28
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004
A.
Tugas, Tanggung Jawab dan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Publik Notaris sebagai pejabat publik yang melaksanakan dan menjalankan sebagian
kewibawaan Pemerintah memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang harus diemban dengan baik dan benar. Tugas Notaris yang menjalankan sebagian kewibawaan Pemerintah karena Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 adalah pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk membuat akta otentik yang menjamin kebenaran dan kepastian tanggal, tempat, peristiwa hukum yang tertulis di dalam akta otentik tersebut termasuk kebenaran tanda tangan dari para penghadap, saksi-saksi dan notaris itu sendiri. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris menyatakan secara tegas bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya. 28 Inti dari tugas Notaris bila dilihat dari Undang-Undang Jabatan Notaris sebagaimana tersebut diatas adalah membuat akta otentik, melegalisasi akta dibawah tangan dan membuat grosse akta serta berhak mengeluarkan salinan atau turunan akta 28
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 15
28
Universitas Sumatera Utara
29
kepada pihak yang berkepentingan. Tanggung jawab Notaris bila dilihat dari UndangUndang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan Notaris, karena selain untuk membuat akta otentik Notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legalisasi) surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Pasal 1 dan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan diberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya menjadi suatu pembuktian yang sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta otentik memberikan kepastian hukum diantara para pihak berserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang penting dari profesi Notaris, ialah bahwa karena Undang-Undang, Notaris diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha.29 Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti verlijden, yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan verlijden dalam arti
29
Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persad, Jakarta, 1993, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
30
membuat akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan
mengenai
ketentuan
Undang-Undang
kepada
pihak-pihak
yang
bersangkutan. Tugas Notaris bukan hanya membuat akta, tetapi juga menyimpannya dan menerbitkan
grosse,
membuat
salinan
dan
ringkasannya.
Notaris
hanya
mengkonstantir apa yang terjadi dan apa yang dilihat, didalamnya serta mencatatnya dalam akta (Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, S 1860 Nomor 3).30 Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, Sekretaris dari College van Schepenen di Jakarta, diangkat sebagai Notaris pertama di Indonesia. Tugas Melchior Kerchem sebagai Notaris,
31
yaitu melayani dan melakukan semua surat libel (smaadschrift), surat
wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat (testament), dan akta-akta lainnya dan ketentuanketentuan yang perlu dari Kotapraja. Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk 30
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985,
31
Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, Alumni Bandung, 1999, hal. 24
hal 123.
Universitas Sumatera Utara
31
para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.32 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur batas-batas tugas dan wewenang dari seorang Notaris, serta menegaskan bahwa Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrakkontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan, dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grosse nya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.33 Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai Jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voorde Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement of Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860 : 3). Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu :”Segala peraturan Perundang-undangan yang ada masih 32
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris di Indonesia : Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 23 33 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
32
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang dasar ini”. Dengan dasar Pasal II AP tersebut Reglement op Het Notaris Arnbt in Nederlands Indie (Sbtl. 1860 : 3) tetap diberlakukan. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menkumham), berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948 Tentang
Lapangan
Pekerjaan,
Susunan,
Pimpinan,
dan
Tugas
Kewajiban
Kementerian Kehakiman. Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang wakil notaris dan wakil notaris sementara. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut, menegaskan bahwa dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam, Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaanpekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954).
Universitas Sumatera Utara
33
Pada tahun 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi :34 1.
Reglement of Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860 : 3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101 ;
2.
Ordnantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris
3.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700) ;
4.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379), dan
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris. Ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUJN No. 30 Tahun 2004, bahwa UUJN
merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu Undang-Undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dengan demikian pada Tahun 2004 untuk pertama kalinya
34
Rosnantiti Prayitno, Sejarah Lembaga Kenotariatan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
34
setelah Indonesia merdeka Notaris di Indonesia memiliki unifikasi Undang-Undang kenotariatan melalui UUJN No. 30 Tahun 2004 yang merupakan satu-satunya Undang-Undang yang mengatur jabatan Notaris di Indonesia. Berdasarkan Pasal 92 UUJN No. 30 Tahun 2004, dinyatakan UUJN tersebut berlaku mulai tanggal 6 Oktober 2004. Dengan kehadiran UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut berarti telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang pengaturan Notaris. Sehingga UUJN No. 30 Tahun 2004 dapat disebut sebagai penutup (pengaturan) masa lalu dunia Notaris Indonesia dan pembuka (pengaturan) dunia Notaris Indonesia masa datang untuk pertama kalinya.35 Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan MPD selaku Majelis Pengawas maupun pemberi perlindungan hukum terhadap Notaris penjabarannya diatur lebih lanjut secara normatif dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03.HT.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, di mana diatur kriteria umum yaitu : 1.
Syarat Pemanggilan Notaris guna pemeriksaan sebagai saksi atau Tersangka yaitu: a.
Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris atau
35
Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
35
b.
Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tenang daluwarsa dalam peraturan Perundang-undangan di bidang pidana.
2.
Syarat pengambilan copy minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris yaitu : a.
Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minut akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris atau,
b.
Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan Perundang-undangan di bidang pidana.
3.
Syarat pengambilan minuta akta surat-surat yang dilekatkan pada minuta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris yaitu : a.
Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat yang dilekatkan pada minuta akta atau Prokotol Notaris dalam Penyimpanan Notaris atau,
b.
Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan Perundang-undangan di bidang pidana ;
c.
Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak
d.
Ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta atau,
e.
Ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum) 36
36
Suharsimi Arikunto, Sanksi Pidana Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, CV Agung Semarang, 2005, hal. 72
Universitas Sumatera Utara
36
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut : a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta itu dibuat; b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat; d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Perbuatan hukum yang tertuang dalam suatu akta Notaris bukanlah perbuatan hukum dari Notaris, melainkan perbuatan hukum yang memuat perbuatan, perjanjian dan penetapan dari pihak yang meminta atau menghendaki perbuatan hukum mereka dituangkan pada suatu akta otentik. Jadi pihak-pihak dalam akta itulah yang terikat pada isi dari suatu akta otentik. Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tetapi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi oleh Notaris dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti.37 Suatu akta otentik dapat dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan untuk membuat suatu perjanjian. Sebagai suatu perjanjian maka akta Notaris tunduk
37
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
37
pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Akta sebagai alat bukti yang identik dengan akta yang dipersamakan dengan surat menurut Pitlo dalam buku M. ISA Arief ditegaskan bahwa :38 Suatu surat adalah pembawa tanda-tanda bacaan, yang berarti yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini, atas kertas, karton, kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau huruf cina sekalian, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Hal ini tidak termasuk dalam kata surat, adalah foto dan peta. Barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan. Sebagai Pejabat umum (openbaar ambtenaar) Notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya:39 a.
Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif 38
Pitlo dalam buku M. Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal 51. 39 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 38.
Universitas Sumatera Utara
38
maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar Undang-Undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut : 1) Melanggar hak orang lain; 2) Bertentangan dengan aturan hukum; 3) Bertentangan dengan kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari. b.
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kepastian sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi : 1) Perbuatan manusia; 2) Memenuhi rumusan peraturan Perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada
Universitas Sumatera Utara
39
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam Undang-Undang); 3) Bersifat melawan hukum 4) Tanggung jawab Notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) 5) Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan Notaris. Notaris harus menjalankan jabatannya sesuai dengan Kode Etik Notaris, yang mana dalam melaksanakan tugasnya Notaris itu diwajibkan : a. Senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas Negara serta bertindak sesuai makna sumpah jabatannya, b. Mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan Negara.40 Untuk itu Notaris harus berhati-hati dalam membuat akta agar tidak terjadi kesalahan
atau
cacat
hukum.
Karena
akta
yang
dibuat
Notaris
harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan tidak luput dari penilaian Hakim. Rumusan Pasal dalam UUJN tidak menjelaskan tentang tanggungjawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya. Namun dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dikatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam 40
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit hal 115.
Universitas Sumatera Utara
40
perbuatan hukum. Dari ketentuan Pasal tersebut di atas tergambar kewajiban Notaris untuk bertindak seksama dalam arti berhati-hati dan teliti dalam menjalankan tugasnya. Menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum mewajibkan Notaris menjalankan prosedur yang semestinya dalam proses pembuatan akta agar tidak ada pihak yang dirugikan atas akta tersebut. Notaris bertanggung jawab atas apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Menjamin akta yang dibuatnya kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan atau dokumen-dokumen itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak itu sendiri, Notaris tidak bertanggung jawab jika ada keterangan dan dokumen yang tidak benar dari penghadap. Kekuatan pembuktian akta otentik yang penghadapnya menggunakan identitas palsu tetap sebagai akta otentik, hanya Hakim yang dapat membatalkan akta tersebut. Namun jika penghadap yang menggunakan identitas palsu tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Hal ini terjadi bila para penghadap ternyata masih dibawah umur (belum berusia 18 tahun) menurut UUJN.41
41
Yuniman Riza, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, UNS Press, Surakarta, 2008, hal.
19
Universitas Sumatera Utara
41
Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta otentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yaitu :42 1.
Kekuatan pembuktian formil Membuktikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta.
2.
Kekuatan pembuktian materiil Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat Membuktikan antara pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Apabila ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tidak dipenuhi maka akta tersebut
hanya berkedudukan sebagai akta di bawah tangan sepanjang akta tersebut ditanda tangani oleh para pihak. Seperti ditentukan dalam Pasal 1869 KUHPerdata :
42
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung, Rafika Aditama, 2008, hal 72.
Universitas Sumatera Utara
42
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat di dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak.” Berdasarkan Pasal 1874 KUHPerdata bahwa “Tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, registerregister, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum”. Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk ditandatangani dan dijadikan bukti dari suatu perbuatan. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna seperti akta otentik, apabila isi dan tanda dari akta tersebut diakui oleh orang yang bersangkutan. Dalam akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Notaris selaku Pejabat umum kepadanya melekat hak-hak istimewa sebagai konsekuensi predikat kepejabatan yang dimilikinya. Hak-hak istimewa yang dimiliki Notaris menjadi pembeda perlakuan (treatment) daripada masyarakat biasa. Bentukbentuk perlakuan itu diantaranya, berkaitan dengan hak ingkar Notaris yang harus diindahkan, perlakuan dalam hal pemanggilan, pemeriksaan, proses penyelidikan dan penyidikan. Keberhasilan kinerja Notaris ditentukan oleh nilai kejujuran. Dengan kata lain, hubungan Notaris dan klien membutuhkan adanya kejujuran dan kepercayaan. Nilai
Universitas Sumatera Utara
43
kejujuran klien merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung keberhasilan kinerja Notaris dalam pembuatan akta yang dipercayakan kepadanya. Sebagai pejabat umum yang terpercaya, akta-aktanya harus menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum di pengadilan kecuali dapat dibuktikan ketidakbenarannya,
artinya
Notaris
memberikan
kepada
pihak-pihak
yang
membuatnya menjadi suatu pembuktian yang sempurna. Selain memberikan jaminan, ketertiban dan perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris, Notaris juga perlu mendapat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Notaris. Sisi lain dari pengawasan terhadap Notaris adalah aspek perlindungan hukum bagi Notaris di dalam menjalankan tugas dan fungsi yang oleh Undang-Undang diberikan dan dipercayakan
kepadanya,
sebagaimana
disebutkan
dalam
butir
konsideran
menimbang yaitu Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.43 Dalam praktik sekarang ini sudah banyak terjadi akta yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti otentik dipersoalkan di pengadilan atau Notarisnya langsung dipanggil untuk dijadikan saksi bahkan seorang Notaris digugat atau dituntut di muka pengadilan. Penyebab permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian Notaris, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain. Apabila penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian Notaris memenuhi ketentuan
43
Marwanto Halim, Notaris Sebagai Pejabat Publik (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif), Erlangga, Jakarta, 2010, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
44
Undang-Undang, berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum, yang dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian menuntut penggantian kepada Notaris, dalam hal penyebab permasalahan bukan timbul dari kesalahan Notaris, melainkan timbul karena ketidakjujuran klien terkait kebenaran syarat administrasi sebagai dasar pembuatan akta, berakibat akta tersebut batal demi hukum. Kebenaran akta notaris adalah kebenaran formal, maksudnya dasar pembuatan akta mengacu pada identitas komparan dan dokumen-dokumen formal sebagai pendukung untuk suatu perbuatan hukum, sehingga akta yang dibuatnya Notaris adalah bersifat kebenaran formal, disebut begitu karena Notaris tidak melakukan penelusuran dan penelitian sampai ke lapangan tentang dokumen formal yang dilampirkan sehingga akta Notaris bukan kebenaran materiil sebagaimana pencarian kebenaran dan keadilan dalam proses hukum di pengadilan. Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu akta Notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus : 1.
Para penghadap yang telah memenuhi syarat (minimal berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja Notaris yang bersangkutan tersebut;
2.
Para penghadap tersebut harus dikenal Notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya;
Universitas Sumatera Utara
45
3.
Para penghadap mengutarakan maksudnya;
4.
Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;
5.
Notaris membacakan susunan akta dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;
6.
Segera setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut. Maka suatu akta Notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
Universitas Sumatera Utara
46
B.
Notaris sebagai Pejabat Publik yang Dikehendaki Undang-Undang dan Berhak Memperoleh Perlindungan Hukum Notaris adalah pejabat publik yang diangkat dan diberhentikan oleh negara
melalui Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Republik Indonesia. Namun meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh negara tetapi Notaris bukanlah Pejabat negara atau Pegawai negara yang memperoleh gaji dari negara. Notaris sebagai pejabat publik membuka kantor dan menjalankan jabatannya dengan menggunakan dana sendiri dan juga usaha sendiri tanpa ada bantuan dari negara. Notaris tidak memperoleh fasilitas dari negara dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik yang pada hakekatnya adalah melaksanakan sebagian kewibawaan Pemerintah di bidang akta otentik yang juga merupakan suatu dokumen negara. Konsekuensi dari jabatan yang disandang oleh Notaris adalah memperoleh tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakannya, disamping itu selain tugas dan kewajiban seorang Notaris dia juga memperoleh kewenangan dan hak-hak khusus yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Oleh karena itu setiap pelaksanaan tugas kewajiban, kewenangan dan hak dari Notaris tersebut sudah selayaknya Notaris memperoleh perlindungan hukum dari negara. Perlindungan hukum yang memuat segala daya upaya yang dilakukan oleh ketentuan peraturan Perundang-undangan yang sah dibuat oleh negara untuk memberikan perlindungan hukum terhadap semua pelaksanaan tugas, kewajiban, kewenangan dan hak-hak Notaris sebagai pejabat publik yang diangkat dan diberhentikan oleh negara.
Universitas Sumatera Utara
47
Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, perlindungan berarti hal (perbuatan), melindungi, sedangkan yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaedah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Dengan demikian dapat dikatakan perlindungan hukum adalah pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi kewajiban dan haknya atau perlindungan terhadap kepentingannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman dalam melaksanakan profesi/tugasnya. UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN) No. 30 Tahun 2004 telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap Notaris yang dituangkan dalam Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa untuk proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk mengambil fotokopi minuta akta dan atau suratsurat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD), kemudian MPD melakukan rapat pleno untuk menentukan disetujui atau tidaknya proses pemanggilan/penyidikan dari Notaris yang bersangkutan. 44 Sebagai pejabat publik yang diangkat dan diberhentikan oleh negara, Notaris memiliki hak-hak khusus yang melekat karena jabatannya tersebut yang diberikan oleh Undang-Undang. Hak istimewa yang dimiliki Notaris sebagai pejabat publik adalah hak ingkar yang merupakan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1909 ayat 44
Suminto Rahwandi, Etika Notaris Sebagai Pejabat Umum, Eressco, Bandung, 2007, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
48
(1) KUHPerdata.45 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik, Notaris sering berurusan dengan proses hukum baik ditahap penyelidikan, penyidikan, maupun persidangan. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuat. Apabila kita hadapkan dengan sumpah jabatan Notaris dimana Notaris wajib merahasiakan isi akta yang dibuatnya, maka hal ini bertentangan satu dengan yang lain. Pada keadaan seperti ini Notaris dapat mempergunakan hak ingkar atau hak untuk dibebaskan menjadi saksi yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan.46Hak ingkar adalah merupakan konsekuensi hukum dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahui. Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN No. 30 Tahun 2004 mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun dimuka pengadilan. Artinya tidak dibolehkan memberikan kesaksian mengenai apa yang dibuat dalam akta yang telah dibuatnya. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Kewajiban ini mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata (lex specialist derogat lex generalist). Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata berbunyi : “Namun dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian:
45
GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1990, hal 120. Muhammad Fajri, Prespektif Notaris dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Citra Medya, Jakarta, 2010, hal 47. 46
Universitas Sumatera Utara
49
a. Siapa yang ada pertalian darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis kesamping sampai derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. b. Segala pekerjaannya atau jabatannya menurut Undang-Undang diwajibkan merahasiakan sesuatu namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian, Pasal 170 ayat (1) KUHPerdata berbunyi : a. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. b. Hakim menentukan sah atau tidaknya alasan untuk permintaan tersebut. Dasar filosofi hak ingkar bagi jabatan-jabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang kepercayaan untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya di bidang yuridis, media atau kerohanian dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat nasehat-nasehat, tanpa yang demikian itu akan merugikan baginya. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 UUJN No. 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Pada Pasal 66 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
50
huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang untuk : a.
Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris
b.
Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris Sesuai dengan substansi Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 tahun 2004 dapat
dikatakan bahwakata “Persetujuan” tersebut mempunyai arti bahwa dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.47 Oleh karena itu untuk kepentingan proses peradilan, harus memperoleh persetujuan MPD. Hal tersebut menunjukkan adanya kerahasiaan dan bahwa tidak dengan mudah untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan juga tidak mudah untuk memanggil Notaris meskipun dengan tujuan untuk hadir dalam pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan oleh Penyidik berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris tersebut. Ketentuan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b tersebut di atas hanya berlaku dalam perkara pidana, karena pasal tersebut berkaitan erat dengan tugas Penyidik dalam hal ini adalah Polri. Disamping itu Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b tersebut juga berkaitan dengan tugas Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam sistem peradilan pidana di
47
Putri AR, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2011, hal.85.
Universitas Sumatera Utara
51
Indonesia dan juga berkaitan dengan tugas Hakim sebagai pemutus/penjatuh hukuman (vonis) dalam perkara pidana. Jika seorang Notaris digugat secara perdata, maka persetujuan MPD tidak dibutuhkan. Untuk memperkuat ketentuan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut diatas maka Ikatan Notaris Indonesia (INI) telah melakukan suatu kesepakatan bersama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman No.Pol:B/1056/V/2006, Nomor:01/MoU/PP-INI/V/2006 tanggal 6 Mei 2006. Selanjutnya pada Tahun 2007, kewenangan MPD tentang pemanggilan Notaris, pengambilan minuta akta diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (HAM) No.M.03.HT.03.10 Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris (selanjutnya disebut PerMen 03/2007). Dengan demikian Penyidik Polri yang melakukan pemanggilan langsung terhadap Notaris tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan MPD, merupakan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau bertentangan dengan Undang-Undang khususnya Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004. Dalam prakteknya yang terjadi di masyarakat masih ditemui pelanggaran terhadap Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 ini, dimana Penyidik Polri melakukan pemanggilan langsung terhadap Notaris tanpa terlebih dahulu memohon ijin dari MPD. Apabila MPD di suatu daerah kabupaten/kota belum terbentuk, maka ijin tersebut menjadi kewenangan dari Majelis Pengawas Wilayah (MPW). Dengan kata lain proses pemanggilan Notaris harus terlebih dahulu memohon persetujuan MPD, dan apabila MPD belum terbentuk di daerah kabupaten/kota tersebut, maka
Universitas Sumatera Utara
52
surat permohonan ijin tersebut ditujukan kepada MPW. Kasus pemanggilan Notaris tanpa terlebih dahulu memohon ijin dari Majelis Pengawas terjadi di Sulawesi Tengah. Notaris berinsial “Ad” disangka telah melakukan tindak pidana “Pemalsuan Surat” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 263, 264 dan 266 KUHP. Pada tingkat penyidikan, Penyidik Polri tidak memperoleh persetujuan dari MPW, (karena MPD belum terbentuk pada saat peristiwa tersebut terjadi) untuk melakukan pemanggilan terhadap tersangka Notaris “Ad”. Dengan tidak mengindahkan persetujuan dari MPW tersebut Penyidik Polri tetap melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Notaris “Ad” yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Polri. Pada saat itu Penyidik Polri langsung mengajukan berkas berita acara pemeriksaan Notaris tersebut ke Kejaksaan Negeri, dan oleh Kejaksaan Negeri Palu, berkas tersebut dinyatakan telah lengkap dan dinyatakan P.21. Status Notaris “Ad” dinaikkan dari tersangka menjadi terdakwa. Penasehat hukum terdakwa mengajukan eksepsi yang memohon persidangan dihentikan, dengan alasan Penyidik Polri dalam proses penyidikan terdakwa “Ad” tidak memperoleh ijin terlebih dahulu dari MPW sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut.
Oleh
Pengadilan
Negeri
Palu
dijatuhkan
putusan
Sela
Nomor:118/PID.B/2011/PN.PL tanggal 10 Oktober 2011 yang isinya tidak mengindahkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004, sehingga mengakibatkan terdakwa Notaris “Ad” diperiksa secara langsung oleh Penyidik tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin dari MPW. Tindakan Penyidik Polri dengan melakukan pemanggilan secara langsung terhadap Notaris “Ad” adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
53
perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004, sehingga pada prinsipnya pemeriksaan Notaris tersebut tidak sah berdasarkan hukum yang berlaku. Penerapan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 merupakan koridor hukum dalam memberikan persetujuan untuk dilakukan pro justicia terhadap Notaris, dan untuk itu MPD dapat menggunakan dua tolok ukur yaitu: 1. Persetujuan pemeriksaan terhadap Notaris sebagai saksi, dalam hal aktaakta Notaris merupakan alat bukti atau fakta yang sangat relevan dengan peristiwa pidana yang diduga kuat terjadi. 2. Persetujuan pemeriksaan terhadap Notaris sebagai tersangka dan/atau terdakwa hanya dapat diberikan oleh MPD, sepanjang Notaris yang bersangkutan lebih dahulu telah terbukti melakukan kesalahan dalam pelaksanaan jabatannya atau profesionalitasnya berdasarkan keputusan Majelis Pengawas yang bersifat final dan mengikat.48 Pada
proses
memberikan
persetujuan,
MPD
diharuskan
melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 70 huruf a UUJN No. 30 Tahun 2004, yaitu dengan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan. Setelah 48
Pieter E Latumenten, Prosedur Hukum Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Berdasarkan UUJN No. 30 Tahun 2004, Eressco, Bandung, 2010, hal.27.
Universitas Sumatera Utara
54
dilaksanakan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan, hasil akhir pemeriksaan MPD dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan, yang isinya memberikan persetujuan atau menolak permohonan Penyidik terhadap Notaris yang bersangkutan. Tujuan pemeriksaan terhadap Notaris tidak lain adalah untuk melindungi Notaris dari jabatannya yang mewajibkan untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN No. 30 Tahun 2004. Seorang Notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya. Tujuan merahasiakan akta dan surat-surat lainnya yang berada dalam penyimpanan protokol Notaris tersebut adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut, sehingga MPD yang memberikan persetujuan atau menolak permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi Notaris dan juga semua pihak yang terkait dalam akta Notaris. MPD yang memiliki wewenang untuk memberi persetujuan atas permohonan Penyidik, penuntut umum atau Hakim dalam hal mengambil minuta dan/atau memanggil Notaris, maka implementasi Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut
Universitas Sumatera Utara
55
harus dilakukan dengan jujur, adil, transparan, beretika, profesional dan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.49 Berdasarkan uraian di atas, selain kedua bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris di atas, Notaris juga memiliki perlindungan hukum yaitu pemahaman aparat penegak hukum akan tugas dan kewenangan dari Notaris serta pemahaman aparat penegak hukum untuk mengerti dan memahami mengenai aturan-aturan yang terdapat didalam UUJN No. 30 Tahun 2004. Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang sempurna, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris tersebut harus dapat diterima, sepanjang tidak terdapat perbuatan kesengajaan dari Notaris dalam memalsukan akta tersebut atau memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik yang dibuatnya tersebut. Disamping itu apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya terhadap akta otentik tersebut dengan melibatkan Notaris tersebut secara sengaja telah melakukan tindak pidana melalui akta otentik yang dibuatnya tersebut. Dengan pemahaman aparat penegak hukum akan tugas dan kewenangan Notaris, maka tidak ada lagi Notaris yang dijadikan pihak yang ikut serta terkait tindak pidana dalam akta otentik yang dibuatnya, mengingat Notaris membuat akta atas keinginan para pihak. Apa yang menjadi keinginan para pihak didengar dan dicatat oleh Notaris untuk dituangkan kedalam akta otentik. Meskipun dalam akta otentik tersebut tercantum nama Notaris tersebut, tetapi dalam akta otentik tersebut
49
Muhammad Affandi, Kewajiban Dan Wewenang Majelis Pengawas Notaris, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.25.
Universitas Sumatera Utara
56
Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak yang berkepentingan atau pihak yang bersama-sama dengan para penghadap yang namanya tercantum dalam akta tersebut. Para pihak tidak dapat menuntut Notaris dalam proses peradilan, apalagi menjadikan Notaris sebagai tersangka dengan melaporkan/mengadukannya kepada pihak Penyidik Polri. Hal ini disebabkan karena Notaris hanya mengkonstantir apa keinginan para pihak dan pada saat akta dibuat, sebelum ditandatangani oleh para pihak, Notaris membacakan dihadapan para pihak dan kemudian para pihak baru menandatangani akta otentik tersebut sebagai tanda persetujuannya. Hal tersebut berarti para pihak memahami dan menyetujui apa yang tertuang dalam akta otentik tersebut.50 Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris”. Pasal 16 ayat (7) UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut
50
Nawawi Arman, Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Sempurna, Media Ilmu, Jakarta, 2011,
hal.12.
Universitas Sumatera Utara
57
dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris”. Pasal 16 ayat (8) UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (7) di atas dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta”. Selanjutnya Pasal 16 ayat (9) UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 huruf m dan Pasal 16 ayat (7) UUJN No. 2 Tahun 2014 tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”. Pasal 16 ayat (1) UUJN No. 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (9) UUJN No. 2 Tahun 2014 sebagaimana tersebut di atas tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat”. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN No. 2 Tahun 2014 menjelaskan bahwa,
dalam hal
pembacaan akta kepada para penghadap Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. C.
Pertimbangan Hukum Munculnya Pasal 66 Ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Notaris UUJN No. 30 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 14 September
2004 merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-Undang yang mengatur tentang kenotariatan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. UUJN No. 30 Tahun 2004 mengatur secara rinci tentang Notaris sebagai
Universitas Sumatera Utara
58
pejabat umum dan juga tugas dan kewenangan Notaris dalam hal pembuatan akta otentik. Akta otentik Notaris adalah akta yang mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum baik terhadap Notaris itu sendiri maupun kepada penghadap serta pihak lainnya yang berkaitan dengan akta otentik tersebut. Sebagai alat bukti yang sempurna apa yang dinyatakan dalam Notaris harus diterima kecuali pihak yang berkepentingan membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris diluar pembuatan akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara konfrehensif dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak ahli / akademisi, disamping departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan serta organisasi Notaris dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan HAM. Sebelum berlakunya UUJN No. 30 Tahun 2004 pengaturan jabatan Notaris diatur dalam Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stbh 1860 :3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran negara Tahun 1954 Nomor 101; Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara Lembaran Negara Tahun 1954 No. 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4379); dan PP No. 11 Tahun 1949 tentang Sumpah / Janji Jabatan Notaris.
Universitas Sumatera Utara
59
Kedudukan seorang Notaris sebagai fungsionaritas dalam masyarakat dianggap sebagai seorang pejabat publik yaitu tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. UUJN No. 30 Tahun 2004 pada Bab I di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Dengan memperhatikan beberapa pasal dari beberapa peraturan Perundangundangan yang meligitimasikan keberadaan Notaris sebagai pejabat umum dan melihat tugas dan pekerjaan Notaris memberikan pelayanan publik (pelayanan pada masyarakat) untuk membuat akta-akta otentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmeken dan legaliseren) surat-surat / akta-akta yang dibuat di bawah tangan (L.N 1916-46 jo. 43). Notaris juga memberikan nasihat dan penjelasan mengenai Undang-Undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan, serta pengangkatan dan pemberhentian seorang Notaris yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang bidang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang kenotariatan, maka persyaratan pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas kewenangan memberikan pelayanan publik di bidang tertentu, terpenuhi oleh jabatan Notaris. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keteranganketerangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak
Universitas Sumatera Utara
60
dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau inompeachable), yang merahasiakan dalam membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.51 Para Notaris mempunyai persamaan dalam pekerjaan dengan para advokat. Keduanya, menuangkan suatu kejadian dibidang ekonomi dalam suatu bentuk hukum nasihat kepada pelanggan dan mengharapkan mendapat kepercayaan dari mereka. Adapun perbedaan prinsip, yaitu :52 1. Seorang Notaris memberikan kepada semua pihak, advokat kepada satu pihak. Seorang Notaris berusaha menyelesaikan suatu persoalan, sehingga semua pihak puas, advokat berusaha memuaskan satu pihak. Kalaupun dalam usaha itu tercapai suatu consensus, pada dasarnya ia memperhatikan hanya kepentingan pelanggannya. 2. Pekerjaan seorang Notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu persoalan antara pihak-pihak sedangkan seorang advokat menyelesaikan suatu persoalan yang sudah terjadi. Dari uraian tersebut di atas maka telah jelas pekerjaan seorang Notaris lebih luas dari apa yang digambarkan di atas, tetapi adanya perbedaan-perbedaan nyata sekali. A.W. Voors menganjurkan supaya berpegang pada pedoman sebagai berikut : 51
Rachmad Sutandi, Etika Penegakan Profesi Hukum, Eressco, Bandung, 2010, hal. 36 Marwan Hadi, Peranan Notaris Dalam Pembentukan Kepastian Hukum di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2010, hal. 53 52
Universitas Sumatera Utara
61
1. Dalam membela hak satu pihak diharapkan seorang notaris tidak ikut campur, tetapi dalam hal mencari dan membuat suatu bentuk hukum di mana kepentingan pihak-pihak berjalan paralel, notaris memegang peranan dan advokat hanya memberi nasihat. 2. Sering terjadi terhadap masyarakat adalah seorang notaris bertindak sebagai notaris dan advokat. Sikap ini sering menyenangkan para pelanggan. Tetapi sebagai akibatnya, hal ini nanti akan membahayakan notaris itu sendiri, sebab tidak mustahil hal itu dapat menyebabkan benturan kepentingan dengan seorang advokat atau mengecewakan pelanggan karena seorang notaris tidak dibenarkan membela teori-teori yang dikemukakannya kepada pelanggan di hadapan pengadilan, kecuali diminta oleh instansi itu. Sebagai manusia biasa secara kodratnya, seorang notaris dapat melakukan kesalahan-kesalahan apapun juga baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas. UUJN No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris telah menempatkan Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi hukum dan karena itu yang perlu mendapatkan jaminan hukum adalah notaris sebagai suatu profesi bukan notaris sebagai pribadi. Pemanggilan ini bagi seorang notaris tetap harus bertanggung jawab atas akta yang dibuat di hadapan atau olehnya walaupun notaris sebenarnya mempunyai hak ingkar. Tetapi untuk kelancaran jalannya persidangan maka diatur dalam Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
62
UUJN No. 30 Tahun 2004, telah mengatur bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada notaris, yaitu :53 1. Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa untuk proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan atau suratsurat yang diletakkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya untuk protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya. 2. Pengawasan dan pembinaan terhadap perilaku Notaris yang diatur dalam Kode Etik Profesi dan Pelaksanaan Jabatan Notaris yang diatur dalam UUJN dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang dari mulai Majelis Pengawas Notaris Majelis Pengawas Wilayah Notaris, Majelis Pengawas Pusat Notaris. Bentuk perlindungan hukum bagi Notaris sebagai profesi Notaris difokuskan dalam perspektif Peran Majelis Pengawas Notaris dalam tindakan-tindakan pro justicia yang dilakukan oleh penegak hukum dalam sistem peradilan pidana yang dari sudut entitasnya mencakup Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Dalam suatu perkara perdata yang melibatkan akta-akta Notaris, dimana Notaris ditarik sebagai saksi atau tergugat dan
53
Herlina Effendy Bachtiar, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam UUJN No. 30 Tahun 2004, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.4
Universitas Sumatera Utara
63
penjatuhan sanksi bagi Notaris sebagai profesi yang dilakukan oleh dan atau Majelis Pengawas Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang menjalankan jabatannya berdasarkan “Keahlian tertentu (keahlian dibidang notariat)”, dan yang dapat menentukan apakah seorang Notaris telah melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam menggunakan keahlian itu, hanya orang-orang yang memiliki “Keahlian di bidang Notariat” oleh karena itu secara ideal yang dapat menentukan kesalahan Notaris adalah organisasi profesinya sendiri melalui instrumennya yang lazim dikenal dengan Dewan Kehormatan Profesi. UUJN No. 30 Tahun 2004 telah melahirkan suatu lembaga baru yang dikenal dengan Majelis Pengawas Notaris, yang oleh Pasal 66 No. 30 Tahun 2004 UUJN diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan jaminan hukum bagi Notaris sebagai suatu profesi dan campur tangan pihak-pihak lain berkaitan dengan pelaksanaan jabatan Notaris. UUJN No. 30 Tahun 2004 telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 66. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang pemanggilan saksi atau tersangka dan penyitaan bukti tulisan atau surat yang disimpan oleh pihak yang bukan Notaris. Namun dalam hal pemanggilan terhadap Notaris guna kepentingan penyidikan, harus ada prosedur khusus yang harus ditempuh oleh Penyidik, yakni memperoleh ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini tercantum didalam Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 sebagai suatu kekhususan perlakuan terhadap Notaris sebagai pejabat publik. Di
Universitas Sumatera Utara
64
samping itu aturan Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 ini juga untuk menghindari kesewenang-wenangan Polri sebagai Penyidik dalam memanggil Notaris. Isi Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 mengenai pemanggilan Notaris untuk kepentingan pemeriksaan dalam suatu perkara pidana, tidak menyebutkan dalam kedudukan saksi, tersangka atau dalam prosedur hukum penangkapan atau penahanan. Memahami isi Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut di atas harus dihubungkan pula dengan pasal-pasal lainnya dalam UUJN No. 30 Tahun 2004 dan juga peraturan Perundang-undangan yang lain sebagai suatu sistem hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang dibebani kewajiban untuk menjaga kerahasiaan visi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan akta-akta yang dibuatnya. Pasal-pasal yang terkait dengan Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut diantaranya adalah Pasal 4 ayat (2) UUJN (sumpah janji) yang berbunyi : “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”. Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN berbunyi : “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangannya yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain”. Pasal 54 UUJN berbunyi : “Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatan atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta dan kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan Perundang-undangan”.
Universitas Sumatera Utara
65
Pasal 33 ayat 2 UUJN mengatakan, Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus dan pejabat sementara Notaris adalah orang yang diangkat untuk sementara menjalankan jabatan Notaris dan karenanya ketentuan-ketentuan tentang rahasia jabatan yang berlaku bagi Notaris berlaku juga bagi Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus dan pejabat sementara Notaris. Pasal 322 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib menyimpanannya oleh karena jabatan atau pekerjaan baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan. Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, Pejabat atau Werda Notaris oleh Pasal 322
KUH Pidana tetap diwajibkan
merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh berkaitan dengan akta-akta yang dibuatnya UUJN tidak secara jelas mengatur. Jika Pasal 66 UUJN dipahami dengan menghubungkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN jo Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN jo Pasal 54 UUJN jo Pasal 33 ayat (2) UUJN dan Pasal 322 KUH Pidana, maka akta Notaris harus ditafsirkan termasuk juga mereka yang masih menjalankan jabatan maupun yang tidak lagi menjalankan jabatan, berkaitan dengan akta yang pernah dibuatnya, tetap memerlukan persetujuan
Majelis Pengawas Daerah
yang
dimaksudkan dalam Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 66 UUJN No. 30 Tahun 2004 hanya berlaku dalam perkara pidana saja, sedangkan dalam perkara perdata pemanggilan tidak diperlukann ijin dari Majelis Pengawas Daerah. Namun apabila Notaris digugat secara perdata yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, maka Notaris lebih baik datang untuk
Universitas Sumatera Utara
66
memenuhi persidangan tersebut, dikhawatirkan Hakim yang memeriksa perdata tersebut menilai ketidakhadiran Notaris dalam persidangan diputuskan secara verstek yang dapat merugikan Notaris.54 Notaris yang dipanggil atau diminta sebagai saksi dalam suatu perkara perdata, wajib untuk menolaknya atau tidak urgensi hukumnya untuk hadir memberikan keterangan sebagai saksi dengan alasan dan dasar hukum yaitu : 1. Pasal 1865 mengatakan, “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Esensinya jika seorang mendalilkan mempunyai suatu hak maka ia wajib membuktikan adanya hak tersebut. Begitu pula sebaliknya jika seseorang membantah hak orang lain ia wajib membuktikan bantahannya tersebut. 2. Pasal 1870 KUHPerdata mengatakan, “Bahwa pada akta otentik (akta Notaris) melekat kekuatan bukti lengkap (sempurna) dan mengikat artinya pada akta otentik telah mencukupi batas minimal pembuktian tanpa diperlukan bantuan alat bukti lain”, sehingga terhadap akta otentik Hakim wajib : (a) Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna; (b) Menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti dan
54
Habib Adjie, Salah Kaprah Mendudukan Notaris Sebagai Tergugat, Media Notaris, Jakarta, 2008, hal. 157
Universitas Sumatera Utara
67
(c) Terikat akan kebenaran yang dibuktikan dengan akta tersebut dan harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil keputusan dalam penyelesaian sengketa. Notaris yang dipanggil sebagai saksi dalam perkara perdata bukanlah merupakan suatu kewajiban, kecuali ada alasan yang sah untuk menghadirkan saksi yang ditentukan dalam Pasal 165 ayat (1) dan Pasal 169 RBG yaitu keterangan yang akan diberikan sebagai sangat urgent dan relevan dalam meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat. Bagi kesaksian Notaris yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya dalam perkara perdata bukan merupakan kewajiban yang imperatif oleh karena itu akta otentik telah memberikan kekuatan bukti yang mencukupi tanpa perlu bantuan alat bukti lain menurut Undang-Undang.55 Proses peradilan perdata tidak mengharuskan putusan Hakim didasarkan kepada kebenaran materiil namun cukup kebenaran formil yang diwujudkan berdasarkan fakta-fakta yang diajukan para pihak selama proses persidangan berlangsung, tanpa diperlukan keyakinan Hakim. Dalam perkara pidana, seseorang dapat dijatuhkan hukuman pidana jika terbukti, adanya kesalahan (unsur subyektif), dimana harus memenuhi syarat-syarat yaitu : a. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat diluar manusia berupa :
55
Adrian Sutedi, Kesaksian Notaris Bukan Merupakan Kewajiban Hukum yang Bersifat Imperatif DalamPerkara Perdata, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 31
Universitas Sumatera Utara
68
1. Suatu tindakan atau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana 2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh Undang-Undang 3. Keadaan atau hal-hal khusus yang dilarang dan diancam sanksi pidana Undang-Undang b. Unsur subyektif, berupa unsur kesalahan. Salah satu sisi positif yang terpenting dan strategis yang dilahirkan oleh UUJN No. 30 Tahun 2004 adalah terbentuknya Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang yaitu Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat yang tugas dan wewenangnya pada pokoknya menyelenggarakan sidang dan penjatuhan sanksi disiplinair terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap UUJN No. 30 Tahun 2004 dan Kode Etik Notaris, yang disimpulkan dan beberapa pasal UUJN Notaris yaitu : Pasal 70 huruf UUJN No. 30 Tahun 2004 : “Majelis Pengawas Daerah berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.” Pasal 73 huruf a UUJN No. 30 Tahun 2004 : “Majelis Pengawas Wilayah berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah.”
Universitas Sumatera Utara
69
Pasal 77 huruf a UUJN No. 30 Tahun 2004 : “Majelis Pengawas Pusat berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti”. Pasal 78 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 : “Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a bersifat terbuka untuk umum”. 56 Dalam perkara pidana alat bukti keterangan saksi di tempatkan pada urutan pertama oleh karena perkara pidana mengutamakan kesaksian dari orang yang secara langsung mengalami, melihat dan mendengar sendiri secara langsung tindak pidana yang terjadi.57 Dari uraian di atas dapat dikatakan Notaris sebagai pejabat publik yang dikehendaki
keberadaanya
oleh
Undang-Undang
dan
diatur
tugas
dan
kewenangannya di dalam Undang-Undang, juga memiliki hak khusus yang juga diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu UUJN No. 30 Tahun 2004. Pertimbangan hukum munculnya Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut di atas merupakan bukti nyata bahwa Notaris mempunyai kedudukan hukum
yang harus
dilindungi
oleh
peraturan
Perundang-undangan
dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat publik yang diangkat dan
56
Djunaedi Harun, Unsur Pidana Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Notaris, Refika Aditama, Jakarta, 2009, hal. 22 57 PAF.Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 87
Universitas Sumatera Utara
70
diberhentikan oleh negara dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Perlindungan hukum terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 merupakan perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai pejabat publik yang melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan kewibawaan Pemerintah menyimpan dokumen negara dalam bentuk akta otentik. Perlindungan hukum tersebut tidak diberikan kepada Notaris sebagai pribadi. Di dalam naskah rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat publik yang jabatannya dikehendaki oleh negara dan oleh masyarakat yang membutuhkan jasanya dibidang pembuatan akta otentik. Sebagai pejabat publik yang juga melaksanakan sebagian tugas dan kewibawaanya dalam membuat akta otentik yang juga merupakan dokumen negara, maka sudah selayaknya bila Notaris memperoleh perlindungan hukum secara khusus berkaitan dengan tugas dan kewajibannya tersebut. Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 bertujuan untuk melindungi Notaris sebagai pejabat publik dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum (Polisi, Jaksa atau Hakim) dalam proses pemeriksaan perkara pidana yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik oleh Notaris tersebut. Penegak hukum seperti Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim tidak dibenarkan secara sewenang-wenang untuk mengambil fotokopi minuta akta Notaris karena merupakan dokumen negara yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, tata cara pengambilan fotokopi minuta akta Notaris harus berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini dengan
Universitas Sumatera Utara
71
memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) menurut UUJN No. 30 Tahun 2004. Disamping tata cara pengambilan fotokopi minuta akta Notaris, menurut pertimbangan yang terdapat rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004 tersebut, juga perlu diatur tentang tata cara pemanggilan Notaris oleh Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim untuk menghadirkan Notaris demi kepentingan proses pemeriksaan dalam perkara pidana yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya. Hal ini disebabkan karena Notaris adalah pejabat publik yang diberikan hak dan kewenangan tertentu oleh negara dalam hal pembuatan akta otentik yang juga merupakan dokumen negara, karena hak dan kewenangan khusus yang dimiliki oleh Notaris sebagai pejabat
publik maka sudah selayaknya pula
Notaris diberikan perlindungan hukum yang khusus pula karena jabatannya sebagai pejabat publik dalam hal tata cara pemanggilan Notaris untuk kepentingan pemeriksaan khususnya dalam perkara pidana yang berkaitan dengan pembuatan akta otentik yang dibuatnya. Hak-hak khusus yang dimiliki oleh seorang Notaris sebagai pejabat publik dalam hal tata cara pengambilan fotokopi minuta akta maupun tata cara pemanggilan, maupun tersangka dalam suatu pemeriksaan perkara pidana dituangkan di dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UUJN No. 30 Tahun 2004 yang telah dicabut pemberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi. Pemberian hak khusus kepada Notaris dalam tata cara pengambilan fotokopi minuta akta maupun pemanggilan Notaris sebagai pejabat publik oleh Penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya sudah
Universitas Sumatera Utara
72
sewajarnya untuk dihormati dan dilaksanakan oleh para penegak hukum dibidang hukum pidana, khususnya Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim. Oleh karena itu pencabutan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 mengenai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam hal tata cara pengambilan fotokopi minuta akta maupun tata cara pemanggilan Notaris sebagai pejabat publik dengan dasar pertimbangan persamaan kedudukan setiap warga negara di mata hukum adalah kurang tepat, karena perlindungan hukum tersebut diberikan oleh UUJN No. 30 Tahun 2004 adalah berkaitan dengan jabatan publik yang diemban oleh Notaris yang melaksanakan sebagian tugas kewibawaan Pemerintah dalam membuat akta otentik yang juga merupakan dokumen negara, bukan Notaris sebagai orang pribadi atau sebagai warga masyarakat. Apabila Notaris melakukan tindak pidana yang tidak ada kaitannya dengan akta otentik yang dibuatnya maka ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 tersebut tidak berlaku dalam proses pemeriksaan Notaris tersebut dibidang hukum pidana. Pasal 66 ayat (1) UUJN No. 30 Tahun 2004 hanya terbatas untuk memberikan perlindungan hukum kepada Notaris berkaitan dengan pembuatan akta otentik yang dibuatnya dimana akta tersebut terindikasi mengandung unsur pidana.58
58
Eddy Murdyanto, Notaris dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat, Intermasa, Jakarta, 2009,
hal.50
Universitas Sumatera Utara