6
BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Hakikat Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Robbins memberikan definisi efektivitas sebagai tingka t pencapaian organisasi dalam jangka pendek dan jangka panjan. Efektivitas dapat didefinisikan dengan empat hal yang menggambarkan tentang efektivitas, yaitu : 1. Mengerjakan hal-hal yang benar, dimana sesuai dengan yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan rencana dan aturannya. 2. Mencapai tingkat diatas pesaing, dimana mampu menjadi yang terbaik dengan lawan yang lain sebagai yang terbaik. 3. Membawa hasil, dimana apa yang telah dikerjakan mampu memberi hasil yang bermanfaat. 4. Menangani tantangan masa depan Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu.
6
7
Berdasarkan Ensiklopedi Umum Administrasi, efektivitas berasal dari kata kerja efektif, berarti terjadinya suatu akibat atau efek yang dikehendaki dalam perbuatan. Setiap pekerjaan yang efektif belum tentu efisien, karena mungkin hasil dicapai dengan penghamburan material, juga berupa pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Kata efektivitas sering diikuti dengan kata efisiensi, dimana kedua kata tersebut sangat berhubungan dengan produktivitas dari suatu tindakan atau hasil yang diinginkan. Suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Dengan demikian istilah efektif adalah melakukan pekerjaan yang benar dan sesuai serta dengan cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Sedangkan efisien adalah hasil dari usaha yang telah dicapai lebih besar dari usaha yang dilakukan. Dari pengertian diatas, efektivitas dapat dikatakan sebagai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dari 2 (dua) sudut pandang. Sudut pandang pertama, dari segi ‘hasil’ maka tujuan atau akibat yang dikehendaki telah tercapai. Kedua dari segi ‘usaha’ yang telah ditempuh atau dilaksanakan telah tercapai, sesuai dengan yang ditentukan. Dengan demikian pengertian efektivitas dapat dikatakan sebagai taraf tercapainya suatu tujuan tertentu, baik ditinjau dari segi hasil, maupun segi usaha yang diukur dengan mutu, jumlah serta ketepatan waktu sesuai dengan prosedur dan ukuran–ukuran tertentu sebagaimana yang telah digariskan dalam peraturan yang telah ditetapkan. Gibson et al. (1994:30) mengemukakan masing-masing tingkat efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab variabel oleh variabel lain (ini berarti sebab
8
efektivitas). Sesuai pendapat Gibson tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa pada efektivitas individu terdiri dari sebab-sebab antara lain kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, sikap, motivasi dan stress. Efektivitas kelompok terdiri dari sebabsebab keterpaduan, kepemimpinan, struktur, status, peran dan norma-norma. Untuk efektivitas organisasi terdiri dari sebab-sebab lingkungan, teknologi, pilihan strategi, struktur, proses dan kultur. Semua ini mempunyai hubungan sebab variabel dari variabel lainnya. Steers (1985:87) mengemukakan bahwa efektivitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak wajar terhadap pelaksanaannya. Adapun Komaruddin (1994:294) juga mengungkapkan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi-aktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternative atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran
9
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif. Kajian yang menyeluruh mengenai efektivitas dalam suatu aktivitas secara umum mengarah kepada proses pelaksanaan ataupun tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan seseorang. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang memberikan manfaat dari hasil pekerjaan yang dilaksanakan. Mengenai definisi efektivitas ini sendiri, banyak ahli yang mengemukakan pandangannya dengan sudut yang berbeda. Konsep efektivitas yang dikemukakan oleh Richard F. Gerson adalah “efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan bersama bukan tujuan pribadi”. Menurut Harjono (1998:15) efektivitas kerja adalah kemampuan seseorang untuk
melaksanakan
pekerjaan
dengan
mempergunakan
sumber-sumber
organisasi secara efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian maka efektivitas kerja merupakan hal yang sangat esensial
dalam
pencapaian
tujuan
organisasi,
dimana
seseorang
perlu
memperhatikan sumber daya dan faktor-faktor yang ada didalam dirinya untuk pelaksanaan kerja. Sementara itu Komarudin (1994:269) mengemukakan bahwa efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan (atau kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan lebih dahulu. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas disebut juga efektif,
10
apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditemukan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat soewarno yang mengatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Caster I. Bernard, efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Bernard, 1992:207). Menurut Cambel J.P, Pengukuran
efektivitas secara umum dan yang
paling menonjol adalah : 1. Keberhasilan program 2. Keberhasilan sasaran 3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output 5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989:121) Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerjayang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokonya atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel, 1989:47). Sementara itu, menurut Richard M. Steers, efektivitas merupakan suatu tingkatan kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya. Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas seringkali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Dari pendapat
11
beberapa ahli di atas dapat disimpulkan pengertian efektivitas, yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatnya, car mengatur dan bahkan cara menentukan indicator efektivitas, sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang efektivitas. Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi, merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam usaha mengukur efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri. Dari beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga secara fisik dan non fisik untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal. 2.1.2 Indikator Efektivitas Gibson et al. mengemukakan beberapa kriteria untuk
dapat menilai
efektivitas. Menurut Gibson et.al. efektivitas dalam konteks perilaku organisasi merupakan hubungan optimal antara produktivitas, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan dan pengembangan (Gibson et al., 1996:28).
12
Penentuan beberapa kriteria di atas karena organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergejolak dengan sumber daya terbatas, sedangkan ancaman terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya agak lazim terjadi. Dalam lingkungan demikian, organisasi bukan saja harus memenuhi serangkaian persyaratan
organisasi
(misalnya
mendapatkan
sumber
daya,
efisiensi,
produksi/keluaran, pembaruan organisasi, unsur kepuasan), tetapi juga harus memenuhi persyaratan perilaku tertentu sehubungan dengan para anggotanya. Ketujuh kriteria itu jika dikelompokkan dapat terbagi ke dalam empat kategori, yaitu organisasi, lingkungan, pekerja, dan praktek manajemen. Hal ini sejalan dengan pendapat Steers: “Pada hakekatnya, pandangan seperti ini mengemukakan bahwa faktorfaktor yang menyokong keberhasilan akhir suatu organisasi dapat ditemukan dalam empat kelompok umum. Keempat kelompok umum ini adalah: (1) karakteristik organisasi, (2) karakteristik lingkungan, (3) Karakteristik pekerja, dan (4) kebijakan dan praktek manajemen” (Steers, 1985: 9)”. Karakteristik organisasi, terdiri dari struktur dan teknologi organisasi. Struktur adalah hubungan yang relatif tetap sifatnya seperti dijumpai dalam organisasi. Karakteristik lingkungan mencakup dua aspek. Pertama adalah lingkungan ekstern, yaitu semua kekuatan yang timbul di luar batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi (contoh: kondisi ekonomi dan pasar, peraturan pemerintah). Kedua adalah Lingkungan intern. Lingkungan ini pada umumnya dikenal sebagai iklim organisasi, meliputi macam-macam atribut lingkungan kerja. Karakteristik pekerja, perhatian harus diberikan kepada peranan perbedaan individual antara para pekerja dalam hubungannya dengan efektivitas. Pekerja yang berlainan
13
mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda. Kebijakan dan praktek manajemen, di sini kita akan memperhatikan betapa variasi gaya, kebijakan dan praktek kepemimpinan dapat memperhatikan atau merintangi pencapaian tujuan. 2.1.3 Pendekatan terhadap Efektivitas Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang berbeda dari lembaga, dimana lembaga mendapatkan input atau masukan berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam lembaga mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali pada lingkungannya. Dalam mengukur konsep efektivitas pada dasarnya memerlukan adanya pendekatan-pendekatan teknis sebagai acuan dalam memahami konsep efektivitas secara menyeluruh. Terkait dengan hal tersebut, maka Steers dalam Tangkilisan (2002:52), mengemukakan bahwa pendekatan dalam konsep efektivitas mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Pendekatan ukuran efektivitas yang univariasi, yaitu efektivitas diukur melalui sudut pandang terpenuhinya kriteria akhir, jadi kerangka acuan berdimensi tunggal dengan memusatkan perhatian kepada salah satu dimensi atau kriteria yang bersifat evaluatif. b. Pendekatan ukuran efektivitas yang multivariasi, yaitu konsep efektivitas melalui sudut pandang terpenuhinya ukuran-ukuran yang berdimensi ganda dan memakai kriteria tersebut secara nampak. Ukuran efektivitas organisasi dari pendekatan ini adalah fungsi dari beberapa faktor tertentu yang harus
14
dengan sungguh-sungguh diperhatiakn oleh organisasi bersangkutan. 2.1.4 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas Efektivitas selalu diukur berdasarkan prestasi, produktivitas dan laba. Seperti ada beberapa rancangan tentang memandang konsep ini dalam kerangka kerja dimensi satu, yang memusatkan perhatian hannya kepada satu kriteria evaluasi (contoh, produktivitas). Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya dan memberikan hasil daripada pengukuran efektivitas berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan masalah yang ditimbulkan oleh beberapa hal berikut: 1. Adanya macam-macam output Adanya
bermacam-macam
output
yang
dihasilkan
menyebabkan
pengukuran efektivitas dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan. Pengukuran juga semakin sulit jika ada sasaran yang saling bertentangan dengan sasaran lainnya. Efektivitas tidak akan dapat diukur hannya dengan menggunakan suatu indikator atau efektivitas yang tinggi pada suatu sasaran yang seringkali disertai dengan efektivitas yang rendah pada sasaran lainnya. Selain itu, masalah itu juga muncul karena adanya bagian-bagian dalam suatu lembaga yang mempunyai sasaran yang berbeda-bedasecara keseluruhan, sehingga
pengukuran
efektivitas
seringkali
terpaksa
dilakukan
dengan
memperhatikan bermacam-macam secara simultan. Dengan demikian, yang diperoleh dari pengukuran efektivitas adalah profil atau bentuk dari efek yang menunjukkan ukuran efektivitas pada setiap sasaran yang dimilikinya. Selanjutnya hal lain yang sering dipermasalahkan adalah frekuensi penggunaan criteria dalam
15
pengukuran efektivitas seperti yang dikemukakan oleh R.M Steers (dalam Tangkilisan, 2002:89) yaitu bahwa kriteria dan penggunaan hal-hal tersebut dalam pengukuran efektivitas adalah : a. Adaptabilitas dan Fleksibilitas b. Produktifitas c. Keberhasilan d. Keterbukaan dalam berkomunikasi e. Keberhasilan pencapaian program f. Pengembangan program 2. Subjektifitas dalam adanya penelitian Pengukuran
efektivitas
dengan
menggunakan
pendekatan
sasaran
seringkali mengalami hambatan, karena sulitnya mengidentifikasi sasaran yang sebenarnya dan juga karena kesulitan dalam pengukuran keberhasilan dalam mencapai sasaran. Hal ini terjadi karena sasaran yang sebenarnya dalam pelaksanaan. Untuk itu ada baiknya bila meninjau pendapat G.W England, bahwa perlu masuk kedalam suatu lembaga untuk mempelajari sasaran yang sebenarnya karena informasi yang diperoleh hanya dari dalam suatu lembaga untuk melihat program yang berorientasi ke luar atau masyarakat, seringkali dipengaruhi oleh subjektifitas. Untuk sasaran yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, unsur subjektif itu tidak berpengaruh tetapi untuk sasaran yang harus dideskripsikan secara kuantitatif, informasi yang diperoleh akan sangat tergantung pada subjektifitas dalam suatu lembaga mengenai sasarannya. Hal ini didukung oleh pendapat
16
Tangkilisan (2002:38) yaitu bahwa lingkungan dan keseluruhan elemen-elemen kontekstual berpengaruh terhadap informasi lembaga dan menentukan tercapai tidaknya sasaran yang hendak dicapai. 2.2 Hakikat Program Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao 2.2.1 Pengertian Program GERNAS Kakao Gerakan Nasional (GERNAS) peningkatan produksi dan mutu kakao nasional adalah upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumber daya yang ada. Cakupan kegiatan utamanya terdiri dari peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi tanaman kakao rakyat di sentra produksi kakao dengan teknologi terkini. Sebagai contoh, dalam rangka ikut mensukseskan Program Genas Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah maka BPTP sebagai salah satu unit kerja Badan Litbang Pertanian ikut dalam melakukan pendampingan pelaksanaan GERNAS sesuai dengan tupoksinya yakni penyebaran informasi dan diseminasi teknologi kepada pengguna yakni petani. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut telah dilakukan dua kegiatan yakni: (1) penyebaran informasi teknologi melalui media cetak dengan menyebar Petunjuk Teknis (juknis) Budidaya Kakao yang berisikan tentang teknik rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi kakao, (2) melakukan demontrasi plot pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Demonstrasi dan sosialisasi ini dilakukan untuk mendemosntrasikan tingkat efektifitas penggunaan metode pengendalian ini dalam menekan perkembangan Hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Dalam sosialisasi disetiap lokasi demplot
17
senantiasa dilakukan sekolah lapang cara penggunaan alat ini. Demikian pula penyampaian manfaat penggunaannya yakni selain sangat ekonomis bila di bandingkan dengan penggunaan racun/Insektisida juga Feromon Sex PBK ini tidak menggandung racun sehingga tidak berdampak negative terhadap lingkungan (sumber : http://sulteng.litbang.deptan.go.id). 2.2.2 Pendekatan Gerakan Nasional (GERNAS) Pendekatan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao sebagai berikut :. 1) Gerakan dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan yaitu pemerintah pusat,
provinsi,
kabupaten,
perbankan,
petani,
swasta
dengan
mengoptimalkan sumberdaya yang ada; 2) Lahan merupakan hamparan yang kompak atau berkelompok; 3) Pemberdayaan petani dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan; 4) Tanaman tua/rusak berat diremajakan dengan
penggantian tanaman baru
berupa benih yang berasal dari klon unggul hasil perbanyakan teknologi Somatic Embryogenesis (SE); 5) Tanaman produktif dengan kondisi rusak sedang dilakukan
rehabilitasi
dengan cara sambung samping menggunakan klon unggul; 6) Tanaman dengan kondisi kurang terpelihara dilakukan intensifikasi; 7) Bahan tanam (benih dan entres), pupuk untuk peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi, serta sarana pendukung sebagian disediakan oleh Pemerintah; 8) Untuk petani yang mengikuti kegiatan peremajaan diberikan insentif benih tanaman sela (tanaman semusim);
18
9) Biaya tenaga kerja untuk pelaksanaan dikebun petani menjadi tanggungjawab petani/pekebun,
kecuali
tenaga
kerja
pembongkaran/penebangan
dan
penanaman untuk peremajaan, penebangan batang utama untuk rehabilitasi, sanitasi dan pemangkasan untuk intensifikasi,
sebagian ditanggung oleh
pemerintah; 10) Biaya sarana produksi (pupuk, pestisida dan alat pertanian) untuk pemeliharaan tahun ke-2 dan seterusnya memanfaatkan fasilitas
kredit
Revitalisasi Perkebunan melalui perbankan; 11) Peserta Gerakan wajib mengelola kebun sesuai standar teknis dengan bimbingan dari pendamping/ penyuluh/fasilitator dan instansi pembina; 12) Petani peserta berdomisili di wilayah Gerakan dan merupakan pemilik kebun; 2.2.3 Pola Gerakan Nasional (GERNAS) Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao dilaksanakan dengan mensinergikan seluruh pemangku kepentingan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : 1) Pemerintah Pusat a. Menyediakan pembiayaan untuk pengadaan bahan tanam (benih untuk peremajaan dan entres untuk sambung samping); b. Menyediakan pembiayaan untuk pengadaan pupuk dasar pada kegiatan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi; c. Menyediakan sebagian bantuan upah tenaga kerja petani untuk pembongkaran/penebangan
dan
penanaman
untuk
peremajaan,
penebangan batang utama untuk rehabilitasi, sanitasi dan pemangkasan
19
untuk intensifikasi; d. Menyediakan pembiayaan untuk pengadaan alat dan bahan pengendalian. e. Menyediakan pembiayaan tenaga pendamping dan sarana pendukung; f. Menyediakan sebagian pembiayaan untuk kegiatan pemberdayaan petani; g. Menyediakan
pembiayaan
untuk operasionalisasi
dan pengutuhan
Substasiun Penelitian Kakao; h. Menyediakan
sebagian pembiayaan untuk perbaikan mutu/sosialisasi
penerapan Standar Mutu; i. Menyediakan pembiayaan
pembinaan, koordinasi, monitoring dan
evaluasi dalam pengawalan kegiatan. 2) Pemerintah Provinsi Menyediakan anggaran APBD dalam rangka mendukung Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao; a. Pengadaan dan penyediaan sarana produksi dan pelayanan informasi; b. Penjamin/avalis pinjaman petani terhadap Perbankan; c. Penyediaan sebagian pembiayaan untuk pemberdayaan petani; d. Penyediaan biaya sertifikasi lahan kebun kakao; e. Menyediakan lahan untuk pembangunan substasiun penelitian dan untuk laboratorium lapangan. 3) Pemerintah Kabupaten Menyediakan anggaran APBD untuk mendukung Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao, yang meliputi kegiatan :
20
a. Penetapan Calon Petani/Calon Lahan b. Peningkatan mutu; c. Pemberdayaan Petani. 4) Perbankan Menyediakan fasilitas kredit Revitalisasi Perkebunan untuk pemeliharaan tahun ke dua dan seterusnya (pupuk, pestisida, alat pertanian). 5) Swasta/Asosiasi Pelaksanaan sosialisasi penerapan Standar Mutu dan penyediaan sarana pasca panen. 6) Petani Menyediakan pohon pel indung dan tenaga kerja untuk pelaksanaan kegiatan di kebunnya kecuali untuk pembongkaran/penebangan dan penanaman pada kegiatan peremajaan, penebangan batang utama pada kegiatan rehabilitasi dan sanitasi serta sebagian pemeliharaan pada kegiatan intensifikasi. 2.3 Hakikat Produktivitas Kakao 2.3.1 Pengertian Produktivitas Istilah produktivitas pertama kali dipergunakan tahun 1766 dalam suatu makalah dengan judul “The School of Physiocrat” dan pada pertengahan abad ke18 dalam artikel yang berjudul “Historical View print of Economic Theories” yang menjelaskan teori produktivitas tanah sebagai sumber kekayaan. Namun Walter Aigner dalam karyanya “Motivation and Awareness”, mengatakan bahwa “filosofi dan spirit mengenai produktivitas sudah ada sejak awal peradaban manusia, karena sebenarnya yang dimaksud produktivitas adalah keinginan untuk
21
selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik di segala bidang “(Manulang, 1990:39). L. Greenberg dalam Sinungan (2003:12) mendefinisikan produktivitas sebagai “perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut. Produktivitas juga diartikan sebagai: a. Perbandingan ukuran harga bagi masukan dan hasil. b. Perbedaan antara kumpulan jumlah pengeluaran dan masukan yang dinyatakan dalam satuan-satuan (unit) umum. Menurut Doktrin pada Konferensi Oslo 1984 dalam Sinungan (2003:17), tercantum definisi umum produktivitas semesta, yaitu “produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak manusia, dengan menggunakan sumbersumber riil yang makin sedikit.” Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa produktivitas adalah suatu pendekatan interdisipliner untuk menentukan tujuan yang efektif, pembuatan rencana, aplikasi penggunaan cara produktivitas untuk menggunakan sumber-sumber secara efisien, dan tetap menjaga adanya kualitas yang tinggi. Produktivitas mengikutsertakan pendayagunaan secara terpadu sumberdaya manusia dan keterampilan, barang modal, pengembangan teknologi, manajemen, informasi, energi, dan sumber-sumber lain menuju kepada pengembangan dan peningkatan
standar
hidup
Produktivitas semesta/total.
untuk
seluruh
masyarakat,
melalui
konsep
22
2.3.2 Pengertian Tanaman Kakao Kakao (Theobroma cacao) adalah tanaman bawah hutan yang berasal dari hutan hujan tropika Amerika Selatan. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari negara lain dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama, mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao. Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut:
23
Tabel 2.1. Sistematika Tanaman Kakao Divisi Anak divisi Kelas Anak kelas Bangsa Suku Marga Jenis
Spermatophyta Angioospermae Dicotyledoneae Dialypetalae Malvales Sterculiaceae Theobroma Theobroma cacao L
Menurut Wood, G.A.R. (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan sebagiansifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo kasar, berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero. Dalam tata niaga kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk kelompok kakao lindak (bulk) kelompok Kakao trinitario merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga, kelompok trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak, tergantung pada mutu bijinya. 2.3.3 Proses Produktivitas Komiditi Kakao Alur proses usaha budidaya kakao dimulai dari usaha penyediaan bibit hingga pasca panen, dijabarkan pada uraian-uraian berikut:
24
a. Penyediaan bibit kakao dan bibit pohon pelindung Bibit cokelat dan bibit pohon pelindung bisa diperoleh dengan cara generatif, yaitu dari hasil penyemaian biji atau dari hasil perbanyakan vegetatif (setek dan okulasi). Bibit cokelat yang baik untuk ditanam di lapangan adalah yang berumur 4 – 5 bulan, tinggi 50 – 60 cm, berdaun 20 – 45 helai dengan sedikitnya 4 helai daun tua, diameter batang 8 mm, dan sehat. Pohon pelindung yang baik adalah pohon yang tidak menghasilkan biji, cepat tumbuhnya, percabangan dan daunnya memberikan perlindungan yang baik, tidak mengalami masa gugur daun pada musim tertentu, perakaran kokoh, dan bebas dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Bila memungkinkan, pohon pelindung sebaiknya juga bermanfaat dari segi ekonomis, sehingga areal pertanaman cokelat dan pohon pelindungnya mempunyai nilai tambah. Banyaknya bibit cokelat yang dibutuhkan adalah tergantung kepada jarak tanam yang akan digunakan. Pemilihan jarak tanam yang optimum bergantung kepada besarnya pohon, jenis tanah, dan iklim areal yang hendak ditanami. Data mengenai jarak tanam dan jumlah pohon per hektar, tersaji pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Jarak Tanam dan Jumlah Pohon Per Hektar Jarak tanam (m x m) 2,4 x 2,4 3x3 4x4 5x5 3,96 x 1,83 2,5 x 3 4x2 3 x 2,6 Sumber : Tumpal H.S. Siregar, dkk. 2006
Jumlah pohon per hektar 1.680 1.100 625 400 1.380 1.333 1.250 1.250
25
b. Penanaman pohon pelindung Pohon pelindung ada dua jenis, yaitu pohon pelindung sementara dan pohon pelindung tetap. Pohon pelindung sementara bermanfaat bagi tanaman yang belum menghasilkan, terutama yang tajuknya belum bertaut. Pohon pelindung tetap bermanfaat bagi tanaman yang telah mulai menghasilkan. Penanaman pohon pelindung tetap hendaknya dilakukan 12 – 18 bulan sebelum cokelat ditanam di lapangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa cokelat harus sudah dibibitkan 4 – 6 bulan sebelumnya. Pohon pelindung yang sering digunakan, salah satunya adalah lamtoro. Jarak tanam untuk pohon pelindung biasanya adalah dua kali jarak tanam cokelat. Hal ini didasarkan pada peranan satu pohon pelindung yang berfungsi bagi empat pohon cokelat di dalam bagian pertanamannya. namun hal ini masih bergantung pada pola tanam yang diterapkan dan kemungkinan dilaksanakannya penjarangan pohon pelindung tetap itu. c. Penanaman kakao Untuk mendapatkan areal penanaman yang sebaik – baiknya, dianjurkan untuk menetapkan pola tanam terlebih dahulu. Pola tanam erat kaitannya dengan keoptimuman jumlah pohon per hektar, keoptimuman peranan pohon pelindung, dan meminimumkan kerugian yang timbul pada nilai kesuburan tanah, serta biaya pemeliharaan. Ada empat pola tanam yang dianjurkan, yaitu: 1) Pola tanam cokelat segi empat, pohon pelindung segi empat. Pada pola tanam ini, seluruh areal ditanami menurut jarak tanam yang ditetapkan. Pohon pelindung berada tepat pada pertemuna diagonal empat pohon cokelat.
26
2) Pola tanam cokelat segi empat, pohon pelindung segi tiga. Pada pola tanam ini, pohon pelindung terletak di antara dua gawangan dan dua barisan yang membentuk segi tiga sama sisi. 3) Pola tanam, cokelat berpagar ganda, pohon pelindung segi tiga. Pada pola tanam ini, pohon cokelat dipisahkan oleh dua kali jarak tanam yang telah ditetapkan dengan beberapa barisan pohon cokelat berikutnya. Dengan demikian, terdapat ruang di antara barisan cokelat yang bisa dimanfaatkan sebagai jalan untuk pemeliharaan. 4) Pola tanam cokelat berpagar ganda, pohon pelindung segi empat d. Pemeliharaan 1) Pemangkasan Pemangkasan pohon pelindung tetap dilakukan agar dapat berfungsi untuk jangka waktu yang lama. Pemangkasan dilakukan terhadap cabang – cabang yang tumbuh rendah an lemah. Pohon dipangkas sehingga cabang terendah akan berjarak lebih dari 1 m dari tajuk tanaman cokelat. Pemangkasan pada tanaman cokelat merupakan usaha meningkatkan produksi dan mempertahankan umur ekonomis tanaman. Dengan melakukan pemangkasan, akan mencegah serangan hama dan penyakit, membentuk tajuk pohon, memelihara tanaman, dan memacu produksi. 2) Penyiangan Tujuan penyiangan adalah untuk mencegah persaingan dalam penyerapan air dan unsur hara dan mencegah hama dan penyakit.
27
Penyiangan harus dilakukan secara rutin, minimal satu bulan sekali yaitu dengan menggunakan cangkul, koret, atau dicabut dengan tangan. 3) Pemupukan Pemupukan dilakukan setelah tanaman cokelat berumur dua bulan di lapangan.Pemupukan
pada
tanaman
yang
belum
menghasilkan
dilaksanakan dengan cara menaburkan pupuk secara merata dengan jarak 15 cm – 50 cm (untuk umur 2 – 10 bulan) dan 50 cm – 75 cm (untuk umur 14 – 20 bulan) dari batang utama. Untuk tanaman yang telah menghasilkan, penaburan pupuk dilakukan pada jarak 50 cm – 75 cm dri batang utama. Penaburan pupuk dilakukan dalam alur sedalam 10 cm. Banyaknya pupuk yang dibutuhkan setiap tahun untuk lahan seluas 1 hektar, disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kebutuhan Pupuk Urea, SP-36, KCl, dan Pupuk Organik untuk Tanaman Kakao Menurut Umur Tanaman Per Hektar Umur Jenis Pupuk Tanaman Urea (g) SP-36 (g) KC1 (g) Organik (kg) 1 3,6 2 22 20 25 3,6 3 44 41 50 4,5 4 89 83 100 5,5 5 178 105 200 7,3 6 222 207 331,8 7,3 Sumber : Tumpal H.S. Hasibuan, dkk., 2006. 4) Penyiraman Penyiraman tanaman cokelat yang tumbuh dengan kondisi tanah yang baik dan berpohon pelindung, tidak perlu banyak memerlukan air. Air yang berlebihan menyebabkan kondisi tanah menjadi sangat lembab.
28
Penyiraman pohon cokelat dilakukan pada tanaman muda, terutama tanaman yang tidak diberi pohon pelindung. 5) Pemberatasan hama dan penyakit Pemberantasan hama dilakukan dengan penyemprotan pestisida dalam dua tahap, pertama bertujuan untuk mencegah sebelum diketahui ada hama yang benar–benar menyerang. Kadar dan jenis pestisida disesuaikan. Penyemprotan tahapan kedua adalah usaha pemberantasan hama, di mana jenis dan kadar pestisida yang digunakan juga ditingkatkan. Hama yang sering menyerang tanaman kakao antara lain adalah belalang (Valanga Nigricornis), ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), penghisap buah (Helopeltis sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp.). Insektisida yang sering digunakan untuk pemberantasan belalang, ulat jengkal, dan kutu putih antara lain adalah Decis, Cupraycide, Lebaycide, Coesar, dan Atabron. Penghisap buah dapat diberantas dengan Lebaycide, Cupraycide, dan Decis. Penyakit yang sering ditemukan dalam budidaya kakao, yaitu penyakit jamur upas dan jamur akar. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Oncobasidium thebromae. Selain itu, juga sering dijumpai penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytoptera sp. e. Panen Buah cokelat bisa dipanen apabila terjadi perubahan warna kulit pada buah yang telah matang. Sejak fase pembuahan sampai menjadi buah dan matang, cokelat memerlukan waktu sekitar 5 bulan. Buah matang dicirikan oleh perubahan
29
warna kulit buah dan biji yang lepas dari kulit bagian dalam. Bila buah diguncang, biji
biasanya
berbunyi.
Ketelatan
waktu
panen
akan
berakibat
pada
berkecambahnya biji di dalam. Terdapat tiga perubahan warna kulit pada buah cokelat yang menjadi kriteria kelas kematangan buah di kebun-kebun yang mengusahakan cokelat. Secara umum kriteria tersebut disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4: Perubahan warna dan pengelompokan kelas kematangan buah Bagian Kulit Buah yang Mengalami Kelas Kematangan Perubahan Warna Perubahan Warna Buah Kuning Pada alur buah C Kuning Pada alur buah dan punggung alur buah B Kuning Pada seluruh permukaan buah A Kuning Tua Pada seluruh permukaan buah A+ Sumber : Tumpal H.S. Siregar, dkk., 2006. f. Pasca panen 1) Pengumpulan buah Buah yang telah dipanen biasanya dikumpulkan pada tempat tertentu dan dikelompokkan menurut kelas kematangan. Pemecahan kulit dilaksanakan dengan menggunakan kayu bulat yang keras. 2) Fermentasi Tujuan dari fermentasi adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keeping biji, dan untuk melepaskan pulp. Biji cokelat difermentasikan di dalam kotak kayu berlubang. Selama fermentasi, biji beserta pulpnya mengalami penurunan berat sampai 25%.
30
3) Perendaman dan pencucian Perendaman
berpengaruh
terhadap
proses
pengeringan
dan
rendemen. Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut sehingga kulitnya lebih tipis dan rendemennya berkurang. Dengan demikian, proses pengeringan menjadi lebih cepat. Setelah perendaman, dilakukan pencucian yang bertujuan untuk mengurangi sisa – sisa pulp yang masih menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji. Apabila biji masih ada sisa pulp, biji akan mudah menyerap air dari udara sehingga mudah terserang jamur dan juga akan memperlambat proses pengeringan. 4) Pengeringan Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji dari 60 % sampai pada kondisi kadar air dalam biji tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji tidak ditumbuhi cendawan. Pengeringan biji dapat dilaksanakan dengan sinar matahari atau pengeringan buatan. Dengan sinar matahari dibutuhkan waktu 2 - 3 hari, tergantung kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi 7 – 8 %. Dengan pengeringan buatan, pengeringan biji berlangsung pada temperatur 650 C – 680 C. 5) Penyortiran/pengelompokkan Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan berdasarkan mutunya: a) Mutu A : dalam 100 g biji terdapat 90 – 100 butir biji b) Mutu B : dalam 100 g biji terdapat 100 – 110 butir biji
31
c) Mutu C : dalam 100 g biji terdapat 110 – 120 butir biji 6) Penyimpanan Biji cokelat yang telah kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap goni diisi 60 kg biji cokelat kering, kemudian karung tersebut disimpan dalam gudang yang bersih, kering, dan memiliki lubang pergantian udara. Penyimpanan di gudang sebaiknya tidak lebih dari 6 bulan, dan setiap 3 bulan harus diperiksa untuk melihat ada tidaknya jamur atau hama yang menyerang. 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada kajian teoretis yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: program Gerakan Nasional (GERNAS) dapat meningkatkan produktivitas kakao pada Kelompok Tani Mandiri Desa Sansarino Kecamatan Ampana Kabupaten Tojo Una-una.