BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi
societas Ibi ius). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang artinya bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”. Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dunia didalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan sebagai tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara. Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari nilainilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang didalamnya terkandung cita-cita hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila keTuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila yang utama. Sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan mempersatukan keempat sila lainnya. Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip keTuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan diIndonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata : “… Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia, menyatakan
Universitas Sumatera Utara
dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai dengan kata-kata “Demi Allah”.1 Sejalan dengan hal tersebut didalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukum berpedoman kepada nilai-nilai KeTuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia. Dengan demikian, praktek kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia. Apabila hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium
(merupakan upaya
terakhir).2 Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana
1
Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa 1996),
hal. 194 2
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal. 10
Universitas Sumatera Utara
penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.3 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 4 1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan 2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Realitanya dilapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang diungkapkan Roeslan Saleh tersebut diatas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Perzinahan yang telah ada diatur didalam hukum pidana Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari hukum pidana tersebut.
3
Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012,
4
Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditam, 2011), hal. 24 - 25
hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Zina sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang sudah biasa atau lazim didalam masyarakat Indonesia. Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut memperlihatkan peningkatan yang semakin miris, sebagai berikut; 5 1. Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27% laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%. 2. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.
5
OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses dari http://news .okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-remaja-seks-pra-nikah-meni ngkat, diakses pada hari selasa 21 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah. 3. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama. DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan. Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%. 4. Tahun 2006 PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri. Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu. 5. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis.
Universitas Sumatera Utara
a. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja. b. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka. c. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002. d. Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekitar 42 juta jiwa, berarti sekitar 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja). e. Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya. 6. Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi. 7. Kemudian Penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan baru-baru ini kita mendengar ada kasus penyimpangan pelajar siswa dan siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Ibu Kota Jakarta yang sudah berani melakukan dan bahkan merekam perbuatan yang menyimpang tersebut, dan hal ini sudah merupakan yang kesekian kalinya dilakukan. 6 Dapat dibayangkan ketika anak-anak yang masih duduk disekolah menengah pertama saja sudah berani melakukan perbuatan persetubuhan diluar pernikahan (Zina) dan bahkan berani merekam perbuatan mereka tersebut, bagaimana lagi dengan orang yang lebih dewasa dari mereka yang merupakan contoh dan panutan bagi mereka? Sangat diharapkan regulasi mengenai perzinahan kedepannya haruslah lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan). Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.7 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM” 6
VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa , diakses dari , http://m.voa-islam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seksbukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/... pada tanggal 1 Desember 2013 7 Chainur Arrasjid,. Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2001). Hal. 41
Universitas Sumatera Utara
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan
menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut; 1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana? 2. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam? 3. Bagaimana perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Menurut Hukum Islam
C.
Tujuan dan manfaat Penelitian Karya Tulis ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan unsur-unsur yang
mempengaruhi Tindak Pidana Perzinahan yang berlaku saat ini kemudian membandingkannya dengan Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan mengambil kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana Perzinahan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang menyangkut tentang perzinahan dimasa mendatang. Sehingga diharapkan dapat mencegah dampak negatif dari perbuatan menyimpang tersebut (zina).
Universitas Sumatera Utara
D.
Keaslian Penulisan Adapun karya tulis dengan judul ““PERBANDINGAN TINDAK
PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM ” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal ( berkenaan
). Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah dengan
karya
tulis
ini
maka
penulis
akan
bersedia
mempertanggungjawabkannya
E. 1. a.
Tinjauan Kepustakaan Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam Hukum Pidana menurut kajian KUHP
1) Pengertian Hukum Pidana Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, negara
Universitas Sumatera Utara
juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen).8 Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.9 Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).10 Pergaulan manusia didalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut : Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-
8
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23 Ibid., hal.24. 10 Ibid., hal.24 9
Universitas Sumatera Utara
undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
11
Pemberian
nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan normanorma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai. Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.12 Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana. Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa
13
“Penghukuman
itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,
11
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5. 13 Sudarto, Op.Cit, hal.71. 12
Universitas Sumatera Utara
akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.” 2) Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah “Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilanggar”. Sanksi didalam hukum pidana jauh lebih keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.14 Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.15 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 16
14
Marlina, Op.Cit,, hal. 15 Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9 16 Marlina, Op. cit., hal. 24 - 25 15
Universitas Sumatera Utara
1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan 2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
b.
Hukum Pidana menurut kajian Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)
1) Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam) Pengertian islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah Almasdoos (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan kemuka bumi. Dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.17
17
Ramlan Yusuf Rangkuti dan Sahmiar Pulungan., Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Medan; Bartong Jaya 2008), Hal. 105
Universitas Sumatera Utara
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasulNya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta,. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana diungkapkan oleh Al-qur‟an : 18 Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam (Ali Imran: 19) Setelah memaknai Islam seperti penjelasan diatas, barulah kita membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangundangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam
18
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.19 Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubunganhubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung dimuka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.20 Dalam sistem Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam alkhamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1) Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.21 Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Al-qur‟an surat Al-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa 19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43 20 Ibid. 21 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ketetapan kini tertulis didalam Al-qur‟an, kehendak rasul berupa sunnah terhimpun sekarang didalam kitab-kitab hadis, kehendak “penguasa” kini dimuat didalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni dari Al-qur‟an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al-qur‟an itu dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang didalam kepustakaan terkenal dengan hadits Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu‟az dengan mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al-qur‟an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-quran bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan mencarinya dalam sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan ra‟yu´atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. “Nabi sangat senang
Universitas Sumatera Utara
dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya. 22 Dari hadits Mu‟az bin Jabal diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu (1) Al-qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra‟yu atau pendapat orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan. Selanjutnya Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas didalam Hukum Pidana Islam. Ulamaulama muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai fiqih jinayah, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam.
Didalamnya terhimpun
pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.23 Adapun asas-asas didalam hukum pidana islam yang terkandung didalam Al-qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam, 22
Ibid. hal 73 Rahmat. Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung : CV Pustaka Setia 2000), hal. 11 23
Universitas Sumatera Utara
diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah..24 1) Asas Legalitas. Asas ini didalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa yang boleh dan apa yang dilarang. Asas legalitas didalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentaun Allah. Dalam Kitab Suci Al-qur‟an Allah SWT Berfirman: “…. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Q.S. Al-Israa‟;15) Jadi jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan). Asas legalitas ini sudah ada didalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang paling baik bagi hambah-hambahNya. 2) asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain 24
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari hukum Islam, (Jakarta: Kencana 2010), hal. 15
Universitas Sumatera Utara
Dasar dari asas ini adalah surat al-Isra ayat 15, bahwa “… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Kemudian Surat an-Najm ayat 38 - 39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33. Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak tidak dapat dipindahkan ke anaknya dan sebaliknya. 3) Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of innocence) Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. “Principle Of Lawfulness”. Menurut asas ini semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan; jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan (Sanad, 1991;72).25 Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW Bersabda; “Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,
25
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil Press Grafika 2000), hal. 123
Universitas Sumatera Utara
lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”26 2) Tujuan Hukum Pidana Islam Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu Karena kata-kata dan teks dari suatu ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan ynag bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum. Singkatnya adalah muthlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.27 Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari syari‟ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah, 1987: 246-249 ;28 Tujuan pertama menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat 26 27
Ibid Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003),
hal. 18-19 28
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Op. Cit hal 134-135
Universitas Sumatera Utara
tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima (5) kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-syari‟ah al-khamsah (tujuan0tujuan syariah), yaitu: 1) Memelihara agama (hifzh al-din) 2) Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi) 3) Memelihara akal pikiran (hifzh al-„aqli) 4) Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli) 5) Memelihara harta (hifzh al-mal) Syariah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial. Tujuan Kedua Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan Ketiga Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikanperbaikan , yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan social dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhankebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.
2. a.
Tindak Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam Tindak Pidana menurut kajian KUHP
1) Pengertian Tindak Pidana Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana Negara-negara Anglo saxon memakai istilah Offense atau Criminal act untuk maksud yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.29 Perkataan “Feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.30 Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.31 Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan Strafbaar Feit untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak Pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.32 Didalam prakteknya para ahli memberikan
29
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008),
hal 86 30
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181 31 Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160 32 P.A.F. Lamintang, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.33 Menurut Profesor POMPE, perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.34 Kemudian Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan tindak pidana yang diberikan simons tersebut dipandang oleh Jonker dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 35 1. Diancam dengan pidana oleh hukum; 2. Bertentangan dengan hukum; 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld); 4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat 33
Roni Wijayanto Loc. Cit. P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162 35 Roni Wijayanto, Loc. Cit. 34
Universitas Sumatera Utara
dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur, yakni ; 36 1. Diancam dengan pidana oleh hukum; 2. Bertentangan oleh hukum; 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld); 4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya; 5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum. Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara , ia mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan “kesalahan” juga tidak disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut: 37 1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking
van een rechtsbelang); 2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van
een rechtsbelang.) 36 37
Ibid. Ibid. hal. 161
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis, yaitu; 38 1. Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk), kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen). 2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten orde). 3. Kepentingan Negara adalah keamanan Negara. Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut diatas mengenai pengertian Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau Strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2) Unsur-Unsur Tindak Pidana Menjadi tuntutan Normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya Tindak Pidana yang dituduhkan kepada sipelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat batal demi hukum. Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. a. Unsur Subjektif Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku. Dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut lamintang yakni sebagai berikut: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa); b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
Universitas Sumatera Utara
d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 Kitab UndangUndang Hukum Pidana; e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;39 Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif hanya menjadi dua macam saja, yakni; a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab) b. Schuld (Kesalahan)40 Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan tersebut.41 Didalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni: 1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk) 39
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194 Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166 41 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), 40
hal. 9
Universitas Sumatera Utara
2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn) 3. Kesengajaan
dengan
keinsyafan
atau
kemungkinan
(Opzet
bij
mogelijkheidsbewustzijn) Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian diatas, bahwa unsur-unsur subjektif meliputi; 1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit) 2. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari : 3. Kesengajaan (dolus) a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk) b. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn) c. Kesengajaan
dengan
keinsyafan
atau
kemungkinan
(Opzet
bij
mogelijkheidsbewustzijn) d. Kealpaan (culpa) 4. Unsur Objektif Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana, yakni:
Universitas Sumatera Utara
a.
Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
b.
Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseoan terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
c.
Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.42 Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur
objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, yang berupa: a.
Suatu tindakan;
b.
Suatu akibat; dan
c.
Keadaan (omstandigheid) Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli
diatas, ia kemudian membagi unsur Objekktif menjadi empat bentuk, yakni; a.
Perbuatan manusia, berupa; 1)
Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; 42
P.A.F. Lamintanng, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
2) b.
Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative
Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut membahayakan atau merusak,
bahkan
menghilangkan
kepentingan-kepentingan
yang
dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya c.
Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa; 1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan; 2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d.
Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan sipelaku dari hukuman. Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.43 Kemudian Mengingat tujuan diadakan hukum pidana adalah untuk
melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan Negara. Setiap perbuatan yang memenuhi unsur Tindak Pidana atau delik seperti yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang dilanggar. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan
43
Leden Marpaung, Op. Cit. hal 10
Universitas Sumatera Utara
menjadi berbagai jenis delik. Dan salah satunya adalah tindak pidana dalam perlu tidaknya aduan dalam penuntutan (Delik Biasa dan Delik Aduan). 1. Delik biasa (gewone delichten) adalah suatu delik yang dapat dituntuk tanpa membutuhkan adanya pengaduan.44 Sedangkan 2. Delik aduan (klachtdelict) adalah Tindak Pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau isteri yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan dan delik aduan relatif disini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
b.
Tindak Pidana dalam kajian Hukum Islam Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau
delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad ( anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara
44
Rony Wijayanto, Op.Cit, hal 173
Universitas Sumatera Utara
dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri ataugangguan nonfisisk, seperti ketenangan, ketenntraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang mengutungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa sesorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut. Sanksi sangat diperlukan untu mendukung peraturan yang dikenakan pada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Disamping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian, terpeliharalah kepentinngan umum.45 a. Jarimah dan Uqubah Fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Defenisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian “fikih” dan “jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui
45
Rahmat. Hakim, Op.Cit, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tidak pidana dan uqubah atau hukumannya. Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yanng diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zir” Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut: “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatann yang dilarang oleh syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya” Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah “hukuman adalah pembalasan yang ditpkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara”.46 b. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam (Jarimah) Unsur-unsur Tindak Pidana Islam secara umum ada tiga, yaitu adanya usnur formal, unsur materil dan unsur morial, adapun yang dimaksud dengan ketiganya yakni sebagai berikut; 47 1. Unsur Formal atau Rukun Syar‟i
46 47
Ahmad wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal ix Rahmat. Hakim, Op.Cit hal 52-53
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar‟I adalah adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud 2. Unsur Material atau Rukun Maddi Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. 3. Unsur Moril atau Rukun Adaby Unsur ini juga disebut dengan al-mas‟uliyyah al-jinayah atau pertanggung jawaban pidana. maksudnya adalah pembuat Jarimah (pembuat tindak pidana atau delik) haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat Jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang – orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitbah (panggilan) pembebanan (taklif). c. Macam-Macam Jarimah Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi
Universitas Sumatera Utara
kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, dan jarimah ta‟zir. 1.
Jarimah Hudud Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Pengertian hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah ; “Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud adalah sebagai berikut: a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan. Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: 48 1) Jarimah zina 2) Jarimah qadzaf 3) Jarimah syurb al-khamar 4) Jarimah pencurian 5) Jarimah hirabah 48
Ahmad wardi Muslisch, Op. Cit. hal x
Universitas Sumatera Utara
6) Jarimah riddah, dan 7) Jarimah pemberontakan (Al-Bagyu)
2.
Jarimah Qisash dan Diat Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qisash atau diat. Baik qisash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannnya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat mmerupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkn atau digugurkan oleh korban atau kelluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Pengertian qisash, sebagaimana dikeukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah “persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman”. Jarimah qhisash dan diat ini hanya ada dua macamm, yaituu pemmbunuhan dan penganniayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu: 49 a. Pembunuhan sengaja b. Pembunuhan mmenyerupai sengaja c. Pembunuhan karena kesalahan d. Penganiayaan sengaja e. Penganiayaan tidak sengaja
49
Ibid hal xi
Universitas Sumatera Utara
3.
Jarimah ta’zir Jarimah ta‟zir adallah jarimah yang diancaam dengan hukuman ta‟zir.
Penngerttian ta‟zir menurut bahasa adallah ta‟dib, artinnya membeeri pelajaran. Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak dan mencegah.
Sedangkan
pengertian
ta‟zir
menurut
istilah,
sebagaimana
dikemukakan olehh Al-Mawardi “Ta‟zir adalah hukuman penddidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara”. Dari defenisi tersebut, dapat diketahui bahw hukuman ta‟zir adala hukuman yang belum ditentukan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepadda ulil amri. Di samping itu, defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut: 50 a)
Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada bas minimal dan maksimal.
b) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).
3.
Kejahatan terhadap Kesusilaan Menurut Bemmelen kejahatan adalah Tiap kelakuan yang merugikan
(merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan
50
Ibid hal xii
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut.51 Sedangkan kata Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diterbitkan Balai Pustaka 1989. Dimuat artinya “perihal susila” kata susila dimuat arti sebagai berikut:52 a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan santun, tertib; b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; c. Pengetahuan tentang adat; Kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual (HR 1 desember 1970, NJ No. 374). Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak
senonoh
dapat
menyinggung
rasa
malu
atau
kesusilaan
orang
lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak
51
Forum kajian ilmu kriminologi dan sosial,http://qsukri.blogspot.com/2010/11/apa-itukejahatan.html, diakses pada hari sabtu 4 april 2014 52 Leden Marpaung, Kejahatan terhadap kesusilaan, (Jakarta: Sinar Grafika 2008), hal. 2
Universitas Sumatera Utara
mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. 53 Menurut Barda Nawawi bahwa Delik Kesusilaan adalah delik yang berbuhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan; bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische minimum). 54 Istilah melanggar dalam melanggar kesusilaan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata pelanggaran asal kata dari overtredingen (jenis-jenis tindak pidana dalam buku III KUHP), tetapi diartikan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang menyerang rasa kesusilaan masyarakat.55 Adapun hal yang harus dipahami betul bahwa isi atau materi/substansinya harus bersumber serta mendapat sandaran yang kokoh dari moral agama, seperti yang dikatakan Barda Nawawi Arief, ditambahkan bahwa penentuan delik Kesusilaan juga harus berorientasi pada “nilai-nilai kesusilaan nasional” yang telah disepakati bersama dan juga 53
Ibid Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 251 55 Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo persada 2005), hal. 16 54
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat.56 Dalam perkembangan penyusunan konsep KUHP, tidak lagi dibedakan antara “kejahatan kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Pelanggaran Melanggar Kesusilaan”.57 Oleh karena itu Maka dapat dikatakan seseorang dianggap melanggar kesusilaan apabila perbuatan tersebut melanggar rasa malu seksual dan dianggap menodai nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat, serta nilai-nilai kesusilaan tersebut berdasarkan nilai-nilai agama yang hidup didalam masyarakat tersebut. Adapun Ketentuan Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) yang diatur didalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi: a. Bentuk kejahatan diatur dalam pasal 281-289 KUHP b. Bentuk pelanggaran diatur dalam pasal 532-535 KUHP (Mengungkap atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno). F. Metode Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam
56
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2008), hal. 25 57 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 254
Universitas Sumatera Utara
upaya pengumpulan data yang diperlukan, menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat penelitian dibagi menjadi tiga yakni:58 a. Penelitian eksploratoris (explorative research) atau penjelajahan adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui. b. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu c. Penelitian eksplanatoris Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. Dan sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.59 Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.
58
Sejathi, Tipologi Penelitian Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/ contem
porary-theory/2109107-tipologi-penelitian-hukum/ 59 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian, (Jakarta: PT.Rieneka Citra, 1999), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
Dikenal ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa:60 a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. b. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
61
Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud
Marzuki bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni; “…suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi…”62
60
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cetakan 1 2010), hal. 154 61 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), hal. 23 62 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal 34
Universitas Sumatera Utara
Adapun karakteristik penelitian hukum normatif yakni:63 a. Sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder (kepustakaan), yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier; b. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif (skema) dapat ditinggalkan tetapi penyusunan kerangka konseptual mutlak perlu; c. Tidak diperlukan hipotesis, kalaupun ada hanya hipotesis kerja; d. Konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainnya. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan. Hal tersebut diperlukan karena penelitian hukum itu ada yang merupakan penelitian hukum normatif dan ada penelitian hukum empiris. Jenis data yang pertama disebut sebagai data sekunder dan jenis data yang kedua disebut dengan data primer.64 Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam penelitian hukum seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti hukum, bahwa hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokkan.65 Data sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan
63
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.Cit, hal.118-120. Ibid, hal. 156 65 Ibid, hal. 157 64
Universitas Sumatera Utara
masalah Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam (Ilmu Fiqih) serta mengacu kepada politik hukum pidana dalam Tindak Pidana Perzinahan yaitu :66 Penelitian Hukum Doktrinal umumnya menerima bahwa data dasar yang diperlukan adalah data yang hanya mengenal data sekunder67 yang terdiri atas (1) bahan hukum primer, (2) bahan hukum sekunder, (3) serta bahan hukum tersier.68 a.
Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang mengikat69 dan bersifat autoritatif yakni mempunyai otoritas.70 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012
b.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer),71 semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, termasuk skripsi, tesis, dan jurnal-jurnal,72makalah, majalah dan lain-lain. 66
Tampil Anshari Siregar, Metodologi penelitian Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press 2005), hal. 76 67 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 163. 68 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 127. 69 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 13. 70 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian …., op. cit., hal. 141. Dalam buku tersebut dikatakannya pula bahwa bahan hukum primer yang utama bagi penganut civil law system adalah perundang-undangan, di samping putusan pengadilan. Hal ini karena putusan pengadilan dipandang sebagai memiliki otoritas sebagai bentuk konkretiasasi dari perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah yang sebenarnya merupakan law in action. 71 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 241-242. 72 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian , Op. Cit., hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
c.
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.73 Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup74: 1) Bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang hukum. Contohnya: abstrak perundang-undangan,
bibliografi
hukum,
direktori
pengadilan,
ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya; dan 2) Bahan-bahan hukum primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum (bahan non hukum)75, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya. 3.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data.76 Penelitian ini menggunakan Penelitian Hukum Normatif, oleh karena itu Teknik Pengumpulan
73 74
Johnny Ibrahim, loc. cit. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
Data yang digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Researsh) yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan, kemudian berdiskusi dan mendengarkan masukan yang diberikan oleh ahli dalam bidang pembahasan skripsi ini, serta banyak melakukan penelusuran melalui media internet. Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:77 a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan. b. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan. c. Sebagai sumber data sekunder. d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya. e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan. f. Memperkaya ide-ide baru. g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.
77
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 112-113.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin. Sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan. 4.
Metode pendekatan penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk mencari jawabannya. Pendekatanpendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan undangundang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach.78 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.79 Hal ini bertujuan untuk mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang, yakni mengenai substansi yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perzinahan. Selain statue approach, metode historis juga dilakukan untuk menelusuri secara singkat sejarah KUHP dalam tindak pidana perzinahan. Pendekatan Historis (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi dengan tujuan untuk mengungkap dasar filosofis atau 78 79
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana 2008), hal. 93 Ibid hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.80 Selanjutnya Pendekatan
Komparatif
(comparative
approach),
dilakukan
dengan
membandingkan Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP dengan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam, dan manakah yang lebih relevan dengan Filosofis negara Indonesia. 5.
Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.81 Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif secara kualitatif82 dengan beberapa langkah. Pertama, menginventarisir dan mengidentifikasikan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya.83 Ketiga, analisis bahan hukum yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis dimana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai
bagian
dari
keseluruhan
sistem
perundang-undangan
dengan
80
Ibid., hal. 94 Masri Singarimbun dan Sofian Efensi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hal. 263. 82 Yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat. (Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Cetakan 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 105. 83 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 160. 81
Universitas Sumatera Utara
menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis.84 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.85
G.
Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini meliputi: BAB I (PENDAHULUAN), berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan. BAB
II
(PENGATURAN
TINDAK
PIDANA
PERZINAHAN
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA), berisi tentang history KUHP, menganalisis Tindak Pidana Perzinahan menurut pasal 284 KUHP dan menjelaskan unsur-unsur Tindak Pidana menurut KUHP . BAB
III
(PENGATURAN
TINDAK
MENURUT HUKUM ISLAM), berisi tentang
PIDANA
PERZINAHAN
uraian hukum pidana islam,
menjelaskan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam, alas an Tindak Pidana Perzinahan dilarang didalam islam baik dr perspektif social, kesehatan dan waris. Kemudian menjelaskan Tindak Pidana Perzinahan didalam hokum islam diatur secara khusus (Pidana Hudud/ Hadd)
84
Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hal. 163. 85 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan: Uniba Press, 2011), hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV (PERBANDINGAN TINDAK PIDANA MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM), berisi tentang alas anzina dilarang didalam hukum normatif dan hukum islam, zina didalam pengaturan zina baik itu didalam KUHP maupun Hukum Islam, dan unsur-unsur Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP dan Hukum Islam. BAB V (KESIMPULAN DAN SARAN), berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan isi karya tulis dan memberikan saran sebagai langkah untuk mengatasi permasalahan yang ada didalamnya.
Universitas Sumatera Utara