B A B II KAJIAN TEORETIS 2.1 Kompetensi Tutor 2.1.1 Pengertian Kompetensi Tutor Kompetensi berasal dari kata competence yang berarti wewenang atau kewenangan kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan sesuatu. (Diknas, 2009:516). Hasibuan (2007:31) mendefinisikan, kompetensi adalah kemampuan untuk melakukan sebuah tugas dengan kinerja yang efektif yang ditunjang oleh pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang dimiliki oleh individu. Sementara Wina Sanjaya (2006:55) berpendapat, kompetensi merupakan prilaku rasional seseorang yang digunakan untuk mencapai tujuan yang persyaratannya sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Bahkan untuk mendukung pendapat tersebut, E. Mulyasa memberikan pemaknaan bahwa kompetensi selalu dilandasi dengan rasionalitas yang dilakukan dengan dengan penuh kesadaran “mengapa” dan “bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi dapat dipandang sebagai kecakapan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada seseorang. Oleh karenanya, kompetensi seseorang tidak hanya ditunjukkan oleh kuantitas kerja, tetapi sekaligus ditunjukkan oleh kualitas kerja. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut, peneliti mendeskripsikan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seorang pengawas sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi, maupun etika. Dalam arti tindakan itu benar
ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, efisien, efektif, dan memiliki daya tarik dilihat dari sudut teknologi ataupun ditinjau dari sudut etika. Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 Ayat 10 dijelaskan bahwa, ”kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. (Depdiknas, 2004:3). Dari rumusan Undang-undang tersebut, dapat dimaknai bahwa kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi tutor di samping kode etik sebagai regulasi prilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat prilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan-cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat. Dalam hubungannya dengan tugas tutor, maka kompetensi tutor mengandung arti kemampuan seorang tutor dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak dalam melaksanakan profesi ketutorannya. Kompetensi tutor dapat diartikan pula kecakapan yang dimiliki oleh seorang tutor dalam melaksanakan pekerjaannya, serta merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spritual yang dapat membentuk kompetensi standar profesi tutor, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap warga belajar, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.
Kompetensi yang dimiliki oleh setiap tutor meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan melaksanakan kegiatan pembelajaran secara komprehensif kepada warga belajar, kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang baik dan dapat menjadi unsur keteladanan pada warga belajar, kompetensi sosial adalah kemampuan tutor untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial, yang tidak hanya terbatas pada sesama tutor di sekolah, tetapi juga terhadap orang tua/wali warga belajar, dan masyarakat sekitar, serta kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran dan dapat dikembangkan lebih luas dan mendalam. (Depdiknas, 2004:12) Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi tutor bukan saja mengarahkan agar tutor harus pintar, tetapi juga harus memiliki kepribadian yang baik untuk bisa diteladani, pandai mentransfer ilmunya kepada warga belajar, memiliki kepekaan sosial yang mampu berasosiasi dengan masyarakat banyak, serta profesionalitas di dalam melaksanakan tugas. Dengan kata lain, yang perlu dipahami oleh seorang tutor adalah mengajar dan mendidik sesungguhnya merupakan pekerjaan profesi, sehingga orang-orang yang dibutuhkan untuk itu adalah orang-orang yang profesional. Upaya ke arah peningkatan profesional dapatlah dilakukan dengan mengikuti berbagai pendidikan baik formal maupun non formal. Harus diingat bahwa tanggung jawab akan masa depan warga belajar sebagian besar berada pada pihak tutor. Bagi sebuah profesi, kompetensi merupakan sebuah tuntutan. Demikian pula halnya dengan profesi ketutoran. Itulah sebabnya, tutor sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan harus memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan dalam menjalankan tugas kependidikannya.
2.1.2 Ciri-ciri Tutor yang Berkompeten Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa, standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (Depdiknas, 2004:32). Memahami hal tersebut, tampak jelas bahwa tutor yang bertugas sebagai pengelola pembelajaran dituntut untuk memiliki kompetensi dan profesional. Selanjutnya, sebagai instructional leader, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang tutor adalah sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)
Memiliki kepribadian yang ideal sebagai tutor Penguasaan landasan kependidikan Menguasai bahan pengajaran Kemampuan menyusun program pengajaran Kemampuan melaksanakan program pengajaran Kemampuan menilai hasil dan proses pembelajaran Kemampuan menyelenggarakan program bimbingan Kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah Kemauan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat Kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran. (Sudarwan, 2006:198). Pada umumnya, ada dua kategori kompetensi yang harus dimiliki tutor, yakni; (1)
kompetensi profesional yaitu kemahiran merancang, melaksanakan, dan menilai tugas sebagai tutor, yang meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, dan (2) kompetensi personal, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spritual. Kompetensi pertama seharusnya ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan profesi suatu lembaga pendidikan. Sedangkan kompetensi kedua merupakan kristalisasi
pengalaman dan pergaulan seorang tutor yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah tempat melaksanakan tugas. (Mulyasa, 2007:10). Cooper dalam Nana Sudjana (2008:68) sebagai seorang ahli pendidikan mengemukakan, bahwa untuk mengetahui kompetensi yang dimiliki oleh seorang tutor dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut: a) Tutor selalu membuat perencanaan konkrit dan detail dalam setiap melaksanakan kegiatan pembelajaran. Maksudnya adalah bahwa sebelum mengajar tutor sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin baik persiapan fisik, mental, maupun materi pelajaran yang akan diajarkan. Persiapan fisik berupa penampilan jasmani, baik berupa pakaian, kerapian, dan kebugaran jasmani. Persiapan mental mencakup sikap batin tutor untuk mempunyai komitmen dan mencintai profesi pendidik dalam membantu warga belajar mencapai taraf kedewasaan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Sedangkan kesiapan materi meliputi penguasaan bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada warga belajar. Penguasaan ini tercermin dari pemahaman yang utuh tentang materi pokok yang ada dalam kurikulum dan diperkaya dengan wawasan keilmuan mutakhir. Dalam keadaan ini, tutor tidak sekedar menyampaikan materi pokok yang tertuang dalam kurikulum baku, namun selalu mengembangkan dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan lain termasuk keterampilan dalam mengelola media pembelajaran. b) Tutor memiliki kehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan warga belajar sebagai arsistek pembangun gagasan dan tutor berfungsi untuk “melayani” dan berperan sebagai mitra warga belajar supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua individu. Dalam hal ini, tutor selalu mengkondisikan kegiatan
pembelajaran melalui pengelolaan media penunjang yang memungkinkan warga belajar aktif mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. c) Tutor selalu bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif. Maksudnya, tutor mampu mengembangkan serta memadukan sendiri materi pokok yang ditetapkan dalam kurikulum dengan media pembelajaran yang diperlukan. Di sini tutor memiliki sikap kritis dalam memainkan perannya untuk mengaitkan dengan problem realitas yang ada di sekitarnya. d) Tutor selalu berkehendak untuk mengubah pola tindakan dalam menetapkan peran warga belajar, peran tutor, dan daya mengajar. Peran warga belajar digeser dari peran sebagai “konsumen” gagasan, seperti menyalin, mendengar, dan menghafal ke peran sebagai “produsen” gagasan, seperti bertanya, meneliti, mengarang, mendemonstrasikan dan eksperimen. Dengan demikian, peran tutor berada pada fungsi sebagai fasilitator (pemberi kemudahan peristiwa belajar) dan bukan pada fungsi sebagai penghambat peristiwa belajar. Gaya mengajar seorang tutor lebih difokuskan pada model pemberdayaan dan pengkondisian dari pada model latihan (driil) dan pemaksaan (indoktrinasi) e) Tutor berani meyakinkan kepada pimpinan Program paket B atau PKBM, orang tua, dan masyarakat akan prestasi belajar warga belajar yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. f) Tutor bersikap kreatif dalam mebangun dan menghasilkan karya pendidikannya seperti pembuatan alat bantu mengajar atau media pembelajaran, analisis materi pelajaran, penyusunan alat penilaian yang beragam, pengorganisasian kelas dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya.
Dengan demikian, tutor kompeten tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi warga belajar, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan budaya kerja tutor serta loyalitasnya terhadap profesi pendidikan. Demikian halnya dalam pembelajaran, tutor harus mampu mengembangkan budaya dan iklim organisasi pembelajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis, bergairah, dialogis, sehingga menyenangkan bagi para warga belajar maupun tutor. Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa, tutor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Itulah sebabnya peranan tutor menurut Wijaya dan Tabrani meliputu; (1) sebagai pengajar dan pendidik, (2) sebagai amggota masyarakat, (3) sebagai pemimpin dan pengajar, (4) sebagai pelaksana administrasi di sekolah, (5) sebagai pengelola pembelajaran. Dengan kata lain, tutor bukan hanya sebagai pekerjaan biasa atau pelengkap, tetapi juga merupakan suatu profresi yang menuntut adanya keterampilan dan kesejawatan. Dilihat dari dimensi proses pembelajaran, peran tutor di masyarakat tetap dominan kendati teknologi dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang amat cepat. Tutor sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan, di samping memiliki dan memahami hal-hal yang bersifat filosofi, konseptual dan teknis harus juga memiliki kemampuan dasar. 2.1 3 Langkah-langkah Menciptakan Kompetensi Tutor Menurut Zamroni (2005:28) ada tiga kegiatan penting yang perlu diperhatikan oleh tutor untuk bisa meningkatkan kompetensinya, sehingga bisa terus menanjak eksistensinya menjadi tutor
profesional. Pertama, para tutor harus memperbanyak tukar informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi dengan warga belajar. Tukar informasi atau tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam pertemuan tutor sejenis di sanggar kegiatan tutor ataupun dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan hal itu. Kegiatan tukar pikiran ini hendaknya selalu mengangkat topik pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuannya bisa digunakan secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hanya perlu dicatat, dalam kegiatan tukar pikiran semacam itu, hendaknya faktorfaktor yang bersifat struktural administratif harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya, tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah. Kedua, para tutor harus lebih banyak mengadakan pertemuan-pertemuan ilmiah untuk membicarakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para tutor itu sendiri. Untuk itulah, para tutor dituntut untuk harus melakukan penelitian. Anggapan sementara ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di pertutoran tinggi atau para peneliti di lembagalembaga penelitian harus dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua pihak bahwa hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di sekolah yang dilakukan oleh para tutor adalah sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab para tutorlah yang nyata-nyata memahami dan menghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas. Fenomena yang ada, masih terlalu banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran terjadi di kelas yang sampai saat ini belum terpecahkan dan sangat perlu untuk dipecahkan. Misalnya, langkah-langkah apa yang harus dilaksanakan tutor untuk menghadapi warga belajar yang malas atau mempunyai jati diri yang rendah atau pemalu di kelas. Masalahmasalah ini jarang diteliti, kalaupun pernah diteliti pendekatannya terlalu teoritis akademis sehingga tidak dapat diterapkan dalam praktek proses pembelajaran sesungguhnya.
Ketiga, tutor harus membiasakan diri untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukannya, khususnya lewat media cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi tutor selain meningkatkan kompetensinya dalam menulis laporan penelitian. Di sisi lain, salah satu usaha peningkatan kompetensi tutor adalah perlu penyeleksian secara formal. Dalam arti persyaratan untuk menjadi tutor Program Paket B, misalnya tidak cukup hanya lulusan Strata Satu Kependidikan atau memiliki Akta Empat, melainkan perlu ditingkatkan menjadi lulusan Strata Dua atau Magister Pendidikan dan Ketutoran. Hal ini sudah saatnya dilakukan, mengingat tenaga tutor Program paket B sudah lebih dari cukup. Di samping itu, untuk melaksanakan pengembangan sekolah di masa depan memang memerlukan tenaga tutor yang memiliki kualifikasi ijazah yang lebih tinggi. Untuk menghadapi pembaharuan-pembaharuan di masa mendatang dan menanggapi perubahan-perubahan di masayarakat yang sangat cepat itu, kualifikasi tutor tamatan SMA sederajat sangat diragukan kemampuannya. Lebih dari itu, adanya integrasi lembaga pendidikan dalam satu institusi akan menguntungkan dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum pendidikan calon tutor integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum untuk “in-service training” (Mulyasa, 2006:25) Saat ini tutor sudah tidak memiliki waktu lagi untuk sekadar berdiam diri dalam menyikapi setiap perubahan cepat yang terjadi di dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, peneliti melihat ada empat hal penting yang dapat diusahakan oleh tutor untuk membangun kemantapan diri sekaligus mengembangkan kompetensi diri dan kompetensi mengajarnya, di antaranya: (1) membangun kemantapan diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya; (2) mengikuti kegiatankegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespons secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan; (3)
mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subyek didik; (4) melakukan analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda di sekolah/sekolah lain yang sederajat. Jelasnya bahwa, profil tutor masa depan haruslah tanggap dengan perubahan, kreatif dan inovatif dalam mencari dan menemukan hal-hal yang baru, baik dalam bentuk dan materi perencanaan pembelajarannya maupun proses dan materi yang disajikan harus dijadikan pokokpokok dialog dengan warga belajar. Materi yang disajikan dalam proses pembelajaran jangan dipandang sebagai barang jadi yang siap santap dan tidak boleh diutak-atik lagi. Akan tetapi, setiap saat tutor dapat memperkaya wawasan pengetahuan tentang kebutuhan warga belajar serta alternatif-alternatif pemacahan masalah tertentu. Dalam proses pembelajaran, menurut Sanjaya (2006:89) tutor hendaknya tidak memposisikan diri sebagai teacher oriented, tetapi dapat melibatkan warga belajar sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran (student oriented). Tutor tidak hanya memberi jawaban alternatif tunggal terhadap pertanyaan dan keluhan warga belajar, tetapi memberi peluang kepada warga belajar untuk mencari dan menemukan jawaban/ alternatif lainnya pada masalah yang sama. Itulah sebabnya, penciptaan suasana kompetitif dan kooperatif menghendaki perlunya memperbanyak dan mengintensifkan kegiatan kompetisi di segala bidang tugas tutor.
2.2 Hakikat Program Paket B Program paket B adalah program pendidikan dasar setara SMP/MTs. Program paket B merupakan Pendidikan Non Formal (PNF) yang bertujuan antara lain untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dijangkau dan dipenuhi pada jalur pendidikan formal. Pendidikan Non Formal memberikan berbagai pelayanan pendidikan untuk setiap warga
masyarakat agar memperoleh pendidikan sepanjang hayat yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, (Depdiknas, 2006: 2). Program paket B atau lebih dikenal dengan pendidikan kesetaraan merupakan jawaban terhadap program pemerintah tentang ketuntasan pendidikan dasar. Itulah sebabnya, pemegang ijazah program paket B memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs. Dasar hukum penyelenggaraan pendidikan program paket B adalah: 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-undang RI, Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistim Pendidikan Nasional 3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan 4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994, tentang Pelaksanaan wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dan Nomor 5 Tahun 2006, tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan dasar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. 5. Keputusan Mendikbud Nomor 0131/U/1994, tentang Program Paket A dan Paket B. 6. Keputusan Mendiknas Nomor 86/U/2003, tentang Penghapusan Ujian Persamaan 7. Surat Edaran Mendiknas Nomor 107/MPN/MS/2006, tetang Eligibilitas Program Kesetaraan. Berdasarkan dasar hukum pelaksanaan program Paket B di atas, maka pemerintah menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikannya di antaranya: A. Kurikulum Sistem pembelajaran program Paket B mengacu kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kesetaraan Paket B yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut; berpusat pada kehidupan, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, menyeluruh dan berkesinambungan, serta prinsip belajar sepanjang hayat, (Depdiknas, 2007: 18-23). Struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kesetaraan memuat komponen mata pelajaran, baik yang diujikan pada ujian Nasional maupun yang tidak diujikan. Kedalaman muatan kurikulum pada program pendidikan kesetaraan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada setiap tingkat dan atau semester. SK dan KD ditentukan sesuai dengan kebutuhan minimal atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sementara, pemenuhan kebutuhan maksimal SK dan KD diisi dengan keterampilan fungsional. Beban belajar pada pendidikan kesetaraan dinyatakan dalam Satuan Kredit Kompetensi (SKK), yang menunjukkan satuan kompetensi yang dicapai oleh warga belajar dalam mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, praktek keterampilan, dan kegiatan mandiri yang terstruktur. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Silabus Pendidikan Kesetaraan ditetapkan oleh Dinas yang bertanggungjawab di bidang pendidikan sesuai dengan tingkat kewenangannya, berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan, yang dikembangan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stake holder) serta berpedoman pada panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kesetaraan yang disusun oleh Badan Standar Pendidikan Nasional (BSNP). Penerapan
suatu
konsep
pendidikan
terkait
dengan
kurikulum
tentu
saja
mempertimbangkan subtansi materia yang akan dipelajari, karateristik warga belajar, dan kondisi sekolah serta lingkungan yang bersangkutan. (Depdiknas, 2007: 24). Di samping itu, aplikasi
pendidikan yang bersifat aplikatif selalu disesuaikan dengan tingkat perkembangan fisiologis dan psikologis warga belajar. Menurut Rosyada (2004:29) kurikulum akan sangat bermakna jika seluruh rangkaian bahan yang akan dipelajari dan termuat di dalamnya dapat memberikan pengalaman kepada warga belajar baik yang bersifat kognitif maupun efektif dan psikomotorik. Sehingga dengan demikian terjadinye revisi kurikulum dari tahun ke tahun termasuk adanya perubahan Kurikulum Bebasis Kompetensi (KBK) kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) semuanya didasarkan pada kajian awal oleh para ahli pendidikan, untuk terjadinya sinkronisasi antara tingkat perkembangan warga belajar dengan kondisi lingkungan yang tersedia.
B. Pendekatan dan Metode Aktivitas pembelajaran bukan hanya merupakan proses penyampaian dan penerimaan informasi tetapi juga memberikan pegalaman belajar kepada warga belajar. Pengalaman ini harus memberikan dorongan untuk merubah tingkah laku warga belajar seperti yang diinginkan. Pembelajaran terjadi apabila rangsangan dilakukan oleh tutor yang akan menyebabkan perubahan tingkah laku. Untuk melaksanakan proses ini, tutor dapat menggunakan berbagai pendekatan, dan metode yang sesuai dengan keperluan warga belajar. 1. Pendekatan Adapun pendekatan yang dapat digunakan oleh tutor pada pembelajaran program paket B meliputi; pendekatan induktif, tematik, partisipatif andragogis, konstruktif, dan berbasis lingkungan. a) Pendekatan induktif adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena emipirik dengan menekankan pada belajar melalui pengalaan langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan warga belajar dari permasalahan yang ada di
sekitar lingkungan kehidupannya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh warga belajar dan yang diberikan oleh tutor, sehingga warga belajar dapat membuat kesimpulan dari serangkaian penyelesaian masalah yang dibuat. b) Pendekatan tematik adalah pendekatan yang mengorganisasikan pengalaman-pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas, tidak hanya tersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan warga belajar dan menumbuhkan kerja sama. c) Pendekatan Konstruktif adalah suatu mendekatan yang sesuai dalam pembelajaran berbasis kompetensi, di mana warga belajar membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini warga belajar telah mempunyai ide tersendiri tentang suatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor dalam pendekatan ini yaitu untuk membetulkan konsep yang ada pada warga belajar atau untuk memberikan konsep baru. Pendekatan konstruktif ini melibatkan 5 fase yaitu: 1)
Tutor memperkirakan pengetahuan yang sudah dimiliki warga belajar pada awal pelajaran melalui kegiatan tanya jawab atau ujian.
2)
Tutor menguji ide warga belajar.
3)
Tutor menguji ide warga belajar kemudian menstruktur semua ide yang ada.
4)
Tutor memberi peluang kepada warga belajar untuk mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya.
5)
Tutor membimbing warga belajar membuat refleksi dan perbandingan ide lama atau ide baru yang telah diperoleh.
d) Pendekatan partisipatif andragogis, yaitu pendekatan yang membantu menumbuhkan kerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasil-hasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang petumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat. e) Pendekatan berbasis lingkungan atau kontekstual, yaitu pendekatan yang meningkatkan relevansi dan kebermanfaatan pembelajaran bagi warga belajar sesuai potensi dan kebutuhan lokal. Pendekatan pembelajaran ini harus terkait dengan lingkungan di mana warga belajar hidup dan bekerja. Warga belajar merasa bahwa ilmu pengetahuan yang dipelajarinya terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. 2. Metode Pembelajaran hendaknya menekankan pada kegiatan yang berpusat pada warga belajar. Focus pembelajaran adalah untuk mengoptimalkan penguasaan hasil pembelajaran secara tuntas. Kegiatan pembelajaran ini hendaknya dapat meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai warga belajar dalam menyelesaikan masalah atau membuat keputusan yang bijak. Itulah sebabnya di antara metode pembelajaran yang dapat diterapkan untuk tujuan tersebut dalam Depdiknas (2007:25-29) adalah: a)
Metode pembelajaran koperatif, yaitu mengembangkan warga belajar yang mempunyai berbagai keunggulan berinteraksi dan bekerja sama untuk menguasai suatu konsep atau keterampilan, bukan saja untuk diri sendiri, tetapi juga untuk rekan-rekan yang lain, serta memotivasi semua warga belajar.
b)
Metode pembelajaran interaktif, yaitu suatu kaidah yang melibatkan interaksi antara tutor dan warga belajar, antara warga belajar dengan media, atau warga belajar dengan
lingkungannya. Untuk menjalankan pembelajaran interaktif, langkah-langkah yang perlu diikuti adalah: 1) Tutor memberitahu kepada warga belajar tentang hasil pembelajaran yang perlu dikuasai. 2) Warga belajar mengemukakan masalah yang berkaitan dengan hasil pembelajaran. 3) Tutor bersama warga belajar membahas masalah yang dikemukakan warga belajar. 4) Tutor bersama warga belajar meneliti dan memilih masalah yang berkaitan dengan hasil pembelajaran yang telah ditentukan. 5) Warga belajar menjalankan kegiatan secara individu atau kelompok untuk mencari jawaban. 6) Warga belajar memaparkan kegiatan mereka. 7) Warga belajar merumuskan hasil kegiatan dengan bantuan tutor. c) Metode pembelajaran dengan peta konsep, yaitu membangun pengetahuan warga belajar dengan cara menghubungkan konsep-konsep yang sedang dipelajari, kemudian setiap konsep tersebut dihubungkan berkaitan atau ketergantungannya. Warga belajar akan menemukan keterkaitan antar konsep dan membentuk pengetahuan yang skematik d) Metode pembelajaran berbasis penugasan, yaitu warga belajar diberi masalah dan ditugaskan atau membuat hasil karya untuk dikerjakan secara mandiri, baik di rumah, di tempat bekerja, atau di tempat yang berhubungan dengan masalah yang diberikan. Hasilnya dipresentasikan dalam diskusi kelompok besar maupun kelompok kecil. Pengetahuan akan terbangun dari masukan setiap warga belajar, dan tutor berfungsi sebagai fasilitator yang membantu warga belajar merumuskan temuannya. e) Metode eksperimen yaitu salah satu pembelajaran yang biasa digunakan dalam pendidikan. Istilah eksperimen ini sering diartikan dengan proses menjalankan kajian atau penyasatan tetang suatu fenomena yang berlaku dalam alam sekitar.
f) Metode diskusi, yaitu suatu kegiatan yang memberikan peluang kepada warga belajar untuk berperan aktif secara langsung dalam kegiatan pembelajaran. Metode diskusi ini harus dirancang dengan rapi agar dapat mengembangkan pemikiran yang kreatif dan kritis di kalangan warga belajar. Kegiatan seperti ini membuat warga belajar lebih mahir berkomunikasi dan yakin dalam menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain. Metode diskusi jug akan mendorong warga belajar memahami suatu masalah dengan lebih jelas membantu tutor mengetahui sejauh mana pemahaman mereka. g) Metode simulasi yaitu proses belajar dengan bermain peran atau menggunakan alat peraga/bukan alat sesungguhnya. Metode belajar ini membawa suasana menjadi hidup, karena sesuatu atau seseorang yang diperankannya terasa hadir di depan warga belajar. h) Metode kajian lapangan, yaitu membantu warga belajar untuk hidup mandiri karena langsung berhubungan dengan situasi yang ada. Metode kajian lapangan ini meliputi; perkemahan, bakti sosail, studi banding, penelitian, koperasi warga belajar, kebun percobaan atau bengkel warga belajar, dan lain-lain. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Program Paket B adalah salah satu produk pendidikan non formal yang diselenggarakan dalam satuan pendidikan luar sekolah (PLS) dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat disingkat PKBM. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003: 32) disebutkan pada pasal 26 tentang pendidikan nonformal bahwa : (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi warga belajar dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3)
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan warga belajar.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5)
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Dengan memperhatikan apa yang telah digariskan oleh undang-undang di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa program paket B adalah satuan pendidikan nonformal yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dalam praktiknya, Program Paket B dapat dibatasi pada penyelenggaraan pendidikan pengganti pendidikan formal.