BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN PERJANJIAN
2.1 Tinjauan Tentang Notaris 2.1.1 Sejarah notaris Notaris berasal dari bahasa Romawi yaitu Notarius yang memiliki arti sebagai juru tulis menulis. Nama Notarius berasal dari kata Nota Literaria yang artinya tanda tulisan (letter mark) atau karakter yang menyatakan suatu perkataan yang digunakan untuk menuliskan atau menggambarkan sesuatu. 46 Istilah ini lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, diperkirakan pada abad kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.47 Di Italia Utara yang merupakan kota pusat perdagangan, notaris dikenal dengan sebutan Latijnse Notariaat. Karakteristik ataupun ciri-ciri dari lembaga ini yang kemudian tercermin dalam diri notaris saat ini yakni : 1. diangkat oleh penguasa umum ; 2. untuk kepentingan masyarakat umum ; dan 3. menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.48 Di Indonesia, notaris sudah dikenal semenjak zaman Belanda ketika menjajah Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan Notariat 46
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Perasada, Jakarta, hal. 12. 47 Ibid., hal. 13. 48 G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga, Jakarta, hal. 3. 3939
40 yang diberlakukan di Indonesia. 49 Pada waktu itu tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1620, dibawah Pemerintah Belanda seseorang yang pertama kali diangkat sebagai notaris adalah Meichior Kerchem. Sesudah pengangkatan yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen tersebut kemudian jumlah notaris dalam Kota Jakarta ditambah, dan berhubung kebutuhan akan jasa notaris itu sangat dibutuhkan yaitu tidak hanya dalam Kota Jakarta saja melainkan juga di luar Kota Jakarta maka selanjutnya diangkat notaris-notaris oleh penguasapenguasa setempat. Dengan demikian mulailah notaris berkembang di wilayah Indonesia.50 2.1.2 Notaris sebagai pejabat umum Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”51 Terjemahannya yaitu notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai notaris dan pengacara dan sebagai notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Jabatan notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (privatenotary)yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan, jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap
49
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 15. 50 Ibid.,hal. 16 51 Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law Students, bookboon.com, hal. 28.
41 diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.52Pasal 1 UUJN menyebutkan bahwa, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-P menegaskan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan UndangUndang lainnya.” G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.53 Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etik notaris, maka pengembanan jabatan notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan
52
Yanti Jacline Jennifer Tobing, 2010, Pengawasan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris (Studi Kasus MPP Nomor 10/B/Mj.PPN/2009 Jo Putusan MPW Nomor 131/MPW-Jabar/2008), Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, hal. 12. 53 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.
42 tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat notaris pada khususnya. 54 Sedangkan menurut Colenbrunder, notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.55 Menurut Habib Adjie, notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai jabatan. UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan notaris di Indonesia sehingga segala hal yang berkaitan dengan jabatan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan, fungsi, dan kewenangan tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.56
54
Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Disampaikan pada Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007, Medan), hal. 3. 55 Van Voeve, 1998, Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 882. 56 Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal 32-34. (selanjutnya ditulis Habib Adjie I)
43 Pejabat umum yang dimaksudkan disini merupakan jabatan yang terkait dengan unsur pemerintah yang diemban oleh seseorang yang merupakan pegawai pemerintah. Tugas dan wewenang terkait jabatannya sebagai pejabat umum ini merupakan wewenang yang diberikan secara khusus oleh peraturan perundangundangan untuk keperluan dan fungsi tertentu. 57 Namun pejabat umum tidak hanya jabatan notaris saja. Terdapat jabatan lain yang merupakan pejabat umum, salah satu contohnya adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak katas tanah atau hak milik Atas Satuan Rumah Susun. Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat umum memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan mandiri (independent), bahkan dengan tegas dikatakan “bukan sebagai salah satu pihak”. Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat antara lain didalam pembuatan akta autentik bukan merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris selaku pejabat umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan autentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris tidak ada di dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena itu, akta notaris atau akta autentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar”
57
Ibid, hal. 17.
44 tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak-pihak “berkata benar” seperti yang termuat di dalam akta perjanjian mereka.58 Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta autentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum notaris berupa akta autentik adalah merupakan produk pejabat umum. Akta autentik tidak dapat dilepaskan dengan kekuatan pembuktiannya. Tujuan para penghadap datang ke hadapan notaris dan meminta menuangkannya dalam akta autentik baik untuk dibuat oleh notaris atau oleh penghadap adalah agar perbuatan hukum yang dilakukan mendapatkan kepastian hukum. Para pihak dapat menjadikan kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta autentik sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna. Pasal 1870 KUHPerdata mengatur bahwa akta otentik memberikan kepastian di antara para pihak dan ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya. Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya sendiri. Cukup dalam arti bahwa alat bukti tertentu tidak membutuhkan alat bukti lain untuk 58
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
45 membuktikan suatu peristiwa, hubungan hukum, maupun hak dan kewajiban. Sebagai contoh, sertipikat tanah sebagai akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna untuk membuktikan hak milik seseorang atas tanah dalam sertipikat tersebut, tanpa membutuhkan keterangan saksi atau alat bukti lainnya. 59 Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani. 60 Dengan demikian, akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris diharapkan mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Menurut R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta autentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta autentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaarvande Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta otentik untuk hal-hal tertentu, misalnya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Hal tersebut karena pegawai catatan sipil oleh undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta tersebut.61
59
M.Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, kajian kontekstual mengenai system asas, prinsip, pembebanan dan standar pembuktian, UII Press, Jogyakarta, hal.43. 60 R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.48. 61 R. Soegondo,Op.Cit., hal. 43.
46 Akta autentik yang merupakan produk hukum notaris ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu Relaas Acte dan Partij Acte.Kedua akta ini merupakan akta autentik, namun memiliki perbedaan yaitu :62 1. Relaas Acte atau Berita Acara Merupakan akta yang dibuat berdasarkan permintaan para pihak, terkait mencatat dan menuliskan segala sesuatu yang disaksikan, didengar dan dialami secara langsung oleh notaris, terkait segala sesuatu yang disampaikan dan dilakukan para pihak. 2. Partij Acte atau Akta Pihak Merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berdasarkan keinginan para pihak yang dinyatakan dan disampaikan serta diterangkan sendiri oleh para pihak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang telah disebutkan diatas, akta autentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Akta autentik yang merupakan produk hukum seorang notaris sebagai pejabat umum memiliki kekuatan pembuktian yang penuh. Hal ini berdasarkan pada : 1. Kekuatan pembuktian lahir atau diri (Uitwendige Bewijskracht) Kemampuan lahiriah akta autentik merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik. Jika dilihat dari luar, sebagai akta autentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta autentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal atau membantah kebenaran akta autentik tersebut. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan
62
Habib Adjie I, Op.Cit., hal. 45.
47 baik pada minuta dan salinan, dan adanya awal akta yang dimulai dari judul sampai dengan akhir akta. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta autentik.63 Akta
autentik
dengan
sendirinya
mempunyai
kekuatan
untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta autentik berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang memenuhi syarat sebagai akta autentik dan sah menurut hukum. Berdasarkan hal tersebut maka beban pembuktian terdapat pada pihak yang membantah atau menyangkal keautentikan atau kebenaran akta tersebut. 2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht). Akta notaris merupakan akta otentik yang membuktikan kebenaran yang tercantum dalam akta tersebut yang dibuat berdasarkan keterangan dan kehendak para pihak yang dinyatakan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris. Akta notaris harus dapat menerangkan fakta dan memberi kepastian bahwa memang benar para pihak telah menghadap dan menuangkan keinginan penghadap sesuai dengan prosedur pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran tentang kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal yang dipermasalahkan oleh para pihak, maka yang harus dibuktikan dari formalitas suatu akta yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul (waktu) menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka 63
Aditia Warman, 2014, Kedudukan Akte Otentik Sebagai Salah Satu Alat Bukti Ditinjau Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan Notaris Indonesia, Badung, hal. 9.
48 yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.64 3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht). Secara sederhana dapat dikatakan, akta autentik memiliki kekuatan untuk memberikan kepastian terhadap isi atau materi aktadan sebagai alat bukti yang sah secara hukum untuk membuktikan keterlibatan para pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Menurut Ahmadi Miru, apabila ada yang hendak membantah kebenaran suatu akta autentik maka pihak yang membantah tersebut harus membuktikan kepalsuan dari akta itu. Oleh karena itu, pembuktian akta otentik disebut pembuktian kepalsuan.65 2.1.3 Kewenangan dan kewajiban notaris Dalam melaksanakan tugas dan wewenang terkait jabatan sebagai notaris yang membuat suatu akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna, seorang notaris harus selalu mengacu pada ketentuan dalam UUJN, UUJN-P dan kode etik profesi notaris. Dapat dilihat bahwa dalam melaksanakan tugas dan jabatan notaris, terdapat kewenangan-kewenangan yang melekat pada jabatan notaris antara lain yang terkait dengan :
64
Ibid. hal. 10. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 15. 65
49 a. Subjek Hal ini berkaitan dengan subjek hukum yang berkepentingan terkait akta yang akan dibuat yaitu orang (baik warga negara Indonesia atau warga negara asing) atau badan hukum (badan hukum dalam negeri atau badan hukum asing). Notaris berwenang membuat akta untuk setiap orang namun dengan pembatasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 UUJN bahwa : Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
b. Objek Hal ini berkaitan dengan objek dari pembuatan akta yang menurut peraturan perundang-undangan jabatan notaris diperbolehkan untuk dibuat oleh seorang notaris dan merupakan kewenangan notaris. Sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 UUJN-P. c. Waktu Hal ini berkaitan dengan waktu pembuatan akta. Pembuatan akta yang merupakan produk hukum notaris, harus dilakukan pada saat menjabat sebagai notaris aktif, yang berarti tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu.
50 d. Tempat Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa tempat kedudukan notaris adalah kabupaten atau kota dan wilayah jabatan notaris meliputi provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka notaris memiliki kewenangan untuk membuat produk hukumnya hanya pada wilayah jabatannya. Kewenangan terkait jabatan notaris diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang khusus mengatur mengenai jabatan notaris. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan memiliki beberapa sumber yaitu:66 1. Atribusi, yaitu pemberian wewenang kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. 2. Delegasi, merupakan pengalihan atau pemindahan wewenang yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan. 3. Mandat, merupakan pengalihan sementara karena yang bersangkutan berhalangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi. Wewenang ini diberikan langsung oleh undang-undang yaitu UUJN dan UUJN-P secara langsung. Kewenangan notaris terkait jabatannya diatur dalam Pasal 15 UUJN-P. Aturan ini menegaskan bahwa: (1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan 66
Habib Adjie I, Op.Cit.,hal 77.
51 akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. outlmemberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. Kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UUJN-P tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa kewenangan. Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan notaris merupakan kewenangan atribusi, maka kewenangan tersebut diatur
secara
tegas
oleh
peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan-
kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan ini yang menjadi dasar dalam melaksanakan tugas dan jabatan notaris. Kewenangan tersebut apabila disimpulkan maka menjadi beberapa kewenangan yaitu :67 1.
Kewenangan Umum Notaris Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN-P menentukan bahwa kewenangan
notaris adalah membuat akta secara umum. Namun dengan pembatasan, yaitu : a. Tidak dikecualikan terhadap pejabat lain yang ditetapkan undangundang. b. Perbuatan, perjanjian maupun ketetapan yang terkait dengan pembuatan akta harus berdasarkan pada hukum dan kehendak para pihak. c. Terkait subjek hukum yang berkepentingan dalam akta harus berdasarkan kehendak para pihak. 67
Op.Cit.,hal. 78.
52 2.
Kewenangan Khusus Notaris Terkait dengan wewenang notaris dalam membuat akta terkait tindakan
hukum tertentu. Hal ini berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) UUJN-P seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 3.
Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian Merupakan kewenangan lain yang akan ditentukan kemudian berdasarkan
peraturan perundang-undangan dengan pembatasannya. Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUJN-P yang menegaskan mengenai wewenang lain (selain ayat (1) dan (2)) yang akan ditentukan kemudian berdasarkan peraturan perundangundangan. Berikutnya mengenai kewajiban notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa : (1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban: a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
53 i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris; m. menerima magang calon notaris. (2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta inoriginali. (3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun. b. Akta penawaran pembayaran tunai. c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga. d. Akta kuasa. e. Akta keterangan kepemilikan. f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Uraian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a di atas ada disebutkan bahwa seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap notaris tersebut, dan keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang notaris.68
68
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta, hal. 41.
54 2.1.4 Kode etik profesi notaris Profesi hukum dituntut untuk memiliki rasa kepekaan atas nilai keadilan dan
kebenaran
serta
mewujudkan
kepastian
hukum
bagi
pencapaian
dan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Selain itu, profesi hukum berkewajiban selalu mengusahakan dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk mengetahui segala aturan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.Secara ilmiah bagi tegaknya hukum dan keadilan dan terutama diperuntukan bagi mereka yang membutuhkannya. Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu sebagai berikut :69 a.
Kejujuran
b.
Otentik
c.
Bertanggung jawab
d.
Kemandirian moral
e.
Keberanian moral. Etika menyentuh unsur paling hakiki dari diri manusia yakni nurani
(soul). Seperti rambu lalu lintas, etika memberi arah kepada seriap manusia untuk
69
Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4.
55 mencapai tujuan yang diinginkannya. Tanpa adanya etika, manusia tidak akan menjadi mahkluk mulia yang memberi keberkatan pada seluruh alam.70 Moral adalah akhlak, budi pekerti yang berkaitan dengan baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Hati nurani merupakan kesadaran yang diucapkan manusia dalam menjawab pertanyaan, apakah sesuatu yang dilakukannya adalah perbuatan baik ataukah tidak baik, etis ataukah tidak etis. Sedangkan integritas adalah kesadaran atas fungsi yang diemban manusia di dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh apapun.71 Integritas adalah hasil akhir dari pergulatan moral dan hati nurani yang terjadi di dalam diri seorang notaris sehingga ia secara teguh mampu menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pejabat umum yang mengemban sebagian tugas negara dan berpaku pada hukum yuridis formal yakni UUJN dan kode etik notaris. Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris. Kode etik notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan
Ikatan
Notaris
Indonesia
yang
selanjutnya
akan
disebut
“perkumpulan” berdasar keputusan kongres perkumpulan dan atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur 70
Evie Murniaty, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Pelanggaran Kode Etik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 47. 71 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Indonesia Dulu, Sekarang, Dan Di Masa Datang, Gramedia Pustaka, hal. 193.
Terjadi Sarjana Notaris Jakarta,
56 tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus”. Pengaturan mengenai kode etik notaris diperlukan sebagai pegangan notaris dalam melaksanakan jabatannya. Sebab seorang notaris dalam menjalankan jabatannya akan mendapat banyak tantangan seperti ingin cepat memperoleh uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, hal tersebut akan berpengaruh terhadap setiap akta yang dibuatnya dan juga berpengaruh terhadap masyarakat yang menggunakan jasa notaris. 72 Notaris berkewajiban untuk mempunyai sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan menjunjung tinggi harkat dan martabat notaris, tidak melakukan yang sebaliknya sehingga dapat menurunkan citra, wibawa maupun harkat dan martabat notaris. Seorang notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional, berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan notaris dan berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan nama baik korps atau organisasi. Sebagai notaris, ia bertanggungjawab terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.73 Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat.Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena 72
Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 37. 73 Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Ananta, Semarang, hal. 133-134.
57 integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan citacita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak sematamata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.74 Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sebagai seorang notaris harus selalu mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundangan yaitu UUJN jo UUJN-P dan Kode Etik Profesi Notaris. Hal ini karena selain jabatan sebagai pejabat umum, notaris adalah merupakan salah satu profesi hukum sehingga sangat perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi. Notaris diharapkan memiliki integritas moral yang mantap, bersikap jujur terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.75
74
Abdulkadir Muhamad, Op.Cit, hal. 60. Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 93. 75
58 2.2 Tinjauan Tentang Perjanjian 2.2.1 Pengertian perjanjian Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan secara tertulis.Perjanjian lisan masih sering terjadi di lingkungan masyarakat adat, sedangkan perjanjian tertulis lazimnya dilakukan masyarakat modern dalam dunia usaha/bisnis dengan hubungan hukum yang lebih kompleks. Menurut M. Yahya Harahap, ”Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.76 A.Pitlo (yang dikutip oleh R.Setiwan) memakai istilah perikatan untuk verbentenisberpendapat : ”Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”.77 Selanjutnya Subekti berpendapat : ” Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.78 Kemudian Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat 76
M.Yahya Harahap, 1986, Segi–segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua, Alumni, Bandung, hal. 6. 77 R. Setiawan, 1999, Pokok–Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, hal. 2. 78 R. Subekti, 1989, Pokok–Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXII, Intermasa, Jakarta, hal. 122.
59 untuk menimbulkan akibat hukum.
79
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro,
mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.80 Berdasarkan beberapa pandangan dari para sarjana tersebut diatas, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan pengertian yang ditentukan oleh Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, mengandung beberapa kelemahan, yakni :81 1. Hanya menyangkut satu pihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Dengan kata ”mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja sehingga perumusan itu seharusnya ”saling mengikatkan diri”, jadi ada kesepakatan/konsensus antara pihak-pihak . 79
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet. Ketiga, Liberty, Jogyakarta, hal. 97. 80 Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hal. 11. 81 I Wayan Werasmana Sanjaya, 2013, Perjanjian Nominee Sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing Dalam Perspektif Hukum Perjanjian Indonesia, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 45-46.
60 2. Kata ”perbuatan” meliputi juga hal-hal yang tanpa konsensus, sedang pengertian ”perbuatan” dalam hal ini dimaksudkan juga/termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga karenanya seharusnya dipakai kata ”persetujuan”. 3. Pengertian ”perjanjian” dalam rumusan pasal tersebut dipandang terlalu luas, karena meliputi juga melangsungkan perkawinan, perjanjian kawin, dimana perjanjian-perjanjian tersebut termasuk/diatur dalam lapangan hukum keluarga sedang yang dimaksud dan yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur, yakni perjanjian dalam lapangan harta kekayaan saja. Dari pendapat-pendapat sarjana diatas tentang perjanjian dan pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata dengan segala kekurangannya, maka akhirnya dapatlah dikemukakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan antara dua pihak dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi sedang pihak yang lain (debitur) berkewajiban untuk memenuhi prestasi dan pada umumnya bertanggungjawab atas prestasi tersebut. Sedangkan penggunaan istilah perjanjian maupun persetujuan menurut Abdulkadir Muhamad tidaklah dipermasalahkan, karena perjanjian yang dimaksud tiada lain adalah persetujuan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata atau lebih lengkapnya beliau mengatakan : ”Perjanjian adalah
61 suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk saling melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 82 2.2.2 Bentuk bentuk perjanjian Bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi empat, yaitu :83 1. Perjanjian Perjanjian adalah perjanjian yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dan atas kehendak bebas membuat perjanjian, dan apa yang dikehendaki secara sama dan secara terang diketahui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain. 2. Perjanjian baku Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.84
82
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,
hal.77. 83
I Ketut Artadi, I Dewa Njo.man Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 36. 84 Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 87.
62 Perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku, lebih tepat disebut kontrak baku, sebab dibuat secara tertulis, disiapkan seragam untuk banyak orang, lazimnya untuk satu objek perjanjian dan satu prestasi. Pihak yang menyiapkan kontrak baku, berada di pihak yang kuat (kreditor), menyiapkan format dan isi kontrak terlebih dahulu, dan pihak lain tinggal menyetujui atau prestasi yang ditawarkan tersebut. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. 3. Perjanjian tersamar (perjanjian kuasi)85 Perjanjian kuasi atau kuasi kontrak (impliedcontract, quasicontract) adalah suatu perjanjian di mana karena sifat peristiwanya para pihak dianggap patut mengetahui oleh hukum bahwa sudah terikat kepada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian tersamar ini secara tidak langsung diatur di dalam Pasal 1339 KUHPerdata berbunyi :“suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, akan tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan atau undangundang”. Perjanjian tersamar ini sering terjadi pada pelayanan umum, misalnya di rumah sakit, Pasien kecelakaan berat, diantar masuk ke ruang gawat darurat, dan
85
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 41-42.
63 dokter langsung memberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien, (karena sifat peristiwa, sesuai kebiasaan dan kepatutan) para pihak itu (dokter dan keluarga pasien) dianggap mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat kepada suatu perjanjian (yaitu dokter harus sungguh-sungguh memberikan pertolongan tanpa menunggu kesepakatan pasien, dan pasien yang ditolong juga wajib membayar jasa dokter walaupun tidak terdapat kesepakatan yang jelas). Seseorang masuk ke rumah makan, dihidangkan makanan, dan membayar sesuai tariff, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa tawar menawar sesudahnya (para pihak sesuai kebiasaan dan kepatutan) dan oleh hukum dianggap mengetahui bahwa mereka terikat hak dan kewajiban. 4. Perjanjian Simulasi Perjanjian simulasi adalah perjanjian di mana para pihak menyatakan keadaan yang berbeda dengan perjanjian yang diadakan sebelumnya. 86 Terdapat dua macam simulasi : 1)
Purwahid Patrik menyebutkan Simulasi mutlak, yaitu bahwa dengan perjanjian pura-pura itu hubungan hukum antara mereka tidak ada perubahan apa-apa perjanjian jual beli tetapi tidak akan terjadi perubahan hak milik atas barang.87 Sedangkan I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra menyebutkan Perjanjian simulasi absolute, apabila para pihak membuat perjanjian yang terhadap pihak luar menimbulkan kesan yang berbeda dengan perjanjian yang oleh para pihak yang secara diam-diam mengingkarinya. 86
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal.377. 87 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Semarang, hal. 57.
64 Contoh si A membeli tanah dari si B. namun si A kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya milik si C (orang asing). Jadi, B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C.88 2)
Berikutnya yaitu simulasi relatif bahwa dengan perjanjian pura-pura itu ada terjadi hal lain ; Perjanjian jual beli tetapi yang dimaksud perjanjian hibah sebenarnya
disini
tidak
terjadi
persesuaian
antara
kehendak
dan
pernyataannya.89 Para pihak menghendaki akibat hukumnya, tetapi memakai bentuk hukum lain. (Perjanjian simulasi relative).90 Perjanjian simulasi terutama perjanjian simulasi absolute tergolong kepada perjnjian yang causanya tidak halal.Yang dimaksud dengan perjanjian simulasi yaitu perjanjian dibuat karena sebab yang palsu (Pasal 1335 KUHPerdata), dimana para pihak membuat perjanjian dengan maksud menyembunyikan tujuan sebenarnya, sehingga perjanjian yang demikian batal
demi
hukum
(Putusan
Pengadilan
Negeri
Gianyar
Bali
No.34/PDT.G/2002/PN.GIR, tanggal 18 Juli 2002).91 Perjanjian
simulasi
sepanjang tidak
dibatalkan
oleh
pengadilan
mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1873 KUHPerdata berbunyi : ”Persetujuan-persetujuan lebih lanjut yang dibuat dalam 88
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Loc.Cit. Purwahid Patrik, Loc.Cit. 90 I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Loc.Cit. 91 Op.Cit, hal. 43. 89
65 suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti antara para pihak yang turut serta ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya, tetapi tidak berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga”. Misalnya, dalam contoh di atas perjanjian yang menyatakan bahwa sebetulnya tanah tersebut milik si C (orang asing), dan perjanjian ini hanya berlaku antara si C dan si B, maka pihak ketiga bank tidak terikat dengan perjanjian yang dibuat antara si A dan si C, dalam hal ini bank tetap dianggap sebagai pemegang jaminan yang sah, dan keberatan si C tidak mempunyai kekuatan hukum.92 2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya suatu perjanjian adalah harus memenuhi seluruh ketentuan syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka perjanjian itu tidak sah.Hal ini dikarenakan syarat sahnya perjanjian berlaku secara kumulatif, dan bukan limitatif. Seluruh ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2.
Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal Menurut Mariam Badrulzaman ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat
(1) adalah memberi petunjuk bahwa perjanjian dipengaruhi oleh asas konsensualisme. Kemudian Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata mencerminkan
92
Op.Cit.
66 bahwa setiap orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya, artinya orang yang tidak cakap menurut hukum tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata yang dengan jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk mengadakan perjanjian yang menyangkut klausa yang dilarang oleh undangundang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi hukum bila perjanjian dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab perjanjian bersangkutan tidak sah..93 Perjanjian timbul karena adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan kedua belah pihak tersebut telah memenuhi pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:94 a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus). Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Persetujuan kehendak itu bersifat bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan. b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity). Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Tapi sebagai perkembangannya wanita 93
Mariam Badrulzaman, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung, hal. 43. 94 A. Qiram Syamsuddin Meliala, 2001, Hukum Perjanjian, Liberty, Bandung, hal. 56-58.
67 yang telah bersuami sudah dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum. c. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter). Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan pokok perjanjian. Prestasi itu harus tertentu
atau
sekurang-kurangnya
dapat
ditentukan.
Apa
yang
diperjanjikan juga harus jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam melaksanakan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, maka perjanjian batal demi hukum (voidnietig). Ada suatu sebab yang halal (legal cause), artinya, merupakan sebab dalam arti perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah isi dari perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undangundang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
68 2.3 Tentang Kebatalan 2.3.1 Pengertian Kebatalan95 Dalam KUHPerdata ada banyak peristilahan menyangkut kebatalan misalnya : -
Pasal 412 KUHPerdata memakai kata “batal dan tak berdaya”.
-
Pasal 879 KUHPerdata memakai kata “batal dan tak berhargalah”.
-
Pasal 1335 KUHPerdata memakai kata “tidak mempunyai kekuatan”.
-
Pasal 1446 KUHPerdata memakai kata “batal demi hukum dan harus dinyatakan batal”.
-
Pasal 1450 KUHPerdata memakai kata “pembatalan”.
-
Pasal 1553 KUHPerdata memakai kata “gugur demi hukum”.
-
Pasal 1334, 1554 KUHPerdata memakai kata “tidak diperkenankan”.
-
Pasal 1154 memakai kata “tidak diperkenankan” dan “batal”. Namun demikian, istilah apapun yang dipakai oleh undang-undang
kesemuanya mengandung arti batal (nietig). Kebatalan dapat dibagi dua, yaitu : 1.
Melanggar syarat-syarat subjektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 ayat (1) dan (2) KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaarheid).
2.
Melanggar syarat-syarat objektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietigbaarheid).
95
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 61.
69 Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, amar putusan hakim akan berbunyi “membatalkan” sifatnya constitutip (membuat hukum). Sedangkan untuk perjanjian batal demi hukum, amar putusan hakim akan berbunyi : “menyatakan batal” sifatnya deklaratoir (menunjuk kepada hukum). 2.3.2 Dapat dibatalkan (Vernietigbaarheid) Perjanjian dapat dibatalkan apabila melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu : 1.
Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata (sepakat mereka yang mengikatkan diri). Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menyatakan perjanjian adalah sah apabila di antara para pihak sepakat mengikatkan diri. Tiada sepakat yang sah (cacat kehendak/wilsgbrek) apabila diberikan karena kekilapan, paksaan dan penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Perikatanperikatan yang dibuat dengan kekilapan, paksaan dan penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkan (Pasal 1449 KUHPerdata). Dasar Hukumnya :96 a. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan Perjanjian sah apabila sepakat mereka yang mengikatkan diri. b. Pasal 1321 KUHPerdata menentukan Tiada sepakat yang sah apabila diberikan karena kekilapan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog).
96
Op.Cit, hal. 63.
70 c. Pasal 1449 KUHPerdata menentukan : Perikatan-perikatan yang dibuat dengan kekhilapan, paksaan dan penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkan. d. Pasal 1322 KUHPerdata menentukan Perjanjian batal kalau terjadi kekhilapan mengenai hakihat barang yang menjadi pokok perjanjian. 2.
Melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu melanggar Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata (kecakapan membuat perjanjian). Melanggar Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata (cakap bertindak menurut hukum). Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian adalah sah apabila para pihak cakap dalam membuaut suatu perjanjian. Orang yang belum dewasa adalah tidak cakap bertindak menurut hukum. Dasar Hukumnya adalah sebagai berikut :97 a. Pasal 330 jo. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa orang yang belum dewasa, yaitu apabila belum berumur 21 tahun dan tidak terlebih dahulu kawin (Pasal 330 KUHPerdata) adalah tidak cakap bertindak menurut hukum (Pasal 1330 KUHPerdata) b. Pasal 897 KUHPerdata menentukan bahwa orang yang belum berumur 18 tahun, adalah tidak cakap membuat wasiat. c. Pasal 6a Pedoman Pengisian Akta Jual Beli Badan Pertanahan Nasional menentukan bahwa belum dewasa/tidak cakap melakukan perbuatan pengisian akta jual beli, apabila belum berumur 21 tahun.
97
Op.Cit, hal. 64.
71 d. Pasal 7 UU nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa belum dewasa/tidak cakap untuk kawin apabila belum berumur 19 tahun bagi pria dan belum berumur 16 tahun bagi wanita e. Pasal 433 jo.Pasal 1330 KUPerdata, menentukan bahwa orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang selalu ada dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap, boros (Pasal 433 KUHPerdata) adalah tidak cakap membuat perjanjian (Pasal 1330 KUHPerdata) f. Pasal 1446 KUHPerdata menentukan bahwa semua perikatan yang dibuat oleh orang yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan harus dinyatakan batal. 2.3.3 Batal demi hukum (Neitigbaarheid) Perjanjian batal demi hukum apabila perjanjian itu melanggar syaratsyarat obyektif sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1.
Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata (suatu hal tertentu). Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah bahwa obyek perjanjian tersebut haruslah tertentu, dapat ditentukan yaitu suatu barang yang dapat diperdagangkan, dan dapat ditentukan jenisnya jelas, tidak kabur. Dasar hukumnya :98 - Pasal 1332 KUHPerdata berbunyi “hanya barang-barang yang dpaat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”. Dengan demikian, perjanjian perdagangan orang, perjanjian yang menjadikan orang sebagai objek adalah batal demi hukum.
98
Op.Cit, hal. 67.
72 - Pasal 1333 KUHPerdata berbunyi “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang palinh sedikit ditentukan jenisnya”. Dengan demikian, perjanjian yang tidak menentukan jumlah barang, atau kalau barang tidak bergerak (tanah), tidak menentukan lokasinya, luasnya, batas-batasnya, adalah batal demi hukum. 2.
Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata (suatu sebab yang halal). Suatu sebab yang halal apabila perjanjian itu dibuat berdasarkan kepada sebab yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang, dan tidak melanggar ketentuan tentang isi dari perjanjian, misalnya : - Dilarang mencantumkan dalam suatu perjanjian suatu syarat yang tidak mungkin dilaksanakan (Pasal 1254 KUHPerdata) - Dilarang membuat perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu, melanggar Undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata) Pasal 1254 KUHPerdata berbunyi “semua syarat yang bertujuan untuk
melaksanakan suatu yang tidak mungkin terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal, bahwa perjanjian yang digantungkan padanya tak berdaya”. Pasal ini menekankan kepada “syarat yang tidak mungkin dilaksanakan”, sedangkan sebab bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan ketertiban umum sudah diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang digolongkan sebagai sebab terlarang sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1337 KUHPerdata
73 berbunyi “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undangundang atau sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”. Contohnya adalah sebagai berikut : -
Pasal 1335 KUHPerdata tentang perjanjian dibuat karena sebab yang palsu, misalnya si A berjanji untuk membayar utang kepada si B, padahal ia tidak pernah meminjam uang kepada si B, melainkan ia meminjam uang kepada si C. Perjanjian Simulasi (Pasal 1837 KUHPerdata) dalam praktik pengadilan lazim digolongkan kepada perjanjian yang dibuat karena sebab yang palsu.99
-
Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar undang-undang, misalnya A membeli tanah Hak Milik dari si B namun si A kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya milik si C (orang asing) yang menurut hukum tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Milik. Jadi, B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C (orang asing).100
-
Pasal 1335 jo.Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar kesusilaan yang baik. Suatu perjanjian melanggar kesusilaan yang baik, apabila perjanjian itu bertentangan dengan penghargaan terhadap martabat manusia misal : Perjanjian yang menjadikan orang sebagai objek, seperti 99
Op.Cit, hal. 69. Op.Cit, hal. 42.
100
74 perjanjian pembagian anak di antara suami istri, perjanjian jual beli anak, perjanjian perdagangan perempuan, perjanjian jual beli organ tubuh. -
Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar ketertiban umum. Suatu perjanjian melanggar ketertiban umum adalah perjanjian yang bertentangan dengan asas-asas pokok fundamental dari tatanan masyarakat yang tertib.