Pengelolaan Pendanaan Pembangunan Luar Negeri dalam Rangka Mengurangi Ketergantungan Pada Pinjaman Luar Negeri Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral
[email protected] ABSTRAK Kajian ini diharap dapat menyuguhkan rekomendasi kebijakan mengenai keberadaan CGI. Apakah CGI masih diperlukan jika negara kita ingin membebaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri (exit policy)? Jika CGI tidak diperlukan, apakah diperlukan instrumen pengganti? Atau apa kebijakan yang perlu diambil? Langkah-langkah yang ditempuh dalam kajian ini adalah: (1) studi literatur dalam rangka mencari informasi sebagai dasar teoritis dalam menyusun kajian mengenai aid consortium; (2) diskusi (round table discussion) dengan kalangan pemerintah dan mantan pejabat yang terlibat dalam CGI; (3) diskusi informal dengan donor/kreditor anggota CGI; (4) seminar dengan mengundang para pakar, akademisi dan kalangan civil society untuk mendiskusikan keberadaan dan peran CGI; (5) pengumpulan data lapangan. Sehubungan dengan keberadaan CGI, dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan terdapat dua hal penting yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Pertama pemerintah diamanatkan mengurangi ketergantungan. Kedua, terdapat fakta bahwa pemerintah masih harus mengatasi berbagai tantangan yang memerlukan dukungan pendanaan yang belum sepenuhnya dapat diandalkan dari sumber-sumber domestik. Akhirnya kajian ini merekomendasikan sejumlah hal, antara lain: (1) menempatkan CGI dan memfokuskan fungsinya sebagai forum Aid Coordination; (2) melakukan perubahan mekanisme kerja dan kepemimpinan CGI; (3) memfokuskan isu dan agenda pertemuan; (4) “mereorganisasi” dan meningkatkan peran dalam kelompok kerja serta menyusun prioritas agenda kerjanya
1. LATAR BELAKANG Pendanaan dari luar negeri memegang peran penting dalam pembangunan di Indonesia, terutama sejak masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun pendanaan dari luar negeri tersebut selama bertahun-tahun diberi label sebagai pelengkap pendanaan pembangunan, namun setidak-tidaknya dalam 30 tahun, selama Repelita I sampai Repelita VI, jumlah pendanaan dari luar negeri tidak menurun besarannya. Kecenderungan ini mengarah pada situasi bahwa Indonesia menjadi tergantung pada pendanaan dari luar negeri. Dilihat dari persyaratannya, selama ini pendanaan luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia berupa: hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, pinjaman campuran (pinjaman bersyarat lunak dan fasilitas kredit ekspor), dan pinjaman komersial. Sedangkan menurut bentuk dan peruntukannya, dapat dikelompokkan menjadi hibah/pinjaman program dan hibah/pinjaman proyek. Berbagai jenis dan skema pendanaan tersebut diselenggarakan untuk menutup defisit pembiayaan pembangunan dan pembiayaan rutin. Secara umum, pendanaan luar negeri berasal dari sumber-sumber sebagai berikut: (1) bilateral (pemerintah negara lain) berupa hibah, pinjaman lunak dan pinjaman campuran; (2) lembaga multilateral/internasional berupa hibah dan pinjaman, dan; (3)
perbankan atau lembaga keuangan internasional berupa fasilitas kredit ekspor dan pinjaman komersial. Hampir seluruh pemberi pinjaman dan hibah dari luar negeri (kreditor/donor) baik bilateral maupun multilateral tergabung dalam konsorsium atau forum yang dinamakan Consultative Group for Indonesia (CGI). Dengan demikian bagian terbesar pendanaan luar negeri Pemerintah Indonesia bersumber dari CGI, sehingga dapat dikatakan bahwa ketergantungan Pemerintah Indonesia terhadap pendanaan luar negeri adalah ketergantungan pada CGI. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004 mengamanatkan agar pinjaman luar negeri harus secara bertahap dikurangi sebagaimana tertuang pada Bab IV Arah Kebijakan butir B (angka 7, 9, dan 23). Amanat ini sesunguhnya telah digariskan pula dalam GBHN pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, 1998, dan 1999. Semuanya menyebutkan bahwa bantuan luar negeri hanyalah pelengkap pendanaan pembangunan. Besaran dan peranan bantuan luar negeri harus dikurangi dan diperkecil. Bahkan sebelum itu, Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan menyatakan bahwa kredit luar negeri dan modal asing dapat dimanfaatkan dalam penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan ekonomi, namun harus ada teladan untuk membebaskan diri dari ketergantungan dari luar negeri. Sementara itu, sejak krisis ekonomi tahun 1997, ketergantungan pada dana luar negeri majub bertambah, bukan hanya jepada CGI tetapi juga pada lembaga International Monetary Fund (IMF). Ketergantungan ini bukan saja dalam hal pendanaan melainkan juga pada aspek kebijakan. Di sisi lain, Ketetapan MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional, merekomendasikan agar dilakukan evaluasi kebijakan, sehingga negara kita tidak makin terjebak dalam ketergatungan kepada negara donor. Hal ini tertera pada Bab III Rekomendasi Kebijakan butir 4.c. Di samping itu, melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002, MPR merekomendasikan kepada presiden dan pemerintah agar tidak memperpanjang perjanjian kerjasama dengan IMF yang berakhir pada akhir tahun 2003. Kemudian pemerintah diminta mempersiapkan rencana mengakhiri kerjasama itu (exit plan) sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan kegoncangan moneter. Consultative Group for Indonesia merupakan konsorsium negara-negara dan lembaga-lembaga kreditor dan donor untuk Indonesia (aid coordination) yang dibentuk pada tahun 1992 sebagai pengganti konsorsium yang sama yaitu Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Selama 11 tahun lebih, CGI telah berperan menopang proses dan pembiayaan pembangunan Indonesia melalui berbagai bantuan dan utang yang diberikan. Dalam perkembangannya, apalagi sejak krisis multidimensi menimpa Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an, terdapat pergeseran dan perubahan dalam forum tersebut. Perubahan itu mencakup mekanisme kerja, agenda dan isu yang dibahas dalam pertemuan, jumlah, skema beserta persyaratan pinjaman dan hibah yang diberikan. Di samping itu terdapat berbagai perubahan kebijakan dari anggota-anggotanya. 2. TUJUAN Kajian ini diharapkan dapat dikeluarkan suatu position paper atau rekomendasi kebijakan berkaitan dengan keberadaan CGI. Dengan demikian tergambar jelas apakah CGI masih diperlukan atau tidak, terutama dalam kerangka melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri (exit policy). Apabila CGI tidak diperlukan lagi, apakah diperlukan forum atau instrumen pengganti, atau apa kebijakan yang perlu
1
diambil. Begitu pula, jika CGI masih diperlukan, apakah peran dan bentuknya tetap dipertahankan seperti sekarang, atau perlu disesuaikan? 3. METODOLOGI Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapat melalui diskusi-diskusi dan workshop, wawancara dengan nara sumber baik dari kalangan pemerintah, negara donor/kreditor, civil society di dalam negeri, serta melalui pengumpulan data lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan kepustakaan. Kajian ini menggunakan analisis kualitatif yang didukung data-data kuantitatif yang mutakhir. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) studi literatur dalam rangka mencari informasi sebagai dasar teoritis dalam menyusun kajian mengenai aid consortium; (2) diskusi (round table discussion) dengan kalangan pemerintah dan mantan pejabat yang terlibat dalam CGI; (3) diskusi informal dengan donor/kreditor anggota CGI; (4) seminar dengan mengundang para pakar, akademisi dan kalangan civil society untuk mendiskusikan keberadaan dan peran CGI; (5) pengumpulan data lapangan. 3.1. Kerangka Analisis Aid Coordination pada dasarnya merupakan proses perencanaan bantuan international agar bantuan tersebut mampu mendukung strategi, prioritas, dan tujuan nasional (negara penerima); menghindari duplikasi dan tumpang tindih serta meminimalkan beban bantuan kepada penerima . Development Assistance Committee – Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menyusun serangkaian prinsip bagi suatu Aid Coordination Forum, antara lain : 1. Kerjasama pembangunan seharusnya ditempatkan pada tataran atau area yang lebih luas dari pada sekedar urusan proyek (project level). Pemikiran yang berorientasi pada proyek (projectitis) mesti dikurangi. Kerja sama harus dikonsentrasikan pada program pembangunan nasional yang disusun dan dikelola oleh lembaga-lembaga negara penerima. 2. Aid Coordination yang efektif menghendaki adanya pengelolaan sumber-sumber daya domestik dan eksternal yang terpadu. 3. Semua sumber daya pembangunan harus benar-benar dikelola dengan baik sehingga memungkinkan terciptanya lingkungan yang mantap melalui sedikit regulasi yang berkaitan dengan interaksi antara negara dan pasar (a less regulatory interaction of state and market). 4. Donor harus menawarkan program bantuan kepada negara penerima untuk mengembangkan kapasitas lembaga-lembaga nasional/pemerintah dalam rangka mengefektifkan pengelolaan bantuan. Dalam kerangka prinsip-prinsip tersebut, aid coordination group mencari cara untuk: 1. Memungkinkan munculnya masukan-masukan komprehensif, sebagai pertanda kerjasama erat antara negara penerima dan donor, mengenai isu-isu pembangunan di negara penerima dan jumlah dana yang dibutuhkan. 2. Secara umum meningkatkan perhatian dan kesadaran donor kepada tujuan pemerintah negara penerima; juga terhadap strategi, kerangka kebijakan yang dijalankan, dan secara spesifik kepada pendekatan sektor dan program-programnya. 3. Memberi peluang kepada donor untuk menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kepada negara penerima, berkaitan dengan aliran modal, program untuk membantu negara penerima dan isu–isu mengenai investasi, kebijakan dan kelembagaan.
2
4. Memungkinkan negara penerima dan donor mencapai kesepakatan umum mengenai investasi perbaikan kebijakan dan kelembagaan untuk dilaksanakan negara penerima, berikut besarannya serta persyaratan keuangan yang ditawarkan donor. 5. Memperkuat keyakinan pemerintah negara penerima untuk melaksanakan kebijakan yang diperlukan dengan dukungan internasional. 6. Menyederhanakan dan meningkatkan koordinasi antar donor. Dengan kata lain, Aid coordination merupakan mekanisme kunci untuk mengintegrasikan bantuan donor dengan kebijakan dan program-program pemerintah secara tepat. Aid coordination group umumnya memfokuskan diri pada tiga area yakni: (1) kerangka ekonomi umum (general economic framework); (2) isu-isu sektoral (sectoral issues); (3) project issues Melalui kelompok aid coordination, negara penerima maupun donor dapat memperoleh manfaat, di antaranya adalah: 1. Fasilitasi pertukaran informasi mengenai kebijakan dan program bantuan luar negeri antara donor dengan negara penerima, maupun antar donor. 2. Melalui aid coordination para donor dapat membangun dialog lebih baik dengan negara penerima mengenai kebijakan pembangunan dan isu-isu yang terkait dengan pinjaman/bantuan luar negeri. 3. Aid coordination memberi jalan pembentukan mekanisme koordinasi sampai pada taraf proyek. 4. Bagi negara penerima, aid coordination mempermudah peningkatan kuantitas maupun kualitas pinjaman/luar negeri. 5. Melalui kelompok aid coordination, negara penerima dapat menggalang dukungan dari para donor. Selanjutnya hal tersebut dapat mengarah pada dukungan publik dalam negeri terutama untuk kebijakan-kebijakan yang tidak popular. Aid coordination group dapat dibentuk untuk kepentingan satu negara atau satu kawasan. Aid coordination group yang dibentuk untuk satu negara dapat berupa konsorsium, kelompok konsultasi, sector-level group, atau UNDP-sponsored Round Table. Dalam praktiknya tidak ada perbedaan jelas antara bentuk dan model konsorsium dan kelompok konsultasi. Selain Bank Dunia, lembaga internasional lain yang juga berperan sebagai koordinator/ketua forum aid coordination adalah UNDP, organisasi dan bank-bank regional, serta IMF. Bank Dunia saat ini mengorganisasi/mengetuai 60 consultative group. Di sejumlah negara Eropa Timur, Bank Dunia mengkoordinasi consultative group bersama dengan Uni Eropa. Setidaknya dalam setahun Bank Dunia menyelenggarakan 25 kali pertemuan consultative group. Tetapi Kolombia, Korea, Malaysia, Maroko, Thailand dan Tunisia telah memutuskan untuk mengakhiri mekanisme consultative group yang sebelumnya diorganisasikan Bank Dunia. Kemudian mereka mengelola berbagai pinjaman publik dan swasta secara mandiri. Sementara itu Argentina, Botswana, Brazil, Cile, dan Cina menolak mekanisme consultative group. Negara-negara penerima bantuan juga dapat mengkoordinasikan forum aid coordination untuk mereka sendiri seperti yang dilakukan Guyana dan Honduras. Bank Dunia mengidentifikasi dua elemen kunci yang berpengaruh terhadap pembangunan suatu negara, yaitu kinerja kebijakan (policy performance) dan kualitas kelembagaan (institutional quality). Dua variabel lain yang terkait adalah komitmen negara (country commitment) yaitu ownership of sound development priorities and policies dan kapasitas kelembagaan untuk mengelola dan mengkoordinasi bantuan (aid coordination).
3
Kedua variabel terakhir ini terkait dengan pengaturan koordinasi dan upaya mengefektifkan bantuan. Kapasitas kelembagaan yang tinggi dan komitmen negara yang kuat akan mengarah pada country-driven arrangements yang sekaligus memberikan peluang bagi negara penerima bantuan untuk mengefektifkan bantuan untuk pembangunan. Sebaliknya dengan kapasitas kelembagaan yang rendah dan komitmen negara yang lemah, negara tersebut akan mengarah pada donor-driven aid coordination. Tipologi hubungan antara keempat variabel tersebut dapat digambarkan pada diagram berikut ini. Tabel 1. Karakteristik Negara dan Aid Coordination Komitmen negara
Kapasitas kelembagaan Tinggi Rendah
Kuat
Lemah
country-driven country –driven (dengan penguatan kelembagaan)
joint-sponshorship donor-driven
Sumber: The Drive to Partnership: Aid Coordination and the World Bank, 1999 hal.6
Berdasarkan tipologi di atas, sejauh mana suatu negara dapat menuju countrydriven aid coordination, sangat bergantung pada derajat kapasitas kelembagaan dan komitmen negara itu sendiri. Artinya negara tersebut harus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memperkuat komitmennya. Namun, kemudahan atau kesulitan yang dihadapi suatu negara ketika ia menuju country-driven aid coordination, juga dipengaruhi oleh jumlah dan karakterisktik, atau orientasi para negara/lembaga kreditor/donor. Aid coordination yang anggotanya terdiri dari banyak negara/lembaga, lalu memberi utang atau bantuan bukan dengan motif pembangunan, akan mempersulit negara tersebut menuju country-driven aid coordination. Sebaliknya, jika jumlah negara atau lembaganya sedikit dan mereka mempunyai orientasi pembangunan ketika memberi bantuan, maka akan mempermudah negara yang bersangkutan mewujudkan country-driven aid coordination. Tabel berikut ini menggambarkan pengaruh jumlah dan orientasi negara/lembaga kreditor terhadap upaya mereka mewujudkan country-driven aid coordination. Tabel 2. Karakteristik Bantuan Pembangunan dan Aid Coordination Environment Jumlah Negara dan lembaga peserta
Orientasi pembangunan para kreditor/donor Kuat
Lemah
Sedikit
Mendukung ke arah country-driven
Relatif sulit menuju country-driven
Banyak
Challenging
Sangat sulit menuju country-driven
Sumber: The Drive to Partnership: Aid Coordination and the World Bank, 1999 hal.6
4
Bank Dunia berusaha menyusun kriteria untuk mengukur kapan transfer kepemimpinan dapat dilaksanakan. Salah satu kriteria yang dipakai adalah rasio bantuan pembangunan resmi (ODA) terhadap pendapatan nasional bruto (ODA to GNP Ratio). Atas dasar kriteria ini, negara-negra penerima bantuan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Kelompok pertama adalah negara-negara yang menerima ODA hingga mencapai 0,1 – 4,9 persen dari GNP. Pada kelompok ini kepemimpinan aid coordination seharusnya berada pada negara penerima dan proses transfer kepemimpinan dapat dilakukan dalam waktu dua tahun. 2. Kelompok kedua adalah negara-negara yang menerima ODA hingga mencapai 5 – 9,9 persen dari GNP. Pada kelompok ini persiapan ke arah transfer kepemimpinan membutuhkan waktu setidaknya lima tahun. 3. Kelompok ketiga adalah negara-negara yang menerima ODA lebih dari 10 persen GNP-nya. Negara-negara yang termasuk dalam kelompok ini dapat dikatakan mempunyai sindrom ketergantungan pada bantuan luar negeri. Berdasarkan data Bank Dunia, ODA yang diterima Indonesia pada kurun waktu 1993–1997 adalah 0,8 persen dari GNP. Sementara berdasarkan data Development Assistance Committee OECD, rasio ODA yang diterima Indonesia terhadap GNP pada tahun 1998 adalah 1,47 persen dan pada tahun 2000 rasionya adalah 1,23 persen. 4. HASIL KAJIAN Selama lebih dari 11 tahun, Consultative Group for Indonesia (CGI) telah menunjukkan peran penting dalam menopang proses pembangunan di Indonesia melalui berbagai bentuk/skema pinjaman dan hibah. Sebagaimana pendahulunya (IGGI) dan forum yang serupa, CGI dibentuk sebagai forum koordinasi bantuan (aid coordination)dan dirancang sebagai: (1) wadah konsultasi dan pertukaran informasi kebijakan antara donor/kreditor dengan Pemerintah Indonesia ataupun antar donor/kreditor; (2) sarana melakukan koordinasi, harmonisasi dan sinergi berbagai pinjaman dan bantuan yang diberikan, sehingga meningkatkan kuantitas maupun kualitas pinjaman. Bank Dunia mencatat dua variabel yang terkait dengan koordinasi dan upaya mengefektifkan bantuan, yaitu, pertama adalah komitmen negara (ownership of sound development priorities and policies); kedua, adalah kapasitas kelembagaan untuk mengelola dan mengkoordinasi bantuan (aid coordination). Pembentukan CGI sebagai pengganti IGGI dilatarbelakangi pertimbangan politik. Pemerintah Indonesia di era Soeharto merasa bahwa Pemerintah Belanda sebagai Ketua IGGI telah memanfaatkan IGGI sebagai alat intimidasi dan secara semena-mena menggunakan bantuan untuk mengancam. Dengan dibubarkannya IGGI dan dibentuknya CGI, Pemerintah Indonesia mengharapkan agar forum ini dapat memfokuskan pada upaya pemberian pendanaan bagi Indonesia dan tidak membahas hal-hal lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan bantuan yang diberikan. Sejak dibentuk pada 1992 sampai pertemuan tahunan bulan Januari 2003, CGI telah memberikan komitmen pendanaan (pledge) sejumlah USD 58.824,89 juta. Pledge CGI menunjukkan kecenderungan menaik dari tahun ke tahun. Tetapi cenderung menurun sejak tahun 2000. Dari 29 negara atau lembaga peserta CGI, Bank Dunia, ADB, dan Jepang merupakan tiga kontributor terbesar. Secara total, pledge ketiga kreditor/donor tersebut mencapai lebih dari 80 persen total pledge CGI. Bila diamati lebih lanjut rata-rata hanya delapan sampai sembilan peserta CGI yang memberi kontribusi pledge satu persen atau lebih dari seluruh pledge yang diberikan tiap pertemuan tahunan. Kemudian, rata-rata 5
hanya lima peserta yang memberi kontribusi pledge dua persen atau lebih, dari seluruh pledge yang diberikan setiap pertemuan tahunan. Secara keseluruhan, sejak tahun 1992 sampai Januari 2003, hanya 11 peserta yang total pledge-nya mencapai satu persen dari total pledge CGI 1992–2003; dan hanya lima peserta yang total pledge-nya mencapai dua persen total pledge CGI 1992–2003. Pledge dari peserta CGI didasarkan pada perkiraan disbursement dalam satu tahun anggaran ke depan, atau berdasarkan komitmen yang realisasi pencairannya bergantung pada kesiapan pelaksanaan proyek/kegiatan yang disepakati. Disamping itu, sebagian pledge dikelola langsung oleh donor dan dialokasikan kepada organisasi non pemerintah. Dengan demikian, pledge yang diberikan pada pertemuan CGI tidak serta merta terkait dengan defisit APBN tahun berjalan atau APBN setahun berikutnya. Penyaluran pledge dari kreditor/donor CGI dapat dipandang sebagai kepercayaan dari komunitas internasional terhadap kinerja dan program Pemerintah Indonesia. Pada sisi lain, meskipun tidak serta merta terkait dengan defisit APBN tahun berjalan atau APBN setahun berikutnya, pledge CGI tetap dapat dijadikan salah satu indikator pertambahan utang luar negeri Pemerintah Indonesia. Semakin besar pledge yang diberikan dalam bentuk pinjaman (dengan dasar perkiraan disbursement), semakin besar pula pertambahan utang luar negeri pemerintah. Pada masa awal CGI, sukses tidaknya delegasi Indonesia diukur dari seberapa besar komitmen yang didapatkan dari para peserta CGI. Padahal di saat yang bersamaan terdapat amanat GBHN untuk mengurangi pinjaman luar negeri secara bertahap. Sesuai dengan maksud penggantian IGGI dengan CGI, pada tahun-tahun awal, isuisu pertemuan CGI hanya terfokus pada masalah kebijakan ekonomi makro (fiskal dan moneter) dan kebijakan lain yang terkait secara langsung dengan bantuan CGI. Sejak tahun 1997 isu-isu yang dibahas melebar ke arah kebijakan sosial politik. Dengan semakin berkembangnya isu yang dibahas, pejabat-pejabat Indonesia yang terlibat dalam (pertemuan) CGI juga bertambah. Energi yang diperlukan untuk mempersiapkan serta menanggapi berbagai isu yang dibahas dalam pertemuan CGI juga bertambah. Pada tahun 2000 terdapat perubahan yang cukup mendasar pada pertemuan CGI. Perubahan tersebut meliputi: (1) untuk pertama kalinya pertemuan CGI dilaksanakan di Indonesia; (2) untuk pertama kalinya pertemuan CGI mengundang kehadiran organisasi non pemerintah; (3) dibentuknya kelompok-kelompok kerja (working groups). Dalam praktiknya, isu-isu yang dibahas dalam pertemuan CGI dan kelompok kerja tidak selalu berkorelasi dengan bantuan dari para kreditor/donor. Kelompok-kelompok kerja pada dasarnya dibentuk sebagai forum tukar pikiran untuk menindaklanjuti pembahasan dan kesepakatan dalam pertemuan CGI. Sampai pertemuan bulan Januari 2003 telah terbentuk sembilan kelompok kerja. Beberapa kelompok kerja telah berjalan baik sesuai dengan action plan yang disusun dan dapat meningkatkan koordinasi antar lembaga di Indonesia dengan pihak kreditor/donor. Sebagian lagi belum menunjukkan kemajuan seperti yang direncanakan. Selama ini pihak kreditor/donor yang lebih banyak mengatur kelompok kerja dan agenda yang dibahas lebih memprioritaskan kepentingan mereka, sehingga terkesan donor driven. Hal ini disebabkan kelompok kerja juga dipimpin pihak kreditor/donor dan Pemerintah Indonesia kurang siap. Meskipun beberapa kreditor/donor utama telah mempunyai kerangka kerjasama bilateral dengan Pemerintah Indonesia, termasuk perangkat pertemuan bilateral tahunan, para kreditor/donor tersebut tetap memandang penting pertemuan CGI, terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai forum dialog kebijakan (policy dialog). Tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan mengakhiri kontrak kerjasama dengan IMF. Salah satu konsekuensi berakhirnya kontrak kerjasama ini adalah tidak
6
didapatkan lagi fasilitas penjadwalan utang. Hal ini menyebabkan tekanan yang berat pada APBN. Pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 APBN diperkirakan masih mengalami defisit. Selanjutnya pada tahun 2006 APBN diperkirakan berada pada posisi surplus terhadap PDB. Walaupun demikian. dengan terbatasnya sumber pendanaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri terutama yang bersifatnya konsesional dan pinjaman program dari CGI masih diperlukan. Beberapa estimasi fiskal tahun 2004 sampai dengan 2009 antara lain: 1. APBN tahun 2005 pada posisi berimbang (defisit/surplus 0% dari PDB) selanjutnya pada tahun 2006 akan mengalami surplus 0,8% dan bergerak ke posisi surplus 2,3% pada tahun 2009. 2. Defisit tersebut akan ditutup dengan pembiayaan pokok. Pada tahun anggaran 2003 (APBN-P) pembiayaan pokok belum dapat menutup defisit sehingga terjadi financing gap 0,8 persen dari PDB. Sementara itu, pada tahun 2004 pembiayaan pokok menunjukkan angka negatif akibat pembayaran pokok pinjaman jauh melebihi jumlah pinjaman proyek yang ditarik (lebih dari 2 kali lipat). Hal ini menyebabkan financing gap melonjak menjadi 1,8 persen dari PDB. Financing gap masih akan terjadi pada tahun 2005, yaitu sekitar 1,2 persen dari PDB. Meskipun pada tahun 2006 dan 2007 APBN sudah mengalami surplus sebesar 0,8 persen dan 1,4 persen, masih akan terjadi financing gap sebesar 0,7 persen dan 0,2 persen. Pada tahun 2008 dan 2009 diperkirakan tidak terjadi lagi financing gap. 3. Penarikan pinjaman proyek sebesar 1 persen dari PDB pada tahun 2004 diperkirakan akan terus menurun menjadi 0,8 persen pada tahun 2005; dan 0,6 persen pada tahun 2006 – 2008. Kemudian pada tahun 2009 diperkirakan 0,5 persen. Sedangkan pinjaman program masih akan diterima sampai tahun 2006 sebesar 0,2 persen dari PDB. 4. Seperti terlihat pada tabel lampiran 6 dan 7, rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri maupun rasio stok rasio utang luar negeri terhadap PDB cenderung menurun. Akan tetapi pendanaan luar negeri dapat saja dilanjutkan untuk membayar utang pokok luar negeri (amortisasi) yang belum dapat dipenuhi dari sumber di dalam negeri. 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada saat ini dan beberapa tahun ke depan, secara garis besar terdapat dua hal yang dihadapi Pemerintah Indonesia. Pertama adalah amanat untuk mengurangi ketergantungan. Kedua, adalah fakta bahwa Pemerintah Indonesia masih menghadapi dan harus mengatasi berbagai tantangan yang memerlukan dukungan pendanaan, yang dalam beberapa tahun ke depan belum sepenuhnya dapat diandalkan dari sumber-sumber domestik. Dalam situasi seperti ini, lebih-lebih bila dikaitkan dengan rencana pemutusan perjanjian kerjasama dengan IMF dan tidak adanya fasilitas Paris Club, pendanaan luar negeri, terutama pinjaman program dan dana ODA menjadi penting bagi Indonesia. Pinjaman program dan dana ODA tersebut selama ini bersumber dari kreditor dan donor yang tergabung dalam CGI. Dengan demikian keberadaan CGI sebagai sumber pendanaan luar negeri dan sarana untuk mengkoordinasi berbagai pinjaman dan hibah luar negeri masih dibutuhkan. 5.2
Rekomendasi Berdasarkan penelaahan, studi ini menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Menempatkan CGI dan Memfokuskan Fungsinya sebagai Forum Aid Coordination
7
Berdasarkan pertimbangan aspek keberlanjutan fiskal, maka dalam jangka menengah keberadaan dan kontribusi para kreditor dan donor di CGI masih penting. Soalnya Indonesia masih membutuhkan pendanaan luar negeri untuk mengatasi defisit dan financing gap. CGI diperlukan dalam kapasitas dan fungsinya sebagai aid coordination forum, yaitu untuk mempertajam sinergi dan meningkatkan koordinasi berbagai pinjaman dan bantuan kreditor/donor. Oleh karena itu agenda CGI perlu difokuskan atau diprioritaskan untuk membantu mengatasi defisit dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas pemanfaatan kontribusi pendanaan luar negeri. 2. Melakukan Perubahan Mekanisme Kerja dan Kepemimpinan CGI Dalam jangka menengah, selama keberadaan CGI masih dibutuhkan, diperlukan perubahan mekanisme kerja di CGI, sehingga tidak donor-led, melainkan mengarah pada Indonesia-led. Setidak-tidaknya mekanisme kerja dipimpin bersama-sama atau diubah dari donor-driven aid coordination menuju country-driven aid coordination. Prasyarat menuju Indonesia-led adalah adanya komitmen yang kuat dan kapasitas kelembagaan yang kuat. Melihat banyaknya peserta CGI dan kuatnya orientasi pembangunan para kreditor/donor, upaya ke arah country-driven aid coordination merupakan tantangan yang tidak ringan (challenging). Berdasarkan kriteria yang disusun Bank Dunia (rasio ODA terhadap PNB), transfer kepemimpinan ke arah Indonesia-led aid coordination dapat dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun. Dalam rangka menuju Indonesia-led aid coordination dan manager of aid, upaya pertama yang perlu dilaksanakan adalah mengubah kepemimpinan pertemuan tahunan maupun midterm review/meeting. Pemerintah atau delegasi Indonesia perlu menempatkan diri sebagai ketua bersama yang turut mengatur jalannya pertemuan dan bukan sekedar mendampingi Bank Dunia. 3. Memfokuskan Isu dan Agenda Pertemuan Pemerintah Indonesia perlu mengambil prakarsa lebih banyak dan aktif dalam menentukan agenda-agenda pertemuan. Sesuai semangat pembentukan CGI, isu-isu yang diagendakan dalam pertemuan perlu difokuskan pada isu-isu yang terkait langsung dengan utang/bantuan. Sebagai pimpinan bersama pada pertemuan, Pemerintah (Ketua Delegasi) Indonesia dapat mengambil inisiatif untuk mengarahkan diskusi atau pernyataan-pernyataan yang melebar dari topik yang telah diagendakan. Perluasan agenda bisa saja dilakukan tetapi diarahkan untuk mendorong masuknya lebih banyak private capital inflow, bukan hanya official capital inflow. 4. “Mereorganisasi” dan Meningkatkan Peran dalam Kelompok Kerja serta Menyusun Prioritas Agenda Kerjanya Untuk mengefektifkan fungsi CGI sebagai aid coordination forum, pembentukan kelompok kerja dapat dipertahankan. Kelompok-kelompok kerja yang diperlukan adalah yang terkait langsung dengan kontribusi peserta CGI, yaitu di sektorsektor yang banyak mendapatkan pembiayaan dari utang/bantuan CGI. Misalnya kelompok kerja prasarana, kesehatan, dan pendidikan. Namun demikian, Pemerintah Indonesia terlebih dahulu perlu mempunyai blue print yang jelas, sehingga kelompok kerja tersebut dapat berfungsi dan mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu sinergi, harmonisasi, efisiensi dan efektifitas utang/bantuan. Pemerintah Indonesia harus mengambil prakarsa dan kepemimpinan dalam kelompok kerja. Agenda kerja dalam kelompok kerja harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan diarahkan untuk sinergi, efisiensi dan efektifitas 8
bantuan. Dengan demikian, harus dilakukan pembenahan di pihak Indonesia, antara lain perlu keseriusan, konsistensi keterlibatan dan peningkatan kapasitas pejabatpejabat pemerintah dalam kelompok kerja. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga termasuk dengan organisasi non pemerintah perlu terus diperkuat. Isu-isu lain yang tidak berkaitan langsung dengan utang/bantuan atau sektorsektor yang CGI relatif tidak besar kontribusinya, maka tidak perlu dibahas dalam kelompok kerja. Apabila isu-isu lain tersebut berpengaruh terhadap pemanfaatan utang/bantuan secara makro, hal tersebut dapat diakomodasi pada forum dialog kebijakan yang diselenggarakan secara terpisah. 5. Menyelenggarakan Forum Policy Dialog di Luar CGI Salah satu fungsi aid coordination forum adalah memfasilitasi pertukaran informasi dan dialog kebijakan. Dalam konteks inilah para negara, lembaga kreditor, dan donor sangat berkepentingan atas keberadaan CGI. Hal ini bukan saja karena relevan dengan utang dan bantuan yang diberikan, tetapi juga sangat penting artinya bagi hubungan (bilateral) mereka dengan Indonesia dalam konteks lebih luas, baik secara politik maupun ekonomi. Karena itu Pemerintah Indonesia perlu mengambil prakarsa mengadakan forum policy dialog yang dirancang sebagai sarana untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan strategis dan program-program pembangunan yang direncanakan. Tujuan forum ini adalah membangun saling pengertian dan membantu meningkatkan kepercayaan internasional. Melalui forum ini komunitas internasional dapat memperoleh informasi dan klarifikasi secara langsung dari para pengambil keputusan politik, terutama mengenai hal-hal yang bersifat lintas sektor dan lintas lembaga. Sebagai suatu forum dialog yang diorganisasi Pemerintah Indonesia, forum ini akan terhindar dari suasana “monitoring” dan “reporting” seperti yang selama ini terjadi di forum CGI. Pemerintah Indonesia juga mempunyai “keleluasaan” dalam menentukan agenda dan isu yang diangkat. Selain melibatkan peserta-peserta CGI yang signifikan kontribusinya, forum ini juga dapat melibatkan negara non-CGI yang memiliki posisi strategis terhadap Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi, seperti negara-negara anggota ASEAN, RRC dan Rusia. Prakarsa untuk mengadakan forum policy dialog tersebut dapat dilakukan oleh lembaga Pemerintah Indonesia yang mempunyai fungsi dan kapasitas melakukan koordinasi pembangunan nasional, dan yang mempunyai network kuat dengan negaranegara/lembaga-lembaga internasional. 6. Memperkuat, Mengintensifkan dan Menjaga Komitmen Kerjasama Bilateral Di luar kerangka CGI, Pemerintah Indonesia perlu mengintensifkan kerjasama bilateral dengan kreditor/donor multilateral dan bilateral yang memberikan kontribusi pledge signifikan (Bank Dunia, ADB, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Jerman, Kanada, IDB, UNDP). Hal ini sangat penting mengingat komitmen dan kesepakatan kerjasama bilateral dengan negara-negara/lembaga-lembaga itulah yang sebenarnya menentukan proses dan keputusan/hasil CGI. Sepanjang Pemerintah Indonesia dan mitra bilateral berpegang pada komitmen dan ikatan yang telah disepakati, dukungan pendanaan berupa hibah dan pinjaman tetap dapat diterima. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan seluruh instrumen/mekanisme yang tersedoa dalam kerjasama bilateral untuk menjamin aliran dana, membahas isu-isu penting dan memecahkan permasalahan-permasalahan. Dengan demikian pihak kreditor/ donor tidak terlalu mengandalkan forum CGI yang dapat melemahkan bargaining position Pemerintah Indonesia. 9
7. Meningkatkan Pengelolaan Pinjaman dan Bantuan Luar Negeri Pemerintah Indonesia harus terus menerus melakukan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan utang dan bantuan luar negeri (foreign debt and aid management), baik dari aspek kebijakan maupun kelembagaan, termasuk sumber daya manusianya. Aspirasi dan concern berbagai kalangan civil society perlu juga dijadikan rujukan dalam pengelolaan utang dan bantuan luar negeri. Pengadaan utang baru harus disesuaikan kebutuhan dan kapasitas penyerapan serta pengelolaannya. Perlu dilakukan upaya-upaya lebih kuat untuk mengatasi masalah-masalah klasik sistemik, seperti keterlambatan pelaksanaan dan rendahnya penyerapan, yang berakibat menambah biaya pinjaman. Pada tataran yang lebih luas, perlu usaha yang lebih keras untuk menghapus penyalahgunaan dan kebocoran dana utang dan hibah luar negeri. Upaya menyelesaikan berbagai permasalahan sistemik tersebut tidak dapat dilakukan secara sepihak atau dari sisi Pemerintah Indonesia saja, melainkan harus melibatkan para kreditor/donor. Dengan kata lain, upaya tersebut harus merupakan komitmen bersama. Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan, prosedur dan birokrasi pihak kreditor/donor.
CATATAN BELAKANG 1 Pembiayaan pokok terdiri atas pembiayaan luar negeri (pinjaman proyek ditambah amortisasi) dan pembiayaan domestik (perbankan dan non perbankan berupa privatisasi, penjualan aset penjualan obligasi dan buyback). Defisit/surplus dikurangi pembiayaan pokok akan menghasilkan financing gap. Sumber untuk menutup financing gap berasal dari pinjaman program, penjualan obligasi dollar, dan pengunaan rekening dana investasi ataupun sisa anggaran lebih.
10
DAFTAR PUSTAKA
BPS, Bappenas, UNDP. 2001. Laporan Pembangunan Manusia 2001: Menuju Konsensus Baru Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta Departemen Penerangan RI. 1988. Himpunan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 1960–1988. Jakarta. Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia, Government External Debt, Tahun 1993 – 2003 Direktorat Pemantauan dan Evaluasi Pendanaan Bappenas. 2003. Laporan Kinerja Proyek Pinjaman Luar Negeri Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral Bappenas. 2003. Prosiding Round Table Discussion. Disch, Arne. 1999. Aid Coordination and Aid Effectiveness. Norway: Royal Norwegian Ministry of Foreign Affairs. International Monetary Funds. 1997. Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition Economies. Washingthon D.C. Krueger, Anne O, Constantine Michalopoulus, dan Vernon W. Ruttan. 1989. Aid and Development. Baltimore: John Hopkins University Press. Litbang Kompas. 2003. “Jejak Pendapat Kompas, Simalakama Pinjaman Asing,” Kompas, 27 Januari. Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 dan Tahun Anggaran 2001 Notosusanto, Nugroho, Sartono Kartodirdjo, Marwati D. Pusponegoro. 1976. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Percetakan Negara Republik Indonesia. 1969. Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1969/70 – 1973/74. Jakarta. _________. 1974. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 1974/75 – 1978/79. Jakarta. _________. 1979. Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga 1979/80 – 1983/84. Jakarta. _________. 1984. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat 1984/85 – 1988/89. Jakarta. _________. 1989. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima 1989/90 – 1993/94. Jakarta. _________. 1993. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1993. Jakarta. _________. 1994. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kenam 1994/95 – 1998/99. Jakarta. _________. 1995. 30 tahun Indonesia Merdeka: 1960 – 1975. Jakarta. _________. 1998. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998. Jakarta. _________. 2000. Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Jakarta. _________. 2002. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002. Jakarta Posthumus, G.A. 1971. The Inter Governmental Group on Indonesia. Rotterdam: Rotterdam University Press. Rencana Pembangunan Tahunan Tahun Anggaran 2004 http://www.bppt.go.id/rakorbangnas03 Sekretariat Jenderal MPR RI. 1999. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1999. Jakarta. Swasono, S.E. dan Sritua Arief. 1999. “Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia,” Republika, 15 Desember. World Bank. 1989. World Bank Operational Directive. Washington DC. World Bank. 1999. The Drive to Partnership: Aid Coordination and the World Bank. Washington D.C.: World Bank. www.oecd.org 11
LAMPIRAN Lampiran 1. Perkembangan Pledge IGGI/CGI Pledge IGGI/CGI Tahun/Repelita
Bilateral Juta USD
1967/68 - 1968/69
Multilateral %
Juta USD
Total
%
(Juta USD)
522,87
98,5
8,18
1,5
531,05
(1969/70 – 1973/74)
2.870,10
81,8
636,53
18,2
3.506,63
II (1974/75 - 1978/79)
3.062,36
46,8
3.481,66
53,2
6.544,02
III (1979/80 – 1983/84)
3.961,58
38,2
6.419,85
61,8
10.381,43
IV (1984/85 – 1988/89)
5.798,17
39,7
8.804,09
60.3
14.602,26
V (1989/90 – 1993/94)
10.041,90
42,5
13.585,90
57,5
23.627,80
VI (1994/95 – 1998/99)
12.245,33
42,2
16.769,76
57,8
29.015,09
8.824,30
38,6
14.045,80
61,4
22.870,10
47.326,61
42,6
63.751,77
57,4
111.078,38
I
1999 - 2003 Jumlah
Sumber: Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral – Bappenas
Lampiran 2. Proporsi Pledge IGGI/CGI Berdasarkan Kreditor/Donor (dalam persen) Bank Dunia
ADB
Jepang
1,5
0,0
32,0
0,0
66,4
(1969/70 – 1973/74)
14,7
3,2
24,2
0,3
57,6
II (1974/75 - 1978/79)
42,5
10,6
13,5
0,1
33,3
III (1979/80 – 1983/84)
43,6
15,3
14,1
3,0
24,0
IV (1984/85 – 1988/89)
39,7
17,8
21,3
2,8
18,4
V (1989/90 – 1993/94)
32,7
21,7
29,0
3,1
13,5
VI (1994/95 – 1998/99)
27,9
23,8
31,3
5,6
11,3
1999 – 2003
30,7
26,8
26,2
3,9
12,3
Tahun/Repelita 1967/68 - 1968/69 I
Sumber: Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral – Bappenas
12
Multilateral Lainnya
Bilateral Lainnya
Lampiran 3. Ikhtisar Perkembangan Pledge IGGI/CGI Tahun 1967 – 2003 (dalam Juta USD) No.
Negara dan Lembaga Internasional
1 Amerika Serikat 2 Australia
Pra Repelita Repelita I Repelita II Repelita III Repelita IV 1967/69
1969/70
s.d
s.d
1968/69
1973/74
1974/75
1979/80
s.d
s.d
----oo0oo--1978/79 1983/84
1984/85
Repelita V Repelita VI 1989/90
1999
Total
1994/95
s.d
1967
2003
s.d
s.d
s.d
1988/89
1993/94
1998/99
s.d 2003
224,01
1.120,90
801,40
637,76
581,00
552,10
579,30
1175,00
5.671,47
19,43
112,41
185,87
200,34
168,40
226,80
274,66
272,70
1.460,61
3 Austria
0,00
0,00
0,55
0,00
22,27
54,10
88,40
80,00
245,32
4 Belanda
40,95
207,87
255,07
299,46
378,21
267,20
0,00
198,70
1.647,46
0,40
25,12
47,32
46,92
19,79
60,70
36,71
13,40
250,36 75,29
5 Belgia 6 Denmark
0,00
8,30
8,35
0,00
0,00
17,40
15,04
26,20
7 Finlandia
0,00
0,00
0,00
0,00
4,00
6,20
3,12
1,00
14,32
8 Inggris
5,26
95,66
37,55
59,27
414,40
290,50
387,49
135,80
1.425,93
0,40
6,25
4,58
35,97
186,66
66,70
11,52
10 Jepang
9 Italia
170,00
848,45
882,08
1.467,30
3.104,90
6.850,00
9.095,75
11 Jerman
50,50
211,42
317,85
199,56
216,41
511,00
856,96
12 Kanada
0,78
100,65
162,46
228,45
170,27
144,20
109,79
70,90
987,50
13 Korea
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
27,90
155,86
90,90
274,66
14 Norwegia
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,00
10,00
10,70
21,70
15 Prancis
11,14
116,95
341,32
783,41
420,59
717,90
379,57
30,00
2.800,88
16 Portugal
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,90
0,90
17 Selandia Baru
0,00
6,52
17,96
0,00
6,03
11,60
15,81
14,00
71,92
18 Spanyol
0,00
0,00
0,00
0,00
60,00
145,00
174,51
208,00
587,51
19 Swedia
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
17,50
17,50
20 Swiss
0,00
9,60
0,00
3,14
45,24
91,60
50,84
16,10
216,52
522,87
2.870,10
3.062,36
3.961,58
5.798,17
10.041,90
12.245,33
8.824,30
47.326,61
21 Bank Dunia
8,18
514,07
2.780,00
4.525,00
5.800,00
7.730,00
8.100,00
7.034,00
36.491,25
22 ADB
0,00
111,82
695,25
1.584,00
2.600,00
5.119,00
6.900,00
6.130,00
23.140,07
23 EU
0,00
10,64
6,41
52,00
83,29
59,90
0,00
40,00
252,24
24 UN Agencies
0,00
0,00
0,00
142,50
206,60
308,00
304,90
489,70
1.451,70
25 UNICEF
0,00
0,00
0,00
42,50
67,20
78,00
58,90
23,90
270,50
26 IFAD
0,00
0,00
0,00
73,85
47,00
111,00
114,07
18,00
363,92
27 EIB
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
244,89
168,20
413,09
BILATERAL
27,00 6.004,00 431,50
339,08 28.422,48 2.795,20
28 Saudi Fund
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
45,00
6,40
51,40
29 Kuwait Fund
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
87,00
0,00
87,00
30 IDB
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
70,00
735,00
76,00
881,00
31 NIB
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
110,00
180,00
59,60
349,60
8,18
636,53
3.481,66
6.419,85
8.804,09
13.585,90
16.769,76
14.045,80
63.751,77
531,05
3.506,63
6.544,02
10.381,43
14.602,26
23.627,80
29.015,09
22.870,10
111.078,38
MULTILATERAL
TOTAL
Direktorat Pendanaan Luar Negeri Bilateral - Bappenas
13
Lampiran 4. Profil Pembayaran dan Penjadwalan Utang Luar Negeri Pemerintah
Tahun Anggaran
PDB (Rp triliun)
Penarikan Pinjaman *) Pengeluaran Proyek Luar Negeri Pendapatan Pembangunan Negara Rupiah dan diluar % Dana Nominal Hibah terhadap Perimbangan (Rp triliun) (Rp triliun) PDB (Rp triliun)
Pinjaman Program dan Penjadwalan Utang Luar Negeri
Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang Luar Negeri
% % % % terhadap % terhadap terhadap Nominal terhadap PP terhadap PN non PP Rupiah (Rp triliun) PN non Rupiah PDB Hibah Hibah dan DP dan DP
Nominal (Rp triliun) Bunga
Cicilan Pokok
-
Jumlah
% (PDB)
1993/1994
n/a
56,11
17,68
10,75
-
-
17,04
30,37
96,38
-
0,00
-
-
-
1994/1995
n/a
66,42
27,50
9,84
-
6,14
12,15
18,29
27,54
66,51
-
0,00
-
-
-
1995/1996
n/a
71,34
27,90
9,00
-
6,62
13,87
20,49
28,72
73,44
-
0,00
-
-
-
1996/1997
n/a
86,28
33,22
11,90
-
6,61
16,29
22,90
26,54
68,93
-
0,00
-
-
-
-
-
-
1997/1998
624,38
101,77
34,32
14,39
2,30
10,82
18,67
29,49
28,98
85,93
4,72
0,00
1998/1999
1.049,70
156,41
42,04
26,18
2,49
24,48
30,05
54,53
34,86
129,71
5,19
24,93
15,94
59,30
2,37
1999/2000
1.134,60
200,64
50,70
24,38
2,15
20,50
20,20
40,70
20,29
80,28
3,59
25,20
12,56
49,70
2,22
2000
937,45
205,33
41,92
16,97
1,81
18,80
7,62
26,42
12,87
63,02
2,82
0,80
0,39
1,91
0,09
2001
1.449,40
300,60
102,42
20,21
1,39
28,90
15,88
44,78
14,90
43,72
3,09
6,42
2,14
6,27
0,44
2002
1.610,01
304,89
125,00
20,22
1,26
28,32
13,05
41,37
13,57
33,10
2,57
9,35
3,07
7,48
0,58
2003
1.791,64
337,47
179,55
14,75
0,82
26,79
17,59
44,38
13,15
24,72
2,48
5,74
1,70
3,20
0,32
2004*)
2.003,20
343,24
182,96
23,45
1,17
24,70
44,90
69,60
20,28
38,04
3,47
6,50
1,89
3,55
0,32
Keterangan:
PN = Pendapatan Negara , PP = Pengeluaran Pembangunan, DP= Dana Perimbangan
Tahun 2004 merupakan angka RAPBN dan penarikan pinjaman proyek termasuk obligasi internasional Rp 3,5 triliun Sumber :Diolah dari data-data Nota PAN keluaran Departemen Keuangan
Lampiran 5. Proyeksi Pembayaran Bunga dan Pokok Utang Pemerintah sebagai Persentase dari PDB 2003 – 2009 Utang Pemerintah
2003
2004
2005
2006
Pokok utang dalam negeri
0,3
1,1
1,1
1,5
Bunga utang dalam negeri
2,7
2,1
2,0
1,7
Pokok utang luar negeri
1,0
2,2
2,0
1,9
Bunga utang luar negeri
1,3
1,2
1,1
0,9
2007
2008
2009
1,5
1,5
1,2
1,5
1,2
1,0
1,7
1,6
1,5
0,8
0,8
0,7
Keterangan: Angka tahun 2003 merupakan angka APBN-P dan tahun 2004 merupakan angka APBN
14
Lampiran 6. Proporsi Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah No.
Tahun
IGGI/CGI
PDB (Ribu US $)
(Ribu US $)
Non IGGI/CGI
% PDB % Total
(Ribu US $)
% PDB
Total % Total
(Ribu US $)
%
1
1993
157.938.602
36.994.073
23,4
68,7
16.856.943
10,7
31,3
53.851.016
34,1
2
1994
173.736.227
40.810.471
23,5
69,6
17.805.132
10,2
30,4
58.615.603
33,7
3
1995
196.929.853
42.388.600
21,5
71,1
17.199.638
8,7
28,9
59.588.238
30,3
4
1996
223.486.354
38.227.242
17,1
69,1
17.075.396
7,6
30,9
55.302.638
24,7
5
1997
134.275.269
34.662.795
25,8
64,4
19.202.084
14,3
35,6
53.864.879
40,1
6
1998
130.803.738
38.789.147
29,7
57,6
28.526.076
21,8
42,4
67.315.223
51,5
7
1999
159.802.817
45.248.053
28,3
59,8
30.472.192
19,1
40,2
75.720.245
47,4
8
2000
97.701.522
44.099.113
45,1
58,9
30.791.611
31,5
41,1
74.890.724
76,7
9
2001
139.365.202
42.019.914
30,2
60,5
27.383.631
19,6
39,5
69.403.545
49,8
10
2002
178.592.524
44.564.887
25,0
61,1
28.428.815
15,9
38,9
72.993.702
40,9
11
2003*)
52.371.756
45.661.789
87,2
60,7
29.517.245
56,4
39,3
75.179.034
143,5
*)
Data utang dan PDB sampai dengan 30 Juni 2003
Sumber : Diolah dari data Bank Indonesia dan BPS. Jumlah PDB dalam US $ berdasarkan kurs Bank Indonesia pada tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan dan 30 Juni 2003 (untuk tahun 2003)
Lampiran 7. Perkembangan Penyerapan Utang Luar Negeri Pemerintah Komitmen awal (original commitment ) Tahun
IGGI/ CGI
Non IGGI/CGI
Total
Pinjaman yang sudah terserap (disbursed )
Pinjaman yang belum terserap (undisbursed )
IGGI/ CGI
IGGI/ CGI
Non IGGI/CGI
Non IGGI/CGI
Total
Total
31 Desember 1997
60.757.673
43.577.514
104.335.187
47.624.611
29.616.540
77.241.151
12.290.418
11.742.814
24.033.232
31 Desember 1998
69.638.863
45.684.708
115.323.571
52.869.310
38.876.978
91.746.288
13.146.569
4.260.500
17.407.069
31 Desember 1999
74.026.180
48.520.157
122.546.337
59.284.153
40.543.199
99.827.352
14.003.052
5.147.444
19.150.496
31 Desember 2000
71.986.743
52.013.818
124.000.561
59.180.076
42.206.065
101.386.141
11.547.786
7.285.135
18.832.921
31 Desember 2001
68.560.873
48.137.751
116.698.624
57.694.898
40.987.583
98.682.481
7.986.727
1.386.685
9.373.412
31 Maret 2002
68.737.417
47.556.324
116.293.741
58.372.724
41.520.092
99.892.816
8.566.201
1.240.243
9.806.444
30 Juni 2002
72.116.907
50.727.584
122.844.491
61.687.610
45.337.721
107.025.331
8.894.232
738.323
9.632.555
30 September 2002
74.000.766
53.305.810
127.306.576
62.158.845
45.520.247
107.679.092
10.190.261
4.331.308
14.521.569
31 Maret 2003
75.272.273
52.017.461
127.289.734
63.999.374
46.198.003
110.197.377
8.738.895
3.079.588
11.818.483
30 Juni 2003
61.118.354
66.091.739
127.210.093
64.670.473
47.030.693
111.701.166
(6.091.195)
17.327.447
11.236.252
Keterangan:
Sumber:
Pada data di atas terdapat ketidaksesuaian matematis antara komitmen awal dengan penyerapan dan sisa dana yang belum terserap. Hal ini disebabkan antara lain oleh (i) penghapusan sisa pinjaman yang belum dipergunakan dari pencatatan bila telah melampaui batas waktu penarikan (ii) adanya currency pooling system yang diterapkan IBRD dan ADB. Dalam sistem ini nilai penarikan/penyerapan merupakan nilai sesudah penyesuaian kurs valuta yang ada dalam basket yang besarnya dapat kurang atau melampaui penarikan yang sebenarnya. Data utang tersebut di atas termasuk penjadwalan ulang (rescheduling ) dalam rangka Paris Club I, II, dan III Sumber: Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia, Pinjaman Luar Negeri Pemerintah , berbagai edisi.
15