18
BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK TERHADAP AKTA YANG DITERBITKAN BERKAITAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1014 K/PID/2013
A. Tugas dan Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum Kata notaris berasal dari kata notarius dan notariui yang berarti orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Sedangkan kata notariat berasal dari kata latijnse Notariaat. Pada zaman Romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Istilah notaris sebenarnya berasal dari akta “notarius” sesuai dengan nama pengabdinya yaitu Notarius yang ada pada jaman Romawi. Nama ini dimaksudkan untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa istilah notaris berasal dari perkataan Notaliteraria, yang berarti tanda atau karakter (letter mark) yang menyatakan suatu perkataan.22 A.W Voors antara lain mengutarakan bahwa dalam sejarah posisi seorang notaris mengenal ups and downs. Secara ekstensif ia membicarakan sejarahnya yaitu:23 a. Di Mesir, terkenal sebagai negara tertua yang mempunyai lembaga notariat, kedudukan notaris dipandang tinggi.
22
Soegondo Notodisoerjo. Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan). PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. hlm. 13 23 Kie, Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2011. Hlm 449-455
18
19
b. Di kota tua Roma dikenal tabellarius (notarius) yang mempunyai peranan sebagai penulis diantara para penduduk yang buta huruf. Ia adalah seorang yang rendah diri yang tidak dapat berdiri di bawah pengayoman para yuris dan politisi. c. Di abad pertengahan (the medieval ages) terlihat seorang notaris bekerja dikalangan kaisar dan gereja. d. Menurut A. W. Voors, Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya De 17 en 18 Eeuwsche Notariesboeken telah menggambarkan seorang notaris sebagai seorang yang penting. e. Baru dalam abad ke-19 Ventose Wet, yang datang dari Perancis ke Belanda, menyegarkan dan menarik notariat ke tingkat yang lebih tinggi. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu. Pengaruh seorang notaris dalam beberapa lingkungan dan situasi dalam kehidupan seorang anggota masyarakat : a. Dalam Hubungan Keluarga
20
Sering kali terjadi bahwa rahasia keluarga antara para anggotanya terpaksa diungkapkan kepada seorang notaris, umpamanya dalam hal adanya seorang anak pemboros, dalam hal membuat surat wasiat, perjanjian nikah, perseroan keluarga, dan keadaan lain. Dalam hal itu seorang notaris harus dapat membedakan antara hubungan keluarga dan tugas (zakelijk) dan harus menunjukkan sifat yang objektif, tidak memihak, tidak mementingkan materi (mengenai honorarium notaris), dan mampu menyimpan rahasia. Ternyata dalam banyak hal nasihat seseorang notaris dipertimbangkan oleh masyarakat. b. Dalam Soal Warisan Di sini peranan seorang notaris tidak kurang pentingnya,. Di negara-negara Common Law soal penetapan ahli waris dilakukan oleh Pengadilan (court) dan di Indonesia oleh Mahkamah Syari’ah untuk mereka yang hendak membagi warisannya menurut hukum adat daerahnya. Bagi mereka yang tunduk kepada hukum Barat suatu keterangan notaris dalam akta waris (Certificaat van Erfreht) cukup untuk mencairkan uang yang disimpan dalam rekening suatu bank yang tertulis atas nama seseorang yang telah meninggal dunia, memastikan para ahli waris yang berhak menjual harta dalam suatu warisan, atau membuka safeloket di suatu bank Hasil yang mencolok pekerjaan seorang notaris ini seharusnya mendorong para notaris untuk secara teliti memeriksa dan lebih tekun serta tetap mempelajari Hukum Waris. c. Dalam Bidang Usaha
21
A .W. Voors melihat dua persoalan tentang fungsi notariat di bidang usaha, yaitu : 1.
Pembuatan kontrak antara para pihak, dalam hal itu suatu tindakan dimulai serta diakhiri dalam akta, umpamanya suatu perjanjian jual-beli. Dalam hal ini notaris telah terampil dengan adanya model-model di samping mengetahui dan memahami undang-undang.
2.
Pembuatan kontrak yang justru memulai sesuatu dan merupakan dasar suatu hubungan yang berlaku untuk jangka waktu agak lama. Dalam hal ini dibutuhkan dari seorang notaris suatu penglihatan tajam terhadap materinya serta kemampuan melihat jauh ke depan, apakah ada bahayanya, dan apa yang mungkin terjadi. Dilihat dari sudut lain A. W. Voors membagi pekerjaan notaris menjadi : (a) pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut pekerjaan legal, dan (b) pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang dipercayakan padanya dalam jabatan itu. Yang disebut pertama (a) menurut A.W. Voors adalah tugas sebagai pejabat untuk melaksanakan sebagian kekuasaan pemerintah dan sebagai contoh disebutnya antara lain : (1) memberi kepastian tanggal, (2) membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, (3) memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda tangan, (4) memberi kepastian mengenai tanda tangan seseorang.
22
Kemudian (b), tugas lain yang dipercayakan kepadanya adalah menjamin dan menjaga “perlindungan kepastian hukum” atau sebagaimana yang ditulis oleh A.W. Voors: de bescherming van de rechtszekerheid. Setiap warga mempunyai hak serta kewajiban dan ini tidak diperbolehkan secara sembrono dikurangi atau disingkirkan begitu saja, baik karena yang berkepentingan masih di bawah umur atatupun mengidap penyakit ingatan. Kehadiran seorang notaris dalam hal-hal itu diwajibkan oleh undang-undang dan ini adalah bukti kepercayaan pembuat undang-undang kepada diri seorang notaris. Contohnya adalah : 1. Perjanjian Nikah (Pasal 147) Perjanjian ini dianggap demikian penting sehingga diharuskan membuatnya dengan akta autentik. Yang paling penting adalah menjaga kepentingan para pihak dan menjelaskan isinya kepada mereka yang pada umumnya masih muda dan lagi menetapkan tanggal pembuatannya, karena menurut undang-undang perjanjian nikah harus dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. 2. Pemisahan dan Pembagian Warisan Dalam hal anak di bawah umur yang juga berhak dan kepetingannya harus dijaga (Pasal 1074) 3. Perjanjian Hibah (Pasal 1682)
23
Dianggap sangat penting, agar pemberi hibah mengetahui akibatnya dan penerima hibah memahami syarat yang diletakkan dalam suatu hibah. Dalam tindak hukum yang disebut diatas, kepercayaan diberikan kepada eseorang notaris untuk memperhatikan kepentingan yang lemah dan yang kurang mengerti. Dan perlindungan yang sama dipercayakan kepadanya dalam semua tindak hukum lainnya bentuknya diharuskan dengan akta autentik (akta notaris). Teapi walaupun seorang notaris harus menjaga kepentingan para pelanggan dan mencari jalan paling murah, keharusan ini janganlah sekali-kali dipakai untuk memberi nasihat menyelundupkan ketentuan undang-undang. Sebab seorang notaris tidak hanya mengabdi kepada masyarakat, teapi juga kepada pemerintah yang menaruh kepecayaan penuh kepadanya. Notaris menurut definisi UUJN adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Selaku pejabat umum, Notaris dalam menjalankan tugasnya harus bertindak berdasarkan etika. Etika yang dimaksud adalah kode etik yang dimaksudkan untuk menjalankan suatu profesi supaya betul-betul mencerminkan pekerjaan profesional,
24
bermoral, dengan motivasi dan berorientasi pada keterampilan intelektual dengan argumentasi rasional dan kritis.24 Maksud
profesional
disini
adalah
suatu
paham
yang
menciptakan
dilakukannya dengan kegiatan-kegiatan tertentu dalam masyarakat dengan berbekal keahlian yang tinggi dan berdasarkan keterpanggilan, serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut, untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengan kehidupan. Dengan demikian profesi tidaklah sekali-kali boleh disamakan begitu saja dengan kerja biasa yang bertujuan mencari nafkah dan/atau mencari kekayaan duniawi.25 Dalam pengertian notaris di atas dapat dijelaskan pula bahwa notaris merupakan pejabat umum (openbare ambtenaar), dan seorang pejabat umum tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan pegawai negeri. Meskipun pegawai negeri sebagai pejabat juga yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan umum, tetapi pegawai negeri dalam hal ini tidak seperti yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata. Notaris bukan pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud oleh perundang-undangan kepegawaian karena notaris tidak menerima gaji, melainkan menerima honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.26
24
G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga. hlm 48 Soetandyo Wignjosoebroto. Profesi Profesionalisme dan Etika Profesi. Media Notariat, 2001. Hlm 32 26 Liliana Tedjosaputro. Etika Profesi Notaris Dalam Penengakan Hukum Pidana. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 1995. hlm. 28 25
25
Sesuai dengan Pasal 2 UUJN bahwa Notaris diangkat oleh Menteri, namun tidak berarti bahwa pengangkatan notaris oleh menteri menjadikan notaris adalah aparatur negara yang digaji oleh negara. Notaris hanya menerima honor dari klien dari setiap akta yang diminta kepadanya. Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 diatur mengenai honorarium bagi notaris yaitu bahwa “notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya”. Honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang diterbitkan. Nilai ekonomis sangat beragam nilainya karena tergantung dari objek setiap akta. Nilai sosiologis ditetapkan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) Dalam UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat pula dijumpai pada Pasal 1 ditegaskan pula tentang Pengertian Notaris dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Hal ini pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pengertian notaris yang dirumuskan dalam Pasal 1 UUJN dan peraturan pelaksanaannya, dan pada Pasal 15 yang ketentuan ayat (1), dan ayat (2) diubah pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 mengenai kewenangan Notaris. Berdasarkan uraian di atas, notaris tidak dapat dikatakan sebuah profesi yang biasa saja karena notaris adalah Pejabat Umum. Notaris publik sering disebut juga sebagai pejabat umum atau public officer atau openbaar ambtenaar.
26
Notaris tidak boleh membuat akta jika tidak diminta. Akta Notaris harus memenuhi peraturan yang berlaku seperti UUJN dan peraturan-peraturan lain yang ada. Beberapa Pasal yang dibuat untuk melindungi akta notaris sebelum UUJN terdapat pada Peraturan Jabatan Notaris yaitu dalam Pasal 26, 27, 32, 33 dan 34. Pengertian notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa:27 Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat dihadapannya, karena tidak memihak. Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan dalam jalur hukum yang berlaku, agar maksud pada pihak yang meminta bukti tertulis akan terjadinya hubungan hukum diantara para pihak, dapat dibantu melalui jalur hukum yang benar. Dengan demikian maksud para pihak tercapai sesuai dengan kehendak para pihak, di sinilah dituntut pengetahuan hukum yang luas dari seorang notaris untuk dapat meletakkan hak dan kewajiban para pihak secara proporsional. Salah satu perilaku seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku notaris harus jujur terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral, mental, akhlak, baik dan benar. Selain mempunyai intelektual yang tinggi serta yang mempunyai sifat netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak mengejar materi, menjunjung harkat dan martabat Notaris yang profesional.28 Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan
27 Koesbiono Sarman Hadi. Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, Makalah pada Seminar Nasional “Profesi Notaris Menjelang Tahun 2000”, 15 Juni 1996, Yogyakarta, 1996. hlm. 7 28 A. A. Andi Prajitno. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia ?. Cetakan Pertama, Putra Media Nusantara, Surabaya. 2010. hlm. 92
27
oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.29 Bila rumusan ini diperbandingkan, maka rumusan UUJN yang baru lebih luas dibandingkan dengan PJN yang lama namun keduanya memiliki esensi yang sama tentang notaris yakni sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta. Terminologi berwenang (bevoegd) dalam PJN maupun UUJN diperlukan karena berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Untuk pelaksanaan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut pembuat undang-undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan oleh karena itulah para notaris ditunjuk sebagai pejabat yang sedemikian berdasarkan PJN maupun UUJN.30 Pengertian notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat lainnya. Semua pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu yang artinya 29
Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009. hlm. 14 30 GHS Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga, Jakarta, 1983. hlm. 33
28
wewenang mereka tidak meliputi lebih daripada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang. Perkataan uitsluitend dengan dihubungkan dengan bagian kalimat terakhir PJN mempunyai arti dengan mengecualikan setiap orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat umum sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta otentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tagas, atau sebagian yang satu-satunya berwenang untuk itu.31 Dalam penjelasan dalam UUJN yang menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik dibuat agar terjadi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentuk mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris memiliki wewenang pula untuk:32
31 32
Ibid., hlm. 34 Abdul Ghofur Anshori. Op. Cit., 2009. hlm. 16
29
a.
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.
Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.
Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.
Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e.
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f.
Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g.
Membuat akta risalah lelang. Kewenangan Notaris yang disebutkan diatas adalah pada UU Nomor 30
Tahun 2004 kemudian UUJN tersebut direvisi menjadi UU Nomor 2 Tahun 2014 yang mengatur kewenangan Notaris pada Pasal 15 diubah pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2). Namun pada dasarnya, Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang pembuatannya tidak boleh melebihi yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang berlaku. Notaris merupakan salah satu pejabat umum di Indonesia. Pejabat umum dapat membuat akta otentik namun tidak semua pejabat umum dapat dikatakan sebagai seorang notaris, sebagai contohnya adalah pegawai catatan sipil (ambtenaar van de Burgerlijske Stand), meskipun ia
30
bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian.33 Dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan Pasal 19 UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004, notaris hanya diperbolehkan untuk melakukan jabatannya di dalam daerah tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris hanya boleh memiliki satu kantor. Dari uraian tersebut jika notaris melakukan pelanggaran dengan memiliki lebih dari satu kantor, maka notaris dapat dikenakan sanksi dari peringatan tertulis sampai pemberhentian tidak dengan hormat. B. Kedudukan, Kewajiban dan Larangan Notaris sebagai Pejabat Umum 1.
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum Mengenai kedudukan notaris sebagai pejabat umum, R. Soegondo
Notodisoerjo menyatakan bahwa:34 “Lembaga Notariat telah dikenal di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek.” Berdasarkan pernyataan tersebut, pada masa dulu masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mengenal dan mengetahui bidang hukum perdata khususnya tentang perjanjian secara umum pun dapat membuat suatu perjanjian. Seiring perkembangan zaman lembaga notariat kemudian muncul dan diadopsi menjadi Hukum Indonesia. 33
Kartini Soedjendro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hlm 43 34 Soegondo Notodisoerjo.Op. Cit., hlm. 1
31
Kewenangan notaris dijabarkan dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl 1860 Nomor 3) yang memberikan pengertian tentang Notaris, bunyinya sebagai berikut :35 Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan, dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum, tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Menurut Doddy Rajasa Waluyo dalam bukunya yang berjudul hanya Ada Satu Pejabat Umum Notaris, dengan diangkatnya seorang Notaris oleh Menteri Kehakiman maka seorang Notaris dapat menjalankan tugasnya dengn bebas, tanpa dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya. Maksud kebebasan disini adalah supaya profesi Notaris nantinya tidak akan takut untuk menjalankan jabatannya, sehingga dapat bertindak netral dan independen.36 Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sesuai dengan wewenang atau kewajibannya terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUJN dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan
35 36
Peraturan Jabatan Notaris (Sbtl. 1860 Nomor 3) tentang Notaris Reglement, Pasal 1 Doddy Radjasa Waluyo, Hanya Ada Satu Pejabat Umum Notaris, Media Notaris, hal 41.
32
dengan
pekerjaannya
dalam
membuat
akta
tersebut.
Ruang
lingkup
pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi empat poin, yakni:37 a.
Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya;
b.
Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
c.
Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran maeriil dalam akta yang dibuatnya;
d.
Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.
2.
Kewajiban dan Larangan terhadap Notaris sebagai Pejabat Umum Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 30 tahun 2004 mengatur tentang Kewajiban seorang notaris. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, madniri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalm perbuatan hukum
37
Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta. 2003.
33
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta. d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta. e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dari segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan kata sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga. i. Membuat daftar akta yang berkenan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan. j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian
34
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris, dan n. Menerima magang calon notaris. Pasal 16 ayat 2 UUJN Nomor 2 Tahun 2014, kewajiban menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan Akta in originali. Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk original disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 yaitu: 1.
Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun
2.
Akta penawaran pembayaran tunai
3.
Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga
4.
Akta Kuasa
35
5.
Akta Keterangan Kepemilikan
6.
Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 16A
sehingga berbunyi sebagai berikut : 1. Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a. 2. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Pasal 43 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 43 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut : 1. Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. 2. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalm akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. 3. Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing. 4. Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. 5. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
36
6. Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaiman dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Notaris wajib membacakan akta diatur dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 pada ketentuan ayat (2) dan ayat (4) diubah dan ditambah ayat 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut : 1. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. 2. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir akta 3. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi 4. Pembacaan, penerjemahan, atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) serta dalamPasal 43 ayat (3) dinyatakan secara tegas pada akhir akta. 5. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembukian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut pnggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris
37
Pasal 17 UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas No. 30 tahun 2004 mengatur tentang larangan Notaris. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Notaris dilarang : a. menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya; b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; h. menjadi Notaris Pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Pasal 52 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tidak mengalami perubahan pada Undang-undang nomor 2 Tahun 2004, sehingga Pasal 52 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan: a. Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila orang tersebut pada ayat (1) kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan dimuka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan dihadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris. c. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris
38
yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada yang bersangkutan. Seperti pada Pasal 52, Pasal 53 juga tidak mengalami perubahan di Undangundang nomor 2 Tahun 2014. Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa akta Notaris tidak boleh membuat penetapan ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi: a. Notaris, istri atau suami Notaris; b. Saksi, istri atau suami saksi; atau c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga. C. Tinjauan tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”38. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku dapat dikatakan sebagai “subjek” tindak pidana. Beberapa pakar hukum pidana memberikan definisi mengenai strafbaar feit antara lain: a. Simons dalam P. A. F. Lamintang, mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab39
38 39
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993. hlm. 54 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 176
39
b. J. Baumannn dalam Sudarto menyatakan bahwa tindak pidana merupakan pebuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.40 c. Prof Van Hamel, mengatakan bahwa strafbaar fait itu sebagai sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. 41 d. Vos42 merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang. Kemudian Vos mengartikan delik sebagai tatbestandmassigheit dan wesenschau. Tatbestandmassigheit, merupakan kelakuan yang mencocoki rumusan ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka di situ telah ada delik, sedang arti wesenschau, merupakan kelakuan yang mencocoki rumusan ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan, apabila kelakuan itu dem wesen nach, yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. Misalnya dalam penadahan di situ tidak mungkin dimaksudkan seorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain yang mencuri barang tersebut, karena hakikatnya penadahan mempunyai makna yang tidak mengancam pidana seseorang yang membeli barangnya sendiri, meskipun nampaknya kelakuan itu mencocoki rumusan undang-undang. Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia tersebut. Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban bersifat pribadi, artinya barangsiapa melakukan tindak 40
Sudarto, Op.Cit, hal. 42 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 182 42 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Teori-Teori Pemidanaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 72 41
40
pidana, maka ia harus bertanggung jawab sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Dalam hukum pidana dikenal dengan konsep penyertaan, bahwa dua orang atau lebih yang ikut membantu seseorang melakukan kejahatan maka ia juga dikenakan pidana. Semacam hukuman pidana sudah lama dapat dikenakan kepada perkumpulan badan hukum yang dalam tindakannya menyimpang dari anggaran dasar yang telah disahkan oleh Departemen Kehakiman, yaitu secara pencabutan kedudukan perkumpulan sebagai badan hukum oleh pemerintah setelah ada tuntutan dari kejaksaan dan pernyataan dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, sifat hukuman ini sangat berlainan dengan hukum pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan dengan prosedur atau acara yang biasa.43 Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai “pencurian”. Dalam Pasal itu kelakuan dirumusakn sebagai mengambil. Contoh pencurian mobil, akibat dari pencurian mobil mengakibatkan si korban harus pulang dengan jalan kaki dan menderita kerugian materi yang besar. Pasal ini menyebutkan suatu akibat yang disebabkan oleh perbuatannya yang dirumuskan secara material. Menurut Prof Moeljatno, adanya perbedaan perumusan formal dan material ini tidak berarti bahwa dalam perumusan formal tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak pidana. Juga dalam tindak pidana dengan perumusan formal selalu ada akibat
43
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm. 60
41
yang merupakan alasan diancamkannya hukuman pidana. Akibat ini adalah selalu suatu kegiatan pada kepentingan orang lain atau kepentingan negara.44 2. Jenis Tindak Pidana Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan antara kejahatan (misdrijven) Pasal 104 sampai 488 dengan pelanggaran (overtredingen) Pasal 498 sampai 569. Kejahatan menunjuk pada suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara tertulis
dalam
ketentuan
undang-undang.
Oleh
karenanya
disebut
dengan
Rechtsdelicten. “Sedangkan pelanggaran menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena
ditentukan
oleh
undang-undang.
Oleh
karenanya
disebut
dengan
Wetsdelicten”.45 Untuk memahami rumusan hukum dari setiap tindak kejahatan dan pelanggaran, perlu diketahui asas-asas hukum pidana, beberapa asas penting adalah sebagai berikut: a. Tindak pidana mempunyai 2 (dua) sifat:46 1) Formil Dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang adalah perbuatannya.
44
Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10 Chaerudin. Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana. Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah, 1996. hlm. 11 46 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 34 45
42
2) Materiil Dalam jenis tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh undangundang adalah akibatnya. b. Tindak pidana memiliki 2 (dua) unsur:47 1) Objektif Unsur ini terdiri atas suatu perbuatan atau suatu akibat. 2) Subjektif Unsur ini adalah suatu kehendak atau tujuan yang ada dalam jiwa pelaku, yang dirumuskan dengan istilah sengaja, niat dan maksud. c. Tindak pidana terdiri atas :48 1) Tindak pidana dolus atau yang dilakukan dengan sengaja 2) Tindak pidana kulpos atau yang dilakukan tanpa sengaja d. Tindak pidana mempunyai 3 (tiga) bentuk 1) Pokok, di mana semua unsur tindak pidana dirumuskan 2) Gekwalifikasir, disebutkan nama kejahatan disertai dengan unsur pemberatan, misal pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu 3) Geprivilegeerd, hanya dicantumkan nama kejahatannya yang disertai unsur peringatan.49 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana “Mengikuti asas yang berlaku dalam hukum pidana, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila tindak pidana tersebut belum dirumuskan di dalam undang-undang”.50 47
Leden Marpaung, 2005, Asas-asas Teori Praktek Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, hal.11
48
Riki Susanto & Partners, 2010, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Maret 2010 49
Moh. Taufik Makarao, dkk. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. hlm. 42
43
Sekalipun perkembangan mutakhir dalam hukum pidana menunjukkan bahwa asas hukum tersebut tidak lagi ditetapkan secara rigid atau kaku, tetapi asas hukum tersebut sampai sekarang tetap dipertahankan sebagai asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sekalipun dengan berbagai modifikasi dan pengembangan.51 Dengan demikian seseorang tidak dapat dihukum bila seseorang tersebut melakukan tindak pidana atau kejahatan yang mana perbuatan pidana tersebut belum diatur oleh undang-undang atau aturan sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat dikatakan bersalah telah melakukan tindak pidana yang mana kesalahan tersebut belum dirumuskan dalam undang-undang? Sesuai dengan azas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang dianut dalam hukum pidana yang merupakan hukum positif di Indonesia, bahwa seseorang dapat dikatakan bersalah dan dapat dihukum apabila seseorang tersebut telah diadili dan dinyatakan bersalah di hadapan pengadilan kemudian dijatuhkan hukuman oleh Hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat (inkracht van gewijsde). Seseorang yang diduga atau telah melakukan kejahatan dapat dipersalahkan atau dijatuhi hukuman jika kejahatan atau kesalahan yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah diatur sebelumnya. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka pembuktian terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan
50
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. hlm. 151 51 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. hlm. 88
44
adalah tidak sempurna. Dalam perkembangannya di masyarakat, hal-hal tersebut di atas sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam menetapkan seseorang bersalah. Penegak Hukum sampai Tingkat Peradilan bahkan kerap kali mengenyampingkan hal yang sangat normatif tersebut. Masyarakat yang seharusnya mendapat keadilan dari pemerintah malah mendapatkan ketidakadilan dari sikap aparat pemerintah yang dapat dikatakan kerap kali bertindak semena-mena kepada rakyatnya. Bertolak dari berbagai tuntutan normatif tersebut di atas, pemahaman terhadap unsur-unsur tindak pidana merupakan kebutuhan yang sangat mendasar berkaitan dengan penerapan hukum pidana materiil. Secara umum unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu: a. Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa: 1) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh unsur objektif yang berupa perbuatan yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam Pasal 242, 263, 362 KUHP. Di dalam ketentuan Pasal 362 KUHP misalnya, unsur objektif merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil. 2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. Contoh unsur objektif yang berupa suatu akibat adalah akibat-akibat yang dilarang
45
dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP misalnya, unsur objektif yang berupa akibat yang dilarang dan diancam dengan undang-undang adalah akibat yang berupa matinya orang. 3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contoh unsur objektif yang berupa suatu keadaan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, 281 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya, unsur objektif yang berupa keadaan adalah di tempat umum.52 b. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa: 1) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung jawab). 2) Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab? Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu:
52
P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik. Penerbit Tarsito, Bandung, 1981. hlm. 26
46
a) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu b) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan c) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.53 Uraian tersebut diatas merupakan pembahasan unsur-unsur tindak pidana secara umum. Notaris yang dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik yang diduga melakukan perbuatan pidana khususnya pemalsuan akta sering dikenakan Pasal 263, 264 dan 266 KUHP yang diuraikan sebagai berikut : 54 1. Pasal 263 KUHP55 (1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan
sebagai
bukti
daripada sesuatu
hal
dengan
maksud
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak di palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara lama enam tahun.
53 Satochid Kartanegara. t.th. Hukum Pidana Kumpulan Kulian, Buku I, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 242 54 Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta, Op.Cit, hal. 107 55 Andi Ahmad Mansyur, “Analisis Yuridis Normatif Terhadap Pemalsuan Akta Yang dilakukan Oleh Notaris” Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013
47
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.56 Adapun unsur-unsur yang tercantum pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah : a. Unsur Obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat menerbitkan
sesuatu
hak,
menerbitkan
sesuatu
perjanjian,
menimbulkan pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu ini b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. 57 Penjatuhan hukuman pidana dapat dikenakan apabila pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak palsu. Pelaku yang dapat dihukum menurut Pasal ini tidak saja, “Memalsukan” surat pada ayat (1) tetapi juga sengaja tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu ayat (2) “sengaja”. Seseorang yang dituduh menggunakan surat palsu ini pun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu
56
Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam KUHP Dan Delik-Delik Lain di Luar KUHP, Jakarta, hal. 91-92 57 H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal. 181
48
bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus mendatangkan kerugian. 2. Pasal 264 ayat (1) KUHP : 58 (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap : 1. Akta-akta otentik 2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum 3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai 4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsurat itu : 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Pasal 264 KUHP ini memiliki unsur-unsur yang mirip dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak pada obyek pemalsuan yang dalam
58
R. Soesilo, 1994. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor . hal. 196-197
49
hubungannya dengan Notaris yaitu akta otentik Pasal 264 ayat (1) ke 1 yaitu perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap suatu objek yang spesifik yang diterbitkan oleh seorang Notaris yaitu akta otentik. Akta Otentik yang diterbitkan oleh Notaris dianggap mengandung kepercayaan ynag tinggi dibanding surat biasa yang tercantum pada Pasal 263 KUHP. Akta otentik menurut ketentuan tersebut adalah akte yang dibuat dihadapan seorang pegawai-pegawai umum yang berhak untuk itu, biasanya Notaris. 3. Pasal 266 ayat (1) KUHP :59 (1) Barang siapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenarannya, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Unsur-unsur yang terdapat dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut meliputi beberapa unsur : a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan 59
R. Soesilo. Op.Cit, hal. 197-198
50
pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal b. Unsur subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Menurut Pasal ini yang dapat dihukum adalah orang yang memberikan keterangan tidak benar dan juga kepada orang yang tidak sengaja menggunakan surat atau akte yang memuat keterangan tidak benar itu, selain itu seseorang tersebut dapat dihukum apabila dari penggunaan surat itu menimbulkan kerugian. Sementara itu berkaitan dengan persoalan kemampuan bertanggung jawab ini Pembentuk KUHP berpendirian, bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab. Konsekuensi dari pendirian ini adalah bahwa masalah kemampuan bertanggung jawab ini tidak perlu dibuktikan adanya di pengadilan kecuali apabila terdapat keragu-raguan terhadap unsur tersebut. Dalam kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K/PID/2013 ini baik notaris maupun penghadap yang juga terpidana yaitu Robby Sumampao memenuhi unsur tindak pidana subjektif. Notaris dan Robby Sumampao adalah seorang yang sudah dewasa, mampu bertanggungjawab atas hal yang dilakukannya, dalam keadaan sehat dan sadar tanpa ada paksaan, serta mengetahui bahwa hal yang dilakukan oleh para pelaku adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum positif. 4. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Hukum Pidana Tindak pidana yang paling sering dilakukan adalah yang mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Seseorang yang yang melakukan suatu
51
perbuatan melawan hukum dengan sengaja memang tepat untuk mendapat hukuman pidana. Kesengajaan secara eksplisit terlihat dalam KUHP yaitu dengan maksud, dengan paksaan, dengan kekerasan, sedang dikehendakinya, dan bertentangan dengan apa yang dilakukan.60 Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu kesatu: perbuatan yang dilarang, kedua: akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ketiga: bahwa perbuatan itu melawan hukum.61 Biasanya diajarkan bahwa kesengajaan (opzet) itu tiga macam, yaitu kesatu : kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); kedua : kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian); dan ketiga; kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).62 Suatu perbuatan yang sudah dilandasi dengan maksud tidak baik, kemudian si pelaku menghendaki hal tersebut, dan mengetahui akibat apa yang terjadi jika ia melakukannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa unsur kesengajaan dalam 60 Riki Susanto & Partners, 2010, Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Maret 2010 61 Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2003. hlm. 66. 62 Ibid.
52
perbuatan tersebut sudah terpenuhi. Contoh : seseorang membawa pisau dengan maksud untuk menusuk seseorang yang mana dia mengetahui bahwa akibat dari tusukan pisau tersebut dapat membuat seseorang terluka bahkan meninggal dunia. Kealpaan dalam hukum pidana salah satunya dapat dilihat dalam Pasal 359 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” Menurut Prof .Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, bahwa
kealpaan atau culpa adalah
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja tadi. Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sendiri sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan tetapi, praktis tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah ukuran kehati-hatian yang ada di masyarakat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Hakim juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut. D. Tanggung Jawab Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Berkaitan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/PID/2013 Tanggung jawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut Kamus
53
Umum Bahasa Indonesia adalah Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Sedangkan tanggung jawab hukum menurut Ridwan Halim diartikan sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.63 Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu: 63
Ridwan H.R. Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. hlm. 335-337.
54
1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. 2. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.64 Dalam menjalankan suatu tugas, baik yang merupakan tugas jabatan atau tugas profesi, tiap pelaksanaannya dibutuhkan tanggung jawab (accountability) dari masing-masing individu yang menjalankannya. Tanggung jawab itu sendiri timbul karena beberapa hal antara lain karena tanggung jawab mendapat suatu kepercayaan untuk melaksanakan suatu tugas atau fungsi, karena tanggung jawab mendapat suatu kepercayaan, karena tanggung jawab mendapat amanah untuk menduduki suatu jabatan atau kedudukan. Tanggung jawab seorang profesional notaris terhadap masyarakat juga harus menghormati hak-hak orang lain dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, keturunan,
64
Ibid. hlm 365
55
kedudukan, dan golongan dalam pengabdian profesi. Serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila.65 Notaris secara profesional harus bersedia memberikan bantuan hukum kepada klien tanpa membeda-bedakan agama, suku, keturunan, kedudukan sosial, atau keyakinan politiknya tidak semata-mata untuk mencari imbalan materiil, tetapi terutama untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab.66 Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi tanggung jawab, yaitu:67 1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya; 2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; 3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
65
Iwan Budisantoso, 2011, diakses dari m.kompasiana.com/2608/tanggung-jawab-profesinotaris-dalam-menjalankan-dan-menegakkan-hukum-di-indonesia, pada hari Jumat 20 Februari 2015, pukul 20.00 WIB 66 Iwan Budisantoso, 2011, diakses dari m.kompasiana.com/2608/tanggung-jawab-profesinotaris-dalam-menjalankan-dan-menegakkan-hukum-di-indonesia, pada hari Jumat 20 Februari 2015, pukul 20.00 WIB 67 Ima Erlie Yuana, Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya Terhadap Akta Yang Dibuatnya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. MKn Universitas Diponegoro. Semarang, hlm 44-90.
56
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.68 Berikut uraian dari tanggung jawab notaris selaku pejabat umum terhadap akta yang dibuatnya: 1.
Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya Tanggung jawab notaris secara perdata adalah ada tidaknya perbuatan melawan hukum terhadap akta yang dibuatnya (Pasal 1365 KUHPerdata). Unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Penjelasan UU Jabatan Notaris menentukan bahwa notaris hanya sekedar bertanggung jawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari merupakan suatu yang keliru.
2.
Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya Mengenai ketentuan pidana tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris namun tanggung jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana. UU Jabatan Notaris hanya mengatur sanksi atas pelanggaran 68
Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009. hlm. 34.
57
yang dilakukan oleh notaris terhadap UU Jabatan Notaris, sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan: a. Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia; b. Kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang merdeka dan dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial (norma etika) serta hukum; c. Kepentingan pemerintah dan negara, yaitu kepentingan yang muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya negara Indonesia, baik bagi rakyat Indonesia aupun dalam pergaulan dunia.69 Berdasarkan pengertian dari tindak pidana maka konsekuensi dari perbuatan pidana dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ada apabila subjek hukum melakukan kesalahan, dengan kata lain tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus) maupun
69
Ilhami Bisri. Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hlm. 40.
58
kealpaan (culpa). Adapun Pasal KUHP yang erat kaitannya dengan profesi notaris adalah perbuatan pidana yang berkaitan dengan pemalsuan surat (Pasal 263), rahasia jabatan (Pasal 322 ayat (1)), dan pemalsuan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 416). 3.
Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) Peraturan jabatan notaris adalah peraturan-peraturan yang berhubungan dengan profesi notaris di Indonesia, yaitu UU No.30 Tahun 2004 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Berkaitan dengan tanggung jawab notaris secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 65 UU Jabatan Notaris yang menentukan bahwa notaris (notaris pengganti, notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris) bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris. Ketentuan sanksi dalam UU Jabatan Notaris diatur dalam BAB XI Pasal 84 dan Pasal 85 UU No.30 Tahun 2004. Pasal 84 UU No.30 Tahun 2004 menentukan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat
59
menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. Ketentuan Pasal 84 UU No.30 Tahun 2004 tersebut adalah ketentuan yang menunjukkan bahwa secara formil notaris bertanggung jawab atas keabsahan akta otentik yang dibuatnya dan jika ternyata terdapat cacat hukum sehingga akta tersebut kehilangan otensitasnya serta merugikan pihak yang berkepentingan maka notaris dapat dituntut untuk mengganti biaya, ganti rugi dan bunga. Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut Pasal 85 UUJN No.30 Tahun 2004 dapat berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; atau e. Pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi ini dapat diberikan bila notaris melanggar ketentuan yang diatur oleh UU Jabatan Notaris yakni melanggar Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf d – huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63. 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris
60
Profesi notaris dapat dilihat dalam perspektifnya secara integral. Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan negara. Tindakan notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan notaris itu sendiri namun dapat juga merugikan organisasi profesi, masyarakat dan negara. Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan Negara telah diatur dalam UU Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya. Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris diatur melalui kode etik notaris. Keberadaan kode etik notaris merupakan konsekuensi logis untuk suatu pekerjaan disebut sebagai profesi. Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu sebagai berikut: a. Kejujuran b. Otentik c. Bertanggung jawab d. Kemandirian moral e. Keberanian moral.70
70
Munir Fuady. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. hlm. 4.
61
Pada Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan notaris diatur hubungan antara UUJN dengan kode etik notaris. Dalam sumpah notaris tersebut notaris berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat publik harus tunduk pada UUJN, kode etik profesi notaris, dan taat pada segala aturan yang telah dibuat oleh organisasi profesi notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI). Notaris yang melakukan pelanggaran terkait dengan kode etik adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Sanksi yang diberikan pada notaris bertujuan agar notaris yang melakukan pelanggaran tersebut dapat mengkoreksi dirinya, dan memiliki kedisiplinan dalam melakukan tugasnya. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melanggar kode etik dapat berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, didapat satu putusan Mahkamah Agung tentang tindak pidana yang dilakukan oleh notaris, yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1014 K/PID/2013, sebagai berikut:
62
1. Kronologis Duduk Perkara Terdakwa Ninoek Poernomo, S.H., pada hari Selasa tanggal 15 April 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2008, bertempat di kantor Terdakwa notaries Ninoek Poernomo, S.H., di Jalan Gajah Mada Nomor 70, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, membuat surat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak perikatan atau pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, dilakukan terhadap akta-akta otentik, perbuatan mana dilakukan Terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut: Bahwa awalnya Terdakwa dalam kedudukan sebagai Notaris, diminta oleh Robby Sumampao (diajukan penuntutannya dalam berkas terpisah) selaku Ketua Badan Pembina Yayasan, untuk memproses penyesuaian Badan Hukum Yayasan Bhakti Sosial Surakarta (YBSS) dalam rangka menyesuaikan dengan UndangUndang Yayasan yang baru yaitu Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan; Bahwa untuk memenuhi ketentuan Undang-undang tersebut, maka Terdakwa telah membuat draft perlengkapan formil yaitu:
63
1) Berita Acara Rapat Badan Pembina berisikan Perubahan Susunan Badan Pembina Yayasan; 2) Berita Acara Rapat Badan Pembina berisikan Perubahan Susunan Badan Pembina Yayasan; 3) Akta BERITA ACARA RAPAT YAYASAN “BHAKTI SOSIAL SURAKARTA”; Bahwa 2 (dua) draft Berita Acara Rapat Badan Pembina Yayasan Bhakti Sosial Surakarta, yang kemudian tertanggal 19 Desember 2007, masing-masing pukul 14.30 wib dan 16.00 wib dibuat oleh Terdakwa dengan cara mendapatkan fax dari kantor Robby Sumampao pada tanggal 19 Desember 2007 pagi hari yang isinya mengenai daftar susunan nama-nama Badan Pembina dan Badan Pengurus Yayasan Bhakti Sosial Surakarta. Berita Acara Rapat Badan Pembina Yayasan Bhakti Sosial Surakarta baik yang berlangsung pukul 14.30 WIB maupun yang berlangsung pukul 16.00 WIB yang antara lain berisi: Tempat acara rapat di Kantor Yayasan Bhakti Sosial Surakarta Jalan Ir. H. Juanda No 47 Surakarta, namun kenyataannya rapat bertempat di kediaman Robby Sumampao selaku Ketua Badan Pembina Yayasan Bhakti Sosial Surakarta (YBSS) di Komplek Hailai di Jalan Adi Sucipto Nomor 146, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta dan dihadiri oleh: a. b. c. d. e.
Robby Sumampao; Budhi Moeljono; Tio Kok Sing; Kuncoro Arya ; Sutandi Wibowo;
64
f. Priyo Pranoto; g. Ninoek Poernomo, S.H., (selaku Notaris); h. Sri Lestari (staf Notaris); Bahwa Akta Berita Acara Rapat Yayasan Bhakti Sosial Surakarta Nomor: 58 tanggal 15 April 2008 menjelaskan bahwa rapat diadakan untuk membicarakan satu acara tunggal yaitu “Merubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 16 tahun 2001” namun kenyataannya tidak pernah ada rapat yang dihadiri seluruh anggota Badan Pembina dan seluruh anggota Badan Pengurus yang memutuskan merubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan. Di dalam Berita Acara Rapat Pembina Yayasan Bhakti Surakarta tanggal 19 Desember 2007 jam 16.00 wib tersebut menjelaskan bahwa peserta rapat yang hadir sebanyak 7 (tujuh) orang tetapi dalam daftar tanda tangan terdapat 8 (delapan) orang, salah satu merupakan tanda tangan PRIJO PRANOTO. Selanjutnya dalam Akta Berita Acara Rapat Yayasan Bhakti Sosial Surakarta Nomor: 58 juga terdapat tanda tangan PRIJO PRANOTO, dimana yang bersangkutan meninggal dunia pada tanggal 28 Februari 2008, sementara Akta tersebut tertanggal 15 April 2008. Adanya nama dan tanda tangan NGO SIOE BOO alias HARNO SAPUTRO tersebut terjadi oleh karena Terdakwa telah dihubungi EKO SATRIONO selaku Anggota Dewan Pengawas Yayasan Bhakti Sosial Surakarta meminta dan menyuruh untuk mengganti nama PRIJO PRANOTO tersebut dengan cara pada tanggal 15 April 2008 sekitar pukul 10.30 wib, EKO SATRIONO menghubungi
65
kantor Terdakwa melalui telpon kantor Notaris diterima oleh karyawati Terdakwa bernama SRI LESTARI dan EKO SATRIONO menyampaikan maksud dan tujuan yang intinya meminta penggantian nama anggota Badan Pembina Yayasan yang meninggal dunia yaitu PRIJO PRANOTO diganti oleh NGOE SIOE BOO alias HARNO SAPUTRO dan minta dibuatkan Surat Keterangan yang isinya bahwa Akta Penyesuaian Yayasan (selanjutnya disebut Akta Nomor: 58) masih dalam proses dan surat keterangan tersebut akan dipergunakan untuk Pembukaan Rekening atas nama Yayasan Bhakti Sosial Surakarta di Bank. Secara nyata terbitnya Akta Berita Acara Rapat Yayasan Bhakti Sosial Surakarta Nomor: 58 tanggal 15 April 2008 sebagai AKTA OTENTIK produk Notaris NINOEK POERNOMO, S.H., tidak berdasarkan fakta kejadian yang sebenarnya namun telah dibuat terlebih dahulu dalam bentuk draft sebelum adanya pertemuan atau rapat di rumah ROBBY SUMAMPAO di Komplek Hailai di Jalan Adi Sucipto Nomor 146, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Terdakwa selaku Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tidak mempedomani ketentuan UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam menerbitkan Akta Berita Acara Rapat Yayasan Bhakti Sosial Surakarta Nomor: 58 tanggal 15 April 2008. Bahwa Akta Berita Acara Rapat Yayasan ‘Bhakti Sosial Surakarta” Nomor : 58 tanggal 15 April 2008 tersebut dipergunakan untuk pengajuan pengesahan
66
Yayasan Bhakti Sosial ke Departemen Hukum dan HAM RI di Jakarta dimana yang memasukkan/mengirim/mendaftarkan akta BERITA ACARA RAPAT YAYASAN “BHAKTI SOSIAL SURAKARTA” Nomor : 58 tanggal 15 April 2008 tersebut ke Departemen Hukum dan HAM RI di Jakarta adalah kantor Notaris NINOEK POERNOMO, SH dalam rangka penyesuaian Yayasan Bhakti Sosial Surakart dengan UU Nomor 28 tahun 2004 untuk mendapatkan pengesahan sebagai Badan Hukum, namun belum diperoleh Surat Pengesahan Pendirian Yayasan Bhakti Sosial Surakarta dari Departemen Hukum dan HAM RI di Jakarta, karena adanya beberapa revisi dari Departemen Hukum dan HAM RI di Jakarta, menyangkut bentuk dan beberapa Pasal yang dibuat Terdakwa NINOEK POENOMO, SH di dalam akta Nomor : 58 tanggal 15 April 2008 tersebut, serta adanya permintaan untuk melengkapi Surat Pernyataan tentang Laporan Keuangan dari Yayasan Bhakti Sosial Surakarta dan Neraca Yayasan. Pengiriman Akta tersebut dilakukan Terdakwa dengan cara menyampaikan surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum cq. Direktur Perdata di Jalan HR. Rasuna Said Kav 6-7 Jakarta Selatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan Nomor surat masing-masing : a. Nomor: 14 / U / IV / 08 tanggal 22 Mei 2008; b. Nomor: 371 / U / IX / 08 tanggal 26 September 2008; c. Nomor: 268 / U / XII / 08 tanggal 11 Desember 2008;
67
Pengajuan pengesahan/pemberitahuan yang dilakukan oleh Yayasan Bhakti Sosial Surakarta melalui Terdakwa Notaris NINOEK POERNOMO, S.H., ditolak/ dikembalikan oleh Menteri Hukum dan HAM, bahkan Terdakwa selaku Notaris yang ditunjuk telah melakukan tindakan mencabut pemberitahuan
ke
Menteri
Hukum
dan
HAM
dengan
pendaftaran/ nomor
surat:
168/U/V/2010, tanggal 10 Mei 2010, sehingga secara formal Yayasan Bhakti Sosial Surakarta belum memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Yayasan, atau dengan kata lain sampai dengan saat ini status Badan Hukum Yayasan Bhakti Sosial Surakarta belum mendapatkan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM sehingga dengan adanya kejadian ini pihak Yayasan Bhakti Sosial Surakarta telah mengalami masalah yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial. a.
Tuntutan Penuntut Umum Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Surakarta tanggal 6 Agustus 2012 sebagai berikut: a.
Menyatakan Terdakwa NINOEK POERNOMO, S.H., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “PEMALSUAN AKTA OTENTIK” sebagaimana diatur dalam Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUH Pidana;
b.
Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa dengan Pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
c.
Memerintahkan agar Terdakwa ditahan;
68
d.
Menetapkan barang bukti tersebut dipergunakan dalam perkara atas nama Robby Sumampaw;
e.
Menetapkan agar Terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);
b. Putusan Hakim a.
Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 83/Pid.B/2011/PN.Ska tanggal 4 Oktober 2012 Membaca
putusan
Pengadilan
Negeri
Surakarta
Nomor:
83/Pid.B/2011/PN.Ska tanggal 4 Oktober 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1) Menyatakan Terdakwa NINOEK POERNOMO, S.H., tersebut di atas terbukti secara
sah
dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
Tindak
Pidana
“PEMALSUAN AKTA OTENTIK”; 2) Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan; 3) Menetapkan barang bukti berupa: a) Yang disita dari kantor Notaris NINOEK POERNOMO, S.H., dikembalikan kepada notaris NINOEK POERNOMO, S.H; b) Yang disita dari YENNI CHRISTANTI, S.H., alias TAN YENNY NIO dikembalikan kepada YENNI CHRISTANTI, S.H., ALIAS TAN YENNY NIO;
69
c) Yang disita dari H.M. LUKMINTO, dikembalikan kepada H.M. LUKMINTO; 4) Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 5.000,(lima ribu rupiah); b.
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor: 345/Pid/2012/PT.Smg tanggal 12 Desember 2012 Membaca
putusan
Pengadilan
Tinggi
Semarang
Nomor:
345/Pid/2012/PT.Smg tanggal 12 Desember 2012 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum; 2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 04 Oktober 2012 Nomor: 83/Pid.B/2011/PN.Ska., yang dimintakan banding tersebut; 3) Menetapkan agar Terdakwa ditahan; 4) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa untuk kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah); c.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1014 K/PID/2013 Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa/Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Surakarta dan Terdakwa: NINOEK POERNOMO, S.H., tersebut; Membebankan Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);
70
2.
Analisa Kasus Perbuatan notaris yang pada umumnya dapat dituduh melakukan tindakan
pidana berkaitan dengan akta yang dibuatnya diantarannya adalah :71 1.
Notaris dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan sepucuk surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan sebagai termuat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, melakukan pemalsuan surat dan pemalsuan tersebut telah dilakukan dalam akta-akta autentik Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, serta mencantumkan keterangan palsu di dalam suatu akta autentik Pasal 266 ayat (1) KUHP Kewenangan notaris adalah dalam membuat akta bukan membuat surat, dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumny yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat pada aturan tertentu, dan akta autentik dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktia yang sempurna, dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuat dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta notaris diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umummya.
2.
Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak/penghadap yang 71
Ima Erlie Yuana, Tanggung Jawab Notaris Setelah Berakhir Masa Jabatannya Terhadap Akta Yang Dibuatnya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. MKn Universitas Diponegoro. Semarang, hlm 96-102.
71
diutarakan dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuatkan akta sesuai keinginan para pihak yang menghadap Notaris. Tanpa adanya keterangan atau perayataan dan keinginan dari para pihak, Notaris tidak mungkin untuk membuat akta, Kalaupun ada pemyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu. Contohnya, ke dalam akta otentik dimasukkan keterangan berdasarkan surat nikah yang diperlihatkan kepada Notaris atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari pengamatan secara fisik asli. Jika ternyata terbukti surat nikah atau KTP tersebut palsu, tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan. Jika selama ini, karena hal-hal seperti tersebut di atas telah menempatkan Notaris dalam posisi sebagai terpidana, menunjukkan ada pihak-pihak yang tidak mengerti apa dan bagaimana serta kedudukan Notaris dalam sistem hukum nasional. Menempatkan Notaris sebagai terpidana (sebelum jadi terpidana sebagai tersangka dan terdakwa) atau memidanakan Notaris menunjukkan bahwa pihak-pihak lain di luar Notaris, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan atau praktisi hukum lainnya menunjukkan kekurang pahaman terhadap dunia Notaris.72 Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sanksi administratif dan sanksi 72
Habib Adjie, Op.cit, him. 122-123.
72
perdata bersifat reparatoir atau korektif, artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan olagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan-ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN maupun UU perubahan atas UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.73 Dengan demikian pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika:74 1) Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana; 2) Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan 3) Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
73 74
Ibid, hlm. 123-124. Ibid, hlm. 124-125.
73
Notaris dapat dikenakan sanksi pidana jika terjadi pelanggaran seperti yang diuraikan diatas, dalam artian pelanggaran yang dilakukan notaris meliputi pelanggaran UUJN dan KUHP. Notaris tidak dapat dikenakan sanksi pidana jika hasil dari pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris bahwa notaris telah menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang ada serta tidak ada pelanggaran yang dilakukan berdasarkan UUJN. Notaris harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan akibat akta yang diterbitkan tersebut terdapat kesalahan yang dilakukan oleh notaris. Sanksi administrasi dijatuhkan terhadap Notaris karena terjadi pelanggaran terhadap segala kewajiban dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang dikategorikan sebagai suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi administrasi dan sanksi kode etik. Seorang Notaris bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa Notaris tersebut bersalah. Definisi kesalahan secara umum dapat ditemukan dalam bidang hukum pidana. Dalam hukum pidana, seseorang yang dinyatakan bersalah harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 75 1.
Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya dipertanggungjawabkan dari si pembuat
2.
Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai kesadaran yang mana
75
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 1997, Jakarta, hal. 130
74
pelaku seharusnya dapat mengetahui akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya. 3.
Tidak
adanya
dasar
peniadaan
pidana
yang
menghapus
dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat. Jika dilihat dari pendirian suatu yayasan berdasarkan Pasal 9 UU No. 28 Tahun 2004 dibutuhkan syarat-syarat antara lain : 76 1. Minimal didirikan oleh satu orang atau lebih Yang dimaksud “satu orang” disini bisa berupa orang perorangan, bisa juga berupa badan hukum 2. Pendiri tersebut harus memisahkan kekayaan pribadinya dengan kekayaan yayasan 3. Dibuat dalam bentuk akta Notaris yang kemudian diajukan pengesahannya pada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Setelah akta pendirian yayasan selesai dibuat oleh notaris, proses selanjutnya adalah pengurusan domisili dan Nomor Pokok Wajib Pajak. Kemudian pendiri yayasan atau kuasanya tersebut mengajukan permohoan terutlis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan pengesahan status badan hukumnya. Dalam hal ini, kewenangan Menteri didelegasikan kepada kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
76
Nur Rahmah. Peran Notaris dalam Pendirian Yayasan oleh Orang Asing, Program Magister Kenotariatan UI, Juli, 2009
75
Manusia di tempat yayasan berkedudukan. Dalam hal pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian, persetujuan dan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yayasan, harus disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bagian Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta Yayasan ditandatangani, jika telah lewat wakutnya yakni lebih dari 10 (sepuluh) hari, maka hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan. Pemberian pengesahan status badan hukum yayasan berupa surat keputusan pengesahan sebagai badan hukum dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia apabila permohonan pendirian yayasan tersebut diterima. Disamping itu apabila terjadi perubahan nama dan kegiatan yayasan harus dibuat dalam bentuk surat keputusan persetujuan. Dalam hal perubahan substansi perubahan anggaran dasar yayasan dapat dikategorikan dalam 3 kategori berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yaitu : 1. Hal yang tidak boleh dirubah 2. Hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan Menteri 3. Hal yang boleh dirubah cukup dengan diberitahukan kepada Menteri Sedangkan perubahan data Yayasan cukup diberitahukan kepada Menteri (Pasal 19 PP Nomor 63 Tahun 2008) Permohonan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan mengenai nama dan kegiatan yayasan diajukan kepada Menteri bagian Direktur Jenderal Administrasi
76
Hukum Umum oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan anggaran dasar yayasan. Dapat disimpulkan bahwa peranan notaris dalam pelaksanaan pembuatan akta pendirian yayasan berdasarkan UU No.28 Tahun 2004 tentang yayasan yaitu :77 1. Menjelaskan syarat-syarat dalam pembuatan akta pendirian yayasan kepada para pendiri yayasan 2. Membuatkan akta pendirinya 3. Mengajukan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Hak azasi manusia dan Berdasarkan hal itu pulalah tanggung jawab notaris terhadap akta pendirian yayasan yaitu notaris bertanggung jawab terhadap kebenaran formil dan materiil akta pendirian yayasan yang dibuatnya dan notaris juga bertanggung jawab mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh status badan hukum. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan dalam kasus ini, bahwa Notaris dijatuhi hukuman oleh Hakim dengan Pasal 264 ayat 1 KUHP dapat dikatakan tepat dapat dilihat dari adanya peran serta, dan kesengajaan serta kebenaran formil dan materiil dalam Akta Pendirian Yayasan yang ternyata tidak benar yang dilakukan oleh Notaris. Notaris memenuhi unsur kesengajaan dalam tindak pidana pemalsuan surat yang diperberat dikarenakan obyek pemalsuan surat ini mengandung nilai 77
Titik Hariati, Peranan Notaris dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Pendirian Yayasan berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan pada Yayasan Satunama Yogyakarta, UGM.
77
kepercayaan yang tinggi, yang dapat dilihat dari dakwaan penuntut umum sebagai berikut : - Peserta rapat yang hadir sebanyak 7 (tujuh) orang tetapi dalam daftar tanda tangan terdapat 8 (delapan) orang. - Terdapat tanda tangan seseorang yang telah meninggal dunia pada tanggal 28 Februari 2008, sedangkan Akta tersebut tertanggal 15 April 2008. - Dalam pergantian nama anggota Pembina, Terdakwa tidak melakukan prosedur yang seharusnya dilakukan oleh Notaris. - Akta Berita Acara Rapat sebagai Akta Otentik produk Notaris tidak berdasarkan fakta kejadian yang sebenarnya namun telah dibuat dalam bentuk draft sebelum adanya pertemuan rapat. - Pada saat pertemuan rapat pihak yang hadir menandatangani dalam bentuk draft, pihak yang tidak hadir diminta tanda tangan pada waktu dan tempat yang berlainan serta tidak ada kejadian nyata seluruh Pembina dan pengurus yayasan datang menghadap Terdakwa selaku Notaris. -
Terdakwa selaku Notaris yang ditunjuk telah melakukan tindakan mencabut pendaftaran/pemberitahuan ke Menteri Hukum dan HAM sehingga secara formal Yayasan Bhakti Sosial Surakarta belum memenuhi Pasal 71 ayat (3) untuk mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM sehingga dengan adanya kejadian ini Yayasan Bhakti Sosial Surakarta telah mengalami masalah yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial.
78
Selain pelanggaran pidana yang telah dilakukan, notaris Ninoek Poernomo juga telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu diantaranya telah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a yaitu “bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum” sehingga notaris tersebut dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian dengan tidak hormat yang tertera dalam Pasal 16 ayat (11). Rapat yang tidak dihadiri oleh seluruh anggota badan pembina dan anggota badan pengurus yayasan dapat dipastikan bahwa notaris tidak membacakan akta tersebut kepada para pihak, yang mana ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 44 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 yang bunyinya sebagai berikut “Segera setelah akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya”. Notaris Ninoek Poernomo dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan tingkat pertama sehingga membuat notaris tersebut dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena sedang menjalani masa penahanan seperti yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 2 Tahun 2014. Namun pada Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa sebelum pemberhentian sementara dilakukan, Notaris diberikan kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas.
79
Untuk efektivitas dalam rangka penegakan hukum Panitera Pengadilan dimana
notaris
tersebut
berperkara
dapat
langsung
memberikan
laporan/
pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM tentang putusan hakim yang dijatuhkan kepada notaris tersebut. Metode seperti ini dapat dikatakan juga sebagai bagian dari pengawasan terhadap notaris. Hal ini belum memiliki dasar hukum, namun diharapkan hal semacam ini dapat menjadi sebuah hal yang baru dalam hal pengawasan terhadap notaris.