BAB II URAIAN TEORITIS 2. 1. Pinjaman Luar Negeri 2.1.1. Pengertian Pinjaman Luar Negeri Pinjaman luar negeri adalah aliran modal dari luar negeri untuk melengkapi kekurangan-kekurangan tabungan domestik dan valuta asing bagi keperluan pembangunan dan dana tersebut diberikan kepada negara penerima atau dipinjamkan dengan syarat yang lebih ringan daripada yang berlaku dalam pasar internasional. Aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai pinjaman luar negeri adalah pemberian (grant), pinjaman luar negeri (loan) dan penanaman modal asing (foreign investment). Pemberian (grant) dan pinjaman (loan) diberikan oleh pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman seperti Bank Dunia (World Bank). Sedangkan penanaman modal asing adalah penanaman modal yang dilakukan oleh pihak perusahaan swasta asing atau perusahaan multinasional yang diinvestasikan di negara-negara berkembang dengan memperoleh keuntungan dari hasil usaha penanaman modal tersebut (Djamin, Z, 1996:19). Sebagian besar negara kreditur memberikan dana secara cuma-cuma ke negara debitur apabila negara yang bersangkutan telah memiliki ikatan yang lama dan kuat dalam hal pinjam meminjam dana. Bahkan terkadang pertimbangan pemberian dana oleh negara kreditur didasarkan pada alasan keamaan dan politik.
Selain itu, pemberian tersebut tidak semata-mata dalam bentuk mata uang, melainkan dalam bentuk barang dan pemberian tenaga ahli tertentu. Ditinjau dari kajian teotitis, masalah pinjaman luar negeri dapat diterangkan melalui pendekatan pendapatan nasional. Sebagai salah satu pembiayaan pembangunan, pinjaman luar negeri dibutuhkan untuk menutupi 3 (tiga) defisit, yaitu kesenjangan tabungan investasi, defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan, Hubungan ketiga defisit ini dijelaskan Basri (2004) dengan menggunkan kerangka teori three gap model yang diperoleh dari persamaan identitas pendapatan nasional, yaitu: a. Sisi Pengeluaran Y = C + I + G + (X-M) ........................................(1) Dimana: Y = Produk Domestik Bruto C = Total Konsumsi Masyarakat I = Investasi Swasta G = Pengeluaran Pemerintah X= Ekspor Barang dan Jasa M = Impor Barang dan Jasa b. Sisi Pendapatan Y = C + S + T ...........................................................(2) Dimana: C = Total Konsumsi Masyarakat S = Tabungan Pemerintah
T = Penerimaan Pajak Pemerintah Jika kedua sisi identitas pendapatan nasional digabung, maka akan diperoleh: (M-X) = (I-S) + (G-T) ........................................................ (3) Dimana: (M-X) = Defisit Transaksi Berjalan (I-S)
= Kesenjangan Tabungan Investasi
(G-T) = Defisit Anggaran Pemerintah Hubungan kebutuhan antara pinjaman luar negeri dan ketiga defisit tersebut diperlihatkan dengan menggunakan persamaan identitas neraca pembayaran yaitu: DT = (M-X)t + Dst – NFLt + Rt – NOLT ........... (4) Dimana: DT
= Pinjaman pada tahun 1
(M-X)t
= Defisit transaksi berjalan pada tahun 1
Dst
= Pembayaran beban pinjaman (bunga+amortisasi) pada tahun1
NFLt
= Arus masuk modal swasta pada tahun 1
Rt
= Cadangan otoritas moneter tahun 1
NOLT
= Arus masuk modal bersih jangka pendek seperti capital flight dan lain-lain pada tahun 1
Persamaan ini menunjukkan bahwa Pinjaman Luar Negeri (sisi kiri) digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan, pembayaran pinjaman, cadangan otoritas moneter dan kebutuhan modal serta pergerakkan arus modal serta pergerakkan arus modal jangka pendek seperti capital flight. Bila (3) disubstitusikan pada (4), maka akan diperoleh persamaan: Dt = (I-S)t + (G-T)t + DSt + NFLt + Rt – NOLT ............. (5) Identitas (5)
ini menunjukkan, disamping untuk membiayai defisit
transaksi berjalan, Pinjaman Luar Negeri juga dibutuhkan untuk membiayai defisit anggaran pemerintah serta kesenjangan tabungan-investasi dengan Pinjaman Luar Negeri.
2.1.2. Peranan Pinjaman Luar Negeri dan Alasan Dilakukannya Dalam hubungannya dengan kebijaksanaan pembangunan di negaranegara berkembang, bantuan luar negeri terutama dianalisa dan ditinjau dari sudut manfaatnya untuk membantu pembangunan ekonomi di negara berkembang mencapai tujuannya. Ditinjau dari sudut ini terdapat dua peranan utama dari bantuan luar negeri yaitu:
1. Untuk mengatasi kekurangan mata uang asing. 2. Untuk mengatasi masalah kekurangan tabungan. Kedua masalah tersebut biasa disebut dengan masalah jurang ganda (the two problems), yaitu jurang tabungan (saving gap) yang berarti bahwa tabungan yang diciptakan di dalam negeri adalah tidak cukup untuk membiayai penanaman modal yang dapat ditanamakan dan jurang mata uang asing (foreign exchange rate) yang berarti bahwa mata uang asing yang tersedia adalah tidak mencukupi untuk membiayai impor yang diperlukan. Dalam program pembangunan, negara-negara berkembang biasanya menentukkan tingkat pertumbuhan yang diharapkannya dan tingkat penanaman modal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersbut. Apabila tabungan yang dapat dikerahkan di dalam negeri melebihi penanaman modal yang akan dilakasanakan tersebut, maka pembangunan yang terencanakan dapat dicapai tanpa bantuan luar negeri. Akan tetapi seperti telah dinyatakan sebelum ini, pada umumnya negara-negara berkembang tidak dapat menciptakan tabungan sebanyak yang diperlukan dan oleh karenanya modal luar negeri perlu dikerahkan untuk menutupi kekurangan tersbut. Dalam keadaan seperti ini bantuan luar negeri berfungsi sebagai dana untuk menutupi “jurang tabungan”. Adanya bantuan luar negeri memungkinkan negara penerima bantuan melaksanakan penanaman modal yang lebih besar daripada yang dimungkinkan oleh tabungan dalam negeri. Dan selanjutnya penanaman modal yang lebih tinggi akan memperlaju tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pada masa permulaan dari proses pembangunan kemampuan suatu negara untuk menanam modal secara produktif masih terbatas. Oleh karenanya, walaupun tingkat tabungan dalam negeri adalah rendah, “jurang tabungan” tidak akan terlalu besar jumlahnya. Pada tingkat ini bantuan luar negeri belumlah merupakan masalah yang mendesak. Akan tetapi, apabila perekonomian negara itu sudah makin tumbuh, kemampuan untuk menanam modal secara produktif makin bertambah tinggi dan pertumbuhan dalam tabungan dalam negeri tidak dapat mengimbanginya. Maka usaha untuk mempercepat pembangunan ekonomi tanpa inflasi hanya dimungkinkan oleh bantuan luar negeri yang cukup besar. Pada tahap pembangunan yang cukup tinggi, tabungan dalam negeri akan dapat mengimbangi tingkat penanaman modal yang dapat dilaksanakan, dan dengan demikian “jurang tabungan” menjadi bertambah kecil kembali. Pada tingkat ini masalah “jurang tabungan” tidak begitu serius lagi dan bantuan luar negeri tidak lagi merupakan masalah mendesak. Kekurangan tabungan bukanlah satu-satunya, malah kekurangan dana mengahambat tecapainya tujuan mempercepat lajunya pembangunan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan hanya akan tercapai apabila diikuti oelh pertambahan impor yang dilakukan. Pembangunan ekonomi akan menaikkan impor karena (i) kenaikan pendapatan yang ditimbulkan oleh pembangunan akan menambah impor barang-barang konsumsi dan (ii) penanaman modal yang dilakukan, yang merupakan faktor utama yang menimbulkan pembangunan tersebut, akan memerlukan alat-alat modal dan bahan mentah yang berasal dari luar negeri. Apabila impor yang akan menjadi lebih tinggi tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh kenaikan pendapatan dari ekspor, impor harus dikurangi dan ini akan mengurangi tingkat penanaman modal yang akan dilakukan. Sebagai akibatnya tingkat pertumbuhan ekonomi akan bertambah lambat. Jadi, lajunya pembangunan ekonomi bukan saja dibatasi oleh kekurangan tabungan tetapi juga oleh kekurangan mata uang asing untuk membiyai pertambahan impor yang diperlukan. Terdapat kemungkinan bahwa tingkat tabungan dalam negeri dapat menciptakan suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Tetapi untuk mencapainya harus tersedia pula sejumlah tertentu mata uang asing untuk membiayai impor. Apabila mata uang asing yang tersedia adalah lebih rendah daripada jumlah tersebut, tingkat penanaman modal dan pertumbuhan ekonomi adalah lebih rendah daripada yang dimungkinkan oleh besarnya tabungan yang dapat dikerahkan didalam negeri. Dalam keadaan seperti ini “jurang mata uang asing” adalah yang merupakan pengahambat untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut. Kegiatan untuk memberikan bantuan luar negeri oleh negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain: 1. membantu negara-negara yang menerima bantuan untuk mempercepat pembangunan ekonominya. 2. Membantu mengeratkan hubungan ekonomi dan politik di antara negara yang menerima dan memberi bantuan 3. Membendung pengaruh ideologi yang bertentangan dengan yang dianut oleh negara pemberi bantuan
2.1.3. Jenis-jenis Pinjaman Luar Negeri Hubungan pinjaman luar negeri yang telah terjalin sampai sekarang melibatkan lebih dari 100 negara-negara berkembang sebagai penerima pinjaman dan sekolmpok negara donor serta bank dan lembaga keuangan multiteral dan bilateral sebagai pemberi pinjaman. Negara-negara blok barat tergabung dalam OECD (Organization for Economic Coorporation and Development) dengan 22 negara anggotanya. Tujuh dari 13 negara-negara penghasil minyak anggota OPEC (Organization of Oil Producing and Exporting Countries) juga adalah pemberi pinjaman dan bantuan kepada negara-negara berkembang. Kelompok 10 negara blok timur anggota CMEA (Council for Mutual Economic Assistance) merupakan pemeberi dan penerima pinjaman dan bantuan antara sesamanya. Bank-bank pembangunan multilateral dan lembaga-lembaga keuangan bilateral serta bank dan lembaga keuangan swasta internasioanal merupakan donor terbesar bagi negara-negara terbesar bagi negara-negara berkembang. Hubungan pinjam-meminjam juga terjadi antara sesama negara-negara berkembang. Besarnya dana yang terihat dalam hubungan pinjaman luar negeri tersebut meningkat setiap tahun. Pada tahun 1988 jumlah pinjaman resmi (dan bantuan) yang diberikan kepada negara-negara berkembang dari lembaga donor bilateral dan donor multilateral mencapai lebih dari $ 60 milyar. Pinjaman luar negeri yang diterima negara-negara berkembang secara garis besarnya dapat dibedakan atas: (a) Dana Pembangunan Resmi (ODF/Official
Development Fund); (b) Kredit Ekspor (Export Credit) dan (c) Pinjaman Swasta (Private Flows). a. Pinjaman Resmi (ODF) ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu negara donor untuk
membantu
pembangunan
negara-negara
berkembang
yang
disalurkan melalui lembaga keuangan bilateral negara yang bersangkutan dan atau yang melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral, seperti : Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional/IMF (International Monetary Fund), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan Afrika (African Development Bank) dan Bank Pembangunan Antar Amerika (Inter American Development Bank). ODF dapat berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (ODA/Official Development Assitance) yang mengandung unsur keringanan (grant element) sedikitnya 25% dan pinjaman setengah lunak (LCL/Less Consessional Loan) dengan unsur keringanan antara 0-20%. Jumlah pinjaman resmi (ODF) setiap tahun terus bertambah yang disalurkan ke negara-negara berkembang di Asia (40%), di sub Sahara Afrika (22%) di Afrika Utara dan Timur Tengah (14%), serta negara-negara berkembang di wilayah barat (20%). Pinjaman resmi yang bersyarat sangat lunak (ODA) terutama diberikan kepada negara-negara berkembang berpendapatan rendah di Afrika dan di Asia. Sebagian juga disalurkan kepada negara-
negara
berpendapatan
menengah
rendah
dan
kelompok
negara
berpendapatan menengah atas. Lebih 75% dari dana ODA berasal dari kelompok 18 negara industri barat dan Jepang. Negara-negara ini adalah anggota dari kelompok negara pemberi pinjaman (Development Assistance Commitee) dari OECD. Sisanya berasal dari negara-negara sosialis (khususnya Uni Soviet) dan negara-negara anggota OPEC.
b. Kredit Ekspor Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan persyaratan setengah lunak yang danany berasal dari negara donor (disebut official financial support) atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah negara pendonor (pure cover). Jaminan itu diberikan terhadap resiko perubahan politik dan resiko komersial biasa. Kredit ekspor umumnya disalurkan melalui bank ekspor dan impor negara donor, badan atau lembaga pemerintah yang independen (Mediocredito Centrale di Italia) atau lembaga swasta yang ditunjuk oleh pemerintah (NCM di Belanda). Badan yang mengatur kebijaksanaan pemberian kredit ekspor ini berbeda di tiap negara. COFAS (Compagnie Francaise D’Assurance pour le Commerce Extenrieur) adalah badan pemeritah Perancis yang bertugas merumuskan kebijaksanaan dan melakukan kordinasi pemberian pinjaman itu. Badan ini berada di bawah
pengawasan Direktorat Hubungan Ekonomi-DREE (Direction des Relations Economiques Exterieres) dari Kementrian Ekonomi dan Keuangan. Jaminan kredit ekspor dan persyaratannya berbeda untuk pinjaman kepada swasta dan pinjaman kepada Pemerintah. Penggunaan kredit ekspor itu kadang-kadang terbatas hanya untuk pengadaan barang dan jasa di negara donor dan dibeberapa negara lain seperti negara-negara berkembang. Kredit ekspor disebut “suppiers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok dinegara donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung oleh lembaga kredit ekspor di negara donor kepada peminjam di negara penerima. Dilihat dari masa pengembaliannya kredit ekspor dapat berjangka pendek (sampai 2 tahun), berjangka menengah (antara 2-5 tahun) dan berjangka panjang (di atas 5 tahun). Bertambah panjang masa pengembalian itu, bertambah tinggi tingkat suku bunga kredit ekspor. Suku bunga pinjaman ini juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi negara peminjam. Dalam tahun 1970’an jumlah kredit ekspor yang diberikan kepada negara-negara berkembang cukup besar. Kemudian pada awal tahun 1980’an terjadi penurunan disebabkan banyak negara-negara peminjam yang menghadapi krisis pinjaman yang diikuti penekanan impor dan investasi. Utnuk mencegah penurunan kredit ekspor lebih lanjut telah
dilakukan perubahan arah dan persyaratan pemberian kredit ekspor. Pemberian kredit ekspor itu sekarang disesuaikan dengan prioritas pembangunan di negara-negara peminjam.
c. Pinjaman Swasta Pinjaman swasta berasal dari bank-bank dan lembaga keuangan swasta yang diberikan atas dasar pertimbangan komersial sehingga berbeda dari kredit ekspor yang ditujukan untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang sekaligus menunjang peningkatan ekspor negara-negara industri. Pinjaman swasta satu-satunya yang besar pada tahun 1985 diberikan ke negara berkembang adalah pinjaman kepada Pemerintah RRC guna membiayai keperluan impor negara tersebut. Bentuk lain dari pinjaman swasta adalah obligasi. Obligasi banyak dibeli para investor (bank, lembaga dana pensiun dan perusahaan asuransi) di beberapa negara Eropa dan Jepang.
2.1.4. Pinjaman Luar Negeri Negara-Negara Berkembang Hubungan pinjaman luar negeri antar negara dimulai di Eropa pada abad ke-13 dan hubungan pinjaman itu meluas bersamaan dengan bertambahnya pinjaman yang diberikan negara bekas penjajah kepada negara bekas jajahannya pada abad ke-18 dan ke-19. Hubungan pinjam meminjam itu selalu lancar sampai keadaan berobah setelah terjadi Depresi Ekonomi pada tahun 1929/30. Depresi ekonomi telah mengacaukan tata hubungan pinjaman luar negeri yang ditandai
oleh sering terjadinya penunggakkan dan pembatalan pinajaman. Pengaruhnya terhadap hubungan keuangan dan moneter di banyak negara terasa sampai tahun 1940 an. Masa tenang tercipta selama 25 tahun sesudah Perang Dunia ke-2 setelah IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) didirikan dan berhasil memperbaiki hubungan keuangan dan pinjaman luar negeri antar negara. Pada masa itu kondisi ekonomi di banyak negara terus membaik. Juga di negaranegara berkembang. Harga ekspor bahan mentah yang meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya telah mengurangi beban pinjaman luar negeri. Suku bungan pinjaman juga rendah. Keseimbangan
keuangan
internasional
kembali
terganggu
dengan
terjadinya lonjakan harga minyak pada awal tahun 1970-an. Banyak negaranegaara industri terpukul. Defisit mencapai $ 15 milyar dalam tahun 1974. Tetapi dalam tahun-tahun berikutnya posisi keungan negara-negara tersebut kembali membaik. Negara-negara berkembang pengimpor minyak yang juga terpukul akibat kenaikan harga minyak itu tidak dapat mengatasi defisit keuangan yang terus membesar, yang tejadi karena penerimaan dari hasil ekspor tidak seimbang juga dengan kenaikan harga impor minyak. Pada tahun 1978 jumalh defisit kelompok negara ini telah mencapai $ 39,5 milyar. Pada waktu yang sama surplus negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah terus meningkat dan mencapai $ 33,8 milyar. Surplus petro dollar
ini
dimanfaatkan
bank-bank
swasta
internasional
untuk
meningkatkan
pinjamannya kepada negara-negara berkembang lain yang keadaan ekonominya sedang membaik yang memerlukan dana bagi membiayai pembangunannya. Karena yang menerima pinjaman adalah pemerintah dari negara-negara tersbut, maka persyaratan dan prosedur penyaluran pinjaman itu lebih sederhana. Bank tidak perlu melakukan penilaian yang rumit mengenai penggunaan dana pinjaman yang akan diberikan itu, selama kemampuan membayar (debt servicing) ada (yang diperlihatkan oleh perbandingan yang layak anatara besarnya ekspor dan jumlah pengembalian pinjaman setiap tahun). Dana pinjaman bank internasional swasta itu lebih terarah ke negaranegara di Amerika Latin. Pada waktu itu banyak kesempatan investasi di negaranegara itu yang lebih menarik dilihat dari mata perbankan daripada kesempatan yang terbuka dinegara-negara industri. Bagi bank-bank swasta yang telah beroperasi dalam lingkup internasional ini, khususnya bank-bank dari Amerika Serikat, pemberian pinjman itu merupakan kesempatan untuk memperluas lingkup dan jenis kegiatannya karena di Amerika Serikat ada pembatasan kegiatan perbankan antar negara bagian. Persaingan antar bank-bank disana juga cukup tinggi. Pinjaman meningkat cepat dari suatu jumlah yang tidak berarti dalam tahun 1960 an menjadi 12,2% dari seluruh pinjaman negara-negara berkembang sebesar $ 90 milyar dalam tahun 1971 menjadi 29,1% dari jumlah pinjaman sebesar $ 220 milyar dalam tahun 1976 dan meningkat lagi mencapai 30,4% dari pinjaman sejumlah $ 345 milyar dalam tahun 1978. Jumlah ini sangat besar bukan
saja diukur dari seluruh pinjaman yang pernah diberikan oleh bank-bank swasta internasional. Penyaluran dana surplus dari negara-negara pengekspor minyak ke negaranegara berkembang oleh bank-bank swasta internasional ini pada awalnya memberikan hasil yang postif bagi perkembangan ekonomi negara-negara peminjam. Tingkat pertumbuhan ekonomi kelompok negara tersebut cukup tinggi disertai peningkatan pendapatan yang yang melebihi beban pinjamannya. Pembayaran pinjaman selalu lancar. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1979. Lonjakan harga minyak berulang lagi pada tahun 1979 memberi pengaruh yang lebih besar. Harga minyak meningkat lebih dari dua kali, dari $ 12,70 (1978) menjadi $ 28,67 per barrel (1980) untuk jenis Saudi light oil. Negara-negara industri dari negara-negara berkembang pengimpor minyak kembali terpukul oleh kenaikan harga tersbut. Sebagaimana halnya dengan lonjakan harga minyak yang terjadi sebelum kelompok negara industri dapat segera mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak itu. Negara-negara berkembang pengimpor minyak sekali lagi terpukul. Jumlah defisitnya meningkat dari $ 39,5 milyar pada tahun 1978, menjadi $ 53,8 milyar dalam tahun 1979 dan telah mencapai $ 77,5 milyar dan $ 91,0 milyar ditahun 1980 dan 1981. Disamping lonjakan harga minyak terjadi pula kenaikan tingkat suku bunga pinjaman. Efek kenaikan tingkat suku bunga yang dimulai di Amerika Serikat ini secara langsung memukul negara-negara berkembang karena bagian terbesar dari pinjaman negara-negara itu adalah mata uang dollar Amerika Serikat.
Jika sampai tahun 1970 an perubahan efektif dari suku bunga kepada negaranegara berkembang adalah sebesar -3,7% maka dalam tahun 1981 beban ini berubah menjadi 10,1% dan melonjak lagi menjadi 18,3% dalam tahun 1982. Kurangnya dukungan dari kebijaksanaan ekonomi yang dijalankan di negara-negara berkembang khususnya di Amerika Latin adalah yang juga menyebabkan beban pinjaman laur negeri dirasakan semakin berat. Sistem anggaran defisit yang dijalankan sangat memberatkan posisi keuangannya. Juga dana pinjaman dipakai untuk mendorong pertumbuhan ekspor yang bisa menghasilkan devisa yang dapat digunakan untuk membayar kembali pinjaman luar negeri. Dana pinjaman itu lebih diarahkan pada proyek-proyek industri substitusi ekspor, sejalan dengan arah kebijaksanaan ekonomi yang lebih melihat ke dalam (inward looking). Sewaktu suku bunga mendadak meningkat ketergantungan pada dana yang berasal dari luar negeri bertambah. Dana yang bersumber dari dalam negeri tidak dapat mengatasinya. Jumlah pembayaran kembali pinjaman yang sangat meningkat telah menimbulkan penurunan dari investasi dan pertumbuhan ekonomi. Keadaan ekonomi dunia yang lesu pada awal tahun 1980 an dan masih rendahnya harga barang-barang ekspor negara-negara berkembang menjadi sebab lain dari meningkatnya beban pinjaman luar negeri. Pendapatan yang berasal dari ekspor anjlok yang menyebabkan memburuknya perbandingan nilai ekspor dengan pemabayaran pinjaman. Krisis pinjaman tidak dapat dihindarkan sewaktu
beberapa negara peminjam yang besar mengumumkan penundaan pembayaran pinjaman luar negerinya.
2.1.5. Penarikan Pinjaman Luar Negeri Indonesia Penarikan akan pentingnya kebutuhan sumber dana yang berasal dari luar negeri telah dijadikan agenda dalam membahas perencanaan ekonomi sejak tahun 1947 melalui perencanaan Hatta, seperti yang tertuang dalam dasar-dasar pokok dari pada plan ini disebutkan bahwa pinjaman luar negeri beserta penanaman modal asing dijadikan sebagai unsur-unsur untuk membelanjai plan perekonomian Indonesia. Ini berarti bahwa sejarah penarikan pinjaman oleh Indonesia dari negara kreditur telah berlangsung lama, jauh sebelum pemerintah Orde Baru lahir. Pemberian bantuan baru diwarnai dengan suasana politik dan pertarungan ideologi yang kuat dan kental, seperti kebanyakan negara-negara Asia Timur yang kontra Barat, Indonesia lebih cenderung untuk memilih negara-negara Eropa Timur yang beridelogi kontra dengan Barat mitra dalam pinjaman-pinjaman dana. Fakta ini dapat dilihat pada posisi utang Pemerintah Orde Lama yang masih harus dibayar oleh Pemerintah Orde Baru. Sayangnya, utang yang diperoleh pemerintah Orde Lama pada waktu itu tidak dapat dimanfaatkan secara tepat. Sektor-sektor pembiayaan banyak diarahkan pada sektor-sektor yang kurang produktif. Sebagian besar dana tersebut
justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat mercusuar. Sehingga secara ekonomis, proyek-proyek pada masa pemerintah Orde Lama tersebut yang ditandai oleh pinjaman luar negeri tidak efektif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan menigkatkan kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, beban inefsiensi penggunaan dana tersebut harus tetap ditanggung oleh pemerintah Orde Baru, sehingga tidaklah heran apabila sebagian dari utang luar negeri Indonesia dewasa ini merupakan bagian dari kewajiban pembayaran utang selama pemerintah Orde Lama. Politik utang luar negeri tetap dijalankan ketika pemerintah Orde Baru berkuasa dengan terlebih dahulu menyelesaikan landasan cara pembayaran kembali utang-utang lama, yang kemudian ditindaklanjutin dengan lansadan kebijaksanaan baru pada tanggal 3 Oktober 1966, yang menitikberatkan pada 8 (delapan) pokok, yaitu : Pertama, anggaran berimbang. Kedua, membatasi pengeluaran anggaran tidak lebih dari 10 persen dari pendapatan nasional. Ketiga, perbaikan strultural pada penarikan pajak. Keempat, nilai tukar uang yang realitis. Kelima,
mengakhiri
pemberian
subsidi.
Keenam,
peninjauan
kembali
kebijaksanaan harga. Ketujuh, pengurangan jumlah pegawai sampai secukupnya. Kedelapan, pembatasan ketat pemberian kredit perbankan. Kebijaksanaan ini dijalankan untuk memperbaiki keadaan perekonomian yang parah. Berangkat dari usaha perbaikan kondisi perekonomian tersebut, pada tahun 1966 diadakan usaha pendekatan ke luar negeri dengan tujuan; Pertama, mengadakan penjadwalan kembali utang-utang lama. Kedua, mengusahakan
bantuan-bantuan keuangan yang baru dari luar negeri untuk mendukung neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, berusaha menarik penanaman modal asing ke Indonesia. Realisasi kebijaksanaan tersebut dilakukan pertemuan multiteral di Jepang pada bulan September 1966, yang dikenal dengan sebutan Tokyo Club. Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan Paris Meeting pada bulan Desember 1966 dan kemudian diteruskan pada bulan Februari 1967 di Den Haag Negeri Belanda. Pertemuan itulah yang melahirkan lembaga Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), yaitu sebuah lembaga donor negara-negara kreditur untuk membantu memberikan bantuan dana bagi pembiayaan pembangunan di Indonesia. Pertama kali yang diberikan oleh IGGI adalah sebesar US$ 200 juta. Kiprah IGGI sendiri sebagai lembaga donor berakhir pada tahun 1992.
2.1.6. Pemerosesan Pinjaman Luar Negeri Persetujuan atas pinjaman luar negeri yang diberikan kepada Indonesia setiap tahun diputuskan di Sidang IGGI (Inter Government Group on Indonesia). Keputusan itu diambil oleh masing-masing donor IGGI setelah mempelajari laporan tentang keadaan ekonomi dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia serta usulan jumlah pinjaman dan bantuan yang diperlukan. Proyek-proyek yang akan dibiayai dari dana pinjaman itu disampaikan oleh Delegasi Indonesia di Sidang itu dalam suatu daftar usulan yang disebut Buku Biru. Kecuali sebagai
daftar usulan proyek Buku Biru juga merupakan bukti kesiapan dari Pemerintah Indonesia untuk menerima pinjaman tersebut. Disitu dimuat usulan proyek yang cukup banyak sehingga memberi kesempatan kepada donor untuk memilih berbagai proyek yang sesuai dengan prioritas pinjaman yang akan diberikan. Disamping Sidang IGGI pembahasan dan tindak lanjut dari pemerosesan pinjaman luar negeri yang diusulkan kepada donor IGGI juga dilangsungkan dalam pembicaraan bilateral dan perundingan negosiasi pinjaman. Hasil pembicaraan itu dituangkan dalam dokumen kesepakatan dan perjanjian pinjaman (loan agreement) yang setelah ditandatangani mengikat pihak donor dan Pemerintah Indonesia. IGGI, Buku Biru dan perundingan bilateral serta negosiasi pinjaman adalah tiga mata rantai dalam mekanisme pemerosesan pinjaman luar negeri Indonesia.
2.1.7. Pelaksanaan Pinjaman Luar Negeri Tahap penerimaan pinjaman luar negeri badan-badan Pemerintah Indonesia yang terlibat adalah yang wewenangnya banyak berkaitan dengan kegiatan persiapan anggaran dan proyek-proyek pembangunan. Langkah awal pengusulan proyek secara resmi adalah dalam persiapan Buku Biru, karena semua proyek yang akan dibiayai dari pinjaman luar negeri harus tercantum dalam buku tersebut. BAPPENAS memainkan peranan penting dalam menetapkan prioritas usulan proyek-proyek, khususnya yang menjadi bagian pertama dari Buku Biru. Buku ini disusun berdasarkan usulan proyek yang disampaikan oleh departemen
atau badan pemerintah yang memerlukan dana pinjaman luar negeri. Dalam hal yang akan diperoleh itu adalah bantuan hibah, maka Sekretariat Kabinet dalam kedudukannya sebaagi Ketua Panitia Kerjasama Teknik Luar Negeri (PKTLN) menjadi mitra BAPPENAS. Kedua instansi ini bersama-sama menyiapkan bagian kedua dari Buku Biru yang berisi daftar usulan bantuan teknik. Departemen Keuangan lebih dilibatkan dalam penilaian persyaratan pinjaman dan ketentuanketentuan yang mengatur prosedur penerimaan dan pembayaran kembali pinjaman dan menjadi mitra tetap BAPPENAS untuk bantuan yang berstatus pinjaman. Sejak masa Repelita II pada waktu mana ketua BAPPENAS dirangkap oleh MENKO EKUIN, maka kebijaksanaan pinjaman luar negeri mulai dikordinasikan oleh MENKO EKUIN. MENKO EKUIN kemudian menjadi Ketua Delegasi RI dalam sidang IGGI. Departemen Teknis yang memerlukan pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek-proyek dibidangnya masing-masing terlibat juga dalam tahap pengusulan pinjaman. Departemen Teknis lah yang bekerjasama dengan berbagai Misi dari donor untuk mempersiapkan proyek-proyek yang akan dibiayai dari pinjaman luar negeri itu, melalui Direktorat Jenderal atau Pimpinan Proyek yang ditunjuk. Demikian secara garis besar keterlibatan instansi pemerintah dalam pengusulan pinjaman yang merupakan bagian dari anggaran pembangunan. Dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri yang menonjol adalah peranan dari Deprtemen Teknis (executing agency) melalui Pimpinan Proyek yang bersangkutan.
Persiapan
dokumen
lelang,
pelaksanaannya,
penunjukkan
kontraktor dan konsultan perencana dan pengawas di lapangan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan oleh Departemen Teknis. Sesuai dengan prosedur penggunaan pinjaman, maka pada titik-titik tertentu diperlukan persetujuan pihak donor sebelum Kepala Proyek melangkah ke tahap pelaksanaan berikutnya. Badan Pemerintah lainnya juga dilibatkan dalam tahap pelaksanaan pinjaman luar negeri ini. BAPPENAS memberikan persetujuan atas kontrak sebelum pembayaran dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Jika nilai kontrak tersebut mencapai Rp 3 milyar atau lebih, maka persetujuan itu harus dimintakan dulu kepada MENKO EKUIN. Sebelum tahun 1988 persetujuan atas kontrak ini (dengan nilai Rp 500 juta ke atas adalah wewenang TPPBPP (Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah) yang lebih dikenal sebagai Tim Keppres X. Tim ini diketuai Menteri Sekretaris Negara dan beranggotakan pejabat dari Departemen Keuangan, BAPPENAS, Bank Indonesia, BKPM, Departemen HANKAM dan lain-lain. Tim Keppres X bukan saja melakukan penilaian atas kewajaran harga dari barang yang akan dibeli dan pekerjaan konstruksi yang dilakukan, tetapi juga menjaga kesesuaian pengadaan itu bagi menunjang peningkatan produksi dan penggunaan barang dan jasa dalam negeri. Untuk itu Tim juga melakukan pemeriksaan atas desain dari pekerjaan sipil yang akan dilakukan dan spesifikasi barang yang akan dibeli. Karena prosedur dari pihak donor dan prosedur Pemerintah Indonesia tidak selamanya sejalan, maka banyak masalah yang timbul. Dalam beberapa hal kelambatan tidak bisa dihindari sehingga Tim
Keppres X pernah dikatakan sebagai salah satu penyebab dari kelambatan pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. Sebelum Tim Keppres X dibentuk peranan BAPPENAS sangat menonjol, bukan saja pada tahap pengusulan pinjaman luar negeri tetapi juga dalam tahap pelaksanaan pinjaman tersebut. BAPPENAS menentukan proyek-proyek prioritas yang dapat dibiayai dari pinjaman luar negeri. Juga badan ini berperan utama dalam merundingkan dan menentukan jumlah dan persyaratan pinjaman yang dapat diterima. Sejalan dengan peranannya dalam menetapkan anggaran pembangunan, maka badan ini pula yang menentukan alokasi pinjaman setengah lunak yang dapat disetujui untuk masing-masing proyek. Setelah proyek dilaksanakan BAPPENAS memberikan persetujuan atas pembayaran kontrak proyek pinjaman luar negeri itu. Peranan badan ini dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri sudah jauh berkurang dibandingkan masa sebelum Repelita III. Begitu juga dalam tahap pengusulan pinjaman peranan dari badan perencanaan ini sudah lebih terbatas, walaupun penetapan anggaran pembangunan tetap menjadi wewenangnya. Penyerapan dana pinjaman luar negeri yang relatif rendah dibandingkan dengan tambahan pinjaman yang terus meningkat setiap tahun menjadi isu penting dari pelaksanaan pinjaman luar negeri yang dibahas di Sidang IGGI ke-30 pada tahun 1987 yang lalu. Banyak keluhan yang timbul dari negara-negara donor, karena jumlah dana besar sudah diberikan kepada Indonesia tidak terserap dan setiap tahun jumlah tersebut terus membesar. Sejalan dengan itu beban pinjaman
terus bertambah karena pembayaran juga dikenakan atas dan yang belum terpakai. Hal ini menyulitkan posisi pemerintah negara-negara donor, karena pada waktu yang sama banyak permohonan pinjaman dari negara-negara berkembang yang tidak terlayani. Beberapa waktu setelah Sidang IGGI ke-30 itu selesai maka dibentuk Tim Pendayagunaan Pelaksanan Proyek-proyek Pembangunan Dengan Dana Luar Negeri (TP4DLN) yang menangani masalah rendahnya daya serap pinjaman luar negeri itu. Tim itu (semula diketuai oleh MENPAN/Wakil Ketua BAPPENAS kemudian sejak 1988 oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS) beranggotakan pejabat dari berbagai instansi yang terlibat dalam pengelolaan pinjaman luar negeri. Kedudukan Tim ini menjadi vokal dalam penanganan pelaksanaan pinjaman luar negeri. Dalam mencari jalan untuk mempercepat pemanfaatan dana pinjaman itu, maka Tim telah mengambil langkah-langkah penyederhanaan dan penyempurnaan berbagai peraturan yang berkenan dengan pelaksanaan pinjaman luar negeri. Hasilnya sudah terlihat dengan meningkatnya daya serap dana pinjaman luar negeri. Peningkatan kegiatan pembangunan yang menyebabkan meingakatnya pinjaman luar negeri ternyata tidak diikuti oleh kemampuan administratif pembangunan. Inilah yang menyebabkan terjadinya persoalan daya serao pinjaman yang rendah yang merupakn masalah pokok dalam pelaksanaan pinjaman luar negeri itu. Peraturan dan prosedur belum sesuai dengan makin ramai dan kompleks permasalahan yang dihadapi. Juga kemampuan tenaga
pelaksana dihampir semua bidang (khususnya industri konstruksi) kalah cepat dibandingkan pekerjaan yang ada. Penanganan masalah pelaksanaan pinjaman luar negeri ini telah dilakukan melalui pembentukan berbagai Tim sebagai jalan pintas diluar jalur administrasi pemerintah yang seharusnya dibenahi untuk sementara telah dapat mengatasinya. Tetapi jalan pintas ini tampaknya belum akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi itu dalam jangka panjang. Kemampuan administrasi pembangunan harus terus dibenahi.
2.2. Defisit Anggaran 2.2.1. Pengertian Defisit Anggaran Defisit
anggaran
negara
adalah
antara
penerimaan
negara
dan
pengeluarannya yang cenderung negatif, artinya bahwa pengeluaran lebih besar daripada penerimaannya. Para ahli ekonomi cenderung menghitung defisit anggaran negara itu bukan dari angka absolut, tetapi mengukur dari rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila kita menghitung defisit anggaran negara terhadap PDB, maka akan mendapat gambaran berapa persen suatu negara dapat menghimpun dana untuk menutup defisit tersebut. Terdapat empat pilihan cara untuk mengukur defisit anggaran, yang masing-masing dikenal dengan sebutan (i) defisit konvensional; (ii) defisit moneter; (iii) defisit operasioanl; (iv) defisit primer.
1. Defisit konvensional, yaitu defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. 2. Defisit moneter, merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok utang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan utang). 3. Defisit operasional, merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai rill dan bukan nilai nominal. 4. Defisit primer, merupakan selisih antara belanja (di luar pembayaran pokok dan bunga utang) dengan total pendapatan. Dalam keadaan defisit tentunya diperlukan tambahan dana agar kegiatan yang telah direncanakan tetap dapat dilaksanakan. Dana tersebut biasanya berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Upaya untuk menutup defisit disebut dengan pembiayaan defisit (deficit financing). Upaya ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya (i) utang; (ii) menjual aset negara; dan (iii) memperoleh hibah. Defisit dalam penelitian ini, ukuran defisit yang digunakan adalah defsisit sesuai APBN Indonesia dimana jumlah defisit adalah total penerimaan pemerintah ditambah dengan hibah dan kemudian diselisihkan dengan pengeluaran pemerintah.
Tabel 2.1. Sistem Anggaran Di Indonesia Tahun
Sistem Anggaran
Orde Lama (1952-1960)
Anggaran Defisit
Orde Baru (1960-1997)
Anggaran Seimbang
Reformasi (1997-2000)
Anggaran Berimbang Dinamis
2001-sekarang
Anggaran Surplus/Defisit
2.2.2. Sebab-Sebab Terjadinya Defisit Anggaran 1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi Untuk mempercepat pertumbuhan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi,biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang dibebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Beban ini meliputi pembangunan progamprogram, seperti: a. Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti: jalan, listrik, jembatan, pelabuhan dll. b. Program yang berkaitan dengan Hankam c. Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga permsyarakatan dll.
d. Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan. e. Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti, progran transmigrasi, pembangunan daerah dll. f. Program yang menangani masalah kemiskinan.
2. Rendahnya daya beli masyarakat. Masyarakat berkembang seperti halnya di Indonesia yang mempunyai pendapatan perkapita rendah, dikenal mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan harga sangat tinggi karena sebagian produksinya mempunyai komponen impor sehingga masyarakat yang berpendapatan rendah tidak mampu membeli barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut misalnya listrik, sarana transportasi, BBM dan lain sebagainya. Apabila dibiarkan saja menurut mekanisme pasar, barang-barang itu pasti tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena itu, negara memerlukan pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar masyrakat miskin bisa ikut menikmati.
3. Pemerataan pendapatan masyarkat Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah. Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berebeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestbailan politik, persatuan san kesatuan bangsa, negara harus
mengeluarkan biaya untuk misalnya, pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju.
4. Melemahnya nilai tukar Indonesia yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri, mengalami masalah apabila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap mata uang dollar AS, maka yang akan dibayarkan juga membengkak.
5. Pengeluaran akibat krisis ekonomi Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya pengangguran dari 34,5 juta orang pada tahun 1996, menjadi 47,9 juta orang pada tahun 1999. Sedangkan penerimaan pajak menurun, akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyrakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk programprogram kemisikinan dan pemberdayaan masyarakat dan terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.
6. Pengeluaran karena inflasi Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketetapannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun angggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi. Anggaran negara yang telah tercantum terlalu rinci dalam dokumen anggaran, pemimpin proyek sulit untuk bisa menyesuaikan apabila terjadi kenaikan harga barang yang melampaui harga standar. Untuk melaksanakan pembangunan proyek yang melampaui standar yang telah ditentukan, pemimpin proyek akan dipersalahkan oleh Badan Pengawas Keuangan, sebaliknya juga apabila pemimpin proyek terpaksa mengurangi volumenya. Akibatnya, negara terpaksa akan mengeluarkan dana untuk eskalasi dalam rangka menambah harga standar itu.
2.2.3. Dampak Defisit Terhadap Ekonomi Makro Defisit anggaran itu ibaratnya seperti penyakit hipertensi yang dampaknya bisa mempengaruhi kerja jantung, ginjal, mata, otak, yang berakibat kelumpuhan. Demikian pula defisit anggaran juga berdampak pada beberapa variabel eknomi makro, antara lain: 1. Dampak terhadap tingkat bunga
Defisit anggaran ditandai dengan kurangnya pembiayaan pengeluaran negara karena kurangnya penerimaannya yang berasal dari pajak. Untuk memenuhi
kebutuhan
masyarakat
dalam
meningkatkan
anggaran
pembangunan maupun rutin, negara memerlukan penambahan modal, yang berarti permintaan terhadap uang meningkat. Bunga, yang merupakan harga modal itu, akan mengalami tingkat keseimbangan yang lebih tinggi, atau tingkat bunga akan meningkat,
2. Dampak terhadap neraca pembayaran Dalam ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan impor dari dan ke mancanegara. Dengan meningkatnya tingkat bunga, investasi dalam negeri akan menurun, yang berarti peluang modal asing cenderung masuk mengalir ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri. Apabila ini terjadi, maka defisit anggaran mempunyai dua dampak yang berkaitan, yaitu: pertama, defisit anggaran akan meningkatkan defisit neraca pembayaran; kedua, dengan membengkaknya defisit neraca pembayaran, akan menurunkan nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing.
3. Dampak terhadap tingkat inflasi Pengeluaran negara yang melebihi penerimaan berarti anggaran negara itu ekspansif, artinya ada kecenderungan terhadap kenaikan harga-harga umum (inflasi). Hal ini dikarenakan pengeluaran negara yang digunakan
untuk pembangunan proyek-proyek dengan biaya besar dan berjangka lama, selama dalam pembangunan belum dapat meghasilkan dalam waktu yang cepat, tetapi sebaliknya, negara telah melakukan pengeluaranpengeluaran, antara lain untuk upah buruh yang berakibat meningkatnya daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat di satu pihak, dan belum ada output yang dihasilkan di lain pihak, akan mendorong harga-harga umum akan meningkat, yang dampaknya adalah pada inflasi.
4. Dampak terhadap konsumsi dan tabungan Inflasi yang diakibatkan karena defisit anggaran negara itu akan mengurangi pendapatan rill masyarakat. Pengurangan pada pendapatan rill masyarakat itu akan berakibat pada pengurangan baik konsumsi maupun tabungan. Tabungan sangat penting sekali untuk mendorong investasi. Apbila pendapatan rill ini menurun, berarti tingkat konsumsi dan tabungan rill juga menurun, apahal tingkat tabungan rill itu akan berpengaruh terhadap tingkat investasi. Dengan menurunya tingkat tabungan tersebut, tingkat investasi juga menurun.
5. Dampak terhadap pengangguran Pengangguran berarti penurunan tingkat kesempatan kerja. Kesempatan kerja tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat. Naiknya tingkat bunga akibat dari anggaran negara
yang defisit itu, akan berdampak menurunnya gairah untuk investasi, yang berarti banyak proyek-proyek maupun perluasan proyek yang sudah ada tidak dapat dibangun, sehingga berakibat pada pemecatan tenaga kerja atau kurangnya tenaga kerja baru yang masuk dalam lapangan kerja. Dengan demikian defisit anggaran ini juga secara langsung berakibat pada kenaikan peningkatan tingkat pengangguran.
6. Dampak terhadap tingkat pertumbuhan Pertumbuhan yang meningkat adalah akibat dari meningkatnya investasi, baik dari negara maupun masyarakat. Peningaktan investasi ini bisa terjadi, kecuali disebabkan oleh situasi keamanan yang kondusif, juga tingkat bunga yang rendah. Tetapi apabila perubahan variabel-variabel tersebut berlawanan dengan yang disebutkan di atas, terutama tingkat bunga yang tinggi akibat defisit anggaran, maka tingkat pertumbuhan yang tinggi akan tercapai atau dapat dikatakan defisit anggaran itu juga mengakibatkan pada penurunan tingkat pertumbuhan.
2.2.4. APBN Indonesia Dalam rangka menerapkan kebijakann fiskal, pemerintah menyusun suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya. Di Indonesia, anggaran pemerintah tersebut adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penjelasan secara lengakp dan terbaru mengenai APBN termuat dalam Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selain undang-
undang tersebut, pengaturan mengenai APBN diatur oleh perundang-undangan lainnya. Berdasarkan UU No.17 tahun 2003, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawabkan pelaksanaan APBN tersebut setiap tahunnya ditetapkan melalui undang-undang. Dalam pelaksanaannya, APBN memiliki beberapa fungsi, yaitu: a. Fungsi otoritas. Fungsi ini mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. b. Fungsi perencanaan. Fungsi ini mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.. c. Fungsi pengawasan. Fungsi ini mengandung arti bahwa anggaran negara
menjadi
pedoman
untuk
menilai
apakah
kegiatan
penyelenggaraan negara sesuaidengan ketentuan yang telah ditetapkan. d. Fungsi alokasi. Fungsi ini megandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi. Fungsi ini mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f. Fungsi stabilisasi. Fungsi ini mengandung arti bahwa anggaran pemrintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari T-account menjadi Iaccount sesuai standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS). a. Pendapatan Negara dan Hibah Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penrimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem pengaggaran sebelum tahun angggaran 2000, pada sistem pengaggaran saat ini sumber-
sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penerimaan.
Dalam
pengadministrasian
penerimaan
negara,
departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengecualian dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undagan terkait.
b. Belanja Negara Belanja negara terdiri atas anggaran pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum
diundangkannya
UU
no.17/2003,
anggaran
belanja
pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No.17/2003 memperkenalkan format uniffied budget sehingga tidak lagi ada perbedaan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dan dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua.
c. Defisit dan Surplus Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi penegluaran disebut surplus.
Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
d. Pembiayaan Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non-perbankan) serta pembiayaan luar negeri (neto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
2.3. Investasi 2.3.1 Definisi Investasi Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang. seorang investor membeli sejumlah saham saat ini dengan harapan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga saham atapun sejumlah deviden di
masa yang akan datang, sebagai imbalan atas waktu dan resiko yang terkait dengan investasi tersebut.
Setelah investasi bisa berkaitan dengan berbagai
macam aktivitas. Menginvestasikan sejumlah dana pada aset riil (tanah, emas, mesin atau bangunan), maupun aset finansial (deposito, saham ataupun obligasi) merupakan aktivitas investasi yang umumnya dilakukan. Bagi investor yang lebih pintar dan lebih berani menanggung resiko. aktivitas investasi yang mereka lakukan juga bisa mencakup investasi pada aset-aset finansial lainnya yang lebih kompleks seperti warrants, option dan futures maupun ekuitas intwernasional. Aset finansial adalah klaim berbentuk surat berharga atas sejumlah asetaset pihak penerbit surat berharga tersebut. Sedangkan sekuritas yang mudah diperdagangkan adalah aset-aset finansial yang bisa diperdagangkan dengan mudah dan dengan biaya transaksi yang murah pada pasar yang terorganisir. Pihak-pihak yang melakukan kegiatn investasi disebut investor. Investor pada umumnya bisa digolongkan menjadi dua, yaitu investor individual (individual investors) dan investor institusional (institutional investors). Investor individual terdiri dari individu-individu yang melakukan aktivitas investasi. Sedangkan investor institusional biasanya terdiri dari perusahaan-perusahaan asuransi, lembaga penyimpanan dana (bank dan lembaga simpan-pinjam), lembaga dana pensiun, maupun perusahaan investasi. Dalam teori ekonomi makro yang dibahas adalah investasi fisik. Dengan pembatasan tersebut maka definisi investasi dapat lebih dipertajam sebagai
pengeluaran-pengeluaran yang meningkatkan stok barang modal. Stok barang modal adalah jumlah barang modal dalam suatu perekonomian pada saat tertentu. a.
Investasi Dalam Bentuk Barang Modal dan Bangunan Yang tercakup dalam investasi barang modal dan bangunan adalah
pengeluaran-pengeluaran untuk pembelian pabrik, mesin, peralatan produksi, bangunan/gedung yang baru. Karena daya tahan madal dan bangunan umumnya lebih dari setahun, seringkali investasi ini disebut sebagai investasi dalam bentuk harta tetap (fixed investment). Di Indonesia, istilah yang setara dengan fixed investment adalah pembentukan modal tetap domestic bruto (PMTDB). Supaya lebih akurat, jumlah investasi yang perlu diperhatikan adalah investasi bersih yaitu PMTDB dikurangi penyusutan. b. Investasi Persediaan Perusahaan seringkali memproduksi barang lebih banyak daripada target penjualan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan. Tentu saja investasi persediaan diharapkan meningkatkan penghasilan/keuntungan. Persediaan barang tersebut dikatakan sebagai investasi yang direncanakan atau investasi yang diinginkan karena telah direncanakan. Selain barang jadi, investasi dapat juga dilakukuan dalam bentuk persediaan barang baku dan setengah jadi.
2.3.2 Penanaman Modal Asing (PMA) PMA yang terkandung dalam Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana diubah dan ditambah oleh Undang-Undang No.11 tahun1 970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No.1 tahun 1967 mencakup unsur pokok (Bank Indonesia, 1995;98-100), yaitu: a. Penanaman modal secara langsung; b. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia; c. Resiko ditanggung pemilik modal/investor (pasal 1). Dimana pengertian modal asing tersbut terdiri dari: 1. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari devisa Indonesia dan disetujui pemerintah untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia. 2. Alat-alat untuk perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik asing dan bahan-bahan dari luar negeri ke dalam wilayah RI yang tidak dibiayai dari devisa Indonesia. 3. Bagian dari hasil perusahaan yang dapat ditransfer, tetapi digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia (pasal 2). Menurut Undang-Undang tersebut, jenis PMA bisa secara penguasaan penuh
atas
bidang
usaha
yang
bersangkutan
(100%
asing)
ataupun
kerjasama/patungan dengan modal Indonesia. Kerjasama dengan modal Indonesia tersebut dapat terdiri dari: hanya dengan pemerintah (misalnya pertambangan) atau pemerintah maupun swasta nasional. Jangka waktu PMA di Indonesia tidak
boleh melebihi 30 tahun dan bidang usaha yang terbuka atau tertutup bagi PMA adalah pelabuhan, listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, mass-media, dan bidangbidang usaha yang berkaitan dengan industri militer. PMA dapat berupa penanaman modal langsung (FDI) atau portofolio. Investasi langsung biasanya melibatkan kontrol manajemen dari pihak asing sedangkan investasi portofolio meliputi pembelian surat-surat berharga dan jenis investasi ini tidak melibatkan pengawasan pihak asing terhadap perusahaan domestik. Negara-negara berkembang sebagian besar memberikan insentif untuk PMA dan menyalurkannya untuk penggunaan-penggunaan yang diinginkan. Pada saat yang sama, mereka juga mengenakan berbagai hambatan terhadap PMA untuk menghindari dominasi asing dan memegang sumber daya alam mereka kembali. Menurut Todaro, argumen yang mendukung penanaman modal asing sebagian besar berasal dari analisis neoklasik tradisional yang memusatkan pada berbagai determinan pertumbuhan ekonomi. Penanaman modal asing merupakan sesuatu yang sangat positif, karena hal tersebut mengisi kekurangan tabungan yang didapat dari dalam negeri, menambah cadangan devisa, memperbesar penerimaan pemerintah, dan mengembangkan keahliann manajerial bagi negara penerimanya. Semua ini merupakan faktor-faktor kunci yang dibutuhkan untuk mencapai target pembangunan. PMA ini dapat mengatasi dua kesenjangan (two
gap) yaitu ‘kesenjangan tabungan-investasi’ (saving gap) dengan pemberian sumbangan finansial jika terjadi kurang memenuhinya mobilisasi tabungan domestik, dan juga mengatasi ‘kesenjangan devisa’ atau ‘kesenjangan perdagangan luar negeri’ (trade gap) dengan peranannya dalam mengisi kesenjangan antara target jumlah devisa yang dibutuhkan dan hasil-hasil aktual devisa dari ekspor ditambah dengan bantuan luar negeri netto. Menurut argumen ini, arus-arus masuk modal swasta asing tersebut bukan hanya dapat menghilangkan sebagian atau seluruh defisit yang terdapat didalam neraca pemabayaran, akan tetapi dapat juga menghilangkan defisit dalam jangka panjang (secara permanen) bila perusahaan asing tersbut dimungkinkan untuk hadir di negara yang bersangkutan guna menghasilkan devisa dari hasil-hasil ekspornya secara netto. Selanjutnya dijelaskan pula selain dua kesenjangan tersbut, kesenjangan ketiga yang dikatakan dapat diisi oleh modal swasta asing adalah kesenjangan antara target penerimaan pajak pemerintah dan jumlah pajak aktual yang dapat dikumpulkan. Ini terjadi dengan adanya tambahan pendapatan pajak atas keuntungan perusahaan multinasional dan keikutsertaan mereka secara finansial dalam kegaitan-kegiatan mereka di dalam negeri, sehingga pada akhirnya akan dapat turut memobilisasikan sumber-sumber finansial.
2.3.3. Keuntungan Penanaman Modal Asing Dalam Berinvestasi Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya Penanaman Modal Asing antara lain: a. Produksi beberapa produk kebutuhan rakyat dengan tujuan untuk ekspor (dengan penggunaan bahan baku yang umumnya berasal dari Indonesia akan meningkatkan kuantitas dan kualitasnya). b. Bila produksi mengalami kegagalan maka seluruh resiko ditanggung oleh penanam modal dalam investasi langsung (investor asing). c. Tenaga kerja Indonesia akan memperoleh kesempatan kerja dan dapat membiasaka diri dengan teknologi modern. d. Terbukanya kesempatan untuk membangun perusahaan nasional yang sejenis, sehingga akan dapat meningkatkan pembangunan, terutama pembangunan di daerah pera pekerja yang bekerja diperusahaan asing tersebut telah memiliki pengalaman dan keterampilan dalam membangung perusahaan nasional yang sejenis, yang mungkin lebih baik dan terarah bagi peningkatan pembangunan di daerah-daerah lainnya sehingga mereka dapat menjadi pioner pelaksana proyek-proyek mutakhir di daerah-daerah. e. Devisa akan meningkat jumlahnya, selain akan meningkatkan nilai tukar rupiah dalam negeri, dana untuk pembangunan juga meningkat. f. Langsung memperkenalkan manfaat ilmu, teknologi dan organisasi yang mutakhir kenegara yang dituju. g. Mendorong perusahaan lokal untuk berinvestasi lebih banyak pada industri pendukung atau dengan bekerjasama dengan perusahaan asing.
h. Sebagian laba pada umumnya ditanamkan kembali pada pengembangan atau modernisasi industri terkait. i. Kemungkinan terjadi pelarian modal berkurang.
2.3.4. Kerugian Penanaman Modal Asing Dalam Berinvestasi a. Penyediaan sejumlah modal oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam kenyataannya malah justru menurunkan tingkat tabungan maupun investasi domestikdi negara tuan rumah sehubungan dengan akan terciptanya aneka bentuk persaingan tidak sehat yang bersumber dari perjanjian-perjanjian
produksi
ekslusif
antara
pihak
perusahaan
multinasional dengan pihak pemerintah di negara tuan rumah. b. Tidak terlaksananya reinvestasi atas keuntungan yang mereka dapatkan dalam perekonomian tuan rumah. c. Terhambat atau terganggunnya perkembangan perusahaan-perusahaan domestik yang sebenarnya bisa menjadi pemasok barang sejenis. d. Terpacunya tingkat konsumsi domestik sehingga justru menurunkan minat masyarakat
setempat
untuk
menabungkan
atau
menginvestasikan
tambahan pendapatan e. Dalam jangka panjang PMA dapat mengurangi penghasilan devisa baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. f. Kecilnya kontribusi yang didapatkan bagi penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak yang disebabkan oleh adanya konsesi-konsesi pajak yang bersifat liberal, pemberian fasilitas penanaman modal yang berlebihan,
subsidi-subsidi terselubung, serta proteksi yang diberikan oleh pemerintah negara tuan rumah.
2.3.5. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Pengertian PMDN yang terkandung dalam Undang-Undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencakup kriteria sebagai berikut (Bank Indonesia ,1995;103): a. Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia; b. Dimiliki oleh negara ataupun swasta nasional dan swasta asing yang berdomisili di Indonesia; c. Guna menjalankan suatu usaha; d. Modal tersebut tidak termasuk dalam pengertian pasal 2 Undang-Undang No.1 tahun 1967 tersebut diatas (Pasal 1 ayat 1) PMDN merupakan bagian dari penggunaan kekayaan yang dapat dilakukan secara langsung oleh pemilik sendiri atau secara tidak langsung, antara lain melalui pembelian obligasi, saham , deposito, dan tabungan yang jangka waktunya minimal tahun. Menurut Undang-Undang tersebut, perusahaan yang dapat menggunakan modal dalam negeri dapat dibedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, dimana perusahaan nasional dapat dimiliki seluruhnyaa oleh negara dan atau swasta nasional ataupun sebagai usaha gabungan antara negara dan atau swasata nasional dengan swasta asing dimana sekurang-kurangnya 51% modal
dimiliki oleh negara atau swasta nasional. Pada prinsipnya semua bidang usaha terbuka untuk swasta/PMDN kecuali bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis.
2.3.6. Tujuan Investasi Pada dasarnya tujuan
orang melakukan
investasi
adalah
untuk
mengahasilkan sejumlah uang. Tujuan investasi yang lebih luas adalah untuk meningkatkan kesejahteraan investor. Kesejahteraan dalam hal ini adalah kesejahteraan moneter, yang bisa diukur dengan penjumlahan pendapatan saat ini ditambah nilai saat ini pendapatan masa datang. Sumber dana untuk investasi bisa berasal dari aset-aset yang dimiliki saat ini, pinjaman dari pihak lain, ataupun dari tabungan. Investor yang mengurangi konsumsinya saat ini akan mempunyai kemungkinan kelebihan dana untuk ditabung. Dana yang berasal dari tabungan tersebut, jika diinvestasikan akan memberikan harapan meningkatnya kemampuan konsumsi investor di masa datang, yang diperoleh dari meningkatnya kesejahteraan investor tersebut. Secara lebih khusus lagi, ada beberapa alasan mengapa seorang melakukan investasi, antara lain adalah: 1. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa datang. Seseorang yang bijaksana akan berpikir bagaimana meningkatkan taraf hidupnya dari waktu ke waktu atau setidaknya berusaha bagaimana
mempertahankan tingkat pendapatnya yang ada sekarang agar tidak berkurang di masa yang akan datang. 2. Mengurangi tekanan inflasi. Dengan melakukan investasi dalam pemilikan perusahaan atau obyek lain, seseorang dapat menghindarkan diri dari resiko penurunan nilai kekayaan atau hak miliknya akibat adanya pengaruh inflasi. 3. Dorongan untuk menghemat pajak Beberapa negara di dunia banyak melakukan pemberian fasilitas perpajak kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang-bidang usaha tertentu.
2.3.7. Proses Investasi Proses investasi meliputi pemahaman dasar-dasar keputusan investasi dan bagaimana mengorganisir aktivitas-aktivitas dalam proses keputusan investasi. Untuk memahami proses investasi, seorang investor terlebih dahulu mengetahui beberapa konsep dasar investasi, yang akan menjadi dasar pijakan dalam setiap pembuatan keputusan investasi yang akan dibuat. Hal mendasar dalam proses keputusan investasi adalah pemahaman hubungan antara return yang diahrapkan dan resiko suatu investasi. Hubungan resiko dan return yang diharapkan dari suatu investasi merupakan hubungan yang searah dan linier. Artinya semakin besar resiko yang harus ditanggung, semakin besar pula tingkat return yang diharapkan. Hubungan yang seperti itulah yang menjawab pertanyaan mengapa tidak semua
investor hanya berinvestasi pada aset yang menawarkan tingkat return yang paling tinggi. Disamping itu memperhatikan return yang tinggi, investor juga harus mempertimbangkan tingkat resiko yang harus ditanggung.
2.3.7.1. Dasar Keputusan Investasi Dasar keputusan investasi terdiri dari tingkat return yang diharapkan, tingkat resiko, serta hubungan antara return dan resiko. Return. Alasan utama orang berinvestasi adalah untuk memperoleh keuntungan. Dalam kontek manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut sebagai return. Suatu hal yang sangat wajar jika investor menuntut tingkat return tertentu atas dana yang telah diinvestasikannya. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukannya merupakan kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan resiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi. Dalam konteks manajemen investasi, perlu dibedakan antara return yang diharapkan (expected return) dan return yang terjadi (realized return). Return yang diharapkan merupakan tingkat return yang diantisipasi investor di masa datang. Sedangkan return yang terjadi atau return aktual merupakan tingkat return yang telah diperoleh investor pada masa lalu. Ketika investor menginvestasika dananya, dia akan mensyaratkan tingkat return tertentu-dan jika periode investasi telah berlalu, investor tersebut akan diharapkan pada tingkat retrun yang
sesungguhnya dia terima. Antara tingkat return yang diharapkan dan tingkat return aktual yang diperoleh investor dari investasi yang dilakukan mungkin saja berbeda. Perbedaan antara retrun yang diharapkan dengan retrun yang benar-benar diterima (retrun aktual) merupakan resiko yang harus selalu dipertimbangkan dalam proses investasi. Sehingga dalam berinvestasi, disamping memperhatikan tingkat return, investor harus selalu mempertimbangkan tingkat resiko suatu investasi. Resiko. Sudah sewajarnya jika investor mengharapkan return yang setinggi-tingginya dari investasi yang dilakukannya. Tetapi, ada hal yang penting yang harus selalu dipertimbangkan, yaitu berapa besar resiko yang harus ditanggung dari investasi tersbut. Umumnya semakin besar resiko, maka semakin besar pula tingkat return yang diharapkan. Penelitian terhadap return saham dan obligasi di Amerika yang dilakukan oleh Jeremy J.Siegel tahun 1992, menemukan bahwa dalam periode 1802-1990, return saham jauh melebihi return obligasi. Kelebihan return saham atas return obligasi tersebut disebut juga sebagai equity premium. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena equity premium tersebut adalah adanya fakta bahwa resiko saham lebih tinggi dari resiko obligasi. Resiko bisa diartikan sebagai kemungkinan return aktual yang berbeda dengan return yang diharapkan. Dalam ilmu ekonomi pada umumnya, dan ilmu investasi pada khsusnya terdapat asumsi bahwa investor adalah makhluk yang rasional. Investor yang rasional tentunya tidak akan menyukai ketidakpastian atau
resiko. Investor yang mempunyai sikap enggan terhadap resiko seperti ini disebut sebagi risk-averse investors. Investor seperti ini tidak akan mengambil resiko suatu investasi jika investasi tersebut tidak memberikan harapan return yang layak sebagai kompensasi terhadap resiko yang harus ditanggung investor tersebut. Sikap investor terhadap resiko akan sangat tergantung kepada preferensi investor tersebut terhadap resiko. Investor yang lebih berani akan memilih resiko investasi yang lebih tinggi, yang diikuti oleh harapan tingkat return yang tinggi pula. Demikian pula sebaliknya, investor yang tidak mau menanggung resiko yang terlalu tinggi, tentunya tidak akan bisa mengharapkan tingkat return yang terlalu tinggi.
2.3.7.2. Proses Keputusan Investasi Proses
keputusan
investasi
merupakan
proses
keputusan
yang
berkesinambungan (on going process). Proses keputusan investasi terdiri dari lima tahap keputusan yang berjalan terus-menerus sampai tercapai keputusan invesatasi yang terbaik. Tahap-tahap keputusan investasi meliputi lima tahap keputusan, yaitu: 1. Penentuan tujuan investasi 2. Penetuan kebijakan investasi 3. Pemilihan strategi portofolio 4. Pemilihan aset
5. Pengukuran dan evaluasi kinerja portofolio Penentuan tujuan investasi. Tahap pertama dalam proses keputusan investasi adalah menentukan tujuan investasi yang akan dilakukan. Tujuan investasi masing-masing investor bisa berbeda-beda tergantung pada investor yang membuat keputusan tersebut. Sedangkan pada bank, mempunyai tujuan untuk memperoleh return yang lebih tinggi di atas biaya investasi yang dikeluarkan. Penentuan kebijakan investasi. Tahap kedua ini merupakan tahap penentuan kebijakan untuk memenuhi tujuan investasi yang telah ditetapkan. Tahap ini dimulai dengan penentuan keputusan alokasi aset. Keputusan ini menyangkut pendistribusian dana yang dimiliki berbagai klas-klas aset yang tersedia (saham, obligasi, real estat ataupun sekuritas luar negeri). Investor juga harus memperhatikan berbagai batasan yang mempengaruhi kebijakan investasi seperti seberapa besar dana yang dimiliki dan porsi pendistribusian dana tersebut serta beban pajak dan pelaporan yang harus ditanggung. Pemilihan strategi portofolio. Strategi portofolio yang dipilih harus konsisten dengan dua tahap sebelumnya. Ada dua strategi portofolio yang bisa dipilih, yaitu strategi portofolio aktif dan strategi portofolio pasif. Strategi portofolio aktif meliputi kegiatan penggunaan informasi yang tersedia dan teknik-teknik peramalan secara aktif untuk mencari kombinasi portofolio yang lebih baik. Strategi portofolio pasif meliputi aktivitas investasi pada portofolio yang seiring dengan kinerja indeks pasar. Asumsi strategi pasif ini adalah bahwa semua informasi yang tersedia akan diserap pasar dan direfleksikan pada harga saham.
Pemilihan aset. Setelah strategi portofolio ditentukan, tahap selanjutnya adalah pemilihan aset-aset yang akan dimasukan dalam portofolio. Tahap ini memerlukan pengevaluasian setiap sekuritas yang ingin dimasukkan dalam portofolio. Tujuan tahap ini adalah untuk mencari kombinasi portofolio yang efisien, yaitu portofolio yang menawarkan return diharapkan yang tertinggi dengan tingkat resiko tertentu atau sebaliknya menawarkan return diharpakan tertentu dengan tingkat resiko terendah. Pengukuran dan evaluasi kinerja portofolio. Tahap ini merupakan tahap paling akhir dari proses keputusan investasi. Meskipun demikian, adalah salah kaprah jika kita langsung mengatakan bahwa tahap ini adalah tahap terakhir, karena sekali lagi, proses keputusan investasi merupakan proses keputusan yang berkesinambungan dan terus-menerus. Artinya jika tahap pengukuran dan evaluasi kinerja telah dilewati dan ternyata hasilnya kurang baik, maka proses keputusan investasi harus dimulai lagi dari tahap pertama, demikian seterusnya sampai dicapai keputusan investasi yang paling optimal. Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja ini meliputi pengukuran kinerja portofolio dan pembandingan hasil pengukuran tersebut dengan kinerja portofolio lainnya melalui proses benchmarking. Proses ini biasanya dilakukan terhadap indeks portofolio pasar, untuk mengetahui seberapa baik kinerja portofolio yang telah ditentukan dibanding kinerja portofolio lainnya (portofolio pasar).