorang dapat diukur dari sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Badan Penelitian dan Pengembangan-Puskur Kemendiknas, 2010), 9; Suyadi, 2013: 8-9). Al-Qur‟an dalam berbagai ayat juga menganjurkan kepada umat manusia untuk berperilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya sebagimana yang telah dijelaskan di atas. Kereligiusan berikutnya yang ditandai dengan sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain juga sejalan tuntunan al-Qur‟an. Namun demikian, toleran bukan berarti harus mengikuti ritual pelaksanaan ibadah agama lain. Islam punya ritual pelaksanaan ibadah sendiri yang berbeda dengan agama lain, begitupun sebaliknya. Mencampuradukkan atau mengikuti antar berbagai ritual pelaksanaan ibadah agama lain bukan merupakan suatu toleransi. Islam menganjurkan agar ada pembeda dalam hal ibadah, lakum dinukum waliya al-din, bagimu agamamu dan bagiku agamaku adalah batasan toleransi dalam Islam. Sedangkan kereligiusan dengan ciri selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain juga sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an. Kerukunan dalam Islam diberi istilah “tasamuh” atau toleransi. Sehingga yang di maksud dengan toleransi ialah kerukunan sosial kemasyarakatan, bukan dalam bidang aqidah Islamiyah (keimanan), karena aqidah telah digariskan secara jelas dan tegas di dalam AlQur‟an dan Al-Hadits. Dalam bidang aqidah atau keimanan seorang Muslim
51
hendaknya meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan keyakinan yang dianutnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Kafirun (109) ayat 1 – 6 sebagai berikut: “Katakanlah, “Hai orang-orang kafir!.“ Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tiada (pula) kamu menyembah Tuhanyang aku sembah. Dan aku bukan penyembah apayang biasa kamu sembah. Dan kamu bukanlah penyembah Tuhanyang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Sikap sinkritisme dalam agama yang menganggap bahwa semua agama adalah benar tidak sesuai dan tidak relevan dengan keimanan seseorang Muslim dan tidak relevan dengan pemikiran yang logis, meskipun dalam pergaulan sosial dan kemasyarakatan Islam sangat menekankan prinsip toleransi atau kerukunan antar umat beragama. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara anggota masyarakat (Muslim) tidak perlu menimbulkan perpecahan umat, tetapi hendaklah kembali kepada Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah SAW., kerukunan sosial kemasyarakatan telah ditampakkan pada masyarakat Madinah. Pada saat itu rasul dan kaum muslim hidup berdampingan dengan masyarakat Madinah yang berbeda agama (Yahudi dan Nasrani). Konflik yang terjadi kemudian disebabkan adanya penghianatan dari orang bukan Islam (Yahudi) yang melakukan persekongkolan untuk menghancurkan umat Islam (Lajnah Pentashih al-Qur‟an, 2007: 395). B. Jujur Jujur dalam al-Quran ada terulang sebanyak 14 kali. Ayat-ayat berikut menjelaskan tentang tuntunan untuk berperilaku jujur, yaitu: (2; 117, 282); (3; 17); (5; 119); (8; 23, 24, 58); (9; 119); (33; 8); (39; 33, 35); (47; 21); (49; 15) (Lajnah Pentashih al-Qur‟an, 2007: 395). Bersikap jujur merupakan dasar pergaulan sosial yang paling asasi. Sebab, tidak ada seorangpun yang ingin dibohongi dalam hal apapun. Karena itu, bersikap jujur menjadi concern Islam. Sebagaimana dalam hadis:
َّصذِق ْ َعَهَ ْيكُ ْى بِانّصِ ْذقِ فَاءٌَِ انّصِ ْذقَ يَ ْٓذِٖ اِنَٗ انْبِّرِ َٔاٌَِ انْبِّرَّ يَ ْٓذِٖ اِنَٗ انْجََُتِ َٔيَا يَزَالَ انّْرَجُمَ ي )ٍِ عَ ْبذِ اهلل ْ َسهِ ْى ع ْ َُٔيَتَحَّرَٖ انّصِ ْذقَ حَتَٗ يَ ْكتُبُ عِ ُْذَ اهللِ صَذِ ْيمًا (رََٔاُِ ي “Hendaklah kalian senantiasa berkata jujur, karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa kepada syurga. Dan ketika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha keras untuk jujur, sehingga ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar-benar jujur.” (HR. Muslim dari „Abdullah). Sikap jujur merupakan kesesuaian antara perkataan dengan apa yang ada didalam hati, juga dengan tingkah laku, sebab apabila tidak sesuai dengan salah satunya maka ia telah berdusta (Lajnah Pentashih al-Qur‟an, 2007: 393). Menurut al-Isfahani dalam buku Tafsir al-Qur‟an Tematik, ada empat kriteria seseorang bisa disebut shiddiq (orang yang benar-benar jujur). Pertama adalah orang yang
52
jujurnya lebih banyak dari dustanya. Kedua, orang yang tidak pernah berbohong sama sekali. Ketiga, orang yang berusaha keras untuk tidak berbohong agar terbiasa jujur. Keempat, orang yang benar, baik perkataan maupun akidahnya, yang dibuktikan melalui perbuatan (Lajnah Pentashih al-Qur‟an, 2007: 394). Kejujuran juga dijadikan sebagai salah satu kriteria ketakwaan seseorang, seperti pada Firman Allah SWT, QS. Al-Imran ayat 17:
“Orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar.” (QS. QS. Al-Imran: 17). Firman Allah SWT,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. Al-Taubah: 119). Ayat ini memerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa jujur. Perintah berlaku jujur di sini ditampilkan dengan redaksi kunu ma‟as-shodiqin (senantiasalah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur). Redaksi ini dipandang jauh lebih dalam maknanya dibanding redaksi usduqu (jujurlah). Sebab, ketika seseorang diperintahkan untuk selalu beserta orang-orang yang jujur, maka ia secara tidak langsung harus berusaha untuk menghadirkan seseorang yang jujur di sisinya atau berusaha setiap saat selalu berada di tengah orang-orang yang jujur (Lajnah Pentashih al-Qur‟an, 2007: 395). Dalam Tafsir al-Misbah, anugrah Allah yang diraih oleh mereka yang diuraikan kisahnya oleh ayat sebelumnya adalah karena ketakwaan, kesungguhan dan kebenaran mereka. Mereka itulah yang hendaknya diteladani. Karena itu, Allah mengajak, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dengan seluruh kemampuan kamu dengan menjauhi seluruh larangan-Nya dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar dalam sikap, ucapan dan perbuatan mereka.” Kata al-shadiqin adalah bentuk jamak dari kata )ق ُ ِ (اَنّْصَذal-shadiq. Ia terambil dari kata )ٌ(صِذْق, shidq/benar. Berita yang benar adalah yang sesuai kandungannya dengan kenyataan. Dalam pandangan agama, ia adalah yang sesuai dengan apa yang diyakini. Makna kata ini berkembang sehingga ia mencakup arti sesuai berita dengan kenyataan, sesuainya perbuatan dengan keyakinan, serta adanya kesungguhan dalam upaya dan tekad menyangkut apa yang dikehendaki. Mufassir al-Biqa‟i memahami kata )َ(يَع, ma‟a/bersama, sebagai isyarat kebersamaan, walaupun dalam bentuk minimal.
53
Memang, seperti kata orang: “Jika Anda tidak dapat menjadi manusia agung, tirulah mereka. Kalau Anda tidak dapat meniru mereka, bergaullah bersama mereka dan janganlah tinggalkan mereka.” (Shihab5, 2000: 280). Siapa yang selalu bersama sesuatu, sedikit demi sedikit ia akan terbiasa dengannya. Karena itu, Nabi saw, berpesan: “Hendaklah kamu (berucap dan bertindak) benar. Kebenaran mengantar kepada kebajikan dan kebajikan mengantar ke syurga. Dan seseorang yang selalu (berucap dan bertindak) benar serta mencari yang benar, pada akhirnya dinilai di sisi Allah sebagai shiddiq.” (Shihab5, 2000: 281). Allah berfirman:
“Dan apabila engkau (Nabi Muhammad saw) benar-benar khawatir (akan terjadi) pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah kepada mereka (perjanjian itu) dengan seimbang (adil dan jujur). Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pengkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58). Penjelasan dalam Tafsir al-Mishbah setelah ayat yang lalu memberi petunjuk bagaimana memperlakukan siapa yang terbukti melanggar perjanjian, ayat ini memberi petunjuk langkah yang harus diambil bila pengingkaran perjanjian belum terbukti dengan jelas. Ayat ini berpesan: “dan jika engkau benar-benar khawatir,” yakni menduga keras akan terjadi, pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka, yakni sampaikanlah kepada mereka pembatal itu sebelum mereka membatalkannya dalam kenyataan di lapangan sehingga membahayakan kamu dan hendaklah pembatalan itu engkau lakukan dengan seimbang, yakni adil dan jujur. Karena, jika engkau membatalkannya tanpa memberitahu mereka dengan jelas, engkau dinilai mengkhianati mereka. Di sisi lain, perintah membatalkan perjanjian itu karena mereka telah berkhianat dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat siapapun yang melakukannya (Shihab4, 2000: 584). Kejujuran dalam proses belajar mengajar merupakan suatu hal yang sangat penting. Karena kejujuran mendasari semua aktivitas dalam belajar mengajar. Ada lima implikasi kejujuran terhadap proses belajar mengajar yaitu; tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, alat pendidikan dan lingkungan sekitar (Arifin, 2003: 108111).
54
1. Tujuan Pendidikan Pendidikan Islam adalah sistem yang didalamnya terjadi proses kependidikan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan adalah suatu nilai ideal yang hendak diwujudkan melalui proses kependidikan. Menurut Al-Abrasyi seperti dikutip oleh Ramayulis (2002: 72) bahwa tujuan pendidikan islam diarahkan kedalam lima pokok, yaitu: a. Pembentukan akhlak mulia (al-Fadilat). b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama (kejujuran) dan ilmu akan membawa manusia kepada kesempurnaan. d. Menumbuhkan roh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. e. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezeki. Internalisasi dan tranformasi nilai-nilai Islam seperti iman, taqwa, jujur, sabar (akhlak al-Karimah) ke dalam pribadi anak didik amat bergantung sejauh mana tujuan pendidikan itu dirumuskan dengan memasukan nilai-nilai tersebut. Hal ini mengandung tuntutan bahwa rumusan tujuan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pribadi anak dan nilai-nilai tersebut harus sejalan dengan kemampuan anak didik serta ditanamkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak didik. 2. Pendidik Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Sebagai pengendali dan pengarah proses serta pembimbing arah perkembangan dan pertumbuhan anak didik, maka pendidik harus miliki sifat terpuji dan berakhlak mulia. Ia harus memiliki kejujuran pada diri sendiri, niat, ucapan dan perbuatan harus sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang ia emban. Selain memiliki sifat jujur, pendidik juga harus memahami dan cakap mempergunakan segala macam metode dalam penerapan proses kependidikan sesuai dengan tuntutan kebutuhan tingkat perkembangan dan pertumbuhan kognitif, konatif dan emosional serta psikomotorik anak didik dalam kerangka fitrahnya masing-masing. Pendidik muslim dilihat dari fungsinya, bukan hanya sebagai pribadi yang berwibawa terhadap anak didiknya. Tetapi ia juga sebagai pembawa norma-norma Islam yang menerukan tugas dan misi kerasulan para rasulullah, sebagai pendidik utama, mencontoh sifat-sifat Allah sebagai Maha Pendidik sekalian alam.
55
3. Anak didik Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Ia sangat membutuhkan bimbingan dan arahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal fitrahnya. Oleh karena itu, anak didik harus diarahkan pada hal-hal yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Anak didik harus bersikap rendah hati pada ilmu dan guru. Dengan cara demikian ia akan tercapai cita-citanya. Ia juga harus menjaga keridlaan gurunya, ia senatiasa berisikap jujur pada dirinya sendiri dalam ucapan perbuatan dan pergaulan (Abudin, 2007: 102-103). Maulana al-Alam al-Hajar al-Husain bin Amir al-Mu‟minin al-Mansur bi Allah bin Muhammad Ali sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2007: 105-107) menyatakan bahwa anak didik harus memiliki etika dalam belajar sebagai berikut: a. Anak didik harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang jelek dan sifat-sifat tercela. b. Anak didik hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi, melainkan ia harus sungguh-sungguh dan bekerja keras menuntut ilmu. c. Anak didik tidak boleh menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya. d. Anak didik harus jujur dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya sebagai pelajar. e. Anak didik agar mencari ilmunya didasarkan pada upaya untuk menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa anak didik harus bersih hatinya dan jujur agar mendapat pancaran ilmu dengan mudah dari Allah SWT. Ia juga harus menunjukan sikap akhlak yang tinggi terutama terhadap guru, giat belajar, pandau menbagi waktu dan tidak sombong dengan ilmu yang dimilikinya. 4. Alat pendidikan Di dalam pendidikan Islam, alat atau media itu jelas diperlukan, karena alat itu mempunyai peranan yang besar yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.Yusuf Hadi Miarso seperti dikutip oleh Amir Daien (2001: 146) menyatakan bahwa alat/media itu mempunyai nilai-nilai praktis yang berupa kemampuan antara lain: a. Membuat konkrit konsep yang abstrak; b. Membawa objek yang sukar didapat kedalam lingkungan belajar siswa; c. Menampilkan objek yang terlalu besar; d. Menampilkan objek yang tak dapat diamati dengan mata telanjang; e. Mengamati gerakan yang terlalu cepat; f. Memungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi bagi pengalaman belajar siswa; g. Membangkitkan motivasi belajar; dan h. Menyajikan informasi belajar secara konsisten.
56
Sementara itu Abu Bakar Muhammad (2005: 23-25) menyatakan bahwa kegunaan media itu antara lain: a) Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelas materi pelajaran yang sulit; b) Mampu mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan menarik; c) Merangsang anak untuk bekerja dan menggerakan naluri kecintaan menelaah dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu; d) Membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat, memperhatikan dan memikirkan suatu pelajaran; e) Menimbulkan kekuatan perhatian (ingatan) mempertajam indera, melatih, memperhalus perasaan dan cepat belajar. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa peranan media itu penting sekali. Selain alat/media yang berupa benda perlu juga dikembangkan alat/media yang bukan benda, sebab pada umumnya alat/media yang bukan benda lebih banyak tujuannya untuk pembentukan kepribadian yang baik dan sempurna. Dalam pendidikan islam qudwah hasanah, merupakan media/alat yang sangat penting dalam membiasakan anak untuk memiliki akhlak yang baik, moral yang luhur dan budi yang mulia. 5. Lingkungan Sekitar Lingkungan sekitar dapat dibagi menjadi lingkungan yang disengaja seperti lingkungan kependidikan, kebudayaan dan masyarakat, dan lingkungan tak disengaja seperti lingkungan alam dan lingkungan hidup (ekosistem). Semua lingkungan tersebut mempengaruhi terhadap perkembangan anak didik, baik pengaruh yang baik (positif) maupun pengaruh negatif. Untuk membentuk anak didik yang memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang mulia, harus didukung oleh lingkungan yang baik. Menurut Arifin (2003: 110-111), lingkungan atau suasana yang edukatif yang dapat memperlancar proses pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Mendorong anak didik untuk mengenali diri sendiri dan alam sekitarnya sehingga akan lahir aktivitas-aktivitas secara konstruktif dan stimulan. b) Mendorong untuk mendapatkan pola tingkahlaku yang menjadi kebiasaan hidup yang bermanfaat bagi dirinya. c) Mendorong mengembangkan perasaan puas atau tak puas serta timbulnya reaksi-reaksi emosional yang menguntungkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain dan dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa lingkungan internal dan eksternal yang baik adalah lingkungan yang mendorong dan mendukung anak didik untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. Lingkungan yang demikian ini sangat diperlukan dalam rangka membentuk anak didik yang memiliki kepribadian yang jujur dan akhlak yang mulia. Konsepsi dari Kemendiknas, pendidikan karakter jujur hanya didefinisikan dan bertujuan berlandaskan pada perilaku yang
57
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 9). Konsep pendidikan karakter kejujuran dalam al-Qur‟an lebih komprehensif dari konsepsi Kemendiknas. Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, kejujuran (al-shidq) mencakup arti tidak saja hanya sekedar bermakna sesuai berita dengan kenyataan, sesuainya perbuatan dengan keyakinan, akan tetapi juga harus turut serta adanya kesungguhan dalam upaya dan tekad menyangkut apa yang dikehendakinya tersebut. Konsepsi kejujuran Kemendiknas bersifat statis, sedangkan konsepsi kejujuran dari al-Qur‟an bersifat dinamis. C. Toleransi Makna toleransi yang penulis pahami adalah saling menghormati antar pemeluk agama, dengan memberikan kebebasan dalam menjalan ibadah yang dianutnya tanpa ada rasa ketakutan serta menjalankan keyakinannya dengan tanpa paksaan dan dibawah tekanan orang lain. Ada beberapa pemahaman tentang toleransi dalam al-Quran di antaranya adalah: Prinsip kebebasan beragama dalam al-Quran (2; 256); (10; 99-100); (18; 6, 29); (35; 8); Penghormatan Islam terhadap agama lain, (3; 64); (5; 5); (6; 108); (22; 40); (30; 22); (34; 25-26); (49; 13); (60; 8-9); (109; 16); Membangun persaudaran dengan sesama Muslim, (3; 103); (5;2); (8; 72-74); (9; 24); (49; 9-10); dan persaudaraan dengan non-Muslim, (4; 1); (49; 13) (Asyarie dan Yusuf, 2000: 230-235). Menurut M. Abdel Halim (2002: 104), toleransi berkonotasi menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan. Meskipun demikian, ia memperlihatkan tidak setuju yang tersembunyi dan biasanya merujuk kepada sebuah kondisi dimana kebebasan yang diperbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat. Sebenarnya toleransi lahir dari watak islami, seperti perbedaan warna kulit, bahasa, berbeda suku, ras dan agama itu ditunjukan dalam al-Quran Surat al-Hujrat ayat 13 yang menciptakan kasih sayang bukan yang bersifat diskriminatif. Salah satu ajaran Islam yang sangat mulia adalah penerimaan terhadap kebhinekaan dalam beragama. Islam datang dengan membawa pengakuan terhadap realitas kehidupan manusia dengan berbagai agama yang mereka peluk. Islam sama sekali tidak datang untuk memaksa mereka berpindah agama dari non-Islam ke Islam (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-QuranKemenag, 2011: 71). Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama: “Laa ikrahafiddiin,” yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah/2: 256). Keyakinan bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang benar tidak lantas menafikan eksistensi agama lain. Keimanan dan kekufuran adalah sebuah pilihan (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran-Kemenag, 2011: 72). Allah berfirman:
58
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahf/18: 29). Sikap toleran dalam kehidupan beragama akan dapat terwujud apabila ada kebebasan dalam masyarakat untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Al-Qur‟an secara tegas melarang untuk melakukan pemaksaan terhadap orang lain agar memeluk Islam (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran-Kemenag, 2011: 72). Hal ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256). Dalam ayat di atas dinyatakan tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama; Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih jika jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut akidah Islam (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran-Kemenag, 2011: 27). Penjelasan Tafsir al-Mishbah bahwa Allah dan kewajaran-Nya untuk disembah, serta keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya, serta jelas pula bahwa Dia memiliki kekuasaan yang tidak terbendung, bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk menganut agama-Nya, apalagi dengan kekuasaan-Nya yang tidak terkalahkan itu. Untuk menampik dugaan ini, datanglah ayat 256 ini (Shihab1, 2000: 668). Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada paksaan? Padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu. Mengapa ada paksaan? Padahal sekiranya Allah
59
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), (QS. Al-Maidah/5; 48). Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti, jika seseorang telah memilih satu akidah, katakan saja akidah Islam, dia terikat dengan tuntunantuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintah perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh berkata “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah. “Karena, bila dia telah menerima akidahnya, dia harus melaksanakan tuntunannya (Shihab1, 2000: 668). Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam dalam menganut keyakinan agama, Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai sehingga tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan? Padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian, sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang dihadapannya. Ayat ini menggunakan kata )ِ(رُشْذ, rusyd, yang mengandung makna jalan lurus. Kata ini pada akhirnya bermakna bertepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu. Ini bertolak belakang dengan al-ghayy, yang terjemahannya adalah jalan yang sesat. Jika demikian, yang menelurusuri jalan yang lurus itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan. Tidak ada paksaan dalam menganut agama karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang belum mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi jangan berkata bahwa tidak tahu jika mempunyai potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak digunakan. Di sinipun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang dimiliki (Shihab1, 2000: 669). Yang enggan memeluk ayat ini terbawa oleh rayuan Thaghut, sedangkan yang melakukannya adalah yang ingkar dan menolak ajakan Thaghut, dan meraka itulah orang-orang yang memiliki pegangan yang teguh kukuh. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah Swt, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali (buhul) yang amat kuat yang tidak akan putus. Kata Thaghut, terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas. Biasanya digunakan untuk melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal, penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan Ilahi, tiran semuanya digelari dengan Thaghut. Yang memeluk agama Islam harus menentang dan menolak ajakan mereka semua. Ini harus didahulukan sebelum mengakui keesaan Allah. Bukankah ayat ini mendahulukan pengingkaran terhadap Thaghut, baru kemudian menyatakan percaya kepada Allah? Bukankah Syahadat yang diajarkan adalah mendahulukan penegasan bahwa Tiada Tuhan yang berhak disembah, baru segera disusul dengan kecuali Allah? Memang, menyingkirkan keburukan harus diutamakan harus didahulukan dari pada menghiasi diri dengan keindahan
60
(Shihab1, 2000: 670). Dalam menyembah kepada Allah tidak boleh sedikitpun ada campuran dengan penyembahan dengan yang lain, bahkan yang berdesir di hati sekalipun. Bahwa Allah hanya satu-satunya Tuhan yang pantas disembah dengan tidak menyekutukannya. Berpegang teguhlah pada buhul, tali yang amat kuat. Berpegang teguh, disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekedar berpegang, sebagaimana dipahami dari kata (َ)اِسْتًَْسَك, istamsaka, yang menggunakan huruf-huruf )(س, sin‟ dan )(ث, ta,‟ bukan )َ (يَسَكmasaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu akan putus. Kesungguhan untuk memegang gantungan itu disebabkan ayunan Thaghut cukup kuat sehingga diperlukan kesungguhan dan kekuatan (Shihab1, 2000: 670). Kata urwah yang di atas diterjemahkan dengan gantungan tali adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada timba guna mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegangan dengan gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan. Manusia menbutuhkan air (H2O), yang menggunakan gabungan dua molekul hydrogen dan satu molekul oksigen untuk kelangsungan hidup jasmaninya. Manusia juga membutuhkan air kehidupan yang merupakan syahadatain, gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada Kerasulan Nabi Muhammad Saw (Shihab1, 2000: 671). Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada seutas tali yang amat kukuh, bahkan seandainya ia terjerumus masuk kedalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong karena ia tetap berpegang pada tali yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan timba yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan ditarik ke atas. Demikian juga seorang Mukmin yang terjerumus ke dalam kesulitan. Memang dia turun atau jatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain (Shihab1, 2000: 671). Tugas dari seorang Nabi dan ulama-ulama pewaris kenabian adalah berdakwah, bukan memaksa non-Muslim berkonvensi menjadi Muslim. Sejak Nabi Muhammad Saw berada di Mekkah, Allah Subhanahu Wa Ta‟ala menegaskan tugas ini dalam firman:
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. AlGhasyiyah/88: 21-22). Ada satu hal yang sangat penting yang harus digaris bawahi adalah bagaimanapun keyakinan seseorang akan suatu hal tidak bisa dijadikan alasan
61
untuk memaksakan nya kepada orang lain (Lajnah Pentashihan al-Qur‟an Kemenag, 2011: 73). Di dalam al-Quran Allah memberitahu kita bahwa tujuan penciptaan suku dan manusia berbeda adalah, “Bahwa mereka seharusnya memahami satu sama lain” (QS. 49: 13). Bangsa atau manusia yang berbeda semuanya adalah hamba Allah. Maka semestinya, mereka memahami satu sama lain, yaitu belajar mengenai budaya, agama, tradisi, dan kemampuan yang berbeda-beda. Tujuannya bukan untuk menjadi konflik atau perang, melainkan kekayaan budaya, keragaman macam itu merupakan karunia Allah (Yahya, 2004: 5). Pada masa Nabi Saw, kontrak-kontrak yang ditandatangani dengan para Ahli Kitab dan para penyembah berhala menjamin keadilan dalam masyarakat. Setelah migrasi-migrasi Nabi Saw dari Makkah ke Madinah, ia menghadapi pelbagai komunitas yang berbeda. Pada masa itu, orang-orang Yahudi, Kristen, dan para penyembah berhala yang memegang kekuasaan seluruhnya tinggal bersama. Di bawah kondisi tersebut, Nabi Muhammad Saw mempersatukan struktur kosmopolitan untuk menjamin kesatuan sosial dan perdamaian, dengan membuat kesepakatan-kesepakatan sosial dengan mengirimkan surat-surat atau mengadakan pertemuan-pertemuan tatap-muka untuk mencapai kesepakatan atau kompromi sosial (Yahya, 2004: 42). Allah memerintahkan orang Muslim untuk percaya terhadap seluruh Kitab Suci yang disampaikan-Nya dan menghormati kepercayaan-kepercayaan mereka, seperti dalam QS. 42: 15,
”Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperitahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNya-lah kembali (kita).” (QS. 42: 15). Ayat di atas menjelaskan hubungan yang harus dibangun seorang muslim dengan masyarakat agama lain. Masyarakat Muslim juga bertanggung jawab mengadopsi akhlak Nabi Saw dan menjadi toleran serta adil terhadap masyarakat lain (Yahya, 2004: 43). Hijrah Nabi Saw ke Madinah dan pemerintahannya di kota tersebut ditandai oleh persaudaraan dan toleransi. Ini membuktikan bahwa kehidupan yang damai diantara kelompok beda agama, ras dan bahasa, sangatlahdimungkinkan. fakta bahwa teks pertama yang didiktekan Nabi
62
Muhammad Saw adalah suatu kesepakatan damai menyediakan bukti fakta bahwa beliau bekerja untuk menegakkan perdamaian dan toleransi (Yahya, 2004: 44). Semangat toleransi kemanusiaan dalam Islam memungkinkan terpeliharanya perdamaian di muka bumi, memungkinkan terciptanya kerukunan semua bangsa dan semua warna kulit; menanamkan semangat persaudaraan dan kasih sayang diantara semua manusia, membersihkan suasana kehidupan dari berbagai racun seperti: iri, dengki, fitnah, saling menghancurka antar golongan dan membinasakan antara ras yang satu dengan ras yang lainnya. Kecuali itu, semangat toleransi Islam pun memungkinkan tercegahnya erbagai macam peperangan dan pembantaian yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut (Quthb, 1987: 135). Allah berfirman:
“Hai (seluruh) manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13). Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut: 46,
“Dan janganlah kamu (kaum Muslimin) membantah dan (berdiskusi dengan) Ahl al-Kitab (orang-orang Yahudi dan Nasrani), kecuali dengan (cara) yang terbaik, tetapi (terhadap) orang-orang yang (berbuat) aniaya di antara mereka (maka kamu boleh tidak melakukan yang terbaik untuk mereka), dan katakanlah: ”Kami telah beriman kepada (apa) yang telah diturunkan kepada kami dan (apa) yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa dan kami kepada-Nya adalah orang-orang Muslim (tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah Swt).” (QS. Al-Ankabut: 46).
Allah berfirman dalam Surat Al-Kafirun: 1-6,
63
Surah ini turun di Makkah sebelum nabi saw hijrah ke Madinnah. Namanya yang paling poluler adalah “surah al-kafirun.” Nama lainya adalah surah al-Ibadah atau surah ad-Din. Tema utama uraiannya adalah pembedaan secara jelas antara keislaman dan kekufuran sekaligus meletakkan dasar utama bagi tercptanya kerukunan antar pemeluk agama/kepercayaan yang intinya adalah mempersilahkan masing-masing melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling mengganggu.Tujuannya adalah menciptakan hubungan harmonis dalam kehidupan masyarakat plural tanpa penyatuan/pencampuran bauran ajaran agama-agama (Shihab, 2008: 317). Inti sari kandungan ini menanggapi usulan tokoh-tokoh kaum musyirik untuk berkompromi dalam akidah, surah ini menolaknya sambil mengajukan cara terbaik bagi aneka penganut agama dan kepercayaan untuk hidup berdampingan dalam suasana aman dan harmonis. Ayat pertama memerintahkan Nabi Muhammad Saw menyampaikan sikap tegas ajaran Islam bahwa: katakanlah kepada tokoh-tokoh kaum musyrik yang datang kepadamu mengusulkan kompromi bahwa, Aku sekarang hingga masa datang tidak akan menyembah apa yang sedang kamu sembah. (QS. Al-Kafirun: 1-2). Dan tidak juga kamu menjadi penyembah, penyembah apa yang sedang aku sembah. Selanjutnya, ayat 4 melanjutkan bahwa Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang sedang aku sembah. (QS. AlKafirun: 3-5). Kamu pun tidak akan menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku. Lalu, ayat 6 merumuskan titik temu yang dapat dilakukan yaitu: Bagi kamu secara khusus agama kamu. Agama itu tidak menyentuhku sedikitpun kamu bebas mengamalkan sesuai kepercayaan kamu dan harus mempertanggungjawabkan dan bagiku juga secara khusus agamaku, aku pun mestinya memperoleh kebebasan untuk melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikitpun olehnya. Aku bersedia mempertanggungjawabkan serta menerima ganjaran dan balasan Tuhan (Shihab, 2008: 317-319). Dalam penjelasan Tafsir al-Mishbah dapat dikatakan bahwa Islam memperkenalkan dua macam ajaran. Pertama, Nazhari (teoritis), meminjam istilah Mahmud Syaltut. Kedua, amali (praktis). Yang Nazhari atau teoritis bekaitan dengan benak dan jiwa sehingga ajaran ini harus dipahami sekaligus diyakini. Ini menjadikan sisi ajaran dapat dipastikan kebenarannya, ia dinamai Aqidah, yakni sesuatu yang pasti tidak mengandung interpertasi yang lain. Sedang amali adalah yang berkaitan dengan pengalaman dalam dunia nyata, inilah yang dinamai Syariah
64
(Shihab15, 2000: 679). Ajaran yang pasti, setalah diyakini sebagai kebenaran mutlak, tidak harus dinyatakan keluar, kecuali bila ada hal-hal yang mengundang kehadirannya keluar. Di sini antara lain peranan kata Qul (ْ) ُلم/katakanlah, dalam berbagai ayat-ayat al-Qur‟an. Kata Qul, 332 kali kata itu terulang dalam al-Qur‟an dan secara umum dapat dikatakan bahwa kesemuanya berkaitan dengan persoalan yang menjadi jelas dan nyata bagi pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka dapat menyesuaikan sikap mereka dengan sikap umat Islam (Shihab15, 2000: 679). Kata al-kafirun (ٌَْٔ )اَنْكَافِ ُّرterambil dari kata (َ )كَفَّرkafara yang pada mulanya berati menutup. Al-Qur‟an menggunakan kata tersebut untuk berbagai makna yang masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat konteksnya. Kata ini dapat berarti: a). Mengingkari keesaan Allah dan Kerasulan Muhammad saw seperti pada QS. Saba‟/34:3; b). Tidak mensyukuri nikmat Allah, seperti pada QS. Ibrahim/14:7; c). Tidak mengamalkan tuntunan Ilahi walau mempercayainya, seperti QS. Al-Baqarah/2:85. Masih ada arti kata lain dari kata kufur, namun dapat disimpulkan bahwa secara umum, kata itu menunjuk kepada sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan kehadiran/tuntunan agama. Yang dimaksud dengan orang-orang kafir pada ayat pertama dalam surah ini adalah tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keesaan Allah dan tidak mengakui Kerasulan Muhammad Saw. Sementara ulama merumuskan bahwa semua kata kufur dalam berbagai bentuknya yang terdapat dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi saw berhijrah, kesemuanya bermakna orang-orang musyrik atau sikap-sikap mereka yang tidak mengakui Kerasulan Nabi Saw atau meninggalkan ajaran-ajaran pokok Islam (Shihab15, 2000: 680). Kata ( )اَعْ ُب ُذa‟budu berbentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari) yang mengandung arti dilakukannya pekerjaan dimaksud pada saat ini, atau masa yang akan datang, atau secara terus-menerus. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk menyatakan bahwa; aku sekarang dan di masa datang bahkan sepanjang masa tidak akan menyembah, tunduk, atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah, wahai kaum musyrikin (Shihab15, 2000: 680). Pada ayat ke tiga mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan mengabdi atau taat kepada Allah, Tuhan yang sekarang dan di masa datang yang disembah oleh Rasullah Saw. Pernyataan ayat ini tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah, yaitu berduyun-duyunnya penduduk Mekkah yang tadinya kafir itu memeluk agama Islam dan menyembah apa yang Rasul sembah (Shihab15, 2000: 680). Kandungan ayat-ayat diatas sama dengan kandungan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka apakah engkau beri peringatan mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman.” (QS. Al-Baqarah/2]:6). Yang dimaksud dengan „orang-orang kafir‟ pada ayat al-Baqarah itu adalah orang kafir tertentu yang bermukim di Makkah atau Madinah, bukan semua orang kafir. Karena jika ayat tersebut difahami sebagai tertuju kepada semua orang kafir, tentu Nabi tidak akan memberi peringatan lagi karena ayat di atas menginformasikan bahwa mengingatkan atau tidak, hasilnya sama saja, yaitu mereka tidak beriman. Kenyataan menunjukkan bahwa, setelah turunnya ayat tersebut, Rasul masih saja terus melakukan peringatan dan ternyata pula bahwa sebagian besar dari orang-
65
orang kafir pada akhirnya percaya dan memeluk agama Islam (Shihab15, 2000: 681). Ayat 1-3 diatas berpesan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk menolak secara tegas usul kaum musyrikin. Bahkan, lebih dari itu ayat-ayat tersebut bukan saja menolak usul yang mereka ajukan sekarang tetapi juga menegaskan bahwa tidak mungkin ada titik temu antara Nabi Saw. Dan tokoh-tokoh tersebut karena kekufuran sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka. Kekeraskepalaan mereka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan atau kemungkinan, baik masa kini atau masa datang untuk bekerja sama dengan mereka (Shihab15, 2000: 681). Pada ayat 4-5 ini mufassir Quraish Shihab berpendapat bahwa kandungan ayat 4 tidak berbeda dengan ayat 2. Demikian juga ayat 5 tidak berbeda dengan ayat 3. Tetapi ada perbedaan dalam redaksi ayat 2 dan 4 perbedaan itu adalah mengarahkan kata (ْ‟)عَبَذْ ُتىabadtum, kata kerja masa lampau sedangkan ayat 4 kata (ٌَْٔ )تَعْ ُب ُذta‟budun, kata kerja masa kini dan yang akan datang pada ayat 2. Bila memperhatikan ayat 3 dan 5 keduanya berbicara tentang apa yang disembah atau ditaati oleh penerima wahyu ini (Nabi Muhammad Saw), yakni menggunakan kata ( )اَعْ ُب ُذa‟budu dalam dalam bentuk kata kerja masa kini dan dating (Shihab15, 2000: 681). Kesan yang diperoleh berkaitan dengan perbedaan tersebut adalah bagi Nabi saw. Ada konsistensi dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam arti yang beliau sembah tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan orang kafir itu. Rupanya apa yang mereka sembah hari itu berbeda dengan apa yang mereka sembah kemarin. Di sini letak perbedaan ayat ayat tersebut (Shihab, 2008: 772). Ayat 2 dan 4 menegaskan bahwa Nabi saw, tidak mungkin akan menyembah atau taat kepada sembahan-sembahan mereka, baik yang mereka sembah hari atau besok maupun yang mereka pernah sembah kemarin. Sejarah menceritakan bahwa kaum musrikin seringkali mengubah sembahan mereka. Abu Raja al-Atharidi, seorang yang hidup pada masa jahiliyah dan baru memeluk agama Islam setelah Nabi Saw wafat menceritakan bahwa, “Pada masa Jahiliyah, bila kami menemukan batu yang indah kami menyembahnya, dan bila tidak, kami membuat bukit kecil dari pasir, kemudian kami bawa unta yang sedang banyak susunya dan kami peras susu itu di atas bukit (buatan tadi), lalu kami sembah bukit itu selama kami berada di bukit itu.” (HR. Al-Dharimi). (Shihab15,
2000: 682). “Aku tidak pernah menjadi penyembah dengan (cara) penyembahan kamu, kamu sekalian pun tidak akan penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.” Memang, ada tuntunan-tuntunan agama, yang pada mulanya dari ajaran Ibrahim as, yang diamalkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan diamalkan pula oleh kaum musyrikin di Makkah, tetapi dengan melakukan perubahan tata cara pelaksanaannya, salah satunya adalah pelaksanaan ibadah haji (Shihab15, 2000: 683). Orang-orang kafir melaksanakan haji, tetapi sebagian dari mereka ada yang enggan mengenakan pakaian, ada juga yang enggan berkumpul di Padang Arafah tetapi menyendiri di Muzdalifah. Kelompok mereka dikenal dengan al-Hummas.
66
Itu salah satu perbedaan cara ibadah, walaupun namaya bagi kita dan mereka adalah haji. Cara kaum Muslimin menyembah adalah berdasarkan petunjuk Ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka (Shihab15, 2000: 683). Ayat ke-6, menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam keyakinan ajaran Muhammad Saw, dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allah, yang menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan masyarakat yakni: „bagi kamu‟ secara khusus adalah „agama kamu.‟ Agama itu tidak menyentuhku sedikitpun, kamu bebas untuk mengamalkannya sesuai kepercayaan kamu dan bagiku juga secara khusus agamaku, akupun mestinya memperoleh kebebasan untuk melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikitpun olehnya (Shihab15, 2000: 684). Ayat 6 merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, “bagi kamu agama kamu bagiku agamaku” sehingga demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Demikian terlihat bahwa absolusitas ajaran agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya. Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran agama Islam, demi kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad Saw menyampaikan QS. Saba ayat 24-26, “Katakanlah: “Tuhan kita tidak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui. (QS. Saba‟/34: 24-26) (Shihab15, 2000: 685). Pada ayat di atas terlihat bahwa ketika absolusitas di antar keluar, ke dunia nyata, Nabi saw tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan ayat tersebut bagaikan menyatukan: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu; mungkin kami salah, mungkin pula kamu. Kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya. Bahkan, diamati dari redaksi ayat di atas, apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan pengikut-pengikut beliau diistilahkan dnegan „pelanggaran.‟ Sedangkan apa yang mereka lakukan dilukiskan dengan kata „perbuatan‟, yakni tidak menyatakan bahwa amal mereka adalah dosa dan pelanggaran (Shihab15, 2000: 686). Awal surah ini menanggapi usul kaum musyrikin untuk berkompromi dalam akidah dan kepercayaan terhadap Tuhan. Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi Saw menyampaikan bahwa: “Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban pelanggaran kami dan kamipun tidak akan diminta pertanggungjawaban perbuatan kamu, katakanlah: “Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi putusan di antara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Putusan, lagi Maha Mengetahui. (Shihab, 2008: 773). Usul tersebut ditolak dan akhirnya ayat terakhir surah ini menawarkan
67
bagaimana sebaiknya perbedaan tersebut disikapi. Demikian bertemu akhir ayat surah ini dengan awalnya (Shihab15, 2000: 686). Prihartanti (2008) dalam penelitiannya mengenai model pembelajaran nilai toleransi menemukan bahwa akar permasalahan yang sering terjadi pada anak usia sekolah dasar adalah rendahnya kemampuan penghargaan terhadap orang lain, rendahnya kesediaan menerima perbedaan, dan kurangnya kemampuan penyelesaian konflik secara damai. Lebih lanjut dikatakan Prihartanti bahwa melalui model pembelajaran yang telah dikembangkannya siswa diharapkan dapat menghargai diri sendiri, mengembangkan keterampilan sosial dalam memberi dan menerima penghargaan dalam berinteraksi dengan orang lain, mengenal tindakan toleran dan tidak toleran serta mampu saling menghargai dalam keragaman, serta mampu menyelesaikan konflik secara damai. Mencermati berbagai program pembelajaran pendidikan karakter toleransi di atas, pengembangan Living Values Education yang berbasis kearifan lokal masih sangat jarang dikembangkan. Indonesia dengan segala kemajemukan kulturalnya memiliki kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur yang dapat menjadi landasan pengembangan pendidikan karakter. Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Hildred Geertz (1983) pada keluarga Jawa bahwa pembentukan karakter anak Jawa menuju pada pribadi yang memiliki prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dalam konteks budaya Jawa, pendidikan karakter/watak di keluarga Jawa dianggap tercapai bila anak Jawa memiliki sikap hormat dan rukun. Salah satu nilai Budaya Jawa yang dapat dijadikan landasan menciptakan kerukunan (integrasi) bangsa adalah budaya “tepa sarira.” Menurut Bratakesawa, dalam Endaswara (2013), tepa sarira merupakan tingkatan ketiga setelah “nandhing salira” dan “ngukur salira.” Untuk mewujudkan kerukunan, tidak akan tercapai bila seseorang masih dalam tingkatan nanding sarira. Karena nandhing sarira merupakan tingkatan yang paling rendah dalam pengkajian diri di mana seseorang masih mengutamakan "aku" yang berarti lebih kearah egosentrisme. Penelitian Andayani, Yusuf dan Hardjajani (2010) telah menyusun dan mengembangkan suatu model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira pada anak usia sekolah dasar. Model tersebut dikembangkan sebagai salah satu alternatif dalam pendidikan karakter di sekolah dasar, dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Visi bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “....membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,...”; (2) Indonesia adalah satu dari 84 negara di dunia yang menerapkan LVEP (Living Values Education Programme), suatu program kemitraan antara para pendidik di seluruh dunia dan didukung oleh UNESCO. LVEP fokus pada pembelajaran 12 nilai-nilai universal, yakni: kesederhanaan, toleransi, kejujuran, menghargai, damai, tanggung jawab, kebahagiaan, persatuan, kasih sayang, rendah hati, kerjasama dan kebebasan; dan
68
(3) Salah satu pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 adalah pemerataan pendidikan dasar (memastikan bahwa setiap anak, baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar); dan (4) Secara psikologis, anak usia sekolah dasar memiliki tugas perkembangan yang khas, salah satunya adalah mengembangkan hati nurani, pengertian moral dan tata nilai (Hurlock, 1990). Oleh karena itu, tepat apabila model pembelajaran nilai ini dikembangkan pada anak usia sekolah dasar untuk mendukung pembentukan pribadi-pribadi yang utuh sejak dini. Dari segi perkembangan kognitif, dikatakan Piaget, dalam Monks, Knoers dan Haditono (1989), bahwa siswa usia sekolah dasar mencapai “tahap operasional konkret” dalam berpikir. Anak tidak lagi memandang konsep sebagai sesuatu yang abstrak atau tidak jelas sebagaimana pada awal masa kanak-kanak, melainkan mulai mampu memandang konsep sebagai sesuatu yang konkret. Pada tahap ini anak mulai mampu menghubungkan arti baru dengan konsep lama berdasarkan apa yang dipelajari setelah masuk sekolah, atau hal-hal yang dipelajari melalui media massa. Dan pada usia 10/11 - 13 tahun, anak SD kelas atas sudah mulai dapat berpikir ke arah abstrak dan sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Ia sudah dapat membedakan motivasi yang melatarbelakangi sebuah perbuatan dan dapat mempertimbangkan konsekuensi dari setiap perbuatan. Seseorang dituntut untuk tidak melakukan kegiatan bagi orang lain yang menyebabkan orang itu tersinggung, sakit hati, kecewa, menderita, celaka, dan akibat negatif yang lainnya. Wujud dari perbuatan tepa slira sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, misalnya aja njiwit lamun ora gelem dijiwit (jangan mencubit orang lain jika diri sendiri tidak mau dicubit), atau aja gawe laraning liyan lamun ora seneng digawe lara (jangan menyakiti orang lain, jika diri sendiri tidak senang dibuat sakit oleh orang lain); aja seneng ngina lamun ora seneng diina (jangan menghina jika diri sendiri tidak senang dihina); aja seneng daksiya lamun ora seneng disiya-siya (jangan menyia-nyiakan orang lain jika tidak senang disia-siakan), dan sebagainya. Pendek kata, jangan melakukan A terhadap orang lain jika diri sendiri tidak senang diperlakukan A (Suratno dan Astiyanto, 2009). Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan baik sempit maupun luas, guru seyogyanya senantiasa memperkokoh empat pilar pendidikan UNESCO, yakni: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to be (belajar menjadi diri sendiri) dan learning live together (belajar hidup bersama) tersebut, dengan cara sebagai berikut: (1) memperluas wawasan pengetahuan anak/siswa tentang nilai-nilai hidup, sehingga mereka dapat memberikan alas analasan moral (moral reasoning) yang tepat sebelum mereka mewujudkannya dalam tindakan; (2) membimbing anak/siswa agar terampil melakukan suatu tindakan dari apa yang diyakininya sebagai nilai kebenaran, kebaikan dan kerukunan; (3) mengarahkan anak/siswa agar memiliki sifat-sifat baik yang melekat, agar konsistensi, intensitas, dan frekuensi dalam melakukan hal-hal yang terpuji menjadi satu kebiasaan sebagai wujud adanya internalisasi nilai toleransi; dan (4) membimbing anak/siswa untuk selalu harmonis dengan lingkungannya, karena sebagai bagian dari masyarakat mereka hidup selalu bersinggungan dengan orang
69
lain. Teladan orangtua dan para guru (”digugu lan ditiru”) dalam menjaga keharmonisan itu perlu dibiasakan agar anak senantiasa menampilkan perilakuperilaku yang toleran, saling menghargai dan menghormati, sehingga dapat hidup bahagia bersama dengan orang lain tanpa ada yang merasa dirugikan (Megawangi, 2008). Berdasarkan penjelasan di atas, maka bangsa Indonesia memiliki kearifan budaya local nilai pendidikan karakter toleransi yang dikenal tepo selira. Kearifan local tersebut kemudian dibakukan untuk membentuk karakter bangsa melalui pendidikan. Tepo seliro, merupakan nilai-nilai kearifan local budaya luhur bangsa Indonesia yang tidak bertentangan dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur‟an dan alSunnah. Oleh karenanya, pendidikan karakter bangsa yang mampu menciptakan segenap civitas akademika pendidikan memiliki ketoleransian yang tinggi merupakan suatu keharusan. Islam menekankan ajarannya pada sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya yang biasa disebut dengan toleran. Konsep toleransi dalam Islam tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, “bagi kamu agama kamu bagiku agamaku” sehingga demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Demikian terlihat bahwa absolusitas ajaran agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya. D. Disiplin Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan.Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya. Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuhsifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh darisifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplindan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (I. Fauziyah, I. “Rasulullah menyuruh kita bersikap ramah,” Republika Online, 8 Oktober 2011, Diakses pada 2 April 2015). Kata disiplin secara etimologis yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata discipline, berasal dari akar bahasa Latin yang sama, discipulus dengan kata disciple dan mempunyai makna yang sama, yaitu mengajari atau mengikuti pemimpin yang dihormati (Allend, 2005: 24). Istilah bahasa Inggris lainnya adalah disciple yang mempunyai makna seorang yang belajar secara suka rela mengikuti seorang pemimpin (Meitasari, 2004: 82).
70
Sedangkan secara terminologis banyak pakar yang mendefinisikan disiplin sebagai berikut: pertama, Laura M Ramirez (2004: 121), disiplin didefinisikan sebagai praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidakpatuhan. Kedua, Syaiful Bahri Djamarah (2002: 12) mengemukakan bahwa disiplin adalah suatu tata tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pribadi dan kelompok. Ketiga, Tarmizi Taher (2004: 118) mengemukakan disiplin adalah suatu sikap manusia yang bersedia mentaati dan mematuhi peraturan dan tata tertib, sekaligus dapat mengendalikan diri dan mengawasi tingkah laku sendiri, serta sadar akan tanggung jawab dan kewajiban. Keempat, Suharsimi Arikunto (tth: 115) mengemukakan pengertian disiplin menunjuk kepada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya. Dari berbagai definisi menurut para pakar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa disiplin adalah suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau mematuhi, dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai, serta kaidah yang berlaku. Disiplin merupakan ketaatan atau perilaku yang sesuai (behavior in accordance with rules of conduct) (Ginting, 2003: 120). Pengertian disiplin menunjuk kepada kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya (Arikunto, tth: 115). Belajar adalah suatu kegiatan yang kita lakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan (Djamarah, 2000: 10). Jadi disiplin belajar adalah kepatuhan siswa untuk melaksanakan tata tertib belajar dan tata tertib sekolah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelajar. Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan disiplin terutama waktu, antara lain: (1) beriman, (2) beramal saleh, (3) saling berwasiat dalam kebenaran, (4) saling berwasiat dalam kesabaran (Asrul SU, “Islam dan Disiplin Diri,” http://www.as-shufi.com/2011/03/islam-dan-disiplin-diri.html,diakses tanggal 12 April 2015). Inilah yang dijelaskan dalam ayat terakhir surat Al-Ashr,
„‟Illal ladziina amanu wa‟amilushshaalihaati watawaahau bish shabr, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan menasihat-menasihati supaya menaati kebenaran serta menasihat-menasihati supaya tetap dalam kesabaran.‟‟ Inti sari kandungan QS. Al-Ashr adalah Allah memperingatkan manusia yang dilengahkan oleh persaingan tidak sehat sehingga waktunya berlalu tanpa hasil. Dalam surah al-Ashr ini Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya diisi. Surah ini dimulai dengan firman Allah; Wa al-Ashr, yakni demi masa/waktu: (1). Sesungguhnya semua manusia yang mukallaf di dalam wadah kerugian dan kebinasaan yang besar dan beragam; (2). Ayat 3 mengecualikan orang-orang yang melakukan empat kegiatan pokok yaitu: beriman dengan keimanan yang benar, lalu membuktikannya dengan beramal amalanamalan yang saleh, yakni yang bermanfaat, selanjutnya saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran /ketabahan (Shihab, 2008: 280). Pelajaran yang dapat dipetik adalah (Shihab, 2008: 281):
71
1. Waktu adalah modal utama manusia, apabila waktu tidak diisi dengan kegiatan positif, maka ia akan berlalu begitu saja, dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan diperleh lebih dari itu di hari esok, tetapi waktu yang berlalu tidak mungkon dapat diharapkan kembali esok.” 2. Waktu bersifat netral, tidak ada waktu sial atau waktu mujur. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang dan inilah yang berperanan dalam baik atau buruknya kesudahan suatu pekerjaan. 3. Saling berwasiat menyangkut kebenaran mengandung makna saling ajar mengajar. Karena itu, surah ini tidak saja menekankan pentingnya belajar tapi juga mengajar. Ini juga tidak seorangpunyang mengetahui segala sesuatu. Kendati dia kaya dan kuat, sebaliknya yang miskin dan berstatus social rendah, bisa lebih mengetahui seian banyak hal daripada mereka yang kuat dan dinilai pandai. 4. Manusia akan tetap berada dalam wadah kerugian kecuali setelah melaknakan empat hal yang disebut diatas. Seseorang belum terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh, dan mengetahui hak/kebanran untuk dirinya, tetapi dia berkewajiban juga untuk mengajarkan kepada orang lain. 5. Yang mengerjakan atau mengajak kepada kebenaran berpotensi mengalami gangguan atau kejenuhan, karena itu diperlukan kesabarab dan ketabahan agar aktivitas tidak memudar. Penjelasan Tafsir al-Mishbah, dalam surat al-Ashr Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi. Kata al-„ashr terambil dari kata „ashara, yakni menekan sesuatu sehinggga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras). Angin yang tekanannya sedemikian keras sehingga memporakporandakan segala sesuatu dinamai I‟shar/waktu. Tatkaka perjalanan matahari telah melampaui pertengahan dan telah menuju kepada terbenamnya dinamai ashr. Penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapat hasil dari usha-usahanya. Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya ia kemudian mencurahkan hujan dinamai al-mu‟shirat (Shihab15, 2000: 584). Para ulama sepakat mengartikan kata „ashr pada ayat pertama pada surah ini dengan waktu, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Ada ayang berpendapat bahwa ia adalah waktu/masa di mana langkah dan gerak tertampung di dalamnya. Ada lagi yang menentukan waktu tertentu, yakni waktu di mana shalat Ashar dapat dilaksanakan. Pendapat lain adalah waktu atau kehadiran Nabi Muhammad Saw, dalam pentas kehidupan ini (Shihab15, 2000: 584). Pendapat yang paling tepat adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu, menurut Syeikh Muhammad Abduh, karena telah menadi kebiasaan orang-orang arab pada masa turunnya al-Quran untuk berbincang-bincang dan berkumpul menyangkut berbagai hal dan tidak jarang dalam pembicaraan mereka
72
itu terlontar kata-kata yang mempersalahkan waktu atau masa “waktu sial” demikian sering kali ucapan yang terdengar bila mereka gagal, atau “waku baik” jika mereka berhasil. Allah bersumpah melalui surah ini demi waktu untuk membantah anggapan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu sama. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usha seseorang dan inilah yang menjadi peranan dalam baik dan buruknya kesudahan suatu pekerjaan.Waktu selalu bersifat netral. Waktu adalah milik Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti Mencipta, Memberi Rezeki, Memuliakan dan Menghinakan. Dengan demikian, waktu tidak perlu dikutuk, tidak boleh dinamai juga sial atau mujur. “Janganlah mencela waktu karena Allah adalah pemilik waktu.” (Shihab15, 2000: 585). Dapat juga dikatakan bahwa pada surah ini Allah bersumpah demi waktu dan dengan menggunakan kata ashr (bukan selainnya) untuk menyatakan bahwa; Demi waktu (masa) di mana mansia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi, apapun hasil yang dicapainya itu, kecuali ia beriman dan beramal saleh. Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam. Itulah agaknya rahasia mengapa Tuhan memilih kata ashar untuk menunjuk kepada waktu secara umum (Shihab15, 2000: 585). Kata al-insan/manusia menggambarkan sebagian dari sifat dan ciri manusia, bergerak, bahkan seyogyanya memiliki dinamisme, memiliki sifat lupa yang juga melupakan kesalahan-kesalahan orang lain, serta merasakan bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya atau selalu berusaha memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada diri sendiri dan makhluk-makhluk lainnya. Kata khusr, mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka, lemah tipuan, dan lain sebagainya yang mengarah pada makna yang negatif dan tidak disenangi oleh siapapun. Sedangkan kata la fi, mengandung makna wadah/tempat, dengan kata tersebut, tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada di dalam satu wadah kerugian. Kerugian seakan-akan menjadi satu tempat atau wadah dan manusia berada serta diliputi wadah tersebut. Jika demikian, waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka akan merugi, bahkan apabila tetap diisi tetapi dengan halhal negatif maka manusiapun diliput kerugian. Di sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan kedua dan dari sini pula banyak ditulis hadis Nabi saw, yang memperingatkan manusia agar menggunakan waktu dan mengaturnya dengan sebaik mungkin. “Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) banyak manusia, kesehatan dan waktu.” (Shihab15, 2000: 586). “Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal amalan yang shaleh, yakni yang bermanfaat, serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran dan ketabahan.” Iman adalah pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, iman sangat sulit digambarkan hakikatnya. Ia dirasakan oleh seseorang tetapi sangat sulit baginya untuk melukiskan perasaan itu. Iman itu bagai rasa kagum atau cinta, hanya dirasakan pemiliknya, seorang yang beriman bagaikan seseorang yang yang sedang mendayung perahu ditengah samudra dengan ombak dan gelombang yang dahsyat
73
lagi bergemuruh.Nun jauh disana tampak pulau yang dituju. Begitu pula dengan iman pada tahap pertama seperti yang dialami oleh nabi Ibrahim as tentang hari kemudian (Shihab15, 2000: 587). Ulama membagi ajaran kepada dua sisi, yakni pengetahuan dan pengalaman. Akidah yang wajib diimani merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengalaman. Atas dasar ini, para ulama memahami allazina amanu (orang yang beriman) dalam arti orang yang memiliki pengetahuan menyangkut kebenaran. Puncak kebenaran adalah pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah swt. Kalau demikian, sifat pertama yang dapat menyelamatkan seorang dari kerugian adalah pengetahuan tentang kebenaran itu (Shihab15, 2000: 588). Amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, kelurga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. Ia adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Quran dan Sunnah Nabi lainnya. Setiap amal saleh harus memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah wujud amal, yang biasanya terlihat di alam nyata. Sisi kedua adalah motif pekerjaan itu. Sisi pertama yang dilihat adalah memberikan penilaian sesuai dengan kenyataan, penilaian diberikan manakala kenyataan yang dilihat itu menghasilkan manfaat atau menolak mudharat. Mengenai sisi kedua, hanya Allah yang dapat menilainya. Rasul saw bersabda “ setiap pekerjaan sesuai dengan niatnya.” Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa kalimat amal salih banyak sekali digandengkan dengan iman karena iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan suatu amal (Shihab15, 2000: 589). Berwasiat adalah tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan suatu pekerjaan yang diharapkan daripadanya secara berkesinambungan. Dapat dipahami juga isi wasiat hendaknya dilakukan secara berkesinambungan yang juga menyampaikannya dilakukan secara terus menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan kandungan wasiat itu kepada yang diwasiati (Shihab15, 2000: 592). Kata al-haq, berarti sesuatu yang mantap, tidak berubah. Apapun yang terjadi Allah Swt adalah puncak dari segala Haqq karena Dia tidak mengalami perubahan. Sementara ulama memahami kata al-haqq dalam ayat ini adalah Allah, yakni manusia hendaknya saling mengingatkan tentang wujud, kuasa dan ke-Esa-an Allah swt, ada juga yang berpendapat bahwa al-haqq adalah al-Quran, berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw (Shihab15, 2000: 592). Al-Haqq tentunya tidak secara mudah diketahui atau diperoleh, ia juga beraneka ragam karena itu harus dicari dan dipelajari. Pandangan mata dan fikiran harus diarahkan kepada sumber-sumber agama, sebagaimana harus pula diarahkan kepada objek-objek yang diduga keras dapat menginformasikan haqq (kebenaran), dalam hal ini alam raya beserta makhluk yang menghuninya. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa kata al-haqq mengandung arti pengetahuan. Yang menurut sementara ulama, mencari kebenaran menghasilkan ilmu dan mencari keindahan
74
menghasilkan seni, mencari kebaikan akan menghasilkan etika (Shihab15, 2000: 592). Saling berwasiat menyangkut haqq (kebenaran) yang diperintahkan ini mengandung makna bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain serta mengajarkannya kepada orang lain. Seseorang belum lagi terbebaskan dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh dan kebenaran itu untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban juga untuk mengajarkannya kepada orang lain. Sekaligus syarat yang dapat membebaskan manusia dari kerugian total adalah saling mewasiati menyangkut kesabaran (Shihab15, 2000: 593). Sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu sabar jasmani dan sabar rohani. Yang pertama adalah sabar dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan luar biasa atau sabar dalam peperangan membela kebenaran, termasuk pula dalam bagian ini sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan menahan amarah atau menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya (Shihab15, 2000: 593). Surah ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja tetapi juga amal salehnya, bahkan amal salehpun bersama iman belum cukup (Shihab15, 2000: 594). Iman dan amal saleh tanpa ilmu belumlah cukup. Murthada Muthahhari, dalam Tafsir al-Mishbah, memberikan gambaran (Shihab15, 2000: 595): “Ilmu memberikan kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi dan akselerasi, sedang iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedang iman adalah revolusi internal. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan, kekuatan ilmu terpisah sedang kekuatan iman menyatu , keduanya adalah keindahan dan hiasan , ilmu adalah keindahan akal, sedang iman keindahan jiwa. Ilmu hiasan pikiran sedang iman adalah hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir oleh ilmu dan ketenangan batin karena iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malapetaka duniawi, sedang iman memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan komplekkomplek kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedang iman menyesuaikannya dengan jati dirinya.”
Demikian surah al-Ashr memberi petunjuk bagi manusia untuk berdisiplin. Iman Syafi‟i berpendapat: “Kalaulah manusia memikirkan kandungan surah ini, sesungguhnya cukuplah ia menjadi petunjuk bagi kehidupannya.” (Shihab15, 2000: 595). Kaitannya dengan pendidikan karakter bangsa, segenap sivitas akademika pendidikan yang bijak akan selalu menampakkan suatu disiplin dalam semua hal
75
terhadap kegiatan siswanya, baik yang mengenai kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan formal, yaitu disiplin dalam belajar, disiplin dalam mengerjakan tugas yang berkaitan dengan sekolah maupun disiplin yang berkaitan dengan di rumah. Disiplin sekolah atau lebih khusus disiplin belajar meliputi (Schaefar, 1997: 9): 1. Kedisiplinan belajar siswa terhadap tata tertib sekolah maksudnya bagaimana siswa mematuhi dan mentaati tata tertib sekolah. 2. Kedisiplinan siswa dalam memperhatikan pelajaran, maksunya siswa dalam proses belajar mengajar apakah selalu memperhatikan pelajaran yang diajarkan atau tidak. 3. Kedisiplinan waktu belajar siswa maksudnya ketaatan dalam menggunakan waktu belajar. 4. Kedisiplinan belajar siswa dalam mengerjakan tugas maksudnya bagaimana sikap dan tanggung jawab siswa dalam melaksanakan tugas. Langkah-langkah kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar harus dilakukan dengan konsekuen dan penuh disiplin serta luwes dalam penyesuaiannya. Usaha guru dalam pembentukan disiplin belajar antara lain (Slameto, 1991: 17): 1. Mengawasi belajar secara ketat. 2. Memantau belajar secara terus menerus. 3. Mengembalikan tugas-tugas belajar tepat pada waktunya. 4. Memberi ganjaran kepada siwa yang berprestasi tinggi. 5. Memberi hukuman kepada siswa yang salah. 6. Menyelenggrakan rapat guru untuk membahas kedisiplinan. 7. Menampilkan keteladanan. Disiplin merupakan kunci sukses. Sebab dengan disiplin orang menjadi berkeyakinan bahwa disiplin membawa manfaat. Memang seseorang yang baru memulai untuk melaksanakan disiplin akan merasakan bahwa disiplin itu pahit, namun apabila sudah diterapkan akan menjadi manis. Disiplin adalah seperangkat alat dasar yang diperlukan untuk memecahkan masalah hidup (Ginting, 2003: 120). Dalam mencapai suatu tujuan, timbulnya masalah tentunya hal yang biasa. Akan tetapi dengan menghadapi dan memecahkan masalah, hidup menjadi berarti. Kemajuan dapat diperoleh. Orang yang selalu menghindari masalah tidak akan dapat membuat kemajuan. Hal ini berlaku baik masyarakat umum maupun bagi pelajar. Seorang pelajar, biasanya mempunyai masalah dalam belajarnya. Salah satunya adalah belajar Pendidikan Agama Islam. Siswa sekarang enggan untuk belajar PAI karena mereka menganggap pelajaran PAI identik dengan hafalanhafalan yang membosankan. Itulah kesan yang mengapung kepermukaan selama ini. Padahal belajar merupakan nafas kehidupan bagi pelajar. Siklus waktu siang dan malam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada istilah waktu kosong dalam kamus kehidupan para pelajar. Karena belajar merupakan tindakan dan
76
perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami siswa sendiri. Karena berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada proses belajar mengajar yang dialami siswa dan pendidik, baik ketika para siswa itu disekolah maupun dilingkungan keluarganya sendiri (Ginting, 2003: 135-138). Sehingga sikap kedisiplinan belajar dalam mendidik siswa sangat diperlukan agar siswa dengan mudah (Ginting, 2003: 135-138): 1. Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak milik orang lain. 2. Mengerti dan segera menurut, untuk menjalankan kewajiban dan secara langsung mengerti larangan-larangan. 3. Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk. 4. Belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam oleh hukuman. 5. Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang lain. Cara pendisiplinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Farhadian, 2005: 31): 1. Disiplin dengan paksaan (disiplin otoriter). Yaitu pendisiplinan yang dilakukan secara paksa, siswa harus mengikuti aturan yang telah ditentukan. Apabila siswa tidak melakukan perintah itu, ia akan dihukum dengan cara pemberian hukuman fisik, mengurangi pemberian materi, membatasi pemberian penghargaan atau berupa ancaman langsung dan tidak langsung. Hukuman yang diberikan untuk menyampaikan peringatan kepada siswa terbagi menjadi dua yaitu: a. Hukuman yang bersifat badani seperti: pemukulan, penamparan, dan segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan badan. b. Hukuman yang bersifat non badani seperti: mengomel, mencerca, dan segala sesuatu yang biasanya lebih bersentuhan dengan rohani mental anak. 2. Disiplin tanpa paksaan (disiplin permisif). Disiplin ini lebih bervariatif dimana membiarkan anak mencari sendiri batasan. Disiplin tanpa paksaan ini akan menjadikan anak yang patuh walaupun tidak ada pemimpin. Anak menjadi kreatif karena berani bertanya, mempunyai tanggung jawab walaupun tidak ada pemimpin (Sujiono dan Yuliani, 2005: 31). Disiplin bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Teknik dalam berdisiplin itu kadang-kadang sulit untuk diterapkan, tergantung pada kasusnya. Dalam pelaksanaan disiplin ini dapat diukur apakah siswa sangat disiplin atau lemah. Sikap seseorang sangat menentukan keberhasilannya dalam disiplin. Sikap disiplin akan terwujud apabila ditanamkan disiplin secara serentak di semua lingkungan kehidupan masyarakat termasuk dalam lingkungan pendidikan (Ginting, 2003: 123). Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya kedisiplinan belajar adalah Dalyono, 1997: 235): 1. Faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang datang dari siswa sendiri, faktor ini meliputi:
77
a. Minat. Apabila siswa memiliki daya tarik dalam belajar, maka ia akan senang dalam belajar. Sebaliknya apabila ia tidak ada daya tarik dalam belajar, maka ia akan menjadi segan dalam belajar. Setiap siswa sebenarnya dapat mengatur waktu untuk disiplin dalam belajar, akan tetapi persoalannya terletak pada kemauan mereka sendiri. b. Emosi. Emosi sangat menentukan kedisiplinan belajar. Karena kadangkadang ada siswa yang tidak begitu stabil emosinya, sehingga dapat mengganggu belajarnya. Dalam keadaan emosi yang tidak stabil, tentu belajarnya mengalami hambatan. Siswa semacam ini membutuhkan situasi yang cukup tenang dan penuh perhatian agar belajarnya lancar. c. Semangat. Semangat dapat memupuk hasrat yang tinggi dalam melakukan suatu perbuatan. Bagi pelajar, semangat untuk disiplin dalam belajar perlu ditumbuhkan, dipupuk, dan dipertahankan. Karena apabila seseorang telah mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, maka otomatis ia akan dapat mengusir atau menghilangkan rintangan-rintangan seperti malas, santai, lesu, bosan, dan sebagainya. 2. Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri siswa itu. Faktor eksternal ini meliputi (Kartono, 1992: 261-262): a. Pendidik. Tumbuhnya sikap disiplin dalam belajar, bukan merupakan peristiwa mendadak yang terjadi seketika. Disiplin belajar pada diri siswa tidak dapat tumbuh tanpa adanya intervensi dari pendidik, dan itupun dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit. Kebiasaan disiplin dalam belajar yang ditanamkan oleh pendidik akan terbawa oleh siswa dan sekaligus akan memberikan warna terhadap perilaku kedisiplinannya kelak. b. Sanksi dan hukuman. Disiplin karena paksaan biasanya dilakukan dengan terpaksa pula. Keterpaksaan itu karena takut akan dikenakan sanksi hukuman akibat pelanggaran terhadap peraturan. Menurut Kartini Kartono, hukuman adalah perbuatan yang secara intensional diberikan sehingga menyebabkan penderitaan lahir batin diarahkan untuk membuka hati nurani penyadaran sipenderita akan kesalahannya. Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaknya: 1) Senantiasa merupakan jawaban atas pelanggaran. 2) Sedikit banyak selalu bersifat tidak menyenangkan. 3) Selalu bertujuan kearah perbaikan, tujuannya hendaknya diberikan untuk kepentingan anak tersebut. c. Lingkungan. Dengan bertambahnya lingkungan siswa yang semula hanya lingkungan keluarga dan setelah mereka memasuki sekolah, lalu bertambah dengan lingkungan baru, yaitu lingkungan sekolah akan bertambah pula butir-butir kedisiplinan lain. Di sekolah pada umumnya peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh siswa dituliskan dan diundangkan disertai sanksi dan hukuman bagi setiap pelanggarnya. Pembentukan sikap kedisiplinan yang dibawa dari lingkungan keluarga dan sekolah. Lingkungan masyarakatpun sangat mempengaruhi kedisiplinan dalam belajar siswa misalnya: mass-
78
media, teman bergaul, adanya kegiatan-kegiatan dalam masyarakat, dan corak kehidupan tetangga. Berdasarkan paparan tentang pendidikan karakter disiplin di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pembentukan disiplin belajar adalah suatu proses mencari ilmu melalui latihan, pembelajaran, dan sebagainya supaya siswa taat atau patuh terhadap peraturan sekolah, melaksanakan tata tertib belajar, serta aktif dalam kegiatan belajar mengajar PAI. Cara pembentukan disiplin belajar ada dua cara, yaitu dengan paksaan dimana guru memberikan peraturan yang tetap dan konsisten serta memberikan hukuman bagi yang melanggarnya dan yang kedua, yaitu pembentukan disiplin tanpa paksaan yang membiarkan siswa mencari batasanbatasan sendiri untuk melakukan atau menjalankan peraturan tersebut. Kemendiknas menggariskan bahwa disiplin merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Konsepsi pendidikan karakter disiplin dalam al-Qur‟an lebih apik lagi. Al-Qur‟an membagi ajaran disiplin kepada dua sisi, yakni pengetahuan dan pengalaman tentang disiplin itu sendiri. Akidah wajib dengan disiplin diimani oleh manusia merupakan sisi pengetahuannya. sedangkan syariat untuk berdisiplin merupakan sisi pengalaman. Apabila suluruh kehidupan manusia tidak disiplin, maka ia akan merugi, bahkan apabila tetap berdisiplin tetapi dengan hal-hal negatif maka manusiapun diliput kerugian. Atas dasar ini, para ulama memahami allazina amanu (orang yang beriman) dalam arti orang yang memiliki pengetahuan menyangkut kebenaran. Puncak kebenaran disiplin adalah pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah swt. Kalau demikian, sifat pertama yang dapat menyelamatkan seorang dari kerugian berdidiplin adalah pengetahuan tentang kebenaran disiplin itu sendiri (Shihab15, 2000: 588). E. Kerja Keras Kerja dalam al-Quran terdapat dalam 105 ayat. Di antara ayat-ayat al-Qur‟an yang menjelaskan tentang kerja adalah (2; 134, 140, 141, 144, 149, 233, 237); (4; 101, 102, 103, 104, 122, 127, 128, 135); (5; 8, 14, 38, 66, 67, 71, 105); (6; 43, 60, 88, 108, 113, 120, 122, 127, 132); (7; 43, 117, 118, 139, 147, 150, 180); (8; 39, 47, 72); (9; 9, 16, 17, 82, 94, 95, 105, 121); (10; 8, 12, 23, 36, 41, 46, 52); (11; 16, 36, 92, 111, 112, 123); (12; 19, 69); (15; 93); (16; 28); (22; 68); dan (23; 51). Tetapi di sini penulis hanya mengambil 2 ayat
saja. Ayat yang diambil ini menggambarkan tentang makna dari kata kerja keras, yaitu:
79
“Hai orang-orang yang beriman! Apabila diseru (dikumandangkan azan) untuk shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah menuju dzikrullah (yakni menghadiri shalat dan khutbah Jumat), dan tinggallah jual beli. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui (kebaikannya). Kemudian, apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bum ini (untuk tujuan apapun yang dibenarkan Allah Swt). Dan carilah sebagian dari karunia Allah, dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka (sebagian kaum Muslimin) melihat perniagaan atau permainan, maka berbondongbondong kepadanya dan meninggalkanmu (Nabi Muhammad Saw) berdiri (menyampaikan Khutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah Swt lebih baik daripada permainan dan perniagaan dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi Rezeki. (QS. Al-Jumu‟ah: 9-11) (Shihab, 2013: 554). Dalam Tafsir al-Mishbah menerangkan pada ayat ini menegaskan untuk mengajak kaum beriman untuk bersegera memenuhi panggilan Ilahi. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan Hari Sabt yang ditetapkan Allah untuk tidak melakukan aktivitas mengail. Sikap mereka itu dikecam. Karena itu, kaum Muslimin harus mengindahkan perintah Allah meninggalkan aneka aktivitas untuk beberapa saat pada hari jumat karena kalau tidak mereka akan mendapat kecaman dan nasib seperti orang-orang Yahudi tersebut (Shihab14, 2000: 58). Ayat di atas menyatakan: Hai orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat zuhur pada hari Jumat maka bersegeralah dengan tekad kuat dan melangkahlah, jangan bermalas-malasan apalagi mengabaikannya untuk menuju ke dzikrullah menghadiri shalat dan khutbah Jum‟at, dan tinggalkanlah jual beli, yakni segala macam interaksi dalam bentuk dan kepentingan apapun, bahkan semua yang dapat mengurangi perhatian upacara Jumat. Demikian itulah yakni menghadiri acara Jumat yang baik untuk kamu mengetahui kebaikannya pastilah kamu mengindahkan perintah ini (Shihab14, 2000: 58). Menurut Quraish Shihab, untuk menghilangkan kesan bahwa perintah ini adalah perintah beribadah sehari penuh seperti orang Yahudi pahami pada hari Sabtu, ayat ini melanjutkan dengan jelas: “Apabila telah ditunaikan shalat, jika kamu mau, maka bertebaranlah di mua bumi untuk tujuan apa ang dibenarkan oleh Allah, yaitu mencari rezeki. Bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan apapun yang dibenarkan oleh Allah dan carilah dengan sungguh-sungguh sebagian dari karunia Allah yang sangat banyak yang tidak mungkin kamu ambil seluruhnya, dan ingatlah Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karuniaNya itu melengahkan kamu. Berzikirlah dari saat ke saat di setiap tempat dengan
80
hati atau bersama lidah supaya kamu beruntung memeroleh apa yang kamu dambakan (Shihab14, 2000: 59). Seruan untuk shalat yang dimaksud di atas adalah yang diharuskan semua kegiatan dihentikan ketika azan dikumandangkan saat khatib naik ke mimbar. Ini karena pada zaman nabi Saw hanya dikenal sekali azan. Pada saat masa Sayyidina Utsman, ketika semakin banyak Muslimin bertebaran di penjuru kota, beliau memerintahkan azan dikumandangkan dua kali. Azan yang pertama berfungsi mengingatkan (khusus yang berada ditempat yang jauh) bahwa sebentar lagi upacara shalat Jum‟at akan segera dimulai dan agar mereka bersiap-siap dan menghentikan segala aktivitas mereka (Shihab14, 2000: 59). Perintah bertebaran di muka bumi sebagi mencari karunianya pada ayat di atas bukanlah perintah wajib. Dalam kaidah-kaidah ulama menyatakan: “Apabila ada perintah bersifat wajib, lalu disusul dengan perintah sesudahnya, yang kedua itu hanya mengisyaratkan bolehnya hal tersebut dilaksanakan. Ayat 9 memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menghadiri upacara Jum‟at, perintah yang bersifat wajib, dengan demikian perintah bertebaran bukan perintah wajib (Shihab14, 2000: 61). Pada ayat 11 ini Allah juga masih mengingatkan untuk memenuhi perintah dari Allah dengan tidak meninggalkan khutbah Jum‟at apabila ada perniagaan. Dengan demikian itulah perintah Kami kepada kaum Muslimin, tetapi ada sebagan dari mereka yang kurang mengindahkannya. Mereka masih terus saja melakukan aktivitas lain „dan apabila mereka melihat atau mengetahui kehadiran barangbarang perniagaan atau bahkan permainan, mereka berbondong-bondong dan berpencar dengan cepat menuju kepadanya dan mereka meninggalkanmu berdiri menyampaikan khutbah.‟ (Shihab14, 2000: 62). Allah memberikan pengajaran bahwa ganjaran di akhirat lebih baik daripada ganjaran yang ada di dunia. „Katakanlah kepada mereka apa yang ada di sisi Allah, berupa ganjaran dan anugerah-Nya di dunia dan akhirat bagi yang tidak tergiur dengan gemerlap dan megahnya duniawi, lebih baik daripada permainan dan perniagaan, walau sebanyak apapun, dan Allah sebaik-baiknya Pemberi Rezeki karena Allah sumber rezeki dan tidak ada perantara bagi-Nya. Allah selalu memberi kepada yang durhaka sekalipun. (Shihab14, 2000: 62). Menurut Quraish Shihab, ayat di atas berbicara tentang sikap sementara Nabi Saw, ketika hadirnya kafilah dari Syam yang dibawa oleh Dhiyat ibn Khalifah alKalbi. Ketika itu, harga-harga di Madinah melonjak, sedang khafilah tersebut membawa bahan makanan yang sangat banyak dan sangat dibutuhkan. Tabuh kedatangan kafilah di pasarpun ditabuh sehingga terdegar oleh jamaah Jumat. Ketika itulah sebagian besar jamaah berpencar dan berlarian menuju pasar untuk membeli karena takut kehabisan. Maka terhadap mereka, ayat tersebut turun. Ada riwayat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi tiga kali dan selalu terjadi pada hari Jumat. Riwayat berbeda-beda tentang jamaah yang bertahan bersama Rasul saw. Ada yang menyatakan empat puluh orang, ada lagi yang empat atau dua belas orang, bahkan ada riwayat yang menyatakan hanya delapan orang. Al-Qurthubi menjelaskan perbedaaan riwayat inilah yang menjadi sebab perbedaan ulama
81
tentang jumlah minimal yang harus hadir guna sahnya upacara shalat Jumat (Shihab14, 2000: 63). Allah tidak melarang kepada hambanya untuk melakukan perniagaan, menyebar mencari rezeki di muka bumi bahkan Allah menganjurkannya, Allah juga mengingatkan tentang pentingnya akhirat dengan mensucikan Allah dan berzikir kepada-Nya. Jika azan berkumandang maka segeralah menyembah Tuhanmu, dan mendengar pengajaran Rasul melalui khutbahnya itu juga merupakan perwujudan dari penyucian kepada Allah. Surat at-Taubah ayat 105,
“Dan katakanlah (Nabi Muhammad); “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat amal kamu, kelak kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Taubah: 105). Kerja harus dibarengi dengan optimisme dan harapan akan bantuan Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Insyiroh, Fainna ma‟al usri yusra, inna ma‟al „usri yusra. Ayat ini menegaskan bahwa kesulitan akan dibarengi dengan dua kemudahan. Karena itu, akhir surah ini menyatakan, Wa ila rabbika farghab (Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau mengharap) (Shihab, 2010: 310). Manusia dituntut untuk melakukan usaha atau dalam bahasa al-Quran, sa‟y. Usaha tersebut harus bertolak dari Shafa, yang arti secara harfiah kesucian dan berakhir Marwah. Bila ini terpenuhi, usaha akan berakhir dengan kepuasan atau marwah. Ia akan memperoleh hasil dari sumber yang ia sendiri tidak pernah menduganya, siapa yang bertakwa kepada Allah Dia akan memberi jalan keluar (bagi kesulitannya), dan memberinya rezeki dari dari arah yang tidak pernah dia duga (QS. Al-Thalaq: 2-3) (Shihab, 2010: 311). Menurut Andi Faisal Bakti (2010: 23-25), kerja keras adalah suatu istilah yang melingkupi suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja keras bukan berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti, istilah yang kami maksud adalah mengarah pada visi besar yang harus dicapai untuk kebaikan/kemlasahatan manusia (umat) dan lingkungannya. Dalam pendapat Tofiq Nugroho (2011: 10), peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu mewujudkan impiannya menjadi kenyataan.
82
Sementara itu, Agus Wuryanto (2011: 7) berpendapat bahwa kerja keras memiliki beberapa indikator, yaitu: menyelesaikan semua tugas dengan baik dan tepat waktu, tidak putus asa dalam menghadapi masalah, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah. Kegiatan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai karakter kerja keras, meliputi: (a) menyelesaikan tugas di dalam kelas, tugas pekerjaan rumah, tugas terstruktur, (b) menyelesaikan tugas sesuai batas waktu yang ditetapkan, (c) menyelesaikan tugas proyek, (d) tidak berhenti menyelesaikan masalah sebelum selesai, (e) melakukan tanya jawab berkaitan materi matematika dan keterkaitan dengan persoalan kontekstual dengan nilai kerja keras. Dengan demikian, kerja keras merupakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan pendapat di atas kerja keras dalam belajar adalah siswa yang pantang menyerah, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam kegiatan belajar mengajar. Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen (2011: 24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional” yaitu: 1. Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahanan. (Jansen, 2011: 24). 2. Kerja adalah amanah. Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya. (Jansen, 2011: 24). 3. Kerja adalah panggilan. Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat.
83
Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I‟m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya. (Jansen, 2011: 24). 4. Kerja adalah aktualisasi. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan. Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika berjumpa dengan temannya. (Jansen, 2011: 25). 5. Kerja itu ibadah. Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini: “Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental. (Jansen, 2011: 25). 6. Kerja adalah seni. Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya. “Antusiaslah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful. (Jansen, 2011: 25). 7. Kerja adalah kehormatan. Serendah apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
84
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia. (Jansen, 2011: 25). 8. Kerja adalah pelayanan Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungaisungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal. (Jansen, 2011: 25). Menurut Jansen (2011: 11), kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu hanya untuk mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itukan waktu yang sangat lama. Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan. Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya. Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja. Dalam dunia kerja, banyak masalah yang bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak lagi.Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan (Jansen, 2011: 11). Sedangkan etos kerja dalam pandangan Islam, Menurut Nurcholish Madjid (1992: 275) menyebutkan bahwa etos kerja muslim dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh yang mempunyai nilai ibadah yangsangat luhur, sebagaimana dalam Q.S Al Kahfi: 110; “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
85
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadah dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110). Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praksis), inti ajarannya adalah bahwa seorang hamba itu dekat dan memperoleh ridho dari Allah melalui bekerja atau amal salehnya dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. Hal ini juga mengandung makna bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan orientasi kerja (achievement orientation), sebagaimana juga dinyatakan dalam ungkapan bahwa “penghargaan dalam Islam berdasarkan amal.” Tinggi atau rendahnya derajat taqwa seseorang juga sangat ditentukan oleh prestasi kerja atau kualitas amal saleh sebagai aktualisasi dari potensi imannya. Oleh karena itu nilai- nilai mendasar yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut hendaknya menjadi pandangan hidup muslim yang seharusnya lebih menghargai dan concern terhadap kualitas proses dan produk kerja ketimbang bersikap dan bekerja apa adanya untuk sekedar melaksanakan tugas dan kewajiban yang bersifat rutinitas. Dan nilai-nilai tersebut sekaligus menjadi kekuatan (pedorong) serta sumber inspirasi bagi umat islam pada umumnnya dan para pendidik khususnya dalam upaya peningkatan dan pengembangan kualitas pendidikan di sekolahan (Madjid, 1992: 275). “etos kerja” dalam perspektif Islam adalah seperangkat “nilai-nilai etis” yang terkandung dalam ajaran Islam–al-Qur‟an dan al-Sunnah– tentang keharusan dan keutamaan bekerja, yang digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh oleh umat Islam dari masa ke masa, dan itu sangat mempengaruhi tindakan dan kerjakerjanya di berbagai bidang kehidupan dalam mencapai hasil yang diharapkan lebih baik dan produktif (Madjid, 1992: 275). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Yang perlu diingat, etos kerja Islami dapat terhambat oleh sistem pemerintahan yang feodal, otoriter dan represif terhadap rakyat. Oleh karena itu etos kepemimpinan di dunia Islam khususnya, harus dibenahi dengan pemahaman yang utuh terhadap etos kerja dalam ajaran Islam. Berdasarkan paparan di atas, maka konsep pendidikan karakter bangsa kerja keras dalam al-Qur‟an, sebagaimana ditafsiri dalam al-Mishbah bahwa ajaran Islam sejelas-jelasnya memberikan inspirasi dan motivasi kepada umat Islam agar bekerja keras dengan sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang terbaik, dan ini tentunya dengan tidak mengabaikan landasan etis atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang ada di dalam ajaran Islam. Konsepsi tersebut, meskipun tujuannya tetap sama, “hasanah” di dunia sebagaimana konsepsi kerja keras dari Kemendiknas, namun al-Qur‟an juga mengajarkan konsepsi kerja keras harus juga “hasanah” kelak di akhirat. Kemendiknas menjelaskan bahwa kerja keras sekedar perilaku yang
86
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. F. Kreatif Kreatif dapat disandangkan dengan inovasi dan mau merubah diri sendiri untuk dapat lebih maju. Dalam al-Quran kata sejenis ada 3 ayat (9;105) (13;11) (16;78). Pesan ini mengandung motivasi untuk inovatif dengan merubah managemen dan sistem agar tidak tertinggal ketika yang lain maju. Bahkan dengan selalu berinovasi maka kita bisa jadi yang terdepan. Setiap manusia dituntut untuk melakukan aktifitas yang berguna dan bermanfaat bagi untuk orang banyak, begitu juga al-Quran memerintah kan untuk melakukan tindakan yang nyata tidak berpangku tangan sambil menunggu rezeki yang datang, seperti dalam firman Allah swt dalam surat at-Taubah 105: “Dan katakanlah (Nabi Muhammad Saw)” Bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin lainnya akan melihat amal kamu, dan kelak kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Shihab, 2013: 203). Jika dilihat ayat ini mengandung 3 unsur pokok pikiran; (1) Perintah untuk bekerja beramal dan berkarya; (2) Pekerjaan yang dilakukan apapun bentuknya akan dievaluasi oleh Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin; (3) Hasil pekerjaan akan dinampakkan diakhirat nanti. Dengan demikian manusia dituntut untuk berekspresi berkreatif berinovasi dengan penuh tanggung jawab dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa. Dalam surat an-nahl ayat 78 yang artinya; “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran penglihatan dan aneka hati (Lajnah Pentashihan al-Quran Kemenag, 2007: 229), (sebagai bekal meraih pengetahuan) supaya kamu bersyukur. Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera pendengaran berfungsi mendahului indera penglihatan. Adapun kemampuan akal dan Matahati yang berfungsi membedakan mana yang baik dan buruk, berfungsi jauh sesudah kedua indera tersebut (Shihab, 2013: 275). Penulis ingin membahas kreatif dalam perspektif surat al-Ra‟ad ayat 11: “(Masing-masing) ada baginya para pengikut (para malaikat atau makhluk) yang selalu mengikuti secara bergiliran, di hadapannya dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada (satu) pelindungpun bagi mereka selain Dia.”
87
Penjelasan dalam Tafsir al-Mishbah, “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum.” Menurut Quraish Shihab, setidaknya ada dua ayat yang berkaitan, yaitu surat al-Anfal ayat 58. Kedua ayat ini berbicara tentang perubahan, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi tentang kedua ayat ini. Yang pertama adalah ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja, tapi harus bersama-sama. Mungkin ide awal dari seorang saja lalu ditularkan dan bermanfaat di masyarakat luar sedikir demi sedikit dengan adanya perubahan. Kedua, adalah penggunaan kata “qaum” menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi berlaku umum, kapan dan dimanapun berada (Shihab6, 2000: 232). Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku pertama adalah Allah Swt, yang mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah menyangkut banyak hal, sepert kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan pepercahan, dan lainnya yang menyangkut masyarakat secara umum, bukan secara individu. Sehingga, bisa saja di antara anggota yang kaya, tetapi jiaka mayoritasnya miskin, masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya (Shihab6, 2000: 233). Keempat, kedua ayat ini juga menekankan bahwa perubahana yang dilakukan oleh Allah haruslah didahlui oleh perubahan yang dilakukan masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini mustahil terjadi perubahan sosial. Karena itu, boleh saja terjadi perubahan penguasa atau sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah keadaan akan bertahan sepeti sedia kala. Dalam pandangan al-Quran yang paling pokok dalam keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia karena sisi dalam manusia lah yang melahirkan kreativitas, baik positif maupun negatif, sifat, bentuk serta corak aktivitas yang mewarnai keadaan masyarakat positif atau negatif (Shihab6, 2000: 232). Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi menyangkut kedua hal tersebut (Shihab6, 2000: 232): 1. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini difaham dari kata qoum (Arab)/masyarakat. Dapat disimpulakan bahwa bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang saja, memang boleh bermula dari satu orang yang mengelontorkan ide dan disebar luaskan, diterima dan diterapkan dimasyarakat. ini yang disebut dengan manusia kreatif pola pikirnya dapat ditularkan sedikit demi sedikit dan menyebar luas ke masyarakat sehingga terjadi perubahan menuju lebih baik.
88
2. Penggunaan kata qoum juga menunjukkan bahwa suatu hukum tidak hanya berlaku bagi kaum Muslimin saja atau satu suku atau satu agama saja, tetapi berlaku bagi umum, kapan dan di manapun berada (Shihab6, 2000: 232). 3. Berbicara tentang pelaku perubahan. Pelaku perubahan yang pertama adalah Allah swt, dan yang kedua adalah manusia. Allah yang mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat (sisi luar/lahiriyah). Sedang manusia adalah dalam hal ini masyarakat adalah yang melakukan perubahan pada sisi dalam atau maa bi anfusihim/apa yang terdapat didiri mereka. Perubahan yang terjadi karena campur tangan Allah menyangkut banyak hal seperti kekayaan dan kemiskinana, kesehatan dan penyakit, kemuliaan dan kehinaan, persatuan dan perpecahan dan lain sebagainya yang menyangkut dengan masyarakat umum, bukan secara individu. Dapat dikatakan diantara anggota masyarakat ada yang kaya tapi mayoritas miskin, maka tetap dikatakan masyarakat miskin (Shihab6, 2000: 232). 4. Ayat-ayat ini menekankan bahwa perubahan yang dilakukan Allah swt haruslah didahului oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Maksudnya tanpa perubahan ini mustahil terjadi perubahan sosial, bisa jadi perubahan/pergantian penguasa atau sistem tapi jika dalam masyarakatnya tidak berubah maka akan tetap bertahan seperti sediakala, yang dimasud dengan sisi dalam adalah kemauan, kreativitas, bentuk corak dalam mewarnai kehidupan masyarakat (Shihab6, 2000: 232). Mencermati kreatifitas, survey yang dilakukan oleh Kay (2000: 52-63) tentang expectation from industry, melaporkan bahwa skill yang dibutuhkan sebagai kekuatan untuk menunjang kesuksesan dunia kerja pada lima tahun ke depan adalah: critical thingking (78%), IT (77 %), collaboration (74%), inovation (74%), health and weallness (76%), personal financial responsibility (72%), diversity (67%), entrepreneurial skill (61%), understanding U.S. economic issues in global economy (61%). Data tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis, serta soft skill lainnya bagi anak sebagai bekal hidup. Hasil survey tersebut juga menunjukkan skill-skill dominan yang menjadi basic competence bagi kebutuhan kerja dalam dunia industria di abad ke-21 ini. Di dalam kurikulum pendidikan nasional, sebuah kompetensi dapat dicapai melalui tiga indikator, yakni pengetahuan, keterampilan dan sikap. Artinya, bahwa anak belajar dengan subject, supaya menjadi tahu, dapat melakukan dan menjadi perilaku yang tercermin dalam keseharian hidup. Belajar berarti melakukan proses berpikir. Belajar tidak cukup hanya sekedar tahu, menguasai ilmu dan menghafal semua teori yang dihasilkan orang lain. Dengan demikian, pembelajaran hendaknya melatih anak mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills). Anak harus dilatih untuk berpikir kritis terhadap setiap fakta yang ditemukan. Cermat dalam menemukan masalah dan kreatif dalam menggagas solusi penyelesaiannya (Mahmuddin, 2011: 3-5). Struktur kognitif yang menjadi prinsip dalam educational objectives dibangun melalui enam tingkatan berpikir yang dikembangkan oleh Lorin Anderson sebagai
89
revisi atas taksonomi Bloom. Keenam tingkatan berpikir yang dimaksud adalah mengingat (remembering), kemampuan memahami (understanding), mengaplikasikan (applying),menganalisa (analysing),mengevaluasi (evaluating), dan mencipta (creating). (Anderson dan Krathwohl, 2001). Pembelajaran seringkali terlena dalam tiga tingkatan pertama (low order of thinking) sehingga berdampak pada pengerdilan potensi anak, pada hal setiap anak lahir dengan membawa potensi yang luar biasa. Tantangan masa depan menuntut pembelajaran harus lebih mengembangkan tiga tingkatan akhir berpikir yang disebut dengan keterampilan berpikir kreatif dan kritis (high order of thinking.) Menurut Lorin Anderson dan Krathwohl, (2001: 115), Mengevaluasi ditempatkan sebagai kategori utama dalam pengembangan berpikir kritis. Seseorang dapat menjadi kritis tanpa harus kreatif, tetapi produk kreatif seringkali membutuhkan pemikiran kritis. Oleh karena itu, Creating diletakkan sebagai tingkatan akhir yang harus dicapai dalam proses belajar dan berpikir anak. Belajar bukan sekedar menemukan fakta, dan mengkonstruksinya menjadi sebuah pengetahuan. Menurut Pebruanto, dalam Mahmudin, concept based curriculum mengisyaratkan ada 3 konsep belajar yaitu, belajar melebihi fakta (learning beyond the facts), belajar bagaimana berpikir (learning how to think), dan belajar bagaimana menemukan dan mengkonstruksi fakta baru (learning how to find and construct new facts). Suatu pengetahuan dianggap benar hanya bila dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai (Mahmuddin, 2011: 3-5). Untuk dapat membentuk karakter kreatif pada diri anak, maka pembelajaran perlu melatih menemukan masalah. Di dalam proses penemuan masalah anak dapat melakukan eksplorasi fakta, mengidentifikasi polapola atau hubungan antara situasi yang tidak terkait secara jelas, serta dapat menggunakan pertimbangan yang kreatif, konseptual atau induktif. Selanjutnya anak hendaknya dilatih mencari solusi kreatif dan mewujudkannya dalam sebuah karya produktif. Jadi belajar membuat anak berlatih menjadi produsen. Otak merupakan pengenal luar biasa dan penyimpan pola. Otak lebih mengingat hal-hal yang dapat kita lakukan, bukan yang kita tidak dapat lakukan, dan penggunaan yang biasa, bukan yang tidak biasa. Dengan pola-pola biasa dengan cara biasa dilakukan, dibuat, dioperasikan atau dikenalinya sesuatu, otak membuat hidup kita jadi lebih mudah. Kita dapat menggunakan, membuat dan mengenali banyak hal tanpa harus berpikir. Berpikir kreatif menuntut kita untuk melepaskan diri dari pola biasa atau dominan yang telah disimpan otak. Untuk dapat membantu anak melepaskan diri dari pola-pola dominan, diperlukan sikap positif berupa pemikiran bebas/berfantasi dan pengambilan resiko. Sebenarnya sikap ini telah dimiliki anak ketika bermain di rumah, tetapi kebebasan ini mengalami penekanan oleh pembelajaran sekolah yang menekankan pada pemikiran dengan jawaban yang benar. Langrehr (2001) mengemukakan lima aspek sikap yang baik untuk berpikir kreatif dengan menggunakan akronim FIRST (fantasy, incubate, risk take, sensitivity, titillate).
90
Seorang pemikir kreatif kerap memimpikan sesuatu yang tampaknya tidak mungkin terjadi atau solusi yang terkadang konyol terhadap suatu masalah. Ia biasanya membiarkan ide dan solusi untuk beberapa waktu dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan karena solusi kreatif kedua dan ketiga biasanya lebih kreatif dari yang pertama. Pemikir kreatif berani mengambil resiko demi mengharapkan sesuatu yang unik dan berguna, sensitif pada desain kreatif baik yang diciptakan manusia atau yang tercipta secara alamiah. Pemikir kreatif senantiasa bergairah dan menikmati kesenangan, di mana pada kondisi ini otak kaya akan gelombang theta dan zat endorfin (molekul bahagia) sehingga tercipta rasa rileks dalam pikiran. Oleh karena itu, sangat penting menyediakan lingkungan belajar yang tepat dan sistem pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berpikir kreatif (Langrehr, 2001: 21-22). Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni bagaimana membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills). Melangkah dari pengalaman konkret ke berpikir abstrak yang dapat menghasilkan “loncatan intuitif” melalui sebuah desain pembelajaran aktif. Piagetian-based education mengakui pentingnya menyiapkan lingkungan di mana anak dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep. Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak sesederhana melihatnya dan menggambarkannya. Mengetahui objek berarti berbuat terhadapnya, memodifikasinya, mentransformasi dan memahami proses transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek adalah mengkontruksinya (DeVries, 2011). Pembelajaran meliputi tiga hal utama yaitu fakta, konsep dan nilai. Fakta-fakta yang dieksplorasi harus dapat dikonseptualisasi untuk melahirkan nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dengan demikian, ketika anak belajar maka sesungguhnya diharapkan dapat melatih dan mengembangkan skill belajar (soft skill) yang meliputi self management skills, thinking skills, research skills, communication skills, social skills, dan problem solving skills. Dengan semakin meningkatnya tantangan kehidupan di masa depan, menuntut pengembangan teori dan siklus belajar secara berkesinambungan. Siklus belajar yang dikembangkan dalam sebuah sistem pembelajaran menentukan terbentuknya karakter yang diharapkan pada diri anak. Karakter berpikir yang kreatif dan membebaskan dapat menjadi modal utama bagi anak untuk menjadi manusia mandiri dalam kehidupan masa depan yang kompetitif. Proses pembelajaran yang inovatif, membiasakan anak belajar dan bekerja terpola dan sistematis, baik secara individual maupun kelompok dengan lingkungan yang menyediakan ruang bagi anak untuk berkreasi dan mencipta (DeVries, 2011). Untuk membentuk karakter kreatif menuju terciptanya kemandirian bagi anak, Rusman (2011) mengembangkan siklus belajar yang meliputi lima aspek pengalaman belajar sebagai berikut: 1. Exploring: merespon informasi baru, mengeksplorasi fakta-fakta dengan petunjuk sederhana, melakukan sharing pengetahuan dengan orang lain, atau menggali informasi dari guru, ahli/pakar atau sumber-sumber yang lain.
91
2. Planning: menyusun rencana kerja, mengidentifikasi alat dan bahan yang diperlukan, menentukan langkah-langkah, desain karya dan rencana lainnya. 3. Doing/acting: melakukan percobaan, pengamatan, menemukan, membuat karya dan melaporkan hasilnya, menyelesaikan masalah. 4. Communicating: mengkomunikasikan/mempresentasikan hasil percobaan, pengamatan, penemuan, atau hasil karyanya, sharing dan diskusi. 5. Reflecting: mengevaluasi proses dan hasil yang telah dicapai, mencari kelemahan-kekurangan guna meningkatkan efektivitas perencanaan.
Aspek pengalaman belajar di atas merupakan tahapan-tahapan belajar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan potensi belajar, berpikir dan berkreasi dalam karya. Siklus pembelajaran tersebut menjadi wahana melatih anak membangun kemandirian dan memupuk jiwa entrepreneurial dengan kreativitas dan produktivitas sebagai karakternya. Dalam implementasinya, siklus belajar ini konsisten dengan pendekatan keterampilan proses, inquiri, konstruktivistik, dan sains teknologi masyarakat menggunaka strategi pembelajaran strategi metakognitif (Rusman, 2011). Berdasarkan pembahasan yang dilakukan terhadap masalah kreatifitas dalam subbab ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan karakter bangsa kemendiknas bertujuan sebagai berikut: pertama, kreativitas merupakan produk dari berpikir kritis yang merupakan skill yang dibutuhkan sebagai kekuatan untuk menunjang kesuksesan dunia kerja. Kedua, model siklus belajar yang melatih kreativitas terdiri atas 5 tahapan, yaitu Exploring, Planning, Acting/Doing, Communicating dan Reflecting. Ketiga, implementasi siklus belajar dalam pembelajaran terintegrasi dalam rencana pelakasanaan pembelajaran yang dikembangkan dengan berorientasi pada pengembangan kemampuan kreasi atau daya cipta anak. Konsepsi pendidikan karakter bangsa dala al-Qur‟an, selain halhal di atas, kreatifitas juga harus mengandung 2 unsur pokok, yaitu kreativitas yang dilakukan apapun bentuknya akan dievaluasi oleh Allah, Rasul dan orang-orang
92
Mukmin dan apapun hasil pekerjaan kreatifnya akan dinampakkan di akhirat nanti. Islam menuntun agar manusia bebas untuk kreatif dengan berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Namun, kreatif haruslah pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah Swt dan Rasulullah Muhammad Saw, sebagaimana yang tercantum dalam alQur‟an dan Hadis Rasulullah. G. Mandiri Tingkatan tertinggi setiap kebaikan dan kesempurnaan dimiliki oleh Allah, maka Allah otomatis bebas dari setiap sifat buruk, kesalahan, kelemahan, cacat dan kekukarangan. Sejumlah ayat Al-Quran yang memuji Allah, menekankan aspek dari keagungan dan kemuliaan Nya ini. Al-Quran menyatakan bahwa Allah bebas dari setiap kekurangan dan kebutuhan. Al-Quran juga memandang bebasnya Allah dari setiap kekurangan dan kebutuhan ini sebagai satu prinsip penting pengetahuan tentang Allah. Melalui prinsip ini kita dapat mendeteksi, melihat, atau mengungkap sejumlah penyimpangan dalam bidang doktrin dan ideology (Bahesyti, 2003: 114). Manusia mesti ingat bahwa karena Allah tidak membutuhkan apa-apa, maka Dia pun tidak membutuhkan keimanan kita, ibadah dan ketaatan kita. Kalau Dia menghendaki kita untuk beriman dan taat, itu karena untuk kepentingan manusia itu sendiri, dan bukan karena untuk kepentingan-Nya. Seandainya seluruh alam ini kafir, maka kekafiran seluruh alam ini sedikitpun tidak mengganggu atau merugikannya. Karena tidak memiliki kebutuhan, maka Allah bebas dari batasan ruang dan waktu. Satu wujud yang menempati ruang, otomatis wujud tersebut membutuhkan adanya ruang, dan kalau sesuatu terikat waktu, maka eksistensi sesuatu tersebut terjadi karena kondisi-kondisi tertentu yang ada pada waktu tertentu. Satu wujud yang tidak terikat waktu, maka wujud tersebut dapat selalu eksis dan tidak bergantung kepada kondisi kondisi tertentu waktu (Bahesyti, 2003: 115). M. Quraish Shihab (2013: 256) menafsirkan Surat Ibrahim ayat 8 dengan, “Dan Musa berkata: “Jika kamu kufur; kamu dan siapapun yang ada dimuka bumi semuanya, maka (ketahuilah bahwa itu tidak merugikan Allah Swt sedikitpun), karena sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya, lagi Maha Terpuji.” Manusia mesti ingat bahwa karena Allah tidak membutuhkan apa-apa, maka Dia pun tidak membutuhkan keimanan kita, ibadah kita dan ketaatan kita. Kalau Allah menghendaki kita untuk beriman dan taat, itu semata-mata untuk kepentingan kita sendiri, dan bukan karena untuk kepentingan-NYa. Seandainya seluruh alam ini kafir, maka kekafiran seluruh alam ini sedikitpun tidak mengganggu atau merugikan-Nya (Bahesyti, 2003: 115). Kemudian Allah menjelaskan bahwa Dia tidak membutuhkan makhluk dan penyembahan mereka, tidak mengambil manfaat dari ketaatan dan tidak mendapat mudharat karena kedurhakaan, karena Dia tidak membutuhkan se isi alam ini (AshShabuny, 2000: 353). Quraish Shihab menafsirkan firman Allah dalam QS. AlAnam 133-134, (Shihab, 2013: 145), “Dan Tuhan pemeliharamu adalah Maha Kaya, lagi Pemilik Rahmat. Jika Dia menghendaki, pasti Dia memusnahkan kamu
93
dan mengganti (kamu) setelah kamu (dimusnahkan-Nya) dengan apa (makhluk dari jenis manusia atau jenis lain) yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan kaum yang lain. Sesungguhnya apa yang dijanjikan Allah SWT kepada kamu (seperti kehadiran Hari Kiamat, surga dan neraka) pasti datang, dan kamu sekali-kali tidak sanggup menolaknya.” (Shihab, 2013: 145). Ayat-ayat tersebut, menurut Quraish, jika diteladani, akan menuntun kita untuk bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Kemandirian merupakan suatu sikap, dan sikap merupakan suatu yang dipelajari, sikap yang dalam bahasa Inggris disebut attitude ini oleh Gerungan diyatakan sebagai “Sikap dan kesedian bereaksi terhadap suatu hal.” (Gerungan, 1996: 149). Artinya, bahwa kita tidak dilahirkan dengan dilengkapi sikap-sikap, tetapi sikap-sikap itu tumbuh bersama-sama dengan pengalaman yang kita peroleh. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemandirian itu tidaklah terjadi dengan begitu saja, namun sikap ini tertanam pada seorang anak secara bertahap seirama dengan perkembangan dan lingkungannya. Sedangkan pembentukan attitude tidak terjadi dengan sendirinya atau dengan gambaran saja, pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia dan berkenaan dengan objek tertentu. Charles schaeffer (1987: 59) mengistilahkan sikap mandiri dengan berdiri diatas kaki sendiri atau otonom, yang didefinisikan sebagai, “Keinginan untuk menguasai dalam mengendalikan tindakantindakan sendiri dan bebas dari pengendalin dari luar. Tujuannya ialah untuk menjadi seorang manusia yang ngatur diri sendiri. Seorang manusia yang berdiri diatas kaki sendiri mengambil inisiatif, mengatasi sendiri kesulitan-kesulitan dan melakukan hal-hal untuk dan oleh dirinya sendiri.” Sementara itu Zakiyah Daradjat (1982: 130) mengemukakan mandiri dengan istilah berdiri sendiri, memberikan definisi sebagai berikut: “Berdiri sendiri, yaitu kecenderungan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tanpa minta tolong kepada orang lain, juga mengukur kemampuan untuk mengarahkan kelakuannya tanpa tunduk pada orang lain,biasanya anak yang dapat berdiri sendiri lebih mampu memikul tanggung jawab dan pada umumnya mempunai emosi yang stabil. Dari beberapa definisi di atas, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa kemandirian belajar pada hakekatnya adalah kecenderungan anak untuk melaksanakan kegiatan belajar bebas dari pengendalian pihak luar, dengan kesadaran bahwa belajar adalah tugas dan tanggung jawabnya. Ciri-ciri kemandirian belajar siswa antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Inisiatif Inisiatif berasal dari kata bahasa Inggris, initiative, yang berarti ikhtiar atau prakarsa. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemauan siswa dalam berusaha untuk mencapai suatu yang diinginkannya. Ibrahim bin Ismail (tth: 23) mengemukakan prinsip kemandirian belajar sebagai berikut:
ِال ِزيَتِ ِنطَآنَبِ ا ْن ِعهْى َ ًُ الَبُذَ يٍَِ انْجَذِّ َٔا ْنًَُٕاطَبَتِ َٔا ْن
94
“(Bagi seorang pelajar) harus mempuyai kesungguhan yang tetap dan bertekun dan kontinu dalam menuntut ilmu.” Jadi seorang siswa dapat dikatakan mandiri dalam belajar apabila siswa itu mempuyai kemauan dan inisiatif sendiri. 2. Kedisiplinan Kedisiplinan dapat diartikan sebagai latihan baik dari watak dengan maksud supaya segala perbuatan selalu mentaati tata tertib (Poerwadarminta, 1981: 735). Sedang menurut James Drever (1986: 110), kedisiplinan semula sinonim dengan education (pendidikan) dalam pemaknaan modern pengertiannya adalah: kontrol terhadap kelakuan baik oleh suatu kekuasaan luar maupun individu sendiri. Sedangkam menurut Henry Clay Lindgren (1960: 305) mendefinisikan disiplin sebagai “Control by enforcing obedience or orderly conduct,” artinya kontrol dengan pemaksaan ketaatan atau sikap yang teratur. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kedisiplinan dapat diartikan sebagai kesungguhan lahir dan batin serta ketatan dan kepatuhan untuk melaksanakan tata tertib serta aturan-aturan yang berlaku. Anak yang disiplin akan bertindak sukarela terhadap apa yang ia lakukan dengan tetap memperhatikan rangkaian peraturan dan tata tertib yang membatasi apakah kelakuannya itu diterima atau tidak. Sehubungan dengan hal ini, S.C. Utami Munandar (1982: 45) mengatakan bahwa, “Ciri-ciri kemandirian belajar siswa adalah adanya ketekunan, kerajinan, keuletan, keaktifan, inisiatif, disiplin, kepatuhan, kerapian, kemandirian, dan kebebasan.” 3. Kreativitas Anak yang kreatif menandakan bahwa ia mempuyai tingkat kemandirian yang tinggi. Menurut S.C. Utami Munandar (1982: 44) “Beberapa ciri kepribadian yang kreatif yang erat hubungannya dengan kemandirian antara lain: bebas dalam berpikir, senag mencari pengalaman baru, dapat memulai sendiri sesuatu (inisiatif), bebas memberikan pendapat, dan tidak mau menerima pendapat begitu saja. 4. Tidak minder atau malu untuk berbuat Minder atau rendah diri merupakan kondisi psikis yang ditandai dengan perasaan takut, pesimis, menjaukan diri dari pertemuan dengan orang lain, merasa tidak mampu, kurang merasa percaya diri, dan merasa hina. Orang yang merasa minder atau rendah diri, sering kali menimbulkan kesulitan tidak hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada orang lain. Mereka mudah tersinggung, sering salah paham, sulit bertanggung jawab, dan tidak mampu melaksanakan sesuatu yang sebenarnya mampu ia laksanakan (Munandar, 1982: 46). Melihat permasalahan minder ini tidak ada alternatif lain bagi para pendidik dewasa ini termasuk orang tua, kecuali memberikan motifasi pada anak agar mempuyai kepercayaan diri yang tinggi supaya anak-anak tumbuh dan terdidik atas keterbukaan yang sempurna, keberanian atas batas-batas kesopanan, kehormatan, toleransi, dan mandiri. Kalau tidak, maka keberanian itu akan berbalik menjadi rasa tidak tahu malu dan kurang ajar terhadap oarang lain. Sehingga, apabila menjumpai
95
anak yang mempuyai rasa minder serta renda diri, maka para guru atau orang tua harus memberikan motivasi kepada anak tersebut agar mampu beraktivitas, baik dalam kelompok maupun perorangan, harus juga mampu membangkitkan rasa percaya diri anak agar tidak minder untuk berbuat sesuatu (Munandar, 1982: 46). 5. Keberanian mengambil resiko Dalam proses kematangan ada kalanya berlangsung secara alamiah ada pula melalui rangsangan dari luar. Setelah anak mencapai masa kematangan, akan terbukti dengan adanya keberanian dalam mengambil resiko atau mau bertanggung jawab terhadap segala akibat yang ia lakukan. Keberanian mencoba dan melakukan sesuatu yang belum perna dilakukan serta berani menanggung resiko yang ada, akan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Anak yang mempuyai rasa tanggung jawab akan melakukan segala sesuatunya dengan sungguh-sungguh baik dilihat maupun tidak dilihat, baik dinilai maupun tidak dinilai oleh orang lain (Munandar, 1982: 46). 6. Kemampuan proyektif Proyektif berarti mewujudkan atau mempraktikkan dalam hal ini yang dimaksud adalah kemauan untuk mempraktikkan sesuatu yang telah dipelajari. Tindakan semacam ini penting sekali, karena akan melatih kemandirian. Pada garis besarnya, faktor-faktor yang mempengaruhi kemadirian belajar dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. 1. Faktor intern Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak, faktor ini meliputi: a. Intelegensi Untuk memberikan pengertian tentang intelegensi J.P. Chaplin yang disadur oleh Slameto (1995: 56) merumuskan sebagai berikut: “Intelegensi itu adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis, yaitu: kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui atau menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahu relasi dan mempelajari dengan cepat.” Intelegensi berpengaruh besar terhadap kemajuan belajar, dalam situasi yang sama, siswa yang mempuyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil dari pada yang mempuyai intelegensi rendah. b. Minat Hilgard memberikan rumusan tentang minat sebagaimana di kutip oleh Slameto (1995: 56), “interest is persisting tendency to pay attention to and enjoy some activity or content,” minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menyenangi beberapa kegiatan atau isi kegiatan). Minat besar sekali pengaruhnya terhadap terciptanya kemandirian belajar anak. Kegiatan yang diminati seseorang akan diperhatikan terus yang disertai dengan rasa senang,
96
sehingga dengan adanya minat yang besar ini akan menimbulkan dorongan untuk lebih mengenal dan mendalam tanpa harus diperintahkan oleh orang lain. c. Motif Menurut Sumadi Suryabrata (1990: 70), “Motif adalah keadaan pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.” Jadi dapat dikatakan bahwa motif merupakan dasar yang sangat esensial bagi seluruh tingkah laku manusia. Dalam hal ini, W.A Gerungan (1996: 144) menegaskan “Tanpa motifasi orang tidak berbuat apa-apa, tidak akan bergerak.” Dengan demikian, menjadi cukup jelas bahwa motivasi siswa dalam belajar mempuyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan belajarnya. Siswa yang mempuyai motifasi kuat, dimungkinkan akan lebih tekun, rajin, dan mandiri dalam belajar. d. Bakat Menurut Hilgard, sebagaimana dikutip oleh Slameto (1995: 57) bakat atau aptitude adalah: “The capacity to learn.” Dengan kata lain, bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Bakat sangat mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat dalam belajarnya. Dan ini akan menjadikan anak lebih mandiri dalam belajar. e. Kematangan Kematangan adalah “suatu tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru.” (Slameto, 1995: 58). Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan secara terus menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain, anak yang sudah siap atau matang belum dapat melaksanakan kecakapanya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika anak sudah matang atau siap. f. Konsep diri Konsep diri adalah persepsi keseluruhan yang dimiliki seseorang mengenahi diri sendiri. Menurut Burn, sebagaimana dikutip oleh Slameto (1995: 182) menjelaskan bahwa, “The self concept refers to conection of ettitudes and beliefs we hold abaut ourselves.” Konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Definisi tersebut jika dihubungkan dengan masalah kemandirian belajar, memberikan pengertian suatu pengertian bahwa sikap dan pandangan positif individu terhadap kemampuan dirinya akan meningkatkan kemandiriannya. 2. Faktor Ekstern a. Faktor Keluarga Keluarga merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri atau dengan kata lain keluarga adalah “orang yang mempuyai kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.” (Salim dan Teni, 1991: 697). Sedangkan M. Quraish Shihab (1998: 255) mendefinisikan keluarga sebagai “umat kecil” yang memiliki pimpinan dan anggota, mempuyai pembagian tugas,
97
dan kerja serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota. Di antara tugas keluarga dalam hal ini orang tua adalah memperbaiki adab dan pengajaran anakanaknya dan menolong mereka membina aqidah yang betul dan agama yang kukuh. Begitu juga dengan menerangkan kepada mereka prinsip-prinsip dan hukumhukum agama dan melaksanakan upacara-upacara agama dalam waktu yang tepat dan cara yang betul, juga ia harus menyiapkan peluang dan suasana yang praktis untuk mengamalkan nilai-nilai agama dan akhlak dalam kehidupan, orang tua juga berkewajiban untuk memberikan contoh yang baik dan tauladan yang saleh atas segala yang diajarkannya (Langgulung, 1995: 384). Dengan demikian, kelurga merupakan lingkungan pertama yang dijumpai seorang anak, serta suatu lembaga yang pertama membentuk sikap, watak, pikiran, dan prilaku anak. Dalam lingkungan keluarga ini anak-anak memperoleh didikan dan bimbingan serta contoh-contoh yang dapat membentuk kepribadiannya di kemudian hari. Keadaan keluarga yang meliputi antara lain, cara orang tua mendidik, reaksi antara anggota keluarga, keyakinan struktur keluarga, dan keadan ekonomi kelurga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap seluruh perkembangan dan pertumbuhan anak, baik fisik maupun psikisnya. Jauh sebelum pakar pendidikan merumuskan masalah ini, Nabi Muhammad saw telah menyatakan dalam sabdanya sebagai berikut:
َ لَا:َ عٍَْ َانْاَعّْرَجِ عٍَْ اَبِي ُّْرَيّْرَةَ لَال,ِ عٍَْ اَبِي انزََِّاد,ٍحَذَثََُا انْمَعَُْ ِبيُّ عٍَْ يَانِك ل َِِّ فَأَبََٕاُِ يَُِّٕٓدَا,ِسهَّىَ “ ُكمُّ يَْٕنُْٕدٍ يُْٕنَذُ عَهَي اْنفِطّْرَة َ َٔ ِّْرَسُٕلُ اهللِ صَهَّٗ اهللُ عَهَي , . . ََِِّٔيَُُّصِّّرَا “Bercerita kepada saya, al-Qa‟naby dari Malik dari al-Zanad dari al-A‟raj dari Abi Hurairah ia telah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi dan Nasroni, …”. (HR. Abu Daud). (al-Sajistany4, tth: 240). Pelajaran yang dapat diambil dari hadits di atas bahwa anak secara kodrati dilahirkan dalam keadan fitrah. Maka keluarganya-lah yang membesarkannya, yang menjadikan dia baik atau buruk. Dalam keluarga, orang yang paling bertanggung jawab memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anak adalah orang tua anak itu sendiri. Untuk memberikan apa yang terbaik maka orang tua harus memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah pendidikan dan pengembangan anak. Kebutuhan akan pendidikan ini dianggap penting karena sebagaiman diungkapkan oleh Clara R. Pujijogyanti (1995: 29) bahwa, “Cara orang tua memenuhi kebutuhan fisik anak (misalnya kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempa tinggal) dan kebutuhan psikologis anak (misalnya rasa aman, rasa kasi sayang, dan penerimaan) merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap seluruh perkembangan kepribadian anak.”
98
Di samping itu, sebagaimana kita maklumi bahwa kalangan sosial ekonomi menengah dan atas pada umumnya adalah mereka yang umumnya mempuyai latar belakang pendidikan yang tinggi. Sedangkan status sosial ekonomi akan ikut berpengaruh terhadap terbentuknya sikap mandiri anak. Dalam hal ini Pudjijogyanti menjelaskan, “Pada umumnya orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah dan tinggi akan menekankankemandirian, memberitingkat aspirasi yang tinggi, mendukung dan memberian perhatian, memberikan kasih sayang pada anak mereka. Sedangkan orang tua dari sosial ekonomi yang rendah lebih menekankan pada pemberian hukuman aspirasi yang rendah dan memberi sedikit perhatian dan kasih saying.” (Pujijogyanti, 1995: 29). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang keluarga yang baik, tentunya akan dapat mengarahkan dan membina anak untuk dapat belajar dengan baik. Termasuk mengarahkan anak kepada sikap mandiri dalam belajar. b. Faktor Sekolah Setelah anak dididik di dalam lingkungan keluarga oleh orang tuanya dan mungkin oleh anggota keluarga yang lain, maka seiring dengan usia yang makin bertambah selanjutnya anak akan memasuki Sekolah yang mempuyai pengertian sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran (Poerwadarminta, 1991: 889). Sekolah merupakan pendidikan yang kedua dalam kehidupan seseorang setelah keluarga. Seluruh perangkat sekolah yang meliputi antara lain: Guru, kurikulum, disiplin sekolah, kegiatan ekstrakulikuler, relasi antar siswa, sarana dan prasarana yang dimiliki dan lain sebagainya,dan diharapkan dapat memerankan sesuai dengan fungsinya yaitu meneruskan, mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan suatu masyarakat, melalui kegiatan ikut membentuk keperibadian anak-anak agar menjadi manusia dewasa yang berdiri sendiri di dalam kebudayaan dan masyarakat sekitarnya (Nawawi, 1989: 27). Dengan demikian, sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terbentuknya kemandirian siswa khususnya dalam belajar. Kajian yang dilakukan Ryans juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara perilaku produksi sesuai dengan prilaku guru. Sejalan dengan penelitian Ryans tersebut, Spaulding menunjukkan pula bahwa, “Konsep dari siswa dapat ditingkatkan menjadi positif apabila guru mampu mempuyai sikap menyatu dalam berinteraksi dengan siswa dan dalam mendukung belajar siswa.” (Pujijogyanti, 1995: 65). Dari kajian tersebut lebih lanjut Clara R. Pudjijogyanti menjelaskan “Konsep diri yang positif siswa, yaitu prilaku diri, tidak cemas, menghargai, dan cinta belajar.” (Pujijogyanti, 1995: 69). Demikian tidak kala pentingnya menciptakan reaksi dengan baik antara siswa, karena hal ini juga mempuyai pengaruh terhadap belajar siswa, kelengkapan sarana sekolah misalnya alat pelajaran yang dipakai guru pada saat mengajar, dipakai pula oleh siswa untuk menerima bahan pelajaran yang diberikan kepada siswa, jika siswa mudah menerima pelajaran dan menguasainya maka ia akan lebih giat dan maju dalam belajar. Jadi jelas bahwa sekolah dan segala perlengkapannya berpengaruh dan berperan vital dalam menumbuh kembangkan keperibadian anak, termasuk terhadap terbentuknya sikap mandiri anak dalam belajar.
99
3. Faktor Masyarakat Masyarakat juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemandirian belajar siswa, karena masyarakat adalah “pergaulan hidup manusia (sehimpunan manusia yang hidup di suatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu).” (Poerwadarminta, 1991: 636). Pengaruh itu terjadi karena anak itu berada dalam lingkungan masyarakat. Kegiatan anak dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika terlalu banyak kegiatan yang diikuti, maka justru akan dapat mengganggu pelajarannya. Di samping kegiatan dalam masyarakat, mass media turut berpengaruh dalam belajar anak seperti, TV, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya. Mass media yang baik akan membantu anak dalam belajar, sedangkan mass media yang jelek akan mengganggu kosenterasi anak dalam belajar, sehingga hasil belajar anak juga jelek. Dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh teman bergaul akan lebih cepat masuk dalam jiwa anak. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik pada anak, misalnya dalam belajar kelompok, ini akan membantu anak dalam mencapai keberhasilan belajar. Bentuk kehidupan masyarakat di sekitar anak juga berpengaruh terhadap belajar anak. “Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, mempuyai kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh sekali terhadap keberhasilan belajar siswa, bahkan akan mengakibatkan kehilangan semangat dalam belajar.” (Slameto, 1995: 71). Siswa yang ingin berhasil dalam belajarnya hendak mampu mencari jalan terbaik untuk dirinya yaitu memilih teman yang baik, bersih dari lingkungan yang mengganggu, memilih alat bantu belajar yang mendukung keberhasilan belajarnya dan juga mampu menciptakan suasana belajar yang baik dan benar. Dengan demikian pengaruh lingkungan masyarakat terhadap pembentukan pribadi individu termasuk di dalamnya pembentukan sikap mandiri pada diri seseorang. Jadi jelas bahwa lingkungan masyarakat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap mandiri pada diri seseorang khususnya anak didik. Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa konsep pendidikan karakter bangsa pada kemandirian dalam al-Qur‟an maupun Kemendiknas samasama memiliki tujuan agar manusia memiliki sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Islam membenarkan umat manusia untuk aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan mandirinya tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
100
H. Demokratis Pendidikan moral sebagai dasar dari pembentukan demokrasi sangatlah penting dalam usaha mencapai suatu keberhasilan kehidupan yang demokratis. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, maka rakyat pula yang bertanggung jawab dalam membentuk suatu kehidupan dalam konteks kebebasan bagi mereka sendiri. Hal itu berarti masyarakat seharusnya atau sedikitnya memiliki sebuah sikap yang berbudi. Mereka harus memahami dan berkomitmen bahwa pendidikan moral sebagai dasar demokrasi adalah menghargai hak-hak setiap individu, menghomati hukum yang berlaku, secara sukarela teribat dalam kehidupan bermasyarakat, dan memiliki kepedulian untuk bersikap baik. Loyalitas terhadap kesopanan dalam berdemokrasi tersebut sudah mulai ditanamkan sejak dini (Lickona, 2012: 8). Demokrasi biasa disepadankan dengan kata Syura dalam bahasa Kitab Suci alQuran. Makna kemudian berkembang hingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil dari pihak lain, termasuk pendapat. Kitab Suci al-Quran memuji masyarakat yang melakukuan musyawarah dalam urusan meraka (QS. al-Syura: 38) dan memerintahkan untuk melakukannya dalam kehidupan berumah tangga (QS. al-Thalaq 6), serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (QS. Ali Imran: 159) (Shihab, 1994: 402). Dalam al-Qur‟an ada beberapa kata musyawarah yang bisa disepadankan dengan arti demokrasi, yaitu Musyawarah (42; 38), bermusyawarah (3; 159) (Chirzin, 2011: 387). Demokrasi atau hukum disiplin dan musyawarah dalam al-Qur‟an, misalnya dijelaskan dalam QS. Al-Nisa/4: 59:
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), dan ulil amri di antara kamu. Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (kepada al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian (sumber hukum) itu baik, (lagi sempurna) dan juga lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat). Surat Ali Imran/3: 159,
101
“Maka, disebabkan rahmat dari Allah lah engkau (Nabi Muhammad Saw) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Jika seandainya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal (kepada-Nya) (QS. Ali Imran: 159). Nabi saw selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya ini menunjukkan adanya demokrasi dalam kepemimpinan. Terlebih lagi Islam menganjurkan agar tidak meninggalkan musyawarah agar dapat mengambil pandangan lain. Esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan hukum atau kebijaksanaan politik (Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an Kemenag, 2011: 222). Dalam bermusyawarah pendapat selalu berkembang untuk mengambil keputusan pemimpin akan mengambil keputusan yang telah disepakati, untuk menghindari perbedaan dan perselisihan pendapat. Dengan tetap berpegang kepada al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman dan pemutus akhir. Dalam penjelasan Tafsir al-Mishbah tuntunan ini ditunjukan kepada Nabi Muhammad saw, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum Muslimin khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam Perang Uhud. Sebenarnya, cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah-lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas mereka, walau beliau sendiri kurang berkenan; beliau tidak memaki dan mempermasalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain (Shihab2, 2000: 310). Firman-Nya: “Maka disebabkan rahmat Allah engkau berlaku lemmah lembut terhadap mereka,” dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah Swt sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Saw, sebagaimana sabda beliau: “Aku di didik oleh Tuhanku, maka sungguh baik hasil didikan-Nya.” Kepribadian beliau dibentuk sehinga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melaui wahyu-wahyu al-Quran, tetapi kalbu beliau juga disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam (Shihab2, 2000: 310). Salah satu yang menjadi penekanan ayat ini adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting, karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah, serta disetujui oleh mayoriras. Kendati demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Karena itu, ayat ini dipahami sebagai pesan unuk
102
melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan setelah musyawah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama (Shihab2, 2000: 310). Kata musyawah, dalam tafsiran Quraish Shihab, terambil dari kata syawara yang bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal- hal yang baik, sejalan dengan makana di atas tadi. Madu bukan saja manis, tetapi ia adalah obat bagi banyak penyakit, sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah yang dicari di manapun dan siapapun yang menemukannya. Madu dihasilkan oleh Lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah bagaikan Lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan, makannya sari kembang, hasilnya madu, di manapun hinggap lebah tidak pernah merusak, tidak menggangu kecuali diganggu, sengatannya pun obat. Itulah permusyawaratan dan demikian itu sifat yang melakukannya. Tidak heran jika Nabi Saw, menyamakan seorang Mukmin dengan Lebah (Shihab2, 2000: 310). Pada ayat ini, tiga sikap dan sifat secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Saw, untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud. Namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri dengan teladan Nabi Saw, bagi setiap orang yang melaksanakan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad. Yang pertama adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan juga tidak berhati keras. Yang kedua adalah memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar, sedangakna kecerahan pikiran hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati (Shihab2, 2000: 313). Dari al-Qur‟an, dalam penelusuran Quraish Shihab, ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata musyawarah. Yang pertama adalah QS. AlBaqarah/2: 223. Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suamiistri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anakanak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri. Ayat kedua, adalah QS. Al-Syura/42: 38, yang menjanjikan bagi orang Mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang Mukmin dimaksud memiliki sifat-sifat antara lain adalah ( ْشْٕرَٖ بَيَُْ ُٓى ُ ْ )اَيْ ُّر ُْىamruhum syurabainahum/urusan mereka diputuskan dengan musyawarah. Jika demikian, lapangan musyawarah adalah persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperi yang dipahami dari QS. Al-Syura di atas. Para sahabat Nabi Saw menyadari benar hal ini sehingga mereka tidak mengajukan saran menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk Ilahi (Shihab2, 2000: 315). Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah Swt, secara tegas dan baik, baik langsung maupun dari
103
Rasul-Nya, persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang belum dapat ditentukan petunjuknya serta soal-soal kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang menalami perubahan. Nabi Saw bermusyawarah dalam urusan masyarakat, bahkan beliau dalam bebeapa hal bermusyawarah dan menerima saran menyangkut beberapa urusan keluarga beliau atau pribadi beliau. Salah satu kasus keluarga yang beliu mintakan saran adalah kasus rumor yang menimpa istri beliau, Aisyah Ra, dan yang pada akahirnya turun ayat yang menampik segala rumor itu (QS. Al-Nur) (Shihab2, 2000: 316). Secara umum, dapat dikatakan bahwa petunjuk al-Qur‟an yang terperinci dikemukakannya menyangkut persoalan-persoalan yang tidak dapat terjangkau oleh nalar serta yang tidak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini, dipahami mengapa uraian al-Qur‟an menyangkut persoalan metafisika, seperti surga dan neraka, demikian terperinci. Demikian juga soal mahram, yakni mereka terlarang dinikahi karena seseorang, kapanpun di manapun selama jiwanya normal, tidak mungkin mengalami birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya. Ini adalah naluri yang tidak dapat berubah sepanjang hayat manusia dan kemanusiaan, kecuali bagi yang abnormal (Shihab2, 2000: 317). Musyawarah adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk Kitab Suci al-Qur‟an menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umum saja. Jangankan al-Qur‟an, Nabi Saw saja, yang banyak hal seringkali petunjuk-petunjuk umum al-Quran, tidak meletakkan perincian dalam soal musyawarah ini, bahkan tidak juga pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh Empat Khalifah beliau berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian, Rasul Saw, tidak meletakkan petunjuk tegas terperinci tentang cara pola syura, karena jika beliau sendiri yang meletakkannya ini, bertentantangan dengan prinsip syura yang diperintahkan al-Qur‟an, sedangkan bila beliau bersama yang lain yang menetapkannya, itupun hanya berlaku di masa beliau saja. Tidak berlaku perincian untuk masa sesudahnya (Shihab2, 2000: 317). Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rashid Ridha ketika menyatakan bahwa “Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan yang sempurna dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, guna menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setuap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat. Kita seringkali mengikat diri-sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama, akan tetapi pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita sendiri.” Demikian komentarnya ketika menafsirkan QS. Al-Nisa‟/4: 59 (Shihab2, 2000: 318). Apa yang dikemukakan di atas tentang syura, lebih sepadan dengan demokratis, ketimbang demokrasi. Demokratis oleh Kemendiknas didefinisikan dengan suatu
104
cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Shihab2, 2000: 318). Badan Bahasa Kemendiknas (entri, “Demokrasi, Demokratis, Demokrat, dan Demokratisasi,” http://badanbahasa.kemdikbud.go.id, diakses tanggal 15 April 2015) sendiri dengan jelas
membedakan antara makna demokrasi dan demokratis. Demokrasi, merupakan kata adjektiva, yang berarti „bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah melalui perantaraan wakilnya‟, „pemerintahan rakyat.‟ Misalnya, negara demokrasi adalah negara yang menganut bentuk dan sistem pemerintahan oleh rakyat. Meskipun demikian, demokrasi juga bisa berarti „gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan bagi semua warga negara,‟ misalnya untuk berpaham demokrasi, sosialis, atau agamis, bahkan ateis sekalipun. Kata demokratis, juga merupakan adjektiva, yang berarti „bersifat demokrasi.‟ Semisal, siswa yang demokratis berarti „siswa yang bersifat demokrasi‟ atau „siswa yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan bagi semua siswa.‟ Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demokrasi untuk menyatakan „bentuk dan sistem pemerintahan negara,‟ sedangkan demokratis untuk menyatakan sifat negara. Pendidikan karakter kebangsaan demokratis akan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban siswa dalam proses kegiatan belajar-mengajarnya. Berikut ini dibahas mengenai hak dan kewajiban pelajar pada umumnya, sehingga siswa akan lebih memahami apa hak dan kewajiban sebagai pelajar: 1. Hak Seorang Pelajar Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan tamatan pendidikan dasar. Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut. a. Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. b. Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan. c. Berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untukmemperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan. d. Mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku. e. Pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi. f. Sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki. g. Memperoleh penuaian hasil belajarnya. h. Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan. i. Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
105
Secara umum dalam proses belajar mengajar siswa mempunyai hak-hak sebagai berikut: a. Hak Belajar. Belajar merupakan kebutuhan pokok seorang pelajar. Siswa berhak mendapatkan proses belajar mengajardi kelas dan di luar kelas, pengajaran untuk perbaikan, pengayaan, kegiatan ekstrakurikuler, mengikuti ulangan harian, ulangan umum, dan ujian nasional. b. Hak Pelayanan. Dengan adanya pelayanan diharapkan memberi kemudahan bagi siswa meraih harapan memperoleh sukses. Siswa berhak mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan administrasi sekolah. Pelayanan melalui bimbingan konseling akan membantu keberhasilan siswa. c. Hak Pembinaan. Bentuk pembinaan dapatdilaksanakan pada saat upacara bendera, pembinaan wali kelas, saat mengajar bahkan saat bimbingan dan layanan konseling. d. Hak Memakai Sarana Pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan alat untuk mempermudah siswa melakukan berbagi aktivitas belajar. e. Hak Berbicara dan Berpendapat. Hak ini digunakan secara demokratis untuk melatih siswa mengemukakan pendapatnya. Tapi perlu diingat hak ini harus digunakan dengan cara-cara yang sopan, tidak menimbulkan anarki dan berujung pada kerusuhan. f. Hak Berorganisasi. Berkumpul dengan teman sebaya memang diperlukan oleh anak-anak remaja. Jika bertujuan baik maka berorganisasi sah-sah saja dilakukan. Organisasi juga dapat menjadi ajang penyalur bakat dan kreativitas para remaja. g. Hak Bantuan Biaya Sekolah. Bantuan biaya sekolah atau sering disebut beasiswa merupakan kebutuhan wajib yang diterima siswa. Pemberian bantuan ini juga harus memenuhi persyaratan tertentu yang telah diatur dalam ketentuan-ketentuan pemberian beasiswa. 2. Kewajiban Seorang Pelajar Siswa selain memiliki hak yang harus diterima, juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya. Setiap peserta didik berkewajiban untuk: a. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. b. Mematuhi semua peraturan yang berlaku. c. Menghormati civitas akademika kependidikan. d. Ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan. Secara umum kewajiban siswa dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Kewajiban Belajar. Belajar merupakan tugas utama seorang pelajar. Siswa diwajibkan belajar dengan baik di dalam maupun di luar sekolah. Mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru termasuk juga kewajiban pelajar.
106
b. Kewajiban Menjaga Nama Baik Sekolah. Menjaga nama baik sekolah baik di luar maupun di dalam sekolah merupakan perwujudan terhadap ketahanan sekolah beserta Wawasan Wiyata Mandala. c. Kewajiban Taat Tata Tertib. Aturan-aturan yang mengarahkan siswa bertingkah laku di sekolah merupakan tata tertib yang wajib ditaati oleh seluruh siswa. Dengan tata tertib diupayakan siswa memiliki kedisiplinan sehingga mampu menunjang dalam kehidupan bermasyarakatnya. d. Kewajiban Biaya Sekolah. BOS atau biaya operasional sekolah adalah biaya sekolah yang berasal dari pemerintah yang merupakan pendukung operasional kegiatan harian di sekolah agar sekolah dapat berjalan lancar. Biaya ini hanya untuk membantu meringankan biaya sekolah bukan berarti sekolah bebas ongkos atau gratis. e. Kewajiban Kerja Sama. Kerja sama antara sekolah dengan pihak masyarakat dalam hal ini wali murid wajib dilaksanakan untuk mendukung seluruh kegiatan sekolah. Kerja sama yang terjalin dengan baik akan mampu memecahkan setiap permasalahan yang ada. Quraish juga memaparkan bahwa faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give," tetapi justru mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan (QS. Al-Hasyr/59: 9) (Shihab, 2013: 75). Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan. Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS. Ali 'Imran/3: 64, dan Saba/34: 24-25) (Shihab, 2013: 75). Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim, al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka. Setelah menyatakan bahwa orangorang Mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya (Shihab, 2013: 75). Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat 1112), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw, antara lain, “Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula
107
saling mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke AnNasa'i, melalui Abu Hurairah) (Shihab, 2013: 75). Berdasarkan uraian di atas, konsepsi demokratis pendidikan karakter bangsa senada dengan konsepsi syura dan ukhuwah dalam al-Qur‟an. Bahkan, dalam konsep pendidikan karakter bangsa demokratis al-Qur‟an, tidak hanya membentuk cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain saja. Menurut Quraish Shihab, melainkan juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu bersikap demokratis dengan menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan. I. Rasa Ingin Tahu Kemendiknas menjelaskan bahwa rasa ingin tahu (kuriositas) merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, di lihat, dan di dengar. Rasa ingin tahu makhluk lain lebih didasarkan oleh naluri (instinct)/idle curiosity naluri ini didasarkan pada upaya mempertahankan kelestaraian hidup dan sifatnya tetap sepanjang zaman. Manusia juga mempunyai naluri seperti tumbuhan dan hewan tetapi ia mempunyai akal budi yang terus berkembang serta rasa ingin tahu yang tidak terpuaskan. Sesuatu masalah yang telah dapat dipecahkan maka akan timbul masalah lain yang menunggu pemecahannya, manusia setelah tahu apanya maka ingin tahu bagimana dan mengapa (Jasin, 2008: 9-10). Manusia yang mempunyai rasa ingin tahu terhadap rahasia alam mencoba menjawab dengan menggunakan pengamatan dan penggunaan pengalaman, tetapi sering upaya itu tidak terjawab secara memuaskan. Pada manusia kuno untuk memuaskan mereka menjawab sendiri. Misalnya kenapa ada pelangi mereka membuat jawaban, pelangi adalah selendang bidadari atau kenapa gunung meletus jawabannya karena yang berkuasa marah. Dari hal ini timbulnya pengetahuan tentang bidadari dan sesuatu yang berkuasa. Pengetahuan baru itu muncul dari kombinasi antara pengalaman dan kepercayaan yang disebut mitos. Cerita-cerita mitos disebut legenda. Mitos dapat diterima karena keterbatasan penginderaan, penalaran, dan hasrat ingin tahu yang harus dipenuhi. Sehubungan dengan dengan kemajuan zaman, maka lahirlah ilmu pengetahuan dan metode ilmiah (Jasin, 2008: 10). Islam sebagai agama yang universal dan sebagai agama yang menitik beratkan pada fitrah manusia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia. Salah satu yang menjadi perhatian dalam ajaran Islam adalah tentang sains itu sendiri. Islam memandang bahwa dengan sains lah suatu umat bisa mengangkat derajat dan kehormatannya sendiri, dengan sainslah alam semesta ini bisa didayagunakan dengan optimal dan dengan sainslah suatu umat bisa mengenal siapa Tuhannya. Bagi Islam, sikap terhadap sains sudah sangat
108
jelas. Tak ada yang lebih jelas daripada hadits Nabi yang sangat terkenal. “tuntutlah ilmu walaupun ke negeri cina” atau hadits yang lain yang maksudnya: “Mencari ilmu adalah wajib bagi seorang muslim bagi laki laki maupun perempuan.” Bukanlah tanpa alasan Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk pergi ke cina, karena pada waktu itu negeri cina sudah mulai maju akan peradaban. Dan ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak ingin ummatnya ketinggalan dalam hal sains karena beliau melihat akan pentingnya sains itu sendiri. Dari dua hadits tersebut telah jelas bahwasanya Islam melalui sabda Nabinya telah memerintahkan kepada umat manusia untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dan mengembangkan ilmu tersebut. Walaupun Al Qur‟an bukanlah sebuah buku ilmu pengetahuan melaikan sebuah pedoman hidup, tetapi hampir sebagian besar ayat dalam Al Qur‟an mengajak manusia untuk memikirkan akan fenomena alam (elSaha, 2004: 25). Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu Ma‟rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), syu‟ur (perasaan). Ma‟rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan (Abuddin, 2010: 155). Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al-Qur‟an dan bimbingan Nabi Muhammad Saw mengenai wahyu tersebut. Al-„ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah Swt disebut juga sebagai al-„Ilm dan al-Alim, yang artinya, “Yang Maha Mengetahui” atau “Yang Maha Tahu.” Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah Swt dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT (Abuddin, 2010: 156). Bahwa ajaran Islam dari sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Kandungan surat al-Mujadalah 58 ayat 11 berbicara tentang etika atau akhlak ketika berada di majlis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan ketenangan suasana belajar selama dalam majlis , sehingga mendukung terciptanya kegiatan kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini kita dapat mengatakan, bahwa ajaran Islam lah yang amat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya (Abuddin, 2010: 157). Dalam Surat al-Zumar ayat 9 Allah berfirman:
“(Apakah kamu hai orang orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:” Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar: 9).
109
Secara normatif, data tekstual dalam Alquran menunjukkan adanya interaksi pendidikan yang tidak saja terjadi secara sosiologis di alam dunia, tetapi telah bermula semenjak kehidupan Adam As di Surga. Kehidupan alam syurgawi ini memberikan gambaran awal, betapa interaksi pendidikan terjadi antara Allah Swt, Malaikat, Adam As, iblis. Allah sebagai sumber pengetahuan pendidikan mengajarkan proses transformasi kepada Adam As, dengan melibatkan potensi mahluk malaikat dan iblis (Huda, 2008: 2). Seperti dalam ayat berikut ini QS. 2: 31-32, “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman; “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.” “Mereka (para Malaikat) menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang ketahui selain dari pada apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah (dan hanya) Engkau yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Shihab, 2013: 6). Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut memberikan indikasi epistimologis bahwa interaksi pendidikan dari Allah kepada Adam dan Malaikat terjadi proses ta‟lim. Hanya saja, perbedaan potensi dasar antara Adam dan Malaikat menyebabkan tingkat pengetahuan yang diperoleh dari Allah berbeda. Perbedaan ini terlihat pada jangkauan pengetahuan yang diperoleh, dimana pengetahuan Adam lebih kompleks dan universal (al-Asma Kullaha) disebabkan oleh potensi spesifik (fitrah) jasmani dan ruhani yang dimilikinya. Sedangkan pengetahuan Malaikat terbatas (illa ma allamtana). Karena tidak adanya potensi spesifik tersebut, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima dan mengembangkan pengetahuan seluas Adam. Khalifah adam di muka bumi mengemban misi sosialisasi peradaban manusiawi melalui interaksi pendidikan. Dalam konteks sosialisasi peradaban, di antara tugas yang dilakukan Adam adalah mendidik anaknya yang bernama Qobil dan Habil (Shihab, 2013: 6). Quraish Shihab memaparkan bahwa al-Qur‟an memerintahkan kepada umat Islam untuk belajar, sejak ayat pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5. Perintah untuk membaca dalam ayat itu disebut dua kali. perintah kepada Rasul dan selanjutnya perintah kepada seluruh umatnya. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologi berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku, maupun terminologis yakni membaca dalam arti yang lebih luas (Shihab, 2013: 6). Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan menyatakan bahwa Dia mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menunjuk benda-benda, atau mengajarkannya mengenal fungsi bendabenda. Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah Swt potensi untuk mengetahui nama atau fungsi karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Manusia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama. Ini
110
Papa, ini Mama, itu mata, itu pena, dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para ulama dari firman-Nya; „Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya‟ (Shihab1, 2000: 176). Pandangan al-Qur‟an tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsipprinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-'Alaq/96: 1-5). Kata Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak (Shihab1, 2000: 177). Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya (Shihab1, 2000: 178). Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah). Selanjutnya, dari wahyu pertama al-Qur‟an diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri. Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut (Shihab1, 2000: 178).
111
Berdasarkan pemaparan di atas, pendidikan karakter bangsa kurioritas memang juga selain merupakan tuntunan pendidikan dari Kemendiknas, juga merupakan tuntunan dari Allah melaui al-Qur‟an. Kemendiknas menjelaskan bahwa rasa ingin tahu (kuriositas) merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, di lihat, dan di dengar. Dalam al-Qur‟an, semua aktivitas kuriositas (rasa ingin tahu) menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah). J. Semangat Kebangsaan Dalam buku Grand Dessain Pendidikan Karakter Bangsa (Kemendiknas, 2010), semangat kebangsaan dimaksudkan dengan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bangsa ialah suatu kelompok manusia mendiami suatu wilayah, yang berasal dari satu asalusul keturunan, adat istiadat, bahasa, dan mempunyai perjalanan sejarah dari bangsa itu sendiri (KBBI, 1999: 235). Sedangkan kebangsaan adalah ciri khas yang menandai suatu bangsa, berdeda dengan yang lain. Dalam al-Qur‟an, istilah tersebut sepadan dengan “sya‟ab” atau “syu‟ub” seperti yang tercantum dalam surat al-Hujrat ayat 13 (Lajnah Pentashih al-Qur‟an Kemenag, 2011: 21). Selain itu, semangat kebangsaan dalam membangun persatuan dan kesatuan di dalam alQur‟an tercantum dalam (QS. 21; 92) dan (QS. 23; 52). Namun, untuk menggambarkan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya, surat Ibrahim ayat 35 cukup refresentatif juga untuk menjelaskan hal ini.
“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Tuhan Pemeliharaku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ayat di atas dalam Tafsir al-Mishbah di tafsiri, “Dan ketika Ibrahim berkata: “Tuhanku, jadikanlah negeri ini (negeri) yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Tuhanku, sesungguhnya berhalaberhala itu telah menyesatkan banyak manusia, maka barang siapa mengikutiku, maka sesungguhnya dia termasuk golonganku, dan barang siapa mnedurhakai aku,
112
maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat-ayat yang lalu mengecam kekufuran dan menganjurkan kesyukuran dan tidak memiliki semangat kebangsaan. Tokoh yang tampil secara utuh dan sempurna dalam hal semangat kebangsaan adalah Nabi Ibrahim. Beliau adalah Bapak Para Nabi yang kepibadiannya menandai uraian surah ini, sebagaimana surah ini dinaungi pula oleh uraian tentang nikmat Ilahi dan sikap manusia atas nikmat-nikmat itu, yaitu syukur atau kufur (Shihab6, 2000: 385). Ayat di atas, berbicara tentang keturunan Nabi Ibrahim, yang lain yaitu putra beliau, Ismail. Kelompok ayat ini dengan menyebut Nabi Ibrahim yang memohon keamanan bagi Kota Makkah, dimana anak dan istrinya bertempat tinggal, serta kesejahteraan penduduknya dan keterhindaran dari penyembahan berhala, meskipun beliau sendiri belum menetap di tanah ini. Menurut Thabathaba‟i, sebagaimana dikutip dalam Tafsir al-Misbah, semangat kebangsaan Ibrahim begitu mulia. Hal tersebut dapat dibaca ketika Ibrahim mendo‟akan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa di mana keturunannya kelak berada. Ia berdo‟a: “Tuhanku, yang selalu berbuat baik kepadaku, jadikanlah bangsa ini, Mekkah, bangsa yang aman dan jauhkanlah aku secara terus menerus hingga akhir jaman beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Tuhanku sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, aku sangat menbencinya maka karena itu aku menyatakan kepada siapapun bahwa barang siapa yang mengikutiku membenci berhala-berhala, maka sesungguhnya dia termasuk golonganku. Maka anugerahi pulalah dia kebahagiaan dan kebaikan sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku. Dan barang siapa yang mendurhakai aku sehingga menyembah berhala atau merestuinya maka sesungguhnya mereka wajar Engkau siksa. Karena mereka telah melanggar dan berdosa. Akan tetapi jika Engkau mengampuni dosa mereka, itu pun wajar karena sessungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Shihab6, 2000: 386). Selain itu, Quraish Shihab juga menjelaskan konsep yang mendasari paham kebangsaan, yaitu paham Kesatuan/Persatuan. Tidak dapat disangkal bahwa alQur‟an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu," (QS. Al-Anbiya'/2l: 92, dan Al-Mu'minun/23: 52). Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah: a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?; b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsurunsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah? (Shihab6, 2000: 387). Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda. Al-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, menjelaskan bahwa ummat adalah "kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri." Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan
113
binatang pun demikian, “Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ...” (QS. Al-An'am/6: 38). (Shihab6, 2000: 386). Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu. Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan), (QS. Al-Nahl/16: 120). Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam al-Qur‟an sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal. (Shihab6, 2000: 386). Di sisi lain, dalam al-Qur‟an ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/1988 M, bahwa alQur‟an menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan (Shihab6, 2000: 386). Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, Kitab Suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam alQur‟an surat al-Ma‟idah/5: 48, “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja).” Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan (Shihab6, 2000: 387). Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa al-Qur‟an menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. “Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-
114
kelompok dan berselisih, setelah dating penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105) (Shihab6, 2000: 387). Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal al-Qur‟an hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilainilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur‟an dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat (Shihab6, 2000: 387). Dengan demikian, terjawablah pertanyaan semangat kebangsaan, yakni AlQuran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan, yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah, hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam (Shihab6, 2000: 388). Berdasarkan uraian di atas, maka semangat kebangsaan dengan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya selaras antara tuntutan al-Qur‟an dan Kemendiknas. Semangat kebangsaan yang terlarang menurut al-Qur‟an adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa sekalipun. Kelenturan kandungan makna semangat kebangsaan al-Qur‟an hanya mengamanatkan nilainilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur‟an dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat. K. Cinta Tanah Air Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotism dan cinta tanah air. Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsipprinsip agama, bahkan inklusif didalam ajaran al- Quran dan praktek Nabi Muhammad saw. Hal ini bukan sekedar dibuktikan melalui ungkapan popular yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi Saw., “Hubbul Wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman),” melainkan justru dibuktikan dalam praktik Nabi Saw, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat (Shihab, 1997: 343). Ketika Rasulullah Saw., berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke Bait al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya beliau rindu kepada Makkah
115
dan Ka'bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Begitu tulis al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:
…… Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram.... (QS Al-Baqarah/2: 144). Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinnah, sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap: “Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai; seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya.”Sahabat-sahabat Nabi Saw pun demikian, sampaisampai Nabi Saw. Bermohon kepada Allah SWT: “Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana Engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR. Bukhari, Malik, dan Ahmad) (Shihab1, 2000: 420). Memang, cinta tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan arena itu pula Nabi Saw, menjadikan salah satu tolak ukur kebahagiaan adalah “diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah.” Sungguh benar ungkapan “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri.” Bahkan, Rasulullah Saw, mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan, al-Qur‟an menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan Negara dalam firman-Nya: Surat al-Mumtahanah: 8-9 (Shihab1, 2000: 420),
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
116
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusirkamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu. Dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. AlMumtahanah; 8-9). Dari uraian di atas terlihat bahwa paham cinta tanah air sama sekali tidak betentangan denggan ajaran al-Quran dan Sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran al-Qur‟an, sehingga seorang Muslim yang baik, pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Hal itu juga senada dengan semanta cinta tanah air yang oleh Kemendiknas dijelaskan merupakan cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. L. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain diindikasikan oleh Kemendiknas dimasukan dalam pendidikan karakter menghargai prestasi. Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, Allah menuntun setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (Shihab1, 2000):
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah/2: 148). Menurut penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, setiap perlombaan menjanjikan "hadiah." Dalam ayat di atas, hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini (Shihab1, 2000).
117
Selain itu, Allah juga menuntun manusia untuk menghargai prestasi. Allah berfirman:
“Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orangorang yang duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan baik...” (QS Al-Nisa' [4]: 95). Dalam Tafsir al-Mishbah, menghargai prestasi termasuk dalam keadilan social. Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi. Sebagian pakar menyatakan bahwa puncak prestasi sebagai kesejahteraan sosial yang didambakan al-Qur‟an tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berprestasi dalam berkesejahteraan (Shihab2, 2000). Prestasi atas kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:
“Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan.” (QS Thaha/20: 117- 119).
118
Menurut Quraish, dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama prestasi kesejahteraan sosial. Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia: “Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan siasia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah/56: 25 dan 26). Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman (QS. Ya Sin/36: 55-58, dan QS. Al-Thur/52: 21) (Shihab, 1994). Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan prestasi berusaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi. “Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam, setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS. Al-Baqarah/2: 38). Itulah rumusan meraih prestasi kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan prestasi ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman. Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang merupakan prestasi kemanusiaan adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak-keluarga (Shihab, 1994). Perjuangan meraih prestasi kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi prestasi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah pretasi umat Islam yang gemilang dengan membangun peradaban masyarakat yang seimbang antara prestasi keadilan dan prestasi kesejahteraan sosialnya. Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality): “Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29) (Shihab, 1994). Demi mewujudkan prestasi kesejahteraan sosial, al-Qur‟an melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah/2: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa
119
pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19) (Shihab, 1994). Berdasarkan uraian di atas, prestasi yang dicirikan dengan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain, antara konsep Kemendiknas selaras dengan konsep pendidikan karakter menghargai prestasi dalam al-Qur‟an. Namun menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur‟an, Allah menuntun setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat, berlombalombalah di dalam kebajikan). Prestasi tersebut dalam al-Qur‟an menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan belum tentu harus mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Prestasi kejahatan atau kezaliman tidak diakui serta dihormati dalam al-Qur‟an. M. Bersahabat/Komunikatif Kemendiknas mencirikan pendidikan karakter bangsa bersahabat atau komunikatif dengan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para mufassir berkaitan dengan ciri bersahabat dan komunikatif tersebut adalah surat al-Taubah ayat 71 (Shihab, 1994):
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Taubah: 71). Secara umum, menurut Quraish, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan berkomunikasi atau bersahabat dengan kerja sama untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar." Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase "menyuruh mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu berkomunikasi
120
dengan melihat dan memberi saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan (Shihab, 1994). Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi, "Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka." Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik. Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) agar bersahabat dan berkomunikasi dalam bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya," yaitu (Shihab, 1994):
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al-Syura/42: 38). Ayat di atas, menurt Quraish Shihab dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak dalam komunikasi berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah) menurut al-Qur‟an hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan komunikasi dengan cara musyawarah (Shihab, 1994). Dalam hal ini, dapat ditegaskan bahwa al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan, al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapapun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat al-Mumtahanah [60]: 8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam al-Qur'an. Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi, bahkan Nabi sendiri, ditegur oleh al-Qur'an karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua." (Shihab, 1994). Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi,
121
Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat al-Hajj/22: 40, "Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim bersahabat dan berkomunikasi dengan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya (Shihab, 1994). Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah/2: 253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat/49: 13. Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka (melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Shihab, 1994). Salah satu nikmat Ilahi yang Allah berikan kepada manusia adalah rasa sosial dan kebutuhan untuk bergaul dengan orang lain dan menjalin hubungan persahabatan dengan anggota masyarakat. Orang yang memiliki teman yang baik dan memanfaatkan hubungan itu dengan benar dan logis akan memiliki kehidupan individu dan sosial yang lebih baik. Manusia yang normal tentunya memiliki kawan untuk berbicara, berbagi perasaan, saling menasehati dan saling membantu di kala susah. Sebagian orang punya kelebihan yang bisa menjalin hubungan persahabatan dengan banyak kawan sementara sebagian yang lain hanya puas dengan memiliki beberapa orang teman yang jumlahnya tak lebih dari hitungan jari. Tentunya, di antara kawan yang kita miliki adalah yang punya hubungan sangat dekat dan siap membantu dengan tulus saat kita mendapat kesusahan dan masalah. Berdasarkan hal di atas, pendidikan karakter bangsa bersahabat atau komunikatif dengan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain sudah tepat diadopsi oleh pendidikan karakter kebangsaan Kemendiknas. Islam memandang persahabatan sebagai nilai yang agung dan menentukan dalam nasib dan kehidupan seseorang. Karena itu, baik Nabi Saw maupun para Imam Maksum Ahlul Bait dalam banyak kesempatan menekankan untuk memilih sahabat dan kawan dengan benar. Misalnya dalam hadis Nabi disebutkan bahwa beliau bersabda, “Manusia beragama seperti sahabatnya. Karena itu, hendaknya dia teliti dengan siapa dia menjalin persahabatan.” Persahabatan yang paling agung adalah persahabatan yang dijalin di
122
jalan Allah dan karena Allah, bukan untuk mendapatkan manfaat dunia, materi, jabatan atau sejenisnya. Persahabatan yang dijalin untuk saling mendapatkan keuntungan duniawi sifatnya sangat sementara. Bila keuntungan tersebut telah sirna, maka persahabatan pun putus. Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, tidak ada tujuan apa pun dalam persahabatan mereka, selain untuk mendapatkan ridha Allah. Orang yang semacam inilah yang kelak pada Hari Kiamat akan mendapat janji Allah. N. Cinta Damai Pendidikan karakter bangsa Kemendiknas menyatakan bahwa cinta damai terindikasikan dari sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Dalam bahasa Quraish Shihab, cinta kedamaian adalah esensi dari keislaman. Setiap rukun Islam, yang paling penting adalah substansinya, bukan bentuk-bentuknya. Islam adalah penyerahan diri secara totalitas kepada Allah Swt dan dalam implementasinya, seorang muslim hendaknya berkasih sayang terhadap sesama. Seorang muslim hendaknya menjaga lidahnya, menjaga akhlaknya sehingga tidak menyakiti hati orang lain. Ketika kita telah memiliki kelebihan harta yang kita butuhkan untuk makan sehari semalam, hendaknya kita menolong sesama kita yang kurang mampu. Pun saat kita berpuasa, Allah mengajarkan kita untuk turut merasakan atau berempati, karena masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang hidupnya kekurangan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ketika berhaji, Allah menyerukan agar kita tidak bertengkar. Kita diperintahkan untuk membangun silahturahiim yang harmonis dengan sesama, tidak saling membenci ataupun saling menghujat. Sehingga, Rukun Islam bukan hanya untuk dihafalkan semata, namun juga untuk untuk dipahami, dihayati dan dilaksanakan setiap substansinya (Shihab, 1994). Quraish Shihab berpendapat bahwa ciri paling sederhana dari keislaman adalah apabila sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Namun demikian, Islam sebagai agama berbeda dengan kepercayaan lain. Dalam hal ini, Quraish adalah satu dari sederetan ulama Indonesia yang dengan tegas menolak pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, terlebih dengan menjadikan kedamaian dan toleransi beragama sebagai justifikasi untuk mengorbankan keyakinan keberagamaan para penganutnya (Shihab, 2007: 3). Dia mengakui bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantumembantu dan topang-menopang (Shihab, 2007: 28). Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan beda antara perbedaan dan perselisihan. Yang pertama harus ditoleransi apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Keragaman dan perbedaan dapat menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Karena itu, perbedaan tidak otomatis menjadi buruk atau bencana, sebagaimana tidak juga ia selalu baik dan bermanfaat. Dan tentu saja, perbedaan bukanlah ancaman sehingga menjadi alasan
123
untuk menyatukan pemahaman keberagamaan yang memang tidak akan pernah bisa disatukan, terutama karena terkait dengan aspek tauhid, aspek yang menjadi inti dasar keberagamaan (Shihab, 2007: 29). Menurut Quraish Shihab, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu (Shihab, 1997: 376). Islam terlahir dengan ide dasar perdamaian. Kedamaian yang bukan saja didambakan untuk orang per-orang, tetapi juga untuk semua pihak. Sehingga tidak heran, menurut Quraish Shihab, jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad SAW. (Shihab, 1997: 376),
ِه ِلسَاوِهِ وَ َيدِه ْ ن ِم َ َمهْ سَِل َم الْ ُمسْلِمُو “Orang Muslim yang selamat ialah apabila orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Muslim Man Salima al-Muslimuna min Lisanihi wa Yadihi, No. 9, Maktabah Syamilah). Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia. Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaanNya (Shihab, 1997: 378). Benar bahwa Islam memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali, menurut istilah AlQur‟an, adalah untuk menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan disintegrasi), sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anfal ayat 60. Peperangan, kalau terjadi, tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan dalam firman-Nya Surat al-Anfal ayat 61 (Shihab, 1997: 379), “Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 61). Ketika menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 62,
124
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi‟in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 62). Quraish Shihab menolak pandangan sekelompok orang yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Dia mengatakan, “Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih.” (Shihab1, 2000: 216). Pendapat semacam ini menurutnya nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Dia katakan, “Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut atau sedih, sedang yang ini menurut itu, dan atas nama Tuhan yang disembah, adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.” (Shihab1, 2000: 216). Di dalam menafsirkan ayat ini, dia belum secara tegas menegaskan agar pilihan manusia jatuh kepada Islam, selain agar setiap pemeluk agama menyerahkan keputusannya kepada waktu Kemudian, “Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepadaNya semata untuk memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.” (Shihab1, 2000: 216). Dia menguatkan bahwa kita harus percaya bahwa di hari Kemudian ada yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata lagi sangat sempurna dan tidak seorang pun – walau yang terhukum – mengingkari keadilan itu (Shihab, 2006: 141). Terdapat ayat yang hampir serupa redaksinya dengan ayat ini, yakni yang terdapat dalam firman Allah Surat al-Maidah ayat 69,
125
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Kalau di ayat yang awal penyebutan kata an-Nashârâ adalah yang kedua setelah hâdu dan sebelum ash-Shâbi‟în, sedang di sini gilirannya adalah yang ketiga setelah hâdu dan ash-Shâbi‟ûn. Perbedaan yang lain adalah dalam alBaqarah ada kalimat “bagi mereka ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka”, sedang dalam al-Ma‟idah kalimat ini tidak disebut. Dari segi redaksional, kelihatannya perurutan penyebutan kelompok-kelompok tersebut pada ayat al-Baqarah lebih sesuai, yakni tidak memisahkan antara orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan kata ash-Shabi‟un, lebih sesuai dengan pemisahan yang terjadi pada ayat ini. Mengutip pakar tafsir al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, dia mengemukakan bahwa ayat ini mengandung satu makna yang ingin dikemukakan dan karena itu pula bentuk kata ash-Shabi‟un yang digunakan di sini, bukan al-Shabi‟in semacam QS. al-Baqarah di atas dan yang sepintas harus demikian itu menurut kaidah kebahasaan. Redaksi ini menurutnya bertujuan untuk menggarisbawahi bahwa jangankan orang-orang Yahudi dan Nasrani, para Shabi‟un yang kedurhakaan mereka terhadap Allah jauh lebih besar, diterima taubatnya oleh Allah, apalagi Ahl al-Kitab itu, selama mereka beriman dengan benar dan beramal shaleh. Ketika menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 62, Quraish Shihab mengemukakan bahwa persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian seperti bunyi Surat Ali „Imran ayat 69,
“Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.” Menurut Quraish, bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Dan akan sangat panjang bila semua objek keimanan disebut satu demi satu. Rasul Saw. dalam percakapan sehari-hari sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari kemudian. Misalnya sabda beliau Saw., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia menghormati tamunya,” di kali lain beliau bersabda, “… mengucapkan kata-kata yang baik atau diam, ….,” (Muslim, Shahih Muslim Bab al-Iman No. 67, Maktabah Syamilah) dan masih banyak yang serupa. Quraish Shihab cukup serius dalam mengomentari pendapat sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan
126
dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan, tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pula akan bersedih. Menurutnya, pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agamaagama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan padahal keduanya saling mempersalahkan. Dia mengakui bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepada-Nya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih (Shihab1, 2000: 146). Ketegasan Quraish Shihab di dalam menjadikan Islam sebagai pilihan hidup yang utama yakni memilih Islam sebagai agama-Nya baru dapat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 132 (Shihab1, 2000: 146),
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‟qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” Quraish mengatakan, “Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepadaNya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, yakni memeluk agama Islam. Pesan ini berarti kamu jangan meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya.” (Shihab1, 2000: 331). Muhammad Quraish Shihab ketika Menafsirkan firman Allah dalam surat Ali „Imrân ayat 19, “Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah adalah al-Islam.” Ia menafsirkan dengan menegaskan bahwa ketundukan dan ketaatan kepadaNya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di sisi-Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW (Shihab2, 2000: 38).
127
Dalam pengamatannya, tidak ditemukan kata Islam dalam Al-Qur‟an kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ditinjau dari sudut pandang agama maupun sosiologis, menurutnya, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., dan secara Aqidah Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul adalah Islam, sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah tidak menerimanya (Shihab2, 2000: 38). Perselisihan di antara pengikut para Nabi yang diutus Allah untuk membawa ajaran Islam, menurutnya, terjadi lebih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dengan yang lain, tetapi antara mereka satu dengan yang lain. Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata „baghyan‟ yang digunakan ayat 19 surat Ali „Imran adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabul nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu (Shihab2, 2000: 39), dan ajaran Nabi Ibrahim a.s. adalah hanif, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup orang-orang Yahudi, tidak juga mengarah kepada agama Nasrani, demikian tafsirannya (Shihab2, 2000: 111) pada surat Ali „Imran ayat 67 yang berbunyi,
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus.” Quraish Shihab di dalam menjelaskan surat al-Maidah ayat 18,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, „Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.‟ Katakanlah, „Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?‟ (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasihkekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.” Ia menafsirkan bahwa salah satu kegelapan utama yang menyelubungi jiwa dan pikiran ahl al-Kitâb, lebih-lebih kelompok Nasrani, adalah keyakinan mereka tentang Tuhan. Inilah yang utama dan pertama yang diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. dan Al-Qur‟an (Shihab3, 2000: 52).
128
Umat Kristiani dewasa ini menganggap bahwa Al-Qur‟an atau Nabi Muhammad SAW. telah keliru dalam memahami keyakinan umat Kristiani tentang Tuhan. Dia mengingatkan bahwa keyakinan Nasrani tentang Tuhan sungguh beraneka ragam. Sehingga kalau apa yang diinformasikan Al-Qur‟an, tidak diakui oleh satu kelompok, maka itu bukan berarti bahwa tidak ada kelompok lain yang berkata demikian. Memang, uraian tentang ketuhanan dan makna-maknanya sedemikian sulit dipahami – bahkan oleh penganut-penganut agama Kristen sendiri – sampai mereka meyakini bahwa ajaran ketuhanan adalah dogma yang tidak dapat terjangkau oleh nalar. Di sisi lain, keyakinan tentang kedudukan al-Masih, baru ditetapkan pada tahun 325M. Sebelum ketetapan itu para uskup dan pemuka agama Kristen berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Isa dan ibunya adalah dua tuhan, ada lagi yang berkeyakinan bahwa hubungan Isa as. dan Allah bagaikan hubungan kobaran api yang berpisah dari kobaran api yang lain, kobaran pertama tidak berkurang dengan adanya kobaran kedua. Ada juga yang berkeyakinan bahwa Isa as. adalah rasul Allah sebagaimana rasul-rasul yang lain. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau anak Tuhan tetapi dalam saat yang sama al-Masih adalah makhluk-Nya dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Bahkan paham Trinitas dewasa ini mempunya penafsiran yang berbeda-beda. Sekali lagi, perlu dikemukakan adanya perkembangan pemikiran di kalangan orang-orang Kristen tentang Tuhan dan Keesaan-Nya. Namun secara umum mereka mengenal apa yang mereka istilahkan dengan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh al-Kudus (Shihab3, 2000: 54). Dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru memang ditemukan istilah anak-anak Tuhan. Dalam Kitab Ulangan 14:1 tercantum ucapan Nabi Musa as. yang ditujukan kepada umatnya bahwa: “Kamulah anak-anak Tuhan, Allah-mu”; Dalam Injil (Perjanjian Baru) istilah serupa banyak juga ditemukan. Misalnya dalam Matius 5:5 antara lain ditemukan: “Berbahagialah orang-orang yang membawa damai karena mereka disebut anak-anak Allah”. Tetapi tentu saja kata “anak” atau “bapak” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi makna kiasan yakni yang dicintai dan yang memelihara (Shihab3, 2000: 54). Lebih lanjut Quraish menjelaskan surat al-Maidah ayat 51,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
129
Dia menjelaskan bahwa selama keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani – atau siapapun – seperti dilukiskan oleh ayat-ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti hukum Jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahwa bermaksud memalingkan kaum muslim dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah, maka jangan mengambil mereka menjadiauliya‟ yakni orang-orang dekat. Sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian mereka adalah auliya‟/penolong sebagian yang lain, dalam menghadapi kamu, karena kepentingan mereka dalam hal ini sama, walau agama dan keyakinan mereka satu sama lain berbeda (Shihab3, 2000: 114). Lebih spesifik lagi di dalam menafsirkan kata tattakhidzu/kamu mengambil, terambil dari kata akhadza yang pada umumnya diterjemahkan “mengambil”, tetapi dalam penggunaannya kata tersebut dapat mengandung banyak arti sesuai dengan kata/huruf yang disebut sesudahnya. Misalnya jika kata yang disebut sesudahnya – katakanlah – “buku”, maka maknanya mengambil, jika hadiah atau persembahan, maka maknanya menerima, jika keamanannya maka berarti dibinasakan. Kata ittakhadza dipahami dalam arti mengandalkan diri pada sesuatu untuk menghadapi sesuatu yang lain. Nah, jika demikian apakah ayat tersebut melarang seorang muslim mengandalkan non-muslim? Tidak mutlak, karena yang dilarang di sini adalah menjadikan mereka auliya‟ (Shihab3, 2000: 115). Mengoreksi terjemahan kata auliya‟ sebagaimana yang dipakai oleh Tim Departemen Agama dalan Al-Qur‟an dan Terjemahnya dengan “pemimpinpemimpin”, Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebenarnya menerjemahkannya demikian tidak sepenuhnya tepat. Kata auliya‟ adalah bentuk jama‟ dari kata wali. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf waw, lam dan ya yang makna dasarnya adalah “dekat”. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti, pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain, yang kesemuanya diikat oleh benang merah kedekatan. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya. Demikian dekatnya sehingga dialah yang pertama mendengar panggilan, bahkan keluhan dan bisikan siapa yang dipimpinnya, dan karena kedekatannya itu dia pula yang pertama datang membantunya. Demikian terlihat bahwa semua makna-makna yang dikemukakan di atas dapat dicakup oleh kata auliya‟ (Shihab3, 2000: 115). Kemudian, setelah menjelaskan detail pendapat Thabathaba‟i, mufassir Syi‟ah kenamaan, dia menjelaskan bahwa pada akhirnya Thabathaba‟i berkesimpulan bahwa kata auliya‟ yang dimaksud oleh ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga Anda akan melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang
130
memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan (Shihab3, 2000: 115). Quraish Shihab melanjutkan bahwa larangan menjadikan non-muslim sebagai auliya‟ yang dikemukakan ayat di atas dikemukakan dengan sekian pengukuhan. Kendati demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak, sehingga mencakup seluruh makna yang dikandung oleh kata auliya‟, sembari menukil pendapat Muhammad Sayyid Thantawi dalam tafsirnya, bahwa non-muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok (Shihab3, 2000: 115). Pertama, adalah mereka yang tinggal bersama kaum muslim, dan hidup damai bersama mereka, tidak melakukan kegiatan untuk kepentingan lawan Islam serta tidak juga nampak dari mereka tanda-tanda yang mengantar kepada prasangka buruk terhadap mereka. Kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban sosial sama dengan kaum muslim. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 (Shihab3, 2000: 115). Kedua, kelompok yang memerangi atau merugikan kaum muslim dengan berbagai cara. Terhadap mereka tidak boleh dijalin hubungan harmonis, tidak boleh juga didekati. Mereka yang dimaksud oleh ayat ini, demikian juga dengan ayat-ayat lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mumtahanah ayat 9 (Shihab3, 2000: 115). Ketiga, kelompok yang tidak secara terang-terangan memusuhi kaum muslim, tetapi ditemukan pada mereka sekian indikator yang menunjukkan bahwa mereka tidak bersimpati kepada kaum muslim, bahkan bersimpati kepada musuh-musuh Islam. Terhadap mereka Allah memerintahkan kaum beriman agar bersikap hatihati tanpa memusuhi mereka (Shihab3, 2000: 115). Allah berfirman di dalam Surat al-Maidah ayat 82,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” Menurut Quraish Shihab, ayat ini tidak dapat dijadikan ukuran untuk menggeneralisir orang Yahudi dan Nasrani, tetapi harus dipahami berdasar sebab
131
turunnya, sembari menukil ath-Thabari dalam tafsirnya yang menguraikan sekian banyak sebab turun ayat ini, dan salah satunya berkaitan dengan Najasyi/Negus, Penguasa Ethiopia yang memeluk islam (Shihab3, 2000: 164). Mengutip pakar Tafsir al-Alusi, Quraish Shihab mengemukakan bahwa kelihatannya yang dimaksud dengan yahud pada ayat ini adalah semua orang Yahudi. Namun dia mengatakan bahwa pendapat ini sulit diterima, karena kenyataannya sejarah membuktikan bahwa ada di antara orang-orang Yahudi yang memeluk Islam dan setia melaksanakan ajaran-ajarannya, dan ada juga di antara mereka yang bersikap netral/tidak memusuhi islam. Pendapat yang menggeneralisir dapat dibenarkan jika kata yahud dibatasi pengertiannya terhadap kelompok Bani Israil penganut Yudaisme dan yang dikecam oleh sekian banyak ayat Al-Qur‟an. Sepanjang pengamatannya, Al-Qur‟an tidak menggunakan kata yahud kecuali terhadap penganut Yudaisme yang durhaka lagi melampaui, sembari memberikan beberapa ayat-ayat yang menggunakan kata tersebut dalam surat al-Ma‟idah ini yakni ayat 18, 58, dan 64 (Shihab3, 2000: 165). Lebih lanjut, kelompok Nasrani pun tidak dapat digeneralisir, apalagi kata nashara, digunakan Al-Qur‟an terkadang dalam konteks positif dan pujian sebagaimana dalam ayat ini, dan terkadang juga dalam bentuk kecaman sebagaimana antara lain Surat al-Baqarah ayat 120, dan pernah juga bersifat netral seperti dalam Surat al-Haj ayat 17. Kendati perbedaan ajaran Tauhid antara Islam dan Yahudi tidak semenonjol dan sebesar perbedaannya dengan ajaran Kristen, namun karena faktor iri hati serta kepentingan ekonomi, maka kebencian mereka menjadi besar. Berbeda dengan masyarakat Nasrani, yang disamping tidak adanya persaingan ekonomi, juga karena keberhasilan para pemuka agama Nasrani mengajarkan nilai-nilai spiritual kepada para penganutnya. Dan yang membuat Nasrani lebih dekat kepada umat Islam adalah adanya faktor ulama dan cendekiawan yang memberi contoh keteladanan dan kerendahan hati mereka (Shihab3, 2000: 166). Pendapat di atas senada dengan pendapat Ibn Katsir yang mengatakan bahwa kekafiran orang-orang Yahudi merupakan kekafiran yang sangat ingkar, sombong, menolak kebenaran, tidak menghargai orang lain, dan menghinakan orang yang berilmu. Oleh karena itu mereka membunuh para Nabi bahkan mereka berkali-kali hendak membunuh Rasulullah. Sementara orang-orang Nasrani pengikut al-Masih, dan berjalan pada manhaj Injil, dalam diri mereka terdapat rasa cinta kasih terhadap Islam, dan para pemeluknya secara umum. Hal itu juga didukung karena di antara mereka terdapatqissisiyyun (para pendeta), yang merupakan para khatib dan ulama mereka, yang memiliki ilmu, ibadah dan tawadhu. Mereka inilah yang menurut Ibn „Abbas, dating bersama Ja‟far bin Abi Thalib dari Habasyah (Ethiopia), dan kemudian beriman dan mata mereka berlinang air mata, ketika Rasulullah membacakan Al-Qur‟an kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Kami tidak akan pernah berpindah dari agama kami.” Maka Allah memberikan pahala kepada mereka atas keimanan, pembenaran, dan pengakuan mereka terhadap kebenaran (Ibn Katsir, 2006: 36).
132
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dari pandangan-pandangan Quraish Shihab bahwa Islam adalah agama yang paling benar, dan bahwa semua agama di luar Islam saat ini harus diyakini sebagai sebuah kesalahan secara ilmiah. Namun demikian, esensi dari keislaman adalah cinta damai terindikasikan dari sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Ketinggian ajaran Islam mengharuskan umatnya mampu memberikan teladan dalam bertoleransi antara sesama umat beragama tanpa harus menggadaikan keyakinan kita dalam wujud pluralisme agama, dan umat Islam dalam rentang sejarah sejak kelahirannya telah mampu memperlihatkan kualitas toleransinya yang sangat baik meski pada suatu tempat dan masa Islam menjadi mayoritas di antara agama-agama di sekitarnya. O. Gemar Membaca Pendidikan karakter bangsa gemar membaca didefinisikan oleh Kemendiknas dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Dalam Islam, karena begitu sangat vital-nya tentang peradaban membaca, maka perintah untuk kata membaca dalam al-Qur‟an terdapat dalam 14 ayat (Firdaus dan Syarif, 2008: 36), belum dari berbagai derivasi dari kata membaca itu sendiri. Kata “membaca” sendiri terulang sebanyak 14 kali, yaitu: QS. (2; 44, 113, 121, 129); (3; 78, 113); (10; 94); (16; 98); (17; 45); (20; 114); (29; 48); (35; 29); (75; 18); (87; 6). Kata “dibaca” sebanyak 1 kali, yaitu (2; 102). Kata “dibacakan” ada 7 kali, yaitu: (3; 103); (7;204); (8; 2, 31); (17; 107); (33; 34); (68; 15). Kata “bacalah” ada 5 kali, yaitu: (7; 14); (73; 4, 20); (96; 1, 3). Kata “bacakanlah” ada 3 kali, yaitu: (2; 252); (7; 175); (10; 71). Dan kata “bacaan” sebanyak 4 kali, yaitu: (13; 31); (56; 77); (73; 6); (75; 18). Perintah membaca dalam al-Qur‟an sangat jelas ditegaskan agar manusia dapat mencari ilmu pengetahuan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, juga melahirkan semangat semangat baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. “ Budaya baca tulis tidak lain sebagai embrio bagi lahirnya peradaban yang lebih besar lagi dalam sejarah kehidupan umat Islam, yaitu lahirnya tradisi intelektualitas dalam Islam.” (Romdhoni, 2013: 71). Ayat al-Qur‟an yang secara tegas memerintahkan manusia untuk belajar membaca dan menulis adalah surat al-Alaq: 1-5. Menurut Thanthawi Jauhari dalam buku Al-Qur‟an dan Literasi, karya Ali Romdhon (2013: 72) bahwa ayat ini mendobrak kejumudan masyarakat Arab kala itu ynag hanya mementingkan tradisi pengindraan, hafalan, dan tutur kata. Melalui ayat ini, al-Quran hadir dengan menyodorkan hal lain yang tak kalah penting, yaitu kewajiban membaca dan menulis (Romdhoni, 2013: 72). Perintah membaca dan menulis, pada saat itu merupakan kewajiban yang revolusioner. Pasalnya, masyarakat kala itu jauh dari tradisi tulis-menulis. Mereka dengan tiba-tiba menjalankan revolusi besar, dari tradisi lisan ke tradisi tulis, dari sifat tuisan yang semula pribadi menjadi milik publik, dari kegelapan menuju menjadi terang benderang (Romdhoni, 2013: 73). Sementara, menurut Quraish Shihab, membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi
133
pula peradaban. Begitu pula sebaliknya. Selain itu, apabila dilihat dari sejarah terkait dengan tradisi baca tulis, maka umat manusia bisa dikelompokkan ke dalam 2 periode utama, yaitu sebelum penemuan baca-tulis dan sesudahnya, sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya sistem baca-tulis peradaban manusia tidak harus mengulang dan mengulang dari nol; merambah jalan dan merangkakrangkak. Tetapi, peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu melalui jejak tertulis yang dapat dibaca oleh generasi pada saat itu. Satu hal yang harus dicatat, melalui kemanpuan baca-tulis, manusia tidak harus memulai segalanya dari nol, tetapi bisa belajar dari prestasi dan kegagalan orang-orang pendahulunya (Romdhoni, 2013: 74). Allah berfirman dalam Surat al-Alaq 1-5:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari „alaq. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.” Menurut Quraish, mengapa iqra merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian? Iqra terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun” sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu.” Dari menghimpun, lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak. iqra‟ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra‟ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu pada perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban (Shihab, 1997: 5-6). Pada ayat itu tentunya kata iqra‟ bukannya perintah untuk membaca dari dari satu teks tertulis, karena disamping Nabi Saw tidak dapat membaca, juga karena riwayat-riwayat yang shahih menjelaskan bahwa Jibril tidak membawa suatu naskah tertulis ketika menyampaikan wahyu kepada beliau (Shihab, 1997: 78). Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Quraish shihab, memahami perintah membaca bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (amar
134
taklify) yang membutuhkan objek, tetapi perintah ini menurutnya (amr takwiny)yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri Nabi Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, iqra‟ (bacalah) adalah semacam firman Allah Kun Fa Yakun (jadilah, maka jadilah ia). Jadi, perintah membaca itu sama dengan perintah “jadilah engkau wahai Muhammad orang yang dapat membaca” dan dengan perintah tersebut mampulah Nabi Saw membaca (Shihab, 1997: 79). Pendapat ini masih banyak mengandung keberatan, antara lain karena pada kenyataanya belaiu setelah turunnya perintah ini pun masih dinamai Al-Quran seorang ummiy (tidak pandai membaca dan menulis. Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur‟an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Quran ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi jika demikian mengapa Nabi saw. menjawab: “saya tidak dapat membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyubeliau telah senantiasa melakukannya. Kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut” (Shihab15, 2000: 455). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra‟ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan arena objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, perintah iqra‟ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak. Huruf (arab) ba‟ pada kata (arab) bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau muldhasah sehingga demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu”. Sementara ulama memahami kalimat bismi Rabbika bukan dalam pengertian harfiahnya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak masa Jahiliyah, mengaitkan suatu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka agungkan. Itu memberi kesan yang baik atau katakanlah “berkat” terhadap pekerjaan tersebut juga untuk menunjukan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata karena “dia” yang namanya disebutkan itu. Dahulu, misalnya, sebelum turunnya al-Qur‟an, kaum musyrikin sering berkata “Bismi al-Lata” dengan maksud bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain kecuali demi karena tuhan berhala al-Lata‟ itu, dan bahwa mereka mengharapkan “anugerah atau berkat” dari berhala tersebut (Shihab15, 2000: 456). Di sisi lain, penamaan dengan nama sesuatu yang dimuliakan sering kali bertujuan agar yang dinamai itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan si pemilik nama yang diambil itu. Suatu lembaga, atau seorang anak diberi nama tokoh-tokoh tertentu, dengan maksud di samping mengabdikan nama tokoh
135
tersebut, juga mengundang si anak untuk mencontohkan sifat-sifat terpuji tokoh tersebut. Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allahdan hal itu akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal abadi dan hanya aktivitas yang dilakukannya secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan (QS. Al-Furqan: 23) (Shihab15, 2000: 456). Syeikh „Abdul Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir) yang menulis dalam bukunya, al-Quran Fi Syahr al-Quran, yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menyatakan bahwa “Dengan kalimat iqra‟ bismi Rabbika, al-Qur‟an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “Bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.” Demikian juga apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan sesuatu aktivitas, maka hendaklah hal tersebut juga didasarkan pada bismi Rabbik sehingga pada akhirnya ayat tersebut berarti “Jadikanlah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuannya, kesemuanya demi karena Allah.” (Shihab15, 2000: 456). Kata Rabb seakar dengan kata tarbiyah/pendidikan. Kata ini memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Kata Rabb maupun tarbiyah berasal dari kata (arab) raba‟-yarba yang dari segi pengertian kebahasaan adalah kelebihan. Dataran tinggi dinamai rabwah (Arab), sejenis roti yang dicampur air sehingga membengkak dan membesar disebut al-rabw. Kata Rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah “Tuhan” yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya. Agaknya penggunaan kata Rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nya, sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati (Shihab15, 2000: 457). Dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw tidak ditemukan kata Allah, tetapi kata yang digunakan menunjuk Tuhan adalah Rabbuka/Tuhanmu wahai Nabi Muhammad- yakni bukan Tuhan yang dipercaya kaum musyrikin. Perhatikan lima ayat pertama surah ini. Demikian wahyu berikutnya, surah al-Muddatstsir, al-Qalam, awal surah al-Muzzammil dan surah Tabbat. Surah-surah sesudahnya sampai dengan surah sabbihisma kesemuanya tanpa menggunakan kata Allah kecuali ayat surah itu turun terpisah dengan ayatayat surah lain. Tidak digunakan kata Allah Karen kaum Musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka tentang Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang dihayati dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan tertentu antara Allah dengan Jin (QS. Al-Saffat: 158) dan bahwa memiliki anak-anank dan wanita (QS. Al-Isra: 40) dan
136
bahwa mereka tidak dapat berkomunikasi langsung kepada Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara antara manusia dengan Allah (QS. al-Zumar: 3). kepercayaan seperti yang dikemukakan ini jelas berbeda dengan ajaran al-Qur‟an atau yang diyakini oleh Nabi Muhammad Saw. Hingga jika seandainya dinyatakan iqra‟bismillah atau “percaya kepada Allah,” maka kaum musyrikin akan berkata “kami telah melakukannya.” (Shihab15, 2000: 457). Kata Khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain: menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja‟ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Objek Khalaqo pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana iqra bersifat umum, dan dengan demikian Allah adalah Pencipta semua makhluk (Shihab15, 2000: 457). Ayat ke-2 ini lebih memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Saw. Dia Tuhan yang menciptakan Adam dan Hawwa dari segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim. Dalam memperkenalkan perbuatan-Nya penciptaan merupakan hal pertama yang dipertegas karena merupakan persyaratan bagi terlaksananya perbuatan yang lain (Shihab15, 2000: 458). Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Al-Quran melalui wahyu pertama, bukan saja karena diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau karena segala alam raya ini diciptakkan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena Kitab Suci al-Qur‟an ditujukan kepada manusia sebagai pedoman hidup guna menjadi pelita kehidupannya. Ayat kedua surah Iqra‟ menguraikan secara singkat hal tersebut (Shihab15, 2000: 459). Ayat ketiga memerintahkan membaca dan meningkatkan motivasi yakni dengan nama Allah, kini ayat ini memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca. Allah berfirman: “Bacalah berulang-ulang dan Tuhan Pemelihara dan Pendidikmu Maha Pemurah sehingga melimpahkan aneka karunia (Shihab15, 2000: 460). Ayat ketiga mengulang perintah membaca, ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad Saw, sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalatnya yang kedua diluar shalat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya diri” kepada Nabi Saw. Tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau tidak pernah membaca (Shihab15, 2000: 460). Menurut Syaikh Muhammad Abduh yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, mengemukakan sebab lain, menurutnya kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak dapat diperoleh tanpa mengulang-ulang atau melatih
137
diru secara teratur, hanya saja keharusan latihan demikian itu tidak berlaku atas diri Nabi Saw. Dengan adanya pengulangan perintah membaca ini bahwa Iqra adalah perintah Takwini, yaitu titah penciptaan kemampuan membaca dan menghimpun secara “aktual bagi diri nabi Muhammad Saw.” Perintah membaca yang kedua ini dimaksudkan agar beliau lebih banyak membaca, menelaah, memerhatikan alam raya, serta membaca kitab yang tertulis dan tidak tertulisdalam rangka mempersiapkan diri terjun ke masyarakat (Shihab15, 2000: 460). Kata ( )اَنْكَّرِ ُوditerjemahkan yang Maha Pemurah. Dalam al-Qur‟an ditemukan kata Karim terulang sebanyak 27 kali. Tidak kurang dari 13 subjek yang disifati kata tersebut, yang tentunya saja berbeda-beda maknanya karena pada akhirnya dapat disimpulkan untuk menggambarkan sifat terpuji yang sesuai dengan objek yang disifati (Shihab15, 2000: 461). Menurut Imam al-Ghazali, dikutip Quraish shihab, Allah menyandang sifat Karim menunjukkan kepada-Nya yang mengandung makna antara lain; Dia yang berjanji, menepati janji-Nya; bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohon kepada selain-Nya. Dia yang bila (hati kecil) menegur tanpa lebih. Tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya dan tidak membutuhkan sarana dan prasarana (Shihab15, 2000: 461). Dalam ayat ketiga ini, Allah menjajikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah. Allah menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga. Apa yang dijanjikannya terbukti secara jelas. Kegiatan “membaca” ayat alQur‟an menimbulkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan “membaca” alam raya ini telah menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia alam, walau objek nya itu-itu aja. Ayat al-Qur‟an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni, adalah sama tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasia terus berkembang (Shihab15, 2000: 463). Ayat ke-4 dan 5 yang artinya “Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yan belum diketahui(nya).” Kata ( )اَنْمَهَ ُىterambil dari kata ( )لَهَ ُىyang berarti memotong ujung sesuatu. Alat yang digunakan untuk menulis dinamai pula qalam karena pada mulanya alat tersebut tersebut dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Bisa juga yang dimaksud adalah alat untuk menulis, alat yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Dari ayat tersebut dapat dijelaskan dua cara yang ditempuh Allah Swt dalam mengajarkan kepada manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua adalah melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah „Ilm Ladunniy (Shihab15, 2000: 464). Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan karakter bangsa gemar membaca dalam al-Qur‟an lebih komprehensif dari konsep Kemendiknas. Dalam al-Qur‟an, gemar membaca tidak hanya ditunjukkan dengan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. iqra‟
138
dalam al-Qur‟an juga berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra‟ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Demikian terpadu pada perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. P. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi menurut pendidikan karakter bangsa Kemendiknas merupakan cirri dari kepedulian terhadap lingkungan. Tentang peduli lingkungan, dalam al-Qur‟an ayat tentang lingkungan tercantum dalam QS. (15; 19); (30;41); (96; 1-3); (82;7). Alam diciptakan untuk manusia dan sebagai sumber rezeki QS. (2; 29); (10; 31); (14; 32); (43; 13) (Lajnah Pentashihan al-Qur‟anKemenag, 2011: 14-16). Munculnya kerusakan di muka bumi dalam QS. (5; 32); (7; 16, 31, 56); (17; 27); (30; 41-42). Ada juga beberapa istilah yang digunakan alQur‟an yang menunjukan terhadap kerusakan, bahkan bencana seperti Rajfah (gempa, QS. 7; 78), saihah (suara keras, QS. 11; 67), sa‟iqoh (sambaran petir, QS. 41; 17), zalzalah (goncangan yang dahsyat, QS. 99; 1), bumi terbalik beserta hujan batu pijar (QS. 11;82), topan, hama wereng, kutu, katak, dan darah (QS. 7; 133), angin putting-beliung (QS. 69; 5-7) (Lajnah Pentashihan al-Qur‟an-Kemenag, 2011: 14-16). Firman Allah swt "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" dalam QS al-Baqarah: 30 menunjukkan bahwa manusia memang diciptakan untuk tinggal di bumi dan memakmurkannya. Seluruh bekal yang dibutuhkan manusia untuk melangsungkan kehidupannya di bumi telah disediakan oleh Allah swt dengan sangat sempurna. QS. al-Baqarah/2: 164,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
139
Dalam tafsiran Quraish Shihab, ayat diatas menjelaskan bahwa seluruh alam raya adalah milik Allah swt yang wajib dipikirkan dan direnungkan. Allah swt Maha Kuasa atas penciptaan langit dan bumi termasuk pengaturan sistem kerjanya yang sangat teliti. Pergantian malam dan siang yang seimbang juga telah diatur oleh Allah swt. Sarana transporatsi, baik kendaraan klasik yang masih menggunakan hewan, kapal yang mengandalkan hembusan air, hingga transportasi modern seperti yang dijumpai sekarang ini adalah berkat kekuasaan Allah yang telah menundukkan alam untuk manusia. Allah juga senantiasa menurunkan air hujan sesuai dengan kadarnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh makhluk yang ada di bumi (Shihab1, 2000: 448). Demikianlah, Allah swt adalah pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Allah berfirman, QS. Āli „Imran/3): 189, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu. Penciptaan sempurna atas alam raya adalah salah satu tanda kekuasaan Allah swt yang harus dimengerti dan dipikirkan oleh manusia. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh Allah yang Maha Menguasai dan Maha mengelola segala sesuatu (Shihab2, 2000: 291). QS. Āli „Imran/3: 190-191,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut mirip dengan Surat al-Baqarah ayat 164 yang menjelaskan berbagai tanda kekuasaan Allah swt atas penciptaan alam semesta. Pada ayat 191 surat Āli „Imrān dipahami bahwa objek zikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Pengenalan kepada Allah banyak dilakukan oleh kalbu, sedangkan pengenalan alam raya menggunakan akal (Shihab2, 2000: 293). Manusia yang mampu berpikir tentang alam raya niscaya ia akan mampu mengenal Allah swt. Hal ini berarti bahwa makin banyak seseorang berzikir dan berpikir maka semakin luas pengetahuan tentang alam raya dan semakin dalam pula ras takut kepadaNya. Jika seseorang telah meras takut kepada Tuhannya, maka ia akan melaksanakan seluruh perintahNya.
140
QS. Yūnus/10: 34,
Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali?" katakanlah: "Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali; maka bagaimanakah kamu dipalingkan (kepada menyembah yang selain Allah)?" Dalam tafsiran Quraish Shihab ayat tersebut menerangkan bahwa Allah lah yang telah memulai penciptaan makhluk dan kemudian mengembalikannya pada waktu yang ditetapkannya. Termasuk di dalamnya adalah penciptaan bumi. Allah yang telah menciptakan bumi untuk tempat tinggal manusia dan beberapa makhluk yang lain. Hingga pada saatnya Allah akan mengembalikan ciptaan tersebut (Shihab6, 2000: 72). Jika manusia benar-benar memperhatikan penciptaan langit dan bumi, maka ia akan mengetahui bahwa penciptaan langit dan bumi lebih dahsyat dari pada penciptaan manusia. Dalam QS. al-Mu‟min/40: 57, Allah berfirman, “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Demikianlah, bumi yang menjadi tempat tinggal manusia diciptakan lebih rumit guna memenuhi kebutuhan makhluk yang ada di dalamnya. Bukti-bukti penciptaan ini dapat pula dilihat pada QS. Qāf (50): 6-7, QS. al-Mukminūn (23): 84-90, QS. al-Furqān (25): 47, QS. an-Naḥ l (16): 10-12, dan beberapa ayat lainnya (Firdaus, 2004: 24-25). Meskipun di dunia ini telah disediakan seluruh kebutuhan hidup, namun manusia harus ingat bahwa kesenangan di dunia tidaklah kekal. Kesenangan di dunia adalah kesenangan yang menipu. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki peran penting dalam pengelolaannya. Hubungan yang muncul antara manusia dengan alam sangat erat dan saling memberikan timbal balik. Jika manusia berbuat baik terhadap alam maka alam akan memberikan seluruh kebaikannya kepada manusia, namun jika mansuia bertindak sewenang-wenang maka alam juga akan memberikan reaksi yang sama seprti apa yang dilakukan oleh manusia terhadapnya. Di sini terdapat hukum kausalitas yang pasti terjadi. Oleh karena itu Allah swt selalu menganjurkan manusia untuk menjaga alam (Firdaus, 2004: 24-25).
141
QS. Hūd/11: 85,
“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” Menurut Quraish Shihab, makna ayat ini adalah “Dan Syu‟aib berkata “hai kaumku, sempurankanlah sekuat kemampuan kamu takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia yakni berlaku curang atau aniaya menyangkut hak-hak mereka, dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan menjadi perusak-perusak.” Baqiyyah dari Allah yakni aneka anugerah Allah yang kamu peroleh secara adil dan jujur adalah lebih baik bagi kamu daripada hasil sebanyak apapun yang kamu peroleh melalui penganiayaan dan kecurangan, jika kamu orang-orang mukmin. Dan aku bukanlah seorang pemelihara atas diri kamu. Allah secara jelas melarang manusia membuat kejahatan di muka bumi dengan menjadi perusak. Hal ini juga dihubungkan dengan interaksi antar sesama manusia. Dalam bermuamalah, manusia dituntut untuk berlaku adil dalam hal apapun, karena terciptaya keadilan adalah awal dari terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan hidup (Shihab6, 2000: 312). Menurut Quraish, kata تَعْ َثْٕاterambil dari kata َ عَثَاءdan َ عَاثyaitu perusakan atau bersegera melakukan perusakan. Maksudnya adalah kesegeraan mengikuti nafsu tidak akan menghasilakan apapun kecuali perusakan. Hal ini bermakna pula dilarang untuk melakukan perusakan dengan sengaja. Larangan melakukan perusakan disini mencakup segala macam kejahatan, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, orang lain, binatang maupun lingkungan. Namun banyak manusia yang merasa sombong dan merasa telah melakukan perbaikan di bumi. Padahal sebaliknya, mereka justru melakukan kerusakan namun tidak menyadarinya (Shihab1, 2000: 126). QS. al-Baqarah/2: 11-12,
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
142
Perusakan di bumi adalah segala aktivitas yang mengakibatkan sesuatu yang bermanfaat menajdi berkurang atau hilang manfaatnya. Sedangkan seseorang dikatakan muṣ līḥ adalah apabila ia menemukan sesuatu yang berkurang manfaatnya atau hilang manfaatnya lalu melakukan aktivitas (memperbaiki) sehingga mengembalikan manfaat dari sesuatu tersebut. Yang lebih dari itu seorang muṣ līḥ adalah orang yang menemukan sesuatu yang telah memiliki manfaat lalu ia melakukan aktivitas sehingga meningkatkan kualitas manfaat dari benda tersebut (Shihab1, 2000: 126). Ayat 11 dan 12 surat al-Baqarah menggambarkan bahwa orang-orang yang benar-benar melakukan kerusakan di muka bumi tidak menyadari perbuatannya. Perusakan yang mereka lakukan meliputi beberapa aspek. Aspek pertama adalah perusakan pada diri mereka sendiri yang enggan berobat sehingga makin parah penyakit yang mereka derita. Aspek kedua adalah perusakan kepada keluarga dan anak-anak mereka melalui sifat buruk yang mereka tularkan kepada keluarga dan anak-anaknya. Aspek ketiga adalah perusakan kepada masyarakat dengan mengahalang-halangi orang lain melakukan kebajikan, menyebarkan isu-isu negatif, menanamkan kebencian dan perpecahan dalam masyarakat. Dan aspek keempat adalah perusakan di bumi. Ini adalah dampak dari keburukan-keburukan yang dilakukannya itu. Jika perusakan-perusakan yang terjadi dibiarkan begitu saja maka akan menyebar ke semua lingkungan hidup (Shihab1, 2000: 126). Firman Allah swt terambil dari kata َ شَعُّرyang sering diterjemahkan merasa. Yang diaksud di sini adalah perasaan yang merupakan sumber iman dan budi pekerti. Ia adalah kepekaan terhadap lingkungan. Seseorang yang kehilangan perasaan seperti ini pasti tidak akan terlahir darinya akhlak baik terhadap Allah, manusia, maupun lingkungan. Itulah sebab mengapa mereka melakukan perusakan secara terus-menerus. Berbagai tindakan dan perbuatan manusia seringkali secara tidak langsung telah menyebabkan kerusakan di bumi. Kegiatan yang mereka lakukan hanyalah bertujuan untuk kesenangan sesaat tanpa mempedulikan kondisi alam sekitar. Pembangunan industri tanpa adanya perencanaan yang matang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Hal ini tentunya akan berdampak buruk bagi kehidupan makhluk yang berada di lingkungan tercemar tersebut (Shihab1, 2000: 127). Larangan Allah swt atas perusakan di bumi juga tertera dalam QS. Al-A‟rāf/7: 56,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
143
Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang melarang manusia untuk melampaui batas, karena perusakan adalah salah satu bentuk pelampauan batas. Merusak setelah diperbaiki jauh lebih buruk daripada sebelum diperbaiki atau saat dia buruk. Hal ini karena Allah swt telah menciptakan alam raya dalam keadaan yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk. Allah juga telah melakukan sebuah perbaikan dengan mengutus para Nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau dalam masyarakat (Shihab5, 2000: 119). Hal ini sejalan dengan firman Allah QS. Al-Syu‟āra (26): 151-152, “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” Sebaliknya, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan kehidupan akhirat dan dunia. Perbaikan di dunia harus dilakukan karena ia memiliki hubungan dengan keselamatan manusia di akhirat. Al-Qaṣ āṣ /28: 77,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Maksud ayat ini, menurut Quraish Shihab, bukan berarti hanya boleh beribadah murni dan melarang memperhatikan dunia. Makna dari ayat ini adalah berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang dibenarkan Allah untuk memperoleh harta dan hiasan duniawi dan carilah secara bersungguh-sungguh pada yakni melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkan dan menggunakannya sesuai petunjuk Allah dan dalam saat yang sama janganlah melupakan, yakni mengabaikan bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak, sebagaimana atau disebabkan karena Allah telah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmatNya, dan janganlah engkau berbuat kerusakan dalam bentuk apapun di bagian manapun di bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai pembuat kerusakan. Ayat ini berisi perintah Allah untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu yang dapat disentuh oleh kebaikan, bermula dari lingkungan, harta benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, baik orang lain maupun diri sendiri. Hal ini karena lafadz amr yang digunakan dalam ayat ini tidak menyebutkan objeknya secara khusus, sehingga perintah untuk melakukan kebaikan tersebut bersifat umum mencakup segala aspek (Shihab10, 2000: 405-407).
144
Larangan melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Perusakan yang dimaksud di sini mencakup banyak hal, dan puncak dari perusakan itu adalah merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan. Di bawah peringkat itu terdapat perusakan-perusakan lain seperti pembunuhan, perampokan, pengurangan takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan dan lain-lain. Itu semua dimulai karena keengganan manusia menerima kebenaran dan pengorbanan nilai-nilai agama (Shihab10, 2000: 409). Ayat-ayat tersebut telah menerangkan larangan terhadap manusia untuk melakukan kerusakan. Namun terbukti bahwa hanya sedikit pihak yang mengindahkan larangan tersebut. Oleh karena itulah muncul berbagai bentuk kerusakan dan kekacauan di muka bumi karena hasil dari perbuatan manusia. Allah menyebutkannya dalam beberapa firmanNya, yaitu QS. ar-Rūm/30: 41,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Dalam tafsiran Quraish, ayat ini bermakna telah nampak kerusakan di darat seperti kekeringan, paceklik, hilangnya rasa aman, dan di laut seperti ketertenggelaman, kekurangan hasil laut dan sungai, disebabkan karena perbuatan tangan manusia yang durhaka, sehingga akibatnya Allah mencicipkan, yakni merasakan sedikit kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan dosa dan pelanggaran mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Shihab11, 2000: 76). Ayat tersebut dengan sangat jelas menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Daratan dan lautan mengalami kerusakan, ketidakseimbangan serta kekurangan manfaat. Laut telah tercemar sehingga ikan-ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Padahal Allah telah menciptakan alam raya dalam satu sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Tetapi mereka melakukan kegiatan buruk yang merusak, sehingga terjadi kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam (Shihab11, 2000: 77-78). Hukum sebab akibat di sini terlihat sangat nyata, karena setiap dosa dan kerusakan yang dilakukan manusia mengakibatkan gagguan keseimbangan di darat dan di laut. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Semakin banyak dan beraneka ragam dosa manusia, semakin parah pula kerusakan lingkungan. Dalam hal ini M.Quraish Shihab mengutip pendapat Thabathaba‟i yang antara lain menulis bahwa, alam raya
145
dengan segala bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain, bagaikan satu badan dalam keterkaitannya pada rasa sakit atau sehatnya, juga dalam pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya. Semua saling pengaruh mmpengaruhi, dan semua pada akhirnya bertumpu dan kembali kepada Allah swt. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi dengan baik maka akan nampak dampak negatifnya pada bagian yang lain, dan ini pada gilirannya akan mempengaruhi seluruh bagian. Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan hukum alam yang ditetapkan oleh Allah swt; termasuk terhadap manusia dan manusia pun tidak mampu mengelak darinya. Masyarakat yang menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan Allah bagi kebahagiaannya menjadikan keadaan sekelilingnya ikut terganggu dan ini pada gilirannya menimbulkan dampak negatif. Bila ini terjadi maka akan bertumpuk musibah dan bencana alam seperti keengganan langit menrunkan hujan dan bumi menumbuhkan tumbuhan, banjr dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya. Semua itu adalah tanda-tanda yang diberikan Allah untuk memperingatkan manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus (Shihab11, 2000: 78-79). Sebab manusia enggan melakukan perbaikan dan justru melakukan berbagai kerusakan adalah karena mereka lebih memilih mengikuti hawa nafsu mereka. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Mu‟minūn (23): 71,
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (al Qur‟an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” Kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat akan hancur jika masingmasing mengikuti hawa nafsu dan keinginannya. Allah telah menetapkan bagi manusia jalan yang harus ditempuh. Aturan-aturan yang diberikan harus dijalani oleh segenap umat manusia agar lingkungan tetap lestari. Berdasarkan uraian di atas, maka sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi merupakan pendidikan karakter bangsa yang telah digariskan oleh al-Qur‟an dan diteladani oleh Kemendiknas. Lebih luas lagi, peduli lingkungan dalam al-Qur‟an menurut M. Quraish Shihab, menuntun dan menuntut kepada seluruh masyarakat, terutama masyarakat muslim, bahwa al-Qur‟an telah memperingatkan akan kerusakan alam dan telah memberikan solusi yang seharusnya dijalankan oleh manusia. Melalui penafsirannya, M. Quraish Shihab menyatakan beberapa konsep pelestarian lingkungan yang wajib dijalankan, yaitu membuat kebijakan hukum; menjalin kerja
146
sama antara pemerintah, perusahaan, masyarakat dan kalangan akademisi; menjaga sumber daya alam; reboisasi; dan ramah lingkungan. Q. Peduli sosial
Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran (KBBI, 1999: 1284). Dalam definisi lain dijelaskan: انحانت انتٗ تتحمك فيٓا انحاجاث االساسيت نهفّرد ٔانًجتًع يٍ غذاء ٔتعهيى ٔصحت ٔتأييٍ ضذ: الرفاهية .كٕارث انحياة “Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, sedangkan lawan dari kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan.” (Badawi, 1982: 445). Kesejahteraan Sosial atau social welfare adalah keadaan sejahtera masyarakat. Dalam Mu‟jam Musthalahâtu al-„Ulûm al-Ijtimâ‟iyyah dijelaskan: َسك يُظى يٍ انخذياث االجتًاعيت ٔانًؤسساث يّريٗ انٗ يساعذة االفّراد ٔانجًاعاث: الرفاهية االجتماعية نهٕصٕل انٗ يستٕياث يال ئًت نهًعيشت ٔانّصحت كًا يٓذف انٗ لياو عاللاث اجتًاعيت سٕيت بيٍ االفّراد .بتًُيت لذراتٓى ٔتحسيٍ انحياة االَساَيت بًا يتفك يع حاجاث انًجتًع “Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembagalembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok untukmencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasyarakatan yang setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.” (Badawi, 1982: 339). Pemerintah Republik Indonesia mendefinisikan Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial). Dari ragam definisi di atas, bagaimana Konsep Islam? Pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dan lain sebagainya). Kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, hiburan. Kategori kebutuhan di atas
147
bersifat materil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun bersifat materil (Shihab, 1997: 126-127). Kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran menurut Qurasih Shihab tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam QS. Thâhâ/20:117-119, yang berbunyi: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan” (Shihab, 1997: 126-127). Dari ayat menurut di atas, jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana (Shihab, 2013: 17). Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial. Lebih lanjut dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang perlu diatasi meliputi i) kemiskinan; ii) ketelantaran; iii) kecacatan; iv) keterpencilan; v) ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; vi) korban bencana; dan/atau vii) korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Selaras dengan UU No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada a) perseorangan; b) keluarga; c) kelompok; dan/atau d) Masyarakat. Sedangkan Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: a. rehabilitasi sosial; b. jaminan sosial; c. pemberdayaan sosial; dan d. perlindungan social). “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Taubah/9:105). Pada ayat sebelumnya Allah SWT menganjurkan untuk bertaubat dan melakukan kegiatan nyata antara lain membayar zakat dan bersedekah, kini pada ayat 105 ini mereka diminta untuk –bekerja– melakukan aktivitas lain, baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Demikian korelasi dengan ayat sebelumnya menurut Quraish Shihab (Shihab5, 2000: 237-238). Lebih lanjut dikatakan bahwa ayat yang lalu bagaikan menyatakan “Katakanlah wahai Muhammad Saw., bahwa Allah menerima taubat,” “dan katakana-lah” juga: “Bekerja-lah kamu,” demi karena Allah semata dengan aneka amal saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum (maka Allah akan melihat), yakni menilai dan memberi ganjaran “amal kamu itu, dan Rasulnya
148
serta orang-orang mukmin” akan melihat dan menilainya juga, kemudian menyesuaikan perlakuan mereka dengan amal-amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan dikembalikan dengan kematian kepada Allah Swt, (Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu” sanksi dan ganjaran atas “apa yang telah kamu kerjakan,” baik yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam hati. Latar belakang sebab turunnya kelompok ayat-ayat ini adalah sebagai teguran kepada Abū Lubābah dan kedua kawannya yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, namun akhirnya mereka sadar dan bertaubat. Setelah pada ayat sebelumnya penyampaian harapan tentang bertaubat, ayat ini melanjutkan tentang beramal saleh. Hal ini perlu karena walaupun taubat telah diperoleh tetapi waktu yang telah berlalu yang pernah diisi oleh kedurhakaan tidak mungkin kembali lagi, karena itu perlu giat melakukan aneka kebajikan agar kerugian tidak terlalu besar. “Bekerja adalah pijakan kebahagiaan”, demikian menurut Al-Maraghi manakala menafsirkan ayat ini (al-Maraghi3, 2006: 165). Posisi bekerja untuk dunia dan akhirat akan dilihat oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Bersabda Nabi Saw, “Apabila seseorang di antara kamu bekerja walaupun di dalam batu karang yang keras tiada berpintu ataupun berlobang, niscaya Allah akan mengeluarkannya (agar terlihat) keberadaaanya oleh manusia” (HR. Abu Daud). Kata (fa-sa-yaro) yang berarti “maka akan melihat atau menilai,” bagi Allah berarti, “Allah akan menilai dan memberi ganjaran,” sedangkan bagi Rasul SAW dan orang beriman berarti “maka Rasul Saw dan orang beriman akan melihat dan menilai.” (Shihab5, 2000: 237-238). Menurut penulis kata “melihat/menilai” akan timbul manakala usaha seseorang itu telah nampak, dapat dilihat, atau lebih jauh lagi dapat dibuktikan/dirasakan manfaatnya oleh orang lain (KBBI, 1999: 836). Hal ini seakan memberikan isyarat bahwa bekerja yang sungguh-sungguh itu akan memberi manfaat tidak hanya untuk dirinya, namun untuk kaum muslimin (baca: masyarakat atau bahkan negara), tidak hanya bermanfaat di dunia namun juga bermanfaat untuk kehidupan akhirat, dan orang yang menerima manfaat tersebut akan menilai dan menjadi saksi di akhirat, kesaksian yang diperkuat oleh kesaksian Rasul SAW dan kesaksian dari Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata (Allah SWT) (al-Maraghi3, 2006: 166). Kehadiran Islam di semenajung Arab telah berhasil merubah status kesejahteraan masyarakat arab pada waktu itu, yang sebelumnya sangat timpang. Kekayaan sebagian besar dimiliki segelintir bangsawan dari pemuka arab, namun setelah Islam kekayaan terdistibusi lebih merata. Islam telah hadir dengan segenap konsep (sosialnya) (Ahmad, 1871: 65-69). Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial dimulai dengan “islam“, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Agama Islam memberikan kemaslahatan yang besar, karena dipegang oleh orang yang amanah. Selain itu Islam mengajarkan konsep untuk berbagi, membagi nikmat, membagi kebahagian dan ketenangan tidak hanya untuk individu namun untuk seluruh umat muslim lintas negara (alKhaliq, 1988: 69-85). Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan
149
keluarga seimbang. Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra‟, dan lainlain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosialnya (Shihab, 1997: 131). Berdasarkan pemaparan di atas, pendidikan karakter bangsa kepedulian sosial sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang diwujudkan melalui bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan tersebut wajib dilakukan untuk meraih kesejahteraan setiap individu, dalam keluarga dan masyarakat dan dalam suatu negeri. Perhatian, bantuan, kebajikan dan silaturahim ditujukan kepada keluarga/kerabat, dan kepada orang miskin walaupun bukan kerabat, dan orang yang membutuhkan, baik berupa zakat maupun sedekah ataupun bantuan lainnya adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pada level keluarga/masyarakat. Negara berkewajiban mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur, dengan segala kebijakan dan strateginya, termasuk pengelolaan zakat, penciptaan lapangan kerja, dan lain sebagainya. Namun demikian, al-Quran memberikan syarat tercapainya negeri yang sejahtera tersebut, yakni melalui iman dan takwa dari masing-masing penduduknya. Dengan kata lain kesejahteraan negeri tidak dapat dicapai tanpa pencapaian kesejahteraan pada level individu yang akan membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera berlandaskan iman dan takwa. R. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa merupakan nilai terakhir dari konsep pendidikan karakter bangsa dari Kemendiknas. Dalam Islam, peran dan tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu memposisikan dirinya di hadapan Allah dan kehidupan sosialnya sebagai abdi Tuhan. Dalam upaya menempatkan proporsi ibadah vertikal dan horizontal, Jalaluddin Rahmat (2003: 48-53) dalam bukunya Islam Alternatif, mengecam seorang Muslim yang merasa puas hanya karena telah melaksanakan shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainya, padahal tanggung jawab terhadap ibadah-ibadah sosial masih terbentang luas. Melihat kondisi masyarakat Islam yang demikikan, bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur‟an memberikan quota yang lebih besar kepada tanggung jawab ibadah yang bersifat sosial. Bahkan, menurutnya dengan mengutip pendapat Ayatullah Khomeini, dalam al-Hukumah alIslamiyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat yang menyangkut tanggung jawab kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat tentang ibadah, ada seratus ayat yang menjelaskan tentang mu‟amalah. Dalam kehidupan masyarakat beragama pada umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang
150
terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat formalistic, seperti yang tercermin dalam ketentuan-ketentuan peribadatan. Pemahaman yang teramat formalistic terhadap agama, atau formalisme agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan saja, tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakanakan peribadatan kepada Tuhannya hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya, meskipun realitas sosial dan kepekaan moralnya rendah. Akibatnya peribadatan terlepas dari kaitan dengan realitas sosial dan moral Rahmat (2003: 48-53). Penjelasan di atas bukan ingin mengatakan bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran agama dalam arti formalistic tidak akan mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi hendaknya selain mempunyai dampak etis dan teologis, ibadah-ibadah tersebut harus mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang yang ahli ibadah kemudian hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli dengan masyarakat lingkungannya yang hidup serba kekurangan, dapat saja memberikan peluang kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian, perampokan dan bentuk kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa kepedulian sosial juga merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh siapapun (Rahmat, 2003: 48-53). Antara peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan fungsional dan korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya: “ ….Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam yang tersedia. Karena Allah menciptakan kekayaan alam tidak lain diperuntukkan bagi manusia (QS. Al-Baqarah:29). Salah satu sumber daya alam yang dapat dieksplorasi adalah “air”. Secara umum keberadaan air sangat banyak manfaatnya, seperti dapat menyuburkan tanaman, untuk keperluan hidup manusia seperti makan, dan minum (QS. Yunus:24) (Rahmat, 2003: 48-53). Selain motivasi optimalisasi peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah, dapat juga dipahami bahwa untuk mengukur seberapa banyak peran seseorang dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fil ardl, dapat dilihat dari bagaimana ia memanfaatkan nikmat umur (hidup) untuk selalu berbuat kebajikan. Ada bentuk pertanggungjawaban terhadap apa saja yang telah ia lakukan untuk kesejahteraan ummat. Begitu juga sebaliknya, seseorang dapat dikatakan tidak melaksanakan perannya sebagai khalifah fil ardl, selama kehadirannya di dunia ini tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain, bahkan dengan kehadirannya di tengah-tengah masyarkat menimbulkan keresahan. Jika ia tidak
151
dapat melaksanakan perannya secara maksimal, maka sudah tentu tidak dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan kepadanya (Rahmat, 2003: 4853). Lebih jauh lagi, peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah tidak saja terbatas pada kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana agar hasil dari eksplorasi tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk melakukan perubahan dan pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat Islam. Secara terminoligis menurut Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat Islam adalah suatu system tindakan nyata yang menawarkan model pemecahan masalah umat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dengan demikian, pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris pengembangan prilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh (karya terbaik), dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Dari situlah lahir beberapa perspektif dan alternative (problem solving) (Machendrawaty, 2001: 29). Manurut Quraish Shihab (2004), manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, adalah makhluk yang diberi beban tugas (mukallaf). Yang membebani tugas manusia adalah Allah dan juga dirinya sendiri. Tanggung jawab lahir karena manusia diberi kebebasan untuk memilih dan diberikan seperangkat fasilitas dan potensi untuk mengemban tugasnya. Fasilitas tersebut adalah berupa hidayah. Hidayah inderawi berupa mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, kulit untuk meraba, lidah untuk merasa. Hidayah akal untuk memikirkan dan menemukan rumusan dan fenomena-fenomea. Hidayah agama berupa rumusan yang tidak dapat diindera oleh panca indera dan terbayang dalam fikiran. Semuanya diberikan oleh Allah kepada manusia agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Jadi betapa bijaksananya Allah memberikan sejumlah perangkat kepada manusia sebelum memberikan tugas kepada manusia. Mengapa kita diberi tugas? Karena kita mau, seperti yang diberi tahu oleh Allah dalam Surat Al-Ahzab/33: 72:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.” Ayat di atas, menurut Quraish Shihab (1997), menggambarkan bahwa hanya manusialah yang mau menerima beban tugas kekhalifahan ini. Inilah tanggung jawab yang diberikan Allah kepada manusia. Manusia juga menerima tanggung jawab kepada dirinya sendiri. Seperti contoh, mau menjadi suami atau isteri dengan
152
sukarela, maka dia telah menerima tanggung jawab tersebut kepada dirinya sendiri. Seorang gubernur, bupati dan sebagainya juga menerima tanggung jawab kepada dirinya ketika menerima jabatan tersebut. Seorang dokter, insinyur punya tanggung jawab atas profesinya karena telah memilih dan menerima profesi itu. Manusia juga menerima tanggung jawab kepada dirinya sendiri. Seperti contoh, mau menjadi suami atau isteri dengan sukarela, maka dia telah menerima tanggung jawab tersebut kepada dirinya sendiri. Seorang gubernur, bupati dan sebagainya juga menerima tanggung jawab kepada dirinya ketika menerima jabatan tersebut. Seorang dokter, insinyur punya tanggung jawab atas profesinya karena telah memilih dan menerima profesi itu (Shihab, 1997). Tanggung jawab berlaku seperti yang telah disebutkan diatas bila kita mau menerima tanggung jawab tersebut. Jika kita punya potensi untuk itu namun tidak mengambil tanggung tanggung jawab kita sebagai umat/masyarakat adalah, apabila ada orang yang mampu untuk duduk dalam kepemimpinan lokal maupun nasional namun orang tersebut tidak menerima jabatan tersebut dikarenakan tidak ada yang memilihnya, maka masyarakat akan ditanya oleh Allah mengapa tidak memilihnya? Tanggung jawab mempunyai dampak yang baik secara langsung dan juga tidak langsung apabila dilaksanakan dengan baik. Seperti tanggung jawab sebagai suami bisa dijalankan dengan baik, akan menciptakan keluarga yang bahagia (Shihab, 1997). Tanggung jawab juga mempunyai sanksi apabila tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Pada umumnya tanggung jawab perorangan akan mempunyai sanksi di akhirat, seperti tanggung jawab sholat. Apabila tidak dilaksanakan sholat, akibatnya bukan di dunia tapi di akhirat kelak. Karena itu jangan heran, orang yang tidak melaksanakan sholat bisa tenang-tenang saja di dunia ini, karena akibatnya nanti. Begitu juga dengan tanggung jawab masyarakat, pada umumnya sanksinya di dunia. Seperti misalkan tanggung jawab kita terhadap para pedagang yang memakai jalan raya/umum sebagai tempat dagangannya, tentunya sanksinya terhadap masyarakat adalah berupa kemacetan. Karena itu, Allah menegaskan di dalam Quran Surat Al-Anfaal/8:25: “Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. “… bahwa bencana akan mengenai tidak hanya pada orang-orang yang salah atau yang memang bertanggung jawab, tapi juga mengenai pada orang-orang yang tidak bersalah (Shihab, 1997). Karena itu, kejahatan dan keburukan perlu diperbaiki, perlu ada kontrol sosial pada masyarakat. Namun dalam mengubahnya tersebut kita perlu mengikuti prosedur-prosedur atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hadits Nabi yang mengatakan ubahlah kejahatan tersebut dengan tanganmu apabila mampu, jika tidak mampu maka gunakan lidahmu, tidak mampu juga maka cukuplah dengan hatimu. Ubahlah dengan tanganmu dimaksudkan adalah para penguasa/pemimpin dan petugas yang berwenang. Dengan lidah setiap kita mampu, untuk menyampaikan bahwa itu salah, itu buruk baik di media pers atau melaporkan pada
153
yang berwenang. Dengan hati, apabila tidak mampu semuanya, dengan demikian telah selesailah tanggung jawab kita sebagai masyarakat (Shihab, 1997). Tanggung jawab adalah bagian dari ajaran Islam yang disebut mas'uliyyah. Tanggung jawab artinya ialah bahwa setiap manusia apapun statusnya pertama harus bertanya kepada dirinya sendiri apa yang mendorongnya dalam berperilaku, bertutur kata, dan merencanakan sesuatu. Apakah perilaku itu berlandaskan akal sehat dan ketakwaan, atau malah dipicu oleh pemujaan diri, hawa nafsu, dan ambisi pribadi. Jika manusia dapat menentramkan hati nuraninya dan merespon panggilan jiwanya yang paling dalam, maka dia pasti bisa bertanggungjawab kepada yang lain (Shihab, 1997). Allah SWT berfirman;
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Mata yang manusia miliki sehingga Anda dapat melihat dan mengindentifikasi sesuatu, kemudian telinga yang manusia miliki sehingga manusia dapat mendengarkan kebaikan untuk ditransformasikan ke dalam hati dan fisik manusia, serta kalbu yang manusia miliki sehingga manusia dapat merasakan, memutuskan, dan menjatuhkan pilihan dimana esensi manusia terletak pada kalbunya, semua ini adalah sarana yang telah dianugerahkan Allah SWT dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Kita semua harus bertanggungjawab atas apa yang telah kita lakukan; Semua ini adalah tanggung jawab (Shihab, 1997). Rasulullah SAW bersabda; "Kamu semua adalah pemelihara, dan setiap kamu bertanggungjawab atas peliharaannya." Kita semua bertanggungjawab. Hanya saja, semakin luas pengaruh pena, kata-kata, dan keputusan seseorang pada kehidupan manusia, semakin besar tanggung jawab yang dipikulnya. Sebab itu, para pejabat tinggi negara, para pimpinan tiga lembaga tinggi negara, begitu pula pemimpin tertinggi revolusi Islam (Rahbar) hingga seluruh eselon pejabat dan jajaran direksi memiliki tanggung jawab besar atas segala tindakan, keputusan, dan statemen masing-masing. Inilah tanggung jawab dalam ajaran Islam dimana kita semua harus menaruh komitmen padanya. Perkataan orang yang bertanggungjawab berbeda dengan perkataan orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab inilah yang membuat jabatan layak dihormati. Pejabat dihormati oleh masyarakat adalah karena setiap tindakan dan keputusannya harus terdorong oleh tanggung jawab yang diembannya. Orang yang memiliki rasa tanggung jawab memang patut untuk dihormati. Dan segala sesuatu akan menjadi pelik jika dipegang oleh orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab (Shihab, 1997).
154
Dari paparan di atas tadi, jelaslah bahwasanya peran dan tanggungjawab manusia baik sebagai hamba Allah dan makhluk sosial serta sebagai khalifah fil ardl sangat berat dan dan harus dipertanggungjawaban sebagai rahmatan lil alamin. Namun demikian, Allah memberikan amanah tersebut kepada manusia dikarenakan adanaya potensi manusia untuk melaksanakan mandat tersebut. Sebagai hamba Alllah, manusia sudah dibekali potensi tauhiddi dalam dirinya semenjak ia masih dalam rahim ibunya. Sebagai makhluk sosial, fitrah manusia tidak bisa hidup sendiri, satu sama lainnya saling membutuhkan. Dan perannya sebagai khalifah fil ardl, manusia dibekali ilmu pengetahuan agar dapat mengekspolarasi sumber daya alam untuk kesejahteraan umat, bukan mengeksploitasinya. Tolak ukur seseorang telah secara maksimal melaksanakan ketiga peran dan tanggungjawabnya tersebut, dapat dilihat bagaimana upayanya dalam memanfaatkan umur (nikmat) untuk senantiasa berbuat kebajikan, baik hubungannya secara vertikal, maupun sosial horizontal. Konsepsi tersebut, senada dengan pendidikan karakter bangsa kemendiknas, yang untuk point ini selaras dengan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa yang Qur‟ani.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab lebih Pancasilais dalam membangun karakter segenap sivitas akademika pendidikan daripada Konsep pendidikan karakter bangsa menurut Kemendiknas. Konsep pendidikan karakter bangsa Kemendiknas lebih cenderung mengarahkan pembentukan karakter ke paham sekuleristik. 2. Konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab tidak sekedar menanamkan, memupuk, dan menumbuhkan beraneka ragam karakter bangsa pada individu manusia, namun juga yang terpenting adalah kesemuanya dilandaskan atas prinsip ketauhidan. Dengan demikian, konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab lebih Pancasilais. Karena, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi ruh bagi kedelapanbelas pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemendiknasnya. 3. Kedelapanbelas komponen pendidikan karakter bangsa: religius, jujur, toleransi, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab dalam Tafsir al-Mishbah membentuk karakter bangsa yang rahmat bagi seluruh makhluk (rahmatan li al-alamin). B. Saran 1. Perlu adanya pedoman pendidikan karakter bangsa yang sesuai dengan karakter kearifan lokal bangsa dari pemerintah/dinas dalam penerapan kebijakan pendidikannya. 2. Tanpa harus mengorbankan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hendaknya dalam setiap kebijakan pendidikan, tak terkecuali pendidikan karakter, seluruh sivitas akademika pendidikan juga diupayakan untuk ditanamkan keimanan dan ketakwaan.
155
DAFTAR PUSTAKA „Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhuiy: Suatu Pengantar. (terj.) Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. Abdullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an. Jakarta: Amzah, 2007. Ahmad Amrullah dalam Machendrawaty, Nanih dan Syafe‟i, Agus Ahmad. Pengembangan Masyarakat Islam, Dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi. Bandung: Rosda Karya, 2001. Allend, Jane Elizabeth. Disiplin Positif. Jakarta: Anak Prestasi Pustaka, 2005. Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak) (terj.) Farid Ma‟ruf, Jakarta: Bulan Bintang. Amin, Samsul Munir. Menyiapkan Masa Depan Anak secara Islami. Jakarta: Hamzah, 2007. Andayani, TR., Yusuf, M., dan Hardjajani, T. “Strategi Pengembangan Living Values Education Melalui Model Pembelajaran Nilai Toleransi Berbasis Budaya “Tepa Sarira” Pada Anak Usia Sekolah Dasar (Suatu Alternatif Pendidikan Karakter),” Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun I, Surakarta: Prodi Psikologi FK UNS dan LPPM UNS, (2010). Anderson Lorin W. dan Krathwohl, David R. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: a Revision of Bloom‟s Taxonomy. New York: Longman Publishing, 2001. Anshari, “Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah,” Disertasi Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2006). Anshari. Pendidikan Berorientasi Akhlak Mulia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2012. Anshori. “Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah,” Disertasi Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, (2006). Anwar, Hamdani. “Telaah kritis terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab,” dalam Jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2 (2002): 172. Apter, David. The Politics of Modernization. Chicago: University of Chicago Press, 1990. Arifin. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teori dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta, t.t.
156
157
Asrul SU, “Islam dan Disiplin Diri,” http://www.as-shufi.com/2011/03/islam-dandisiplin-diri.html, diakses tanggal 12 April 2015. Aunillah, Nurla Isna. Paduan Menerapkan Pendidikan Karakter Di Sekolah. Jogjakarta: Laksana, 2011. Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Logos, 2006. ____. Pendidikan Islam: Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Badan Bahasa-Kemendikbud, “Demokrasi, Demokratis, Demokrat, dan Demokratisasi,” http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/357, diakses tanggal 15 April 2015. Badan Penelitian dan Pengembangan-Puskur Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan-Puskur Kemendiknas, 2010. Badawi, Ahmad Zaki. Mu‟jam Mushthalahâtu al-„Ulûm al-Ijtimâ‟iyyah. Beirut, Maktabah Lubnan: New Impression 1982. Bahesyti, Muhammad Husaini dan Bahonar, Jawad. Inti sari Islam kajian Komprehensif tentang Hikmah Ajaran Islam. Jakarta: Lentera Basritama, 2003. Baidan, Nasrudin. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. Yogyakarta: Glagah, 2010. Bakti, Andi Faisal, (ed.). Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia, 2010. BSNP. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: BSNP, 2006. Budimansyah, Dasim. Upaya Membina Karakter Bangsa Melalui Buku Nonteks Pelajaran. Bogor: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012. Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Iman, Bab al-Muslim Man Salima alMuslimuna min Lisanihi wa Yadihi, No. 9, Maktabah Syamilah. Bulkin, Farhan. “Politik Orde Baru,” Prisma, Vol.8, (1984). Chirzin, Muhammad. Kamus Pintar al-Quran: 1000 Kata Kunci dalam al-Qur‟an Beserta Rujukan Ayat-ayatnya. Jakarta: Gramedia, 2011.
158
Dalyono, M. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Daradjat, Zakiah. et.al., Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1987. ____. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Haji Mas Agung, 1998. ____. Perawatan Jiwa Untuk Anak-anak. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Diknas. UU RI Nomor 14 Tahun 2005 & Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011. Bandung: Citra Umbara: 2012. Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna, “Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter,” Makalah dalam Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September (2006). Djamarah, Saiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. ____. Rahasia Sukses Belajar. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002. Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Drevar, James. Kamus Psikologi (terj.) Nancy Simanjuntak. Jakarta: Bina Aksara, 1986. Echols, Jhon M., dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. El-Saha, M. Ishom. Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta: Fauzan Inti Kreasi, 2004. Estede, Suprapto, “Fakta dan Realita Dekadensi Moral di Kalangan Remaja Berprestasi Dan Sukses Di Atas Pijakan Nilai-nilai Pancasila,” Makalah yang disajikan pada Seminar Guru dan Pelajar Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Bakesbangpol dan Linmas Kabupaten Bojonegoro, di Griya Dharma Kusuma Bojonegoro, tanggal 26 Nopember (2014). Farhadian, Reza. Menjadi Orang Tua Pendidik. Jakarta: Al-Huda, 2005. Al-Farnawi, „Abd Al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟iy. (terj.) Abdullah. Jakarta: PT. Raja GrapindoPersada, 1996. Faudah, M. Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur‟an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit pustaka, 1987. Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1971. Firdaus, Deni Hamdani dan Syarif, Yudi Sirajudin. Kamus Al-Quran Cara Mudah Mencari Makna dalam Al-Quran. Purwakarta: Pustaka Ancela, 2008.
158
159
Firdaus, Feris. Alam Semesta, Sumber Ilmu, Hukum, dan Informasi Ketiga Setelah al-Qur‟an dan al-Sunnah. Yogyakarta: Insania Cita Press, 2004. Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco, 1996. Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains Menurut al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 2001. Ginting, Cipto. Kiat Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo, 2003. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi. Jakarta: Taraju, 2003. Halim, Muhammad Abdul. Memahami Al-Quran Pendekatan Gaya dan Tema. Bandung, Penerbit Marja, 2002. Hamid, Hamdani, dan Saebani, Beni Ahamad, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013. Hidayatullah, M. Furqon. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka, 2010. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter diakses tanggal 3 Juli 2014. http://imamkarawang.wordpress.com/2012/01/18/9-pilar-pendidikan-berkarakter diakses tangggal 3 Juli 2014. http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektifislam-pendahulan/ diakses pada tanggal 23 Mei 2014. Huda, Miftahul. Interaksi Pendidikan 10 Cara al-Quran Mendidik Anak. Malang: UIN Malang Press, 2008. Hurlock, E.B. Developmental Psychology: A Life Span Approach. New Delhi: Tata McGraw Hill Publishing Company LTD, 1990. I. Fauziyah, I. “Rasulullah menyuruh kita bersikap ramah,” Republika Online, 8 Oktober 2011. http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/hikmah/11/10/06/lsme9urasulullah-menyuruh-kita-bersikap-ramah, Diakses pada 2 April 2015. Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir. Jilid 3. Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2006. Id.M.Wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab, diunduh pada tanggal 15 September 2014. Indrakusuma, Amir Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 2001. Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional Tahun 2010. Isjoni. Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta, 2010.
160
Ismail, Ibrahim bin. Ta‟lim Muta‟alim. Surabaya: al-Ma‟arif, t.t. Jalal, Fasli, dan Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001. Jasin, Maskoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. Juwairiyah, Hadits Tarbawi. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010. Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2011. Kartono, Kartini. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju, 1992. Kay, C. and Russette, J. “Hospitality of Management Competencies: Cornell Hotel and Perceptions,” Journal of Hospitality and Tourism Restaurant Administration Quarterly, 41 (2) (2000): 52-63. Kementrian Pendidikan Nasional dan Pengembangan Pusat Pendidikan. Pengembangan Pendidikan Budaya Karakter Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional dan Pengembangan Pusat Pendidikan, 2010. Kesuma, Dharma, dkk,. Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2012. Khaeriyah, Yayah. “Pendidikan Spiritual pada Anak Usia Dini,” Tesis, UIN Syarif Hidayatullah, (2010). Al-Khaliq, „Abd Al-Rahman bin „Abd. Al-Wishoya Al-„Ashr lil „Amilin bi AlDa‟wah Ilallah Subhanahu wa Ta‟ala. Kuwait: Jam‟iyah Ihya Turats AlIslami, 1408 H/1988 H. Koesoema, A, Doni. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta, Drasindo, 2007. Lagulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995. Lajnah Pentashihan al-Qur‟an. Tafsir al-Qur‟an Tematik: Pembangunan Generasi Muda. Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Qur‟an, 2011. ____. Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, Seri 3. Jakarta: Departemen Agama, 2007. Langrehr, J. Teaching Our Children to Think. Bloomington, IN: National Education Service, 2001. Lickona, Thomas. Character Matters: Persoalan Karakter, (terj.) Jumu Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara, 2013. ____. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992. 160
161
____. Educating For Character: Mendiddik Untuk Membentuk Karakter. (terj.) Juma Abdu Wamaungo Jakarta: Bumi Aksara, 2012. ____. Educating For Character: Mendidik Untuk Membentuk Karakter. (terj.) Jumu Abdu Wamaungo Jakarta: Bumi Aksara, 2012. ____. Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. New York: Bantam Books: Character Education Partnership, 2007. Lindgren, Henry Clay. Psychologi In The Classroom. New York: Jhon Wiley & Sons., INC., 1960. Ma‟luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A‟lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986. Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992. Mahmuddin, “Membentuk Karakter Kreatif pada Diri Anak melalui Pembelajaran Bersiklus,” Makalah, dalam Seminar Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, UIN JKT, (2011): 3-5. “Pembelajaran Sains Melebihi Fakta,” http://mahmuddin wordpress.com/2007/08/10/pembelajaran-sains-melebihi-fakta-denganmodel-kemitraan/. diakses senin, 10 April 2015.
____.
Majid, Abdul, dan Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Mansyur dkk,. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Forum, 1981. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi, Jilid 3. Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2006). Maskawaih, Ibnu. Menuju Kesempurnaan Akhlak (terj.) Helmi Yahya. Bandung: Mizan, 1999. Megawangi, R. Semua Berakar Pada Karakter: Isu-isu Permasalahan Bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2008. Meitasari. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2004. Monks, F.J., Knoers, A.M.P. dan Haditono, S.R., Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989. Muhammad, Abu Bakar. Pedoman Pendidikan dan Pengajaran. Surabaya: Usaha Nasional, 2005. Mulyasa, E. Peneltian Tindakan Sekolah Meningkatkan Produktivitas Sekolah. Bandung: PT Remaja Rodakarya. 2009.
162
Munandar, S.C. Utami. Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: Rajawali, 1982. al-Munawar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur'ani dalam Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Mutiah, Diana, Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana, 2010. Nasution, Kasron. “Konsep Pendidikan Akhlak: Konsep Perbandingan Ibn Maskawaih dengan al-Ghazali,” Tesis: UIN Jakarta, 2000. Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2012. ____. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru – Murid; Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. ____. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. ____. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengolaan Kelas. Jakarta: Tema Baru, 1989. Nugroho, Tofiq. Implementasi Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa. Surakarta: UMS Press, 2011. Permendiknas No, 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional. ____. No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014. Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1981. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indoenesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Prihartanti, N. “Model Pembelajaran Toleransi Pada Siswa Sekolah Dasar,” Proceedings Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, Bandung: Universitas Padjajaran (2008). Pudjijogyanti, Clara R. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: Arcan, 1995. Pulungan, Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. 162
163
Puskur Balitbang Kemendiknas. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010. Qutub, Sayyid. Islam dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo, 2010. Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 2003. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002. Ramirez, Laura M. Mengasuh Anak Dengan Visi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004. Rangga Sa‟adillah, “Benang Merah Pendidikan Islam dan Pendidikan Karakter Membentuk Karakter Bangsa Bermartabat”, dalam Mimbar Pembangun Agama, Edisi Januari (2012). Romdhoni, Ali. Al-Qur‟an dan Literasi: Sejarah Rancangan Bangun Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Litera Nusantara, 2013. Rusman. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jilid 12, (terj.), Nor Hasanuddin. Bandung: Pustaka dan Al-Ma'arif, 1988. Al-Sajistany, Abi Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy„ats. Sunan Abi Daud. Juz. IV. Beirut: Dar Al-Fikr, t.t. Saleh, A. Rahman. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: Raja grafindo persada, 2006. Salim, Peter dan Salim, Teni. Kamus Bahasa Indonesia Kontamporer. Jakarta: Modern English Press, 1991. Samani, Muchlas, dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung; Remaja Rosda Karya, 2011. Scaeffer, Charles. Bagaimana Membimbing Anak Secara Efektif. (terj. R.Tusman Sirait). Jakarta: Restu Agung, 1987. Al-Shabuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Quran Tafsir Tematik Surat al-Baqarah – al-Anam (terj.) Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000. al-Shiddieqy, TM. Hasbi. Sejarah dan Penantar Ilmu al-Qur‟an. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Shihab, M. Quraish. Al-Lubab: Makna Tujuan dan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz-Amma. Jakarta: Lentera Hati, 2008. ____. al-Quran dan Maknanya. Jakarta, Lentera Hati, 2013.
164
____. Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994. ____. Secercah Cahaya Ilahi. Jakarta: Penerbit Mizan, 2010. ____. Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan keserasian al-Quran, Vol. 1-15. Jakarta: Lentera Hati, 2000. ____. Tafsir al-Quran al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. ____. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta; Mizan, 1997. ____. Perjalangan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 2006. ____. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?. Lentera Hati, 2007.
Jakarta: Penerbit
____. et.al., Sejarah dan Ulumul Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Quran: Kajian Tematik Atas Hukum dalam alQur‟an. Jakarta: Penamadani, 2005. Sinamo, Jansen. 8 Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2011. Al-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka alKausar, 2011. Slameto. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Stagner, Ross. Psychology of Personality. Wayne State Univer: Kingsport Press, inc., 1974. Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan R & D. Bandung Alfabeta, 2006. Sujiono, Bambang dan Sujono, Yuliani Nurani, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta: PT Elex Media Komputendo, 2005. Sunarningsih. “Peranan dan Manfaat PAUD Secara Holistic,” Makalah pada Seminar PAUD Nasional, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Mei (2010). Suprayogo, Imam. Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman menuju Madrasah Impian. Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007. Suratno P. dan Astiyanto, H. Gusti Ora Sare: 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Yogyakarta: Adiwacana, 2009. 164
165
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali, 1990. Suwito, “Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibn Maskawaih.” Disertasi, Program Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995. Suyadi. Strategi Pemebelajaran Pendidikan Rosdakarya, 2013.
Karakter. Bandung: Remaja
Suyatno. “Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa,” Makalah yang disampaikan dalam “Sarasehan Nasional “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari (2010). Syarbini, Amirulloh. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014. Syarbini, Amirulloh. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014. Taher, Tarmizi. Menjadi Muslim Moderat. Jakarta: Hikmah, 2004. Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1999. Tim Pendidikan Karakter. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang SistemPendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025. UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011. Verba, Almond, The Civic Culture. Princeton, NJ, Princeton University Press, 1963. Walgito, Bimo, Bimbingan dan Koseling: Studi dan Karier. Yogyakarta: Andi Offset, 2010. Wuryanto, Agus. “Panduan Guru: Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran,” Makalah, dalam Seminar Pendidikan Karakter, Bima, NTT, (2011): 7. Yahya, Harun. Keadilan dan Toleransi dalam al-Qur‟an. Jakarta: Iqra Insan Press, 2004.
166
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008. Yunus, Mahmud. Metode Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Hidakarya, 1983.
166