BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)
A. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris , yaitu contracts. Sedangkan
dalam
bahasa
Belanda,
disebut
dengan
overeenkomst
(perjanjian)maupun “persetujuan”.Mengenai kata perjanjian ini ada beberapa pendapat yang berbeda. WirjonoProjodikoro mengartikan perjanjian dari kata verbintenis, sedangkan kataovereenkomst diartikan dengan kata persetujuan. 11 Berdasarkan Black’s Law Dictionary : Contract diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Melihat batasan dari kontrak yang diberikan ini dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak memunyai arti yang sama. Dari pemakaian sehari-hari apabila diperhatikan, kontrak yang dilakukan oleh seseorang biasanya dibuat secara tertulis. Dengan demikian, tampak bahwa yang dimaksudkan dengan kata kontrak adalah perjanjian tertulis. 12 Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Namun, para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata 11
Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung : Sumur Bandung, 1981). Hal 11. 12
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Jakarta : Kesaint Blanc, 2008). Hal 12.
Universitas Sumatera Utara
tersebut memiliki banyak kelemahan. Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan pasal ini adalah sebagai berikut : 13 1. Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4. Tanpa menyebut tujuan Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Menurut doktrin (teori) lama yang disebut perjanjian adalah: “Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, 13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya, 1992). Hal 78.
Universitas Sumatera Utara
tetapi harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 14Salim H.S menyebutkan ada 3 tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu: a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penewaran dan penerimaan; b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian dari perjanjian atau kontrak sangatlah sulit untuk didapatkan karena masing-masing sarjanamempunyai pendapat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pendapat Salim H.S., dalam bukunya menyebutkan bahwa kontrak atau perjanjian merupakan: “Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain yang berkewajiban untuk
melaksanakan
prestasinya
sesuai
dengan
yang
telah
disepakatinya”. 15Sedangkan menurut R. Subekti, menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana
dua
orang
hal”. 16Pengertian
itu
perjanjian
saling akan
berjanji lebih
untuk baik
melaksanakan apabila
sebagai
sesuatu suatu
perbuatanhukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 17
14 15 16 17
Salim H.S.Op.Cit. Hal 25. Ibid. Hal 26. R.Subekti (1). Hukum Perjanjian ( Jakarta:Intermasa, 1987). Hal 1. J. Satrio, Hukum Perjanjian (Bandung : Citra Aditya, 1992). Hal 322.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian kontrak. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan hukum antara para pihak ini tercipta karena adanya perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian. Perlu diingat bahwa perjanjian atau kontrak merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan, sedangkan sumber lahirnya perikatan yang lain adalah undang-undang. Perjanjian atau kontrak ini tidak harus tertulis, akan tetapi bisa juga dilakukan dengan cara lisan, dimana dalam perjanjian itu adalah merupakan perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau ditulis. 18 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka ada tiga komponen utama dalam suatu perjanjian (kontrak), sebagaimana dimaksud pasal 1313 KUH Perdata, yaitu: 19 1) Adanya suatu perbuatan Perbuatan yang dimaksudkan disini merupakan kehendak dari para pihak yang berjanji dalam bentuk perbuatan nyata, baik berupa ucapan maupun tindakan fisik. 2) Adanya para pihak Perjanjian hanya dapat dilahirkan apabila adanya dua orang atau lebih yang sepakat mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan hukum. 3) Adanya perikatan diantara para pihak
18 19
Ibid. Hal 333. H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Op.Cit. Hal 92.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan hukum diantara dua orang atau lebih yang merupakan para pihak, senantiasa didasari oleh adanya suatu kepentingan tertentu yang dikehendaki bersama. Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak itu sendiri dapat dianalisis berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Adapun ketigaunsur tersebut adalah sebagai berikut: 20 a) Unsur Esensialia Unsur esensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak ada kontrak. b) Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. c) Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. 20
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak &Perancangan Kontrak (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hal
31.
Universitas Sumatera Utara
B. Asas – Asas Hukum Perjanjian Dalam hukum kontrak atau perjanjian dikenal beberapa asas, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari isi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 21 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya: 22 a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasalpasal tertentu yang sifatnya memaksa. 2. Asas Konsensualisme
21 22
Salim H.S., Op.Cit. Hal 9. Ahmadi Miru., Op.Cit. Hal 4.
Universitas Sumatera Utara
Asas konsensualisme termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: a. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming); b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid); c. Suatu hal tertentu (een bepald onderwerp); dan d. Suatu sebab yang legal (een geoorloofde oorzaak). Pasal tersebut menetapkan bahwa harus ada kesepakatan antara para pihak yang mengikatkan diri atau terdapat “konsensus”. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada suatu formalitas tertentu yang menyatakan suatu perjanjian harus tertulis atau tidak, bahkan suatu perjanjian bisa tercapai secara verbal, hanya dengan lisan saja. Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu sudah lahir sejak tercapainya kata sepakat. Pada detik tercapainya kesepakatan, lahirlah suatu perjanjian. 23 3. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servandaberkaitan dengan akibat dari perjanjian bagi para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebagai suatu perikatan yang dikehendaki oleh para pihak, berarti para pihak juga menyepakati untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disanggupinya dalam suatu perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat memaksakan pelaksanaannya melalui
23
I.G. Rai Widjaya, Op.Cit. Hal 35.
Universitas Sumatera Utara
mekanisme hukum yang berlaku. Artinya, suatu kontrak mengandung janji-janji yang mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. 24
4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut asas ini pihak kreditur dan debiturharus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian atau kontrak sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya. 5. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Pada dasarnya asas ini menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya selaku
24
H. Mohammad Amari dan Asep N. Mulyana, Op.Cit. Hal 95.
Universitas Sumatera Utara
individu maupun sebagai subjek hukum pribadi (naturlijke persoon), hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 25 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan pada tanggal 17-19 Desember 1985, telah berhasil merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah asas kepercayaan. asas persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan. 26 C. Syarat – Syarat Perjanjian Secara yuridis suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Adapun syarat sahnya perjanjian atau kontrak telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian atau kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu: 27 a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
25
Ibid. Hal 93 Salim, H.S., Op.Cit. Hal 13 27 Ibid. Hal 33 26
Universitas Sumatera Utara
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain. Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu : 28 1) Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi. 2) Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
28
R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Bina Cipta Bandung, 1987). Hal 57.
Universitas Sumatera Utara
3) Teori
Kepercayaan
menimbulkan
(vertouwenstheorie),
perjanjian,
tetapi
tidak
pernyataan
setiap yang
pernyataan menimbulkan
kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian Mengenai terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori, yaitu : 29 a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex. Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian. c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
29
Ibid. Hal 58.
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 Tahun sebagaimana dijelasakan dalam Pasal 330 KUH Perdata. 30 Mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian. 3. Suatu Hal tertentu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud suatu hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa:“Suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asa saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.Rumusan dalam pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk
30
I.G. Rai Widjaya, Op.Cit. Hal 47.
Universitas Sumatera Utara
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, namun semua jenis perikatan itu pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Dalam Pasal 1234 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Adapun maksud dari rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut: 32 a. Memberikan sesuatu; Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebutharuslah sesuatu yang telah ditentukan secara cepat. b. Berbuat sesuatu; Pada perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. c. Tidak berbuat sesuatu Dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. 4. Adanya causa/sebab yang halal 31
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Jakarta : RajaGrafindo, 2003). Hal 155. 32 Ibid. Hal 156
Universitas Sumatera Utara
Suatu sebab yang halal atau tidak terlarang dalam perjanjian telah ditentukan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Meskipun KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang suatu sebab, namun dari rumusan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal, adalah: (1) bukan tanpa sebab; (2) bukan sebab yang palsu; ataupun (3) bukan sebab yang terlarang. Oleh karena itu selanjutnya dalam Pasal 1336 KUH Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu adalah sah”. 33 Rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikianpun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal) dalam Pasal 1320 j.o Pasal 1337 KUH Perdata tidak lain adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada diantara pihak. 34
D. Akibat Hukum Perjanjian
33 34
H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Op.Cit. Hal 99. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. Hal 164.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu pihak mengingatkan dirinya terhadap pihak lainnya dan perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 35Artinya para pihak harus mentaati perjanjian tersebut sama dengan mentaati suatu undang-undang. Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dalam ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menetukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak maka pembatalannya juga harus kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan dengan alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang. Pada ayat (3) ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 36 Menurut Abdulkadir Muhammad, itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata artinya bahwa pelaksanaan kontrak itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga “kebiasaan”. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan : 35 36
H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana.,Op.Cit. Hal 99 Ahmadi Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan (Jakarta:RajaGravindo Persada,2008). Hal
79.
Universitas Sumatera Utara
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”. Atas dasar Pasal ini, kebiasaan juga dtunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang, sehingga kebiasaan itu ikut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian. 37 Persoalan essensial lainnya sebagai akibat dari adanya perjanjian, yaitu menimbulkan hak dan keawajiban bagi para pihak yang membuatnya. Pemenuhan hak terhadap suatu pihak merupakan kewajiban (presatsi) terhadap pihak lainnya, demikian juga sebaliknya. Adapun bentuk hak dan kewajiban dari para pihak tergantung dari perjanjian yang disepakatinya, baik untuk berbuat sesuatu, memberikan sesuatu dan bahkan untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Menurut Mariam Darus Badrulzaman, akibat yang terpenting dari tidak dipenuhinya perjanjian ialah bahwa kreditur dapat meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka debitur terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Lembaga “pernyataan lalai” ini merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). Hal ini berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
37
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990). Hal 101.
Universitas Sumatera Utara
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya”. 38 E. Berakhirnya Perjanjian Dalam Pasal 1381 KUH Perdata dinyatakan bahwa hapusnya perikatan dapat terjadi karena sebagai berikut: 39 1. Pembayaran Pembayaran yang dimaksud bukan pembayaran yang dipergunakan dalam pegertian sehari-hari karena pembayaran dalam pengertian sehari-hari harus dilakukan dengan menyerahkan uang sedangkan menyerahkan barang selain uang tidak disebut sebagai pembayaran, tetapi pada bagian ini yang dimaksud dengan pembayaran adalah segala bentuk pemenuhan prestasi. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barang di pengadilan. Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan uang atau barang dipengadilan harus dilakukan berdasarkan undang-undang, dan apa yang ditipkan itu merupakan atas tanggungan sikreditur. 3. Pembaharuan utang Pembaruan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pasal 1413 KUH Perdata 38
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan (Bandung: Alumni, Cetakan Kedua, 2006). Hal 23-24. 39 Ahmadi Miru., Op.Cit. Hal 87.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang, yakni : a. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya; b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh debitur dibebaskan dari perikatannya; c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa debitur dibebaskan dari perikatannya.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau kompensasi ini terjadi jika antara dua pihak saling berutang antar satu dan yang lain sehingga apabila utang tersebut masing-masing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan bebas dari utangnya. Perjumpaan ini hanya terjadi jika utang tersebut berupa uang atau barang habis karena pemakaian yang sama jenisnya serta dapat ditetapkan dan jatuh tempo. 5. Pencampuran utang Apabila kedudukan kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, utang tersebut hapus demi hukum. Degan demikian percampuran utang tersebut juga akan sendirinya mengahapuskan tanggung jawab penanggung utang. 6. Pembebasan utang
Universitas Sumatera Utara
Pembebasan utang bagikreditur tidak dapat dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan karena jangan sampai utang tersebut sudah cukup lama tidak ditagih, debitur menyangka bahwa terjadi pembebasan utang. 7. Musnahnya barang yang terutang Jika suatu barang tertentu yang dijadikan objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, hapuslah perikatannya, kecuali kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan debitur telah lalai menyerahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 8. Kebatalan atau pembatalan Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya kontrak yaitu “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”. Jadi kalau kontrak itu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum atau kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum. 9. Berlakunya suatu syarat batal Yang dimaksud dengan syarat ini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (void) sehingga perikatan menjadi lenyap. Syarat yang demikian disebut syarat batal. 10. Daluarsa / lewatnya waktu Dalam Pasal 1946 KUH Perdata, dinyatakan bahwa daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
Universitas Sumatera Utara
undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, daluarsa/ lewatnya waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, dapat mengakibatkan hapusnya perikakatan. Selain hapusnya perjanjian berdasarkan hal-hal yang dijelaskan dalam pasal 1381 KUH Perdata, dalam praktek dikenal pula cara berakhirnya perjanjian atau kontrak yaitu: 40 a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah berakhir; b. Adanya kesepakatan/persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut. c. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak dengan alasan yang cukup menurut undang-undang; d. Adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut harus dibatalkan. e. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai KUH Perdata sangat menekankan pada arti pentingnya sutu kewajiban, prestasi atau utang yang harus dipenuhi, dilaksanakan, atau dilunasi oleh debitur, yang lahir dari suatu perikatan. Ketiadapemenuhan kewajiban/prestasi oleh debitur dalam suatu perikatan, dalam konstruksi KUH Perdata dapat menimbulkan perikatan lain, baik yang merupakan kelanjutan atau akibat dari perikatan, maupun sebagai akibat dari batalnya, berakhir atau hapusnya perikatan tersebut. 41
40
Salim, H.S. Op.Cit. Hal 165. Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2003). Hal 80. 41
Universitas Sumatera Utara