BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian Perikatan dan perjanjian suatu hal yang dapat berbeda. Secara umum perbedaan dimaksud dapat dilihat dari sumber lahirnya suatu perikatan. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Dengan kata lain, suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan yaitu:
suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya, diwajibkan memenuhi tuntutan tersebut. 11 Pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Jadi perjanjian yang dibuat menerbitkan suatu perikatan antara orang yang membuat perjanjian. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Berikut beberapa pendapat ahli mengenai pengertian perjanjian.
11
Arus Akbar Silondae, dkk, Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2013, hal 9-10.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.” 12 Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.” Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. 13 Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan. 14 Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 458. 13 Sudarsono, Kamus Hukum, Rincka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 363. 14 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumi, Bandung, 2005, hal. 89.
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.” 15 Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”. 16 Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUHPerdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata). Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu: 1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syaratsyarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, 15
Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 27. 16 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,2005, hal 1.
mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi; 2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka; 3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum; 4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; 5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada; 6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syaratsyarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian
dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. 17 Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana tentang perjanjian maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pada dasarnya adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan No 1.
Perjanjian Perjanjian
Perikatan
menimbulkan
atau Perikatan adalah isi dari perjanjian.
melahirkan perikatan. 2.
Perjanjian lebih konkrit daripada Perikatan merupakan pengertian perikatan,
artinya
perjanjian
dapat dilihat dan didengar. 3.
Pada
umumnya
itu yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).
perjanjian Perikatan bersegi satu, artinya:
merupakan hubungan hukum bersegi belum tentu menimbulkan akibat dua,
artinya
akibat
hukumnya hukum, sebagai contoh, perikatan
dikehendaki oleh kedua belah pihak. alami tidak dapat dituntut di sidang Hal ini bermakna bahwa hak dan pengadilan (hutang karena judi) kewajiban
dapat
dipaksankan. karena pemenuhannya tidak dapat
Pihak-pihak berjumlah lebih dari dipaksakan.
17
Pihaknya
hanya
Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal 5-6.
atau
sama
dengan
dua
pihak berjumlah satu sehingga ia disebut
sehingga bukan pernyataan sepihak, bersegi satu dan pernyataannya dan
pernyataan
perbuatan hukum.
itu
merupakan merupakan
pernyataan
sepihak
serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).
Perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan. Sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata. Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-undang. Selain itu di samping berasal dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan. Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang ditentukan di dalam undang-undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusialaan. Hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya. Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetap lah sama. Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah
ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi. Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan mudah ditemukan banyak persoalan dagang, oleh karena itu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Tapi ada juga ahli hukum dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama. Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Hukum kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan di sisi lain diartikan tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak 18
F. Asas-asas Perjanjian Asas-asas hukum bukanlah suatu peraturan yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang bersifat umum atau yang merupakan latar belakang dalam pembentukan hukum positif, maka asas hukum merupakan dasar atau
18
http://bisdan-sigalingging.blogspot.co.id/2014/10/hukum-perjanjian-oleh-bisdan.html diakses tanggal 29 September 2015, Pukul 10.00 Wib.
petunjuk pembentukan hukum positif. Oleh karena itu asas hukum bersifat umum dan abstrak. Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum.
Hukum
perjanjian mengenal beberapa asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi perjanjian, pelaksanaan dan akibat perjanjian, yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan dari perjanjian. Adapun kebebasan untuk membuat perjanjian itu terdiri dari beberapa hal yaitu: a. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang diinginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. b. Bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja ia ingin membuat perjanjian
Kata "semua" menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum. Artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak mengikat dan wajib dilaksankan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti
rugi
kepada
pihak
yang
tidak
melaksanakan
tadi
Kalimat 'yang dibuat secara sah' diartikan pemasok bahwa apa yang disepakati, berlaku sebagai undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Apabila bertentangan, kontrak batal demi hukum c. Bebas untuk menentukan isi perjanjian yang dibuatnya Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme. d. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, dan Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang diinginkan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
e. Kebebasan untuk menentukan terhadap hukum mana perjanjian itu akan tunduk. Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Di dalam perjanjian dikenal beberapa jenis asas-asas hukum yang merupakan asas-asas umum yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat di dalamnya, antara lain : 1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis). Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dari perkataan ‘semua’ dapat ditafsirkan, bahwa masyarakat diberikan kebebasan yang seluasluasnya untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dan perjanjian itu mengikat para pihak yang
membuat seperti mengikatnya suatu undang-undang, seperti halnya yang telah ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. 2. Asas Konsensualisme (concensualism) Asas Konsensualisme ini memberi isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensualisme atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian. Atau perjanjian telah ada dan sah sejak saat terjadinya kesepakatan. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam Hukum Jerman tidak dikenal adanya istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian rill adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractur innominat .Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.Asas
Konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian. 19 3. Asas Kekuatan Mengikat Hukum (pacta sunt servanda) Asas kekuatan mengikat atau pacta sunt servanda berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini berkenaan dengan akibat dari adanya suatu perjanjian. Asas ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan tersebut berarti bahwa perjanjian yang dibuat dengan cara yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang berarti mengikat para pihak dalam perjanjian, seperti undang-undang juga mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku. Tujuannya tentu saja ‘demi kepastian hukum’. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di tarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dari ketentuan tersebut terkandung maksud bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan sepenuhnya asalkan kedudukan para pihak seimbang, jika kedudukan itu tidak seimbang, undang-undang memberi perlindungan dalam bentuk perjanjian tersebut dapat dibatalkan, baik atas perintah pihak yang dirugikan maupun oleh hakim karena jabatannya. Kecuali apabila dapat
19
Salim. HS. Op.cit., hal 9.
dibuktikan bahwa pihak yang dirugikan itu sepenuhnya menyadari akibat-akibat yang timbul. 5. Asas Iktikad Baik (good faith) Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata-kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga oleh iktikad baik. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaianya pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 20 6. Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini
20
Ibid. hal 11.
mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana di intridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
G. Syarat Sahnya Perjanjian Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu: 1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi; 2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka; 3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; 5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada; 6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. 21 Suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.
21
Syaufii Syamsuddin, Loc.cit., hal 5-6.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. 22 c. Suatu hal tertentu Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi objek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. d. Suatu sebab yang halal Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 23 Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 1) Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan; 22
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan , Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal 25. SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /Informasi Hukum/Perjanjian.pdf, diakses tanggal 2 Juli 2015 23
2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). 24 Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 25 Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 26
24
Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Lyyagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3 hal 93. 25 Ibid. 26 Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 1 Agustus 2015.
H. Jenis dan Fungsi Perjanjian Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu : 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. 27 Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. 2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. erjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.
27
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal. 306.
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab IV yang merupakan ketentuan umum. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama. 4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihakpihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga,
pembeli
berkewajiban
untuk
menyerahkan
barang.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverning) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya. Berdasarkan jenis perjanjian dan fungsi perjanjian dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu ada beberapa macam diantaranya perjanjian timbal balik dan
perjanjian sepihak, perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang, membebani,
perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator dan perjanjian konsensual dan perjanjian real, sedangkan fungsi suatu perjanjian adalah agar kedua belah pihak tahu akan hak dan kewajibanya.
I. Berakhirnya Perjanjian Suatu perjanjian berakhir apabila tujuan dari perjanjian tersebut telah tercapai, yaitu dengan terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini hapusnya perjanjian dapat pula mengakibatkan hapusnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi Pasal 1266 KUHPerdata, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Dalam Pasal 1381 KUHPerdata dinyatakan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus karena : 1. Pembayaran; 2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Karena pembaharuan hutang; 4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi; 5. Karena percampuran hutang; 6. Karena pembebasan hutangnya; 7. Karena musnahnya barang yang terhutang; 8. Karena kebatalan atau pembatalan; 9. Karena berlakunya suatu syarat batal; 10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri" Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dijelaskan satu persatu di bawah ini.
ad.1. Pembayaran Nama”pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1322 KUHPerdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya. Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian,meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi. Mengenai tempatnya pembayaran, Pasal 1933 KUHPerdata menerangkan sebagai berikut : “Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian,jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat,maka pembayaran yang mengenai
suatu barang tertentu,harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat. Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang”. Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah, sama dengan ketentuan dalam Pasal 1477 KUHPerdata dalam jual beli , dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan. Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan, teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada asasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur,dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel. Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan si kreditur ,terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang. Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi, artinya : pada umumnya orang yang membayar itu tidak menggantikan kreditur. Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh undang-undang , maka barulah ada penggantian.
ad.2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan Atau Penitipan Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya
memang sudah dapat diduga maka notaris atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaries atau juru sita di atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran. Langkah yang berikutnya ialah : si berhutang (debitur) di muka pengadilan negeri
dengan
permohonan
kepada
pengadilan
itu
supaya
pengadilan
mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu. setelah penawaran disimpankan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah hutang piutang itu. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang. ad.3 Pembaharuan Hutang Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu : a. Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya. b. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya. ad.4 Perjumpaan hutang atau kompensasi Ini adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara tertimbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka
satu
perjumpaan
dengan
mana
antara
kedua
orang
tersebut
dihapuskan,demikianlah diterangkan oleh Pasal 1424 KUHPerdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat diperjumpakan,maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutangpihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali : a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya. b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan. c. Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari Pasal
1429 KUHPerdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu. ad.5 Percampuran Hutang Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang puiutang itu diapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demihukum” dalm arti otomatis. Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang (borg) tidak sekalikali mengakibatkan hapusnya hutang pokok. ad.6 Pembebasan Hutang Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi pretasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan-yaitu hubungan hutangpiutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk
tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan hutangnya, bahkan terhadap orangorang lain yang turut berhutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang akan diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam uang. ad.7 Musnahnya Barang Yang Terhutang Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur. Apabila si berhutang, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap krediturnya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
ad.8 Kebatalan/Pembatalan Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh Pasal
1446
KUHPerdata
,ternyatalah
bahwa
ketentuan-ketentuan
disitu
kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus. Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (Pasal 1320) Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama ,secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu. ad.9 Berlakunya suatu syarat-batal Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi tidak terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa
yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan denagn suatu syarat batal. Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 KUHPerdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. ad.10 Lewatnya Waktu Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”. Daluwarsa dari macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarasa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku IV bersama-sama dengans oal pembuktian.
Menurut Pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan , hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,sedangkan siapa yang menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiaap perikatan hukum dan tinggal pada suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi) tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan. 28 Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah tercapai, dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas, terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri perjanjian, yaitu : a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya dalam perjanjian itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu b. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya Pasal 1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu tidak boleh lebih dari 5 tahun. 28
http://listyawidhati.blogspot.co.id/2012/06/cara-cara-hapusnya-suatu-perikatan.html diakses tanggal 1 September 2015.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi hapus (Pasal 1603 KUHPerdata) yang menyatakan bahwa perhubungan kerja berakhir dengan meninggalnya si buruh. d. Karena persetujuan para pihak. e. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat sementara. f. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim. g. Tujuan perjanjian sudah tercapai. h. Karena pembebasan utang. 29 Apabila dalam suatu perjanjian semua perikatan-perikatan telah berakhir, maka berakhir pulalah seluruh perjanjian tersebut. Dalam hal demikian berakhirnya seluruh perikatan yang terdapat dalam suatu perjanjian menyebabkan perjanjian berakhir, namun sebaliknya berakhirnya suatu perjanjian dapat mengakibatkan berakhirnya seluruh perikatan yang ada dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat terjadi pada perjanjian yang berakhir karena pembatalan berdasarkan wanprestasi. Pembatalan perjanjian tersebut menyebabkan seluruh perikatan-perikatan yang ada berakhir. Perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan segala apa yang telah dipenuhi harus berakhir. 30 29
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 387.