BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, CEK KOSONG, DAN JAMINAN
2.1 Perlindungan Hukum 2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan
hukum
(rechtshandeling)
dan
hubungan
hukum
(rechtsbetrekkingen).13 Perbuatan
hukum
(rechtshandeling)
diartikan
sebagai
setiap
perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain.14 Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara
13
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.49. Ibid, h.269.
14
21
22
individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”.15 Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum.16 Menurut CST Kansil, perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.17 Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan
15
Ibid. Ibid, h.270. 17 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.102. 16
23
kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. Kesimpulan dari hal tersebut di atas, bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum. Dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, maka sistem perlindungan hukum yang dianut harus berpijak pada dasar Negara Pancasila, yaitu tidak hanya melihat hak dan kewajiban di dalam masyarakat. 2.1.2 Prinsip–Prinsip Perlindungan hukum Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandas pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara. Prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan, Pancasila adalah sebagai berikut.
24
1) Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama. 2) Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan.18 2.1.3 Bentuk – Bentuk Perlindungan Hukum Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut.
18
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h.19-20.
25
1) Perlindungan Hukum Yang Preventif Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.
2) Perlindungan Hukum Yang Represif Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu: pengadilan dalam lingkup peradilan umum, instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi, badan-badan khusus.19
19
Ibid, h.5
26
2.2 Cek Kosong 2.2.1 Istilah Dan Pengertian Cek kosong Istilah cek berasal dari bahasa Perancis “Cheque”, yang berarti mencocokkan yang berarti meliputi pengertian melihat atau memperlihatkan. Kemudian bahasa Belanda dan Inggris mengadopsi istilah tersebut. Dalam Kamus Hukum, pengertian cheque adalah surat perintah yang ditujukan kepada bank untuk membayar sejumlah uang yang tertulis dalam surat itu dan merupakan alat pembayaran.20 Di dalam undang-undang tidak terdapat perumusan atau definisi dari surat cek, Pasal 178 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) hanya mengatur syarat-syarat formal surat cek, sehingga dari Pasal ini dapat disimpulkan pengertian atau definisi surat cek. Surat cek adalah surat yang memuat kata cek, yang diterbikan pada tanggal dan tempat tertentu, dimana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada bank untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang atau pembawa cek.21 Dilihat dari pembagian surat berharga, maka cek termasuk dalam kelompok Schuldvorderingspapieren, yaitu surat yang pemegangnya dapat meununtut pembayaran sejumlah uang sebesar nilai suratnya.
20
J.C.T Simorangkir, dkk, 1987, Kamus Hukum, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, h. 26 James Julianto Irawan, loc.cit, h. 128
21
27
Emmy Pangaribuan Simanjutak mengatakan bahwa pengertian cek kosong adalah sepucuk cek yang yang sejak saat diterbitkannya tidak tersedia dana (fonds) yang cukup pada bank atas nama cek tersebut diterbitkan.22 Cek kosong adalah cek yang diunjukkan dan ditolak tertarik dalam tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh penarik karena saldo tidak cukup atau rekening telah ditutup.23
2.2.2 Pihak–Pihak Dalam Penerbitan Cek Di dalam penerbitan sebuah cek melibatkan beberapa pihak yang saling terkait satu sama lain, dan pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan cek antara lain. 1) Penerbit, penarik, orang yang menerbitkan atau mengeluarkan surat cek. 2) Pemegang, yaitu orang yang diberi hak untuk memperoleh pembayaran yang namanya tercantum dalam surat cek. 3) Pembawa, untuk cek yang mempunyai klausula atas tunjuk, yaitu orang yang ditunjuk untuk memperoleh pembayaran, tanpa menyebutkan namanya dalam surat cek, siapa saja yang menunjukan dan membawa kepada bank akan menerima pembayaran, hal ini akibat dari klausula atas tunjuk yang terdapat dalam surat cek.
22
Emmy Pangaribuan Simanjutak, 1982, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h. 153 23 Hukum Online, 2012, Akibat Hukum Cek dan Bilyet Giro Kosong, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0ff727662af/akibat-hukum-cek-dan-bilyet-girokosong. diakses tanggal 20 September 2015
28
4) Pengganti, untuk cek yang mempunyai klausula atas pengganti, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pemegang surat cek dengan jalan endosemen, namun saat ini sudah jarang cek yang diterbitkan dengan klausula atas pengganti, kebanyakan selalu diterbitkan atas pembawa atau atas pengganti. 5) Tersangkut, yaitu bank yang diberi perintah tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang.
2.2.3 Klausula Dan Cara Peralihan Surat Cek Cara peralihan surat cek menurut KUHD sebagai berikut.
Ada nama pemegang disertakan klausula atas penganti/kepada tertunjuk, maka peralihannya dengan cara endosemen.
Ada nama pemegang saja, maka peralihannya dengan cara endosemen.
Ada nama pemegang disertai klausula tidak atas pengganti/tidak kepada tertunjuk, maka peralihannya dengan cara cessie.
Ada nama pemegang disertai klausula atas pembawa/atas tunjuk, maka peralihannya dengan cara langsung hand to hand.
Tidak ada nama pemegang dan tidak ada klausula apapun dianggap sebagai cek dengan klausula atas pembawa/atas tunjuk, sehingga peralihannya dengan cara langsung hand to hand.
Saat ini yang banyak digunakan yaitu cek dengan klausula atas tunjuk atau atas pembawa, yang peralihannya yaitu dengan cara hand to hand atau diserahkan langsung dari tangan ke tangan. Jika cek yang berklausula atas
29
tunjuk ini ditulis nama pemegangnya kemudian klausula atas tunjuk pembawanya dicoret, maka peralihannya dalam praktik yaitu dengan endosemen.
2.2.4 Syarat Formal Surat Cek Sebuah cek harus memenuhi hal-hal seperti di bawah ini yang dikenal dengan syarat formal, syarat formal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 178 KUHD, yaitu : a. istilah cek harus tertulis dalam surat cek dalam bahasa yang digunakan dalam surat cek tersebut; b. perintah tidak bersyarat kepada bank untuk membayar sejumlah uang; c. nama tersangkut yang harus membayar (bank); d. tempat pembayaran dilakukan; e. tanggal dan tempat surat cek tersebut diterbitkan; f. tanda tangan orang yang menerbitkan. Apabila dalam surat cek tersebut tidak memuat salah satu syarat dari syarat-syarat formal seperti yang telah disebutkan di atas, maka surat cek tersebut dinyatakan tidak berlaku, kecuali dalam hal : a. Surat cek yang tidak menetapkan tempat pembayaran secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tersangkut dianggap sebagai tempat pembayaran. Pada umumnya tempat pembayaran memang tidak tertulis dalam teks surat cek. b. Bila tidak penunjukan maka surat cek tersebut harus dibayar di tempat kantor pusat tersangkut.
30
c. Cek
yang
tidak
menerangkan
tempat
diterbitkannya,
dianggap
ditandatangani di tempat yang tertulis di samping nama penerbit (179 KUHD). 2.2.5 Jenis Dan Macam Cek Surat cek juga mempunyai jenis dan macam yang berbeda satu dengan yang lain, dimana jenis dan macam tersebut dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal, antara lain. a) Cek Atas Pengganti Penerbit (Pasal 183 ayat (1) KUHD) Yaitu cek
yang diterbitkan dengan tidak
menyebutkan nama
pemegangnya pertama, dalam hal ini penerbit mempunyai kedudukan sebagai pemegang yang pertama, surat cek jenis ini berklausula atas pengganti, sehingga jika dialihkan kepada orang lain harus dengan jalan endosemen. Bentuk ini lebih aman dibanding dengan cek yang berklausula atas tunjuk atau atas pembawa, karena pemegang cek jenis ini baru berhak menerima pembayaran jika memperolehnya dengan cara endosemen atau namanya terdapat pada deretan endosemen. Untuk saat ini jenis cek atas pengganti penerbit ini sudah jarang dijumpai dalam praktik sehari-sehari. b) Cek Atas Penerbit Sendiri (Pasal 183 ayat (3) KUHD) Cek atas penerbit sendiri adalah surat cek yang diterbitkan oleh tersangkut sendiri, sehingga penerbit dari cek ini sebagai tersangkut. Karena tersangkut pada surat cek selalu bank dan pada cek atas penerbit
31
sendiri penerbitnya yaitu tersangkut, maka penerbit dari cek ini yaitu bank. Cek atas penerbit sendiri ini biasanya penerbitnya yaitu kantor pusat bank, sedangkan tersangkutnya yaitu cabang dari bank tersebut yang berada di luar kota. c) Cek untuk Perhitungan orang Ketiga (Pasal 183 ayat (2) KUHD) Cek untuk perhitungan orang ketiga adalah surat cek yang diterbitkan penerbit atas beban pihak ketiga, dalam hal ini penerbit merupakan kuasa dari pihak ketiga dan penerbitan tersebut merupakan pelaksanaan dari pemberian kuasa. Pada cek jenis ini penerbit menerbitkan cek, tetapi pembayaran dari cek tersebut dibebankan pada pihak ketiga. Antara penerbit dan pihak ketiga merupakan sama-sama nasabah bank yang sama, dalam praktik saat ini juga jarang dijumpai. d) Cek Inkaso (Pasal 138a ayat 1 KUHD) Cek inkaso yaitu cek yang diterbitkan dengan memuat kata-kata “harga untuk dipungut” atau “inkaso” atau “dalam pemberian kuasa”, atau katakata lain yang berarti memberi perintah kepada pemegangnya yang semata-mata hanya untuk menagih. Penerima atau pemegang boleh melaksanakan segala hak yang timbul dari surat tersebut, tetapi tidak bisa mengendosemenkan atau mengalihkan kepada orang lain, kecuali dengan pemberian kuasa. Contoh : Tuan Anton mempunyai rekening giro pada Bank X di Jakarta dan Bank Y di Surabaya, ia hendak memindahkan uangnya dari Bank Y di Surabaya ke Bank X di Jakarta. Maka Tuan Anton menerbitkan surat cek inkaso dengan tersangkutnya
32
Bank Y yang pemegangnya yaitu Bank X. Selanjutnya, Bank X yang di Jakarta memberikan kuasa kepada cabang Bank X yang ada di Surabaya agar
menerima
pembayaran
dari
Bank
Y
di
Surabaya,
dan
mentransferkan kepada rekening Tuan Anton di Bank X yang di Jakarta. e) Cek Berdomisili Cek berdomisili yaitu surat cek yang pembayarannya oleh penerbit di tentukan di tempat tinggal orang ketiga, baik di tempat tersangkut berdomisili maupun di tempat lain. Dalam praktik biasanya bank sebagai tersangkut dapat memberikan kepada nasabah yang mempunyai rekening giro untuk memilih cabang mana saja yang dapat melakukan penarikan dengan menggunakan cek, sehingga pada waktu menerbitkan surat cek, nasabah dapat menetapkan tempat pembayaran. Namun saat ini hampir semua cek sudah dapat dicairkan di semua cabang bank pada bank tersangkut (system online). f) Cek Bersilang dan Cek untuk Perhitungan Bentuk cek yang diberi silang dan surat cek untuk perhitungan termasuk bentuk cek yang khusus. Tujuan dari munculnya surat cek yang bersilang dan untuk perhitungan tersebut yaitu untuk menjamin keamanan pembayaran.
2.2.6 Kewajiban Dan Tanggung Jawab Penerbit Menyediakan Dana Dalam penerbitan cek, penerbit mempunyai kewajiban dan tanggung jawab agar cek yang diterbitkannya dapat dibayar. Menurut ketentuan Pasal 190a KUHD, setiap penerbit wajib mengusahakan dana agar pada hari bayar
33
dana sudah tersedia pada tersangkut (bank). Menurut Pasal 189 KUHD, setiap penerbit harus menjamin pembayaran cek yang diterbitkan dan setiap klausula yang mengecualikan dari kewajiban untuk menyediakan dana untuk pembayaran harus diangggap tidak ada atau tidak tertulis. Dari ketentuan di atas, jelas bahwa penerbit mempunyai kewajiban pokok menjamin pembayaran surat cek yang diterbitkannya dan menyediakan dana agar tersedia pada saat cek tersebut dicairkan. Sehubungan dengan adanya kewajiban penerbit pada Pasal 189 dan 190a KUHD tersebut, Pasal 180 KUHD pada kalimat kedua seolah-seolah berlawanan dari kedua Pasal (Pasal 189 dan 190a KUHD). Menurut Pasal 180 KUHD : Tiap-tiap cek harus ditarik atas seorang bankir (tersangkut harus bank) yang mempunyai dana di bawah pengawasannya guna kepentingan penarik, dana mana menurut persetujuan tegas atau diam-diam, penarik berhak menggunakannya dengan mengeluarkan cek. Dalam pada itu, apabila ketentuan-ketentuan di atas tidak diindahkan, surat cek yang diterbitkan itu tetap berlaku juga.
Ini berarti jika penerbit tidak menyediakan dana yang cukup, surat cek tersebut tetap berlaku. Sistematika penempatan Pasal 180 KUHD medahului Pasal 189 dan 190a KUHD menimbulkan kesan seolah-olah tersangkut (bank) yang harus menyediakan dana bagi kepentingan penerbit, padahal menurut Pasal 190a KUHD penerbitlah yang wajib menyediakan dananya pada tersangkut. Pada Pasal 180 kata-kata “surat cek yang diterbitkannya berlaku juga” harus diartikan bahwa walaupun dana tidak tersedia pada rekening penerbit bukan berarti cek tersebut tidak berlaku. Cek tersebut tetap berlaku,
34
hanya saja tidak bisa dibayarkan karena dananya tidak ada dan cek yang ditolak pembayarannya tersebut dapat ditunjukan kembali pada bank untuk dimintakan pembayaran. Bisa saja penerbit kemudian menyediakan dananya setelah cek tersebut ditolak karena dana tidak tersedia.
3.1 Jaminan 2.3.1 Pengertian Jaminan Hukum jaminan merupakan keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.24 Dari apa yang disebutkan sebagai hukum jaminan itu, maka di dalamnya tercantum unsur-unsur hukum jaminan yaitu : 1. Adanya kaidah hukum dalam bidang jaminan a) Kaidah hukum jaminan tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat
dalam
peraturan
perundang-undangan,
traktat
dan
yurisprudensi. b) Kaidah hukum jaminan tidak tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 2. Adanya pemberi dan penerima jaminan, pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima
24
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 6
35
jaminan, yang membutuhkan fasilitas kredit yang lazim disebut debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Badan hukum sebagai penerima jaminan adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non bank. 3. Adanya jaminan, pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan. 4. Adanya fasilitas kredit, dalam pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan non bank dapat memberikan kredit kepadanya. Hukum jaminan di Indonesia ditinjau dari sudut perkembangan perekonomian baik nasional maupun internasional mempunyai peran yang besar terkait dengan kegiatan pinjam meminjam uang. Berbagai lembaga keuangan sangat berperan dalam membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberi pinjaman uang baik dalam bentuk kredit maupun gadai, yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang memerlukan
36
dana. Dalam kegiatan pinjam-meminjam uang pada umumnya dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi jaminan. Jaminan ini dapat berupa barang (benda), dapat berupa jaminan perorangan. Dalam jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang
jaminan,
sedangkan
jaminan
perorangan
berupa
janji
penanggungan hutang.25 Sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, masing-masing mengatur khusus mengenai lembaga jaminan dalam rangka penjaminan hutang.26 2.3.2 Objek dan Ruang Lingkup Hukum Jaminan Sebagaimana objek jaminan hutang yang lazim digunakan dalam suatu hutang piutang dalam jaminan kredit adalah benda bergerak, benda tidak bergerak dan jaminan perorangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, benda bergerak terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud, serta benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Benda atau barang yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang, akan dapat diketahui apakah benda tersebut milik si debitur atau pihak lain. Apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang milik si pemohon (debitur), menurut M. Bahsan
25
M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, h. 2 26 M. Bahsan, op. cit, h, 8
37
sebagai objek jaminan kredit merupakan milik pihak (orang) lain maka bank perlu meneliti keabsahan penggunaannya sebagai jaminan kredit kepada bank oleh pemohon kredit.27 Berbagai objek jaminan hutang, benda yang dipakai jaminan sebelum penilaian hukum tentang kelayakan benda objek jaminan itu dilakukan, dalam hal ini ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan tentang objek jaminan tersebut mempunyai nilai atau harga secara ekonomis. Bila dijadikan jaminan hutang yaitu sebagai berikut. 1. Jenis dan bentuk jaminan, apakah merupakan barang yang bergerak dan apa jenisnya, barang tidak bergerak dan apa jenisnya, penanggungan hutang dan apa jenisnya. 2. Kondisi objek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomisnya, karena kondisi objek jaminan sering berkaitan dengan keadaan fisiknya, persyaratan teknisnya dan kelengkapan lainnya. 3. Kemudahan pengalihan kepemilikan objek jaminan, hal ini sangat berpengaruh pada suatu objek jaminan yang mudah dapat dialihkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain akan mempunyai nilai ekonomi yang relatif baik. 4. Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barang yang dijadikan sebagai objek jaminan, tingkat harga tidak hanya didasarkan kepada permintaan dan penawaran, tetapi juga kepada kestabilan dan
27
M. Bahsan, op.cit, hal. 114
38
prospek perkembangan harganya, tingkat harga ini merujuk kepada harga pasar yang berlaku. 5. Penggunaan objek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat harga atau nilai ekonominya dari pemanfaatan objek jaminan tersebut. Terkait dengan objek jaminan berdasarkan atas beberapa aspek ekonomi mengenai kelayakan objek jaminan, dalam pemberian pinjaman kreditur dalam hal ini harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengetahui nilai ekonomi yang sebenarnya untuk dapat dipertanggungjawabkan dari objek jaminan yang diajukan oleh debitur, yang masing-masing sangat terkait dengan jenis objek jaminan. Sebagaimana disebutkan oleh H. Salim HS bahwa, “Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.”28
2.3.3 Asas-Asas Hukum Jaminan Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu sebagai berikut. 1. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran 28
Salim HS, 2004, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4
39
fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar. 2. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. 3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. 4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima gadai. 5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.29
2.3.4 Syarat dan Manfaat Benda Jaminan Syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah : 1. dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya;
29
M. Bahsan, op.cit, hal. 124-126
40
2. tidak melemahkan potensi atau kekuatan si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya; 3. memberi kepastian kepada si kreditur dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit.30 Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat memberi manfaat pada debitur dan kreditur. Manfaat bagi debitur adalah : 1. terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup; 2. memberikan kepastian hukum bagi kreditur.31 Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas
kredit
dari
pemberi
pinjaman
dan
tidak
khawatir
dalam
mengembangkan usahanya keamanan modal adalah dimaksudkan kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditur kepada debitur tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditur dan debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Sedangkan bagi debitur adalah kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dari bunga yang ditentukan.
30
Salim HS, op.cit, hal. 28 Salim HS, loc.cit
31