BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) tidak dapat melepaskan diri untuk melakukan interaksi dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Di dalam melakukan interaksi tersebut banyak terdapat kesamaan-kesamaan yang menjadikannya hidup harmonis tetapi tidak jarang pula hubungan itu menjadi buruk disebabkan terjadinya pertentangan, perselisihan, atau sengketa. Konflik atau perselisihan juga terjadi dalam dunia ketenagakerjaan, para pihak yang terlibat biasanya antara pekerja dengan pengusaha. Data Ditjen Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsostek Departemen Tenaga Kerja tahun 2007 menunjukkan sampai Bulan Desember 2007 terdapat 190 perselisihan yang dilaporkan. 1 Jumlah itu sebenarnya seperti fenomena gunung es, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlahnya, namun diperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dari data tersebut karena banyak perselisihan yang tidak dilaporkan ke Departemen Tenaga Kerja atau Dinas Tenaga Kerja. Pada tahun 2008/2009 ini diperkirakan akan lebih banyak lagi terjadi perselisihan, hal ini dikarenakan krisis global yang
1
Data Perselisihan Hubungan Industrial Tahun 2007, dalam http://www.phi-jsknakertrans.net, Diakses tanggal 20 Oktober 2008.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan banyak perusahaan yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja atau tidak mampu membayar upah pekerjanya. Selama ini memang yang paling banyak menjadi penyebab terjadinya perselisihan adalah masalah pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. 2 Sebenarnya konflik atau sengketa antara pekerja dengan pengusaha tidak perlu ditakuti karena konflik bisa menimbulkan dampak positif bagi pihak-pihak yang terlibat, dengan syarat konflik tersebut tidak dilandasi oleh semangat kekerasan. Jika kekerasan yang dilahirkan dari konflik ini maka tentu kerugian yang akan di dapat, selain permusuhan. Sangat disayangkan selama ini perselisihan antara pekerja dengan pengusaha seringkali diselesaikan dengan cara-cara yang anarkis seperti demonstrasi dengan kekerasan, pembakaran, pemogokan sampai penutupan perusahaan (lock out). Seharusnya perselisihan itu dapat diselesaikan dengan damai dan saling menguntungkan. Akibat perselisihan atau sengketa di antara pekerja dengan pengusaha tersebut tentu saja akan membuat terganggunya proses produksi di perusahaan, untuk itulah diperlukan penyelesaian secepatnya.
Secara konvensional penyelesaian sengketa
biasanya dilakukan dengan litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Sehubungan dengan hal ini, Abdurrahman dan Ridwan Syahrani mengatakan : Pengadilan merupakan tumpuan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan inilah diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah. Oleh
2
Masalah Hukum Perburuhan, dalam http://www.ui.ac.id, Diakses tanggal 25 Februari 2009.
Universitas Sumatera Utara
karena jalan yang sebaik-baiknya untuk dapat penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan. 3 Kenyataannya, berperkara di pengadilan bukanlah hal yang sederhana, justru proses pengadilan kerap menimbulkan penderitaan-penderitaan baru bagi pencari keadilan sebab akan memakan waktu yang cukup lama juga menghabiskan biaya yang tidak sedikit dan tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada peradilan formal itu sendiri. Berperkara melalui pengadilan akan sangat merepotkan bagi para pekerja dan pengusaha dan proses beracaranya bertele-tele. 4 Terutama bagi pekerja akan sangat memberatkan karena setidaknya diharuskan membayar advokat untuk menangani kasusnya, padahal jangankan untuk membayar advokat untuk kebutuhan sehari-haripun masih kesulitan. 5 Tidak salah orang mengatakan berperkara di pengadilan yang menang menjadi arang sedang yang kalah akan menjadi abu, bahkan Abraham Lincoln mengatakan bahwa dalam setiap perkara sesungguhnya tidak ada pihak yang menang, semua kalah, hanya satu yang menang yaitu Penasehat Hukum yang menerima bayaran dari pihak-pihak yang berperkara.
3
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 1987),
hlm. 63. 4
Proses Beracara di PHI Memberatkan, dalam http://www.hukumonline.com, Diakses tanggal 28 Februari 2009 5 Tuntutan Penggunaan Jasa Advokad di Sengketa Perburuhan, Bebankan Buruh, dalam http://www.hukumonline.com, Diakses tanggal 10 Maret 2009.
Universitas Sumatera Utara
Hal senada juga disampaikan Yahya Harahap, ada beberapa kelemahan pengadilan termasuk Pengadilan Hubungan Industrial yaitu : 6 a. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau disebut waste of time (buang waktu lama), hal ini diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain dari pada itu arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak. b. Biaya perkara mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian, semakin lama penyelesaian semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. c. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, oleh karena putusan pengadilan tidak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak yang bersangkutan sangat antagonistis, salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan. Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, penyelesaiannya juga bisa diselesaikan melalui pengadilan, namanya Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di bawah Pengadilan Negeri di ibukota provinsi. Upaya penyelesaian di pengadilan merupakan upaya terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan tidak tercapai. Lahirnya pengadilan ini sebenarnya perwujudan dari lahirnya UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disingkat dengan UU PPHI). Hal ini merupakan langkah maju sebab
6
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 237. Lebih lanjut Thomas J Harron dalam buku M Yahya Harahap mengatakan masyarakat sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan) dan tidak puas dengan sistem pengadilan. Mengapa ? Cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele, dengan sangat merugikan, buangbuang waktu, biaya mahal, mempermasalahkan masa lalu, bukan meyelesaikan masa depan dan melumpuhkan para pihak. Sedangkan Huala Adolf mengatakan litigasi pada umumnya akan menimbulkan suasana permusuhan yang dapat berkepanjangan bagi para pihak yang berperkara. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
dulu penyelesaian perselisihan dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik yang berada di pusat maupun di daerah. Para aktivis perburuhan menyatakan/merangkum setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan di dalam pelaksanaan penyelesaian perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial diantaranya yaitu; 7 Pertama, soal tempat mengajukan gugatan. Hal ini diatur dalam Pasal 81 UU PPHI, dimana seorang pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial di pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah di mana pekerja/buruh itu bekerja. Sepintas pasal ini seperti memberikan kemudahan bagi pekerja/buruh namun praktiknya justru mempersulit. Ini terjadi pada kasus buruh Great River Indonesia (GRI) pada Maret 2007 lalu. Dari 5.582 orang buruh yang menggugat, hanya 577 orang yang gugatannya dikabulkan oleh PHI DKI Jakarta. Sisanya ditolak dengan alasan Majelis Hakim PHI DKI Jakarta tidak berwenang memeriksa sengketa, karena sisa dari 577 orang lainnya, ternyata tempat domisili kerjanya di luar daerah Jurisdiksi PHI DKI Jakarta. Putusan PHI ini kemudian memicu kemarahan para buruh. 8 Kedua, lamanya waktu dan besarnya biaya proses perkara. UU PPHI secara eksplisit menghendaki asas cepat, adil, murah, dan tepat dalam memeriksa sengketa hubungan industrial dan karenanya memberikan secara tegas limitasi lamanya proses sidang pemeriksaan sengketa yaitu 50 hari kerja dari mulai sidang pertama sampai dengan putusan (Pasal 103 UU PPHI). Jika asumsi seminggu 1 kali sidang, maka ada sekitar 7 kali sidang yang harus diikuti oleh para pekerja/buruh dan ini belum terhitung biaya datang ke pengadilan pada saat pra (daftar gugatan) dan pasca (ambil putusan) sidang. 9 Di dalam praktik, nyatanya banyak para pekerja yang tak mampu memiliki cukup biaya untuk menghadiri sidang sebanyak 7 kali tersebut. Terlebih, bahwa PHI berkedudukan di ibukota Provinsi. Hal ini sangat membebankan biaya mahal bagi pekerja yang tempat kerjanya di luar ibu kota Provinsi. Terlebih lagi, pada praktiknya Hakim PHI juga menolak mengabulkan suatu gugatan penggabungan, yaitu dimana gugatan mengenai perselisihan hak, 7
Irfan F El-Kindi, PHI : “Plug and Play” Menyelesaikan Sengketa Perburuhan, (Tabloid Suara LSM Edisi 8 Tahun 1-10 Mei-19 Mei 2008). 8 Ibid 9 Ibid
Universitas Sumatera Utara
kepentingan dan PHK digabungkan dalam satu gugatan melainkan Hakim PHI meminta gugatan tersebut masing-masing diajukan secara terpisah, padahal pekerja/buruh jelas tak mungkin memiliki stamina (biaya dan tenaga) yang cukup untuk berperkara dengan mengajukan suatu gugatan secara terpisah dan satu persatu berdasar masing-masing jenis perselisihan. Ketiga, banyaknya gugatan ditolak. Di luar ketentuan khusus hukum acara (formil) yang diatur di dalam UU PPHI, proses pemeriksaan perkara di PHI juga mengadopsi sepenuhnya hukum acara perdata umum. Sehingga teknis tata cara mengajukan dan membuat isi gugatan juga harus tunduk mengikuti ketentuan hukum acara perdata umum. Dengan begitu, para pekerja/buruh harus dibebankan untuk membuat gugatan menurut standar hukum acara perdata. Padahal tak semua pekerja/buruh memiliki bekal pengetahuan hukum yang memadai. Akibatnya banyak gugatan pekerja/buruh yang ditolak atau NO (Niet Onvankelijke Verklaard) oleh Majelis Hakim hanya karena alasan teknis/formil, yakni Surat Kuasa tidak sah, gugatan kabur, error in persona, dan lain-lain. 10 Mengenai hal ini, UU PPHI memang telah memberikan kelonggaran bagi Serikat Pekerja untuk bertindak menjadi kuasa hukum guna mewakili anggotanya untuk bersidang di PHI (Pasal 87 UU PPHI), namun tak semua Serikat Pekerja juga memiliki kemampuan teknis beracara di PHI, dan tak semua perusahaan terdapat serikat pekerja. Sementara itu, menggunakan jasa Advokat juga bukan pilihan yang mudah, terlebih karena ada faktor biaya dan ‘kepercayaan’ yang harus dipertimbangkan. Akibatnya banyak gugatan yang ditolak, dan membuat pekerja/buruh harus mengajukan gugatan ulang padahal pada gugatan awal, pekerja/buruh sudah mengikuti jalannya persidangan yang lama (50 hari) dan ketika gugatan ulang diajukan, maka mau tidak mau pekerja/buruh harus menjalani persidangan dari awal 10
Ibid, Hasil wawancara dengan Ibnu Affan. (Hakim PHI Medan), dari 391 kasus yang di putus sampai Januari 2009 dengan 183 serikat pekerja sebagai kuasa, 17 putusannya NO (Niet Onvankelijke Verklaard) oleh Hakim PHI Medan.
Universitas Sumatera Utara
(selama 50 hari) lagi. Bayangkan, betapa banyak energi dan biaya yang dikeluarkan oleh pekerja/buruh. UU PPHI, sebenarnya pula sudah mengantisipasi hal ini yaitu dengan memberlakukan Pasal 83 ayat (2) UU PPHI yang mana hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan, dan meminta gugatan disempurnakan apabila ditemukan terdapat kekurangan, namun praktiknya, pasal ini juga tidak pernah dijalankan sehingga jadilah banyak gugatan yang compang-camping kemudian ditolak. Keempat, putusan sela upah proses yang tidak pernah dipenuhi. Pasal 96 UU PPHI, memberikan peluang bagi pekerja/buruh untuk memohon putusan sela agar Hakim PHI memerintahkan pengusaha untuk tetap melaksanakan kewajibannya membayar upah pekerja/buruh selama putusan PHI belum ditetapkan, namun nyatanya, sejak awal PHI berdiri, meski sempat ada beberapa perkara yang dikabulkan permohonan putusan selanya, namun belakangan, justru tak pernah ada lagi permohonan putusan sela yang dikabulkan dan akibatnya, tak pernah ada pula sita jaminan yang ditetapkan oleh PHI dalam rangka memaksa pengusaha menjalankan kewajibannya (Pasal 96 ayat (3) UU PPHI) sehingga akhirnya, praktis seluruh isi Pasal 96 UU PPHI, yang isinya seakan-akan memihak para pekerja/buruh, nyatanya hanya menjadi ‘pemanis bibir’ (lips service) belaka yang tak pernah dapat direalisasikan. 11 Ini sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan pengadilan, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. 12 Selanjutnya
dalam Pasal 5 ayat (2) undang-undang tersebut dikatakan bahwa
“Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
11 12
Ibid Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Universitas Sumatera Utara
dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”. 13 Hal ini berarti undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Sederhana artinya dalam melakukan pemeriksaan suatu perkara tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit, dengan demikian pemeriksaan atau acara tersebut jelas dan mudah di mengerti. Cepat menunjukan pada jalannya peradilan. Formalitas yang terlalu banyak akan menjadi hambatan bagi jalannya peradilan, sedangkan kata biaya ringan artinya dalam melakukan proses pengadilan adalah biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh masyarakat pencari keadilan. Setelah mengetahui kelemahan-kelemahan dari penyelesaian secara litigasi tersebut, orang mulai menghindar penyelesaian di pengadilan dan lebih mengoptimalkan penyelesaian di luar pengadilan. Sebenarnya cara ini bukanlah hal yang baru, sudah sejak lama cara ini dipraktekkan lewat musyawarah untuk mufakat. Dahulu, ketika terjadi perselisihan antar masyarakat maka akan diselesaikan dengan musyawarah. Musyawarah untuk mufakat sedikit dilupakan ketika orang-orang berlomba-lomba untuk menyelesaikan persoalannya di muka pengadilan. Baru sekarang masyarakat mulai menoleh lagi ke cara lama tersebut setelah penyelesaian melalui pengadilan dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan cara penyelesian non-litigasi inipun tidak dianggap bertentangan dengan 13
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Universitas Sumatera Utara
undang undang, sebab dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase“. 14 Jika dalam penyelesaian perselisihan melalui pengadilan dirasakan menyita cukup banyak waktu, mahal serta dapat menciptakan pertikaian yang mendalam karena putusan pengadilan hanya ada dua alternatif yakni menang atau kalah, maka dalam penyelesaian secara alternatif ini akan dirasakan lebih murah dan cepat, keputusannya dapat melenggangkan hubungan karena sifatnya win-win solution. Cristoper W Moor dalam Joni Emirzon, menyebutkan ada beberapa keuntungan
penyelesaian
sengketa
dengan
mekanisme
ADR
dibandingkan
penyelesaian lewat pengadilan yakni: 15 a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Sifat kesukarelaan dalam proses Prosedur yang relatif cepat Keputusan non judicial Prosedur rahasia Fleksibelitas yang besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa. Hemat waktu dan biaya Perlindungan dan pemeliharaan hubungan Kemungkinan untuk melaksanakan putusan tinggi Tingkat yang lebih tinggi untuk melaksanakan kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil.
14
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 3-4. Sedang di Amerika Serikat, ADR dibutuhkan antara lain untuk : (a) Mengurangi kemacetan di pengadilan, banyak kasus yang diajukan di pengadilan meyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. (b). Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian perkara (c). Memperlancar dan memperluas akses ke pengadilan. (d). Memberikan kesempatan bagi penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dengan memuaskan. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 9-10. 15
Universitas Sumatera Utara
j. Kesepakatan-kesepakatan yang lebih baik daripada sekedar kompromi atau hasil yang di peroleh dari cara penyelesaian kalah menang. k. Keputusan yang bertahan sepanjang waktu. Cara penyelesaian sengketa alternatif ini sudah banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, tetapi peraturan perundang-undangan yang mengaturnya baru lahir pada tahun 1999 ketika diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam undang-undang tersebut menyebutkan sedikitnya ada 6 (enam) macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum dan arbitrase. 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan landasan dalam penyelesaian
perselisihan antara pekerja
dengan pengusaha. Salah satu upaya yang diwajibkan dalam penyelesaian perselisihan itu adalah penyelesaian di luar pengadilan. Sebelum sampai ke Pengadilan
Hubungan
Industrial
(PHI),
para
pihak
wajib
menyelesaikan
permasalahannya dengan musyawarah, artinya tidak boleh langsung ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah upaya terakhir penyelesaian perkara. Ini merupakan hal yang menarik karena secara umum biasanya para pihak dapat saja langsung ke pengadilan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan
16
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis. Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan lewat pengadilan dan juga dapat di tempuh melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian lewat luar pengadilan dapat di tempuh melalui cara bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Para pihak yang berselisih mengenai hubungan industrial sebaiknya mengedepankan perdamaian ketimbang membawa langsung perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Perundingan lewat forum bipatrit atau tripartit dulu di desain para legislator sebagai pintu yang memungkinkan terciptanya perdamaian atau resolusi yang relatif cepat bagi para pihak pada tahap awal munculnya perselisihan hubungan industrial. Aloysius Uwiyono menyatakan, ada beberapa faktor pentingnya penyelesaian perselisihan perburuhan di luar pengadilan : Pertama, penyelesaian di luar pengadilan dilakukan secara informal dan menekankan pada win-win solution. Kedua, penyelesaian di luar pengadilan yang dilaksanakan secara mediasi, konsiliasi atau arbitrase pada dasarnya merupakan proses lanjutan dari negosiasi (contractual process). Artinya, cara-cara tadi berfungsi sebagai alat bantu para pihak dalam proses perundingan. Ketiga, masing-masing pihak yang berselisih diberi kesempatan secara penuh baik dalam menyampaikan pandangan maupun dalam menggunakan kesempatan bertanya kepada pihak dalam acara dengar pendapat. Keempat, memberikan kesempatan kepada para pihak yang berselisih untuk berkomunikasi secara intens, yang berarti memberi waktu bagi keduanya memecahkan persoalan dari berbagai sudut pandang. 17 Saran agar para pihak mengedepankan mekanisme perdamaian juga datang dari Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Tri Widodo, menurutnya, sangat baik bila para pihak mengusahakan perdamaian daripada
17
Penting Menyelesaikan Perselisihan Perburuhan di Luar Pengadilan, http://hukumonline.com/detail.asp?id=8167&cl=Berita, Diakses tanggal 10 Maret 2009.
dalam
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan berperkara di PHI. Dari sisi PHI, mekanisme perdamaian akan menurunkan beban pengadilan, yakni beban kerja maupun biaya perkara yang harus di tanggung negara. Bagi para pihak, penyelesaian yang cepat dan tak berlarut-larut bisa menghemat waktu, dana dan sumber daya. 18
Untuk diketahui perkara
perselisihan hubungan industrial yang masuk ke pengadilan pada tahun 2007 sejumlah 1738 perkara sedang perkara yang masuk tahun 2006 dan belum diselesaikan sejumlah 552 perkara. 19 Kenyataan yang ada tidak seperti yang diharapkan saat pembuatan undangundang ini, cara penyelesaian di luar pengadilan masih mendapat banyak kritik, seperti dosen hukum perburuhan Universitas Indonesia (UI), Aloysius Uwiyono mengatakan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) perlu di amandemen dikarenakan undangundang ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh undang-undang ini. Undang-undang ini juga tidak memberikan kewenangan kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan kasus PHK padahal 99 persen kasus perselisihan antara pekerja dengan pengusaha adalah masalah PHK. Selain itu, undang-undang ini juga tidak memberikan ruang bagi pihak yang
18
Utamakan Perdamaian Dalam Perselisihan Hubungan Industrial, dalam http://www.hukumonline.com, Diakses tanggal 20 Nopember 2008. 19 Perkara Pengadilan Hubungan Industrial, dalam http://www.mari.go.id, Diakses tanggal 8 Nopember 2008.
Universitas Sumatera Utara
berselisih untuk memilih mekanisme pemecahan masalah yang membuat buruh atau pekerja berada di posisi yang kurang menguntungkan. 20 Sampai saat ini mekanisme yang sudah digunakan adalah mekanisme bipartit dan mediasi, sedangkan cara konsiliasi dan arbitrase belum dimanfaatkan oleh para pekerja dan pengusaha. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Depnakertrans, Gandi Sugandi, beralasan hal ini terjadi dikarenakan ketidakmampuan konsiliator dan arbiter dalam menjalin komunikasi dan koordinasi dengan pihak dinas ketenagakerjaan, khusus masalah arbitrase, permasalahannya adalah biaya perkara dikenakan pada para pihak 21 padahal bagi pekerja sangat merasa terbebani jika harus mengeluarkan biaya dalam mengurus perkara. Permasalahan lain, khususnya penyelesaian secara mediasi di rasakan seorang mediator kurang ahli dalam bidangnya sebagai juru damai 22 dan masih sering memihak 23 padahal agar perselisihan betul-betul dapat diselesaikan di luar jalur pengadilan atau pihak-pihak yang berselisih bersedia menggunakan jasa-jasa mediator, konsiliator, arbiter, di tuntut orang-orang yang menanganinya sesorang yang profesional artinya yang berkualitas, mampu menyelesaikan perkara dengan baik, di percaya oleh pihak-pihak
20
UU PPHI Perlu di Amandemen, dalam http://kabarindonesia.com, Diakses tanggal 15 Desember 2008. 21 Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (3), dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20220&cl=Berita, Diakses tanggal 15 Desember 2008 22 Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (2), dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?20219&cl=berita, Diakses tanggal 15 Desember 2008. 23 Thoga M Sitorus, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Luar Pengadilan Hubungan Industrial, (Medan : Disampaikan Dalam Seminar Dua Hari Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Melihat masih banyaknya celah pada lembaga perdamaian di jalur hubungan industrial ini, maka tampaknya tidak ada pilihan lain bagi pelaku hubungan industrial, selain menghindari perselisihan dengan melaksanakan hak dan kewajibannya masingmasing sebagaimana mestinya. Peran pemerintah juga sangat diharapkan dalam mencegah dan menyelesaikan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha khususnya dalam penyelesaian lewat jalur luar pengadilan. Fungsi utama pemerintah dalam hubungan industrial adalah mengadakan atau menyusun peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja dengan pengusaha berjalan lancar, serasi dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Selama ini peran pemerintah masih dirasakan masih kurang dalam menyelesaikan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, pemerintah masih dianggap sering memihak pengusaha, selain itu birokrasi yang berbelit-belit semakin menambah
ketidakpastian
penyelesaian
perselisihan
antara
pekerja
dengan
pengusaha, akibatnya perselisihan antara pekerja dengan pengusaha tidak dapat diselesaikan secara damai. Sebagai gambaran tentang susahnya penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat di lihat dari ungkapan pekerja yang mengatakan jika berperkara dengan mempergunakan jasa Kantor Dinas Tenaga Kerja, sudah makan waktu berbulan-bulan, maka yang keluar adalah sepucuk surat yang meminta agar di adakan penyelesaian dengan cara baik baik dalam masa 10 hari. Setelahnya, jika tak selesai juga, bersiaplah dengan dana cadangan yang cukup karena akan masuk ke
Universitas Sumatera Utara
dalam tahap yang lebih parah lagi, Pengadilan Hubungan Industrial, tempat di mana para pihak mempertaruhkan segala-galanya di depan hukum, tidak hanya itu, kinerja instansi satu ini bagaikan kura kura, bahkan lebih lamban. 24
B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk di bahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perselisihan antara pekerja dengan pengusaha? 2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dan kekuatan mengikat dari kesepakatan/keputusan yang dikeluarkan lembaga di luar pengadilan hubungan industrial tersebut ? 3. Bagaimanakah pelaksanaan proses penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha di luar pengadilan hubungan industrial?
C. Tujuan Penelitian Setelah mengetahui rumusan masalah tersebut maka yang menjadi tujuan dari penelitian tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perselisihan antara pekerja dengan pengusaha.
24
Jalur Lambat di Pengadilan Hubungan Industrial, dalam http://www.koranburuh.com, Diakses tanggal 23 Nopember 2008.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dan kekuatan mengikat dari kesepakatan/keputusan yang dikeluarkan lembaga di luar pengadilan hubungan industrial. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan proses penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha di luar pengadilan.
D. Manfaat Penelitian Penelitian tesis ini diharapkan memiliki dua manfaat sekaligus yaitu manfaat secara teoritis dan praktis. 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut di bidang hubungan industrial khususnya mengenai perselisihan hubungan industrial dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi hukum yang sedang mendalami bidang kajian
penelitian
ini,
khususnya
diharapkan
dapat
bermanfaat
untuk
pengembangan hukum ketenagakerjaan. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dan juga bagi pekerja dan pengusaha agar tercipta hubungan industrial yang harmonis.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas
Sumatera
Utara
diketahui
bahwa
penelitian
berjudul
“Penyelesaian Perselisihan Antara Pekerja dengan Pengusaha di Luar Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang di analisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. Solly Lubis memberikan pengertian kerangka teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis, hal mana dapat menjadi
Universitas Sumatera Utara
masukan eksternal bagi penulis. 25 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi. 26 Di tingkat perusahaan, pekerja dan pengusaha adalah dua pelaku utama hubungan industrial, baik pihak perusahaan maupun pekerja mempunyai hak yang sama dan sah untuk melindungi hal-hal yang dianggap sebagai kepentingannya masing-masing, juga untuk mengamankan tujuan-tujuannya, termasuk hak untuk melakukan tekanan untuk melakukan kekuatan bersama bila di pandang perlu. Di satu sisi, pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga mempunyai potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interprestasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak. Ada 3 (tiga) pandangan mengenai konflik yang terjadi di perusahaan : 27 yakni pertama, pandangan tradisional yang memandang konflik merupakan hal yang tidak diinginkan dan berbahaya bagi perusahaan, maka konflik merupakan akibat adanya kesalahan dalam perusahaan sehingga harus dibetulkan supaya semua fungsi dalam perusahaan dapat berintegrasi dengan baik. Kedua, pandangan prilaku yang menyatakan konflik adalah suatu peristiwa yang sering terjadi dalam kehidupan perusahaan, jadi konflik dapat menguntungkan juga merugikan. Ketiga, pandangan 25
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Bandar Maju, 1994), hlm.80. Kerangka teori juga merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang di analisis, JJJ M Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203. 26 JJJ M Wuisman, Ibid, hlm 203. Menurut Solly Lubis, fungsi teori mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan, Ibid, hlm.27. 27 D Koeshartono dan M.F.Shellyana Junaidi, Hubungan Industrial : Kajian Konsep dan Permasalahannya, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2005), hlm.75.
Universitas Sumatera Utara
modern yakni bahwa kesadaran bahwa konflik dalam perusahaan tidak dapat dihindari bahkan diperlukan. Konflik atau sengketa dapat terjadi setiap saat karena akibat timbulnya keadaan yang sekilas tampak tidak berarti dan kecil sehingga terabaikan. Konflik biasanya muncul secara tiba-tiba dan tidak disangka-sangka, atau dapat terjadi tanpa diperhitungkan sebelumnya. Priyatna Aburrasyid berpendapat, perselisihan atau sengketa secara umum dapat berkenaan dengan hak-hak, status, gaya hidup, reputasi atau aspek lain dalam kegiatan perdagangan atau tingkah laku pribadi, diantaranya 28 : 1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri, atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasanpenjelasan tentang kenyataan-kenyataan data tersebut ; 2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran penyelesaian sengketa yang diberikan oleh para ahli hukum yang terkait ; 3. Akibat perbedaan teknis termasuk perbedaan pendapat dari para ahli teknik dan profesionalisme dari para pihak ; 4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan asumsi ; 5. Perbedaan presepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas, budaya, nilai-nilai dan sikap.
Penelitian
ini
menggunakan
teori
Labor
Management
Cooperation
sebagaimana ditegaskan oleh E. Brock bahwa negara harus mengembangkan satu suasana kerjasama yang utuh berdasarkan konsep nilai luhur yaitu kesetaraan dan sikap saling menghormati antara pekerja dan pengusaha 29 . Teori ini akan 28
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2002), hlm. 5-6. 29 Stephen I Schollessberg dan Steven M Fetler dalam Surya Perdana, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian PHK pada Perusahaan di Sumatera Utara, (Medan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008).
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bahwa penyelesaian di luar pengadilan merupakan usaha untuk menyelaraskan kepentingan antara pekerja dan pengusaha apabila terjadi perbedaan pendapat dan bahkan perselisihan. Selain itu penyelesaian di luar pengadilan merupakan implementasi dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat. Musyawarah untuk mufakat merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja mengandung komponen budaya yaitu budaya hukum. Faktor budaya suatu masyarakat juga menjadi alasan masyarakat untuk melakukan pilihan penyelesaian sengketa alternatif. Kaitannya dengan budaya, Satjipto Raharjo mengemukakan : Memang tidak dapat di sangkal bahwa musyawarah untuk mufakat itu merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia namun dalam konteks masyarakat yang semakin terbuka dan individualistis serta pengorganisasian masyarakat secara modern rasional, maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri. 30 Berdasarkan hal itu agar budaya musyawarah bisa menjadi bagian perilaku masyarakat Indonesia atau meningkatkan penggunaan penyelesaian sengketa, perlu adanya langkah-langkah terencana untuk mewujudkan keinginan tersebut. Di dalam masyarakat yang mempunyai budaya gotong royong, tenggang rasa, musyawarah, dan guyub (gemeinschaft) seperti di Indonesia, keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa win-win solution, yang mendasarkan pada konsensus dan musyawarah
30
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1979), hlm.52.
Universitas Sumatera Utara
sebenarnya pernah atau masih berlangsung dalam praktik-praktik penyelesaian sengketa di masyarakat. Saat ini nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tersebut di atas belum dikembangkan secara rasional ilmiah untuk menyelesaikan sengketasengketa dari yang sederhana sampai sengketa modern yang multi komplek. Merasionalkan budaya musyawarah yang dimaksudkan di sini adalah tidak lagi menganggap budaya musyawarah sebagai given, tapi harus diperjuangkan terus menerus secara rasional untuk bisa digunakan menyelesaikan sengketa, dari yang sederhana sampai yang rumit sekalipun. Apabila terjadi perselisihan antara pekerja dengan pengusaha hendaknya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat yang merupakan nilainilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat dan lebih menjamin terciptanya perdamaian. Nilai-nilai tersebut cenderung memberikan tekanan pada hubungan personal, solidaritas komunal, serta penghindaran terhadap perselisihan. Terkait dengan peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha ini, pemerintah masih ikut campur dalam sengketa antara pekerja dengan pengusaha, khususnya terlihat dalam proses mediasi. Hal ini dikarenakan lembaga mediasi dianggap sebagai lembaga semi-otonomi. Di dalam proses mediasi, pihak mediator harus berasal dari pemerintah yakni pegawai dari Dinas Tenaga Kerja. Pemerintah masih menganggap perlu campur tangan untuk mengamankan kepentingannya menjaga keharmonisan hubungan industrial.
Universitas Sumatera Utara
Peran pemerintah tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ketatanegaraan Indonesia saat ini. Adanya otonomi daerah seperti sekarang ini, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Huruf H Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten dan kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi bidang ketenagakerjaan. 31 Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator yang bijak melalui sarana pembentukan dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, dikarenakan hukum ketenagakerjaan akan menjadi sarana utama untuk menjalankan kebijakan
pemerintah
di
bidang
ketenagakerjaan
itu
sendiri.
Kebijakan
ketenagakerjaan (labour policy) di Indonesia dapat di lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konsitusi negara, juga dalam peraturan perundang-undangan terkait. 32
2. Konsepsi Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka akan diberikan definisi operasional sebagai berikut : Perselisihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Sengketa yang juga dikenal sebagai konflik adalah dua
31
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Naoyoki Sakumoto dalam Agusmidah, Politik Hukum Dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaa, (Medan, Disertasi Sekolah Pascasarja USU, 2007), hlm.28. 32
Universitas Sumatera Utara
kosakata yang tidak sama, tetapi sulit untuk dibedakan sehingga dalam penggunaannya adakalanya dilakukan secara bergantian. Studi kepustakaan menunjukan bahwa dikalangan ahli sosiologi (termasuk sosiologi hukum) pengkajian lebih berfokus pada istilah konflik (conflict), sedangkan dikalangan ahli antropologi hukum terdapat kecenderungan untuk memfokuskan pada istilah sengketa (dispute). 33 Perselisihan,
konflik
atau
percekcokan
adalah
adanya
pertentangan
atau
ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama. 34 Perselisihan
hubungan
industrial
adalah
perbedaan
pendapat
yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 35 Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 36
33
Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi. (Medan : Disertasi Program Pascasarjana USU, 2002), hlm.74. 34 Joni Emirzon, Op.Cit, hlm. 21. 35 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 36 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sering disebut sebagai penyelesaian sengketa alternatif yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.37 Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 38 Pengusaha adalah : 1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. 2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 39
G. Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan di saat permulaan penelitian tetapi juga digunakan di akhir penelitian, maka oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang 37
Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 38 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 39 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
tertulis di dalam buku (law as it is written in the book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). 40 Penelitian hukum normatif didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teori dan analisis normatif kualitatif. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 41
40
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2006), hlm.118. 41 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Banyumedia Publishing, 2006), hlm.57.
Universitas Sumatera Utara
1. Tipe dan Sifat Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah atau norma-norma dan hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan tujuan menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 42
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan yuridis/undang-undang
(statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani, yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Sumber Data Data didapatkan melalui studi kepustakaan, yaitu dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek penelitian yang meliputi :
42
Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT.Gramedia, 1997),
hlm.42.
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer, berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan hubungan industrial khususnya mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha di luar pengadilan yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya sebagai pelaksanaan dari undang-undang tersebut. b. Bahan hukum sekunder yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa buku-buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini, hasil tulisan berupa tesis, disertasi, jurnal, makalah, laporan penelitian yang sesuai dengan topik kajian penelitian ini. c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
Universitas Sumatera Utara
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui : 1. Studi Kepustakaan (Library research) Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku hukum, artikel, literatur yang berhubungan dengan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. 2. Wawancara (Interview) Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara, pekerja/serikat pekerja, pengusaha/serikat pengusaha dan pihakpihak lain yang berhubungan dengan objek penelitian ini.
5. Analisis Data Seluruh data yang di peroleh akan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan di analisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang persoalan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini. Data yang di analisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan di olah kemudian di analisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara