BAB III. ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI
3.1. Identifikasi
Permasalahan
Berdasarkan
Tugas
dan
Fungsi
Pelayanan SKPD Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 395 tahun 2011
tentang
Perubahan
atas
Keputusan
Menteri
Kehutanan
dan
Perkebunan Nomor 417/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, kawasan hutan di wilayah Provinsi Jawa Timur seluas 1.361.146 Ha. Pengelolaan kawasan hutan dilakukan oleh beberapa institusi yaitu Perum Perhutani Unit II, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Balai Taman Nasional dan Balai Besar KSDA Jatim, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing institusi tersebut. Kawasan hutan sebagai kawasan penyangga dan pengatur kondisi hidroorologis
di
Jawa
Timur,
banyak
dihadapkan
pada
berbagai
permasalahan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, yaitu adanya kepentingan lain untuk memanfaatkan kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan non kehutanan. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan dan kehutanan di Jawa Timur adalah : 1. Belum kompetitifnya kualitas sumber daya manusia, menyebabkan rendahnya kinerja kelembagaan dalam pengelolaan hutan dan lahan dan belum mencukupinya sarana dan prasarana. 2. Belum optimalnya dukungan sistem perencanaan, sistem informasi, inventarisasi, pengolahan data dan litbang bidang kehutanan serta jaringan kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam pembangunan kehutanan. 3. Belum optimalnya dukungan regulasi dalam pemantapan kawasan hutan, menjadi salah satu penyebab sering terjadinya sengketa agraria
23 | P a g e
kehutanan. Terdapat banyak kasus sengketa masalah agraria kehutanan yaitu kasus-kasus penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan. Untuk itu disamping sangat diperlukannya perangkat peraturan perundangan yang mendukung, juga perlunya upaya secara intensif dalam penyelesaian sengketa agraria sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 4. Penetapan dan pengukuhan alih fungsi hutan produksi menjadi hutan lindung hasil reskoring. Selama ini masih dijumpai adanya penggunaan lahan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan fungsinya, artinya masih dijumpai penggunaan kawasan hutan sebagai kawasan hutan produksi, pada hal kenyataan di lapangan seharusnya masuk kedalam katagori kawasan lindung. Untuk keperluan penataan fungsi dan kepartian hukum, dipandang perlu untuk segera dilakukan penetapan dan pengukuhan alih fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan lindung berdasarkan hasil rescoring yang telah dilakukan pada tahun 2008 lalu, berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur nomor 6 Tahun 2005, tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi di Provinsi Jawa Timur. 5. Tidak terpenuhinya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu industri, bagi industri kayu, meubel dan industri rumah tangga. Kebutuhan bahan baku kayu untuk Jawa Timur cukup besar, dan selama ini belum / tidak dapat dipenuhi dari wilayah Jawa Timur sendiri, sehingga masih mengandalkan pasokan dari luar Jawa. Di sisi lain terdapat potensi lahan yang cukup produktif untuk pengusahaan hutan rakyat yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kekurangan pasokan bahan baku kayu, yang selama ini masih belum digarap secara profesional. 6. Masih lemahnya inventarisasi industri primer kehutanan. Data sebaran dan jumlah industri primer kehutanan yang ada di Jawa Timur dirasakan
24 | P a g e
masih
belum
akurat,
sehingga
menyebabkan
kesulitan
dalam
melaksanakan pembinaan dan bimbingan teknis dan adminsitratif. 7. Tingkat kerusakan dan degradasi hutan dan lahan yang masih cukup tinggi, sehingga hutan dan lahan belum dapat berfungsi dengan optimal, baik sebagai unsur produksi, unsur penyangga dan pengatur kondisi hidroorologis wilayah Daerah Aliran Sungai. Dampak yang ditimbulkan adalah bencana banjir yang secara rutin tahunan menimpa wilayah Jawa Timur, demikian pula dengan bencana tanah longsor, dan kebakaran hutan di musim kemarau. 8. Belum terpadunya program pengelolaan hutan dan lahan di daerah hulu dan hilir DAS, menyebabkan daya dukung hutan dan lahan bagi pelestarian ekosistem dan sumber daya air belum optimal. Kualitas pengelolaan hutan dan lahan di daerah hulu DAS banyak berpengaruh pada kondisi hutan dan lahan di daerah hilir DAS. Selama ini masih dirasakan
belum adanya keterpaduan program pengelolaan
hutan dan lahan di daerah hulu dan daerah hilir DAS. Daerah hilir sering menjadi korban akibat pengelolaan hutan dan lahan di daerah hulu yang kurang optimal, sementara di sisi lain kurang optimalnya pengelolaan hutan dan lahan di daerah hulu, sebagai akibat kekurangan pendanaan untuk merehabilitasi kawasan hutan dan lahan yang rusak. 9. Belum optimalnya pelaksanaan program PHBM sebagai salah satu ikon pembangunan kehutanan melalui pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa Timur. Keberadaan dan kelestarian sumber daya hutan sangat dipengaruhi oleh tingkat sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan, yang selama ini sangat bergantung pada sumber daya hutan sebagai salah satu sumber pendapatan. Sharing peran serta masyarakat dalam pengamanan dan perlindungan hutan, melalui pelaksanaan prograam PHBM sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan sumber daya hutan itu sendiri. Akan tetapi dalam praktek di lapangan, masih sangat terbatasnya kemampuan
25 | P a g e
kelompok
LMDH
pelaksana
program
PHBM
dalam
mengakses
kemudahan yang diberikan oleh pihak Perum Perhutani. 10.Belum optimalnya peran UPT Dinas Kehutanan yaitu UPT Peredaran dan Sertifikasi Hasil Hutan, UPT Tahura R. Soerjo, dan UPT Perbenihan Tanaman Hutan. Optimalisasi peran UPT sangat strategis dalam rangka peningkatan pelayanan publik khususnya dalam pengendalian peredaran hasil hutan, dalam pelestarian kawasan, maupun dalam menggali potensi penerimaan daerah. 11.Belum optimalnya pengelolaan kawasan pelestarian alam Tahura R. Soerjo, sehingga Tahura R. Soerjo belum mampu berfungsi sebagaimana mestinya, seperti fungsinya sebagai sumber plasma nutfah dan fungsi perlindungan bagi daerah penyangga. Seringnya terjadi bencana kebakaran, lebih banyak disebabkan karena kelalaian ataupun unsur kesengajaan manusia, baik pengunjung maupun pendaki kawasan dan juga para pemburu, yang sering kali ilegal/ tak berijin untuk memasuki kawasan Tahura R. Soerjo. 12.Rusaknya ekosistem mangrove wilayah pesisir pantai, mengakibatkan menurunnya
kualitas
ekosistem
wilayah
pesisir
pantai
yang
mengakibatkan menurunnya produktifitas nelayan pantai, meningkatnya abrasi wilayah pantai dan meningkatnya intrusi air laut ke daratan. 3.2. Telaahan Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih Visi
pembangunan
Jawa
Timur
tahun
2009-2014
adalah
“Terwujudnya Jawa Timur yang Makmur dan Berakhlak dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang harus dipegang teguh dan diupayakan dapat terwujud. Masyarakat makmur adalah masyarakat yang sejahtera yang berkecukupan atau tidak kekurangan, yang tidak saja berdimensi fisik atau materi, tetapi juga
26 | P a g e
rohani. Masyarakat makmur adalah masyarakat yang berkeadilan, bermartabat, dan terpenuhi hak-hak dasarnya, bebas mengemukakan pikiran dan pendapat, bebas dari ketakutan dan belenggu diskriminasi, bebas dari penindasan, dengan sumber daya manusia yang berkualitas secara fisik, psikis maupun intelektual. Mewujudkan Jawa Timur makmur dan sejahtera merupakan keniscayaan. Untuk mewujudkan visi pembangunan Jawa Timur 2009-2014 tersebut, maka misi pembangunan Jawa Timur 2009-2014 adalah: “Mewujudkan Makmur bersama Wong Cilik melalui APBD untuk Rakyat” yang diarahkan, terutama, untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kebutuhan dasar rakyat dan penanggulangan kemiskinan; meningkatkan kualitas pemerataan dan pertumbuhan ekonomi, serta pembangunan pedesaan; melalui penguatan perekonomian yang didukung pengembangan pertanian dan agroindustri/agrobisnis; pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); peningkatan investasi dan ekspor non-migas, serta penyediaan infrastruktur yang memadai, dengan tetap memelihara kualitas dan fungsi lingkungan hidup; memantapkan harmoni sosial melalui peningkatan kesalehan sosial, penegakan serta penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia, dengan didukung birokrasi yang reformatif dan pelayanan publik yang prima. Wong cilik atau rakyat kecil merupakan subjek pembangunan, dan tidak boleh terpinggirkan, apalagi dipinggirkan, dari proses dan hasil pembangunan. Yang dimaksud “rakyat” dan wong cilik dalam rumusan misi pembangunan Jawa Timur 2009-2014 ini adalah mereka yang mengalami
ketidakberdayaan
(powerless)
akibat
termarginalisasi
(marginalized), terdevaluasi (devalued), dan mengalami keterampasan (deprivation), serta pembungkaman (silencing), yaitu mereka yang karena berbagai alasan terlempar ke luar dari struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya.
27 | P a g e
Peran
lebih
besar
Pemerintah
Provinsi
Jawa
Timur
untuk
mempengaruhi pembangunan ekonomi yang pro-rakyat sangat diperlukan, terutama melalui instrumen keuangan daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apalagi, struktur penerimaan APBD Jawa Timur sekitar 72%-77% berasal dari pendapat asli daerah (PAD) rakyat Jawa Timur sendiri, karena itu sudah sewajarnya pembangunan Jawa Timur mendasarkan diri pada misi Makmur bersama Wong Cilik melalui APBD untuk Rakyat, yang bermakna APBD pro-rakyat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan, maka aksesibilitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan harus dibuka lebar-lebar melalui berbagai program dan kegiatan, sehingga masyarakat mampu memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan sumber daya hutan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berpihak kepada masyarakat pinggiran atau “Wong Cilik” harus diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Pengalokasian anggaran APBD SKPD Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur yang berpihak kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan, diyakini telah memenuhi tiga fungsi utama dalam pengelolaan anggaran pemerintah daerah yaitu alokasi, distribusi dan stabilitas. Unsur distribusi, sebagai wujud pemerataan pembangunan bagi masyarakat desa hutan akan sangat berarti dalam upaya pengentasan kemiskinan. Demikian pula unsur stabilitas, akan dapat dicapai, ketika perekonomian masyarakat di sekitar hutan menjadi lebih baik dengan kemudahan yang mereka peroleh dalam pengelolaan hutan, dengan terbukanya kesempatan kerja, dan berkembangnya perokonomian masyarakat desa hutan, maka masyarakat dengan sendirinya akan ikut berperan serta dalam menjaga keberadaan hutan.
28 | P a g e
3.3. Telaahan Renstra K/L dan Renstra Provinsi/ Kabupaten/ Kota Visi
pembangunan
kehutanan
dalam
Renstra
Kementerian
Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”. Untuk mewujudkan visi dimaksud, maka ditetapkan misi sebagai berikut : 1. Memantapkan kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan informasi kehutanan. 2. Meningkatkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha. 3. Memantapkan
penyelenggaraan
perlindungan
dan
konservasi
sumberdaya alam. 4. Memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) sehingga dapat meningkatkan optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS. 5. Meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal. 6. Memantapkan kelembagaan penyelenggaraan tata kelola kehutanan Kementerian Kehutanan. Visi
pembangunan
kehutanan
dalam
Renstra
Kementerian
Kehutanan 2010-2014 serta Visi pembangunan Jawa Timur 2009-2014 mempunyai keterkaitan yang erat. Kedua Rencana Strategis tersebut sangat menekankan pada terwujudnya masyarakat yang makmur/ sejahtera. Masyarakat yang berdomisili di sekitar hutan adalah potret dari masyarakat “Wong Cilik” yang selama ini termarginalisasi, sehingga kondisi sosial ekonomi mereka jauh dari berkecukupan. Banyak dari mereka yang menggantungkan sumber penghasilannya dari keberadaan sumber daya hutan, baik sebagai petani pesanggem, maupun pencari daun Jati dan perencek kayu bakar. Selama ini akses mereka terhadap
29 | P a g e
sumber daya hutan, sangat kurang karena keterbatasan kemudahan yang mereka terima dari pengelola hutan atau pemangku kawasan yaitu Perum Perhutani. Sasaran orientasi pembangunan kehutanan di Jawa Timur yang dijalankan melalui misi Kementerian Kehutanan dan misi Pemerintah Provinsi Jawa Timur tersebut di atas, merupakan suatu sinergi dari misi Pemerintah Provinsi Jawa Timur yaitu Makmur bersama Wong Cilik melalui APBD untuk Rakyat. Karena didalamnya terdapat upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan yang secara sosial ekonomi adalah sekelompok wong cilik yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. 3.4. Telaahan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Provinsi Jawa Timur terletak pada 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan 7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur mencapai 46.428 km², terbagi ke dalam 29 kabupaten, sembilan kota, dan 658 kecamatan dengan 8.497 desa/kelurahan (2.400 kelurahan dan 6.097 desa). Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah Kepulauan Madura yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur. Panjang bentangan Barat-Timur sekitar 400 kilometer dan lebar bentangan Utara-Selatan di bagian Barat sekitar 200 kilometer, sedangkan di bagian Timur lebih sempit, hanya sekitar 60 kilometer. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura, sementara Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah Utara Jawa. Di sebelah Timur Madura terdapat gugusan pulau, paling Timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling Utara adalah Kepulauan
30 | P a g e
Masalembu. Di bagian Selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu. Provinsi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi tiga wilayah dataran, yakni dataran tinggi, sedang, dan rendah. Dataran tinggi merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata di atas 100 meter dari permukaan laut (Magetan, Trenggalek, Blitar, Malang, Batu, Bondowoso). Dataran sedang mempunyai ketinggian 45-100 meter di atas permukaan laut (Ponorogo, Tulungagung, Kediri, Lumajang, Jember, Nganjuk, Madiun, Ngawi). Kabupaten/kota (20) sisanya berada di daerah dataran rendah, yakni dengan ketinggian di bawah 45 meter dari permukaan laut. Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur merupakan kota yang letaknya paling rendah, yaitu sekitar 2 meter di atas permukaan laut. Sedangkan kota yang letaknya paling tinggi dari permukaan laut adalah Malang, dengan ketinggian 445 meter di atas permukaan laut. Secara
fisiografis,
wilayah
Provinsi
Jawa
Timur
dapat
dikelompokkan dalam tiga zona: zona Selatan-Barat (plato), merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; zona tengah (gunung berapi), merupakan daerah relatif subur terdiri dari dataran rendah
dan
dataran
tinggi
(dari
Ngawi,
Blitar,
Malang,
hingga
Bondowoso); dan zona Utara dan Madura (lipatan), merupakan daerah relatif kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan). Di bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) ini terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif tandus. Pada bagian tengah wilayah Jawa Timur terbentang rangkaian pegunungan berapi: Di perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Gunung Lawu (3.265 meter). Di sebelah selatan Nganjuk terdapat Gunung Wilis (2.169 meter) dan Gunung Liman (2.563 meter). Pada koridor tengah terdapat kelompok Anjasmoro dengan puncak-puncaknya Gunung Arjuno (3.239 meter), Gunung Welirang (3.156 meter), Gunung Anjasmoro (2.277 meter), Gunung Wayang (2.198 meter), Gunung Kawi (2.681
31 | P a g e
meter), dan Gunung Kelud (1.731 meter). Pegunungan tersebut terletak di sebagian
Kabupaten
Kediri,
Kabupaten
Blitar,
Kabupaten
Malang,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Jombang. Kelompok Tengger memiliki puncak Gunung Bromo (2.192 meter) dan Gunung Semeru (3.676 meter). Semeru, dengan puncaknya yang disebut Mahameru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Di bagian Timur terdapat
dua
kelompok
pegunungan:
Pegunungan
Iyang
dengan
puncaknya Gunung Argopuro (3.088 meter), dan Pegunungan Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.332 meter). Pada bagian Selatan terdapat rangkaian
perbukitan,
yakni
dari
pesisir
pantai
Selatan
Pacitan,
Trenggalek, Tulungagung, Blitar, hingga Malang. Pegunungan Kapur Selatan merupakan kelanjutan dari rangkaian Pegunungan Seribu di Yogyakarta. Dua sungai terpenting di Jawa Timur adalah Sungai Brantas (290 km), dan Bengawan Solo. Sungai Brantas memiiki mata air di daerah Malang. Sesampai di Mojokerto, Sungai Brantas pecah menjadi dua: Kali Mas dan Kali Porong, keduanya bermuara di Selat Madura. Sementara di Madura sendiri terdapat Sub DAS Blega dan Sub DAS Sampean. Bengawan Solo berasal dari Jawa Tengah, akhirnya bermuara di Gresik, disamping Bengawan Solo terdapat dua sungai yangn melewati atau bermuara di Gresik yaitu Kali lamong dan Kali Brantas. Di lereng Gunung Lawu di dekat perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Telaga Sarangan, sebuah danau alami. Bendungan utama di Jawa Timur antara lain Bendungan Sutami
dan
Bendungan
Selorejo,
yang
digunakan
untuk
irigasi,
pemeliharaan ikan, dan pariwisata. Telaga Sarangan, Waduk Sutami, dan Bendungan Selorejo perlu mendapat perhatian terutama dari sedimentasi dan pendangkalan. Secara umum perkembangan struktur ruang Jawa Timur mengarah pada dominasi kawasan perkotaan yang mempengaruhi perekonomian wilayah pedesaan. Fenomena urbanisasi dan aglomerasi wilayah terus
32 | P a g e
berkembang mengarah ke hierarki perkotaan lebih besar, sehingga primacy kota metropolitan semakin tinggi dibandingkan tingkatan kotakota lainnya. Untuk mengendalikan perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung terus membesar, dan berpotensi mendorong perkembangan mega-urban tersebut, serta menyeimbangkan perkembangan perkotaan, dan mengendalikan perkembangan kawasan terbangun di perkotaan serasi dengan kawasan pedesaan sesuai daya dukung, serta prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, maka struktur ruang wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Timur dibagi menjadi sembilan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), berdasarkan kecenderungan pergerakan manusia, barang dan jasa, serta karakteristika wilayah. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa di Jawa Timur cenderung memusat pada titik-titik tertentu, dan mengarah pada wilayah yang telah terlebih dahulu berkembang. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa perlu ditunjang prasarana wilayah. Gambaran kondisi eksisting prasarana wilayah yang menopang struktur ruang dan kecenderungan pergerakan barang dan jasa itu di samping telah diuraikan dalam sub-bab kondisi prasarana wilayah, dapat pula digambarkan sebagai berikut: kecenderungan aktivitas manusia di Provinsi Jawa Timur dapat pula dilihat dari penggunaan lahan yang mencerminkan seberapa besar pemanfaatan ruang digunakan menopang kegiatan tertentu, sekaligus mencerminkan seberapa besar potensi/pola ruang yang harus dilindungi dan/atau dapat dibudidayakan. Pola ruang wilayah Jawa Timur sampai dengan tahun 2008 terbagi atas 11,62% kawasan lindung, dan 88,38% kawasan budidaya. Potensi kawasan budidaya yang sangat besar ini perlu dikelola dan diarahkan pada pencapaian pemanfaatan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Keamanan dapat diterjemahkan sebagai pemanfaatan ruang yang terbebas dari kerawanan bencana; kenyamanan
33 | P a g e
berarti
masih
dalam
batas
daya
dukungnya;
produktif
berarti
menghasilkan nilai ekonomi; dan berkelanjutan berarti keseimbangan aspek sosial dan lingkungan hidup. Kawasan budidaya wilayah Jawa Timur yang didominasi sektor pertanian sebesar 74,11% jika dikaitkan data leading sector struktur ekonomi Jawa Timur yang kontributor tertingginya adalah sektor perdagangan, industri dan pertanian, maka keamanan, kenyamanan dan produktivitas lahan RTRW Provinsi Jawa Timur sangat layak lebih diarahkan pada pengembangan kawasan pedesaan yang berorientasi agroindustri/agrobisnis, dan pengembangan kawasan agropolitan, dengan tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup demi keberlanjutan pembangunan. Sementara itu luas kawasan hutan yang besaranya mencapai + 28 %, memiliki potensi yang cukup besar dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan produksi komuditas tanaman pangan melalui intensifikasi pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanpa merubah fungsi kawasan hutan. Di sisi lain, keberadaan kawasan hutan, juga sangat bermanfaat dalam memelihara keseimbangan ekosistem dan kondisi hidroorologis Daerah Aliran Sungai. 3.5. Penentuan Isu-Isu Strategis Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 95 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sekretariat, Bidang, sub Bagian dan Seksi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2010 tetang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, dan berdasarkan kewenangan sesuai yang diatur dalam PP 38 Tahun 2007, maka isu-isu strategis yang dihadapi dan perlu mendapatkan perhatian dari Dinas Kehutanan dapat diuraikan sebagai berikut :
34 | P a g e
A. Bidang Bina Produksi Kehutanan 1. Fasilitasi sertifikasi ekolabeling hutan Hak/Hutan rakyat. Di wilayah
Jawa Timur terdapat areal hutan rakyat yang
memiliki potensi produksi sekitar 2,4 – 3,2 jt m3/th, dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan di Jawa Timur, yang diprediksikan setiap tahunnya
membutuhkan bahan baku kayu sebesar 4,7 Jt
m3/th. Melalui sertifikasi ekolabeling hutan rakyat ini diharaapkan dapat memberikan peningkatan nilai tambah (value added) melalui naiknya harga kayu produksi hutan rakyat. 2. Fasilitasi pembinaan dan pengembangan industri primer 184 unit yang meliputi industri (90 unit dibawah 2000, 64 unit 2000-6000 m3/th dan 30 unit diatas 6000 m3/th) : a. Pengolahan kayu bulat menjadi kayu gergajian. b. Pengolahan kayu bulat menjadi serpihan kayu (wood chip), veneer, kayu lapis (plywood), Laminated veneer. 3. Pembinaan tata usaha kayu dan tertib peredaran hasil hutan untuk memenuhi jaminan pasokan bahan baku industri yang berkelanjutan bagi
industri
pengolahan
kayu
sebagai
inti/industri
dengan
plasma/petani hutan rakyat sebagai pemasok bahan baku. 4. Pembinaan dalam rangka peningkatan penerimaan PNBP bidang Kehutanan, meliputi ; PSDH dan retribusi hasil hutan.
Potensi
penerimaan PSDH di Jawa Timur setiap tahun berkisar pada besaran angka 35 milyard, dimana dari jumlah sebesar itu Provinsi Jawa Timur akan mendapatkan sharing bagi hasil sebesar 16 %. 5. Peningkatan usaha ekonomi masyarakat di sekitar hutan produksi dan
hutan lindung yanaag tersebar pada lebih dari
1961 desa
dengan jumlah penduduk sebesar 8.556.777 jiwa, sebagai salah usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi
35 | P a g e
pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan komoditas umbiumbian seperti Porang, aneka usaha kehutanani dan kegiatan wanafarma. 6. Sertifikasi pengelolaan lestari bagi produk-produk hasil hutanyang akan di ekspor keluar negeri, untuk itu di perlukan adanya sosialisasi dan
pembinaan
ekolabelling bagi
pengelola hutan, termasuk
didalamnya hutan rakyat. B. Bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 1. Percepatan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu tanah kosong pada kawasan hutan dan rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan, sehingga diharapkan pada tahun 2014 Jawa Timur menjadi hijau. 2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat baik di dalam maupun di luar sekitar kawasan hutan melalui pembinaan usaha ekonomis, dan pemberdayaan dan pembinaan kelompok LMDH dan kelompok tani hutan. 3. Meningkatkan kinerja pengelolaan DAS terpadu dan lintas sektoral, guna mengantisipasi terjadinya bencana alam banjir maupun tanah longsor. 4. Peningkatan kepedulian, kesadaran dan pemberdayaan masyarakat bagi
upaya
lingkungan,
pelestarian sehingga
sumber daya
diharapkan
hutan
mampu
dan
pelestarian
mengamankan
dan
mengawal pembangunan yang berkelanjutan. 5. Mendorong peningkatan usaha melalui pola agribisnis dan bekerja sama dengan berbagai pihak (pihak ke-III) guna keberhasilan usaha.
36 | P a g e
C. Bidang Planologi Kehutanan 1. Kegiatan inventarisasi, dan mengestimasi data hasil inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya skala DAS lintas Kabupaten/Kota. 2. Menyiapkan informasi komprehensif tentang hutan dan kehutanan sebagai
bahan
masukan
bagi
pengambil
kebijakan
dalam
melaksanakan investasi. 3. Mengembangkan
jejaring
informasi
dan
kerjasama
dengan
Departemen Kehutanan maupun di antara intansi tingkat Provinsi yang membidangi kehutanan dalam rangka peningkatan kerjasama dengan Kementerian Kehutanan maupun antar Provinsi, dan dalam rangka meningkatkan investasi dibidang kehutanan di Jawa timur serta peningkatan pemanfaatan hutan dan hasil hutan serta jasa lingkungan. 4. Melakukan promosi intensif untuk menarik investor melalui pameran dan publikasi kegiatan pembangunan kehutanan. 5. Meningkatkan
pengelolaan
hutan
melalui
penelitian
dan
pengembangan kehutanan dengan kerjasama Badan penelitian dan pengembangan daerah, dan lembaga penelitian perguruan tinggi dan Balitbang Kementerian Kehutanan. D. Bidang Pemantapan Kawasan Hutan dan Konservasi Alam 1. Pemantapan dan Penataan batas kawasan hutan. Keberadaan dan kepastian status kawasan hutan sangat berpengaruh terhadap upaya pengelolaan hutan lestari di Jawa Timur, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mempertahankan keberadaan kawasan hutan, melalui pemantapan dan penataan batas kawasan hutan dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial dan budaya, ekonomi serta partisipasi masyarakat.
37 | P a g e
2. Melakukan penyusunan data sumber daya alam, baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem dan penyusunan NSDH (Neraca Sumber Daya Hutan). 3. Meningkatkan pengamanan dan perlindungan hutan dari bahaya kebakaran dan perambahan/ pendudukan (enclave) hutan. 4. Penyelesaian sengketa agraria kehutanan. Permasalahan sengketa agraria
kehutanan
yang
dipergunakan
untuk
kepentingan
pembangunan non kehutanan, perlu diselesaikan dengan bijaksana, sehingga statusnya menjadi ”clear and clean” sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 5. Penegakan hukum bagi pelaku Illegal logging dan pemanfaatan hutan melebihi ambang batas kemampuan regenerasi sumber daya hutan serta ekosistemnya. 6. Pelestarian flora dan fauna endemik Provinsi Jawa Timur sebagai simbol dan icon Provinsi Jawa Timur peduli, melindungi dan mengkonservasi. 7. Regulasi
kembali
perundang-undangan
dan
peraturan
daerah
tentang peredaran dan pemanfaatan satwa dan tanaman langka maupun endemik untuk kelestarian. E. UPT Tahura R.Soerjo 1. Rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan pelestarian alam Tahura R. Soerjo
yang
rehabilitasi
dicanangkan
tanah
kosong
Tahura
hijau
melalui
percepatan
maupun
bekas
kebakaran,
dengan
pendanaan dari APBN dan APBD Provinsi Jawa Timur. 2. Optimalisasi pemanfaatan sumber mata air yang berasal dan berada pada kawasan pelestarian alam Tahura R. Soerjo, melalui regulasi peraturan daerah.
38 | P a g e
3. Peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam mengelola dan melestarikan kawasan pelestarian alam tahura R. Soerjo di 43 desa di sekitar kawasan hutan Tahura R. Soerjo. 4. Menekan gangguan keamanan kawasan pelestarian alam dari illegal logging dan kebakaran hutan yang disebabkan oleh kelalaian ataupun disengaja. 5. Optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan hutan bambu yang memilikii
potensi
tinggi
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat di sekitar desa. 6. Pengembangan
Kawasan
Tuhara
R
Soerjo
sebagai
kawasan
pelestarian plasma nutfah, hidroologi, pendidikan dan kawasan OWA (Objek Wisata Alam) dalam rangka meningkatkan PAD. F. UPT Peredaran Hasil Hutan 1. Peningkatan Pendapat Asli daerah (PAD) dari hasil retribusi peredaran hasil hutan, pengujian hasil kayu dan pelayanan dokukmen penggangkuatan. 2. Intensifikasi peningkatan pelayanan publik bagi industri pengolahan kayu khususnya pelayanan perijinan dan pemeriksaan. 3. Pembinaan dan penatausahanan hasil hutan di 9 kab/kota dengan sasaran industri pengolahan hasil hutan sebanyak 171 (IPKH/PKl) dan gudang penampungan. 4. Peningkatan
SDM
P3KB
dalam
melaksanakan
tugas
untuk
mewujudkan pelayan publik yang optimal dan prima. 5. Regulasi peraturan daerah yang tidak efektif dan tidak sesuai dan menghambat kelancaran pelayanan peredaran hasil hutan.
39 | P a g e
G. UPT Perbenihan Tanaman Hutan 1. Banyak sumber benih yang tidak aktif/ tidak berfungsi lagi, termasuk didalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 2. Masih
kurangnya
minat
para
pengelola
untuk
mengaktifkan
produktifitas sumber benih. 3. Benih berkualitas/ unggul masih belum banyak digunakan.
40 | P a g e