BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1
Perjanjian 2.1.1
Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara
dua belah pihak atau antara 2 (dua) subyek yang dilakukan oleh masyarakat (manusia). Manusia merupakan mahkluk sosial (zoon politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab manusia hidup di dalam lingkungan masyarakat. Tujuan manusia hidup dalam masyarakat adalah berkumpul untuk memenuhi kebutuhan masingmasing. Dalam memenuhi kebutuhan itulah mereka melakukan perikatanperikatan. Perikatan-perikatan tersebut timbul dari perjanjian, undangundang dan sebagainya. Oleh karena itulah perjanjian merupakan salah satu bagian dari perikatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartini Muljadi, beliau mengatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian
24
25
yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. 18 Mengenai perjanjian yang dikatakan oleh para sarjana, seperti yang dikatakan oleh Subekti, beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Sedangkan
menurut
R.
Wirjono
Prodjodikoro,
beliau
mendefinisikan perjanjian sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal”.19 Berbeda dengan pendapat yang dimiliki oleh, Abdulkadir Muhammad, beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 20
18
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 91. R. Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Cet. XI, Jakarta, h. 9. 20 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Cet II, Bandung, h. 78. 19
26
Selain itu, R. Setiawan, juga berpendapat mengenai perjanjian, beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut : “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.21 Dengan adanya rumusan yang saling melengkapi tersebut, maka dapat dikatakatan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (di mana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban prestasi yang bertimbal balik. Debitur pada satu sisi menjadi kreditur pada sisi yang lain pada saat yang bersamaan. Hal ini merupakan karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang lahir dari undang-undang, hanya pada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur. 1.1.2
Dasar Hukum Perjanjian Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku III Bab II, perjanjian didefinisikan sebagai berikut :
21
Setiawan, R, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, h.49.
27
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas, Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, bahwa dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain, sedangkan dalam arti sempit bahwa perjanjian hanya ditujukan kepada hubunganhubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.22 Jadi dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan. 1.1.3
Syarat syarat sahnya perjanjian Suatu perjanjian merupakan perbuatan hukum, yang artinya
perbuatan yang dapat dilaksanakan atas perbuatan hukum dan bukan perbuatan hukum. Pada suatu ikatan perjanjian untuk mendapatkan suatu
22
J. Satrio, 1996, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12.
28
akibat hukum, seharusnya dibuat dalam prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian adalah : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan ( diatur dalam ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata Buku III Bab II). 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Menurut ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata Buku III Bab II yang menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jka oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata Buku III Bab II, mereka yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ada tiga golongan, yakni : 1. Orang yang belum dewasa 2. Orang yang berada di bawah pengampuan 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
29
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannnya kepada hakim. 3. Adanya suatu hal tertentu Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut ketentuan Pasal 1333 KUH Peradta Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung”. Ditinjau dari ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa : “ Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa : “ Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjan”. 4.
Adanya suatu sebab yang halal
30
Adanya suatu sebab (causa) yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang (diatur dalam ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata Buku III Bab II). Dengan demikian, undangundang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Yang diperhatika oleh undangundang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan ketentuan pasal 1335 KUH Perdata Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa : “ Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Dari ke 4 (empat) unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam : 1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak), yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif). 2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Apabila dua syarat yang pertama tidak dipenuhi (a dan b), maka perjanjian dapat dibatlkan (syarat subyektif). Adapun apabila dua syarat terakhir tidak dipenuhi (c dan d), maka perjanjian ini batal demi hukum (syarat obyektif). Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak semula batal dan tidak mungkin menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang
31
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum. Adapun perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan.23 2.2
Jaminan 2.2.1
Pengertian jaminan Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di masyarakat, manusia
memerlukan bahan-bahan (sandang, pangan, papan) serta memiliki kepentingan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu mereka melakukan suatu perikatan perjanjian, salah satunya dengan hutang piutang, tetapi di dalam hubungan hutang piutang sifatnya sepihak, artinya pihak kreditur memberikan suatu piutang kepada pihak debitur. Pada saat itu pihak debitur belum memiliki prestasi, untuk prestasinya akan dilakukan setelah terjadinya perjanjian. Untuk itu dalam menjamin serta membuat pihak kreditur yakin akan uangnya kembali, maka dari itu dibutuhkannnya jaminan. Menurut M. Bahsan jaminan adalah “ Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.24 Sedangkan Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan
23
adalah”
Sesuatu
yang
diberikan
kepada
debitur
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 93. M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 7. 24
untuk
32
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. Dari rumusan jaminan di atas, bahwa pada intinya jaminan itu merupakan suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang antara pihak kreditur dan pihak debitur. Dalam KUH Perdata jaminan merupakan hak kebendaan dan merupakan bagian dari hukum benda yang diatur dalam Buku II KUH Perdata. 2.2.2
Dasar hukum jaminan Untuk membedakan penggolongan hukum atas kebendaan milik debitur maka dalam menentukan dasar hukum jaminan yang ditinjau dari segi terjadinya, pada ketentuan KUH Perdata, dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yakni: 1. Jaminan umum Jaminan umum merupakan jaminan yang lahir karena ketentuan Undang-Undang. Dasar hukum jaminan umum yakni diatur dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata Buku II Bab XIX, yang menetapkan bahwa : “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Dari rumusan ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekayaan seseorang diajdikan “Jaminan” untuk semua
33
kewajibannnya, yakni semua hutangnya. Hal inilan oleh hukum Jerman dinamakan Haftung. 2. Jaminan khusus Jaminan Khusus merupakan jaminan yang lahir karena diperjanjikan. Dasar hukum jaminan khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUH Perdata Buku II Bab XIX, yang menetapkan bahwa : “Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”. ( Pasal 1133 KUH Perdata) “Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi
daripada
orang
berpiutang
lainnya,
semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya”. ( Pasal 1134 KUH Perdata).25 Dari uraian mengenai dasar hukum jaminan yang telah di uraikan sebelumnya, pada dasarnya dalam jaminan umum apabila debitur wanprestasi maka pihak kreditur dapat meminta pengandilan untuk untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur. Sedangkan kebanyakan orang lebih cenderung memilih jaminan khusus, sebab dalam melaksanakan eksekusi terhadap benda
25
H. Salim, op.cit, h. 14.
34
jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika pihak debitur melakukan wanprestasi serta dalam pemenuhan piutangnya, kreditur pada jaminan khusus lebih didahulukan debandingkan dengan kreditur pada jaminan umum. 2.2.3
Jenis-jenis jaminan Untuk menentukan sifat dari suatu jaminan, maka dari itu jenis jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni : 1. Jaminan materiil (Kebendaan) Jaminan materiil ( jaminan kebendaan) merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciriciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendannya dan dapat dialihkan. Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan : 1. Gadai (pand) Yang diatur dalam Bab XX Buku II KUH Perdata. 2. Hipotik Yang diatur dalam Bab XXI Buku II KUH Perdata. 3. Credietverband Yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190. 4. Hak Tanggungan
35
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1996. 5. Jaminan Fiducia Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. 2. Jaminan inmateriil (Perorangan) Jaminan Inmateriil (jaminan perorangan) merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, namun tidak memberikan hak mendahului atas bendabenda tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Adapun yang termasuk dalam jaminan perorangan, yakni sebagai berikut : 1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih. 2. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng. 3. Perjanjian garansi. Dari kedua jenis jaminan tersebut, yang masih berlaku adalah gadai, hak tanggungan, jaminan fiducia, borg, tanggung menanggung, dan perjanjian garansi, sedangkan hipotik dan credietverband tidak berlaku lagi, karena telah dicabut
36
dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.26 2.3
Gadai 2.3.1
Pengertian gadai Sebagaimana yang telah diuraikan dalam uraian sebelumnya
mengenai jaminan, bahwa pada jaminan dapat dibedakan jaminan khusus dengan jaminan umum dan jaminan kebendaan dengan jaminan perorangan. Untuk jaminan kebendaan didalamnya terdapat gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan gadai, menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari krediturkreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.27 Sedangkan menurut Wiryono Projodikoro gadai merupakan sebagai sesuatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang lain atas namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan memberi hak
26
27
Salim, HS, 2014, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h. 112.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Cet. IV, Yogyakarta, h. 97.
37
kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari siberpiutang lain dari uang pendapatan penjualan barang itu.28 Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata Buku II Bab XX, bahwa gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang yang diserahkan oleh debitur yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan piutangnya dengan memberikan kewenangan kepada kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari barang yang dijadikan jaminan secara didahulukan daripada kreditur lainnya. Dari ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata ini, dapat dilihat bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai ada 2 (dua), yakni pihak pemberi gadai (debitur) dan pihak penerima (pemegang) gadai (kreditur). Benda jaminan dipegang oleh kreditur, maka ia disebut juga kreditur pemegang gadai. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa atas persetujuan para pihak, benda gadai dipegang oleh pihak III ( diatur dalam ketentuan Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata Buku II Bab XX). Jika barang gadai dipegang oleh pihak III maka ia disebut pihak III pemegang gadai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata ini, gadai dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir, artinya merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak.29 Tujuan dari perjanjian
28
R. Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 19
38
ini adalah untuk menjaga jangan sampai pemberi gadai (debitur) lalai membayar kembali uang pinjaman itu atau bunganya. Apabila pemberi gadai (debitur) lalai dalam melaksnakan kewajibannya, barang yang telah dijaminkan oleh pemberi gadai (debitur) kepada penerima gadai (kreditur) dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi hutang debitur. 2.3.2
Dasar hukum gadai Berdasarkan pemaparan yang diuraikan sebelumnya mengenai
pengertian
gadai,
dalam
melaksanakan
kegiatan
gadai
haruslah
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Adapun dasar hukum gadai pada peraturan perundang-undangan berikut ini : 1. Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata Buku II Bab XX tentang Gadai.
Pasal 1150 KUH Perdata mendefinisikan gadai sebagai suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu berang yang diserahkan oleh debitur yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan piutangnya dengan memberikan kewenangan kepada kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari barang yang dijadikan jaminan secara didahulukan daripada kreditur lainnya.30 Kemudian pada ketentuan Pasal 1151 KUH Perdata, untuk dapat membuktikan perjanjian pokok maka harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian gadai 29
Djaja S. Meliala, 2014, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, h. 129. 30
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 93.
39
tersebut. Namun demikian sesuai dengan Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, dalam penyerahan itu boleh ditunjukan pada pihak ketiga dengan syarat harus adanya persetujuan bersama antara debitur dan kreditur. Penguasaan atas barang gadai harus secara mutlak beralih dari pihak pemberi gadai, karena Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata dengan tegas melarang atas penguasaan barang gadai oleh pemberi gadai, apabila hal ini dilanggar maka gadai itu akan batal.31
Selanjutnya pada pasal 1153 KUH Perdata, dalam hal hak gadai atas barang bergerak yang tak berwujud, kecuali surat tunjuk dan surat bawa, lahir dengan pemberitahuan mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak gadai itu harus dilaksanakan. Dan Orang ini dapat menuntut bukti tertulis mengenai pemberitahuan itu, dan mengenai izin dari pemberian gadainya. Apabila debitur tidak melaksanakan prestasinya, maka pada pasal 1154 KUH Perdata, dalam hal ini kreditur tidak diperkenankan untuk mengalihkan barang gadai tersebut untuk menjadi miliknya, dan segala hal yang bertentangan terhadap hal tersebut batal.32
Dalam hal melakukan pelelangan dapat dilakukan secara terbuka di depan umum sesuai dengan Pasal 1155 KUH Perdata, apabila para pihak telah menyepakati untuk mengeksekusi tanpa perantaraan pengadilan, kreditur dapat langsung meminta bantuan kantor lelang negara untuk menjual barang gadai. Dan apabila pemberi gadai wanprestasi, maka sesuai Pasal 1156 KUH Perdata,
31 32
Ibid, h. 95. Salim, HS, op.cit, h. 90.
40
pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, dan kemudian mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu, penjualan barang itu dapat dilakukan dengan perantaraan sendiri dengan syarat ada persetujuan dari pemberi gadai dengan perantaraan hakim. Dalam hal penjualan pihak penerima gadai harus memberitahukan pihak pemberi gadai.
Kemudian pada Pasal 1157 KUH Perdata, dalam hal ini kreditur bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai itu, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya dan pemberi gadai wajib mengganti kepada penerima gadai itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh penerima gadai untuk penyelamatan barang gadai itu. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 1158 KUH Perdata, apabila barang gadai tersebut mengahsilkan bunga, maka pihak penerima gadai dapat memperhitungkan bunga tersebut, dan sebaliknya apabila benda gadai itu tidak menghasilkan bunga maka bunga yang diperoleh penerima gadai dikurangi dari jumlah pokok hutang. Namun apabila penerima gadai tidak menyalahgunakan benda gadai selama berada pada kekuasaannya, maka sesuai Pasal 1159 KUH Perdata pemberi gadai tidak dapat menuntut kembali barang itu sebelum hutang dan segala yang telah dikeluarkan dalam penyelamatan barang tersebut dilunasi. Untuk itu, apabila barang jaminan tersebut hanya dilunasi sebagian, namun sebagian dari benda gadai tersebut diminta kembali walaupun ada ahli warisnya, hal tersebut tidak dibenarkan, karena sesuai dengan Pasal 1160
41
KUH Perdata, barang yang digadaikan tidak dapat dibagi-bagi sebelum hutangnya dilunasi sepenuhnya.33
2. Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW. Yang berbunyi bahwa gadai adalah : “Hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan”. 34 Dalam mengadakan kegiatan gadai terhadap benda jaminan, maka harus sesuai dengan ketentuan peraturan gadai tersebut. Apabila pelaksanaan kegiatan gadai terhadap benda jaminan tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dianggap tidak sah atau batal demi hukum. 2.3.3
Syarat-syarat perjanjian gadai Dalam mengadakan perjanjian gadai, adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar suatu perjanjian yang dibuat antara pihak dapat dikatakan sah di hadapan hukum, yakni harus memenuhi syarat-syarat subyektif suatu perjanjian yang terjadi karena kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan atau melangsukan perjanjian dan adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.35Sedangkan pada syarat obyektif, sahnya perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab II ketentuan Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam
33
Djaja S. Meliala, op.cit, h. 78. H. Salim, loc.cit. 35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 94. 34
42
perjanjian dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab II ketentuan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 mengenai kewajiban suatu sebab yang halal dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Untuk melaksanakan perjanjian gadai maka didalamnya harus memenuhi unsur-unsur yang ada dalam perjanjian gadai adalah : 1. Adanya subjek gadai, yaitu kreditur (penerima gadai) dan debitur (pemberi gadai). 2. Adanya objek gadai, yaitu benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. 3. Adanya kewenangan kreditur. Maka dari itu dapat disimpulkan menurut ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata Buku II Bab XX, menyatakan bahwa Perjanjian gadai tidak sah, jika benda gadai tetap berada di bawah kekuasaan debitur. Artinya bahwa, benda gadai harus di tangan si penerima gadai (inbezitstelling) atau di tangan pihak III yang disetujui oleh kedua belah pihak. Jika benda gadai keluar dari kekuasaan si penerima (pemegang) gadai, maka perjanjian gadai menjadi tidak sah (hapus). 2.3.4
Subyek dan obyek gadai Sebelum membahas mengenai prestasi yang harus dilaksnakan pada
suatu perjanjian, maka sebaiknya terlebih dahulu mengetahui siapa saja yang dapat melaksanakan prestasi tersebut dan jenis benda apa saja yang dapat dijadikan sebagai suatu jaminan dalam kegiatan gadai. Untuk melaksanakan kegiatan gadai terdapat subyek gadai yang terdiri atas 2 (dua)
43
pihak,
yakni
pemberi
gadai
(pandgever)
dan
penerima
gadai
(pandnemer).Pandgever, yang merupakan orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Dari rumusan mengenai subyek gadai tersebut, adapun unsur-unsur pemberi gadai, yakni : 1. Orang atau badan hukum 2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak 3. Kepada penerima gadai 4. Adanya pinjaman uang Selain itu dalam subyek gadai terdapat Penerima gadai (pandnemer) yang merupakan orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). 36 Sedangkan pada obyek gadai terdiri atas benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni benda bergerak berwujud dan tidak berwujud. Benda bergerak berwujud merupakan benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda bergerak berwujud, yakni seperti emas, arloji, handphone, sepeda motor dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak tidak
36
H. Salim, op.cit, h. 36.
44
berwujud, yakni seperti piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas benda dan atas piutang.37 2.3.5
Hak dan kewajiban para pihak Sejak terjadinya perjanjian gadai antara pihak pemberi gadai
dengan pihak penerima gadai, maka saat itulah timbul hak dan kewajiban penerima gadai. Di dalam ketentuan pasal 1155 KUH Perdata Buku II Bab XX, adapun hak dan kewajiban dari pemberi gadai, dapat dilihat sebagai berikut : Hak pemberi gadai : 1. Menerima uang gadai dari penerima gadai. 2. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga, dan biaya lainnya telah dilunasinya. 3. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (diatur dalam ketentuan Pasal 1156 KUH Perdata Buku II Bab XX). Kewajiban pemberi gadai : 1. Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. 2. Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai. 3. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai (diatur dalam ketentuan Pasal 1157 KUH Perdata Buku II Bab XX).38 37
H. Salim,op.cit,h. 37.
45
Adapun hak dan kewajiban dari pemegang gadai, dapat dilihat sebagai berikut : Hak penerima gadai : 1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) 2. Menjual barang gadai dengan perantaraan hakim (diatur dalam ketentuan Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata Buku II Bab XX). 3. Mempunyai hak retensi (diatur dalam ketentuan Pasal 1159 KUH Perdata Buku II Bab XX). 4. Hak didahulukan pembayarannya (droit de preference) Kewajiban penerima gadai : 1. Bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya nilai barang gadai (diatur dalam ketentuan Pasal 1157 ayat (1) KUH Perdata Buku II Bab XX). 2. Berkewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai jika barang gadai hendak dijual (diatur dalam ketentuan Pasal 1156 ayat (2) KUH Perdata Buku II Bab XX). 3. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai (diatur dalam ketentuan Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata Buku II Bab XX).
38
H.Salim, op.cit, h. 48.
46
4. Mengembalikan barang gadai apabila utang pokok berikut bunganya sudah dibayar lunas.39 Berdasarkan uraian mengenai hak dan kewajiban pemberi gadai dan penerima gadai sebelumnya, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya dengan baik , seperti misalnya pemberi gadai tidak membayar pokok pinjaman dan sewa modalnya, maka jasa usaha gadai dapat memberikan somasi kepada pemberi gadai agar dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang dijanjikan. Apabila somasi itu telah dilakukan selama 3 (tiga) kali dan tidak diindahkannya, maka jasa usaha gadai dapat melakukan pelelangan terhadap benda gadai. Sebaliknya apabila pihak jasa usaha gadai tidak melakukan prestasinya seperti misalnya, tidak memberitahukan pihak pemberi gadai mengenai habisnya batas waktu gadai dan langsung menjual barang gadai tanpa melakukan pelelangan, maka pemberi gadai dapat menuntut pihak jasa usaha gadai berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUH Perdata Buku II Bab XX.
39
Djaja S. Meliala,op.cit, h.132.