BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Hakekat Perkembangan Emosi Anak 2.1.1 Pengertian Perkembangan Emosi Anak Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti, 2001: 1) “emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Emosi merupakan perasaan atau gejala psikis yang bersifat subjectif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Emosi anak berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa karena adanya faktor maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti (2001: 11), yaitu : (1) Emosi yang kuat ; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang sama baik terhadap situasi remeh maupun serius. (2) Emosi sering kali tampak, anak sering kali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima. (3) Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang. (4) Emosi adalah perasaan yang ada pada dalam diri kita dapat berupa perasaan yang kuat. Perasaan benci, takut, marah senang, cinta senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi.
Karena emosi anak-anak dipusatkan pada dampak emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial anak-anak. Elizabeth (1978:210) penelitian tersebut telah membuktikan bahwa semua emosi, tidak hanya emosi yang menyenangkan, memainkan peran penting dalam kehidupan anak dan bahwa setiap macam emosi mempengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak. Manfaat ataupun kerugian yang ditimbulkannya bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak dapat bersifat fisik atau psikologis atau bahkan keduanya. Dampak yang paling penting dari emosi anak terhadap penyesuaian mereka (Erlangga. 1978;210) : a) Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari adalah emosi seperti kemarahan dan ketakutan juga menambah rasa nikmat bagi kehidupan dengan memberikan suatu kegembiraan. b) Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, emosi yang semakin kuat akan semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan bertindak. Jika persiapan ini ternyata tidak berguna, anak akan gelisah dan tidak tenang. c) Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik, persiapan tubuh untuk bertindak ternyata menimbulkan gangguan pada keterampilan motorik sehingga anak menjadi canggung dan dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara seperti bicara yang tidak jelas dan menggagap. d) Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengkomunikasikan perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang lain. e) Emosi mengganggu aktivitas mental, karena kegiatan mental seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran, dan lain-lain, sangat mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat, anak-anak
menghasilkan prestasi dibawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu. f) Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial, orang dewasa menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi dan emosi apa saja yang dominan. Perlakuan orang dewasa yang didasarkan atas penilaian tersebut merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri. g) Emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan, bagaimana anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia. h) Emosi mempengaruhi interaksi sosial, semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial. i) Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah, emosi yang menyenangkan akan mempercantik wajah anak-anak, sedangkan emosi yang tidak menyenangkan akan menyuramkan wajah dan menyebabkan anak-anak jadi kurang menarik. Karena umumnya orang tertarik atau tidak, tergantung pada ekspresi wajah, emosi memainkan peran penting bagi penerimaan sosial. j) Emosi mempengaruhi suasana psikologis, bai k dirumah, sekolah, tetangga ataupun pada kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana psikologis yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Anak yang tempertantrum menjengkelkan dan mempermalu orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis kepada kemarahan dan kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan. k) Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan, setiap ekspresi emosi yang memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat yang tertentu akan
berkembang menjadi kebiasaan. Dengan tubuhnya anak, jika mereka menjumpai reaksi sosial yang tidak menyenangkan, mereka akan mendapatkan kesukaan untuk mengubah kebiasaan. Makna emosi banyak dikaji oleh para psikolog dan banyak mendapatkan tempat dari pengkajian mereka, karena dianggap sebagai bagian yang penting dan menarik dalam kehidupan manusia ini. Sukmadinata (2003:80) memberikan definisi emosi sebagai perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi dan menimbulkan suatu gejolak suasana batin. Seperti halnya perasaan, emosi juga membentuk suatu kontinum, bergerak dari emosi positif hingga yang bersifat negatif. Sementara Crow & Crow (dalam Sunarto & Hartono, 2002 : 149), memberikan pengertian emosi sebagai pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik, dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa emosi adalah perasaan batin seseorang, baik berupa pergolakan pikiran, nafsu, keadaan mental dan fisik yang dapat muncul atau termanifestasi kedalam bentuk-bentuk atau gejala-gejala seperti takut, cemas, marah, murung, kesal, iri, cemburu, senang, kasih sayang, dan ingin tahu. 2.1.2 Karakteristik Perkembangan Emosi Anak Usia 5-6 Tahun Karakteristik perkembangan emosi pada masa awal anak adalah fase dimana saat Dalam kaitannya dengan proses sosial, emosi dapat muncul sebagai akibat adanya hubungan atau interaksi sosial antara individu, kelompok, dan masyarakat. Emosi dapat muncul sebagai reaksi fisiologis, perasaan, dan perubahan perilaku yang tampak. Emosi pada anak usia dini lebih kompleks dan real, karena anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai suatu pemuasan, pemenuhan, atau perlindungan diri, atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat keadaan tidak nyaman dengan lingkungan atau objek tertentu.
ketidakseimbangan dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit untuk diarahkan. Menurut (Hurlock, 2002) perkembangan emosi usia 5-6 tahun. Ciri utama reaksi emosi pada anak : 1.
Reaksi emosi anak sangat kuat. Dalam hal kekuatan, makin bertambahnya usia anak, dan semakin bertambahnya matangnya emosi anak maka anak akan semakin terampil dalam memilih kadar keterlibatan emosionalnya.
2.
Reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Emosi bersifat sementara. Peralihan yang cepat pada anak-anak dari tertawa kemudian menangis, atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang.
3.
Emosi dapat diketahui melalui gejala perilaku. Anak-anak mungkin tidak memperlihatkan reaksi emosional mereka secara langsung, tetapi mereka memperlihatkannya secara tidak langsung melalui kegelisahan, melamun, menangis, kesukaran berbicara, dan tingkah yang gugup, seperti menggigit kuku dan mengisap jempol.
4.
Emosi seringkali tampak. Anak-anak seringkali memperlihatkan emosi yang meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional seringkali mengakibatkan hukuman, sehingga mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka akan berusaha mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima.
a. Masa Kanak-Kanak Awal Seorang anak yang masih belia dalam kehidupan sehari-harinya juga mengalami berbagai macam emosi, sama seperti orang dewasa. Pada saat itu mereka juga belajar memahami perasaan dan reaksi emosional orang lain.
Ekspresi dari emosi-emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Rasa bangga muncul ketika anak merasakan kesenangan setelah sukses melakukan perilaku tertentu (Lewis, 2002). Rasa bangga sering kali diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu. Rasa malu muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar atau target tertentu (Lewis, 2002). Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Rasa malu biasanya berhubungan dengan serangan terhadap self dan dapat mengakibatkan kebingungan dan membuat anak tidak mampu berkata-kata. Tubuh anak yang mengalami rasa malu ini biasanya akan terlihat seperti “mengerut” seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Rasa malu bukan merupakan hasil dari situasi tetapi lebih disebabkan oleh interpretasi individu terhadap kejadian tertentu. Rasa bersalah biasanya muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. (Lewis, 2002). Perasaan malu dan bersalah memiliki karakteristik fisik yang berbeda. Ketika seorang anak menunjukkan rasa malu, mereka seolah-olah mengecilkan tubuh meraka seperti ingin bersembunyi, sedangkan ketika mereka mengalami perasaan bersalah, mereka biasanya melakukan gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka. b. Masa Kanak-Kanak Madya dan Kanak-Kanak Akhir Berikut ini adalah beberapa perubahan yang penting dalam perkembangan emosi pada masa kanak-kanak madya dan akhir. (Kuebli, 1994; Wintre & Vallance, 1994). 1) Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu (Kuebli, 1994). Emosi-emosi ini menjadi lebih terinternalisasi (self-generated) dan terintegrasi dengan tanggung jawab personal.
2) Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu. 3) Peningkatan kecenderungan untuk lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi emosi tertentu. 4) Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif. 5) Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan tertentu, seperti mangalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi tertentu. Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia ini. Iri hati pada anak usia dini sering terjadi. Mereka sering memperebutkan perhatian guru. Emosi yang tinggi pada umumnya disebabkan oleh masalah psikologis dibanding masalah fisiologis. Orang tua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal anak merasa mampu melakukan lebih banyak lagi. Di samping itu, anak menjadi marah bila tidak dapat melakukan sesuatu yang dianggap dapat dilakukannya dengan mudah. Amarah, penyebab amarah yang paling umum ialah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan, dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggeretak, menendang, melompat-lompat atau memukul sedangkan iri hati, anak-anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimilki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara, yang paling umum ialah dengan mengeluh tentang barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti yang dimiliki orang lain.
2.1.3 Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku dan Perubahan Fisik Individu
Dalam pengertian diatas, dikemukakan bahwa emosi ini merupakan warna afektif yang menyertai sikap keadaan atau perilaku individu, yang dimaksud warna afektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu. Contohnya : gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan sebagainya. Di bawah ini ada beberapa contoh tentang perilaku individu diantaranya sebagai berikut (Syamsu Yusuf 2011;115) : a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atau hasil yang telah dicapai. b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi). c. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam bercerita. d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dari iri hati. e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Adapun yang dimaksud perilaku emosional ialah reaksi yang terorganisasi dan muncul terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan, tujuan, ketertarikan, dan minat individu. Perilaku emosional ini tampak sebagai akibat dari emosi seseorang. Emosi oleh Juntika (2007:153), didefinisikan sebagai suatu suasana yang kompleks dan getaran jiwa yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya perilaku. Lebih lengkap (Daniel Goleman, 2005), menambahkan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dengan demikian, emosi terlihat dari reaksi fisiologis, perasaan dan perubahan perilaku yang tampak. Aspek emosional dari suatu perilaku pada umumnya selalu melibatkan tiga aspek
ini. Dimana dari ketiga aspek emosional (reaksi fisiologis, perasaan, dan perubahan perilaku yang tampak), tidak mungkin dapat diubah atau dipengaruhi atau diperbaiki oleh aspek fisiologis, karena proses fisiologis yang terjadi pada organisme secara mekanis. Emosi pada tahap anak usia dini lebih terperinci dan terdiferensiasi dan anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Karakteristik emosi pada anak usia dini ditandai dengan berbagai ciri, misalnya emosi anak bersifat sementara dan lekas berubah. Jika anak bertengkar dan saling mencaci maki pada pagi atau siang hari, maka pada sore hari terhalang beberapa jam mereka sudah baikan dan main bersama lagi. Berbeda dengan orang dewasa, sekali berseteru akan melekat lama bisa berharihari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan sampai meninggal dunia belum berubah masih tetap bersitegang. Ciri lainnya dari perilaku emosional anak ialah reaksi yang kuat dan spontan terhadap situasi yang menimbulkan rasa senang atau tidak senang. Anak akan mengutarakan perasaan, keadaan, dan informasi yang mereka terima apa adanya, tidak ditutup-tutupi. Anak pada usia ini dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung, tentang perasaan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, tanpa ada perasaan bersalah atau takut menyinggung perasaan orang lain. Kita biasanya menyebut kondisi ini dengan sebutan “masih polos”. Anak selalu jujur mengemukakan sesuatu keadaan, perasaan dan kondisi yang sebenarnya, tanpa ragu-ragu dan pandang bulu. Serta masih banyak ciri emosional lainnya yang merupakan karakteristik anak usia dini, misalnya reaksi emosinya masih bersifat individual, egois, berubah-ubah pendiriannya, tergantung pada situasi dan kondisi, bahkan dapat dipengaruhi oleh teman, saudara, atau keluarga dan guru.
Perkembangan emosi pada anak usia dini mengikuti pola tertentu sesuai pola yang berkembang dalam kelompok sosial dan kehidupannya. Pola perilaku emosional anak masa ini, meliputi marah, takut, gembira, sedih, cemburu, dan kasih sayang. Ada kemungkinan anak usia 5-6 tahun menunjukkan sejumlah perilaku agresif. Hal ini normal dan dapat terjadi karena ia masih belajar membedakan antara bersikap tegas (dengan meminta secara jelas apa yang ia inginkan) dan bersikap agresif (dengan cara mengambil apapun yang ia inginkan tanpa mengindahkan perasaan orang lain). Ia juga akan menyadari bahwa perasaan frustasi sulit ditangani sehingga cenderung bereaksi secara fisik, seperti memukul atau merusak.
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Anak A. Pengaruh Keadaan Individu Sendiri Menurut Hurlock (dalam Nugraha, 2007: 4.5) keadaan diri individu seperti usia, keadaan fisik, inteligensi, peran seks dapat dipengaruhi perkembangan emosi. Hal yang cukup menonjol terutama berupa cacat tubuh ataupun yang dianggap oleh diri anak sebagai sesuatu kekurangan pada dirinya dan akan sangat mempengaruhi perkembangan emosinya. Kadang-kadang juga berdampak lebih jauh pada kepribadian anak. Dalam kondisi ini perilaku-perilaku umum yang biasanya muncul adalah mudah tersinggung, merasa rendah diri atau menarik diri dari lingkungannya dan lain-lain. Dampak yang muncul pada anak akibat keadaan dirinya tersebut, pada tingkatan tertentu akan menjadi sangat membahayakan, terutama pada saat anak mengidentifikasi diri dan menemukan bahwa hal tersebut merupakan faktor nyata yang dianggap dapat merendahkan
dirinya dalam lingkungannya. Hal tersebut akan semakin mempengaruhi jika lingkungan secara nyata menghindari dirinya dan memberikan reaksi penolakan. Tindakan preventif yang utama adalah membangun kesadaran bahwa kekurangan yang utama adalah suatu kewajaran, dan semua anak atau orang yang pasti memiliki kekurangan, hanya yang berbeda adalah letak dan bagian mana kekurangan itu berada. Jika kesadaran terbangun maka harus diikuti dengan membangkitkan semangat anak untuk berperan kembali di dalam lingkungannya, bahkan diarahkan untuk dapat berpartisipasi serta berkompetisi sesuai dengan kemampuan dan keberadaan dirinya. Dengan berbekal kesabaran dan tanggung jawab, seorang guru ataupun orang tua sebagai pihak yang harus membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, haruslah menjalani treatment tersebut dengan penuh kesadaran. Seringkali guru atau orang tua merasa terlambat melakukan pencegahan terhadap perilaku emosi yang negatif, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengenali secara teliti perbuatan yang menyimpang, serta melakukan pencatatan dan rekaman tertulis yang menandai. Jika guru atau orang tua mengenali gejalanya dan memiliki kesanggupan untuk menanganinya maka lakukanlah segera sebelum penyimpangan emosi melekat pada anak menjadi jauh lebih parah. B. Konflik-Konflik dalam Proses Perkembangan Di dalam menjalani fase-fase perkembangan, tiap anak harus melalui beberapa macam konflik yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses, tetapi ada juga anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam mengahadapi konflik-konflik ini. Anak yang tidak dapat mengatasi konflik-konflik tersebut biasanya mengalami gangguan-gangguan emosi. Konflik ini dapat timbul dari diri anak sendiri atau dari orang terdekat dengan anak.
Menurut Piaget perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembargan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, apabila teriadi hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selaniutnya akan memperoleh hambatan. Piaget membagi perkembangan ke dalam dua fase, yaitu fase sensorimotor, fase praoperasional (Piaget, 1972 : 49-91). 1. Fase Sensorimotor (usia 3 - 4 tahun) Pada masa dua tahun kehidupannya, anak berinteraksi dengan dunia di sekitarnya, terutama melalui aktivitas sensoris (melihat, meraba, merasa, mencium, dan mendengar) dan persepsinya terhadap gerakan fisik, dan aktivitas yang berkaitan dengan sensoris tersebut. Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah sensorimotor. Fase sensorimotor dimulai dengan gerakan-gerakan refleks yang dimiliki anak sejak ia dilahirkan. Fase ini berakhir pada usia 2 tahun. Pada masa ini, anak mulai membangun pemahamannya tentang lingkungannya melalui kegiatan sensorimotor, seperti menggenggam, mengisap, melihat, melempar, dan secara perlahan ia mulai menyadari bahwa suatu benda tidak menyatu dengan lingkungannya, atau dapat dipisahkan dari lingkungan di mana benda itu berada. Selanjutnya, ia mulai belajar bahwa benda-benda itu memiliki sifat-sifat khusus. Keadaan ini mengandung arti, bahwa anak telah mulai membangun pemahamannya terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan kausalitas, bentuk, dan ukuran, sebagai hasil pemaharmannya terhadap aktivitas sensorimotor yang dilakukannya. Pada akhir usia 3 tahun, anak sudah menguasai pola-pola sensorimotor yang bersifat kompleks, seperti bagaimana cara mendapatkan benda yang diinginkannya (menarik, menggenggam atau meminta), menggunakan satu benda dengan tujuan yang berbeda. Dengan benda yang ada di tangannya, ia melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan ini merupakan
awal kemampuan berpilar secara simbolis, yaitu kemampuan untuk memikirkan suatu objek tanpa kehadiran objek tersebut secara empiris. 2. Fase Praoperasional (usia 5 - 6 tahun) Pada fase praoperasional, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang bendabenda di sekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, akan tetapi juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Kegiatan simbolis ini dapat berbentuk melakukan percakapan melalui telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atau ibu, dan kegiatan simbolis lainnya. Fase ini rnemberikan adil yang besar bagi perkembangan kognitif anak. Pada fase praoperasional, anak tidak berpikir secara operasional yaitu suatu proses berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan anak mengaitkannya dengan kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya. Fase ini merupakan rasa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil dan tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat dibagi ke dalam tiga subfase, yaitu subfase fungsi simbolis, subfase berpikir secara egosentris dan subfase berpikir secara intuitif. Subfase fungsi simbolis terjadi pada usia 5 – 6 tahun. Pada masa ini, anak telah memiliki kemampuan untuk menggarnbarkan suatu objek yang secara fisik tidak hadir. Kemampuan ini membuat anak dapat rnenggunakan balok-balok kecil untuk membangun rumah-rumahan, menyusun puzzle, dan kegiatan lainnya. Pada masa ini, anak sudah dapat menggambar manusia secara sederhana. Subfase berpikir secara egosentris terjadi pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara egosentris ditandai oleh ketidakmampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Benar atau tidak benar, bagi anak pada fase ini, ditentukan oleh cara pandangnya sendiri yang disebut dengan istilah egosentris.
C. Sebab-Sebab yang Bersumber dari Lingkungan Anak-anak hidup dalam 3 macam lingkungan yang mempengaruhi perkembangan emosi dan kepribadiannya. Apabila pengaruh dari lingkungan ini tidak baik maka perkembangan kepribadiannya akan terpengaruh juga. Menurut Setiawan (dalam Nugraha, 2007: 4.7) ketiga faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan tersebut adalah sebagai berikut : a. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan emosi anakanak usia prasekolah. Bahkan secara lebih khusus, keluarga dapat menjadi emotional security (pengendali emosi) pada tahap awal perkembangan anak. Jika secara umum ekspresi emosi anak cenderung ditolak oleh lingkungannya maka hal-hal tersebut memberi isyarat bahwa emotional security yang anak dapatkan dari keluarganya kurang memadai. Jika emosi anak tumbuh dengan baik melalui pembelajaran yang baik dalam keluargannya maka di lingkungan berikutnya anak akan tumbuh dengan baik pula, anak dapat belajar dengan cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungan barunya itu. Namun, jika pertumbuhan dan belajar anak dalam keluarga tidak memadai maka penyesuaian emosi berikutnya juga akan terhambat bahkan mungkin mendapat beberapa gangguan.
b. Lingkungan Sekitar Kondisi lingkungan di sekitar anak akan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku serta perkembangan emosi dan pribadi anak. Berbagai stimulus yang bersumber dari lingkungan sekitarnya akan dapat memicu anak dalam berekspresi. Frekuensi dan intensitas ekspresi anak akan sangat ditentukan oleh kadar stimulus yang diterimannya. Kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi emosi pada anak bahkan mungkin mengganggunya adalah sebagai berikut: 1) daerah yang terlalu padat, 2) daerah yang memiliki angka kejahatan tinggi, 3) kurangnya fasilitas rekreasi, 4) tidak adanya aktivitas-aktivitas yang diorganisasi dengan baik untuk anak. c. Lingkungan Sekolah Sekolah mempunyai tugas membantu anak-anak dalam perkembangan emosi dan kepribadiannya dalam suatu kesatuan, tetapi sekolah sering juga menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi pada anak. Kegagalan di sekolah sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan emosi anak. Lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan gangguan emosi yang menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada anak adalah sebagai berikut: (1) hubungan yang kurang harmonis antara guru dan anak, (2) hubungan yang kurang harmonis dengan teman-temannya. Orang terdekat anak di lingkungan sekolah adalah guru dan teman. Pada umumnya banyak anak yang mengidolakan dan mencontoh apa yang dilakukan gurunya. Anak lebih menurut dan mau melaksanakan tugas yang diberikan gurunya daripada mengikuti hal-hal yang dianjurkan orang tuanya. Sedangkan teman bagi anak adalah tempat saling berbagi tugas, saling berbagi peran, dan saling berbagi kesibukan. Apabila hubungan anak dengan guru dan teman kurang harmonis, maka ini akan berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Anak kecewa karena guru idolanya memperhatikan anak yang lain, sedangkan hubungannya dengan teman mulanya baik karena terjadi permusuhan rasa yang tadinya senang berubah jadi benci. 2.2 Kajian Penelitian yang Relevan Pada dasarnya suatu penelitian yang akan dibuat dapat memperhatikan penelitian lain yang dapat dijadikan rujukan dalam mengadakan penelitian. Adapun penelitian terdahulu yang hampir sama diantaranya sebagai berikut :
Siti Ulfatuz Yahro (2009) dalam skripsinya yang berjudul : “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Anak Usia Dini dengan Pendekatan Beyond Centers And Circle Times di TK Islam Modern Al-Furqon Yogyakarta”. Bahwa idealnya pada usia pra sekolah, potensi emosi anak dikembangkan secara maksimal. Pergaulan mereka tidak hanya sebatas pada keluarga dan teman sebayanya dirumah, tetapi juga teman-teman sebaya yang secara geografis maupun sosiologis berada dari mereka. Oleh karena itu, anak usia dini hendaknya dibimbing untuk memperoleh keterampilan sosial, yang tentu berhubungan dengan kecakapan emosional. Tahun 2006 Depdiknas merilis model pembelajaran baru bagi anak usia dini, yaitu beyond centers and circle times. Dwi Hastuti (2011) dalam skripsinya yang berjudul : “Faktor-Faktor Perkembangan Emosi Anak Usia Balita di Daerah Rawan Pangan di TK Sabila Amanda Medan”. Dalam penelitiannya adalah untuk menganalisis alokasi sumber daya keluarga, kualitas lingkungan perkembangan emosi anak usia 2-5 tahun di daerah rawan pangan. Perkembangan emosi anak berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu, usia anak dan pengeluaran keluarga. Dari hasil pengamatan yang dilakukan sebagian besar keluarga adalah faktor utama dalam perkembangan emosi anak sebab anak paling banyak berada dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, orang tua sangatlah di utamakan dalam mendidik dan membimbing anak-anak. Dari hasil penelitian di atas terdapat persamaan penelitian yaitu oleh Siti Ulfatuz Yahro dan Dwi Hastuti. Maka sebagai orang tua harus mempunyai pengetahuan yang cukup dan sangat baik dalam mengasuh dan membimbing anak dan orang tua juga harus intensif melakukan perilaku-perilaku positif agar anak bisa meneladaninya. Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan itu masih ada kaitannya dan sangat mendukung peneltian ini.