METODE TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS DALAM TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB
Oleh DINI NUR’AENI 103024027538
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.
1
2
ABSTRAK
DINI NUR’AENI Metode Terjemahan Ayat-Ayat Hukum Waris Dalam Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab Al-Qur’an secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa al-Qur’an berbeda dengan teks sastra maupun teks lainnya. Kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam al-Qur’an memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa al-Qur’an yang khas, Universal, dan mengatasi ruang dan waktu. Allah swt. sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta adalah sumber segala pengetahuan yang menurunkan al-Qur’an untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia tidak mungkin tidak menjelaskan segala-galanya. Begitu juga dengan hukum waris, hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem kepemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda, kecuali wanita dari kalangan elite, bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan. ”Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut”. (HR Daruquthni) Sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang Universal yang menembus ruang dan waktu. Sehingga dalam memahami satu makna kata saja dalam al-Qur’an dapat timbul berbagai macam pendapat. Selain itu juga dalam memahami makna al-Qur’an banyak metode yang digunakan. Dengan melihat serta menganalisis beberapa terjemah al-Qur’an yang diterjemahkan dalam berbagai metode serta tipe yang berbeda-beda, akhirnya dapat dijadikan sebuah perbandingan analisis bagi penulis.
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat pemilik alam raya dan segenap isinya (Allah swt). Tanpa kekuatan dan pancaran Dzatnyalah, sesungguhnya penulis tidak yakin untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada tokoh pembaharu sepanjang masa Nabi Muhammad saw. Dalam penulisan skripsi ini, banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Namun, alhamdulillah berkat rahmat dan pertolongan Allah swt., serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga: 1. Bapak Dr. H. Abd. Chair, selaku Dekan Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Abdullah, M.Ag., Pembantu Dekan III Fakultas Adab dan Humaniora yang telah membuat citra Jurusan Tarjamah baik di mata Jurusan lain. 3. Bapak Drs. H. Ahmad Syatibi, M. Ag., selaku Pembimbing Akademik. 4. Bapak Drs. Ikhwan Azizi, M.A., selaku Ketua Jurusan Tarjamah, merangkap sebagai Dosen pembimbing skripsi yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, bukan saja persoalanpersoalan subtansial dalam skripsi ini, tapi lebih kepada ketelitian dalam menelaah teks-teks, paragraf demi paragraf yang berujung pada penambahan ilmu baru bagi penulis.
4
5. Bapak H. Ahmad Syaekhudin, M. Ag., selaku Sekertaris Jurusan Tarjamah. 6. Ibu Karlina Helmanita, M. Ag., selaku Dosen Seminar Skripsi. 7. Seluruh Dosen di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam memberikan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, penulis selalu berdoa semoga semua ilmu yang telah diserap penulis dari mereka menjadi ilmu yang bermanfaat dan menjadi bekal kelak di masa depan. Amin. 8. Penulis juga menyampaikan secara khusus kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Ahmad Shaleh dan Ibunda Hj. Ai Nuroh. Terimakasih yang tak terhingga, karena merekalah yang telah memberi dukungan lahir batin kepada penulis untuk terus belajar hingga dapat menyeleseikan studi di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora. Serta tak henti-hentinya mendoakan dengan tulus untuk kesuksesan penulis. Buat satu-satunya adik tersayang Hani Tahliani yang sedang ”menimba” ilmu di Pesantren. Perjuangan kamu masih panjang ’Dik’ jangan pernah lelah untuk menggapai mimpi. 9. Penulis juga ingin menyampaikan tarima kasih sedalam-dalamnya secara pribadi kepada Samsiri Sirojuddarory. Dorongan kasih sayang dan pengorbanan yang hampir diberikan setiap saat. Dari itu semua, hari-hari penulis yang tak pernah berhenti diterpa gelombang semangat, termasuk dari menyelesaikan skripsi ini adalah buah dari dorongan semangatnya.
5
10. Untuk melengkapi ucapan terima kasih ini tak puas untuk menyertakan sahabat-sahabat penulis Ceu Na2, te2 Naj, Ayoe si nyit-nyit yang centil yang ga’ pernah kehilangan ide untuk lawakannya. Mpo Goday Zinta, dan te’ Entis. Doa Bom2 selalu menyertai kalian, he..he..! 11. Ucapan terima kasih ini juga disampaikan untuk semua teman-teman tarjamah angkatran 2003. Terima kasih kawan atas semuanya. Semoga suka dan duka yang kita jalani bersama selama menuntut ilmu akan menjadi kenangan terindah yang tak pernah terlupakan. Saat KKN, waktu itulah kita mengenal pribadi masing-masing yang ternyata semua Gokil Abiiizzzz! itu adalah kenangan yang tak akan pernah terdelet dalam dalam ingatan penulis. Atas
semua
bantuan
dari
berbagai
pihak,
penulis
hanya
bisa
mengembalikan kepada Allah swt, dan semoga segala bantuannya dibalas sebagai amal baik dengan balasan yang berlipat ganda. Amin! ”Tak ada gading yang tak retak.” Penulis merasa skripsi ini masih banyak kekurangan, tapi penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya, baik sebagai rujukan penulisan skripsi, penulisan makalah dan lainnya. Akhirnya penulis berharap semoga Allah swt, senantiasa meridoi semua langkah kita. Amin!
Jakarta, 22 Juni 2009
Penulis
6
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..............................................................................................
i
KATA PENGANTAR ............................................................................
ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................
vii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................
6
D. Metode Penelitian .........................................................
6
E. Sistematika Penulisan ...................................................
7
KERANGKA TEORI ......................................................
8
A. Teori Penerjemahan ......................................................
8
1. Definisi Penerjemahan ............................................
8
2. Metode Penerjemahan .............................................
12
3. Proses Penerjemahan...............................................
18
4. Prosedur penerjemahan ...........................................
22
B. Pengertian Kalimat Efektif ...........................................
24
1. Definisi Kalimat Efektif ..........................................
24
2. Stuktur Kalimat Efektif ..........................................
25
3. Ciri-ciri Kalimat Efektif ..........................................
32
BAB II
7
BAB III
BAB IV
M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISBAH ....
38
A. Biografi dan Perjalanan Karier M. Quraish Shihab........
38
B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah ..................
43
C. Karya-Karya Ilmiah M. Quraish Shihab ........................
44
ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS .............................................................................
47
A. Analisis Metode Terjemahan M. Quraish Shihab...........
47
B. Analisis Gramatikal Terjemahan M. Quraish Shihab .....
54
C. Keunggulan dan Kelemahan Terjemahan M. Quraish
BAB V
Shihab...........................................................................
64
PENUTUP .......................................................................
67
A. Kesimpulan...................................................................
67
B. Rekomendasi....................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
70
8
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Penulisan transliterasi huruf Arab-Latin dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang disusun oleh Tim Penulis CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2007.
A. Padanan Aksara Huruf Arab
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
ha dengan garis di bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis di bawah
d
de dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
9
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ع غ ف ق ك ل م ن و ھـ ء ي
‘
Koma terbalik di atas hadap kanan
gh
ge dan ha
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
´
apostrof
y
ye
B. Tanda Vokal Tanda Vokal Arab (Tunggal)
ـ◌َ ـ ـِـ ـُـ
Tanda Vokal Latin
Keterangan
a
fathah
i
kasrah
u
dammah
10
Tanda Vokal Arab (Rangkap)
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َــ ي
ai
a dan i
َــ و
au
a dan u
Tanda Vokal Arab (Panjang)
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـﺎ
â
a dengan topi di atas
ﻲِـ ْ ـ
î
i dengan topi di atas
ـ ْﻮُـ
û
u dengan topi di atas
C. Penulisan Ta Marbûtah 1. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /h/, jika terdapat pada kata yang berdiri sendiri. Kata Arab
Alih Aksara
ﻘﹶﺔﻃﹶﺮﹺﻳ
tarîqah
2. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /h/, jika diikuti oleh kata sifat (na’t). Kata Arab
Alih Aksara
ﺔﻴﻼﹶﻣﺔ ﺍﻹِﺳﻌﺍﳉﹶﺎﻣ
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3. Huruf ta marbûtah dialihaksarakan menjadi /t/, jika diikuti kata benda (ism). Kata Arab
Alih Aksara
ﺩﻮﺟﺓ ﺍﻟﻮﺪﺣﻭ
wahdat al-wujûd
11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah wahyu, kitab yang mengandung firman Allah swt. diturunkan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. dengan perantara Jibril, untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia sekarang maupun di akhirat kelak. Al-Qur’an secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan sarana komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa al-Qur’an berbeda dengan teks sastra maupun teks lainnya. Kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam al-Qur’an memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa al-Qur’an yang khas, Universal, dan mengatasi ruang dan waktu.1 Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah tetapi penafsiran atas teks selalu berubah, sesuai dengan konteks dan waktu manusia. Karenanya al-Qur’an
selalu
membuka
diri
untuk
dianalisis,
dipersepsi,
dan
diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya.2
1 Sahiron Syamsuddin, dkk., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 69-70. 2 Umar Shihab, Kontektualitas Al-Quran Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Quran (Jakarta: Permadani, 2005), h. 69.
12
Allah swt. sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta adalah sumber segala pengetahuan yang menurunkan al-Qur’an untuk menjadi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia tidak mungkin tidak menjelaskan segalagalanya.3 Begitu juga dengan hukum waris, hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda, kecuali wanita dari kalangan elite, bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.4 Islam merinci dan menjelaskan melalui al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, di samping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid.”5 Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan 3
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan), h. 26. http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008. 5 http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008. 4
13
keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris. Padahal, Allah swt. di dalam al-Qur’an mengatur pembagian waris secara lengkap. Sementara itu, di sisi lain, kita jumpai kenyataan bahwa beberapa kalangan, termasuk para pelajar di sekolah-sekolah Islam, menganggap faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka) sebagai momok yang menakutkan.6 Allah swt. dalam surah an-Nisa', menegaskan dan merinci bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Perlu kita ketahui bahwa ayat 11,12, dan 176 dalan surah an-Nisa’ merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tatacara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana. Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna. Allah menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
6
http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008
14
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah. Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayatayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:7
ﻲ ﻓﹶﺈﹺﻧﺎﺱﺎ ﺍﻟﻨﻮﻫﻠﱢﻤﻋ ﻭﺾﺍﺋﻮﺍ ﺍﻟﹾﻔﹶﺮﻠﱠﻤﻌﺗ ﻭﺎﺱ ﺍﻟﻨﻮﻩﻠﱢﻤﻋﺁﻥﹶ ﻭﻮﺍ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﻠﱠﻤﻌﺗ ﻰ ﻓﺎﻥﺛﹾﻨ ﺍﻻﻒﻠﺘﺨﻰ ﻳﺘ ﺣﻦﺘ ﺍﻟﹾﻔﺮﻈﹾﻬﺗ ﻭﻘﹾﺒﹺﺾﻴ ﺳﻠﹾﻢﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﻌ ﻭﺽﻮﻘﹾﺒ ﻣﺅﺮﻣﺍ ﺎﻤﻬﻨﻴﻞﹸ ﺑﻔﹾﺼ ﻳﻦ ﻣﺍﻥﺠﹺﺪ ﻻﹶ ﻳﺔﺍﻟﹾﻔﹶﺮﹺﻳﻀ
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲏ
”Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut.” (HR Daruquthni)8
Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk 7 8
Imam ad-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966. Jilid 4, h. 81. http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008
15
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah swt. di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.9 Sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang Universal yang menembus ruang dan waktu. Sehingga dalam memahami satu makna kata saja dalam al-Qur’an dapat timbul berbagai macam pendapat. Selain itu juga dalam memahami makna al-Qur’an banyak metode yang digunakan. Dengan melihat serta menganalisis beberapa terjemah al-Qur’an yang diterjemahkan dalam berbagai metode serta tipe yang berbeda-beda, akhirnya dapat dijadikan sebuah perbandingan analisis, serta untuk memfokuskan pembahasan, maka tulisan ilmiah ini mencoba mengangkat judul Metode Terjemahan Ayat-Ayat Hukum Waris Dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memudahkan penelitian, menghindari terlalu melebarnya jangkauan penelitian dan untuk dapat menemukan sebuah pengertian secara lebih mendalam, maka penulis mencoba membatasi penelitian seputar analisis terjemahan ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum waris. Adapun perumusan dan pembatasan masalah adalah sebagai berikut: 1. Apa motode terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah? 2. Apakah terjemahan ayat-ayat hukum waris dan Tafsir al-Misbah sudah memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar?
9
http://media.isnet.org/islam/waris/index.html, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.
16
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui
motode
terjemahan
ayat-ayat
hukum
waris
dalam
Tafsir al-Misbah. 2. Mengetahui terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah dengan tolak ukur bahasa Indonesia yang baik dan benar.
D. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kepustakaan (library researct) dari buku-buku, majalah-majalah, karya ilmiah serta media elektronik atau internet yang memiliki hubungan erat dengan skripsi ini, guna mengumpulkan sebanyak mungkin data-data yang diperlukan. Data pustaka yang digunakan terbagi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Tafsir al-Misbah menjadi data primer dalam penelitian ini, sedangkan data sekundernya adalah sumbersumber
lain
yang
mendukung
data
primer.
Kemudian
di
dalam
pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu terlebih dahulu mendeskripsikan data-data atau bahan-bahan yang akan dipergunakan
sebagai
sumber
primer,
kemudian
dianalisis
secara
proporsional lalu dituangkan dalam skripsi ini.10 Untuk menghindari penulisan yang keliru, maka dalam tekhnik penulisan, penulis sepenuhnya berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) tahun 2007 yang diterbitkan oleh
10
Syahrin Harahaf, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin (Jakarta: Grafindo, 2000), h. 8-9.
17
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab dan sub bab. Adapun susunannya adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Kerangka teori yang berisikan mengenai seputar penerjemahan, mulai definisi penerjemahan, metode penerjemahan, proses penerjemahan, prosedur penerjemahan, definisi kalimat efektif, stuktur kalimat efektif, dan ciri kalimat efektif.
BAB III : M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah yang berisikan mengenai, biografi dan perjalanan karier M. Quraish Shihab, latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah, dan karya-karya ilmiah M. Quraish Shihab. BAB IV : Analisis terjemahan ayat-ayat hukum waris, berisikan mengenai analisis metode penerjemahan ayat-ayat hukum waris, analisis gramatikal, dan keunggulan dan kelemahan terjemahan ayatayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah. BAB V
: Berisikan tentang kesimpulan dari penelitian yang telah dianalisis, serta menyertakan rekomendasi yang positif dan membangun bagi semua pihak.
18
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Penerjemahan 1. Definisi Penerjemahan Penerjemahan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kajian kebahasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah ‘terjamah’ diambil dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri mengambil istilah tersebut dari bahasa Armenia, turjuman. Kata turjuman serupa dengan tarjamah dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lainnya.11 Banyak sekali definisi terjemahan yang dikemukan oleh para ahli. Namun dalam pandangan Ibnu Burhan, apapaun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsif operasional akomodatif. Akomodatif dalam arti mempertimbangkan definisi-definisi yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif menghargai terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh para pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsif operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang digunakan sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya harus tetap berpijak pada pertimbangan, apakah definisi tersebut dapat dioperasikan pada tahap yang lebih praktis atau tidak.12
11 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia; Teori dan Praktek (Jakarta: Humaniora, 2005), h. 7. 12 Ibnu Burhan, Menjadi Penerjemah; Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. Ke-1, h. 9.
19
Tanslation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Meskipun sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini.13 Terjemahan secara etimologis berasal dari bahasa Arab ‘Tarjama’ yang artinya penjelasan, bila dikatakan ‘Tarjama kalamuhu’ artinya ia menerangkan ucapannya dan ia mengalih-bahasakan satu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.14 Kata terjemah berasal dari bahasa Arab tarjamah. Kata tersebut kedudukannya sebagai mashdar yaitu Fi’il Madhi Ruba’i al-Mujarrad ‘tarjamah’ yang bentuknya terjadi sebagai berikut
،ﺟﹺﻢﺮ ﺗ،ﻢﺟﺮﺘ ﻭﺫﺍﻙ ﻣ،ﺟﹺﻢﺮﺘ ﻓﻬﻮ ﻣ،ﺎﻤﺟﺮ ﻭﺗ،ﺔﹰﻤﺟﺮ ﺗ،ﺟﹺﻢﺮﺘ ﻳ،ﻢﺟﺮﺗ ﻢﺟﺮﺘ ﻣ،ﻢﺟﺮﺘ ﻣ،ﺟﹺﻢﺮﺘﻻﹶ ﺗ Dalam muradif yang lain kata tarjama bisa berarti ﻓﺴﺮmenafsirkan atau menginterpretasikan. Kata ﺗﺮﺟﻢjuga berarti ﺷﺮحmenerangkan, menjelaskan, atau ﺗﺮﺟﻢjuga berarti ﻋﻤﻠﯿﺎmenerjemahkan (ide pikiran) ke dalam tindakan mengoperasionalkan.15 Sedangkan
secara
terminologis
terdapat
beberapa
definisi
diantaranya adalah sebagai kegiatan memindahkan suatu amanat dari 13
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 4 dan 5. Ahcmad Satory Ismail, Dasar-Dasar Menterjemah (Diktat Mata Kuliah Terjemah), Fakultas Adab & Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bagian I, h. 2. 15 Atabik Ali, Kamus Kontemporer (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), Cet. Ke-4, h. 456. 14
20
bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.16 Ada beberapa pengertian terjemahan menurut para ahli antara lain:17 Menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti terjemahan yaitu menyalin (memindahkan) dari satu bahasa ke dalam bahasa lain, atau mengalih bahasakan.18 Sedangkan menurut Ibnu Burhan, bahwa penerjemahan sebagai usaha memindahkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.19 Catford
(1965),
seorang
profesor
Universitas
Michigan
mengatakan dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation ia mendefinisikannya sebagai “the reflacement of textual material in one language by equivalent textual material in another language”, (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran).20 Begitu juga Newmark (1988), seperti yang dikutip Rochayah Machali, memberikan definisi serupa, yaitu: “rendening the meaning of a teks into another language in the way that the author intenden the teks” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksud pengarang).21
16
Satory Ismail, Dasar-Dasar Menterjemah, h. 2. Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (flores: Nusa Indah, 1986), Cet. Ke- 1, h. 23. 18 Depdikbud, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Cet. Ke-1, h. 903. 19 Ibnu Burhan, Menjadi Penerjemah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. Ke-1, h. 10. 20 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 5. 21 Ibid. 17
21
Eugene A. Nida dan Crarles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi penerjemahan sebagai berikut: “translating consists in reproducing in the receptor language massage, first in terms of meaning and secondly in term of style” (menerjemahkan berarti menciptakan paduan yang paling dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua kesesuaian pada gaya bahasanya).”22 Sedangkan menurut Savory (1968) mengemukakan hakikat penerjemahan di dalam bukunya The Art of Translations dengan “penerjemahan menjadi mungkin dengan adanya gagasan yang sepadan di balik ungkapan verbal yang berbeda.”23 Lain halnya dengan definisi yang dikemukakan Brinslin (1973) dalam bukunya Translation Application and Research: ”penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari suatu bahasa (sumber) ke dalam bahasa sasaran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai sistem ataupun belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat orang tuna rungu.”24 Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua gaya bahasanya. 22
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. Ke-1. Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariyanto, Translation, Bahasa Penuntun Praktis Menerjemahkan (yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12. 24 Ibid., h. 12-13. 23
22
Melihat kilas definisi tersebut menurut penulis nampak berbedabeda namun, mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu adanya persamaan dan penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima oleh pembaca.
2. Metode Penerjemahan Di dalam literatur penerjemahan banyak ragam yang diterapkan. Agar penilaian pembaca tetap baik terhadap penerjemah, perlu kiranya memiliki pengetahuan tentang ragam penerjemahan tersebut, penerjemah dapat mengetahui dengan ragam apa yang harus digunakan untuk menerjemahkan teks yang bersangkutan. Penulis akan memaparkan delapan metode yang digunakan oleh Newmark, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan pada bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan pada bahasa sasaran (BSa). Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks sumber (Tsu), meskipun dijumpai hambatan-hambatan sintaksis dan semantis pada teks sasaran (TSa) (yakni hambatan bentuk dan makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi BSu.25 Metode-metode yang memberikan penekakan terhadap bahasa sumber yaitu: 25
Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 49.
23
a. Penerjemahan Kata Demi Kata Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata teks sasaran langsung diletakan di bawah versi teks sumber. Kata-kata dalam teks sumber diterjemahkan di luar konteks, dan kata- kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Umumnya metode ini dipergunakan sebagai tahapan pra-penerjemahan (sebagai gloss) pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme bahasa sumber.26
ﺐﹴﻯ ﺛﹶﻼﹶﺛﹶﺔﹸ ﻛﹸﺘﺪﻨﻋﻭ Dan di sisisku tiga buku-buku. b. Penerjemahan Harfiah Dengan menggunakan metode harfiah ini, kontruksi gramatikal bahasa sumber dicarikan padanannya yang terdekat dalam bahasa sasaran, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Dalam proses penerjemahan, metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.27
ﺎﻳﺎﹶﺤ ﺿﺓﺪﺎﻋﺗﺎﹶ ِﳌﹸﺴﻮﻏﻴﺎﹶﻛﹶﺮ ﺇﻟﹶﻰ ﻳﺎﻥﺴﺍﻹِﺣ ﻭﺎﻝﹺ ﺍﻟﺒﹺﺮ ﺭﹺﺟﻦﻞﹲ ﻣﺟﺎﺀَ ﺭﺟ ﺍﻝﹺﻟﹾﺰﺍﻟﺰ Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korbankorban gempa bumi. 26 27
Ibid.,h. 50-51. Ibid., h. 51.
24
c. Penerjemahan Setia Penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual teks sumber dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Katakata yang bermuatan budaya dialih bahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang sering terasa kaku dan seringkali asing.28
ﺎﺩﻣ ﺍﻟﺮﺮﻴ ﻛﹶﺜﻮﻫ Dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya. d. Penerjemahan Semantis Apabila dibandingkan dengan penerjemahan setia, penerjemahan semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah teks sasaran. Berbeda dengan penerjemahan
setia,
penerjemahan
semantis
harus
pula
mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Bila dibandingkan dengan penerjemahan setia penerjemahan semantis lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih terikat oleh bahasa sumber.29
28 29
Ibid., h.51-52. Ibid., h. 52.
25
ﻞﹺ ﺍﻟﻔﹶﺼﺎﻡﻦﹺ ﺃﹶﻣﻴﻬﺟ ﺫﹶﺍ ﺍﻟﻮﺖﺃﹶﻳﺭ Saya melihat si muka dua di depan kelas.
Selain melalui penekanan kepada bahasa sumber seperti dijelaskan diatas, metode penerjemahan dapat lebih ditekankan kepada bahasa sasaran. Ini berarti bahwa selain pertimbangan kewacanaan, penerjemah juga mempertimbangkan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran. Berikut ini adalah keempat metode tersebut.
a. Penerjemahan Adaptasi (termasuk saduran) Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan bahasa sasaran. Istilah “saduran” dapat dimasukan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam teks sumber, misalnya tema, karakter atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi, yaitu yang mempertahankan tema, karakter dan alur. Tetapi dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya bahasa sumber ke budaya bahasa sasaran, serta teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam teks sasaran. Sebagai contoh adalah penerjemahan (lebih tepat penyaduran) drama Shakespeare berjudul ‘Macbeth’ yang disadur oleh penyair terkenal WS. Rendra dan dimainkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 1994. Rendra mempertahankan semua karakter dalam naskah
26
asli, dan alur cerita juga dipertahankan, tetapi dialognya sudah disadur dan disesuaikan dengan budaya Indonesia.30
ﺎﻧﺭﺪﺎ ﺑﻧﺎﺭﺎ ﺍﹶﻧﻤﻨﻴﺣ Ketika bulan purnama bersinar
b. Penerjemahan Idiomatik Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna.31
ﺐﹺﻌ ﺍﻟﺘﺪﻌﺎ ﺍﻟﻠﹶﺬﱠﺓﹸ ﺇﹺﻻﱠ ﺑﻣﻭ Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian.
c. Penerjemahan Komunikatif Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi teks sasarannya juga langsung berterima. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi
30 31
Ibid., h. 53. Ibid., h. 54.
27
teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi teks sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.32
ﺔﻐﻀ ﻣﻦ ﻣ ﺛﹸﻢﻠﹶﻘﹶﺔ ﻋﻦ ﻣ ﺛﹸﻢﻄﹾﻔﹶﺔﻦ ﻧ ﻣﺭﻄﹶﻮﺘﻧ Kita tumbuh dari mani, segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (awam) Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (berpelajar) d. Penerjemahan Bebas Terjemahan
bebas
meliputi
terjemahan
yang
tidak
memperdulikan aturan tata bahasa dan bahasa sumber. Orientasi yang paling menonjol adalah pemindahan makna.33 Yang dimaksud dengan terjemanahan bebas bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti ”penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah berbahasa sumber. Ia boleh melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti secara jelas oleh pembacanya.”34 Metode ini lebih mengutamakan isi dan seakan-akan mengorbankan struktur gramatikal bahasa sumber. Metode ini sering dipakai di kalangan media masa. Terjemahan bebas, pada umumnya, lebih banyak diterima ketimbang terjemahan harfiah, karena 32
dalam
terjemahan
bebas biasanya tidak terjadi
baik
Ibid., h. 55. Burhan, Menjadi Penerjemah, h. 16. 34 Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Flores: Nusa Indah, 1986), Cet. Ke- 1, h. 56. 33
28
penyimpangan makna, maupun pelanggaran norma-norma bahasa sasaran. Terkadang metode ini berbentuk para frasa yang lebih panjang atau pendek dari naskah aslinya. Kekurangan teknik terjemahan bebas ini ialah bahwa yang disampaikan oleh terjemahan bebas ke dalam teks bahasa sasaran bukan padanan makna teks bahasa sumber, tapi gambaran situasi, yang menghasilkan perolehan padanan situasi.35
ﺓﻭﺭﺮ ﺑﹺﺎﻟﻀﺮﺒﻌﻻﹶ ﻳﺎ ﻭﺒﹺﻬﺃﹾﻱﹺ ﻛﺎﹶﺗ ﺭﻦ ﻋﺮﺒﻌ ﻳﻠﱠﺔﻰ ﺍﳌﹶﺠ ﻓﺮﺸﻨﺎ ﻳ ﻣﻊﻴﻤﺟ ﻠﱠﺔﺃﹾﻱﹺ ﺍﳌﹶﺠ ﺭﻦﻋ Terjemahnya: Isi di luar tanggung jawab percetakan.36
3. Proses Penerjemahan Penerjemahan sebagai suatu proses, memilki beberapa tahap sehingga menghasilkan terjemahan yang diinginkan. Terlebih lagi hasil terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mampu menghadirkan isi atau pesan yang akan disampaikan oleh penulis. Dalam penerjemahan ini, setidaknya ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh penerjemah untuk mendapatkan hasil yang dianggap baik. a. Tahap Analisis Bila kita dihadapkan pada sebuah teks, maka langkah pertama yang akan kita lakukan yaitu menganalisis teks bahasa sumber tersebut
35 Salihen Moentaha, Bahasa dan terjemahan, Language and Translation The New Millennium Publication (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. 52-53. 36 Moch. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab Indonesia, IndonesiaArab (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 112.
29
sebelum diterjemahkan. Analisis ini meliputi apa maksud pengarang menuliskan teks tersebut, apakah untuk menjelaskan sesuatu, bercerita atau untuk mempertahankan pendapatnya?37 Semua hal diatas tersebut merupakan pertanyaan dasar yang harus jelas jawabannya bagi penerjemah, sebelum ia menerjemahkan teks sumber tersebut ke dalam bahasa sasaran. Untuk menganalisis bahasa sumber hendaknya penerjemah memperhatikan aspek tata bahasa dan emosi yang terkandung dalam kata.38 Setelah mempunyai gambaran yang jelas barulah penerjemah dapat
memulai
proses selanjutnya,
yakni memindahkan atau
mengalihkan teks sumber tersebut ke dalam teks bahasa sasaran.
b. Tahap Pengalihan Pada
tahap
ini,
seorang
penerjemah
berupaya
untuk
menggantikan unsur teks bahasa sumber dengan unsur teks bahasa sasaran yang sepadan. Sepadan pada segala unsur dalam teks baik bentuk maupun isinya.39 Dalam upaya pengalihan ini, terdapat beberapa pertanyaan yang harus dikaitkan dengan pertanyaan dalam analisis dan dipertimbangkan oleh penerjemah dalam kegiatan pengalihan diantara pertanyaan tersebut adalah: apakah pesan penulis dalam naskah asli harus tetap dipertahankan dalam terjemahan? Dapatkah penerjemah
37
Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 33. Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 63. 39 Ibid., h. 35. 38
30
mengubah pesan yang terdapat dalam naskah asli? Jika boleh, seberapa banyak atau seberapa jauh dan mengapa? Inilah pertanyaan yang kerap kali muncul di sela-sela proses penerjemahan. Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan pada definisi penerjemahan, seorang penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang.40 Karena pada dasarnya terjemahan bukan sekedar mengalihkan huruf atau kata yang terdapat dalam bahasa sumber, tetapi lebih kepada pengalihan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber, tetapi lebih kepada pengalihan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber kepada bahasa sasaran. Tidak heran bila seorang penerjemah yang telah memasuki tahap ini harus kembali ke tahap analisis atau sebaliknya sampai ia yakin betul bahwa pemahaman dan analisisnya sudah cukup baik.41 c. Tahap Penyerasian Setelah tahap analisis dan pengalihan dilalui dengan baik, tahap terakhir yang harus dilakukan ialah tahap penyerasian. Pada tahap ini, penerjemah dapat menyesuaikan bahasanya yang masih terasa ’kaku’ untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Di samping itu mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakn istilah yang umum ataukah yang baku.42 Tahap penyerasian ini adalah tahap akhir, ini berarti tahaptahap sebelumnya sudah diselesaikan dengan baik. Pada tahap 40
Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 35. Ibid., h. 38. 42 Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. h. 38. 41
31
penyerasian ini, penerjemah dapat melakukan tahap ini sendiri, atau bisa meminta bantuan orang lain untuk mengoreksi. Ada dua hal yang mendasari ungkapan ini. Pertama penerjemah kerap merasa kesulitan mengoreksi kerjaan sendiri, karena secara psikologis ia akan menganggap terjemahna sudah baik. Hal ini karena didorong latar belakang yang ia miliki. Maka penyerasian yang dilakukan orang lain cukup membantu dalam menghasilkan terjemahan yang baik dan komunikatif. Kedua, penerjemah sebaiknya merupakan kerja tim;43 ada yang menerjemahkan dan ada pula yang ’mengedit’. Hal ini menyangkut faktor keterbacaan, karena terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mengadopsi pesan yang dimuat dalam naskah asli kedalam bahasa sasaran, serta menyajikan komunikatif sehingga terkesan naskah asli dengan naskah terjemahan tidak jauh berbeda. Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa seorang penerjemah yang telah punya niatan untuk menggeluti bidangnya, secara moral ia terikat dengan kenyataan bahwa ia harus menampilkan apa yang terbaik bagi pembacanya. Untuk itulah baik buruknya suatu produk terjemahan merupakan refleksi dan pencerminan pembuatnya sendiri di masyarakat. Sebab produk terjemahan bukanlah milik penulis naskah asli, tapi ia milik sejati penerjemah sendiri.44
43 44
Ibid. Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, h. 65.
32
4. Prosedur Penerjemahan Menurut Syihabuddin dalam bukunya yang berjudul Penerjemahan Arab Indonesia (teori dan praktek), istilah prosedur dibedakan dari metode. Konsep yang pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit terjemahan yang lebih kecil, sedangkan konsep kedua mengacu pada proses penerjemahan secara keseluruhan.45 Perbedaan antara metode dan prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah nas secara keseluruhan,46 sedangkan objek prosedur penerjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil seperti klausa, frasa, kata dan sebagainya.47 Dalam Diktat Teori dan Permasalahan Terjemahan yang disususn oleh Moch. Syarif Hidayatullah, prosedur penerjemahan terbagi menjadi empat kelompok. a. Taqdim dan Ta’khir Mendahulukan kata dalam BSu yang diakhirkan dalam BSa dan mengakhirkan kata dalam BSu yang didahulukan dalam BSa.
ﺍﺝﹺﻭ ﺍﻟﺰﺩﺪﻌ ﺍﻟﺘﻼﹶﻡ ﺍﻹِﺳﺩﺪ ﺣﻗﹶﺪ 5
4
3
2
Islam telah membatasi poligami 3 1 2 45
45
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h.73. Ibid. 47 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 62. 46
1
33
b. Ziyadah Menambah unsur kalimat yang tidak terlihat dalam BSu.
ﻢﻴﻈﻞﹲ ﻋﻤﻮﺱﹺ ﻋ ﺍﻟﻘﹶﺎﻣﻊﻨﺻ 4
3
2
1
Menyusun kamus merupakan pekerjaan yang berat 1 2 h 3 h 4
c. Hadzf Tidak menerjemahkan beberapa kata dalam BSu untuk alasan kelaziman atau kelogisan kalimat.
ﻚﻤ ﺍﻟﺴﺪﻴﺼ ﻟﺪﻤ ﺃﹶﺣﺐ ﺍﻷﻳﺎﱠﻡﹺ ﺫﹶﻫﻦﻡﹴ ﻣﻮﻲ ﻳﻓ 9
87
6
5
4
3
2
1
Suatu hari, Ahmad memancing 1234 6 89
d. Tabdil Mengganti stuktur kata dalam BSu dengan memperhatikan makna dalam BSu.
ﺎﻉﺒﻻﹶ ﻳﺎﻧﺎﹰ ﻭﺠ ﻣﻉﺯﻮﻳ 543 Gratis atau tidak diperjualbelikan 2 45
2
1
34
B. Pengertian Kalimat Efektif 1. Definisi Kalimat Efektif Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan informasi secara sempurna.48 Sedangkan Arifin dan Tasai menuturkan bahwa kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis.49 Kalimat efektif haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai kalimat yang baik, stukturnya teratur, kata yang digunakan mendukung makna secara tepat dan hubungan antar bagiannya logis. Susunan kata yang tak teratur, penggunaan kata yang berlebih, penggunaan kata yang tak tepat makna, penggunaan kata yang tepat dalam kalimat, semuanya membuat kalimat tidak efektif. Secara garis besar pengertian kalimat efektif dikenal dalam hubungan fungsi kalimat selaku alat komunikasi. Hubungan itu dijabarkan dengan adanya keterlibatan setiap kalimat dalam proses penyampaian dan penerima. Apa yang disampaikan dan diterima itu mungkin berupa ide, gagasan, pesan atau informasi. Jadi, setiap kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan atau berlangsung secara sempurna, kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca),
48 Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Stuktur, dan Logika) (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 66. 49 Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademi Pressindo, 2004), h. 89-90.
35
persis seperti apa yang disampaikan pada teks atau ide dasar. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin.50 Menurut Ida Bagus dalam bukunya kalimat efektif (diksi, stuktur, dan logika), bahwa kalimat dikatakan efektif jika memenuhi dua syarat utama; yaitu (a) stuktur kalimat efektif dan (b) ciri kalimat efektif.
2. Stuktur Kalimat Efektif a. Stuktur Kalimat Umum Ida bagus menuturkan bahwa unsur-unsur yang membangun sebuah kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: unsur wajib dan unsur takwajib (unsur manasuka). Unsur wajib adalah unsur yang harus ada dalam kalimat (yaitu unsur S/subjek dan P/predikat), sedangkan unsur takwajib atau unsur manasuka adalah unsur yang boleh ada dan boleh pula tidak ada (yaitu kata kerja bantu: harus, boleh; keterangan aspek: sudah, akan; keterangan: tempat, waktu, cara dan sebagainya) unsur-unsur tersebut bisa diikhtisarkan sebagai berikut: (Aux)
(W)
K = FSb + (Asp) + FPr + (T) (Pnd)
50
Ibid., h. 90.
(C)
36
Keterangan:
K
: Kalimat
FSb
: Frasa Subjek
FPr
: Frasa Predikat = FB (Frasa Benda)
= FB (Frasa Benda)
FK (Frasa Kerja) FS (Frasa Sifat) FD (Frasa Depan) FBil (Frasa Bilangan) Aux
: Auxilary
: harus, boleh, mau;
Asp
: Aspek
: sudah, akan, sedang;
Pnd
: Pendesak : memang, tidak, hanya;
W
: Waktu
: sebelum, sesudah, ketika;
T
: Tempat
: di….., ke….., dari…..;
C
: Cara
: sebab, akibat, syarat, perlawanan, keadaan, dan lainlainnya.
Unsur-unsur yang diapit tanda kurung disebut unsur manasuka, sedangkan yang lainnya disebut unsur wajib. Untuk menyusun sebuah kalimat sempurna, unsur wajib harus ada, sedangkan unsur manasuka boleh digunakan atau tidak.51 Misalnya: Dia memang sudah harus pergi pagi ini ke kampus untuk ujian. FSb
51
Pnd
Ibid., h. 48.
Asp
Aux
FPr
W
T
C
37
Unsur wajib kalimat di atas adalah dia dan pergi. Kedua unsur wajib tersebut membentuk kalimat inti: Dia pergi. Tidak selamanya, unsur-unsur yang membangun kalimat dalam bentuk yang sederhana seperti kalimat contoh. Hal ini berarti pada hakikatnya akan sering kita jumpai bentuk kalimat yang unsurunsurnya sudah dikembangkan lebih jauh. b. Stuktur Kalimat Pararel Yang dimaksud kesejajaran (pararelisme) dalam kalimat menurut Ida Bagus adalah penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang sama yang dipakai dalam susunan serial. Jika sebuah ide dalam suatu kalimat dinyatakan dengan frasa (kelompok kata), maka ide-ide yang sederajat harus dinyatakan dengan frasa. Jika sebuah ide dalam suatu kalimat dinyatakan dengan kata benda (misalnya bentuk pe-an, ke-an), maka ide lain yang sederajat harus dengan kata benda juga. Demikian juga halnya bila sebuah ide dalam suatu kalimat dinyatakan dengan kata kerja (misalnya bentuk me-kan, di-kan), maka ide lainnya yang sederajat harus dinyatakan dengan jenis kata yang sama. Kesejajaran (pararelisme) akan membantu memberi kejelasan kalimat secara keseluruhan.52 Contoh: Penyakit Alzheimer alias pikun adalah satu segi usia tua yang paling mengerikan dan berbahaya, sebab pencegahan dan cara pengobatannya tak ada yang tau.
52
Ibid., h. 48-49.
38
Dalam kalimat tersebut, ide yang sederajat adalah kata “mengerikan dan berbahaya” dan kata “pencegahan dengan cara mengobatinya.” Oleh sebab itu, bentuk yang dipakai untuk kata-kata yang sederajat dalam kalimat tersebut harus sama (pararel) sehingga kalimat tersebut ditata kembali menjadi kalimat. Penyakit Alzheimer alias pikun adalah satu segi usia tua yang paling mengerikan dan membahayakan, sebab pencegahannya dan cara pengobatannya tak ada yang tau.
Hal serupa dapat kita lihat pada contoh berikut: Ibu meminang mesra si cilik Raminra, menyanyikan lagu, mengajak bicara, mengajak bercanda dengan senang hati.
Pada kalimat tersebut, ide-ide yang sederajat dinyatakan dalam bentuk kelompok kata (frasa). Kalimat tersebut memakai awalan medalam satuan kelompok kata (frasa), seperti pada meminang mesra, menyanyikan lagu, mengajak bicara, dan mengajak bercanda.53 Sementara itu, Sugono (2003) yang dikutif oleh Ida Bagus menyatakan, bahwa stuktur pararel dapat dilihat dari segi kesejajaran satuan dalam kalimat. Yang dimaksud dengan satuan di sini adalah satuan bahasa. Unsur pembentuk kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan sebagainnya dapat disebut satuan.54 Contoh: Saya akan mengambil roti, mentega dan kacang.
53 54
Ibid., h. 49. Ibid.
39
Kalimat tersebut terdiri atas tiga satuan fungsional, yaitu subjek, predikat, dan objek. Subjek saya terdiri atas satu satuan; predikat akan mengambil terdiri atas dua satuan; serta objek roti, mentega, dan kacang terdiri atas tiga satuan. Jika kita membicarakan tentang kesejajaran satuan dalam kalimat, yang dibahas adalah keadaan sejajar atau tidaknya satuansatuan yang membentuk kalimat, baik dari segi bentuk maupun dari segi makna. Tentu saja pengertian kesejajaran mengandaikan bahwa unsur pembentukan kalimat itu lebih dari satu. Kaitan bentuk dan makna sangatlah erat dan tidak terpisahkan, tetapi demi kemudahan pembicaraan, tulisan ini akan berbagi menurut aspek yang menonjol.55 1. Kesejajaran Bentuk Imbuhan digunakan untuk membentuk kata berperan dan menentukan kesejajaran. Berikut ini contoh yang memperhatikan ketidak sejajaran bentuk. Kegiatannya meliputi pembelian buku, membuat katalog, dan mengatur peminjaman buku.
Ketidaksejajaran itu ada pada kata pembelian (buku) yang disejajarkan
dengan
kata
membuat
(katalog)
dan
mengatur
(peminjaman buku). Agar sejajar, ketiga satuan itu dapat dijadikan nomina semua, menjadi: Kegiatannya meliputi pembelian buku, pembuatan katalog, dan pengaturan peminjaman buku.
55
Ibid., h. 50.
40
Jika dijadikan verba semua, ubahannya menjadi: Kegiatannya ialah membeli buku, membuat katalog, dan mengatur peminjaman buku. 2. Kesejajaran Makna Seperti telah dinyatakan, bentuk dan makna berkaitan erat. Keduanya dapat diumpamakan sebagai dua sisi dari kepingan uang yang sama. Berikut ini akan diuraikan makna yang terkandung dalam satuan fungsional. Satuan fungsional adalah unsur kalimat yang berkedudukan sebagai subjek, predikat, objek dan sebagainya. Status fungsi itu ditentukan oleh relasi makna antar satuan.56 Contoh: Dia berpukul-pukulan. Kalimat tersebut tidak ada kesejajaran subjek dan predikat dari segi makna. Kata berpukul-pukulan bermakna ‘saling pukul’. Hal itu berarti pelakunya harus lebih dari satu. Karena kata Dia bermakna tunggal, subjek kalimat itu harus diubah misalnya menjadi mereka, atau kalimat tersebut perlu ditambahkan keterangan komitatif (penyerta) dengan temannya, misalnya. Kalimat berikut tidak memiliki kesejajaran makna predikat dan objek. Adik memetiki setangkai bunga. Kata memetiki mempunyai makna ‘berulang-ulang’ yang tentunya tidak dapat diterapkan pada setangkai bunga. Perbaikannya dapat dilakukan dengan mengubah predikat menjadi memetik atau 56
Ibid.
41
menghilangkan satuan setangkai pada objek. Tentu saja kalimat itu bergantung pada informasi yang akan disampaikan. 3. Kesejajaran Dalam Perincian Pilihan Kadang-kadang, soal ujian dibuat bentuk pilihan ganda. Soal yang baik harus memuat perincian pilihan yang sejajar sehingga memberi peluang yang sama untuk dipilih. Berikut ini contoh perincian pilihan yang tidak sejajar.57 (1) Pemasangan telepon akan menyebabkan .... a. Melancarkan tugas b. Menambah wibawa c. Meningkatkan pengeluaran Pada contoh tersebut, jawaban yang diharapkan adalah (a), tetapi kalimat pemasangan telepon akan menyebabkan melancarkan tugas bukanlah kalimat yang baik. Pilihan (b) meskipun memang bukan jawaban yang tepat, tidak mempunyai peluang untuk dipilih karena kalimat pemasangan telepon akan menyebabkan untuk menambah wibawa bukanlah kalimat baik. Kalimat yang memuat pilihan (c) justru paling baik, tetapi pilihan itu bukan jawaban yang diharapkan. Soal (1) dapat diubah sebagai berikut: (1a) Pemasangan telepon akan meningkatkan .... a. kelancaran b. wibawa c. pengeluaran
57
Ibid., 52-53.
42
c. Stuktur Kalimat Periodik Kalau pada kalimat umum, unsur-unsur yang dikemukakan cenderung unsur intinya, tetapi pada kalimat periodik sebaliknya, yaitu unsur-unsur tambahan yang terlebih dahulu dikemukakan kemudian muncul bagian intinya. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian para pembaca atau pembicara terhadap pendengarnya. Misalnya:58 1) Oleh mahasiswa kemaren jenazah yang busuk itu dikuburkan (OK-S-P). 2) Oleh awan panas yang tersembur dari kepundan, dengan bantuan angin yang berkecepatan tinggi, hutan lindung di lereng bukit itu terbakar habis (O-K-S-P) 3) Kemaren rombongan mahasiswa PKL UIN disambut oleh mahasiswa jurusan kedokteran UI (K-S-P-O).
3. Ciri-ciri Kalimat Efektif a. Mengandung Kesatuan Gagasan Untuk menjaga kesatuan gagasan penerjemah harus selalu mengupanyakan berbagai hal, diantaranya adalah: 1) Subjek/predikat kalimat jelas (Menghindari pemakaian kata depan di, dalam, bagi, untuk, pada, sebagai, tentang, mengenai, menurut)
58
Ibid., h. 53-54.
43
Kalimat di bawah ini tidak efektif karena ada kata berlebih yang menggunakan subjek, misalnya: Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah59 Penggunaan kata depan ’bagi’ dalam kalimat di atas, membuat kalimat itu tidak efektif karena tidak jelas lagi mana subjek kalimat jika dilihat dari segi predikatnya. Jadi kata ’bagi’ tidak perlu digunakan dalam kalimat tersebut. Penghilangan kata ’bagi’ dalam kalimat di atas tidak akan mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Jadi, kalimat tersebut dapat diganti sebagai berikut: Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah 2) Tidak terdapat subjek yang ganda Soal itu saya kurang jelas (salah) Soal itu kurang jelas (benar) 3) Kata penghubung intra kalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal. Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama. (salah) 4) Predikat kalimat tidak didahului oleh yang. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu. (salah)
59
Ibid.
44
b. Kepararelan Paralisme (kesejajaran) ialah penggunaan bentuk gramatikal yang sama untuk unsur-unsur yang sama fungsinya. Jika satu gagasan dinyatakan dengan kata kerja bentuk ’me-’60 dan sebagainya, maka gagasan lain yang sejajar harus dinyatakan pula dengan kata kerja bentuk ’me’ seperti kalimat terjemahan berikut ini:
ﺍﺄﻛﹸﻠﹸﻮﻻﹶ ﺗﺐﹺ ﻭﺚﹶ ﺑﹺﺎﻟﻄﱢﻴﺍ ﺍﳋﹶﺒﹺﻴﻟﹸﻮﺪﺒﺘﻻﹶ ﺗ ﻭﻢﺍﻟﹶﻬﻮﻰ ﺃﹶﻣﺎﻣﺘﺍ ﺍﻟﻴﻮﺁﺗﻭ ﻜﹸﻢﺍﻟﻮ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﻣﻢﺍﻟﹶﻬﻮﺃﹶﻣ ”Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartanya.”
c. Ketegasan (Penekanan ide pokok kalimat) 1) Diletakan di depan kalimat Mahasiswa itu ingin pergi ke kampus. 2) Membuat urutan bertahap Bukan seratus, seribu, sejuta, tapi milyaran rupiah telah disumbangkan. 3) Melakukan repitisi Saya suka akan kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka.
60
Ibid., h. 136.
45
4) Melakukan pertentangan Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan pintar. 5) Menggunakan partikel penegas Saudaralah yang bertanggung jawab. d. Kehematan 1) Tidak mengulang subjek Karena ia tidak diundang, ia tidak datang ke tempat itu. 2) Tidak mengulang subordinat pada hiponim Ia memakai baju warna merah 3) Tidak mengulang sinonim Sejak dari pagi ia berenang 4) Tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak Para tamu-tamu sudah datang e. Kecermatan (Tidak menimbulkan tafsir ganda) Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu sedang berdemontrasi f. Kepaduan 1) Bertele-tele 2) Memperhatikan stuktur aspek + agen + verba Surat itu saya sudah baca (salah) 3) Kalimat yang menghindari kata-kata seperti daripada dan tentang Dia membahas tentang perpajakan (salah)
46
4) Kelogisan (ide kalimat dapat diterima oleh akal dan ejaan sesuai dengan yang berlaku) Waktu dan tempat kami persilahkan (salah)
g. Kalimat Baku Kalimat adalah gugusan yang berstuktur atau bersistem yang mampu menimbulkan makna sempurna. Makna sempurna adalah makna yang dapat diterima oleh orang lain sesuai dengan maksud yang dimiliki pembuat kalimat.61 Kalimat baku adalah kalimat yang mengikuti kaidah/ragam bahasa yang telah ditentukan atau dilazimkan. Kalimat tidak baku adalah kalimat yang dari segi bentuknya tidak memenuhi persyaratan sebuah kalimat, sedangkan dari segi isinya tidak mampu menjadi sarana komunikasi yang sempurna. Kalimat yang tidak baku dapat saja berupa kalimat yang tidak efektif, tidak normatif, dan tidak logis. Dikatakan tidak efektif apabila kalimat itu tidak memberikan pengertian kepada pembaca sesuai dengan maksud penulis dan penutur. Kalimat tidak normatif adalah kalimat yang tidak memenuhi norma-norma pembuat kalimat, misalnya unsur minimal tidak terpenuhi. Sedangkan kalimat yang tidak logis adalah kalimat yang hubungan antar makna gramatikal dan makna leksikal tidak logis.62
61
Kusno Budi Santoso, Problematika Bahasa Indonesia: Sebuah Analisis Praktik Bahasa Baku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 128. 62 Ibid.
47
(1) Buku itu diberi ke saya. (2) Buku itu diberikan kepada saya. Kalimat (1) tidak baku karena diberi dan ke tidak lengkap, sedangkan kalimat (2) adalah bentuk yang baku karena kata diberikan dan kepada stuktur dan ejaannya sudah lengkap.
48
BAB III M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL MISBAH A. Biografi Singkat dan Perjalanan Karier M. Quraish Shihab Pada saat ini, bisa dikatakan cendikiawan muslim yang sangat mendalam ilmunya dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an (Tafsir) di Indonesia adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Dengan kedalaman, keluasan, dan ketinggian ilmunya di bidang Tafsir al-Qur’an telah mengangkat namanya menjadi salah satu ikon gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Apalagi pendapat atau pandangan-pandangan keagamaan beliau yang moderat, menyebabkan beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan, Shihab menjabat posisi penting dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan (akademis) sampai politik, dari non formal sampai formal. Walaupun tidak bisa dinafikan masih ada beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan pendapat-pendapatnya. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944.63 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Sosok Quraish Shihab berperawakan tegap dan kharismatik dengan tinggi 172 cm, berat 69, warna rambut hitam, muka lonjong, dan kulit berwarna putih.64 Kini Beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) dan Guru Besar sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) 63
Lihat M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005) 64 Kusmana, “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: IAIN Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 245.
49
Jakarta.65 Beliau adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab. Sekarang beliau bersama istri bernama Fatmawati telah dianugerahi lima orang anak, yaitu, Najla, Najwa, Naswa, Ahmad, dan Nahla. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang guru besar dalam bidang Tafsir.66 Abdurrahman seringkali mengajak Quraish Shihab bersama saudaranya yang lain untuk duduk bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai bersemi cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap studi al-Qur’an.67 Pengkajian terhadap al-Qur’an dan Tafsirnya, kemudian lebih beliau dalami di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya yaitu SD dan SLTP di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di Malang (1956-1958) sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadist al-Faqihiyyah, Malang.68 Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan pendidikan dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadist Universitas Al-Azhar.69 Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi
65
Shihab, Logika Agama; Batas-batas Akal dan kedudukan Wahyu dalam Islam. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 2001), Cet. KeXXII,h.14. 67 Ibid., h. 14. 68 http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 2008 69 Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 15. 66
50
bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul Al-I’jaz al-Tasyri’iy li al-Qur’an al-Karim.70 Dengan rasa suka cita Shihab kembali ke Ujung Pandang,
71
dengan
membawa gelar megisternya. Rasa rindu yang sudah lama dipendamnya untuk bersua dan berbakti kepada ayah bunda, bercengkraman ria dengan saudara-saudaranya dan berkasihsayang dengan segenap handai taulan di kampung halamannya, dengan ini dapat terobati.72 Di Ujung Pandang beliau dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain menjabat jabatan tersebut, beliau juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, beliau juga sempat melakukan berbagai penelitian. Penelitian tersebut antara lain, penelitian dengan tema ”Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan ”Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).73 Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamater yang lama, yaitu Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa’iy, Tahqiq wa 70
http://media.isnet.org/islan/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 2008 Ujung Pandang adalah nama lain untuk Makasar dan dipakai kira-kira tahun 1950-an sampai tahun 2000. Alasan mengganti nama Makasar menjadi Ujung Pandang adalah alasan politik. Antara lain karena Makasar adalah nama sebuah suku bangsa padahal tidak semua penduduk kota Makasar adalah anggota dari etnik Makasar. 72 Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 14. 73 http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 2008. 71
51
Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam meraih ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-’ula).74
Yang artinya dengan pujian tingkat
pertama. Beliau merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor di bidang ilmu Tafsir. Sementara dalam lingkup keluarganya merupakan doktor keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri.75 Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan pada tahun 1992-1998 beliau diangkat menjadi Rektor pada Universitas tersebut. Selain itu, di luar kampus, beliau juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1984), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Selain jabatan-jabatan dalam bidang akademis (pendidikan) tersebut, Quraish Shihab juga pernah menduduki jabatan politik. Antara lain tahun 1998, beliau dipercayakan untuk menduduki jabatan Menteri Agama dalam kabinet Pembangunan VII. Setelah itu beliau diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Mesir, Jibouti, Somalia. Pada tahun 1995-1999 beliau dipilih sebagai Anggota Dewan Riset Nasional. Dari tahun 1989 sampai sekarang beliau
74 75
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Quraish/html diakses pada tanggal 1 Juni 2008 Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 2.
52
diangkat sebagai Anggota Dewan Pentashih al-Qur’an Departemen Agama RI. Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional. Antara
lain:
Pengurus
Perhimpunan
Ilmu-ilmu
Syari’ah,
Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di sela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya dan pasti semua orang tahu, Quraish Shihab adalah salah seorang yang aktif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar Pelita, beliau pernah mengasuh rubrik “Pelita Hati” setiap hari Rabu. Dia juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Lalu mengasuh rubrik “Quraish Shihab Menjawab” di harian Republika. Selain itu, dia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Quraish Shihab juga sering muncul di layar televisi untuk mengisi acara- acara yang terkait dengan dakwah Islam. Pada tahun 1996, beliau mengisi acara bertajuk ‘Sahur Bersama Quraish Shihab’ di layar televisi RCTI. Selama sebulan penuh setiap menjelang sahur beliau menguraikan hikmah-hikmah puasa dan bulan Ramadhan serta berbagai masalah keagamaan lainnya, melalui tanya jawab yang dipandu oleh Dr. Arief Rahman. Hasil ceramah dan dialog selama sebulan itu kemudian diterbitkan
53
oleh penerbit Mizan menjadi buku yang sangat laris dengan judul yang sama: Sahur Bersama Quraish Shihab. Saat ini pun Quraish Shihab masih mengasuh acara keagamaan di layar MetroTV.
B. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah Pada akhir dari “sekapur sirih” M. Quraish Shihab yang terdapat pada setiap volume, tercantum keterangan bahwa awal penulisan Tafsir al-Misbah ini bertempat di Kairo, Mesir pada hari jumat. 4 Rabiul Awal 1420 H, bertepatan dengan tanggal 18 Juni 1999 M dan kemudian untuk pertama kalinya pada bulan Sya’ban 1421 H, bertepatan pada bulan November 2000 M, oleh penerbit Lentera Hati di Jakarta. Latar belakang penulisan Tafsir al-Misbah ini didasarkan pada keinginan Quraish melayani semua masyarakat pembacanya yang ingin memahami al-Qur’an. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, beliau ingin bahwa al-Qur’an menjadi hudan (petunjuk) yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh semua kalangan masyarakat Islam. Di samping karena memang usaha menafsirkan al-Qur’an adalah usaha yang sangat mulia sekaligus merupakan kewajiban para ulama yang punya kemampuan di bidang itu untuk menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan harapan dan kebutuhan. Penamaan al-Misbah pada kitab tafsirnya ini tentunya tidaklah tanpa alasan. Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Awar, MA, alasan pemilihan nama
54
al-Misbah ini paling tidak mencakup dua hal
76
, yaitu: pertama pemilihan
nama itu didasarkan pada fungsinya. al-Misbah artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Menurut Hamdan, dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup. Kedua pemilihan nama al-Misbah ini berasal dari kumpulan tulisan pada rubrik “Pelita Hati” yang diterbitkan dengan judul “Lentera Hati”. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab, lentera, pelita, atau lampu itu disebut Misbah, dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya pun menggunakan nama serupa yaitu Lentera Hati.
C. Karya-karya Ilmiah M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab adalah termasuk seorang tokoh muslim kontemporer Indonesia yang produktif. Dalam waktu yang sangat relatif singkat beliau mampu menghasilkan karya yang sangat banyak dan cukup bercorak, sesuatu yang luar biasa. Karya itu sangat populer dan bisa diterima di berbagai kalangan, bahkan sangat dinanti-nanti oleh masyarakat. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan, jurnal-jurnal ilmiah, dan kontribusi bagi majalah maupun koran, hingga kini M.Quraish
76
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya,Vol.XXX,No. 2, 1. h. 176-177.
55
Shihab telah banyak mempublikasikan banyak buku. Diantara karyanya yang bisa penulis sebutkan adalah: 1.
Tafsir Al-Manar: keistimewaan dan kelemahannya, (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1948),
2.
Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987),
3.
Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah), (Jakarta: Untagma, 1988),
4.
Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), buku ini merupakan salah satu best seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
5.
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994),
6.
Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996),
7.
Untaian Permata Buat Anakku, (Bandung: Mizan, 1998),
8.
Mukjizat Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998),
9.
Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998),
10. Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan & Malaikat, (Jakarta: Lentera Hati, 1999), 11. Pengantin Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 1999), 12. Haji Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999), 13. Sahur Bersama Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999), 14. Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa), 15. Puasa Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa), 16. Fatwa-fatwa, (Bandung: Mizan, 1999), 4 jilid. 17. Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 1999),
56
18. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 19. Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 15 jilid. Tafsir ini adalah Tafsir yang penulis analisis, khususnya ayat-ayat tentang hukum waris. 20. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 21. Dia Di Mana-mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap fenomena, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), dan 22. Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
57
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT HUKUM WARIS A. Analisis Metode Terjemahan M. Quraish Shihab Menerjemahkan berarti berkomunikasi, maksudnya apa yang kita terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang akan membaca hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau para pembaca dapat mengerti dan menikmati hasil terjemahan itu, tanpa merasa bahwa karya tersebut sebenarnya adalah hasil terjemahan. Untuk menghasilkan terjemahan yang demikian itu tidak mudah. Ada empat unsur yang terlibat dalam proses terjemahan, yaitu: unsur isi, unsur pembaca, situasi dan kondisi pada saat berita atau massage itu diterima. Setiap penerjemah perlu mempertimbangkan gaya bahasa dalam konteks penerjemahannya. Namun dalam penerjemahan buku-buku ilmiah, biasanya para penerjemah tidak terlalu menghadapi kesulitan, sebab gaya bahasa yang dipergunakan pengarang sumbernya formal dan informtif, sehingga informasi yang terkandung dalam buku itu dapat mudah dialihkan. Sementara penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia telah banyak kita ketahui. Dengan banyaknya terjemahan yang kita ketahui, tidaklah serta merta terjemahna itu kita terima begitu saja, tanpa mengoreksi dan menganalisisnya. Pada Bab ini penulis akan menganalisis metode penerjemahan ayat-ayat hukum waris yang terdapat pada Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab mengacu pada dua penekanan pemilihan bahasa,
58
yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Artinya analisis yang akan penulis lakukan terhadap ayat-ayat hukum waris ini akan bersandar kepada kedua penekanan tersebut, berdasarkan metode terjemah yang telah penulis paparkan pada Bab II. Adapun yang menjadi analisis metode terjemahan adalah yang terdapat dalam surah an-Nisa’. Analisis akan dilakukan dengan cara menyertakan teks asli dan teks terjemahannya sesuai yang tertulis pada Tafsir al-Misbah, tanpa adanya pengurangan atau pembetulan stuktur formal bahasa. Hal ini bertujuan agar dapat
diketahui
dengan
jelas
analisis
yang akan
dilakukan
pada
Tafsir al-Misbah tersebut. Ayat-ayat tersebut yaitu: Ayat pertama adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]: 7:
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan para kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”77 Pada ayat pertama ini terjemahan Shihab termasuk terjemahan yang dikategorikan terjemahan yang baik. hal ini dikarenakan pesan yang disampaikan oleh teks asli bisa dipahami dengan mudah ketika membaca teks terjemahan. Namun untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Quraish
77
M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta:Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h. 335.
59
Shihab dalam menerjemahkan ayat ini, maka akan digunakan dua orientasi teks yaitu teks sumber dan teks sasaran. Berdasarkan analisis penulis, terjemahan ayat pertama ini berorientasi pada teks sumber, maka terjemahan ayat ini penulis kategorikan sebagai penerjemahan setia. Ini dapat dilihat dari terjemahan di atas merupakan terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, dan bentuk kalimat yang diterjemahkan apa adanya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah hasil terjemahannya menjadi saklek karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan analisis ayat pertama ini bisa dilihat bahwa metode penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah metode penerjemahan setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat pertama ini lebih menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks bahasa sasaran. Ayat kedua adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:8:
”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.78
78
Ibid., h. 336.
60
Pada ayat ini penerjemah masih menekankan terjemahan pada teks sumber. Penerjemah berhasil menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber tanpa harus mengabaikan teks sumber. Penulis berpendapat terjemahan pada ayat ini masih memakai metode penerjemahan setia, karena masih berpegang teguh pada stuktur bahasa sumber walaupun tidak seketat pada penerjemahna harfiah. Jika kita perhatikan dari semua bahasa yang terdapat dalam konteks bahasa sumber di atas, penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam penerjemahannya, meskipun terdapat penyesuian makna dalam bahasa sasaran.
Ayat ketiga adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:11:
“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masingmasing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan ia
61
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat atau hutangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.79
Jika dilihat dari keseluruhan pada ayat ini, terjemahan ayat di atas, masih berorientasi pada teks sumber. Penerjemah masih menggunakan metode penerjemahan setia dengan mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh stuktur gramatikal.
Ayat keempat adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:12:
”Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisteri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isteri kamu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan sesudah wasiat yang mereka wasiatkan atau (dan) hutang. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
79
Ibid., h. 342.
62
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah (dibayarkan) hutang kamu. Jika seseorang lelaki mati, tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atau perempuan tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenah harta. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, dengan tidak memberi mudharat. (Itulah) wasiat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.80 Metode yang digunakan pada terjemahan ayat di atas, adalah metode penerjemahan setia. Kalimat tersebut diterjemahkan apa adanya oleh penerjemah.
Penerjemah
telah
mencantumkan
makna
asli
dalam
terjemahannya, meskipun terdapat penyesuaian dalam bahasa sasaran. Hal ini dilakukan agar terjemahan terasa lebih enak dibaca dalam bahasa sasaran. Ayat kelima adalah firman Allah dalam surah an-Nisa [4 ]:33:
”Bagi setiap (harta peninggalan) yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagian mereka. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”81 Terjemahan di atas merupakan ragam terjemahan setia. Masih berpegang teguh pada maksud dan tujuan teks sumber sehingga agak kaku dan terasa asing, dan tidak berkompromi dengan teks sasaran. Terlihat juga masih mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh stuktur gramatikalnya.
80
Ibid., h. 347. M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah;Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta:Lentera Hati, 2007), Cet. X, h. 420. 81
63
Ayat keenam adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakainya, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”82
Pada ayat ini penerjemah masih tetap menggunakan metode penerjemahan setia. Jika diperhatikan dalam semua kata yang ada dalam konteks bahasa sumber tersebut, penerjemah telah mencantumkan bahasa asli dalam penerjemahannya, meski terdapat penyesuaian kata dalam bahasa sasaran. Berdasarkan analisis dari keenam ayat hukum waris tersebut, bisa dilihat bahwa metode penerjemahan yang digunakan oleh Shihab adalah metode penerjemahan setia. Artinya Shihab dalam menerjemahkan ayat-ayat hukum waris lebih menekankan kepada teks bahasa sumber bukan teks bahasa sasaran. Terjemahan setia diperlukan untuk menjaga keutuhan makna
82
Ibid., h. 683.
64
bahasa asli. Dengan alasan yang mendasar inilah penerjemah menerjemahkan dengan metode tersebut. Dari semua uraian di atas tentang terjemahan ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum waris dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab terlihat jelas bahwa setiap huruf atau kata yang terdapat dalam bahasa sumber tidaklah harus diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa sasaran. Karena huruf atau kata itu harus dilihat terlebih dahulu apakah dapat diterjemahkan sesuai dengan isi dari bahasa sumber dan untuk menghindari kalimat-kalimat kaku atau tidak enak dibaca. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap makna yang terdapat dalam bahasa sumber harus relevan dalam peletakannya pada bahasa sasaran. Tetapi yang terpenting adalah isi atau pesan dalam bahasa sumber tidak melenceng dalam penerjemahan ke dalam bahasa sasaran.
B. Analisis Gramatikal Terjemahan M. Quraish Shihab Seorang penerjemah adalah seorang penulis. Tentu saja, ia bukan pengarang bukunya sendiri. Gagasan-gagasan yang ada dalam terjemah tetap merupakan gagasan-gagasan pengarang. Meskipun dia menulis gagasan pengarang itu, dan dia ingin menyampaikan gagasan pengarang seefektif mungkin. Oleh karena itu, penerjemah harus mampu menyusun kalimatkalimat yang efektif dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) yang dipakainya, sesuai dengan kalimat efektif. Dari
sini
penulis
akan
mencoba
menganalisis
terjemahan
M. Quraish Shihab pada bukunya Tafsir al- Misbah yang sangat terkenal dan merupakan karya terbesar. Penulis akan menganalisis terjemahan tersebut
65
secara gramatikal khususnya yang berhubungan dengan kalimat efektif, dan kalimat efektif ini pembahasannya sangat luas dan banyak, maka penulis akan membatasi pada: 1. Kesalahan penggunaan kata depan dan kata sambung 2. Kesalahan penggunaan kata ganti dalam kalimat 3. Kesalahan ejaan 4. Pengulangan kata yang tidak perlu Seperti pada analisis sebelumnya, penulis akan menampilkan terlebih dahulu teks Bsu kemudian teks Bsa. Ayat pertama adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]: 7:
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan para kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”83 Dalam menerjemahkan teks tersebut penerjemah tidak begitu saja menerjmahkan. Ia juga memberikan beberapa penjelasan yang berkaitan dengan term yang Ia terjemahkan. Kata rijal yang diterjemahkan ’lelaki’, dan nisa’ yang diterjemahkan ’perempuan’, menurut Shihab ada yang memahaminya dalam arti mereka yang dewasa, dan ada pula yang memahaminya mencakup dewasa dan anakanak. Menurut Shihab pendapat kedua ini lebih tepat apabila dikaitkan
83
Ibid., h. 335.
66
dengan sebab nuzul ayat ini. Menurut salah satu riwayat, bahwa seorang wanita bernama Ummu Kuhah yang dikaruniai dua orang anak perempuan hasil perkawinannya dengan Aus ibn Tsabit yang gugur dalam perang Uhud. Ummu Kuhhah datang kepada Rasulullah saw. mengadukan paman putri itu yang mengambil semua peninggalan Aus, tidak menyisakan sedikitpun untuknya dan kedua anaknya. Maka Rasulullah menyuruh mereka menanti, dan tidak lama kemudian maka turunlah ayat ini dan ayat kewarisan lainnya. Jika dilihat dari keefektifan bahasa maka pada ayat pertama ini, belum memenuhi keefektipan bahasa hal ini disebabkan karena, penerjemah masih menggunakan kata depan ’bagi’ di depan subjek. Jika ingin mencapai kalimat yang efektif maka kalimat tersebut harus menghindari pemakaian kata depan di, dalam, bagi, untuk, pada, sebagai, tentang, mengenai, menurut, dan sebagainya di depan subjek. Penggunaan kata depan ’bagi’ dalam kalimat di atas, membuat kalimat itu tidak efektif karena tidak jelas lagi mana subjek kalimat jika dilihat dari segi predikatnya. Jadi kata ’bagi’ tidak perlu digunakan dalam kalimat tersebut. Penghilangan kata ’bagi’ dalam kalimat di atas tidak akan mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Menurut hemat penulis penerjemahan yang efektif akan menjadi: Laki-laki memperoleh bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan para kerabat. Terjemahan di atas masih terdapat kata yang tidak baku, yaitu pada kata ’bapa’ karena dalam KBBI kata yang baku adalah ’bapak’.
67
Penempatan kata ’dan’ pada kalimat ”...dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan para kerabat....”, adalah pemborosan kata. Penempatan ’dan’ pada kalimat tersebut bisa diganti dengan tanda baca koma (,). Kata mafrudhan yang terambil dari kata faradha yang berarti ’wajib’. Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah swt. Sedangkan kata wajib tidak harus bersumber dari yang tinggi, karena bisa saja seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya. Dengan demikian, hak warisan yang ditentukan itu bersumber dari Allah swt. Dan jika demikian tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya.84 Ayat kedua adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:8:
”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”85 Jika kita perhatikan dari semua bahasa yang terdapat dalam konteks bahasa sumber di atas, penerjemah telah mencantumkan makna asli dalam penerjemahannya, meskipun terdapat penyesuian makna dalam bahasa sasaran.
84
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 336. 85 Ibid., h. 336.
68
Pada terjemahan ayat di atas, penulis menemukan terjemahan ’waw’ yang kurang tepat cara pemakaiannya atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang disempurnakan. Huruf ’waw’ pada ayat di atas adalah ’waw’ ibtida, (yaitu huruf pembuka kalimat). Huruf ini berpadanan dengan kata ’dan’, dalam bahasa Indonesia. Kata ’dan’ disebut sebagai konjungtor. Menurut kaidah bahasa Indonesia yang disempurnakan penggunaan konjungtor ’dan’ tidak boleh di awal kalimat. Konjungtor
adalah
kata
atau
gabungan
kata
yang
berfungsi
menghubungkan bagian-bagian ujaran yang mungkin berupa kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan kalimat. Dalam bahasa Arab, konjungtor termasuk ke dalam kategori partikel (huruf), yang dapat digunakan untuk mengkoordinasikan mufrad (kata atau frasa) dengan mufrad, klausa dengan klausa, dan kalimat dengan kalimat. Konstituen yang terletak sebelum kata penghubung disebut dengan ma’tuf alaih atau konjungta I, dan yang terletak sesudahnya disebut ma’tuf atau konjungta II. Konjungtor tidak termasuk dalam klausa manapun, tetapi merupakan konstituensi sendiri. Selain itu, menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, apabila suatu kalimat sudah diakhiri oleh titik (.) maka kalimat selanjutnya baru. Pada analisis di atas, maka terlihat bahwa terjemahan tersebut telah mengikuti terjemahan leksikal dan gramatikal secara umum, meskipun dalam teks terjemahan terdapat penambahan dan pengurangan.
69
Perlu diketahui bahwa tidak semua huruf atau kata dalam bahasa sumber harus diterjemahkan secara keseluruhan dalam bahasa sasaran. Penerjemah
boleh
memodifikasi
terjemahan
dengan
tujuan
untuk
menghasilkan terjemahan yang enak dibaca dengan syarat pesan yang ada dalam teks sumber tersampaikan dengan baik kepada pembacanya. Ayat ketiga adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:11:
“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masingmasing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat atau hutangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”86
86
Ibid., h. 342.
70
Pada ayat 11 surah an-Nisa’ kata ْ ﻛ ُ ﻢditerjemahkan ’kamu’ padahal kata tersebut mengacu pada orang kedua jamak. Seharusnya diterjemahkan dengan kata ’kalian’. Sehingga terjemahan tersebut menjadi “Allah mewasiatkan kalian untuk anak-anak kalian. Kata ْ قﻮ َ َ ﻓditerjemahkan dengan kata ’lebih’ meskipun arti kata itu sendiri adalah ’di atas’. Sehingga kata tersebut dengan diterjemahkan ’lebih’ pesan yang terkandung dalam teks sasaran tersampaikan dengan baik. Dibanding jika disampaikan atau diterjemahkan dengan terjemahan aslinya. Kata dzakar yang diterjemahkan di atas dengan ’anak lelaki’, dan bukan rajul yang berarti ’lelaki’ untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor penghalang bagi penerima warisan, karena kata dzakar dari segi bahasa berarti ’jantan’, lelaki baik kecil maupun besar, binatang maupun manusia. Sedangkan kata rajul adalah ’pria dewasa’. Demikian juga halnya dengan kata untsayain yang diterjemahkan ’dua anak perempuan’. Bentuk tunggalnya adalah untsa yang berarti ’perempuan’, baik besar atapun kecil. Ayat keempat adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:12:
71
”Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisteri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isteri kamu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan sesudah wasiat yang mereka wasiatkan atau (dan) hutang. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah (dibayarkan) hutang kamu. Jika seseorang lelaki mati, tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, atau perempuan tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenah harta. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, dengan tidak memberi mudharat. (Itulah) wasiat dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”87
Pada teks terjemahan ayat 12 surah an-Nisa’ ini terdapat beberapa kata yang tidak baku, diantaranya adalah kata ’isteri’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata yang benar adalah ’istri’. Kemudian pada penulisan pronomina ’kamu’ masih belum baku, seperti frasa ’bagi kamu’ menurut penulis frasa yang tepat adalah ’bagimu’. Karena jika kata ’bagi’ dilebur dengan kata ’kamu’ maka secara morfosintaksis, suku kata ’ka’ akan melesup sehingga menjadi ’bagimu’. Kemudian penggunaan kata ’mati’ pada klausa ’jika seorang laki-laki mati’ menurut hemat penulis kurang tepat, karena terjadi pergeseran makna menjadi konotatif (negatif), kata yang bermakna positif adalah kata ’meninggal dunia’.
87
Ibid., H. 347.
72
Penerjemah juga masih menggunakan konjungtor ’dan’, di awal kalimat. Masih menggunakan kata ’bagi’ di depan subjek. Maka menurut hemat penulis terjemahan ayat al-Qur’an tersebut akan lebih efektif jika menjadi ’Kamu (suami) memperoleh seperdua dari harta yang ditinggalkan. Ada penambahan kata ’suami’ tetapi tidak merubah pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber. Ayat kelima adalah firman Allah dalam surah an-Nisa [4 ]:33:
”Bagi setiap (harta peninggalan) yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagian mereka. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”88 Pada terjemahan ayat ke 33 surah an-Nisa di atas masih terjadi ketidak teraruran stuktur SPOK pada kalimat ’Bagi setiap (harta peninggalan) yang ditinggalkan ibu bapa dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya’ karena masih terpengaruh dengan stuktur tata gramatikal teks sumber. Menurut hemat penulis kalimat yang lazim adalah ’Kami jadikan pewaris untuk setiap harta peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat.’ Kemudian terjadi redudansi pada klausa berikut ini ’Maka berilah mereka bagian mereka’ unsur segmental pada klausa itu terkesan berlebih-
88
Ibid., h. 420.
73
lebihan. Tepatnya pada pronomina ’mereka’ menurut penulis klausa yang lazim adalah ’maka berikanlah kepada mereka bagiannya.’ Ayat keenam adalah firman Allah dalam surah an-Nisa’ [4 ]:176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakainya, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Terjemahan ayat 176, ayat terakhir dari surah an-Nisa’ ini,
secara
umum belum bisa dikatakan sebagai kalimat efektif. Hal ini dikarenakan masih terdapat kalimat yang diawali dengan konjungtor ’dan’. Kemudian penulisan yang tidak sesuai dengan EYD dan KBBI, yaitu kata-kata yang tidak baku seperti kata ’bahagian’ karena dalam KBBI kata yang baku adalah ’bagian’ bukan ’bahagian’. Kemudian masih ada penulisan kata ganti (pronomina) yang kurang efektif seperti ”kepada kamu” yang selazimnya adalah ”kepadamu.”
74
C. Keunggulan dan Kelemahan Terjemahan M. Quraish Shihab Setiap terjemahan, baik itu terjemahan tulisan ataupun terjemahan lisan pasti memiliki keunggulan dan kelemahan. Berdasarkan hasil terjemahan yang telah dilakukan oleh M. Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Misbah, maka penulis
menarik
kesimpulan bahwa hasil terjemahan
dalam
Tafsir al-Misbah mempunyai beberapa keunggulan dan kekurangan. Tanpa bermaksud membenarkan atau menyalahkan terjemahan ini, akan tetapi penulis mencoba memaparkan data yang menurut penulis bisa dijadikan perbandingan atau studi atas karya M. Quraish Shihab. Terlepas dari subjektifitas penulis, penulis akan mencoba menganalisis keunggulan apa saja yang terdapat pada karya terbesar M. Quraish Shihab ini, sekaligus juga kekurangan-kekurangannya dapat disebutkan dengan pisau Analisis Kaidah Bahasa Indonesia. Diantara keunggulan-keunggulan terjemahan dalam Tafsir al-Misbah: 1. Bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. 2. Baik segi bentuk maupun stuktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. 3. Ingin mencoba memberikan penerjemahan yang terbilang setia pada teks sumber. 4. Ketepatan dalam pemilihan diksi. Kata al-waalidaan yang diterjemahkan ’ibu-bapak’ pemilihan diksinya sangat tepat, penerjemah tidak menerjemahkannya dengan kata ’kedua orang
75
tua’. Dalam hukum waris masing-masing mempunyai harta peninggalan untuk ahli warisnya, baik itu ibu ataupun bapak. Adapun diantara kelemahan-kelemahan terjemahan Tafsir al-Misbah adalah: 1. Masih banyak ditemukan kata ’bagi’ di depan subjek.
”Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, dan bagi wanita ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan para kerabat, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”89
Terjemahan pada ayat di atas sudah dapat dipahami oleh pembaca. Akan tetapi tidak memenuhi kriteria kalimat efektif. Hal ini disebabkan masih diletakan kata depan ’bagi’ di depan subjek. Semestinya terjemahan ayat tersebut langsung menerapkan subjek pada awal kalimat. Sehingga kalimat tidak akan menjadi rancu jika dibaca. Subjek dan predikatnya menjadi jelas. Maka hemat penulis terjemahan tersebut menjadi: Laki-laki memperoleh bagian dari harta peninggalan ibu-bapak. S
P
O
Keterangan Objek (KO)
2. Masih terdapat kata yang tidak baku. Terlihat pada ayat ketujuh surah an-Nisa’. Kata al-waalidaan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi ’ibu-bapa’. Kata ’bapa’
89
Ibid., h. 336.
76
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidaklah benar atau bukan termasuk kata baku. Semestinya ’bapa’ ditulis dengan ’bapak’.
NO. Bentuk Tidak Baku 1 Isteri 2 Bahagian 3 Bapa
Bentuk Baku Istri Bagian Bapak
3. Masih menggunakan konjungtor ’dan’ di awal kalimat. Pada surah an-Nisa’:11.
....
...
...Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan....90 Pada surah an-Nisa’:12. .... ” Dan bagi kamu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisteri kamu, ....”91
4. Masih terdapat pengulangan kata yang menyebabkan pemborosan kata. Terdapat pada surah an-Nisa’: 33. ....
...
”…Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagian mereka....”92
90
Ibid., h. 342. Ibid., h. 347. 92 Ibid., h. 420. 91
77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil kajian dan pembahasan terhadap judul skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah oleh M. Quraish Shihab menggunakan metode penerjemahan setia. Ini berarti dalam penerjemahan tersebut berorientasi pada teks sumber. 2. Terjemahan ayat-ayat hukum waris dalam Tafsir al-Misbah telah menggunakan tolak ukur bahasa Indonesia yang memadai; karena: Bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dimengerti.Baik segi bentuk maupun stuktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Ingin mencoba memberikan penerjemahan yang terbilang setia pada teks sumber. Ketepatan pemilihan diksi. Akan
tetapi
penulis
menemukan
beberapa
kelemahan
dari
penerjemahan tersebut yaitu: 1. Masih banyak ditemukan kalimat-kalimat yang kurang efektif. 2. Masih
terdapat
pengulangan
kata
yang
menyebabkan
terjadinya
pemborosan kata. 3. Masih terdapat kata yang tidak baku. 4. Masih terdapat konjungtor di awal kalimat. 5. Masih adanya pronomina (kata ganti) yang tidak tepat penempatannya.
78
Kita tahu bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna, bahkan Nabi sekalipun yang notabenenya diutus sebagai contoh bagi umat manusia masih bisa melakukan kesalahan, karena itulah kita sebagai manusia biasa yang masih
biasa
melakukan
kesalahan-kesalahan
harus
menghargai
dan
menghormati karya-karya orang lain walaupun dalam karya tersebut masih ada kekeliruan.
B. Rekomendasi Penelitian yang penulis lakukan ini masih perlu diperbaiki dan bukanlah merupakan akhir dari pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini. Namun, penulis berharap akan ada peneliti berikutnya yang berkaitan dengan ayat-ayat waris, karena penulis sangat menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan yang belum dikaji dalam ayat-ayat waris, sehingga dapat menambah khazanah keilmuan khususnya bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Tak pelak lagi, pengetahuan tentang bahasa Arab dan bahasa Indonesia menjadi persyaratan penting bagi para penerjemah dalam menerjemahkan kedua bahasa tersebut, sehingga bahasa sumber dapat dicerna pada bahasa sasaran. Oleh karena itu, seorang penerjemah dalam menerjemahkan teks-teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dituntut sedapat mungkin menyusun kata-kata yang dapat dipahami pembaca dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada pada kedua bahasa tersebut. Sehingga ketika membaca karya terjemahannya, seolah-olah membaca karya asli penulis.
79
DAFTAR PUSTAKA Ali, Atabik. Kamus Kontemporer. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996. Anwar, Hamdani. Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya. Vol. XXX, No. 2. Arifin, Zaenal dan Tasai, S. Amran. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademi Pressindo, 2004. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Hanafi, Nurachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Ende: Nusa Indah, 1986. Kusmana. “Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab: Membangun Citra Institut.” dalam Badri Yatim, dan Nasuhi, Hamid, ed. Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Jakarta 1957-2002. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002. Hidayatullah, Moch Syarif. Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan. Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Larson, Milderd L. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antar Bahasa. Jakarta: Arcam, 1991. Lubis, Suhrawardi K. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis). Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000. Mansyur, Moh. dan Kustiawan. Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia, Indonesia-Arab. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002.
80
Ma’sum bin Ali, Muhammad. Al-Amstilah al-Tasrifiyyah. Surabaya: Maktabal asy-Syaik Salim Nabhan, 1965. Martosedono, Amir. Hukum Waris. Semarang: Dhahara Prize, 1989. Moentaha, Salihen. Bahasa dan Terjemahan, Language and Translation The New Millennium Publication. Jakarta: Kesaint Blanc, 2006. Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Stuktur, dan Logika). Bandung: Refika Aditama, 2007. Rahmat, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: al-Maarif, 1981. Rofi’i. Dalil fi al-Tarjamah; Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia. Jakarta: Persada Kemala, tt. Rofiq,
Ahmad.
Fiqh
Mawaris.
Jakarta:
Lembaga
Studi
Islam
dan
Kemasyarakatan, 1993. Shabuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1995. Santoso, Kusno Budi. Problematika Bahasa Indonesia: Sebuah Analisis Praktik Bahasa Baku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Satory, Achmad, Ismail. Dasar-Dasar Menterjemah (Diktat Mata Kuliah Terjemah). Fakultas Adab & Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bagian I. Shihab, Umar. Kontektualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Permadani, 2005. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2000. __ __ __ __. Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
81
__ __ __ __. Membumikan Al-Qur’an; Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992. Simatupang, Maurits D.S. Pengantar Teori Terjemah. Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi
Departemen
Pendidikan Nasional:
Universitas
Indonesia 2000. Suryawinata, Zuchridin dan Hariyanto, Sugeng. Translation: Bahasa Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Suryawinata, Zuchridin. Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989. Syarifuddin, Amir. Permasalahan dalam Pelaksana Faraid. Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999. __ __ __ __. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004. Syamsuddin,
Shahiron,
dkk.
Hermeneutika
Al-Qur’an
Mazhab
Yogya.
Yogyakarta: Islamika, 2003. Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia; Teori dan Praktek. Jakarta: Humaniora, 2005. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Yunus, Muhammad. Tuntunan Hukum Waris dalam Islam. Jakarta: Al-hidayah, 1968.
82
Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah; Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Rujukan dari Internet http://www.rahima.or.id/SR/02-01/Tafsir.htm, diakses pada tanggal 10 Juni 2008. http://www.isnet.org/islam/Quraish/Shihab.htm, diakses pada tanggal 10 Juni 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad Quraish Shihab, diakses pada tanggal 10 Juni 2008.