BAB 2 ASURANSI SEBAGAI PELINDUNG BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN PROFESINYA SEBAGAI PEJABAT UMUM DAN KLIEN NOTARIS SEBAGAI KONSUMEN JASA NOTARIS
2.1.
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOTARIS SEBAGAI PEJABAT
UMUM 2.1.1. PENGERTIAN NOTARIS Notaris merupakan jabatan yang bersumber dari Undang-undang, sehingga semua pengaturan mengenai Notaris dan kegiatannya diatur dalam Undang-undang. Di Indonesia pengaturan yang khusus mengatur mengenai Notaris adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUJN yang mulai berlaku sejak 6 Oktober 2004 dimana Undang-undang ini merupakan produk pertama dari pemerintah Republik Indonesia yang mengatur mengenai jabatan Notaris. Sedangkan sebelumnya peraturan mengenai Notaris merupakan produk dari pemerintah pendudukan Belanda12. Pengertian tentang Notaris dapat dilihat dalam UUJN pada Pasal 1 yang berbunyi,: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang ini.13 Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang tugas utamanya adalah membuat Akta. Notaris disebut 12
Sebelum UUJN peraturan yang khusus mengatur mengenai Notaris adalah yang dikenal dengan Regelment op het notarisambt in Netherlands Indie atau yang dikenal juga dengan sebutan Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia yang merupakan produk perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Netherlands Indie,yang menjadi sebuah Ordonantie (Staatblad 1860 nomor 3). Hal ini disebabkan sejarah masuknya lembaga notariat ke Indonesia yang berasal dari Belanda, dimana pada saat itu bangsa Indonesia berada dibawah penjajahan negara Belanda. Lembaga Notariat masuk ke Indonesia pada saat itu untuk menjawab kebutuhan pemerintah Belanda dan warga negaranya yang tinggal di Indonesia akan dibuatnya akta otentik untuk menguatkan peristiwa-peristiwa hukum dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya. 13 a Indonesia,Op.Cit,Ps.1.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
sebagai pejabat umum karena untuk dapat menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu diangkat oleh pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia atau pejabat lain yang terkait sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUJN yang berbunyi, “ Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”.14 Walaupun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia akan tetapi bukanlah pegawai negeri. Mengenai pegawai negeri Undang-undang Nomor. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor.8 Tahun 1974 memberikan pengertian mengenai pegawai negeri yaitu setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15 Berdasarkan pengertian pegawai negeri tersebut walaupun Notaris diserahi sebagian tugas negara di bidang keperdataan, diangkat oleh pejabat yang berwenang setelah memenuhi persyaratan namun Notaris tidak termasuk didalam pengertian pegawai negeri karena tidak memperoleh gaji dari pemerintah sebagaimana halnya pejabat
pemerintah. Selain itu dasar pengangkatan Notaris bukanlah
Undang-undang tentang pokok-pokok kepegawaian akan tetapi Undangundang khusus yang mengatur tentang Jabatan Notaris. Jadi Notaris bukanlah pejabat pemerintah atau pejabat negara, namun karena diangkat oleh pemerintah maka Notaris disebut juga sebagai pejabat umum16 karena
14
Ibid, Pasal 2 Indonesia,Undang-undang No.43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. L.N. Tahun 1999 No.169,T.L.N. No.3890. Ps.1 Angka.1. 16 Penyebutan Notaris sebagai pejabat umum juga dikenal dalam peraturan sebelum UUJN yaitu Peraturan Jabatan Notaris (PJN), dimana dalam Pasal 1 disebutkan mengenai pengertian Notaris yaitu Pejabat Umum, khusus (satu-satunya) yang berwenang membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan-tindakan, perjanjian-perjanajian dan keputusan-keputusan, yang diharuskan oleh peraturan Perundang-undangan umum untuk dikehendaki oleh yang berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat otentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse ( salinan sahih), salinan-salinan (turunan-turunan) dan kutipankutipannya; semuanya itu apabila pembuatan akte-akte demikian itu, karena Undang-undang umum, tidak pula diwajibkan atau dikhususkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain. Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa penyebutan Notaris sebagai pejabat umum telah ada sejak lama. 15
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Notaris menjalankan sebagian tugas negara dalam bidang keperdataan yaitu dalam hal pembuatan akta otentik serta dalam menjalankan tugasnya langsung berhubungan dengan masyarakat dan dari masyarakatlah Notaris memperoleh bayarannya.
2.1.2. KEWENANGAN NOTARIS Dalam menjalankan profesinya, seorang Notaris mempunyai kewenangan tertentu,yang digunakan sebagai batasan dalam bekerja. Kewenangan yang dipunyai oleh Notaris untuk dapat menjalankan tugasnya merupakan kewenangan Atribusi17,yaitu kewenangan yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang dipunyai oleh Notaris dalam UUJN diatur dalam Pasal 15, yang berbunyi:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.18 (2) Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b.Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salian yang memuat uraian sebagaimana yang ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d.Melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan ; 17
Kewenangan Atribusi adalah salah satu jenis kewenangan yang dikenal Hukum Administrasi Negara,selain Atribusi dikenal pula kewenangan Delegasi yaitu pengalihan kewenangan berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang ada. 18 Dalam pelaksanaan pembuatan Akta,ada Akta-akta tertentu yang pembuatannya diserahkan kepada pejabat lain oleh peraturan Perundang-undangan seperti Akta Kelahiran,Akta Perkawinan dan Akta Kematian pembuatannya diserahkan kapada Pejabat Catatan Sipil dan Pejabat Kantor Urusan Agama, selain itu pembuatan Akta Lelang atau Risalah Lelang diserahkan kepada Pejabat Lelang.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Atau; g.Membuat akta risalah lelang.; (3) Selain kewenangan sebagaiman adimaksud pada ayat(1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dari bunyi pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kewenangan Notaris dapat dibedakan atas kewenangan umum, kewenangan khusus dan kewenangan yang akan ditentukan kemudian.19 Kewenangan yang diatur dalam ayat (1) pasal diatas dapat dikatakan bahwa kewenangan Notaris tersebut merupakan kewenangan umum yang berarti bahwa merupakan kewenangan utama dari seorang Notaris dalam menjalankan profesinya. Dan pada ayat (2) dapat dikatakan bahwa yang diuraikan adalah kewenangan khusus Notaris, dikatakan khusus karena disamping tugas utama seorang Notaris dalam menjalankan profesinya sebagaimana yang diuraikan dalam ayat (1) maka ada tugas lain yang merupakan kewenangannya juga dalam menjalankan Profesinya tersebut. Selain itu dikatakan khusus juga karena ada beberapa kewenangan yang menurut peraturan perundangundangan merupakan kewenangan pejabat lain namun diberikan juga kepada Notaris, seperti Notaris berwenang membuat Akta yang berkaitan dengan Pertanahan dan juga membuat risalah Lelang dimana seharusnya merupakan tugas utama dari PPAT (Pejabat Pembuat Akta Pertanahan)20 dan Pejabat Lelang Negara. Sedangkan kewenangan Notaris yang diuraikan dalam ayat (3) dapat dikatakan sebagai kewenangan yang dapat ditentukan kemudian. Penentuan tersebut adalah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang akan ditentukan kemudian,hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila dikemudian hari ada hal-hal yang
19
Habib Adjie, Hukum Notaris Di Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris) 20 Kewenangan Notaris dalam membuat Akta Pertanahan dibatasi yaitu sepanjang bukan tindakan hukum dalam bentuk Akta: 1. Jual Beli; 2. Tukar Menukar; 3. Hibah; 4. Pemasukan dalam Perusahaan; 5. Pembagian Hak Bersama; 6. Pemberian Hak Tanggungan; 7. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Mengenai penganturan tersebut diatur dalam pasal 4 (2)
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
perlu dibuat dalam bentuk Akta Notaris namun tidak masuk dalam kewenangan Notaris dalam UUJN, maka sudah ada landasan hukumnya, karena apabila seorang Notaris membuat Akta diluar kewenangannya maka akibat hukumnya adalah Akta Notaris tersebut tidak dapat mengikat secara hukum atau dapat dikatakan dibawah tangan. Berkaitan dengan hal tersebut sebagai contoh sekarang berdasarkan Undang-undang mengenai Partai Politik maka pendirian partai politik wajib dengan Akta Notaris.
2.1.3. KEWAJIBAN NOTARIS Disamping mempunyai kewenangan,Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang Notaris selama masa jabatannya, dimana apabila kewajiban ini dilanggar maka Notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi. Mengenai kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 16,yang berbunyi:
(1) Dalam menjalankan jabatannya,Notaris berkewajiban: a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris; c. Mengeluarkan grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1(satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (limapuluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, setiap bulan, tahun pembuatannya pada setiap buku; g. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut aturan waktu pembuatan Akta setiap bulan; i. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana yang dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
(2)
(3)
(4)
(5) (6) (7)
(8)
(9)
Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulannya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; m. Menerima magang calon Notaris Menyimpan Minuta Akta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta dalam bentuk originali. Akta Originali sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) adalah akta: a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai; c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa; e. Keterangan Kepemilikan; atau f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Akta Originali sebagaimana yang dimaksud pada ayat(2) dapat dibuat lebih dari 1(satu) rangkap, ditanda tangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”. Akta Originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam1(satu) rangkap. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf L tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf L dan ayat (7) tidak terpenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai Akta di Bawah tangan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat.
Pada intinya berdasarkan pasal diatas maka kewajiban seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah membuat Akta, hal ini dilakukan dalam rangka
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya Akta Otentik. Karena merupakan kewajiban maka bila dilanggar maka Notaris yang bersangkutan akan dikenakan Sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN 21
2.1.4. LARANGAN NOTARIS Selain kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang Notaris dalam menjalankan profesinya maka dalam UUJN juga diatur mengenai larangan bagi Notaris, dimana bila Notaris melanggar sebagaimana dengan pelaksanaan kewajiban maka Notaris yang bersangkutan akan dikenakan sanksi pula. Mengenai larangan ini diatur dalam Pasal 17 UUJN, yang berbunyi:
Notaris dilarang: a. Menjalankan jabatannya diluar Wilayah jabatannya ; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai Advocat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris; h.Menjadi Notaris Pengganti; i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Pelanggaran terhadap larangan ini akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN, yaitu Notaris yang bersangkutan akan dikenakan teguran
21
Dalam Pasal 84 UUJN diatur apabila ada pelanggaran terhadap kewajiban Notaris maka akan mengakibatkan Akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuaktian dibawah tangan atau dapat juga berakibat Aktanya Batal demi Hukum , Sedangkan Pasal 85 UUJN mengatur Pelanggaran terhadap beberapa kewajiban Notaris dapat dikenakan sanksi berupa teguran baik lisan ataupun tulisan, pemberhentian sementara, atau dengan hormat bahkan dapat pula pemberhentian dengan tidak hormat.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
lisan atau teguran tertulis atau pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Pemberian sanksi tersebut tergantung seberapa berat pelanggaran yang dilakukan.
2.1.5. KODE ETIK NOTARIS Pengertian Kode Etik Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia adalah:
Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan“ berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangn yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris termasuk didalamnya para Pejabat sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Jadi berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Kode Etik merupakan aturan yang ditetapkan oleh organisasi Notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia untuk mengatur para anggotanya agar menjadi tertib dan teratur sehingga tujuan dari dibentuknya organisasi Notaris tersebut dapat tercapai. Tujuan dari Ikatan Notaris Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia yang merupakan hasil dari kongres luar biasa Ikatan Notaris Indonesia di Bandung 27 Januari 2005 yaitu, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta mengupayakan terwujudnya kepastian hukum, memajukan dan mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu serta pengetahuan dalam bidang Notarial pada khususnya, menjaga keluhuran martabat serta meningkatkan mutu Notaris selaku Pejabat Umum dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara, memupuk dan mempererat hubungan silahturahmi dan rasa persaudaraan serta rasa kekeluargaan antara sesama anggota untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan segenap anggotanya Ruang lingkup kode etik ini adalah seluruh anggota perkumpulan yaitu para Notaris juga orang-orang yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris baik
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kode etik juga diatur mengenai kewajiban, larangan dan pengecualian yang harus ditaati oleh para anggotanya. Terhadap pelanggaran dari kode etik ini maka anggota yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yang dapat berupa Teguran, Peringatan, Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan, Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. Pengawasan atas pelaksanaa kode etik tersebut dilakukan dalam 3 (tiga) tingkat yaitu tingkat pertama (daerah), tingkat banding (wilayah) dan tingkat terakhir (pusat) dimana dalam masing-masing tingkat dilakukan bersama-sama antara Pengurus Ikatan Notaris dan Dewan Kehormatan Notaris.
2.2. TINJAUAN UMUM TERHADAP ASURANSI 2.2.1.PENGERTIAN ASURANSI Pengertian asuransi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ada dalam KUHD dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. 1.
KUHD Definisi asuransi ada dalam Pasal 246, yaitu :
asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu. Menurut Pasal 246 KUHD ini , ada 4 unsur yang terlibat dalam perjanjian pertanggungan, yaitu : 1.
Penanggung (insurer) yang memberikan jaminan pertanggungan
2.
Tertanggung (insured) yang menerima jaminan pertanggungan
3.
Peristiwa (accident) yang tidak diduga atau tidak diketahui sebelumnya akan terjadi, peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian (kerusakan, kehilangan)
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
4.
Kepentingan (interest) yang diasuransikan, yang mungkin akan mengalami kerugian (kerusakan, kehilangan) disebabkan oleh peristiwa yang tidak diduga atau tidak diketahui sebelumnya benarbenar terjadi22.
2.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Pengertian
asuransi
menurut
Undang-undang
Tentang
Usaha
Perasuransian ada pada Pasal 1 angka 1, yaitu:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara kedua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada penanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.23 Pada dasarnya pengertian asuransi dalam UU No.2 / 1992 tentang usaha perasuransian tidak mempunyai perbedaan yang mendasar dengan pengertian asuransi dalam pasal 246 KUHD. Namun pengertian asuransi dalam pasal 246 KUHD tersebut hanya mencakup asuransi kerugian sedangkan rumusan pengertian asuransi dalam Pasal 1 angka 1 UU no.2/1992 ternyata lebih luas lingkupnya yaitu meliputi24 : a.
Asuransi Kerugian (loss insurance), yaitu perlindungan terhadap kekayaan seseorang atau badan hukum yang meliputi benda asuransi, risiko yang ditanggung, premi asuransi, ganti kerugian.
b.
Asuransi Jiwa (life insurance), yaitu perlindungan terhadap keselamatan seseorang, yang meliputi jiwa seseorang, risiko yang ditanggung, premi asuransi dan
22
Radiks Purba, Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, (Jakarta: Djambatan, 1997). Hal 1. 23 Indonesia b. Op.cit. Pasal 1 butir 1 24 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, cet.2, (Jakarta: Citra Aditya Bakti,2004), hal.122.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen atau pengembalian (refund) bila asuransi jiwa berahir tanpa evenemen. c.
Asuransi
Sosial
perlindungan
(social
terhadap
security
insurance)
yaitu
seseorang
yang
keselamatan
meliputi jiwa dan raga seseorang, risiko yang ditanggung, iuran asuransi dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen.
2.2.2. PRINSIP-PRINSIP DALAM ASURANSI Prinsip atau doktrin dalam asuransi adalah batasan-batasan atau ketentuanketentuan dalam asuransi yang secara universal diakui sebagai prinsip atau batas minimal yang harus diikuti dan dilaksanakan dengan baik, agar tidak terjadi akibat-akibat yang menyimpang dari tujuan diselenggarakannya asuransi. John.T.Steele dalam bukunya Principles and Practice of Insurance menyebutkan ada 6 prinsip-prinsip asuransi25 yaitu : 1.
Insurable Interest (Kepentingan yang dapat diasuransikan) pengertian secara definitif, Insurable Interest diartikan, hak untuk mengasuransikan yang timbul dari adanya hubungan keuangan antara tertanggung dengan obyek pertanggungan. Setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan artinya tertanggung harus mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita kerugian akibat dari peristiwa itu. Dalam Pasal 250 KUHD diisyaratkan adanya prinsip Insurable Interest, yaitu : Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap 25
John T.Steele, Principles and Practice of Insurance : Study book 040 The CII Tuition Service (England : The Burlington Press(Cambridge) Ltd., 1984)
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi. Dari pasal di atas dinyatakan bahwa kepentingan yang diasuransikan tersebut harus ada pada saat ditutupnya perjanjian asuransi. Dan dalam Pasal 268 KUHD26 mensyaratkan kepentingan yang dapat diasuransikan itu harus dapat dinilai dengan sejumlah uang. 2.
Idemnity (ganti kerugian) Pengertian Idemnity secara definitive adalah “the protection or security against damage or loss or security against the legal responsibility”
27
Hakekat ganti rugi, ganti rugi dalam perjanjian asuransi kerugian artinya adalah pengembalian posisi finansial si penanggung seperti pada saat sebelum terjadinya kerugian, dan hanya kerugian yang benar-benar diderita oleh tertanggung yang diganti. Karena sifatnya pengembalian posisi finansial maka tidak berlaku bagi perjanjian asuransi sejumlah uang karena penggantian finansial adalah sama atau jumlahnya tetap dan unsur kerugian material tidak menjadi hal yang mutlak. Penggantian kerugian dari asuransi tidak mungkin akan melebihi jumlah kerugian yang sebenarnya terjadi. Penggantian kerugian akan sama dengan jumlah kerugian nyata yang dialami tertanggung, Kalaupun jumlah penggantiannya lebih kecil, hal itu pasti disebabkan oleh aplikasi syaratsyarat pertanggungan yang tercantum dalam dokumen perjanjian asuransi yaitu polis. Prinsip idemnitas tersirat dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan perjanjian asuransi (yakni asuransi kerugian) sebagai perjanjian yang bermaksud memberi penggantian untuk suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan yang mungkin diderita oleh tertanggung karena menimpanya suatu bahaya yang pada saat ditutupnya perjanjian tidak dapat dipastikan apakah itu telah atau akan terjadi atau tidak. 26
Pasal 268 KUHD berbunyi : “suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang”. 27 Ibid., P.4/1.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
3.
Utmost good faith (kejujuran sempurna atau itikad baik yang teramat baik) Pengertian kewajiban beritikad baik secara definitif adalah kewajiban positif yang harus dilakukan dengan sukarela untuk mengungkapkan semua faktafakta material secara lengkap, jelas dan benar mengenai risiko yang akan dialihkan kepada penanggung, baik yang ditanyakan ataupun tidak. Fakta material adalah keterangan sejelas-jelasnya yang penting tentang obyek pertanggungan dan risiko-risiko yang akan dialihkan dari tertanggung kepada penanggung, keterangan-keterangan tersebut diperlukan penanggung untuk menetapkan kebijakan akseptasi, penerapan tarif premi dan menyusun syarat-syarat pertanggungan. Prinsip utmost good faith ini tersirat dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi: Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan Pasal di atas menekankan
kewajiban tertanggung untuk memberikan
keterangan yang benar kepada penanggung, karena berkaitan dengan ganti rugi yang akan diterima tertanggung bila terjadi envenement28 terhadap diri tertanggung, dimana bila ternyata ada keterangan yang tidak sesuai maka penanggung tidak bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Itikad baik atas dasar percaya mempercayai antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung dalam perjanjian asuransi artinya : a. penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat atau kondisi dari asuransi
28
Envenement adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan terjadi dan jika terjadi juga, akan mengakibatkan kerugian. Lihat abdulkadir Muhammad, op.cit., hal 114
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
yang bersangkutan dan menyelesaikan tuntutan ganti rugi sesuai dengan syarat dan kondisi pertanggungan. b.
sebaliknya tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas
dan
benar
atas
obyek
dipertanggungkan
artinya
menyembunyikan
keterangan
atau
kepentingan
tertanggung yang
tidak
diketahui
dan
yang boleh harus
memberikan keterangan yang benar tentang sebab terjadinya kerugian . 4.
Proximate Cause (Penyebab yang efisien atau dominan ) Penyebab
dominan
berarti
penyebab
yang
paling
efisien
menimbulkan kerugian, dari rangkaian peristiwa yang tidak terputus, tanpa adanya intervensi dari peristiwa yang terjadi. Proximate cause tersirat dalam pasal 249 KUHD dan pasal 276 KUHD. Pasal 249 KUHD berbunyi :
Untuk kerusakan atau kerugian yang timbul dari sesuatu cacad, kebusukan sendiri, atau yang langsung ditimbulkan dari sifat dan macam barang yang dipertanggungkan sendiri, tak sekali-kali si penanggung bertanggung jawab, kecuali apabila dengan tegas telah diadakan pertanggungan juga untuk itu.
Sedangkan pasal 276 KUHD berbunyi : Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan si tertanggung sendiri harus ditanggung oleh penanggung. Bahkan berhaklah si penanggung itu memiliki premi ataupun menuntutnya, apabila ia sudah mulai memikul sesuatu bahaya.
Dari dua pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jika kerugian yang diderita oleh si tertanggung disebabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam kedua pasal tersebut, maka dalam hal ini
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
penanggung dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memberi ganti rugi kepada tertanggung. 5.
Subrogation (Penggantian hak) Prinsip subrogasi berkaitan dengan adanya suatu peristiwa tak tentu yang terjadi yang menimbulkan
suatu kerugian bagi tertanggung
dimana kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan pihak ketiga. Merujuk pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata29 pihak ketiga yang bersalah tersebut harus mengganti kerugian, namun di sisi lain tertanggung memiliki polis dimana bila terjadi suatu kerugian maka akan ditanggung oleh penanggung. Berdasarkan hal ini maka akan ada dua kemungkinan bagi tertanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga atau kepada penanggung. Berdasarkan prinsip subrogasi maka tertanggung harus memilih salah satu apakah menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga atau meminta ganti rugi kepada penanggung. Penanggung tidak boleh menerima dari kedua belah pihak karena tertanggung akan memperoleh penggantian
melampaui
semestinya
(berlawanan
dari prinsip
Idemnity). Jika tertanggung telah menerima ganti rugi dari pihak ketiga maka ia tidak akan mendapatkan ganti rugi dari asuransi kecuali penggantian dari pihak ketiga tidak penuh. Begitu juga bila tertanggung telah menerima ganti rugi dari asuransi maka ia tidak berhak mendapat ganti rugi dari pihak ketiga. Walaupun tertanggung telah mendapat ganti rugi dari asuransi, pihak ketiga tidak lepas tanggung jawab begitu saja, karena hak tertanggung atas ganti rugi telah beralih ke tangan penanggung. Pengalihan ini dinamakan subrogasi. Dengan adanya subrogasi itu mencegah pihak yang bersalah menjadi bebas dari tanggung jawab.
29
Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi : “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Subrogasi penanggung diatur dalam pasal 284 KUHD yang berbunyi:
Seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.
Subrogasi terjadi demi hukum (otomatis) dan penanggung tidak memerlukan surat kuasa dari tertanggung untuk bertindak atas namanya. 6.
Contribution Prinsip kontribusi berkaitan dengan adanya lebih dari satu polis yang memberikan proteksi asuransi atas obyek asuransi yang sama milik tertanggung. Apabila terjadi jaminan asuransi terhadap suatu harta benda oleh lebih
dari
satu
perusahaan
asuransi
yang
masing-masing
mengeluarkan polis asuransi dengan harta pertanggungan yang sama sebesar nilai/harga sehat benda yang menjadi obyek pertanggungan, perusahaan asuransi hanya wajib membayar ganti rugi secara pro rata sesuai dengan tanggung jawab menurut perbandingan yang seimbang. Tertanggung tidak mungkin mendapatkan penggantian kerugian secara penuh dari masing-masing perusahaan asuransi karena akan melanggar prinsip Idemnity. Prinsip kontribusi dapat disimpulkan dalam Pasal 278 KUHD yang berbunyi : Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang berlainan, oleh berbagai penanggung telah diadakan penanggungan yang melebihi harga, maka mereka itu secara bersama-sama, menurut keseimbangan daripada jumlahjumlah untuk mana mereka telah menandatangani polis tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang dipertanggungkan.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Ketentuan yang sama berlaku, apabila pada hari yang bersamaan, mengenai satu-satunya barang, telah diadakan berbagai pertanggungan. 2.2.3. JENIS ASURANSI Penggolongan Asuransi Dapat Dikelompokkan Menjadi : 1. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan a. KUHD Dalam
ketentuan
pasal
247
KUHD
terdapat
penggolongan
pertanggungan/asuransi, pasal tersebut menyebutkan pertanggungan /asuransi itu antara lain dapat mengenai : 1.
Bahaya kebakaran
2.
Bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipanen
3.
Jiwa; satu atau beberapa orang
4.
Bahaya laut dan pembudakan
5.
Bahaya yang mengancam pengangkutan di daratan, disungai-sungai dan di perairan darat Pertanggungan asuransi dalam nomer 1,2 dan 3 diatur dalam buku I Bab IX dan X KUHD sedangkan pertanggungan/asuransi dalam nomer 4 dan 5 diatur dalam Bab IX dan X Buku II KUHD. Jenis pertanggungan atau asuransi yang diatur dalam pasal 247 KUHD ini tidak bersifat limitatif karena adanya kata “antara lain”. Hal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang
membuka
kemumungkinan
munculnya
jenis-jenis
pertanggungan atau asuransi yang baru, mengingat bahwa akan selalu terjadi perkembangan dalam dunia perasuransian dimana dibutuhkan jenis pertanggungan atau asuransi diluar jenis pertanggungan atau asuransi yang telah ada. b. Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, penggolongan atau jenis usaha perasuransian diatur dalam Pasal 3, yaitu: Jenis usaha perasuransian meliputi : a) Usaha asuransi terdiri dari:
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
1.
Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; 2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan Asuransi Jiwa. b) Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari : 1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung; 2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi; 3. Usaha penilai kerugian asuransi asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan; 4. Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria; 5. Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung. Dari pasal di atas dapat di ketahui bahwa penggolongan jenis usaha asuransi dibagi dua, yaitu usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi. Usaha asuransi merupakan perusahaan yang mempunyai usaha menanggung risiko asuransi sedangkan usaha penunjang asuransi merupakan perusahaan-perusahaan yang usahanya tidak menanggung risiko asuransi namun usahanya memberi kontribusi bagi dunia perasuransian. Pengertian mengenai usaha asuransi dan usaha penunjang asuransi dalam Undang-undang No.2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah Pasal 2 huruf (a), menyatakan : Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Pasal 2 huruf (b), menyatakan “Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria”. Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian disamping mengelompokkan asuransi menurut jenis usaha juga berdasarkan sifat usahanya sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 yang menyatakan :
Selain pengelompokkan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan program asuransi sosial yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
2. Berdasarkan Ilmu Pengetahuan Penggolongan asuransi atau pertanggungan selain diatur dalam peraturan perundang-undangan , juga diajukan oleh ilmu pengetahuan, dimana asuransi atau pertanggung dibedakan menjadi asuransi kerugian (schadeverzekering) dan asuransi sejumlah uang (sommen-verzekering). 1. Asuransi Kerugian Asuransi kerugian adalah suatu perjanjian asuransi yang berisikan ketentuan bahwa penanggung mengikat dirinya untuk melakukan prestasi berupa memberikan ganti kerugian kepada tertanggung seimbang dengan kerugian yang di derita oleh pihak tertanggung30 Beberapa ciri dari asuransi kerugian antara lain adalah 1.
Kepentingannya dapat dinilai dengan uang
2.
Dalam menentukan ganti kerugian berlaku prinsip idemnitas
3.
Berlaku ketentuan mengenai subrogasi.
30
Suparman Sastrawijaya, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga cet 1. (Bandung: Alumni, 1997). hal 83.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Tujuan dari asuransi kerugian adalah mengganti kerugian yang mungkin timbul pada harta kekayaan tertanggung. Dalam hal ini tertanggung ingin mengamankan kepentingan harta kekayaannya. Secara garis besar asuransi kerugian terdiri dari asuransi untuk Harta Benda (property), asuransi kepentingan (Pecuniary), Tanggung Jawab Hukum (liability) dan asuransi diri (asuransi Kecelakaan dan suransi kesehatan). 2 . Asuransi Sejumlah Uang Asuransi sejumlah uang lazimnya berbentuk asuransi jiwa. Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi,sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan kepada penikmat dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.31
Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam asuransi jiwa ada 2 macam yaitu32 : 1.
Prinsip kerja sama pada dasarnya asuransi jiwa merupakan suatu bentuk kerjasama antara orang-orang yang akan menghindarkan, meminimalkan atau mengurangi risiko yang diakibatkan oleh hal-hal : i.
Risiko kematian, merupakan peristiwa yang pasti terjadi, akan tetapi orang tidak dapat menentukan kapan peristiwa itu akan terjadi. Adanya peristiwa kematian menyebabkan hilangnya penghasilan dan mengakibatkan kesulitan ekonomi bagi keluarga / tanggungan yang ditinggalkan
ii.
Risiko hari tua, merupakan suatu peristiwa yang pasti terjadi dan dapat diperkirakan kapan peristiwa itu akan terjadi, tetapi orang tidak dapat menentukan atau mengetahui berapa lama terjadinya.
Hari
tua
akan
menyebabkan
berkurangnya
kemampuan seseorang memperoleh penghasilan sehingga 31
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 6 : Hukum Pertanggungan, cet.4, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal 10. 32 M. Wahyu Prihantor,Pengantar Asuransi I:Aneka Produk Asuransi dan Karekteristik,Cet.5.,(yogyakarta:kanisius,2004), hal. 4.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
dapat mengakibatkan kesulitan ekonomi bagi dirinya maupun bagi keluarganya. iii.
Risiko kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak pasti terjadi, akan tetapi tidak mustahil hal tersebut akan terjadi. Peristiwa kecelakaan dapat menyebabkan kematian ataupun berkurangnya
kemampuan
seseorang
untuk
melakukan
aktivitas sehari-hari guna mendapat penghasilan. Merosotnya kondisi kesehatan apalagi cacat seumur hidup dapat menjadi penyebab kesulitan ekonomi bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. 2.
Prinsip Aktuaria Berdasarkan prinsip kerjasama maka dalam asuransi jiwa terdapat hak dan kewajiban yang dinyatakan dalam besaran-besaran, yaitu jumlah uang asuransi (benefit) dengan jumlah iuran (premi). Hubungan-hubungan tersebut dinyatakan dengan menggunakan dasar-dasar perhitungan tingkat kematian, suku bunga dan biaya-biaya asuransi.
2.2.4. SUBYEK DAN OBYEK ASURANSI Subyek asuransi Dalam suatu perjanjian selalu terdapat dua macam subyek yaitu di satu pihak mendapat beban kewajiban untuk melakukan sesuatu dan di lain pihak mempunyai hak untuk menuntuk sesuatu dari pihak lain itu untuk melaksanakan kewajibannya. Dalam perjanjian asuransi, dimana perjanjian ini merupakan perjanjian timbal balik, satu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian asuransi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban berkaitan dengan hak-hak yang akan diperolehnya dan sebaliknya pihak yang lain yang memikul kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan tuntutan pihak yang berhak juga mendapat hak-hak sebagai kompensasi atas kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Berdasarkan Pasal 246 KUHD yang menjadi subyek dalam perjanjian asuransi adalah penanggung dan tertanggung. Penanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dihadapi karena suatu peristiwa yang belum tentu dan sebagai imbalan atas kewajibannya tersebut penanggung berhak atas premi dari tertanggung. Sedangkan tertanggung berkewajiban untuk membayar premi yang telah disepakati untuk memperoleh hak menuntut penggantian kepada penanggung. Penanggung pada perjanjian asuransi biasanya perusahaan asuransi. Obyek asuransi Obyek merupakan lawan dari subyek. Dalam suatu perjanjian obyek dibutuhkan oleh subyek dalam kaitannya dengan tujuan membuat suatu perjanjian. Sehingga obyek dalam hubungan hukum pada perjanjian adalah sesuatu yang diwajibkan kepada pihak yang mengemban kewajiban untuk memenuhi hak dari pihak mempunyai hak. Dalam perjanjian asuransi, yang dapat menjadi obyek asuransi ialah semua kepentingan, yang :33 1.
Dapat dinilai dengan sejumlah uang;
2.
Dapat takluk pada macam-macam bahaya;
3.
Tidak dikecualikan oleh Undang-undang.
Hal di atas diatur dalam Pasal 268 KUHD yang berbunyi : Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Sedangkan pengaturan obyek asuransi juga diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi : Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.
33
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Asuransi di Indonesia,Cet.5.(Jakarta: Intermasa,1979), hal. 41.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Obyek asuransi yang diuraikan dalam Pasal 268 KUHD lebih kepada obyek asuransi kerugian dibandingkan obyek asuransi sejumlah uang atau asuransi jiwa, karena obyek asuransi jiwa bukan benda melainkan jiwa atau raga manusia yang terancam peristiwa yang menjadi sebab kematian atau kecelakaan obyek asuransi jiwa tidak dapat dinilai oleh uang tetapi sejumlah uang dapat dijadikan ukuran pembayaran santunan jika terjadi peristiwa yang menjadi sebab kematian atau kecelakaan. Penetapan sejumlah uang sebagai santunan hanya bersifat praktis karena diperjanjikan antara tertanggung dan penanggung atau ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan obyek asuransi yang diuraikan Pasal 1 ayat 2 Undang-undang tentang usaha perasuransian, lebih lengkap karena selain mengenai obyek asuransi kerugian juga mencakup obyek asuransi jiwa.
2.3.
TINJAUAN PELINDUNG
KHUSUS BAGI
TERHADAP
NOTARIS
ASURANSI
DALAM
SEBAGAI
MENJALANKAN
PROFESINYA SEBAGAI PEJABAT UMUM DAN KLIEN NOTARIS SEBAGAI KONSUMEN JASA NOTARIS
2.3.1 AKTA NOTARIS Tugas utama dari seorang Notaris dalam menjalankan profesinya
sebagai
pejabat umum adalah membuat Akta, dimana yang dimaksud adalah Akta Otentik yang pada umumnya dikenal dengan sebutan Akta Notaris. 2.3.1.1 Pengertian Akta Pada umumnya Akta dapat diartikan sebagai “surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”34 Jadi untuk dapat digolongkan kedalam akta maka suatu surat haruslah ditandatangani, pengaturan mengenai tanda tangan ini ada dalam pasal 1869 34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 4,Cet.1,( Yogyakarta: Liberty,1993), hal.121.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
KUHPerdata.35 Keharusan mengenai suatu surat ditanda tangani adalah untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang dibuat oleh orang lain atau dengan kata lain adalah untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris yang disebut juga dengan Akta Notaris yang merupakan Akta Otentik. Pengertian mengenai Akta Notaris dapat ditemui dalam Pasal 1 Angka 7 UUJN yang berbunyi: “ Akta Notaris adalah Akta Otentik yag dibuat
oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam undang-undang ini”.
2.3.1.2 Jenis-jenis Akta Akta adalah adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani.36 Secara umum Akta yang dikenal dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu: 1. Akta yang dibuat dibawah tangan Merupakan akta yang tidak memenuhi ketentuan akta otentik sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pengaturan mengenai hal ini ada pada pasal 1874 KUHPerdata, yang berbunyi:
Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum. Jadi berdasarkan pengertian diatas maka akta atau tulisan yang tidak dibuat oleh pegawai umum atau pejabat umum dalam hal ini adalah Notaris ataupun pegawai lain yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan untuk membuatnya maka masuk kedalam jenis Akta dibawah tangan. Terhadap Akta yang dibuat dibawah tangan maka Notaris dapat melakukan 2 hal atas permintaan dari para pembuat Akta yang bersangkutan yaitu melegalisasi atau dapat pula mendaftarkannya sehingga dikenal juga dengan adanya Akta yang dilegalisali dan Akta yang 35
Pasal 1869 KUHPerdata berbunyi : “Suatu akta yang,karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena cacat bentuknya ,tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikisn mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak”. 36 R.Subekti, Hukum Pembuktian,cet.15,(Jakarta: Pradnya Paramit,2005),hal.25.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
didaftarkan (atau dikenal dengan Warmeking). Hal ini biasanya dilakukan oleh para pembuat Akta untuk memperkuat pembuktian Akta yang dibuatnya. Melegalisasi Akta berarti bahwa Akta tersebut diberi nomor dan disimpan oleh Notaris sedangkan memwarmerking Akta berarti mendaftarkan Akta yang bersangkutan di Kantor Notaris dengan tujuan bila sewaktu-waktu Akta tersebut hilang maka dapat dicari di Kantor Notaris
2. Akta Otentik. Pengertian akta otentik ada dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,yaitu: Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang oleh ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta tersebut dibuat.
Dari pengertian pasal diatas maka pada dasarnya ada 2 (dua) syarat suatu akta dapat disebut sebagai akta Notaris,yaitu: 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang Dalam kaitannya dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris maka bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang maksudnya adalah Undang-undang yang mengatur tentang Notaris yaitu UUJN, dimana dalam pasal 38 diatur mengenai bentuk dari Akta Notaris yang merupakan Akta Otentik yaitu terdiri dari awal Akta atau kepala Akta, Badan Akta dan Akhir Akta 2. Dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum Pegawai-pegawai umum maksudnya adalah secara umum yang berhak untuk membuat Akta adalah Notaris kecuali Akta-Akta tertentu berdasarkan undangundang, pembuatannya diserahkan kepada pejabat pemerintah seperti Akta-akta catatan sipil yang dibuat oleh pejabat catatan sipil, Akta lelang dibuat oleh Pejabat lelang. Mengenai Akta yang dibuat oleh Notaris, terdapat perbedaan antara Akta yang dibuat oleh Notaris dengan Akta yang dibuat dihadapan Notaris, keduanya menghasilkan jenis Akta yang berbeda.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
i. Akta yang dibuat oleh Notaris ( Akta Relaas) Disebut juga dengan berita acara yang berisi mengenai uraian Notaris yang dituang dalam bentuk Akta atas permintaan para pihak berdasarkan dari apa yang telah dilihat dan disaksikan oleh Notaris ii. Akta yang dibuat dihadapan Notaris ( Akta Partij ) Disebut juga sebagai Akta para pihak, dimana dalam Akta ini Notaris menuangkan kehendak atau keinginan berupa keterangan-keterangan dari para pihak yang menghadap sendiri atau dengan kuasa ke dalam Akta Notaris
3. Ditempat dimana Akta tersebut dibuat Tempat Akta Notaris dibuat adalah berdasarkan tempat kedudukan Notaris, yang berdasarkan pasal 18 ayat (1) UUJN adalah di daerah Kabupaten atau Kota sedangkan wilayah jabatannya berdasarkan pasal 18 ayat (2) UUJN adalah seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya.
2.3.1.3
Kekuatan pembuktian Akta dan akibat Hukum dari Akta yang dibuat oleh Notaris
Dalam HIR Akta Notaris yang merupakan Akta Otentik dapat dilihat pengertiannya dalam Pasal165 HIR, yang berbunyi:
Surat (akta) yang syah adalah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya,menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahnya, dalam hal terahir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat itu.
Sedangkan dalam KUHAP, pengertian mengenai akta otentik tersirat dalam pasal 187 yaitu,”surat yang dapat menjadi alat bukti dalm persidangan adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Dengan Kata lain surat sebagaimana yang disebutkan adalah akta otentik”.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Berdasarkan kedua pengertian tentang Akta Otentik diatas maka dapat diketahui bahwa fungsi dari dibuatnya Akta Otentik adalah sebagai alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian suatu hal atau kasus. Alat bukti adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dapat dipergunakan
sebagai
pembuktian.37
Sedangkan
pengertian
mengenai
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.38 Jadi berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa Akta Notaris merupakan alat bukti yang dipergunakan dalam hal pembuktian. Akta Notaris yang merupakan Akta Otentik sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang istimewa dibandingkan dengan akta-akta lainnya yang bukan akta otentik seperti akta dibawah tangan baik yang telah dilegalisasi oleh notaris maupun akta dibawah tangan yang telah didaftarkan (akta Warmerking). Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari akta otentik adalah bahwa akta otentik dinilai sebagai alat bukti yang sempurna sebagaimana yang diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata39 dan pasal 165 HIR. Sebagai alat bukti yang sempurna maka akta otentik tidak memerlukan alat bukti lainnya dalam hal pembuktian di dalam persidangan. Akta otentik juga mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim,artinya bahwa apa yang tertulis dalam akta otentik tersebut yang diajukan kepada hakim sebagai alat bukti harus dipercayai oleh hakim. Isi akta dipercaya oleh hakim artinya bahwa akta itu harus dianggap benar sepanjang kebenarannya tersebut tidak dibuktikan oleh lawan sebagai hal yang tidak benar. Oleh karena akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna dan mengikat , hakim tidak bebas lagi untuk menilai dan terikat pada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara.
37
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal.121. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, Cet.1, (Jakarta: Pustaka Kartini,1986),hal.793. 39 Pasal 1870 KUHPerdata berbunyi: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris –ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”. 38
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Kekuatan pembuktian akta otentik dapat dilihat dari 3 (tiga) hal, yaitu: 1.Kekuatan pembuktian lahir yaitu kekuatan pembuktian yang didasari atas keadaan lahir dari suatu akta otentik, apa yang tampak pada lahirnya yaitu bahwa surat yang tampak lahir seperti akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang maka akta tersebut berlaku dan dianggap sebagai akta otentik sampai ada pihak yang membuktikan sebalikanya. 2.
Kekuatan pembuktian formil akta otentik Secara formil akta otentik membuktikan kebenarannya bahwa dirinya adalah akta otentik. Dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak; Itulah kehendak pihak-pihak yang dinyatakan dalam akta itu oleh atau dihadapan Pejabat yang berwenang dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formil akta otentik menjamin kebenaran : - tanggal; - tanda tangan; - paraf; - komparan; - tempat akta dibuat; Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta otentik membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat,didengar dan dilakukan oleh pejabat. Dalam akta pejabat tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak maka pejabatlah yang menerangkan,dan keterangan pejabat tersebut sudah merupakan kepastian bagi setiap orang.Sedangkan dalam akta para pihak bagi siapapun telah mengakui kebenaranya bahwa pihakpihak dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum diatas tanda tangan mereka.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
3. Kekuatan pembuktian materiil akta otentik Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian materiil adalah keterangan-keterangan atau isi dari akta tersebut adalah benar dan mengikat para pihak yang bersangkutan dan pihak ketiga yang berkaitan dengan akta tersebut. Bahwa secara hukum (yuridis) isi dari akta itu telah membuktikan keberadaannya sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang membuat atau menyuruh membuat akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (termasuk ahli warisnya atau orang lain yang mendapathak darinya); Inilah yang dinamakan sebagai “Preuve Preconstitue” artinya : akta itu benar mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal 1870,1871 dan 1875 KUH Perdata. Ketiga bentuk kekuatan pembuktian diatas adalah kekuatan pembuktian akta otentik keluar artinya bahwa juga mengikat terhadap pihak ketiga yang berkaitan dengan akta tersebut.
2.3.2. Pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris 2.3.2.1 Tujuan Pengawasan Notaris merupakan profesi yang memberikan jasa pada masyarakat dalam pembuatan Akta Otentik, dimana Akta tersebut mempunyai peranan penting dalam
setiap
hubungan
hukum
dalam
kehidupan
masyarakat,sehingga
keberadaannya sangat dibutuhkan. Berdasarkan hal tersebut maka peranan Notaris dalam pembuatan Akta Otentik sangatlah penting sehingga secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh dalam lalu lintas kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan pentingnya peranan dan kewenangan Notaris tersebut maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya rentan dengan penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diadakan, sehingga Notaris dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya dengan sebaik-baiknya. Selain itu dengan adanya pengawasan maka Notaris dalam pelaksanaan jabatannya akan selalu sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan terutama
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
adalah UUJN yang merupakan pengaturan dalam
pelaksanaan Jabatannya.
Dengan dilakukannya pengawasan tersebut maka UUJN dan peraturan lainnya yang merupakan ukuran pelaksanaan jabatan Notaris akan dapat dipatuhi dan dilaksanakan karena jika terjadi pelanggaran maka Majelis Pengawas Notaris dapat menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang bersangkutan
2.3.2.4 Majelis
Pengawas
Notaris
sebagai
pihak
yang
melakukan
pengawasan Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,disebutkan bahwa Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Pengertian mengenai tugas pengawasan diatur dalam Pasal 1 angka 4 yaitu kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Dari pengertian pengawasan diatas maka dapat diketahui bahwa kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris ada 3 (tiga) macam yaitu pengawasan secara preventif, pengawasan secara kuratif dan pembinaan. Ketiga kegiatan pengawasan tersebut memperlihatkan bahwa tugas pengawasan yang dilakukan oleh majelis pengawas Notaris adalah menyeluruh, hal ini dilakukan karena sesungguhnya Majelis Pengawas tidak hanya mengawasi tugas Notaris agar sesuai dengan UUJN akan tetapi sesungguhnya juga agar sesuai dengan Kode Etik Notaris. Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UUJN adalah dilakukan oleh Menteri yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun dalam pelaksanaanya Menteri membentuk Majelis Pengawasan sebagai pelaksana tugas menteri di bidang pengawasan Notaris. Majelis Pengawas Notaris tersebut berdasarkan pasal 67 ayat (3) UUJN menentukan Majelis Pengawas tersebut terdiri dari 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang dan ahli/akademik sebanyak 3 (tiga) orang.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Ketiga unsur ini dipilih sebagian perwakilan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan tugas Notaris, unsur pemerintah diambil karena Notaris merupakan pejabat umum yang pengangkatannya dilakukan oleh pemerintah, unsur Notaris diambil karena yang diawasi adalah Notaris sehingga wakil dari unsur Notaris akan mengetahui seluk beluk pekerjaan Notaris dan unsur akademisi diambil dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan dunia akademis sehingga selalu sejalan dengan pelaksanaan tugas Notaris. Mengenai pengangkatannya maka berdasarkan Peraturan Pemerintah. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masingmasing yaitu40 : 1. Majelis
Pengawas
baik
Daerah,
Wilayah
ataupun
Pusat
dengan
kewenangannya melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik dan perilaku Notaris. 2. Tim Pemeriksa dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. 3. Majelis Pemeriksa baik daerah, wilayah maupun Pusat dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris.
2.3.2.5 Kewenangan dan tugas Majelis Pengawas Notaris Majelis Pengawas Notaris mempunyai jenjang tingkatan, dimana tingkatan ini berkaitan
dengan
kewenangan
tugasnya
untuk
melakukan
pengawasan,
pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Ada 3 (tiga) tingkatan atau jenjang dalam Majelis Pengawas Notaris yang tugas dan kewenangannya diatur dalam UUJN yaitu Pasal 67 sampai dengan pasal 80 dan peraturan pelaksanaanya yaitu Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:M.39-PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi 40
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Cet.1. (Bandung: Refika Adhitama,2008),hal.148
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Manusia Republik Indonesia Nomor; M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Tiga jenjang atau tingkatan dalam Majelis Notaris adalah:
1. Majelis Pengawas Daerah (MPD) Majelis Pengawas Daerah Notaris untuk selanjutnya disebut sebagai MPD sebagaimana yang diatur dalam pasal 69 UUJN adalah Pengawas Notaris yang dibentuk di Kabupaten atau kota dan mempunyai tempat kedudukan sekretariat Majelis Pengawas Notaris di kantor unit pelaksana teknis Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau tempat lain di ibukota kabupaten/kota yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah. MPD mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UUJN yaitu: 1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; 2.
melakukan pemeriksaan terhadap protokol Notaris secara berkala 1(satu) kali dalam 1(satu) tahun atau setiap waktu yang diangap perlu;
3. memberikan cuti untuk waktu sampai dengan 6(enam) bulan; 4. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul dari Notaris yang bersangkutan; 5. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (duapuluh lima) tahun atau lebih; 6. menunjuk Notaris yang bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (4); 7. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam ketentuan UndangUndang Jabatan Notaris; 8. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud diatas kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
MPD selain mempunyai wewenang disatu sisi ada juga kewajiban di sisi lain yang harus dijalankan sebagaimana yang diatur dalam pasal 71 UUJN,yaitu; 1. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat dibawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan berakhir. 2. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat; 3. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan; 4. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lainnya dari Notaris dan merahasiakannya; 5. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas wilayah dalam waktu 30 (tigapuluh) hari dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris; 6. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Selain yang diatur dalam UUJN kewenangan MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota Organisasi, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kewenangan MPD diatur dalam beberapa pasal,yaitu: pasal 13 dan pasal 14. Dalam Pasal 13 menyebutkan bahwa kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua, wakil ketua atau salah satu anggotanya yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD,yaitu mengenai: a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; b. Menetapkan Notaris Pengganti;
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (duapuluh lima) tahun atau lebih; d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang; e. Memberikan paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat dibawah tangan yang dibukukukan dan daftar surat lainnya yang diwajibkan oleh Undang-undang; f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan dan daftar surat dibawah tangan yang dibukukan yang telah disahkan yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal dan judul akta.
Sedangkan dalam Pasal 14 disebutkan bahwa ada kewenangan MPD yang bersifat administratif akan tetapi kewenangan ini memerlukan Keputusan Rapat yaitu: a. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai Pemegang Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat Negara; b. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang protokol Notaris meninggal dunia; c. Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk proses peradilan; d. Menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/ atau surat-saurat yang dilekatkan pada minuta Akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; e. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Sedangkan dalam Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 pada pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN dan Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Nomor M.02.PR.08.10 Tahun
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
2004. Dan dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa selain kewenangan yang disebutkan pada angka 1 MPD juga berwenang: 1) Menyampaikan
kepada Majelis Pengawas Wilayah tanggapan Majelis
Pengawas Daerah berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti; 2) Memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh Majelis Pemeriksaan daerah atas laporan yang disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah; 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti; 4) Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dan Buku Khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat dibawah tangan dan untuk membukukan surat dibawah tangan ; 5) Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol; 6) Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah : a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan Januari; b. Laporan insidentil setiap 15 (lima Belas) hari setelah pemberian izin cuti Notaris.
2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Majelis Pengawas Notaris untuk selanjutnya disebut sebagai MPW yang berdasarkan pasal 72 UUJN merupakam pengawas Notaris yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota propinsi. MPW dalam menjalankan tugasnya mempunyai kewenangan sebagaimana yang diatur dalam pasal 73 yaitu: 1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalaui Majelis Pengawas Wilayah; 2.
memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud angka 1 (satu) diatas;
3.
memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
4.
memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
5.
memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
6.
mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa: 1. pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau 2. pemberhentian dengan tidak hormat.
7. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana yang dimaksud pada nomor 5 dan nomor 6 diatas.
MPW dalam menjalankan tugasnya selain mempunyai kewenangan juga mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 75 UUJN, yaitu: 1. menyampaikan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 73, yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas wilayah, pemberian dan penolakan cuti serta pemberian sanksi. 2. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. Sebagaimana MPD kewenangan MPW selain diatur dalam UUJN juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota Organisasi, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kewenangan MPD diatur dalam pasal 26,yaitu: 1) Majelis Pengawas wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksaan Daerah. 2) Majelis Pengawas Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
3) Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari kalender sejak diterima berkas. Sedangkan dalam Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 pada pasal 2 angka 1 disebutkan bahwa MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 85 UUJN dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dan dalam Pasal 2 angka 2 disebutkan bahwa selain kewenangan yang disebutkan pada angka 1 MPW juga berwenang: 1) Mengusulkan
kepada
Majelis
Pengawas
Pusat
pemberian
sanksi
pemberhentian dengan hormat; 2) Memeriksa dan memutus keberatan41 atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah; 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti; 4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya unsur pidana yang diberitahukan kepada oleh pengawas Daerah. Atas laporan tersebut setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat; 5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat,yaitu: a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Pebruari; b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.
3. Majelis Pengawas Pusat (MPP) Majelis Pengawas Pusat untuk selanjutnya disebut dengan MPP merupakan Majelis Pengawas yang dibentuk dan berkedudukan di Ibu Kota Negara yaitu 41
Yang dimaksud dengan keberatan disini dapat dipersamakan dengan Banding sebagaimana yang disebut dalam Pasal 31 (3) yaitu bahwa “penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah dapat diajukan banding kepada Majelis Pengawas Notaris”.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Jakarta, yang berada di Kantor Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. MPP merupakan Majelis Pengawas yang tertinggi yang mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 77, yaitu: 1. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; 2. memanggil Notaris terlapor untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 3. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; 4. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri.
Sebagaimana dengan MPD dan MPW, selain mempunyai kewenangan maka MPP juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam pasal 79 dan pasal 80 UUJN, yaitu: 1. MPP wajib menyampaikan keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan. 2. mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya.
Sebagaimana MPD dan MPW, kewenangan MPP selain diatur dalam UUJN juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota Organisasi, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kewenangan MPP diatur dalam pasal 29, dimana kewenangan tersebut berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yang akan diuraikan pada pembahasan tentang penyelesaian kasus dalam Majelis Pengawas dibawah.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Sedangkan dalam Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 pada pasal 2 angka 1 disebutkan bahwa MPD melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 84 UUJN dan Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dan dalam Pasal 2 angka 2 disebutkan bahwa selain kewenangan yang disebutkan pada angka 1 MPP juga berwenang: 1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat izin cuti dalam sertifikat cuti; 2) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian sementara; 3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat; 4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi, kecuali sanksi berupa teguran lisan dan tertulis; 5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final.
2.3.2.4 Penyelesaian suatu kasus Notaris dalam Majelis Pengawas Notaris Notaris dalam menjalani kehidupannya tidak terlepas dari berbuat kesalahan baik ketika dalam menjalankan profesinya maupun dalam kehidupan sehariharinya, kesalahan tersebut berkaitan dengan pelanggaran terhadap peraturan jabatan baik yang terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris maupun terdapat dalam Kode Etik Notaris. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa ada Majelis Pengawas yang tujuannya untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan Notaris seharihari baik yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya maupun perilakunya dalam masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 67 ayat (5) UUJN. Jadi berdasarkan Pasal tersebut maka apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan profesinya maupun dari perilakunya sehari-hari maka pihak yang merasa dirugikan terutama masyarakat yang ada kaitannya langsung dengan Notaris yang bersangkutan dapat melaporkan kepada Majelis Pengawas.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, diatur mengenai pengajuan laporan yaitu: 1) Laporan dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan. 2) Laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. 3) Laporan tentang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah. 4) Laporan masyarakat selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan juga kepada Majelis Pengawas Wilayah. 5) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah, maka Majelis Pengawas Wilayah meneruskan kepada Majelis Pengawas Daerah. 6) Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) disampaikan kepada
Majelis
Pengawas
Pusat,
maka
Majelis
Pengawas
Pusat
meneruskannya kepada Majelis Pengawas Daerah yang berwenang. Jadi berdasarkan Pasal diatas maka laporan itu pada umumnya ditujukan kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris. Setelah ada laporan yang masuk kepada Majelis Pengawas maka selanjutnya akan dilakukan pemanggilan terhadap pihakpihak yang bersangkutan dengan laporan. Mengenai pemanggilan diatur dalam pasal 22 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,yaitu: 1) Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan terlapor. 2) Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang. 3) Dalam keadaan mendesak pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui faximili yang segera disusul dengan surat pemanggilan. 4) Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan Patut, tetapi tidak hadir maka dilakukan pemanggilan kedua.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
5) Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut yang kedua kalinya namun tetap tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran Terlapor. 6) Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.
Setelah selesai dilakukan pemanggilan maka tahap selanjutnya adalah pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa. Dalam kaitan laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris dan pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris maka pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Pemeriksa Daerah Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 23 diatur: 1) Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa daerah tertutup untuk umum. 2) Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima. 3) Majelis Pemeriksa Daerah harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima. 4) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris . 5) Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada Majelis Pengawas Wilayah ditembuskan kepada pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Pusat dan Pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia. Sedangkan dalam pasal 24 diatur mengenai: 1) Pada sidang pertama yang ditentukan, Pelapor dan Terlapor hadir, lalu Majelis Pemeriksa Daerah melakukan pemeriksaan dengan membaca laporan dan mendengar keterangan Pelapor. 2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlapor diberi kesempatan yang cukup untuk menyampaikan tanggapan. 3) Pelapor dan terlapor dapat mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dalil yang diajukan.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
4) Laporan diperiksa oleh Majelis Pemeriksa Daerah dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.
Selain Pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris, pemeriksaan juga dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris dalam hal adanya laporan yang masuk yang tidak berkaitan tentang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. Selain itu juga Majelis Pengawas Wilayah Notaris juga berhak untuk memeriksa dan memutuskan hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah. Mengenai Pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris diatur dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 25 diatur mengenai aturan umum pemeriksaan yaitu: 1) Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah tertutup untuk umum. 2) Putusan diucapakan dalam sidang yang bersifat terbuka untuk umum. 3) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara sesama Majelis Pemeriksa Wilayah, maka perbedaan tersebut dimuat dalam putusan.
Sedangkan dalam Pasal 26 diatur mengenai aturan jalannya pemeriksaan yaitu: 1) Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah. 2) Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima. 3) Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.
Dan dalam Pasal 27 diatur hal yang berkaitan dengan putusan dari pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris, yaitu:
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
1) Putusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (4) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. 2) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Ketua, Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Wilayah. 3) Dalam hal Laporan tidak dapat dibuktikan, maka Majelis Pemeriksa Wilayah mengucapkan putusan yang menyatakan laporan ditolak dan terlapor direhabilitasi nama baiknya. 4) Dalam hal laporan dapat dibuktikan, maka terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. 5) Salinan putusan Majelis Pemeriksa Wilayah disampaikan kepada Menteri, Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 30 ( tigapuluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.
Dalam hal telah keluar Putusan dari Majelis Pengawas Wilayah Notaris, pihak – pihak yang merasa tidak terima akan putusan tersebut maka dapat melakukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat Notaris, mengenai tata cara pemeriksaannya diatur dalam Pasal 28, Pasal 27 dan Pasal 30 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 28 diatur mengenai aturan umum Pemeriksaan dalam Majelis Pengawas Pusat Notaris,yaitu: 1) Pemeriksaan dan pembacaan putusan dilakukan dalam sidang yang tebuka untuk umum. 2) Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara sesama Majelis Pemeriksa Pusat, maka perbedaan pendapat tersebut dimuat dalam putusan.
Dan dalam Pasal 29 dan Pasal 30 diatur mengenai aturan dalam pemeriksaan dan putusan yang dikeluarkan. Pasal 29 berisi: 1) Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
2) Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima. 3) Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 ( tigapuluh) hari kalender sejak berkas diterima. 5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. 6) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditanda tangani oleh Ketua, Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat. 7) Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan. Sedangkan dalam Pasal 30 diatur: 1) Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap cukup beralasan oleh Majelis Pemeriksa Pusat, maka Putusan Majelis Pengawas Wilayah dibatalkan. 2) Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap tidak beralasan oleh Majelis Pemeriksa Pusat, maka putusan Majelis Pengawas Wilayah dikuatkan. 3) Majelis Pemeriksa Pusat dapat mengambil putusan sendiri berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan
2.3.2.6
Jenis – Jenis Sanksi yang dapat dikeluarkan oleh Majelis Pemeriksaan.
Terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Pemeriksa, yang dalam hal ini Majelis Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat memutuskan Terlapor terbukti melakukan pelanggaran maka Terlapor akan dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. yang dapat berupa : 1) Teguran Lisan; 2) Teguran Tertulis; 3) Pemberhentian sementara; 4) Pemberhentian dengan hormat; 5) Pemberhentian dengan tidak hormat.
Sedangkan apabila Majelis Pemeriksa Notaris dalam pemeriksaannya menemukan adanya dugaan unsur pidana yang dilakukan oleh pihak terlapor, maka Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas dan oleh Majelis Pengawas wajib diteruskan untuk dilaporkan kepada pihak yag berwenang manangani masalah Pidana. Bila dikaitkan dengan UUJN, maka sanksi-sanksi tersebut diatas dikenakan kepada Notaris yang melakukan pelanggaran pasal-pasal dalam UUJN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 85 UUJN, yaitu mengenai: 1. Berkaitan dengan pengambilan sumpah dari Notaris, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, maka Notaris wajib menjalankan jabatannya dengan nyata, menyampaikan berita acara sumpah /janji jabatan Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Organisasi Notaris yang dalam ini adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan majelis Pengawas daerah Notaris serta Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf serta tera-an cap/ stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria/ pertananahan, organisasi Notaris, ketua pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah , serta bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat. 2. kewajiban untuk Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1),yaitu
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
1) Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. 2) Membuat akata dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris. 3) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, Atau kutipan Akta berdasarkan minuta Akta 4) Memberikan pelayanan sesuai dengan UUJN kecuali ada alasan untuk menolak. 5) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangannya yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. 6) Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima Puluh) akta dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. 7) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga. 8) Mengirimkan daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulannya. 9) Mengirimkan daftar akta wasiat atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. 10) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. 11) Mempunyai cap/stempel
yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarnya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
3. Melanggar larangan Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 UUJN. 4. Ketentuan
mengenai
Notaris
menjalankan
jabatannya
dalam
bentuk
perserikatan perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUJN. 5. Ketentuan mengenai cuti Notaris sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 UUJN. 6. Ketentuan mengenai penyerahan protokol Notaris dalam hal Notaris cuti sebagaimana yang diatur dalam pasal 32 UUJN. 7. Pemberian jasa hukum kenotariatan secara Cuma-Cuma kepada pihak yang tidak mampu. 8. ketentuan mengenai grosse akta, Salinan Akta dan kutipan Akta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 UUJN. 9. ketentuan mengenai pembuatan, penyimpanan dan penyerahan protokol Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 63 UUJN. Sanksi- sanksi diatas dapat dikatakan sebagai sanksi administratif yang dikenakan kepada Notaris, kewenangan penjatuhan sanksi tersebut ada pada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat Notaris kecuali dalam hal sanksi pemberhentian tidak hormat, Majelis Pengawas Pusat hanya berwenang memberikan usulan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sedangkan hak untuk memutuskan ada pada Menteri.
2.3.3.
Hubungan Hukum yang timbul antara Notaris dengan klien Notaris dalam rangka menjalankan profesinya sebagai Pejabat Umum
2.3.3.1
Berdasarkan Undang-undang
nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris Dalam UUJN hubungan hukum antara Notaris dengan penghadap sebagai klien Notaris tidak tergambar dengan jelas, hanya sedikit pasal yang menyinggung mengenai hubungannya dengan penghadap sebagai penghadap. Pasal yang mengatur mengenai
adanya hubungan antara klien Notaris dengan Notaris
hanyalah pasal yang mengatur hak klien untuk melakukan gugatan kepada Notaris.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Gugatan ini berkaitan dengan sanksi Perdata yang dapat dijatuhkan kepada Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 84 UUJN. Sanksi perdata yang dapat dijatuhkan tersebut dapat berupa pembayaran biaya, ganti rugi dan bunga kepada Klien Notaris. Hal tersebut terjadi karena adanya kesalahan Notaris berkaitan dengan pembuatan akta. Berdasarkan hal tersebut sebenarnya hubungan antara Notaris dengan klien tidak dapat tergambar dengan jelas, hanya terlihat bahwa klien berhak melakukan gugatan apabila dirugikan berkaitan dengan akta yang dibuat Notaris.
2.3.3.2 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Mengingat Notaris memberikan jasa kepada klien Notaris atau Penghadap dalam pembuatan Akta yaitu jasa untuk membuat Akta, maka hubungan antara Notaris dengan kliennya dapat juga dilihat dari Aspek Hukum Perlindungan konsumen yang terangkum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang untuk selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut dengan UUPK, dimana Notaris dan klien Notaris sebagai pihak yang harus dilindungi oleh hukum karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan atau pengayoman kepada masyarakat42 UUPK menempatkan Notaris adalah sebagai pihak pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pihak yang memberikan jasa dalam pembuatan Akta sesuai dengan kewenangannya sedangkan klien Notaris ditempatkan sebagai konsumen yang dalam hal ini adalah pengguna jasa Notaris. Sebagai pelaku usaha dan konsumen maka masing-masing pihak mempunyai Hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing. Sehingga apabila dikaitkan dengan UUPK maka tergambar dengan jelas hubungan hukum antara Notaris dengan Klien Notaris. Berkaitan dengan hak dan kewajiban
yang dipunyai oleh Notaris sebagai
pelaku Usaha dan klien Notaris sebagai konsumen atas jasa Notaris maka UUPK mengatur sebagai berikut: 1.Hak Klien Notaris sebagai konsumen, berdasarkan UUPK43 adalah: 42
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,cet.2.(Jakarta: Grasindo,2004),hal .11. Indonesia b, Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8, LN. No.42 tahun 1999, TLN. No.382,ps.4. 43
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
a. Hak atas kenyaman dalam menggunakan jasa Notaris; b. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa Notaris
yang
digunakan (dalam arti adalah Akta yang dibuat oleh Notaris); c. Hak untuk memperoleh advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; d. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; e. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hal ini sejalan dengan Pasal 84 UUJN yang mengatur bahwa apabila Notaris melakukan pelanggaran dari pasal-pasal UUJN
yang
disebutkan maka bisa di gugat untuk melakukan pembayaran biaya, ganti rugi dan bunga kepada klien yang dirugikan. 2.Kewajiban Klien Notaris sebagai konsumen berdasarkan UUPK44 adalah: a. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian jasa dalam hal ini maksudnya adalah dalam hal pembuatan Akta; b. Membayar biaya pembuatan Akta sesuai dengan kesepakatan; 3.Hak Notaris sebagai pelaku usaha berdasarkan UUPK 45adalah: a. Hak untuk menerima pembayaran dari jasa yang diberikan yaitu pembuatan akta sesuai dengan kesepakatan; b.Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan klien Notaris sebagai konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum apabila tejadi sengketa atau gugatan dari klien; d.Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian yang dialami klien tidak diakibatkan dari akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan; 4. Kewajiban Notaris sebagai pelaku usaha berdasarkan Pasal UUPK46 adalah: a. Beritikad baik dalam menjalankan usahanya;
44
Ibid.,ps.5. Ibid,ps.6. 46 Ibid.,ps.7. 45
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
b.Memberikan informasi yang benar mengenai akta yang dibuat olehnya sebagai Notaris termasuk apabila ada akibat hukum yang mungkin tehadap akta yang akan dibuat; c. Memperlakukan atau melayani klien secara benar dan tidak dikriminasi; d.Menjamin Akta yang dibuatnya telah sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga Otentisitasnya dapat terjamin; e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila Akta yang dibuat karena kesalahan Notaris berubah kekuatan pembuktiannya menjadi Akta dibawah Tangan. Dari uraian dan ketentuan dari pasal-pasal UUPK tersebut diatas, maka dapat dillihat
hubungan hukum antara Notaris dengan
Klien Notaris sebagai
hubungan antara penyedia jasa atau disebut juga dengan pelaku usaha, dengan klien selaku pengguna jasa yang disebut sebagai konsumen. Jadi apabila tejadi kerugian baik Notaris maupun klien Notaris dapat melakukan gugatan selain berdasarkan UUJN juga dapat berdasarkan UUPK, hal tersebut akan menguntungkan bagi kedua belah pihak karena dalam UUPK diuraikan dengan jelas apa yang menjadi hak dan kewajibanya sehingga setiap pihak sudah mengerti apa yang yang harus dilaksanakan dan dipenuhinya dalam kapasitasnya masing-masing. Dengan adanya asuransi maka bila ada risiko tuntutan berdasarkan UUPK ini maka dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi. Selain itu hak konsumen untuk memperoleh kompensasi ataupun gati rugi dapat terpenuhi tanpa harus mengubah posisi keuangan Notaris.
2.3.4 Kelalaian dan kesalahan Notaris serta akibat hukumnya dalam menjalankan profesinya sebagai Pejabat Umum 2.3.4.1 Kelalaian dan kesalahan yang dapat dilakukan oleh Notaris
dalam
pembuatan Akta Di dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris tidak lepas dari kelalaian dan kesalahan, hal tersebut berkaitan dengan tugas pokoknya yaitu pembuatan Akta Otentik. Agar sebuah Akta dapat dikatakan Otentik maka harus memenuhi
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
beberapa syarat formal sebagaimana yang dikemukakan oleh Irawan Soerodjo,ada 3 (tiga) hal, yaitu47: 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Syarat tersebut diatas
sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1868
KUHPerdata, yang merupakan dasar dari pembentukan Akta Otentik. Dalam kaitannya dengan Akta yang dibuat oleh Notaris maka untuk dapat dikatakan sebagai Akta Otentik selain harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata juga harus memenuhi ketentuan dalam UUJN, dimana bila dilanggar akan menyebabkan Akta yang dibuat oleh Notaris tidak Otentik. Apabila Akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak otentik, karena Notaris melakukan kesalahan atau pelanggaran tertentu atau kelalaian, maka akibatnya Akta yang dibuat oleh Notaris tersebut akan terdegradasi nilai kekuatan pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatatan pembuktian sebagai Akta dibawah tangan atau dapat pula terjadi Akta yang dibuat Notaris tersebut menjadi batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata suatu akta dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan apabila dibuat oleh pihak yang tidak cakap atau tidak berwenang atau ada cacat dalam bentuknya. Bila dikaitkan dengan Akta yang dibuat oleh Notaris maka Akta mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan apabila dibuat oleh Notaris yang tidak berwenang membuatnya, kewenangan tersebut berhubungan dengan peraturan dalam UUJN seperti Notaris hanya berwenang membuat Akta di dalam wilayah jabatannya, Notaris tidak boleh membuat Akta selama masa cuti dan sebagainya. Mengenai cacat bentuknya bila dikaitkan dengan UUJN, Akta mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan apabila melanggar: 1. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I yaitu keharusan membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. 47
Irawan soerojo, Kepastian Hukum Hak atas Tanah Di Indonesia, ( Surabaya:Arkola,2003), hal. 148.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
2. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) yaitu bila penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membacanya sendiri, mengetahui dan memahami isinya, maka Notaris harus menyatakan hal tersebut dalam penutup Akta dan pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. 3. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40,yaitu melanggar ketentuan: 1) Pasal 39 yang mengatur mengenai: i. Syarat penghadap yaitu, harus paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan juga harus cakap melakukan perbuatan hukum. ii. Pengenalan penghadap yaitu, harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah 2) Pasal 40 yang mengatur mengenai saksi dalam pembuatan Akta,yaitu bahwa setiap Akta yang dibacakan oleh Notaris harus dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan saksi tersebut harus memenuhi syaratsyarat yang diatur dalam UUJN yaitu paling sedikit telah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf dan tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. Saksi harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitasnya dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta. 4. Ketentuan
yang
terdapat
dalam
Pasal
52
yaitu
mengenai
tidak
diperkenankannya seorang Notaris untuk membuat Akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
keturunan lurus ke bawah dan/ atau ke atas tanpa pembatasan derajat serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak diri sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Selain Akta dapat terdegradasi menjadi Akta yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan, Akta yang dibuat oleh Notaris juga dapat batal demi hukum. Bila dilihat dari Pasal 84 UUJN yang mengatur tentang sanksi perdata yang dapat dijatuhkan kepada Notaris karena pelanggaran-pelanggaran pada pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang dapat mengakibatkan suatu Akta menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan atau suatu Akta menjadi batal demi hukum, ada pasal-pasal yang dengan tegas menyebutkan bila dilanggar akan menyebabkan Akta mempunyai
kekuatan pembuktian dibawah tangan
sebagaimana yang telah diuraikan diatas namun ada pula pasal yang tidak menyebutkan mengenai akibatnya bila dilanggar. Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditafsirkan bahwa pasal yang tidak menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap pasal yang disebutkan dalam pasal 84 UUJN akan menyebabkan Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan berarti pelanggaran terhadap pasal tersebut akan menyebabkan Akta tersebut batal demi hukum. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris dapat batal demi hukum karena : 1. Melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN, yaitu kewajiban untuk mengirimkan daftar akta wasiat yang dibuatnya atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. 2. Melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf k UUJN, yaitu kewajiban untuk mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan. 3. Melanggar ketentuan pasal 44 UUJN ,yaitu kewajiban untuk segera menandatangani Akta oleh para penghadap, saksi dan Notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dengan
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
menyebutkan alasan dengan tegas di dalam Akta , setelah Akta dibacakan oleh Notaris. Setelah itu maka Akta tersebut di tanda tangani oleh para penghadap, saksi dan Notaris. 4. Melanggar ketentuan Pasal 48 UUJN,yaitu ketentuan yang melarang bahwa isi Akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Perubahan atas Akta berupa penambahan, penggantian atau pencoretan dalam Akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan Notaris. 5. Melanggar ketentuan dalam Pasal 49 UUJN,yaitu ketentuan yang mengatur mengenai perubahan atas Akta dibuat disisi kiri Akta ,apabila perubahan tersebut tidak dapat dibuat pada sisi kiri Akta maka perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta sebelum penutup Akta dengan menunjuk bagian yang dirubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. 6. Melanggar ketentuan Pasal 50 UUJN yaitu ketentuan yang mengatur mengenai pencoretan,dimana apabila dalam Akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka hal tersebut dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula dan jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi Akta. Pencoretan tersebut sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan Notaris serta pada penutup setiap Akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan. 7. Melanggar ketentuan Pasal 51 UUJN, yaitu yang mengatur bahwa Notairs berhak membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan ketik yang terdapat dalam Minuta Akta yang telah ditanda tangani, pembetulan tersebut dilakukan dengan memuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta Asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan dan salinan Akta berita acara pembetulan wajib disampaikan kepada para pihak.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas yang menyebabkan suatu Akta terdegradasi sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan maupun akta dapat batal demi hukum,dapat dijadikan alasan bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut Notaris yang bersangkutan dituntut sanksi perdata sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN yaitu berupa biaya, ganti rugi dan bunga.
2.3.4.2 Kerugian yang dapat terjadi pada klien Notaris sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan Notaris dalam membuat Akta Kelalaian dan kesalahan Notaris dalam membuat Akta yang dapat menyebabkan Akta yang dibuatnya terdegradasi menjadi Akta yang mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan atau Akta yang dapat batal demi hukum akan sangat merugikan klien notaris karena tujuan dari masyarakat datang ke Notaris adalah untuk menuangkan keinginannya dengan tujuan dapat digunakan sebagai alat bukti ke dalam Akta otentik. Bila dilihat dari tujuan awal masyarakat membuat Akta adalah untuk menyediakan suatu bukti yang dapat memberi kenyamanan dan kepastian hukum dimana apabila dikemudian hari timbul perselisihan atau tuntutan dari perbuatan hukum yang dilakukannya maka akta dibuat tersebut dapat digunakan untuk membuktikan agar dapat mempertahankan hak dan kewajiban yang dimilikinya. Membuktikan adalah menyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalildalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan48. Jadi dengan dibuatnya Akta maka dapat digunakan untuk meyakinkan hakim tentang hak yang dimilikinya dalam persidangan baik Perdata maupun Pidana. Hal tersebut karena Akta merupakan salah satu jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam suatu persidangan. Menurut Pasal 1866 KUHPerdata atau berdasarkan juga Pasal 164 RIB atau Pasal 283 RDS, alat bukti yang dapat digunakan dalam suatu perkara perdata dapat terdiri dari: 1. Bukti tulisan; 2. Bukti dengan Saksi-saksi; 3. persangkaan- persangkaan 48
R.Subekti, Op.Cit,hal.1.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
4. Pengakuan 5. sumpah Sedangkan dalam perkara pidana yang dapat digunakan sebagai alat-alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 295 RIB adalah: 1. Kesaksian; 2. Surat-surat; 3. Pengakuan; 4. petunjuk-petunjuk. Dari pasal-pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bukti tertulis merupakan sesuatu hal yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan, terutama dalam persidangan perkara perdata bukti tertulis merupakan alat bukti utama, alasan inilah yang menyebabkan masyarakat sangat memerlukan Akta. Masyarakat datang kepada Notaris tujuan utamanya adalah untuk membuat Akta Otentik karena sebagaimana yang telah diuraikan diatas Notaris adalah pihak yang berwenang berdasarkan undang-undang untuk membuat Akta Otentik Akta Otentik dipilih oleh masyarakat karena sebagai Alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1870 KUHPerdata. Dikatakan mempunyai pembuktian sempurna karena sebagai alat bukti tidak memerlukan penambahan pembuktian dari alat bukti lainnya untuk mendukung kebenarannya, karena apa yang tertulis didalam Akta otentik tersebut harus dipercaya oleh hakim dalam arti harus dianggap oleh hakim sebagai benar selama ketidak benarannya tidak dibuktikan, berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan juga bahwa Akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat. Berdasarkan uraian diatas maka apabila terjadi kelalaian atau kesalahan dari Notaris sehingga Akta yang dibuatnya terdegradasi kekuatan pembuktianya menjadi hanya seperti Akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum maka klien Notaris yang tujuan utamanya adalah membuat Akta otentik yang akan digunakan sebagai bukti akan sangat dirugikan karena apabila dikemudian hari terjadi perselisihan yang menuntut untuk diselesaikan di pengadilan maka tidak dapat menggunakan Akta Otentik sebagai alat bukti, karena sebagai Alat
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
bukti Akta dibawah tangan memerlukan alat bukti lainya sebagai penambah pembuktian. Sedangkan apabila akta menjadi batal demi hukum maka klien Notaris akan sangat dirugikan karena bila ternyata ada perselisihan yang membutuhkan dengan segera bukti dalam bentuk Akta Otentik, maka yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan bukti sama sekali karena Akta yang dibuatnya batal demi hukum .Akibat yang sangat merugikan adalah Klien tersebut akan kehilangan haknya karena tidak dapat membuktikan apa yang menjadi miliknya karena Akta yang digunakan sebagai bukti batal demi hukum yang berarti bahwa Akta tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah dibuat.
2.3.4.3 Penyelesaian kasus di luar Majelis Pengawas Notaris Penyelesaian kasus dalam Majelis Pengawas Notaris berarti penyelesaian kasus mengikuti prosedur yang diatur dalam UUJN. Sebagaimana yang diuraikan diatas maka dapat diketahui bahwa hasil dari penyelesaian kasus dalam majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris yang telah diputuskan bersalah adalah Sanksi Administratif sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 85 UUJN. Namun dalam prakteknya kadangkala kerugian yang diderita oleh klien Notaris sedemikian besarnya, sehingga laporan terhadap Majelis Pengawas juga tidak cukup karena Majelis Pengawas tidak dapat memberikan sanksi diluar sanksi administratif, kalaupun ada yang berkaitan dengan masalah perdata maupun pidana, Majelis Pengawas Notaris hanya dapat merekomendasikan dan meneruskan kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diselesaikan. Berkaitan dengan kerugian materi yang diderita oleh klien Notaris atau pihak lain yang berkaitan dengan Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris maka dapat diajukan gugatan secara perdata untuk dapat mengajukan tuntutan ganti rugi, biaya dan denda.Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 84 UUJN dimana bila Notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan Akta sehingga Akta yang dibuat menjadi tidak Otentik atau dapat batal demi hukum sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka pihak yang dirugikan yaitu klien Notaris dapat melakukan gugatan perdata untuk menuntut pengantian biaya, ganti rugi dan bunga. Mekanisme gugatan adalah sebagaimana melakukan gugatan melalui
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
persidangan perdata, namun sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga maka terlebih dahulu dapat dibuktikan bahwa49: 1. Adanya kerugian yang diderita. 2. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran akibat kesalahan dan kelalaian dari Notaris dalam pembuatan Akta terdapat hubungan kausal. 3. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada Notaris yang bersangkutan langsung dalam pembuatan Akta tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas maka pembuktian tersebut diatas dapat dilakukan dengan menghubungkan dengan ketentuan dalam pasal- pasal dalam UUJN yang mengatur tentang teknis pembuatan Akta Otentik dan Pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata yang mengatur tentang syarat berlakunya suatu akta untuk disebut sebagai Akta Otentik. Selain dapat melakukan gugatan secara perdata, maka pihak yang dirugikan baik klien Notaris maupun pihak lain yang mempunyai kepentingan atas dibuatnya Akta otentik tersebut seperti dalam Akta Waris,mnyang berkepentingan terhadap dibuatnya Akta Waris tidak hanya penghadap sebagai Pewaris namun juga para Ahli warisnya, dapat melakukan gugatan secara pidana. Mekanisme guagatan pidana adalah sebagaimana mekanisme yang dilakukan pada umumnya dalam melakukan gugatan pidana. Gugatan secara pidana yang ditujukan kepada Notaris pada umumnya dilakukan bersamaan dengan dilakukannya gugatan perdata atau adapula yang dilakukan karena secara perdata tuntutan yang diajukan tidak dapat dijadikan dasar untuk dijatuhkan sanksi Administratif, atau sanksi perdata sebagaimana yang diharapkan oleh pihak yang menuntut. Tuntutan pidana yang paling umum dilakukan sebagai bentuk pengalihan dari tuntutan perdata yang tidak dapat dijadikan dasar penjatuhan sanksi maka yang dijadikan dasar adalah Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan Akta dengan kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.
49
Habib Adjie, Op Cit,Hal,104.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Gugatan secara pidana yang ditujukan kepada Notaris juga dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Majelis Pengawas Notaris, dimana ketika majelis Pemeriksa Notaris melakukan pemeriksaan terhadap laporan yang masuk dari masyarakat ternyata menemukan dugaan adanya unsur pidana dalam tindakan Notaris yang dilaporkan. Maka berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, Majelis Pemeriksa Notaris memberitahukan kepada Majelis Pengawas Notaris untuk kemudian dilaporkan kepada instansi yang berwenang. Jadi berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengajuan gugatan secara pidana selain dapat langsung dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan baik dari klien Notaris sendiri maupun pihak ketiga yang langsung berkaitan dengan pembuatan Akta otentik oleh Notaris, juga dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang oleh Majelis Pengawas Notaris. Dalam memidanakan Notaris haruslah berdasarkan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kelalaian atau kesengajaan dari Notaris dengan mengaitkan aturan-aturan dalam UUJN, karena dalam pembuatan Akta seorang Notaris terikat dengan aturan teknis yang ada dalam UUJN dan sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-undang untuk membuat Akta Otentik, Notaris mempunyai kewenangan tersendiri yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain. Berdasarkan hal tersebut diatas maka Notaris tidak dapat dengan sewenangwenang dipidanakan, karena itu untuk dapat memidanakan seorang Notaris maka ada batasan-batasan tertentu antara lain50: 1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. 2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat Akta dihadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan ketentuan didalamnya. 50
Ibid,hal.124-125.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan seorang Notaris yang dalam hal ini adalah Majelis Pengawas Notaris.
2.3.4.4 Dampak penyelesaian kasus terhadap Notaris baik dalam profesinya maupun terhadap pribadi Notaris Notaris yang terkena kasus dimana pada akhirnya dalam penyelesaiannya akan menerima sanksi apapun bentuknya pasti akan berpengaruh kepada pelaksanaan jabatan sehari-hari maupun terhadap pribadi Notaris sendiri,dan apapun jenis sanksi yang diterima oleh Notaris yang bersangkutan akan sangat berpengaruh pada kariernya di bidang kenotariatan. Dari sudut jenis sanksi yang dikenakan kepada Notaris, maka yang sangat memberi dampak bagi kehidupan Notaris adalah sanksi administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat, yang dapat terjadi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UUJN, adalah karena: 1. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 2. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; 3. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; 4. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
Selain yang disebutkan dalam Pasal 12 UUJN seorang Notaris juga dapat diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena telah dikenakan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 13 UUJN. Jadi berdasarkan Pasal 13 UUJN apabila seorang Notaris digugat secara pidana baik karena berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya maupun diluar pelaksanaan jabatannya maka akan memungkinkan Notaris yang bersangkutan juga akan terkena sanksi administratif terhadap jabatannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada jabatannya dan juga kehidupan pribadi dari Notaris yang bersangkutan.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Akibat dari diberhentikan dengan tidak hormat maka akan berakhirnya karier Notaris yang bersangkutan dalam dunia kenotariatan dan tercemarnya nama baik dari Notaris yang bersangkutan. Sanksi lain yang juga sangat memberikan dampak pada kehidupan Notaris baik secara jabatan maupun pribadi adalah sanksi perdata berupa penggantian biaya,ganti rugi dan bunga yang dibebankan kepada Notaris yang bersangkutan karena kesalahannya dalam pembuatan Akta. Sanksi perdata tersebut sangatlah berat karena berkaitan dengan masalah keuangan dari Notaris yang bersangkutan, karena jumlah tuntutan materi dari pihak yang dirugikan kepada Notaris yang bersangkutan jumlahnya tidak ada batasan, bisa sangat besar bahkan bisa melebihi dari jumlah harta kekayaan yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan. Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa Notaris yang bersangkutan akan jatuh pailit, bila hal ini terjadi dan pernyataan Notaris pailit adalah bardasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka Notaris yang bersangkutan secara jabatan akan terkena pula sanksi Administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 UUJN dan telah diuraikan diatas. Jadi apabila Notaris digugat baik dalam bentuk perdata maupun pidana dan setelah melalui proses pemeriksaan dan persidangan dijatuhi sanksi baik berupa perdata maupun pidana (tergantung pada gugatannya) dan sanksi itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka secara administratif
Notaris yang
bersangkutan juga akan memperoleh sanksi administratif terhadap jabatannya sebagaimana yang diuraikan diatas
2.3.5.
Asuransi Tanggung Gugat profesi Notaris sebagai Pelindung bagi Notaris dalam menjalankan profesinya
Berdasarkan uraian diatas tentang kemungkinan seorang Notaris terkena gugatan dari pihak yang dirugikan, yaitu klien Notaris maupun pihak lain yang dirugikan atas Akta yang dibuat oleh Notaris, maka Notaris yang bersangkutan akibat dari gugatan tersebut akan menderita kerugian baik secara jabatan maupun secara pribadi Notaris yang bersangkutan. Gugatan dapat terjadi karena kesalahan atau kelalaian Notaris dalam membuat Akta sehingga produk yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh klien
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Notaris atau pihak lain yang berhubungan langsung dengan Akta yang dihasilkan Notaris. Keadaan yang diuraikan diatas disebut sebagai Malpraktik yang dapat terjadi karena kesengajaan atau kelalaian ,yang dalam Black”s Law dictionary diartikan sebagai:
Professional misconduct or unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors,lawyers and accountants.Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitle to rely upon them.It is any professional misconduct,unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct.51
Sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris- Indonesia malpraktek diartikan sebagai suatu tindakan salah52. Bila dikaitkan dengan jabatan Notaris, malpraktek menurut Liliana Tedjosaputro mempunyai ruang lingkupnya sendiri yaitu53
Ruang lingkup malpraktik yang dilakukan oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah mencakup bentuk-bentuk pengingkaran atau penyimpangan atau kurangnya kemampuan dari tugas dan tanggung jawab Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik karena kesalahan atau kelalaian yang dapat dipertanggung jawabkan kepada mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban profesional atau yang didasarkan kepada kepercayaan. Malpraktek yang dilakukan ini dapat terjadi dalam bidang etik dan hukum, baik pidana, perdata maupun administrasi. Akibat dari malpraktek yang dilakukan oleh Notaris dan terhadap kerugian yang diderita oleh klien akibat Akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan menjadi tidak Otentik atau bahkan menjadi batal demi hukum maka berdasarkan Pasal 84 UUJN pihak yang dirugikan dapat menuntut Notaris untuk membayar 51
Henry Campbell Black,Black’s Law Dictionary,1991,P.959. Jhon M. Echols dan Hasan Sadiliy, Kamus Inggris Indonesia cet.23,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,1996), hal.371. 53 Liliana Tedjosaputro, Malprakti Notaris dan hukum Pidana ,(semarang: CV.Agung,1991), hal.19. 52
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
biaya, ganti rugi dan bunga, maka hal ini akan dapat membahayakan Notaris dari segi keuangan karena dalam undang-undang tidak disebutkan batasan besarannya penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, sehingga dalam jumlah yang sangat besar sangatlah terbuka, bahkan kemungkinan seorang Notaris, dapat dituntut untuk melakukan penggantian tersebut dalam jumlah yang besarnya melebihi kemampuan keuangan dari Notaris yang bersangkutan, karena tidak sedikit AktaAkta yang dibuat oleh Notaris yang isinya berkaitan dengan jumlah nominal uang yang tidak sedikit. Bahkan seorang Notaris karena adanya tuntutan tersebut bisa jatuh kedalam keadaan pailit. Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan seorang Notaris jatuh kedalam masalah risiko keuangan akibat hal tersebut diatas, maka Asuransi dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pilihan untuk melindungi seorang Notaris dari masalah keuangan yang sangat fatal akibat adanya tuntutan dari pihak yang dirugikan atas Akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan. Sesuai dengan esensi dari asuransi yang merupakan pengalihan risiko yang mungkin terjadi, dimana bila dikaitkan dengan profesi Notaris maka risiko ini berkaitan dengan pelaksanaan profesinya sebagai pembuat akta Otentik, yang jika terjadi kesalahan dalam pembuatannya akan menyebabkan Akta tidak otentik atau bahkan batal demi hukum dan hal seperti ini akan merugikan pihak yang membuat Akta atau klien Notaris karena tujuan utama membuat Akta melalui Notaris adalah untuk memperoleh Akta Otentik. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam asuransi maka untuk mengasuransikan risiko tanggung jawab hukum Notaris ini sesuai dengan prinsip Insurable Interest
atau kepentingan yang dapat
diasuransikan yaitu adanya tanggung jawab hukum Notaris kepada klien untuk membayar ganti rugi kepada klien yang timbul dari kesalahan atau kelalaiannya dalam pembuatan Akta Notaris Sesuai dengan aturan dalam asuransi bahwa risiko yang diasuransikan tersebut bukanlah risiko yang pasti terjadi,dan risiko terjadinya tuntutan dari pihak dirugikan atas pembuatan Akta oleh Notaris tersebut belum tentu terjadi. Selain itu Asuransi terhadap profesi Notaris juga memenuhi prinsip Idemnity atau ganti kerugian dalam asuransi, prinsip ini mempunyai pengertian bahwa asuransi adalah bertujuan untuk mengembalikan kepada posisi keuangan dari Notaris sebagai
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
tertanggung maka dengan adanya asuransi apabila terjadi tuntutan dari pihak yang dirugikan atas Akta yang dibuat oleh Notaris maka jumlah ganti kerugian adalah sebesar nilai kerugian yang dialami dan dituntut oleh klien Notaris yang mengalami kerugian, dengan demikian Notaris tidak akan jatuh kedalam masalah keuangan yang sulit. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa asuransi dapat memberikan perlindugan terhadap Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum dalam membuat Akta Otentik. Karena asuransi dilihat dari esensinya adalah pengalihan risiko yang mungin diderita oleh seseorang kepada pihak lain yang akan menanggungnya yaitu perusahaan Asuransi. Berdasarkan hal tersebut maka atas kemungkinan terjadinya risiko gugatan dari pihak yang dirugikan atas produk Akta yang dibuat oleh Notaris, maka dapat dialihkan sebagian risikonya kepada perusahaan Asuransi atau dengan kata lain risiko tersebut dapat diasuransikan. Asuransi yang sesuai dengan keadaan tersebut adalah Asuransi Tanggung Gugat profesi atau Asuransi tanggung Jawab hukum profesi Notaris. Asuransi Tanggung Gugat profesi yang sudah ada di Indonesia pada saat ini antara lain Asuransi Tanggung Gugat profesi Kedokteran, sedangkan untuk profesi Notaris belum ada sampai sekarang ini, sehingga untuk melihat kemungkinan diadakan Asuransi Tanggung Gugat Profesi Notaris sebagai pembanding diambil Asuransi Tanggung Gugat Profesi Kedokteran. Asuransi tanggung gugat profesi kedokteran merupakan bentuk asuransi kerugian yang diadakan untuk tujuan membantu dokter yang terkena gugatan sebagai akibat dari pelaksanaan tugasnya baik karena kesalahannya maupun karena kelalaiannya. Dalam hal ini yang dijadikan perbandingan adalah produk asuransi tanggung gugat profesi kedokteran yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Umum Bumiputera muda 1967 (Asuransi Bumida), yang memasarkan produk Asuransi Tanggung Gugat Profesi kedokteran.
2.3.5.1. Risiko yang dapat dijamin Polis Asuransi Dalam Asuransi Tanggung Gugat
Profesi Kedokteran risiko yang dapat
dijamin oleh perusahaan Asuransi adalah kerugian akibat dari kelalaian menjalankan profesi medis yang secara hukum bertanggung jawab membayar
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
ganti rugi atas kerugian yang timbul dari cedera badan yang disebabkan oleh lingkup jaminan polis. Manfaat dari jaminan tersebut adalah ada yang bersifat Advokasi Medikolegal dan bimbingan Medikolegal. Advokasi Medikolegal adalah berupa: 1. Sesuai dengan suasana jaga reputasi dokter. 2. Memupuk kebersamaan dan kerjasama dokter dan dokter gigi. 3. Pendampingan dokter yang terkena kasus oleh medikolegal sejak dini. 4. Pembelaan hukum dugaan malpraktek dan kelaaian medik. 5. Ganti rugi gugatan pasien. 6. Biaya proses penyelesaian gugatan. Sedangkan bimbingan Medikolegal dapat berupa: 1. Peningkatan kesadaran hukum,etik dan good practice profesi oleh etik dan mediko legal. 2. Dukungan organisasi profesi terkait. Berdasarkan hal diatas maka dapat dilihat bahwa pada Asuransi tanggung Gugat profesi kedokteran risiko yang dapat dijamin oleh asuransi adalah kerugian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan profesi medis. Bila dibandingkan dengan profesi Notaris maka risiko yang dapat dijamin oleh polis Asuransi adalah semua kerugian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan profesinya yang dalam hal ini adalah berkaitan dengan pembuatan Akta. Akan tetapi dalam penentuan kesalahan atau kelalaian dalam pembuatan Akta haruslah dibuktikan dengan sungguh-sungguh berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang ada terutama adalah UUJN karena bentuk dari Akta sudah diatur dengan rinci dalam UUJN. 2.3.5.2.
Nilai Pertanggungan (limit Of Libility) sebagai batas maksimum ganti rugi
Peranan asuransi yang utama adalah pengalihan sebagian risiko kepada penanggung akibat timbulnya kerugian kepada pihak ketiga yaitu, jadi inti pengalihan ini adalah mengalihkan sebagian kewajiban untuk melakukan ganti rugi kepada pihak yang menuntut penggantian terhadap kerugian yang dideritanya. Dalam Asuransi tanggung
gugat profesi kedokteran nilai
pertanggungan sebagai batas maksimum ganti rugi, terbagi dalam beberapa
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
kelompok yaitu berdasarkan klasifikasi dokter. Pengelompokan dokter ini dilakukan berdasarkan tingkat risiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan profesi medisnya,yaitu: 1. Spesialis A ,yaitu spesialisasi khusus yang beresiko sangat tinggi
yang
didalamnya adalah termasuk kebidanan dan penyakit kandungan (spOG) dan Anastesi beserta spesialisasinya.Terhadap spesialisasi ini dikenakan maksimal pertanggungan sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 2. Spesialis B ,yaitu spesialisasi bedah dan atau intervensi, yang termasuk didalamnya adalah: 1. Bedah Umum (SpB); 2. Bedah Urologi (SpU); 3. Bedah Ortopedi (SpBO) yang sekarang sedang berupaya mengganti namanya dengan nama SpOT (Ortopedi dan Traumatologi) 4. Bedah Plastik (SpBP); 5. Bedah Onkologi(SpB); 6. Bedah Digestif (SpBD); 7. Bedah Saraf (SpBS); 8. Bedah Anak(SpBA); 9. Bedah Thoraks(SpBT) yang didalamnya terdapat pula bedah jantung; 10. Mata (SpM); 11. THT(SpTHT); 12. Gigi (Drg, dokter gigi spesialis dengan bedah, Dokter gigi spesialis dengan pembatan gigi dan/ gusi palsu ; 13. spesialisasi-spesialisasi
lainnya
yang
melakukan
tindakan-tindakan
Intervensi. Terhadap spesialisasi ini dikenakan maksimal pertanggungan (maksimal ganti rugi) sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 3. Spesialis C, Yaitu spesialisasi bukan bedah dan atau intervensi, yang temasuk didalamnya adalah: 1. Penyakit Dalam (SpPD); 2. Kesehatan Anak (SpA); 3. Jantung dan pembuluh darah (SpJP);
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
4. Paru (SpP); 5. Radiologi(SpRad); 6. Kulit dan kelamin (SpKK); 7. Saraf/neurologi( SpS); 8. Psikiatri/kesehatan Jiwa (SpKJ); 9. Rehabilitasi medik (SpRM); 10. Patologi Anantomik (SpPA); 11. Patologi klinik (SpPK); 12. Gizi Medik (SpGM); 13. Kedokteran Olah Raga (SpOR); 14. Kedokterteran Penerbangan (SpKP); 15. Kedokteran Kelautan/Hiperbarik (SpKL); 16. Gigi (Drg).Dokter gigi biasa dan dokter gigi spesialis tanpa bedah. Terhadap spesialisasi ini dikenakan maksimal pertanggungan (maksimal ganti rugi)adalah sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 4. Dokter Umum dan Dokter berpraktek Umum,yamg termasuk didalamnya adalah: 1. Farmakologi klinik (SpFK); 2. Mikrobiologi klinik (SpMk); 3. Parasitologi Klinik (SpPar); 4. Dokter Okupasi (SpOK); 5. Andrologi (SpAnd); 6. Forensik ( SpF); 7. Dokter umum; 8. Residen (peserta PPDS); 9. Dokter-dokter Patologi Anantomik (SpPA),Patologi klinik (SpPK),Gizi Medik
(SpGM),
Kedokteran
Olah
Raga
(SpOR),
Kedokterteran
Penerbangan (SpKP), Kedokteran Kelautan/Hiperbarik (SpKL) yang berpraktek umum saja. Terhadap dokter-dokter dalam klasifikasi ini maksimal pertanggungannya ada 2 (dua) macam, tergantung dari pilihan dari dokter atau rumah sakit atau instansi yang mengasuransikan profesinya,yaitu:
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
1. Maksimal Pertanggungan (maksimal ganti rugi) adalah Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah), yang dalam klasifikasinya disebut sebagai klasifikasi umum A atau 2. Maksimal Pertanggungan (maksimal ganti rugi) adalah Rp.250.000.000,(dua ratus lima puluh juta rupiah) yang dalam klasifikasinya disebut sebagai klasifikasi umum B. Dari uraian diatas mengenai Nilai pertanggungan (maksimal ganti rugi) yang dapat dilaksanakan dalam Asuransi tanggung gugat profesi kedokteran jika dibandingkan dengan profesi Notaris, terdapat perbedaan dimana dalam pelaksanaan tugas Notaris tidak ada spesialisasi yang harus didahului dengan menempuh pendidikan khusus seperti halnya dokter. Dalam profesi Notaris memang ada akta-akta tertentu yang hanya dapat dibuat oleh Notaris yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti Akta-Akta yang berkaitan dengan perseroan terbatas terbuka (PT. Tbk), maka hanya Notaris yang terdaftar di BAPPEPAM (Badan Pelaksana dan Pengawas Pasar Modal) dan telah menempuh pelatihan di bidang pasar modal dan memperoleh sertifikat berdasarkan pelatihan tersebut
yang dapat membuat Akta-Akta tersebut,
kemudian mengenai Akta Koperasi juga demikian hanya yang telah menempuh pelatihan yang diadakan oleh Departemen Koperasi saja yang dapat membuat Akta-Akta yang berkaitan dengan Koperasi. Jadi bila dilihat hampir sama dengan dokter hanya saja Notaris tersebut tidak selalu mengkhususkan kegiatannya untuk membuat Akta-Akta tertentu saja sesuai dengan pelatihan yang telah diikuti, namun masih dapat membuat Akta-Akta Otentik lainnya, berbeda dengan dokter jika telah menjadi dokter spesialis biasanya akan melaksanakan profesinya sesuai dengan spesialisasinya. Untuk menentukan batas maksimal pertanggungan atau batas maksimal ganti rugi yang juga berkaitan dengan penentuan jumlah premi yang harus dibayar oleh tertanggung memang harus berdasarkan kelompok-kelompok tertentu, karena risiko yang ditanggung antara satu hal dengan hal yang lain adalah berbeda-beda, sebagaimana yang dapat dilihat pada uraian diatas dimana dokter dikelompokkan berdasarkan risiko yang mungkin dihadapinya dalam pelaksanaan profesi medisnya. Bila dikaitkan dengan Notaris, maka pengelompokannya bukan
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
berdasarkan spesialisasi Notaris sebagaimana Dokter, akan tetapi berdasarkan Akta yang dibuatnya, dimana Akta yang mempunyai risiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya tuntutan baik dari klien Notaris maupun dari pihak ketiga yang berkaitan langsung dengan Akta. Akta yang mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya tuntutan antara lain yang berkaitan dengan warisan, tanah, jual beli . Sedangkan Akta yang risikonya ringan antara lain Akta Perjanjian Kawin, Akta Pengakuan Anak, Perjanjian sewa menyewa rumah tinggal. Selain itu jika dikaitkan dengan Notaris dapat pula di kelompokan berdasarkan usia dan masa kerja dari Notaris, dimana Notaris yang masih muda atau yang masa kerjanya masih sedikit masuk kedalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya kelalaian. Pengelompokan berdasarkan usia dan masa kerja dapat menjadi pilihan dalam melakukan pengelompokan untuk menentukan maksimal pertanggungan atau maksimal ganti rugi dengan pertimbangan bahwa Notaris yang masih muda atau yang pengalaman kerja sebagai Notaris masih sedikit, kemungkinan melakukan kesalahan lebih tinggi, dengan demikian kemungkinan terjadinya tuntutan berupa biaya, ganti rugi dan bunga adalah lebih besar. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dalam pembuatan Akta Otentik.
2.3.5.3.
Masa pertanggungan polis dan premi yang wajib dibayar Tertanggung
Masa pertanggungan polis dalam asuransi tanggung gugat profesi kedokteran adalah 1 (satu ) tahun, hal ini karena pada umumnya masa pertanggungan dalam Asuransi kerugian (asuransi umum) adalah 1(satu) tahun. Dalam asuransi tanggung gugat profesi Notaris masa pertanggungan 1(satu) tahun juga berarti bahwa tuntutan ganti kerugian yang dijamin polis adalah tuntutan kerugian atau klaim yang bersumber dari Akta yang dibuat oleh Notaris pada masa pertanggungan tersebut atau dapat pula Akta-Akta yang dibuat oleh Notaris sebelum diadakannya pertanggungan akan tetapi timbul gugatan pada masa pertanggungan. Premi yang wajib dibayar oleh dokter sebagai tertanggung setiap tahunnya (satu kali masa pertanggungan Polis) dalam asuransi tanggung gugat profesi kedokteran, besarannya tergantung tertanggung masuk kedalam klasifikasi
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
mana, karena walaupun nilai maksimal pertanggungan atau maksimal ganti ruginya sama namun besaran preminya dapat berbeda-beda. Hal tersebut didasarkan pada tinggi atau rendahnya risiko kemungkinan terjadinya tuntutan ganti rugi dari Pasien. Karena jika risikonya tinggi maka kemungkinan adanya tuntutan dalam masa pertanggungan polis juga semakin besar dan kemungkinan tersebut tidak hanya satu kali saja. Berdasarkan hal tersebut maka klasifikasi yang risikonya lebih tinggi maka,terhadap preminya juga akan lebih besar. Dalam asuransi tanggung gugat profesi kedokteran yang dipasarkan oleh Asuransi BUMIDA sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka besaran premi untuk masing-masing kelompok adalah: 1. klasifikasi spesialis A, premi yang dibayar dalam 1 (satu) tahun atau 1 (Satu) masa pertanggungan adalah Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); 2. Klasifikasi spesialis B, premi yang dibayar dalam 1 (satu) tahun atau 1 (satu) masa pertanggungan adalah Rp.5.500.000,-(lima juta lima ratus ribu rupiah); 3. Klasifikasi spesialis C, premi yang dibayar dalam 1 (satu) tahun atau 1 (satu) masa pertanggungan adalah Rp. 4.000.000,-(empat juta rupiah); 4. klasifikasi umum A, premi yang dibayar dalam 1 (satu) tahun atau 1 (satu) masa pertanggungan adalah Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah); 5. Klasifikasi umum B, premi yang dibayar dalam 1 (satu) tahun atau 1 (satu) masa pertanggungan adalah Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). Berdasarkan hal tersebut diatas jika diterapkan kepada Asuransi tanggung gugat Notaris, maka besaran premi yang harus dibayar oleh Notaris sebagai tertanggung tergantung dari jenis Akta apa yang ingin diasuransikan (hal ini dilakukan dalam hal klasifikasi yang digunakan adalah pengklasifikasian Akta yang dibuat). Pilihan jenis Akta yang diasuransikan oleh Notaris adalah berdasarkan kemungkinan jenis Akta yang paling sering dibuat oleh Notaris dan jenis Akta yang paling mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya tuntutan dari klien maupun pihak ketiga yang berkaitan dengan Akta. Namun apabila klasifikasi yang digunakan adalah berdasarkan usia dan masa kerja dari Notaris maka besaran premi yang harus dibayar adalah lebih besar untuk Notaris yang masuk klasifikasi usia muda dan masa kerja yang sedikit, karena kemungkinan Notaris yang bersangkutan melakukan kesalahan dalam
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
pembuatan Akta adalah lebih besar, sehingga peluang untuk terjadinya tuntutan dari pihak yang dirugikan juga lebih besar. Sedangkan klasifikasi Notaris yang sudah berumur dan masa kerja yang panjang, maka preminya tidak besar karena Notaris yang bersangkutan dianggap sudah berpengalaman dalam membuat Akta, karena masa kerja yang telah panjang, sehingga kemungkinan Notaris membuat kesalahan dalam pembuatan Akta dapat minimal. Sebagai ilustrasi apabila diterapkan pada Asuransi tanggung gugat profesi Notaris, maka klasifikasi ,nilai pertanggungan dan besaran preminya adalah: 1. klasifikasi Akta Notaris A ( yaitu Akta Notaris yang mempunyai kemungkinan risiko terjadinya tuntutan sangat tinggi), Nilai Pertanggungan atau maksimal ganti rugi adalah Rp.2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) dan premi yang dibayar dalam 1(satu) tahun atau 1(satu) masa pertanggungan adalah Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). 2. Klasifikasi Akta Notaris B (yaitu Akta Notaris yang mempunyai kemungkinan risiko terjadinya tuntutan sedang), Nilai Pertanggungan atau maksimal ganti rugi adalah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan premi yang dibayar dalam 1(satu) tahun dan 1(satu) masa pertanggungan adalah Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah). 3. Klasifikasi akta Notaris C (yaitu Akta Notaris yang mempunyai kemungkinan risiko terjadinya tuntutan rendah) Nilai Pertanggungan atau maksimal ganti rugi adalah Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan premi yang dibayar dalam 1(satu) tahun dan 1(satu) masa pertanggungan adalah Rp.7.500.000,-(tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Hal yang diuraikan diatas hanyalah sebagai ilustrasi karena untuk merancang suatu produk atau polis asuransi memerlukan suatu keahlian tertentu untuk melakukan perhitungan dan kajian serta analisis yang mendalam dan memadai yang menyangkut : 1. kontrak polis; 2. analisis singkat risiko; 3. analisis dan formulasi besarnya nilai pertanggungan; 4. analisis besaran premi.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
2.3.5.4.
Proses pengajuan tuntutan ganti rugi oleh tertanggung dan pihak yang berhak menerima ganti rugi
Apabila timbul suatu tuntutan dari pihak yang dirugikan, maka untuk dapat memperoleh ganti rugi dari perusahaan Asuransi sebagai pihak yang menerima pengalihan sebagian risiko dari tertanggung harus melalaui suatu proses tertentu,antara lain: 1. Pelaporan terjadinya klaim Dalam asuransi bila terjadi kerugian yang menimpa tertanggung maka terhadap kerugian tersebut, pihak tertanggung dapat mengajukan ganti rugi kepada perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung. Permintaan ganti rugi tersebut dengan melakukan pelaporan terjadinya klaim asuransi. Dalam Asuransi tanggung gugat profesi kedokteran bila terjadi penuntutan dari pasien atau keluarga pasien terhadap dokter baik secara pribadi maupun secara institusional, maka pihak yang digugat tersebut dapat melaporkan terjadinya klaim asuransi dengan terlebih dahulu melakukan (sebagaimana yang terjadi pada Asuransi BUMIDA), hal-hal sebagai berikut: a. Membereskan rekam medis kasus dengan cara melengkapinya tanpa memanipulasinya; b. Membuat laporan kronologis secara sebenar-benarnya kejadian medis kasus yang ditanganinya yang ditutup dengan kalimat “Demikian laporan kronologis kejadian ini saya buat dengan sebenarnya” dan ditanda tangani dan diberi nama jelas; c. Membuat prakiraan alasan tututan pasien dan hal hal rawan lainnya; d. Bila peristiowa terjasi di sebuah RS, maka melaporkannya pada atasan langsung (pimpinan rumah sakit tempat ia bekerja); e. Mengamankan rekam medik; f. Melarang perawat/bidan atau tenaga kesehatan lain di RS setempat berkomentar terhadap siapapun tentang kasus tersebut; g. Menyiapkan dokumen dokumen yang diperlukan; Setelah melakukan hal-hal tersebut diatas maka dokter melaporkannya kepada bagian klaim perusahaan asuransi profesi Bumida secara tertulis. Laporan atau
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
pemberitahuan tersebut dilengkapi dengan
informasi tentang nomor polis
asuransi profesi dokter. Apabila hal tersebut diatas diterapkan pada asuransi tanggung jawab profesi Notaris, maka bila terjadi penuntutan dari klien Notaris atau pihak ketiga yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, dan tuntutan tersebut dapat menyebabkan Notaris yang bersangkutan dikenai sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh Notaris sebelum melakukan pelaporan terjadinya klaim adalah : a. Membereskan berkas-berkas dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembuatan Akta-akta yang bersangkutan; b. Berdasarkan berkas-berkas dan dokumen-dokumen yang ada diatas maka Notaris yang bersangkutan membuat kronologis dari pembuatan Akta yang bersangkutan; c. Membuat perkiraan bahwa alasan tuntutan klien Notaris atau pihak ketiga yang dirugikan oleh Notaris adalah merupakan hal yang dijamin oleh polis asuransi tanggung gugat profesi Notaris yang dimilikinya; d. Mengamankan dokumen-dokumen yang
penting yang berkaitan dengan
pembuatan Akta yang bersangkutan; e. Melarang pegawai Notaris atau pihak-pihak yang mengetahui pembuatan Akta yang bersangkutan berkomentar atau memberikan informasi kepada siapapun. Setelah melakukan hal-hal tersebut diatas, maka
Notaris yang bersangkutan
melaporkannya kepada bagian klaim perusahaan asuransi secara tertulis. Laporan atau pemeritahuan tersebut dilengkapi dengan informasi tentang nomor polis asuransi tanggung gugat profesi Notaris yang dimilikinya.
2. Verifikasi dan Validitasi polis dan melihat apakah tuntutan klaim yang diajukan termasuk dalam lingkup jaminan dari polis Setelah masuknya laporan terjadinya tuntutan ganti kerugian atau klaim asuransi dari pihak tertanggung kepada perusahaan asuransi, sebagi penanggung, maka bagian klaim akan melakukan verifikasi dan validasi polis dan melihat apakah tuntutan ganti kerugian atau klaim yang diajukan termasuk dalam lingkup jaminan dari polis yang dimiliki oleh tertanggung. Tindakan verifikasi berkaitan
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
dengan pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan administratif dari pihak tertanggung dikaitkan dengan polis yang dimilikinya, sedangkan tindakan validitasi polis adalah untuk mengetahui keadaan polis yang bersangkutan seperti apakah premi yang harus dibayar telah dibayar oleh tertanggung. Selain tindakan verifikasi dan validitasi tersebut juga dilihat apakah tuntutan ganti kerugia atau klaim yang diajukan termasuk dalam lingkup jaminan dari polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung, hal ini merupakan bagian yang terpenting karena akan menentukan apakah perusahaan asuransi sebagai penanggung dapat memberikan ganti rugi kepada tertanggung atau pihak penuntut dalam kaitannya dengan asuransi tangung gugat profesi. Dalam asuransi tanggung gugat profesi kedokteran, apabila masuk laporan terjadinya tuntutan ganti kerugian atau klaim kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung maka akan dilakukan (sebagaimana yang terjadi pada Asuransi BUMIDA) , hal-halsebagai berikut: a.
Meneliti keabsahaan administratif keanggotaan dokter dalam waktu sesingkat-singkatnya;
b. Mendatangi dokter, atau menelepon, atau mengirimkan E-Mail / surat ke dokter untuk : i. Memberikan
informasi tentang sikap umum yang sebaiknya diambil
dalam menghadapi masalah tersebut; ii.
Meminta kelengkapan dokumen ;
iii.
Mengkonfirmasi tuntutan pasien (bila telah ada) dan kebutuhan dokter.;
c. Menghubungi tim Medikolegal Bumida dengan memberikan seluruh informasi tersebut melalui fax atau e-mail. Tim Medikolegal BUMIDA akan merespon dengan : 1. Menilai secara singkat posisi kasus dilihat dari segi medikolegal; 2. Menghubungi atau berdialog dengan dokter untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan memberikan konsultasi
medikolegal dan tips
tentang sikap tertentu yang harus diambil. 3. Menghubungi Tim Medikolegal setempat untuk dimintai advokasinya 4. Mengambil alih menghadapi Pers dan pengacara pasien yang bila perlu bekerja sama dengan IDI / PDGI / PDSp/ Tim medikolegal setempat
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
Tim Medikolegal mengadakan rapat dengan dokter dan pimpinan atau pejabat rumah sakit serta BP2A setempat untuk membahas : 1. Analisis medikolegal secara mendalam untuk memperoleh penyebab masalah yang sebenarnya dari segi disiplin profesi 2. Analisis tentang Cost Effectiveness penyelesaian sengketa; 3. Analisis tentang lesson-learned dan risk management guna pencegahan peristiwa serupa di kemudian hari 4. Menentukan langkah-langkah (contigency plans). Langkah ini sangat individual dan bervariasi. 5. Tim medikolegal menyatakan pendapatnya secara lisan (dan kemudian akan menerbitkan pendapat tertulis yang dalamnya menyebutkan : fakta material, pertimbangan dan kesimpulan tentang hal-hal di atas. Apabila hal tersebut diatas diterapkan dalam asuransi tanggung gugat profesi Notaris, maka ketika laporan terjadinya klaim masuk kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung, maka akan dilakukan hal-hal sebagi berikut: a. Pemeriksaan secara administrasi tentang Notaris yang bersangkutan berkaitan dengan polis yang dimiliki, hal tersebut dapat berupa administrasi diri Notaris seperti apakah Notaris yang bersangkutan memang masih menjabat sebagai Notaris berdasarkan surat keputusan pengangkatannya, apakah Notaris yang bersangkutan menjadi anggota Ikatan Notaris Indonesia, apakah Notaris yang bersangkutan
benar
memiliki
polis
dari
perusahaan
asuransi
yang
bersangkutan. b. Pemeriksaan apakah benar polis asuransi yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan masih berlaku atau dengan kata lain bahwa tertanggung masih dalam tanggungan dari penanggung, hal ini berkaitan pula dengan apakah tertanggung
telah
membayar
premi
sebagaimana
mestinya
sebagai
kewajibannya sebagai tertanggung. c. Apabila hal tersebut diatas telah dilakukan, maka selanjutnya perusahaan asuransi sebagai penanggung akan memeriksa apakah laporan klaim yang diajukan termasuk dalam lingkup jaminan polis asuransi yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan ini maka perusahaan asuransi sebagai penanggung dapat bekerjasama dengan Majelis Pengawas Notaris, hal
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara tepat bagaimana sebenarnya tuntutan tersebut dapat terjadi, apakah benar memang telah terjadi kesalahan atau kelalaian dari Notaris yang bersangkutan dalam membuat Akta, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak klien atau pihak ketiga yang berkaitan dengan Akta. Dalam hal demikian Majelis Pengawas Notaris dapat melakukan pemeriksaan kasus sebagaimana tim medikolegal melakukan pemeriksaan sebuah kasus dalam hal terjadinya gugatan dalam asuransi tanggung gugat profesi kedokteran tersebut diatas. Dari hasil pemeriksaan dari Majelis Pengawas Notaris tersebut, maka dapat diberikan opini kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung apakah Notaris yang bersangkutan tersebut memang benar melakukan kesalahan atau tidak dalam pembuatan Akta, dimana akibat kesalahannya tersebut dapat menimbulkan tuntutan dari klien Notaris atau pihak ketiga yang berkaitan dengan Akta tersebut. Dalam memberikan opini tersebut, Majelis Pengawas Notaris tidak harus melakukan pemeriksaan ulang jika sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap kasus bersangkutan berkaitan dengan laporan yang masuk ke Majelis Pengawas Notaris dari pihak-pihak yang dirugikan dan pemeriksaan dianggap tidak perlu. d. Dari hasil opini dari Majelis Pengawas Notaris tersebut maka perusahaan asuransi akan melihat apakah kesalahan yang dibuat oleh Notaris yang mengakibatkan timbulnya tuntutan tersebut termasuk ke dalam lingkup jaminan polis. Jika memang termasuk maka proses pemberian ganti rugi akan dilakukan. 3. Besaran jumlah ganti rugi Setelah melakukan verifikasi,validitasi dan melihat apakah klaim yang dilaporkan termasuk ke dalam lingkup jaminan polis yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan dan semuanya benar serta memang termasuk lingkup jaminan polis asuransi, maka proses selanjutnya adalah penetapan besaran jumlah ganti rugi. Jumlah ganti rugi maksimal adalah sebesar nilai pertanggungan, jika terjadi jumlah tuntutan yang lebih dari jumlah maksimal pertanggungan, maka sisanya akan menjadi tanggungan dari tertanggung sendiri. Walaupun sisanya menjadi beban dari Notaris yang bersangkutan
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
namun tetap saja asuransi dapat membantu keadaan finansial dari Notaris sebagai pihak yang dituntut. Dalam penentuan besaran jumlah ganti rugi yang terjadi antara Notaris dengan pihak yang dirugikan ditentukan berdasarkan negosiasi antara para pihak atau dengan putusan pengadilan dimana telah diputuskan bahwa Notaris yang bersangkutan atas kesalahan dalam membuat Akta dan diharuskan untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi dan bunga yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan. 4. Dokumen-dokumen pendukung pengajuan klaim Dalam pengajuan klaim sebagaimana tersebut diatas, maka harus disertai dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan untuk mengurus klaim tersebut. Dalam asuransi tangung gugat kedokteran, dokumen-dokumen yang diperlukan (sebagaimana yang terjadi pada Asuransi BUMIDA) , adalah: a. Fotokopy Kartu Tanda Anggota IDI dan Kartu Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis terkait; b. Fotokopy surat Ijin Praktek dan Surat Persetujuan Tempat Praktek yang masih berlaku (atau STR dan SIP setelah UU Praktek Kedokjteran Berlaku); c. Fotokopy polis asuransi profesi; d. Dokumen / berita acara kronologis pantauan kelanjutan tuntutan/ Gugatan , misalnya : kedatangan keluarga pasien, PERS, pengacara. Sedangkan bila dalam asuransi tanggung gugat profesi Notaris maka dokumen-dokumen penting yang dapat dijadikan pendukung pengajuan klaim adalah: a. Fotokopy Kartu Tanda Anggota INI (Ikatan Notaris Indonesia); b. Fotokopy Surat Keputusan Pengangkatan Notaris; c. Fotokopy polis asuransi tanggung gugat profesi Notaris; Semua dokumen tersebut diatas dapat digunakan oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung dalam melakukan verifikasi dan validitasi dalam kaitan laporan terjadinya klaim. 5. Mekanisme pembayaran klaim. Setelah proses sebagaimana disebutkan diatas selesai, maka bagian akhir dari pengajuan klaim asuransi adalah pembayaran klaim asuransi. Pembayaran dari
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
penanggung kepada tertanggung dapat dilakukan dalam bentuk transfer ataupun tunai. Dalam asuransi tanggung gugat profesi Notaris pihak penerima manfaat atau klaim asuransi adalah klien Notaris atau pihak ketiga yang dirugikan sebagai pihak yang mengalami kerugian, akan tetapi dalam pelaksanaannya perusahaan asuransi boleh saja melakukan pembayaran kepada Notaris sebagai tertanggung dan Notaris selanjutnya akan meneruskan pembayaran tersebut kepada klien Notaris sebagai pihak yang mengalami kerugian.
2.3.5.5 Penyelesaian sengketa tuntutan ganti rugi ( Insurance Klaim ) Dalam pengajuan tuntutan ganti rugi, dapat terjadi sengketa, ada 2 (dua) hal yang dapat menyebabkan sengketa tersebut,yaitu: a. Sengketa menyangkut apakah polis menjamin ganti rugi (klaim) atau tidak Sengketa mungkin akan terjadi apabila antara penanggung dan tertanggung terdapat perbedaan presepsi mengenai apa yang dijamin,dimana terkadang tertanggung merasa bahwa hal yang dituntut untuk diberikan ganti rugi merupakan suatu hal yang dijamin polis, namun dalam kenyataannya ditolak oleh penanggung, karena apa yang dituntut ganti rugi tidak dijamin oleh polis asuransi. b. Sengketa mengenai besaran ganti rugi atau klaim yang akan diberikan. Sengketa ini seringkali terjadi karena perbedaan antara permohonan jumlah ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung dengan yang diberikan oleh penanggung jumlahnya tidak sama. Perbedaan ini terjadi karena penanggung biasanya mempunyai ukuran tersendiri dalam memberikan ganti kerugian kepada pihak tertanggung, hal ini terutama terjadi pada asuransi umum atau asuransi kerugian. Terhadap sengketa yang terjadi antara perusahaan asuransi sebagi penanggung dengan tertanggung sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diselesaikan melalui penyelesaian sengketa, yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu54 a. Jalur Non-litigasi (extra ordinary court) Merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan menggunakan mekanisme yang hidup di masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat 54
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Solusi dan Antisipasi bagi Peminat Bisnis dalam menghadapi sengketa Kini dan Mendatang), cet.1, (yogyakarta:Citra Media,2006), hal.9.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
beragam. Salah satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati oleh banyak pihak yang berperkara adalah lembaga ADR (Alternatif Dispute Resolution). Pada umumnya penyelesaian melalui jalur Non Litigasi dianggap sebagai langkah awal dalam menyelesaikan sengketa, sedangkan jalur litigasi digunakan apabila upaya penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian tidak berhasil dilakukan. Bentuk-bentuk ADR antara lain adalah
55
Konsultasi,
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase dan sebagainya. Pada saat ini alternatif penyelesaian sengketa Negosiasi, konsiliasi, Mediasi dan arbitrase banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa karena alasan-alasan yang praktis sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak praktis karena memakan waktu yang lama dari pengadilan tingkat pertama sampai dengan tingkat banding atau kasasi, memakan biaya yang tinggi dan meregangkan hubungan pihak-pihak yang bersengketa.56 Alternatif penyelesaian sengketa yang lazim digunakan dan dipilih dalam penyelesaian sengketa dalam bidang asuransi adalah Mediasi dan Arbitrase. Mediasi atau penengahan merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga sebagai mediator yang tidak memihak dan turut aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian, namun mediator tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan atau dapat dikatakan bahwa mediator hanya bersifat pasif hanya sebagai fasilitator antara para pihak, inisiatif penyelesaian sengketa tetap berada di tangan para pihak yang bersengketa.57 Asuransi merupakan suatu bisnis yang mempunyai potensi terjadinya sengketa, berdasarkan hal tersebut sekarang telah ada Badan Mediasi Asuransi Indonesia atau disingkat dengan BMAI yang membantu menyelesaikan sengketa-sengketa dalam bidang asuransi diluar pengadilan. BMAI resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi tanggal 30 September 2006 merupakan sebuah lembaga independent dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian perselisihan antara 55
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia ,2000), hal 28-31. 56 Erma Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,Cet.1.,(Jakarta:Chandra Pratama, 2000), hal.103-105. 57 Bambang Sutiyoso,Op.Cit.,hal.53-61.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
perusahaan asuransi dengan tertanggung. BMAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan representasi yang seimbang antara tertanggung dengan Perusahaan asuransi. BMAI memberikan solusi yang mudah bagi tertangung yang tidak mampu untuk menyelesaikan suatu perkara melalui pengadilan atau tidak mampu membayar bantuan hukum yang mahal, karena BMAI tidak mengenakan biaya kepada tertanggung yang meminta bantuan untuk menyelesaikan perkara atau dengan kata lain gratis. Namun untuk meminta bantuan kepada BMAI ada persyaratannya yaitu Nilai maksimum ganti rugi (klaim) yang dapat diselesaikan melalui BMAI adalah Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
untuk sengketa asuransi umum/kerugian dan
Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) untuk sengketa asuransi jiwa dan sosial. Tertanggung yang menghadapi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan langsung dengan perusahaan asuransi dapat menyampaikan keluhan kepada BMAI baik dengan datang sendiri atau melalui fax, pos atau e-mail. Keluhan kepada BMAI akan dilanjutkan dengan memproses kasus tuntutan ganti rugi oleh Mediator (dalam BMAI disebut juga dengan Case Manager) ,bila kasus tuntutan ganti rugi berada dalam yuridiksi BMAI, Mediator akan menghubungi perusahaan asuransi terkait dan memfasilitasi suatu penyelesaian kasus dan mediasi. Proses penyelesaian perselisihan oleh BMAI terdiri dari 2 (dua) tahap,yaitu:
a. Tahap 1 : Mediasi Laporan keluhan yang diterima oleh BMAI akan ditangani oleh Mediator. Mediator akan berusaha untuk mengupayakan agar tertanggung dan perusahaan asuransi dapat mencapai suatu penyelesaian perselisihan secara damai dan adil bagi kedua belah pihak.
b. Tahap 2 : Ajudikasi Bila perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, kasus perselisihan akan dibawa ke tingkat ajudikasi untuk diputuskan oleh Ajudikator atau penal Ajudikator yang ditunjuk oleh BMAI. Keputusan Ajudikasi tidak mengikat bagi tertanggung jika tertanggung merasa tidak
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
puas dengan putusan Ajudikasi, tetapi akan mengikat bagi Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung tidak puas dengan keputusan tersebut, tertanggung bebas untuk menolak dan mengambil langkah-langkah penyelesaian selanjutnya. Ini berarti bahwa tidak ada kerugian apapun untuk menempuh penyelesaian kasus sengketa tuntutan ganti rugi melalui BMAI. Selain dengan mediasi, pihak yang mengalami sengketa dapat juga memilih jalan arbitrase. Pilihan penggunaan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa sering digunakan oleh perusahaan asuransi, hal ini dapat dilihat dalam polis asuransinya dimana dimuat klausula mengenai arbitrase. Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat dengan melibatkan pihak ketiga atau disebut juga sebagai arbiter yang diberi wewenang penuh oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka,sehingga berwenang mengambil keputusan yang bersifat akhir (final) dan mengikat (binding). Para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak yang netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan.Bedanya dengan litigasi atau adjudikasi publik dimana hakim yang memeriksa telah ditetapkan pengadilan, sedangkan dalam arbitrase para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin kenetralannya dan dapat memilih orang yang ahli dalam bidangnya Arbitrase dapat berbentuk lembaga atau institusi dan bentuk Ad hoc. Kedua bentuk arbitrase yang dapat dipilih untuk membantu menyelesaikan perkara ini mempunyai perbedaan – perbedaan yaitu arbitrase Ad hoc adalah arbitrase yang tidak terkordinasi oleh suatu lembaga sedangkan arbitrase institusional adalah suatu arbitrase yang dikordinasi oleh suatu lembaga di Indonesia saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga arbitase institusional
yaitu BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia), BASYARNAS (Badan Arbitrase syariah Nasional) dan P3BI (Panitia Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia).58 Arbitrase Ad hoc
dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk
memeriksa dan memutus perselisihan sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu dan setelah memutus sengketa berakhir pula arbitrase Ad hoc tersebut. Sedangkan arbitrase institusional merupakan arbitrase yang berbentuk 58
Ibid., hal. 99-151.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009
lembaga sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian dan setelah memutus sengketa, arbitrase ini tidak berakhir sebagaimana arbitrase Ad hoc. Arbitrase Ad hoc mengangkat para arbiternya berdasarkan kesepakatan para pihak sedangkan arbitrase institusional mengangkat para arbiternya dengan tata cara dan prosedur tertentu,hal tersebut karena bentuk arbitrase ini adalah sebuah lembaga. Dalam asuransi biasanya untuk menyelesaikan sengketa dengan arbitrase maka bentuk arbitrase yang dipilih adalah arbitrase Ad hoc, hal ini dikarenakan para pihak dapat memilih sendiri para arbiternya yang menguasai mengenai bidang perasuransian, sehingga dapat memberikan keputusan yang tepat dan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).
b. Jalur litigasi (ordinary court) Merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalaui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Jalur litigasi ini adalah sebagai upaya akhir manakala penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau perdamaian diluar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar.
Dalam asuransi tanggung jawab profesi Notaris bila terjadi sengketa tuntutan ganti rugi, dimana hal ini sangat dimungkinkan karena ukuran dari kerugian yang diderita oleh klien Notaris atau pihak ketiga terhadap Akta yang dibuat oleh Notaris sangatlah subyektif tergantung macam dan tujuan dibuatnya Akta, sebelum melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebaiknya melakukan jalur lain yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa yaitu dengan mediasi atau arbitrase sebagaimana yang diuraikan diatas.
Asuransi sebagai pelindung..., Sari Rosvita, FH UI, 2009