ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TESIS
Oleh
DESNI PRIANTY EFF. MANIK 077005007/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DESNI PRIANTY EFF. MANIK 077005007/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISIS KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS : Desni Prianty Eff. Manik : 077005007 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus: 22 Juli 2009
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Telah diuji pada Tanggal 22 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
ABSTRAK Kehadiran institusi Notaris di Indonesia memerlukan pengawasan oleh Pemerintah. Adapun yang merupakan tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yang semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah Notaris tersebut kini berada di bawah wewenang Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Metode penelitian dilakukan secara deskriptif-analitis. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisi data terhadap data sekunder dilakukan secara deduktif. Dari hasil penelitian kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 70 untuk MPD, pada Pasal 73 untuk MPW dan pada Pasal 77 untuk MPP. Sedangkan kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 untuk MPD, pada Pasal 18 untuk MPW dan pada Pasal 19 untuk MPP. Akibat hukum terhadap putusan Majelis Pengawas Notaris adalah adanya pemberian sanksi terhadap Notaris yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi juga dapat dijatuhi sanksi etika dan sanksi pidana. Di Sumatera Utara, dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 pihak Kepolisian telah memeriksa 128 orang Notaris yang bermasalah, yang sering terjadi adalah permasalahan penerbitan Akta Jual Beli Tanah. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris adalah wilayah kerja yang sangat luas dan MPD di Sumatera Utara baru terbentuk 4 (empat) MPD sedangkan jumlah Notaris yang cukup banyak, anggaran dari Pemerintah tidak ada sama sekali, serta apabila Majelis Pengawas tidak memberikan persetujuan kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim untuk memeriksa Notaris dapat mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman. Sedangkan upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan kunjungan ke tiap Kantor Notaris di wilayah Sumatera Utara secara berkala. Disarankan mengganti anggota Majelis Pengawas yang berasal dari Organisasi Notaris menjadi masyarakat umum yang mengerti seluk beluk Notaris, perlu adanya standar prosedur operasional pengawasan Notaris secara nasional yang diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, serta perlu ditingkatkan koordinasi antara Majelis Pengawas dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim dan hendaknya pemerintah memberikan anggaran bagi Majelis Pengawas Notaris. Kata kunci : Notaris, Pengawasan, Majelis Pengawas Notaris
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
ABSTRACT The presence of Notary institution in Indonesia must supervised by the government. The supervision aims to enable the Notary fulfill any requirements related to the task performance of Notary position for the society interest because the Notary assigned by government not for themselves but for the society interest. By the application of Act No. 30 of 2004 concerning to Notary position, the guidance and supervision on notary is under the authority of Minister of Law and HAM of RI. The research method is a descriptive analysis. The applied approach method in this research is normative juridical approach. The main data in this research is secondary data. The data was collected by library and field studies. While the secondary data was analyzed by deductive analysis. Based on the results of research indicates that the authority of Notary Supervision Board in Notary supervision in accordance with Act No. 30 of 2004 concerning to the Notary Position as regulated in Article 66 and Article 70 for MPD, Article 73 for MPW and on rticle 77 for MPP. While the authority of Notary Supervision Board in Notary supervision according to the Regulation of Minister of Law and HAM of RI No. M.02.PR.08.10 of 2004 are regulated in Article 13 and Article 14 for MPD, Article 18 for MPW and Article 19 for MPP. The law consequence of the decision of Notary Supervision Board is to provide the Notary with sanction either civil, administrative, ethic sanction or punishment. In North Sumatera, during 2006 up to 2008, the Police had investigate 128 problem Notaries specially in a case of the issuance of Contract of Sale on a land. The obstacles in the implementation of notary supervision by Notary Supervision Board is the widest coverage area and in North Sumatera there are only 4 (four) MPD while there is a big number of Notary, there is not allocated local budget and if Supervision Board did not provide the Police, Attorney and Judge with permit to investigate a notary, it will cause misunderstanding. While the applied effort is to visit a Notary Office in North Surnatera regularly. It is suggested to substitute the member of Supervision Board from the Notary Organization by the community figure who understand the Notary affairs, it is necessary the formulation of Operational Procedure Standard for Notary supervision in national level that regulated by the Acts and to increase the coordination between the Supervision Board and Police, Attorney, Judge and to ask the government allocate the budget for Notary Supervision Board. Keywords : Notary, Supervision, Notary Supervision Board.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
KATA PENGANTAR Bismillahhirrahmanirrahiim, Assalamu’alaikum Wr, Wb. Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : ”Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari. Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 4. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Untuk itu penulis doakan kiranya Allah SWT selalu melindungi dan melimpahkan rahmat karuniaNya kepada Beliau sekeluarga. 6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji. 8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis agar bermanfaat dikemudian hari. 9. Bapak Amri Marjunin, SH selaku Ketua MPD Kota Medan, Ibu Juraini Sulaiman, SH, M.Hum selaku Sekretaris MPW Sumatera Utara, Martua Batubara Selaku Sekretaris MPP serta Bapak Drs. Rosman Siregar, SH, MH selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Sumatera Utara. 10. Orang tua tercinta, Ayahanda Sofyan Manik dan Ibunda Syamsinar, yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anak-anaknya.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
11. Adik-adik ku tercinta, Julian Manik, Ridwan Manik dan Jhoni Manik yang telah memberikan cinta, perhatian dan dukungannya. 12. Teristimewa untuk “Sahabat Terbaikku” terima kasih atas cinta, kasih sayang, perhatiannya dan dukungannya selama ini, sebagai tempat berdiskusi penulis selama menuntut ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 13. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Kekhususan Hukum dan HAM Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007, atas dukungan dan kebersamaannya (Satu untuk tiga puluh, tiga puluh untuk satu, akhirnya …… sampai juga di tujuan ya !!!) 14. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Allah jualah yang membalas semua kebaikannya. Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.
Medan, Juni 2009 Wassalam, Penulis,
DESNY PRIANTY EFF MANIK NIM. 077005007
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Desni Prianty Eff. Manik
Tempat/ Tanggal Lahir
: Cot Girek, Aceh Utara, 16 Desember 1970
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sumatera Utara
Pendidikan
: 1. Sekolah Dasar Negeri No. 2 Cot Girek, Aceh Utara (Lulus tahun 1983) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri Cot Girek, Aceh Utara (Lulus tahun 1986) 3. Sekolah Menengah Atas Negeri Langsa, Aceh Timur (Lulus tahun 1986) 4. Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, Banda Aceh (Lulus tahun 1995) 5. Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Sumatera Utara (Lulus tahun 2009
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ........................................................................................................... i ABSTRACT .......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... x DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xi BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... A. Latar Belakang ............................................................................ B. Permasalahan .............................................................................. C. Tujuan Penelitian ........................................................................ D. Manfaat Penelitian ...................................................................... E. Keaslian Penelitian ....................................................................... F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...................................................... 1. Kerangka Teori ......................................................................... 2. Kerangka Konsepsi ................................................................... G. Metode Penelitian ....................................................................... 1. Spesifikasi Penelitian ................................................................ 2. Sumber Data Penelitian............................................................. 3. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 4. Analisis Data .............................................................................
BAB II KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.................................................. A. Dasar Pemikiran Lahirnya Lembaga Majelis Pengawas Notaris ....................................................................... B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ................................... C. Struktur Organisasi ...................................................................... D. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara ............................................................................... E. Peranan Notaris Dalam Membuat Akta .......................................
1 1 7 7 8 8 9 9 22 23 24 25 26 27
28 28 30 46 51 60
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS ............................................................... A. Perbuatan Yang Dikelompokkan Sebagai Pelanggaran UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris .......... B. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris................................................................ 1. Pengawasan Notaris ............................................................... 2. Pemeriksaan Notaris .............................................................. 3. Penjatuhan Sanksi .................................................................. C. Akibat Hukum Putusan Majelis Pengawas Notaris Terhadap Notaris Yang Melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ...................................................... 1. Sanksi Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ......................................................... 2. Sanksi Perdata ........................................................................ 3. Sanksi Administratif .............................................................. 4. Sanksi Lainnya dan Kumulasi Sanksi Terhadap Notaris .................................................................................... 5. Penegakan Sanksi Administratif ............................................ D. Upaya Hukum Bagi Notaris yang Dijatuhi Sanksi ...................... 1. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Perdata untuk Akta Notaris Yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di Bawah Tangan dan Sanksi Akta Notaris Batal Demi Hukum ................................................................ 2. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Administrasi .......... E. Analisis Terhadap Beberapa Kasus .............................................. 1. Pemeriksaan Terhadap Notaris HS, SH ................................. 2. Pemeriksaan Terhadap Notaris SW, SH ................................ BAB IV KENDALA YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS SERTA UPAYA-UPAYA UNTUK MENGATASINYA ............................ A. Kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ............................................................ B. Upaya-Upaya yang Dilakukan ..................................................... BAB V
70 70
75 75 78 83
87 91 99 100 114 118 121
122 124 127 127 131
134 134 137
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ A. Kesimpulan .................................................................................. B. Saran ............................................................................................
142 142 144
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
145
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
DAFTAR TABEL Nomor
Judul
Halaman
1 : Notaris Yang Dipanggil Pihak Kepolisian di Sumatera Utara Tahun 2006-2008 ........................................................................................
81
2 : Laporan Bulanan Notaris Wilayah Sumatera Utara Tahun 2008 ...............
82
3 : Data Perkara Banding Pada Majelis Pengawas Pusat Tahun 2005-2009 ........................................................................................
122
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
DAFTAR SINGKATAN
LN
:
Lembaran Negara
MPD
:
Majelis Pengawas Daerah
MPW
:
Majelis Pengawas Wilayah
MPP
:
Majelis Pengawas Pusat
MPN
:
Majelis Pengawas Notaris
PPAT
:
Pejabat Pembuat Akta Tanah
PTUN
:
Peradilan Tata Usaha Negara
TLN
:
Tambahan Lembaran Negara
TUN
:
Tata Usaha Negara
UUJN
:
Undang-Undang Jabatan Notaris
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
DAFTAR ISTILAH Bundel
: Kumpulan Minuta Akta yang dibukukan, maksimal 50 buah dan dibuat tiap bulan. Bundel terbagi dua yaitu : 1. Kumpulan Minuta Akta 2. Kumpulan surat-surat dibawah tangan yang terdiri dari legalisasi dan waarmerking
Legalisasi
: Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus.
Minuta Akta
: Akta Asli Notaris
Protokol
: Kumpulan buku-buku yang dimiliki oleh setiap Notaris yang terdiri dari : 1. Bundel yang berisi Minuta Akta 2. Reportorium 3. Buku daftar waarmerking 4. Daftar Legalisasi 5. Daftar Klapper 6. Buku Daftar Perseroan 7. Buku Daftar Wasiat
Reportorium
: Buku daftar keterangan para penghadap sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris yang terdiri dari : 1. Nomor Urut 2. Bulan akta dibuat 3. Tanggal Akta 4. Jenis Akta 5. Nama Penghadap
Waarmerking
: Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam buku khusus.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, yakni nama pada zaman Romawi yang diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama Notarius lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kirakira pada abad kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat. 1 Menurut sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai Pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Notaris adalah suatu jabatan yang tidak digaji oleh Pemerintah akan tetapi Pegawai Pemerintah yang berdiri sendiri dan mendapat honorarium dari orang-orang yang meminta jasanya. Secara administratif, Notaris memiliki hubungan dengan negara dalam hal ini Pemerintahan, misalnya yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Notaris. 2 Sedangkan menurut Komar Andasasmita, bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yakni :
1
R. Sugondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 13. 2 Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Jabatan Notaris, jabatan Notaris dijalankan oleh, a. Orang yang khusus diangkat untuk itu; b. Pegawai negeri, pada jabatan siapa itu dirangkapkan menurut hukum.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Notariat functionnel, hal mana wewenang-wewenang Pemerintah didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian itu diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut bentuk notariat ini terdapat pemisahan yang keras antara wettelijke dan niet wettelijke, werkzaamheden yaitu pekerjaan-pekerjaan yang didasarkan Undangundang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun Pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris ini tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian kekuatan eksekutorialnya. 3 Sejak lama telah terdapat Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pengawasan terhadap Notaris seperti Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (LN 1847 No. 23 jo 1848 No. 57), Rechtsreglement buitengewesten (LN 1927 No. 227), Peraturan Jabatan Notaris (LN 1860 No. 3) dan sejak pada tanggal 6 Oktober 2004, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dimana dari peraturan di atas bisa diketahui dan dipahami akan adanya penetapan Notaris di bawah pengawasan. Kehadiran institusi Notaris di Indonesia perlu dilakukan pengawasan oleh Pemerintah. Adapun yang merupakan tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.
3
Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 12.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yang semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah Notaris tersebut kini berada di bawah wewenang Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Untuk pengawasan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia membentuk Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris tersebut kini telah terbentuk yang terdiri dari sembilan orang yaitu dari unsur Pemerintah tiga orang, Notaris tiga orang, maupun akademisi tiga orang. 4 Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum, tidak jarang Notaris berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika kepada Notaris, maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris banyak disebabkan oleh keteledoran Notaris tersebut sedangkan kesalahan yang terjadi akibat bujukan nilai honorarium yang tinggi sudah jarang terjadi karena hal tersebut tidak lagi mengindahkan aturan hukum dan nilai-nilai etika. Oleh karenanya agar nilai-nilai etika dan hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Notaris dapat berjalan sesuai undang-undang yang ada, maka sangat diperlukan adanya pengawasan. 5
4
http:// www2. kompas. com/ kompas -cetak/ 0501/08/Politikhukum/1486237.htm, diakses tanggal 3 Maret 2009. 5 Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI, yang dibacakan oleh Drs. Hasanuddin, Bc.IP, SH, yang ketika itu sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI, pada acara pembukaan Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pra Kongres ini mengusung topik “Melalui Implementasi Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris Pada Era Reformasi, Kita Tingkatkan Pelayanan Kepada Masyarakat”.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sebagai konsekwensi logis, seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris kepada masyarakat, maka haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan. 6 Adapun tujuan pengawasan Notaris adalah agar Notaris bersungguh-sungguh memenuhi persyaratan-persyaratan dan menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Perundang-undangan yang berlaku, demi pengamanan kepentingan masyarakat umum. Sedangkan yang menjadi tugas pokok pengawasan Notaris adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Mekanisme pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap Notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004
6
Winanto Wiryomartani, Tugas dan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris, Makalah, disampaikan pada acara Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas. 7 Pengawasan Notaris sebelum berlakunya Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri dalam hal ini oleh hakim, namun setelah keberadaan Pengadilan Negeri diintegrasikan satu atap di bawah Mahkamah Agung (MA), maka kewenangan pengawasan dan pembinaan Notaris beralih ke Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Pengawasan Notaris tersebut dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya disingkat dengan MPD) di Kabupaten/Kota, Majelis Pengawas Wilayah (selanjutnya disingkat dengan MPW) di Provinsi dan Majelis Pengawas Pusat (selanjutnya disingkat dengan MPP) di Jakarta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas tersebut dimana di dalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang memahami dunia Notaris luar-dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, Pemerintah, dan masyarakat. Perpaduan 7
Dalam Pasal 1 angka 8 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotariatan disebutkan bahwa Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal. Majelis Pengawas Notaris, tidak hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan HAM yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan HAM mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintah di bidang hukum dan HAM. 8 Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada Pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara Pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut. Dari gambaran keadaan dan permasalahan tentang tugas dan jabatan Notaris dan hadirnya mekanisme baru terhadap pengawasan Notaris yang diatur oleh UUJN yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dan melakukan analisis dengan judul : “Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris 8
Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004”
B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam Pengawasan Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris? 2. Bagaimana akibat hukum dari putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris? 3. Bagaimana kendala yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam Pengawasan Notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari Putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 3. Untuk mengetahui kendala yang timbul dalam pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas Notaris serta upaya-upaya untuk mengatasinya.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangsih pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, khususnya yang menyangkut pengawasan terhadap Notaris. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan kepada masyarakat pada umumnya, pejabat yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, dan secara khusus bagi Notaris agar dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Umum agar lebih berhati-hati, teliti, jujur dan bertanggungjawab.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Utara, penelitian terdahulu mengenai pengawasan Notaris sudah pernah dilakukan, namun penelitian ini berbeda dalam topik dan permasalahannya. Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat dikatakan ”asli”, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yakni, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 9 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 10 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan
9
J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting : M. Hisyam), (Jakarta : FE UI, 1996), hlm. 203. Lihat juga M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 10 Ibid., hlm. 16.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. 11 Menurut Kaelan M.S, landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian. 12 Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut : 1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya ; 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina, struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi ; 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti ; 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. 13 Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan
11
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm.
37. 12
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hlm. 239. 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 121.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 adalah dengan menggunakan pendekatan teori ”kekuasaan negara” sehingga dapat terlihat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum dan struktur kekuasaan negara sebagai grand theory yang dikemukakan oleh John Locke ataupun Montesquieu, meskipun kemudian muncul teori-teori lain, tapi teori mereka merupakan awal berkembangnya teori kekuasaan negara di negara-negara Eropa. Menurut John Locke, bahwa kekuasaan dalam negara harus dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian yang berdiri sendiri dengan tugasnya masing-masing, yaitu : 14 1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan perundangan yang berlaku di dalam negara. 2. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan peraturan perundangan-undangan maupun mengawasi pelaksanaannya. 3. Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan yang tidak termasuk kedua kekuasaan tersebut di atas. Teori tersebut di atas didukung oleh midletheory ”Trias Politica” yang dikembangkan oleh Montesquieu, yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan negara yang lebih tegas. Kekuasaan negara haruslah dipisahkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : 15
14 15
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Bandung : Refika Aditama, 2008), hlm. 41. Ibid.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan perundanganundangan. 2. Kekuasaan
Eksekutif,
yaitu
kekuasaan
untuk
melaksanakan
peraturan
perundangan-undangan. 3. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan, yang penjabarannya di dalam Pasal 1 angka 1 UUJN. Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan Notaris diatur dalam berbagai peraturan sebagai berikut 16 : 1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (Lembaran Negara 1847 Nomor 57 jo Lembaran Negara 1848 Nomor 57). Dalam peraturan ini terdapat 3 (tiga) pasal yang berhubungan dengan pengawasan terhadap Notaris yaitu Pasal 99, Pasal 140 dan Pasal 178. 2. Rechsreglement Buitengewesten (Lembara Negara 1927 Nomor 227), yaitu Pasal 96. 3. Peraturan Jabatan Notaris (Lembaran Negara 1860 Nomor 3). Didalam Peraturan Jabatan Notaris yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dan aktaaktanya terdapat dalam Bab IV Pasal 51 sampai dengan Pasal 56. 4. Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen (Lembaran Negara 1946 Nomor 135) yaitu Pasal 3. 5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung, yaitu Pasal 36. 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yaitu Pasal 54. Selain itu terdapat juga beberapa Surat Edaran tentang Pengawasan Terhadap Notaris yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, yaitu17 :
16
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta : CDSBL, 2003), hlm.
62-71. 17
Karmila, Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Notaris Koperasi Menurut Kepmen No.98/KEP/M.KUKM/IX/2004 (Studi di Dinas Koperasi Kota Medan), Tesis Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
1. Surat Edaran Departemen Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Februari 1981 Nomor JHA 5/13/16 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. 2. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1984 Nomor MA/Pemb/1392/84 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. 3. Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1985 Nomor M-24HT.03.10 Tahun 1985 Tentang Pembinaan dan Penertiban Notaris. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum maka pada tanggal 6 Juli 1987 dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor KMA/006/SKB/1987 dan Nomor M.04-PR 08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris. 18 Sejak diundangkannya UUJN, pada prinsipnya yang didelegasikan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian kewenangan itu didelegasikan kepada Majelis Pengawas Notaris (MPN). Notaris adalah satu-satunya Pejabat Umum yang berhak membuat akta otentik sebagai alat pembuktian yang paling sempurna. Notaris adalah perpanjangantangan negara di mana ia menunaikan sebagian tugas negara di bidang hukum perdata,
18
Nico, op.cit., hlm. 71.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
sehingga ketika menjalankan tugasnya wajib diposisikan sebagai Pejabat Umum yang mengemban tugas layaknya seperti Hakim, Jaksa, Bupati, dan lain sebagainya. 19 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris Indonesia dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan UUJN yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang Notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah : 1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan sebagimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris. 2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/ perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. 3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senantiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya. 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya. 20 Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, dan setiap jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing.
19
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 229. 20 Wawan Setiawan, Notaris Profesional dan Ideal, (Jakarta : Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004), hlm. 23.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang : a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalarn Penyimpanan Notaris; b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan. Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas. Kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua, wakil ketua, atau salah satu anggota yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD, yaitu mengenai :
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; b. Menetapkan Notaris Pengganti; c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah-terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih; d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang; e. Memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan Undang-undang; f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya, yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurangkurangnya nomor, tanggal dan judul akta. 21 Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPW yang berkaitan dengan: a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah; b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
21
Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis; e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa: (1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau (2) Pemberhentian dengan tidak hormat. f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f. Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan : a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 22 c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
22
Pasal 77 huruf a UUJN yaitu : menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dalam organisasi Pemerintahan, fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara Pemerintahan oleh daerah dan oleh Pemerintah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. 23 Menurut Sujamto, 24 pengawasan dalam makna sempit adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sedangkan pengawasan dalam makna luas beliau mengartikan sebagai pengendalian, pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan semestinya. Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 25 Menurut
Hadari
Nawawi,
pengawasan
adalah
proses
pemantauan,
pemeriksaan dan evaluasi yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna oleh Pimpinan unit/organisasi kerja terhadap sumber-sumber kerja untuk mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan, agar dapat diperbaiki oleh
23
Viktor M. Simorangkir dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 233. 24 Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1987), hlm. 53. 25 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 12.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Pimpinan yang berwenang pada jenjang yang lebih tinggi, demi tercapainya tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. 26 Sehingga pengertian dasar dari pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. 27 Pengawasan pada hakekatnya melekat pada Jabatan Pimpinan sebagai pelaksana fungsi manajemen, di samping keharusan melaksanakan fungsi perencanaan dan pelaksanaan. Oleh karena pelaksanaan pengawasan di dalam administrasi atau manajemen negara/Pemerintah sangat luas, maka perlu dibedakan macam-macam pengawasan tersebut, yakni : 1. Pengawasan fungsional, yang dilakukan oleh aparatur yang ditugaskan melaksanakan pengawasan seperti BPKP, Irjenbang, Irjen Departemen dan aparat pengawasan fungsional lainnya di lembaga Pemerintahan Non Departemen atau Instansi Pemerintah lainnya 2. Pengawasan politik, yang dilaksanakan oleh DPR 3. Pengawasan yang dilakukan oleh BPK sebagai pengawasan eksternal eksekutif 4. Pengawasan sosial yang dilakukan oleh mass media, Ormas-ormas, dan anggota masyarakat pada umumnya 5. Pengawasan melekat, yakni pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung terhadap bawahannya. 28 Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (1) Inpres No. 15 Tahun 1983, pengawasan terdiri dari : 1. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. 26
Hadari Nawawi, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Jakarta : Erlangga, 1995), hlm. 8. 27 Sujamto, op.cit., hlm. 63. 28 Hadari Nawawi, op.cit., 1994, hlm. 24.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawas. Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 meliputi pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Pengawasan terhadap perilaku Notaris dalam UUJN ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (1) huruf c dan Pasal 12 huruf c, yaitu perilaku Notaris yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela, dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba, dan sebagainya. Dari rumusan di atas yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Majelis Pengawas Notaris dapat didefinisikan adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. 29 Sisi lain dari pengawasan terhadap Notaris adalah aspek perlindungan hukum bagi Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum. Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan tugas dan jabatannya wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya. Ini berarti Notaris harus selalu menjaga segala tindak tanduknya, segala sikapnya dan segala perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan kewibawaannya sebagai Notaris. Sebagaimana layaknya seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka Notaris juga adalah manusia sehingga bisa saja berbuat kesalahan dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum. Dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya adalah Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang UUJN, yang berbunyi : Majelis Pengawas 30 adalah suatu badan
29
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 30 Pasal 67 UUJN, yang menyatakan bahwa : 1. Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri; 2. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas; 3. Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 orang, terdiri dari : Pemerintah (3) orang, Organisasi Notaris (3) orang, dan Ahli/Akademisi (3) orang; 4. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas di isi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri; 5. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi perilaku Notaris dalam pelaksanaan jabatan Notaris; 6. Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka yang melakukan tugas pengawasan terhadap Notaris setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 adalah tugas dari Majelis Pengawas, sedangkan sebelumnya pengawasan dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang dilakukan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan sedangkan aparat pelaksanaan pengawasan adalah Hakim.
2. Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai untuk dapat ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang diperlukan. 31 Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005), hlm. 139.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
a. Notaris adalah Pejabat Umum yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara yang dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. 32 b. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.33 c. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. 34 d. Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. 35 e. Pengawasan adalah suatu usaha pemantauan pemeriksaan dan evaluasi yang dilakukan secara berdaya dan berhasil guna oleh pimpinan terhadap sumber kerja untuk mengetahui kelemahan agar dapat diperbaiki demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. 36 f. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frase ”diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”. 37
32
Pasal 1 ayat (1) UUJN. Pasal 1 ayat (6) UUJN. 34 Pasal 1 ayat (7) UUJN. 35 Bandingkan dengan FX. Suhardana, Hukum Perdata I (Buku Panduan Mahasiswa), (Jakarta : PT. Prenhalindo, 2001), hlm. 23., bahwa kewenangan itu merupakan suatu kecakapan yang diberikan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. 36 Pengawasan yang dimaksud dalam tesis ini adalah Pengawasan atas Notaris yang dilakukan oleh Menteri, Pasal 67 ayat (1) UUJN. 37 Pasal 1 ayat (9) UUJN. 33
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
g. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada suatu wilayah jabatan Notaris. 38
G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut : Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. 39
1. Spesifikasi Penelitian Sifat
penelitian
ini
adalah
deskriptif-analitis,
deskriptif
maksudnya
menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum hal-hal yang berkaitan dengan pengawasan Notaris. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat tentang pengawasan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas. Seperti dikemukakan oleh Soeryono Soekanto, “Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk
38 39
Pasal 1 ayat (13) UUJN. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1981), hlm. 43.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”.40 Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal41 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).42 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan Sekretaris MPP, Sekretaris MPW Sumatera Utara, Sekteraris MPD Kota Medan serta Ketua MPD Kota Medan yang akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, 43 yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan Perundang-undangan di bidang pengawasan terhadap Notaris, yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
40
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hlm. 3. Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10. 42 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm. 1. 43 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hlm. 14. 41
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
tentang Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengawasan terhadap Notaris. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pengawasan Notaris. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.44
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode pengumpulan data, yakni: a. Penelitian Kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan, dikumpulkan melalui penelitian literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan Perundang-undangan tentang pengawasan Notaris dan Peraturan Perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
44
Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 23.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
b. Penelitian lapangan (field research) Penelitian lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data pendukung mengenai pengawasan terhadap Notaris. Dalam hal ini peneliti akan melakukan wawancara langsung dengan Sekretaris MPP, Sekretaris MPW Sumatera Utara, Sekteraris MPD Kota Medan serta Ketua MPD Kota Medan yang akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
4.
Analisis Data Setelah semua data sekunder diperoleh melalui Penelitian Kepustakaan
(library research) serta data pendukung yang diperoleh dari Penelitian Lapangan (field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui keabsahannya, kemudian data diseleksi, diolah dan dikelompokkan atas data yang sejenis, dianalis sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum yang dijadikan dasar hukum dalam melaksanakan pengawasan terhadap Notaris. Dengan menggunakan metode deduktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya pengawasan terhadap Notaris tersebut. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB II KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
A. Dasar Pemikiran Lahirnya Lembaga Majelis Pengawas Notaris Sejak berlakunya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op Rechtelijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitingewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen-Lembaran Negara 1946 Nomor 135 dan Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, kemudian pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris dan terakhir dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004. Dalam kaitan tersebut di atas, meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah (dahulu oleh Menteri Kehakiman, sekarang oleh Menteri Hukum dan HAM)
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
mengenai pengawasannya dilakukan oleh Badan Peradilan, hal ini dapat dipahami karena pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada pada Departemen Kehakiman. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan dengan amandemen tersebut telah pula merubah Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut dibuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Mahkamah Agung berdasarkan aturan hukum tersebut hanya mempunyai kewenangan dalam bidang peradilan saja, sedangkan dari segi organisasi, administrasi dan finansial menjadi kewenangan Departemen Kehakiman. Pada tahun
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2004 dibuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. 45 Sejak pengalihan kewenangan tersebut, Notaris yang diangkat oleh pemerintah (Menteri) tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain dalam hal ini badan peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap badan peradilan, kemudian tentang pengawasan terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dicabut oleh Pasal 91 UUJN. Setelah berlakunya UUJN badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan terhadap Notaris, tetapi pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris.
B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Pada dasarnya yang mempunyai wewenang 46 melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan HAM yang dalam
45
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 mengenai Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. 46 Dalam tesis ini dengan mengambil pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa istilah wewenang atau kewenangan yang disejajarkan dengan istilah bevoegdheid dalam konsep hukum publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang atas (sekurang-kurangnya) tiga komponen, yaitu: (1) pengaruh bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum; (2) dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan (3) konformitas hukum, bahwa mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang),
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai pimpinan Departemen Hukum dan HAM mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum dan HAM. 47 Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW, dan MPP) mempunyai wewenang masingmasing, yaitu :
1. Majelis Pengawas Daerah Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan: 1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang: a) Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris. b) Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu), Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, 1998), hlm. 2. 47 Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan. MPD dapat tidak menyetujui penyidik, penuntut umum atau hakim untuk : a) Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris. b) Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sepanjang tata cara dan prosedur pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris yang bersangkutan, meskipun hal ini tidak diatur dalam UUJN.48 Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana, karena dalam pasal tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara pidana. Jika seorang Notaris digugat perdata, maka izin dari MPD tidak diperlukan, karena hak setiap orang untuk mengajukan gugatan jika ada hak-haknya terlanggar oleh suatu akta Notaris. Dalam kaitan ini, MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik, 48
Hasil Wawancara dengan Ibu Juraini Sulaiman, Sekretaris MPW Notaris Wilayah Sumut pada tanggal 15 April 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak, bukan menempatkan subjek Notaris sebagai objek pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun substansinya. Tanpa ada izin dari MPD, penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.49 Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan: a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris 50 atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
49
Notaris dan PPAT sebagai institusi yang esoteri, suatu hal yang tepat jika Notaris dan PPAT diperlakukan secara khusus. Jika Notaris tersangkut dalam suatu perkara pidana dengan cara pemeriksaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 UUJN. Tindak lanjut dari ketentuan pasal tersebut telah dibuat Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) No. Pol. B/1056/V/2006, Nomor 01/MoU/PP-INI/V/2006 dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (IPPAT) No. Pol. B/1055/V/2006, Nomor 01/PP-IPPAT/V/2006, tanggal 5 Mei 2006. Dalam hal ini agak kurang tepat jika substansi suatu undang-undang (UUJN) diimplementasikan dalam bentuk Nota Kesepahaman, seharusnya undang-undang tersebut dilaksanakan sebagaimana maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan. 50 MPD seharusnya tidak perlu diberi kewenangan untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Jabatan Notaris, karena organisasi jabatan Notaris secara internal sudah mempunyai institusi sendiri, jika ada anggotanya melanggar Kode Etik Jabatan Notaris. MPD mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pengawasan menurut UUJN, Dewan Kehormatan Notaris mempunyai kewenangan untuk melaksanakan ketentuan menurut Kode Etik Jabatan Notaris. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 83 ayat (1) UUJN, bahwa Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Jabatan Notaris. Dalam Pasal 7 Kode Etik Notaris ditentukan bahwa pengawas atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan; e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih; f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (4); g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah. Kemudian pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan: a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikan kepada MPW setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan MPP; c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan; d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya; e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, MPP, dan Organisasi Notaris; f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, seperti dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2), yang menegaskan bahwa, kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua, wakil ketua atau salah satu anggota yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD, yaitu mengenai: a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; b. Menetapkan Notaris Pengganti; c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang; e. Memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang di wajibkan undang-undang; f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya, yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutmya, yang memuat sekurangkurangnya nomor, tanggal dan judul akta. Wewenang MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat MPD diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yang berkaitan dengan: a. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara; b. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris yang meninggal dunia; c. Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk proses peradilan; d. Menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
e. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Wewenang MPD dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, mengatur mengenai pemeriksaan yang dilakukan terhadap Notaris yaitu: 1) MPD sebelum melakukan pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu yang dianggap perlu, dengan terlebih dahulu secara tertulis kepada Notaris yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja, sebelum pemeriksaan dilakukan; 2) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan jam, hari, tanggal dan nama anggota MPD yang akan melakukan pemeriksaan; 3) Pada waktu yang ditentukan untuk melakukan pemeriksaan, Notaris yang bersangkutan harus berada di kantornya dan menyiapkan Protokol Notaris. Wewenang MPD dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, mengatur mengenai pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh sebuah Tim Pemeriksa, yaitu: 1) Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh Tim Pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota dari masing-masing unsur yang dibentuk oleh MPD yang dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris; 2) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menolak untuk memeriksa Notaris yng mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3) Dalam hal Tim Pemeriksa mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua MPD menunjuk penggantinya. Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana tersebut di atas wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW, pengurus organisasi jabatan Notaris dan MPW, hal ini berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu: 1) Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Notaris yang diperiksa; 2) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada MPW setempat dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia, dan MPP. Wewenang MPD juga diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, seperti tersebut dalam angka 1 butir 2 mengenai Tugas Majelis Pengawas Notaris, yaitu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, 71 UUJN, Pasal 12 ayat (2), Pasal 14, 15, 16, dan 17 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan kewenangan lain, yaitu: 1) Menyampaikan kepada MPW tanggapan MPD berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2) Memberitahukan kepada MPW adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh Majelis Pemerikasa Daerah atas laporan yang disampaikan Kepada Majelis Pengawas Daerah; 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti; 4) Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dan buku khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat di bawah tangan dan untuk membukukan surat di bawah tangan; 5) Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol; 6) Menyampaikan kepada MPW; a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan Januari; b. Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian izin cuti.
2. Majelis Pengawas Wilayah Kewenangan MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan : b. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui MPW;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
c. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; e. Memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis; f. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa : (1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau (2) Pemberhentian dengan tidak hormat. g. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f. Menurut Pasal 73 ayat (2) UUJN, Keputusan MPW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final, dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara (Pasal 73 Ayat (3) UUJN). Wewenang MPW menurut Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu : 1. Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaaan MPD dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima; 3. Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya; 4. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima. Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam Pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kemudian angka 2 butir 2 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan MPW, yaitu : 1. Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat; 2. Memeriksa dan memutus keberatan 51 atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah; 3. Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;
51
Keberatan adalah banding sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 71 huruf
f UUJN.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
4. Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat; 5. Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu : a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Februari; b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.
3. Majelis Pengawas Pusat Kewenangan MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan : a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 52
52
Pasal 77 a UUJN yaitu: menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari MPW: 1. Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah; 2. Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima; 3. Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya; 4. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima; 5. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan; 6. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Ketua, Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat; 7. Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Pengawas Wilayah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.
Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas Majelis Pengawas, bahwa MPP berwenang untuk melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Pasal 77, 84 UUJN 53 dan 85 UUJN, dan kewenangan lain, yaitu : 1. Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat izin cuti dalam sertifikat cuti; 2. Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian sementara; 3. Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat; 4. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi, kecuali sanksi berupa teguran lisan dan tertulis; 5. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final. Mengenai kewenangan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah atau Pusat) ini, ada satu kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk diluruskan sesuai aturan 53
Wewenang MPP untuk melaksanakan sanksi perdata sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, karena sanksi perdata pelaksanaannya tidak pernah diberikan kepada instansi lain, seperti MPP. Sanksi perdata hanya berlaku antara pihak yang dirugikan (atau pihak yang tersebut dalam akta) dan Notaris dengan perantaraan pihak pengadilan yang didahului dengan proses gugatan sebagai pelaksanaan Pasal 84 UUJN.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
hukum yang berlaku, yaitu atas laporan Majelis Pemeriksa jika menemukan sesuatu tindak pidana dalam melakukan pemeriksaan terhadap Notaris, maka Majelis Pengawas akan melaporkannya kepada pihak yang berwenang (Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Substansi pasal ini telah menempatkan Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa syarat untuk menjadi pelapor, yaitu : 1. seorang (satu orang/perseorangan), dan 2. ada hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang. Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004) dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan Pasal 1 angka 24 KUHAP, bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum berupa orang, bukan majelis atau badan dan berkaitan dengan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 dan Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa, Penyelidik dan Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
adanya tindak pidana. Substansi pasal ini menegaskan bahwa Penyelidik atau Penyidik hanya menerima pengaduan atau laporan dari orang. Dengan demikian tidak tepat Majelis Pengawas bertindak sebagai Pelapor tindak pidana, karena Majelis Pengawas bukan subjek hukum berupa orang. Pasal 1 angka 24 KUHAP menentukan bahwa hak atau kewajiban melaporkan suatu tindak pidana harus berdasarkan undang-undang, maka dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai Pelapor berdasarkan undang-undang. Pelapor harus subjek hukum-orang atau perorangan, bukan badan, majelis atau lembaga. Dengan demikian relah ada ketidaksinkronan secara vertikal Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan dengan demikian Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tidak berlaku. Wewenang MPW seperti tersebut di atas tidak diatur dalam UUJN, tapi diatur atau disebutkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dengan demikian berdasarkan uraian diatas Majelis Pengawas Notaris berwenang dalam melakukan : 1. Pengawasan; 2. Pemeriksaan, dan; 3. Menjatuhkan sanksi.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
C. Struktur Organisasi Mengacu pada pengertian Majelis Pengawas Notaris menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tersebut di atas, dapat dilihat bahwa Majelis Pengawas Notaris terbentuk dalam sebuah badan atau dapat pula dikatakan suatu lembaga yang melakukan pengawasan terhadap profesi Notaris. Lembaga inilah yang nantinya diharapkan dapat mengantisipasi kekurangan dan kelemahan yang ada pada pengawasan yang terdahulu. Keberadaan dari Majelis Pengawas Notaris ini dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, karena pengawasan terhadap profesi Notaris sebenarnya dilakukan oleh Menteri, 54 yang dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris untuk membantu dan melaksanakan pengawasan tersebut. 55 Pengawasan yang dilakukan oleh menteri merupakan suatu pengawasan terhadap profesi Notaris yang meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan dari jabatan Notaris. Dalam melaksanakan tugasnya Majelis Pengawas ini terdiri atas 3 (tiga) Majelis yang berjenjang yaitu 56 : 1. Majelis Pengawas Pusat, yang dibentuk dan berkedudukan di Ibukota negara; 2. Majelis Pengawas Wilayah, yang dibentuk dan berkedudukan di provinsi;
54
Pasal 67 Ayat (1) UUJN. Pasal 67 Ayat (2) UUJN. 56 Pasal 67 Ayat (5) UUJN. 55
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3. Majelis Pengawas Daerah, yang dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota. Untuk tiap-tiap tingkatan Majelis tersebut berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu 57 : 1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; 2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; 3. Ahli/Akademis sebanyak 3 (tiga) orang. Majelis Pengawas Notaris beranggotakan 9 (sembilan) orang terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota di mana ketua dan wakil ketua dipilih dari anggota yang dilakukan secara musyawarah atau pemungutan suara. Majelis Pengawas Notaris dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat Majelis Pengawas Notaris. 58 Masing-masing unsur sebagaimana dimaksud mengusulkan 3 (tiga) orang calon Majelis Pengawas. Pengusulan atas ketiga unsur tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut 59 : 1. Pengusulan anggota Majelis Pengawas Daerah, dilakukan oleh : a. unsur pemerintah oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah; b. unsur organisasi notaris oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia; 57
Pasal 68 UUJN juncto Pasal 1, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 58 Pasal 67 Ayat (3) UUJN. 59 Pasal 3 Ayat (1), Pasal 4 Ayat (1), dan Pasal 5 Ayat (1), Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
c. unsur ahli/akademisi oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat. 2. Pengusulan anggota Majelis Pengawas Wilayah, dilakukan oleh: a. unsur pemerintah oleh Kepala Kantor Wilayah; b. unsur organisasi notaris oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia; c. unsur/ahli akademisi oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat. 3. Pengusulan anggota Majelis Pengawas Pusat, dilakukan oleh: a. unsur pemerintah oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum; b. unsur organisasi notaris oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia; c. unsur ahli/akademisi oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas yang menyelenggarakan program Magister Kenotariatan. Dari ketiga unsur tersebut, para calon Majelis Pengawas Notaris inipun diharuskan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu agar dapat diangkat menjadi Majelis Pengawas Notaris. Syarat-syarat tersebut adalah 60 : 1. Warga Negara Indonesia; 2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. Pendidikan paling rendah Sarjana Hukum; 4. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 60
Pasal 2 Ayat (1), Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
5. Tidak dalam keadaan pailit; 6. Sehat jasmani dan rohani; 7. Berpengalaman dalam bidangnya paling rendah 3 (tiga) tahun. Dan syarat-syarat sebagaimana dimaksud tersebut harus pula dibuktikan dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut 61 : 1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau tanda bukti diri lain yang sah; 2. Fotokopi ijazah Sarjana Hukum yang disahkan oleh fakultas hukum atau perguruan tinggi yang bersangkutan; 3. Fotokopi keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter Rumah Sakit Pemerintah; 4. Surat pernyataan tidak pernah dihukum; 5. Surat pernyataan tidak pernah pailit; 6. Daftar riwayat hidup yang dilekatkan pasfoto berwarna terbaru. Dalam melaksanakan pengawasannya, Majelis Pengawas Notaris dalam tiaptiap jenjang Majelis dibantu oleh seorang atau lebih sekretaris yang akan ditunjuk dalam Rapat Majelis Notaris, 62 yang juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Berasal dari unsur pemerintahan; 2. Mempunyai golongan ruang paling rendah III/b untuk Majelis Pengawas Daerah;
61
Pasal 2 Ayat (2), Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 62 Pasal 2 Ayat (12), Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3. Mempunyai golongan ruang paling rendah III/d untuk Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Pada akhirnya setelah calon-calon Majelis Pengawas Notaris memenuhi persyaratan, maka Majelis Pengawas Notaris ini akan melaksanakan wewenang dan tugasnya dengan mengucapkan sumpah/janji terlebih dahulu dihadapan pejabat yang mengangkatnya, 63 dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun. Setelah terbentuknya Majelis Pengawas Notaris dari tiap-tiap jenjang Majelis, maka akan dibuatlah tempat kedudukan kantor sekretariat yang berada pada: 1. Kantor Unit Pelaksana Teknis Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau tempat lain di ibukota kabupaten/kota yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah, untuk Majelis Pengawas Daerah. 2. Kantor Wilayah, untuk Majelis Pengawas Wilayah; 3. Kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, untuk Majelis Pengawas Pusat.
D. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau
63
Pasal 7, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Ketetapan 64 yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Dalam kedudukan seperti itu, Surat Keputusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa tata usaha negara, 65 jika Notaris merasa bahwa keputusan tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan dengan transparan dan berimbang dalam pemeriksaan. Peluang untuk mengajukan ke PTUN tetap terbuka setelah semua upaya administrasi 66 yang disediakan baik keberatan administratif 67 maupun banding administrasi, 68 telah ditempuh. Hal tersebut dapat dilakukan meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau Jabatan TUN tersebut telah menyatakan final atau tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya administratif dalam sengketa tata usaha negara
64
Elemen dari Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) terdapat dalam Pasal 13 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. lihat, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hlm. 72-82. 65 Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 66 S.F. Marbun, op cit., hlm. 81, menyebutkan upaya administratif merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh badan/instansi di lingkungan pemerintahan sendiri, baik melalui prosedur keberatan maupun banding administratif, dilaksanakan berdasarkan hukum acaranya masing-masing. 67 Keberatan Administratif adalah penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara (TUN) dilakukan oleh orang yang terkena sanksi-sanksi administratif dengan mengajukan keberatan kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut. 68 Banding Administratif adalah penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara (TUN) dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan tata usaha negara. 69 Aspek positif yang didapat dari upaya ini adalah penilaian perbuatan tata usaha negara yang dimohonkan tidak hanya dinilai dari segi penerapan hukum, tapi juga dari segi kebijaksanaan serta memungkinkan dibuatnya keputusan lain yang menggantikan Keputusan Tata Usaha Negara terdahulu. 70 Pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 UUJN termasuk di dalam pengertian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan telah mendelegasikan kewenangannya kepada Majelis Pengawas yang oleh karena itu secara fungsional dan keberadaannya sebagai Badan Tata Usaha Negara. Tidak semua Keputusan dari Badan TUN adalah termasuk keputusan TUN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
69
Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundangundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. 70 H.M. Laica Marzuki, ”Penggunaan Upaya Hukum Administrasi dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, April 1992, hlm. 199.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
disebutkan terdapat 7 (tujuh) macam Keputusan TUN yang tidak dapat menjadi obyek sengketa TUN) yaitu : a. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Peraturan Perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Menarik untuk dicermati penjelasan Pasal 2 huruf e nomor 3 yang berkaitan dengan dunia kenotariatan yaitu sebagai berikut : Penjelasan Pasal 2 huruf e nomor 3 : Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya : 1. Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan Pengadilan Perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak. 2. Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan Pengadilan Perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Keputusan pemecatan seorang Notaris oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan Notaris, setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Undang-Undang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang diundangkan tanggal 29 Maret 2004, pada waktu itu yang menjadi acuan untuk menjatuhkan hukuman/sanksi pemberhentian dengan tidak hormat atas seorang Notaris adalah atas usulan dari Ketua Pengadilan Negeri (pada waktu itu berfungsi sebagai Pengawas Notaris), maka dengan berlakunya UUJN yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
tidak
dapat
digunakan
khususnya
untuk
kasus/permasalahan yanng berkaitan dengan keputusan pemberian sanksi bagi Notaris, demikian berdasarkan asas hukum Lex posterior derogat legi priori/anteriori (Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama).
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Unsur Peradilan Umum (unsur eksternal diluar Badan TUN) tidak ada lagi kaitannya dengan dunia kenotariatan dalam hal pemeriksaan, pengawasan dan pemberian pertimbangan dalam pembuatan Keputusan TUN oleh Menteri dan maupun oleh Badan Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri. Keputusan Menteri maupun Majelis Pengawas yang memberikan sanksi kepada Notaris memenuhi kriteria sebagai Keputusan TUN sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang unsur-unsurnya adalah : a. penetapan tertulis; b. yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; c. yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; d. yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Penulis berpendapat bahwa Majelis Pengawas Notaris yang dibentuk oleh Menteri dalam menjalankan tugas tata usaha berdasarkan Peraturan Perundangan yang berlaku yaitu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, termasuk dalam lingkup Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Administrasi Negara demikian pula Keputusan yang dibuat dalam rangka melakukan tugas pengawasannya
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
adalah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara. 71 Ada 2 (dua) cara utama untuk memperoleh wewenang Pemerintah, yaitu Atribusi dan Delegasi. Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. 72 Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu 73 atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang Pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam Peraturan Perundangundangan. 74 Atribusi pembentukan atau pemberian wewenang Pemerintahan didasarkan aturan hukum yang dapat dibedakan dari asalnya, yakni yang asalnya dari Pemerintah di tingkat pusat bersumber dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-undang, dan yang asalnya dari
71
http://Notarissby.blogspot.com/2008/04/majelis-pengawas-Notaris.html, diakses tanggal 3 Maret 2009. 72 Philipus M. Hadjon, ”Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid)", Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Tahun XVI, Nomor 1, Januari 1998, hlm. 2. lihat bandingkan dengan http ://www.potalhr.com/kolom/2id76.html diakses tanggal 8 Maret 2009 yang menyatakan, ”Delegasi adalah salah satu kemampuan manajerial yang paling penting. Namun, pada praktiknya delegasi juga merupakan masalah yang paling sering dikeluhkan oleh para manajer. Sering para manajer terjebak dalam pekerjaan rutin, sehingga lupa fungsi utama mereka, yakni membuat perencanaan, koordinasi, menganalisis, memotivasi dan lain-lain. Tak jarang juga para manajer malas melakukan delegasi dengan berbagai alasan. Padahal, akan lebih banyak yang bisa mereka lakukan seandainya mereka mendelegasikan sebagian pekerjaan yang sudah bisa didelegasikan kepada anggota tim” 73 Ibid., hlm. 2. 74 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 91.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Pemerintah daerah bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Peraturan Daerah (Perda). 75 Atribusi wewenang dibentuk atau dibuat atau diciptakan oleh aturan hukum yang bersangkutan atau atribusi ditentukan aturan hukum yang menyebutkan di dalamnya. Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang Pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. 76 Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyerahan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut. 77 Pendapat yang pertama, bahwa delegasi itu harus dari Badan atau jabatan TUN kepada badan atau Jabatan TUN lainnya, artinya baik delegator maupun delegans harus sama-sama Badan atau Jabatan TUN. Pendapat yang kedua bahwa delegasi dapat terjadi dari Badan atau Pejabat TUN kepada pihak lain yang belum tentu Badan atau Jabatan TUN. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan TUN dapat mendelegasikan wewenangnya (delegans) kepada Badan atau Jabatan yang bukan TUN (delegataris). Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. 78 Badan atau Jabatan TUN yang tidak Mempunyai atribusi
75
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1997), hlm. 159. 76 Indroharto, op.cit, hlm. 91. 77 Phillipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut…, op. cit., hlm. 5. 78 Indroharto, op.cit, hlm. 91,.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lainnya. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat : 79 a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam Peraturan Perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris secara atributif ada pada Menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan, dan diperintahkan dalam Undang-undang sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 ayat (1) UUJN. Kedudukan Menteri sebagai eksekutif (Pemerintah) yang menjalankan kekuasaan Pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UUJN Menteri mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08 10 Tahun 2004, adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas selaku delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai 79
J.B.J.M. ten Berge dalam Phillipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut,…op. cit., hlm. 5
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
wewenang untuk mengawasi Notaris sepenuhnya, tanpa perlu Untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegans. Pembentukan Majelis Pengawas Notaris itu merupakan amanat UUJN, yang di dalam ketentuan tersebut secara tegas disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM. Sebelumnya, pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah kerja Notaris yang bersangkutan. Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku 80 membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena menerima delegasi dari badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN. 81 Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai : a. Badan atau Pejabat TUN; b. Melaksanakan urusan Pemerintahan; c. Berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan UUJN.
80
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 81 Untuk menentukan suatu badan dapat dikategorikan sebagai Badan atau Jabatan TUN secara : a. Struktural berada dalam jajaran pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, b. Fungsional, yaitu melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan aturan hukum yang berlaku, c. Menerima delegasi wewenang dari Badan atau Jabatan TUN.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tindakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan instansi.
E. Peranan Notaris Dalam Membuat Akta Profesi Notaris merupakan instansi yang membuat akta yang menjadi alat bukti tertulis dan mempunyai sifat otentik yang kewenangannya tidak hanya di kantor saja, wajib juga melaksanakan pekerjaannya dalam keadaan terpaksa misalnya di dalam suatu kapal ada seorang membutuhkan Notaris untuk membuat wasiat. Berkaitan dengan peranannya sebagai Pejabat Umum, maka Notaris disebutkan pada Pasal 15 ayat (2) berwenang untuk : a. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertambahan; atau g. Membuat akta risalah lelang. Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, menyatakan bahwa Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Akta ditinjau dari segi pembuatannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : 1. Akta Otentik Akta otentik adalah ”akta yang dibuat oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan”. 82 Rusmadi Murad menyatakan akta otentik adalah “akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan”. 83 Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan : ”Akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang diperbuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu diperbuat”.
82 83
Ibid, hlm. 54 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung : Alumni, 2000),
hlm. 54.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dengan melihat ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, maka suatu akta agar dapat dikatakan suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan : 1. Akta itu harus dibuat ”oleh” atau ”di hadapan” seorang Pejabat Umum. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang. 3. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang. Pejabat yang dimaksud dari pengertian dan ketentuan di atas antara lain Notaris, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatatan Sipil, Hakim dan sebagainya. 84 Akta yang diperbuat di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai nilai yuridis dalam arti mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka akta Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut harus dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : 85 1. Syarat subyek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah pihak yang berhak atau berwenang. 2. Syarat obyek yaitu tanah yang dijadikan sebagai obyek peralihan hak atas tanah dibolehkan secara hukum tidak sengketa, tidak menjadi jaminan utang dan lainlain. 3. Syarat yuridis formil yaitu Pejabat Umum yang membuat akta peralihan hak atas tanah adalah pejabat yang berwenang, ada 2 (dua) orang saksi yang sudah dewasa, disetujui oleh ahli warisnya, dalam hal hibah dan akta Pejabat Pembuat 84
Rusmadi Murad, op.cit, hlm. 55. Supranowo, Himpunan Karya Tulis Bidang Hak Tanggungan dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), (Jakarta : Badan Pertanahan Nasional, 1990), hlm. 36. 85
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Akta Tanah (PPAT) merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan akta dapat dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KUHPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880. Pejabat yang dimaksud dari pengertian dan ketentuan di atas antara lain Notaris, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatatan Sipil, Hakim dan sebagainya. 86 Contoh akta otentik, yaitu : Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Akta yang dibuat di hadapan Notaris. Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau di hadapan Pejabat Pegawai Umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau di hadapan Pejabat Pegawai Umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta Notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses verbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Sedangkan
86)
Rusmadi Murad, op.cit,hlm. 55.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya. 87 Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
2. Akta di bawah tangan Akta di bawah tangan (under hand) adalah tulisan di bawah tangan antara satu pihak dengan pihak lain tanpa perantaraan seorang Pejabat yang diakui oleh pihak lain. Pasal 1874 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan : ”Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”. Kekuatan bukti otentik para pihak dan ahli
87
http://hukumpedia.com/index.php?title=Akta_Notaris", diakses tanggal 2 Maret 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
waris serta mereka yang memperoleh hak dari padanya merupakan bukti yang sempurna. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai bukti sempurna, apabila tanda tangan di dalam akta tersebut diakui oleh pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. 88 Suatu akta yang tidak dapat diperlukan sebagai akta otentik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan karena suatu cacat dalam bentuknya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak (Pasal 1869 KUHPerdata). Kekuatan bukti akta otentik bagi para pihak dan ahli waris serta mereka yang memperoleh hak dari padanya merupakan bukti yang sempurna. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai bukti yang sempurna, apabila tanda tangan di dalam akta tersebut diakui oleh pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. 89 Suatu akta yang tidak dapat diperlukan sebagai akta otentik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya Pejabat Umum yang bersangkutan maupun karena suatu cacat dalam bentuknya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak (Pasal 1869 KUHPerdata). Akta otentik
88 89
Ibid, hlm. 38. Ibid, hlm 38.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. 90 Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat bukti lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya
90
Karena akta Notaris berfungsi sebagai alat bukti, maka setidaknya material yang dipakai untuk menerangkan tulisan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya : a. Ketahanan akan jenis material yang dipergunakan Hal ini berkaiatan dengan kewajiban bagi Notaris untuk membuat minuta akta dan menyimpan minuta akta yang dibuatnya. Pasal 28 ayat 3 Notariswet di Nederland telah mensyaratkan jenis kertas tertentu untuk pembuatan akta yang digunakan oleh para Notaris. Dengan demikian kertas dianggap memenuhi syarat materil untuk daya tahan penyimpanan arsip. b. Ketahanan terhadap pemalsuan Perubahan yang dilakukan terhadap tulisan di atas kertas dapat diketahui dengan kasat mata atau menggunakan cara yang sederhana. Ini berarti bahwa para pihak akan terjamin apabila perbuatan hukum di antara mereka telah dilakukan dengan akta yang menggunakan jenis kertas tertentu. c. Originilalitas. Untuk minuta akta hanya ada satu akta aslinya, kecuali untuk akta yang dibuat ini original dibuat dalam beberapa rangkap yang semuanya asli. d. Publisitas. Untuk hal-hal tertentu pihak ketiga yang berkepentingan dapat dengan mudah melihat akta asli atau minta salinan daripadanya. e. Dapat segera atau mudah dilihat (waarneembaarheid). Data yang terdapat pada kertas dapat dengan segera dilihat tanpa diperlukan tindakan lainnya untuk dapat melihatnya. f. Mudah dipindahkan. Kertas dan sejenisnnya dapat dengan mudah dipindahkan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, 91 jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai akta otentik, 92 jika ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim. 93 Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus dipatuhi oleh para pihak (pacta sunt servanda). Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Dalam Peraturan Jabatan Notaris kerangka akta atau anatomi akta terdiri dari : 94
91
Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 775 K/Sip/1971, tanggal 6 Oktober 1971, menegaskan bahwa surat (Surat Jual Beli) yang diajukan dalam persidangan, kemudian disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, maka surat (jual beli tanah) tersebut dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta : Swa Justitia, 2005), hlm. 145. 92 Pasal 1875 KUHPerdata. 93 Peradilan Perdata di Indonesia menganut sistem hukum pembuktian berdasar pada asas negatif wettelijk bewijsleeer. Hal ini terlihat dalam Pasal 249 jo 298 H.I.R dan tidak memakai sistem vrij bewijsleer yang menitikberatkan pada keyakinan hakim belaka. Hal ini terlarang oleh undangundang (Putusan Mahkamah Agung) Republik Indonesia Nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10 Pebruari 1971), M. Ali Boediarto, op.cit., hlm. 136. 94 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1983), hlm. 214.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
1. Kepala (hoofd) akta; yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara. 2. Badan akta; yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan. 3. Penutup akta; yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu. Perbedaan antara Pasal 38 dengan Peraturan Jabatan Notaris mengenai kerangka akta terutama dalam pasal 38 ayat (1) huruf a dan b mengenai Awal atau Kepala Akta dan Badan Akta. Dalam Peraturan Jabatan Notaris Kepala Akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap Notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN Kepala Akta memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Satu perbedaan yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para penghadap dalam Peraturan Jabatan Notaris identitas para pihak atau para penghadap merupakan bagian dari kepala akta, sedangkan menurut Pasal 38 ayat (2) UUJN, identitas para pihak atau para penghadap bukan bagian dari kepala akta, tetapi merupakan bagian dari
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
badan akta memuat isi akta yang sesuai dengan keinginan atau permintaan para penghadap. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang. 95 Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperi itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.
95
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata).
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS
A. Perbuatan Yang Dikelompokkan Sebagai Pelanggaran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia, pengawasan terhadap Notaris selalu dilakukan oleh lembaga Peradilan dan Pemerintah, bahwa tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh Pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. 96 Ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan yaitu : 1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (l) huruf i, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris 97 ;
96
G.H.S. LumbanTobing, op.cit., hlm. 301. Penandatangan para pihak, saksi dan Notaris merupakan suatu kewajiban. Khususnya untuk para pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena cacat fisik tangannya atau tidak dapat membaca-menulis, maka Notaris wajib menuliskan pada akhir akta keadaan tersebut. 97
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu
294
jika notaris pada
akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta; dan 3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40 yang tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan : 1) Pasal 39 bahwa : a. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. 98 b. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. 2) Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam
98
Ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) UUJN ini, berlaku untuk pembuatan wasiat (Pasal 16 ayat (9) UUJN). Substansi pasal ini perlu dikaitkan dengan bentuk wasiat sebagaimana yang diatur dalam pasal 931 KUHPerdata, bahwa ada 3 (tiga) bentuk wasiat, yaitu (1) terbuka atau umum, (2) olographis, dan (3) tutup atau rahasia. Dari ketiga bentuk wasiat tersebut yang substansi atau isi wasiatnya dibuat di hadapan Notaris, hanyalah wasiat umum. Dengan demikian ketentuan Pasal 16 ayat (9) UUJN hanyalah untuk pembuatan wasiat umum, sehingga meskipun penghadap membaca sendiri, maka Notaris wajib membacakannya kembali di hadapan penghadap, dan kemudian para saksi.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa sederajat pembatasan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 3) Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri dan suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan luruh ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. 99 Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut diatas, maka dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain itu termasuk ke dalam akta Notaris yang batal demi hukum, yaitu : 1. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar Pusat Wasiat dalam
99
Ketentuan Pasal 52 Ayat (2) UUJN ini tidak berlaku apabila Notaris sendiri menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris lain. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak dilihat dalam jabatannya sebagai Notaris, tetapi sebagai orang atau pihak dalam tindakan hukum yang bersangkutan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil). 100 2. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya. 3. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatangan akta di hadapan penghadap, notaris dan penterjemah resmi. 4. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi
dan Notaris, atas
pengubahan dan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan,
100
Pengiriman atau pelaporan ke Daftar Pusat Wasiat (DPW) ini berlaku untuk semua warga negara Indonesia yang membuat wasiat dengan bentuk apapun dengan akta Notaris. Tujuan pengiriman atau pelaporan tersebut untuk melindungi kehendak terakhir hak pemberi wasiat dan calon penerima wasiat. Sampai saat ini DPW hanya ada satu yaitu di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia. Atas permintaan para pihak untuk mengetahui ada atau tidak ada wasiat. DPW masih melakukannya secara manual yang memerlukan waktu lama. Untuk mempersingkat waktu dan mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemerintah dalam hal Departemen Hukum dan HAM untuk segera melakukan perubahan dengan cara membuat permintaan ada atau tidak ada wasiat secara online. Pengiriman atau pelaporan tersebut tidak mengatur untuk pembuatan wasiat (secara tertulis) yang dilakukan tanpa melibatkan Notaris yang dilakukan secara lisan, yang dikuatkan dengan para saksi. Meskipun tidak dilakukan pengiriman atau pelaporan, maka wasiat seperti itu tetap mengikat sepanjang tidak ada yang mengajukan keberatan atau gugatan atau wasiat tersebut.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan. 5. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tetapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir yang sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. 6. Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan. 7. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta. Ketentuan tersebut di atas yang dapat dikualifikasikan akta Notaris batal demi hukum, sebenarnya hanya merupakan tindakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tanpa ada objek tertentu dan sebab yang halal, sehingga jika ukuran akta Notaris batal demi hukum berdasarkan kepada
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
unsur-unsur yang ada dalam Pasal 1335, 1336, 1337 BW, maka penggunaan istilah batal demi hukum untuk akta Notaris karena melanggar pasal-pasal tertentu dalam Pasal 84 UUJN menjadi tidak tepat, karena secara substansi sangat tidak mungkin Notaris membuatkan akta untuk para pihak yang jelas tidak memenuhi syarat objektik.
B. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 1. Pengawasan Notaris Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yaitu : 1. Pengawasan Preventif; 2. Pengawasan Kuratif; 3. Pembinaan Pengawasan yang dilakukan oleh majelis tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan Notaris agar sesuai dengan ketentuan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris dalam pengawasan Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (5)
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
UUJN), hal ini menunjukkan sangat luas ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris dengan ukuran yang pasti pada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris, dan jika terjadi pelanggaran, maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan. Majelis Pengawas juga diberi wewenang untuk menyelenggarakan sidang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN). Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Majelis Pengawas. Bahwa Kode Etik Notaris merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Notaris tersebut, maka organisasi Notaris melalui Dewan Kehormatan Notaris (Daerah, Wilayah dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa Notaris dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran tersebut, dan jika terbukti Dewan Kehormatan Notaris dapat memberikan sanksi atas keanggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris. Adanya pemberian wewenang seperti itu kepada Majelis Pengawas Notaris merupakan suatu bentuk pengambilalihan wewenang dari Dewan Kehormatan Notaris. Pelanggaran atau Kode Etik Notaris harus diperiksa oleh Dewan Kehormatan Notaris sendiri tidak perlu diberikan kepada Majelis Pengawas, sehingga jika Majelis Pengawas menerima laporan telah terjadi pelanggaran Kode Etik Notaris,
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
sangat tepat jika laporan tersebut diteruskan kepada Dewan Kehormatan Notaris untuk diperiksa dan diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Notaris atau dalam hal ini Majelis Pengawas harus memilah dan memilih laporan yang menjadikan kewenangannya untuk diperiksa dan laporan yang menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Notaris. Pengawasan berupa tindak tanduk atau perilaku Notaris tidak mudah untuk diberi batasan. Sebagai contoh Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN menegaskan salah satu alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya yaitu melakukan perbuatan tercela. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang bertentangan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat. Pasal 12 huruf c UUJN menegaskan bahwa salah satu alasan Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat yaitu melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina. 101 Perilaku atau tindak tanduk Notaris yang berada dalam ruang lingkup pengawasan
101
Seharusnya perbuatan Notaris yang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN, yaitu melakukan perbuatan tercela yang dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat tidak merupakan alasan untuk memberhentikan sementara Notaris dari jabatannya tapi seharusnya dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Notaris dari jabatannya dengan tidak hormat sebagaimana dalam Pasal 12 huruf c UUJN
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Majelis Pengawas di luar pengawasan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, dengan batasan : 1. melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat. 2. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris 102 , misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina. Setiap Notaris yang tidak membuat laporan bulanan kepada Majelis Pengawas Wilayah Sumatera Utara, maka MPW Notaris Sumatera Utara menyurati Notaris yang bersangkutan agar segera melaporkan reportorium, legalisasi, warmeerking yang merupakan wujud pengawasan preventif. 103
2. Pemeriksaan Notaris Pasal 70 huruf b UUJN dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa MPD berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang 102
G.H.S. Lumban Tobing (op.cit., hlm. 310) memberikan beberapa contoh perbuatan yang bertentangan dengan keluhuran dan martabat jabatan Notaris: 1. mengadakan persaingan yang tidak jujur di antara sesama Notaris (oneerlijke concurentie); 2. mengadakan kerjasama dengan cara yang tidak diperkenankan dengan orang-orang perantara (misalnya dengan memberikan kepada perantara sebagian dari honorarium yang diterimanya); 3. menetapkan honorarium yang lebih rendah dari yang berlaku umum di kalangan para Notaris (setempat), dengan maksud untuk menarik kepadanya klienklien dari Notaris lain atau untuk memperluas jumlah klien, dengan merugikan yang lain. Contoh lainnya seperti : 1. memberikan penilaian atau menyatakan salah atas akta yang dibuat Notaris lain di hadapan para kliennya; 2. menahan berkas milik kliennya, karena tidak jadi (batal) membuat akta kepadanya. 103 Hasil Wawancara dengan Ibu Juraini Sulaiman, Sekretaris MPW Notaris Wilayah Sumut pada tanggal 15 April 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
dianggap perlu. Majelis atau Tim Pemeriksa dengan tugas seperti ini hanya ada pada MPD saja, yang merupakan tugas pemeriksaan rutin atau setiap waktu yang diperlukan, dan langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Tim Pemeriksa ini sifatnya insidentil (untuk pemeriksaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja, dibentuk oleh Majelis Pengawas daerah jika diperlukan. 104 Pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemeriksa meliputi pemeriksaan 105 : 1. Kantor Notaris (alamat dan kondisi fisik kantor); 2. Surat pengangkatan sebagai Notaris; 3. Berita Acara sumpah jabatan Notaris; 4. Surat keterangan izin cuti Notaris; 5. Sertifikat cuti Notaris; 6. Protokol Notaris yang terdiri dari : 1) Minuta akta; 2) Buku daftar akta atau reportorium;
104
Kewenangan MPD untuk memeriksa Notaris secara berkala (tahunan) atau setiap waktu yang dianggap perlu oleh MPD dengan datang langsung kepada kantor Notaris yang bersangkutan atau pemeriksaan langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Kewenangan MPD seperti ini tidak sesuai dengan makna kata Majelis. Kata Majelis yang berasal dari bahasa Arab, yaitu Majelis, berarti tempat duduk (baik bersila ataupun di kursi) atau merupakan suatu lembaga atau sekelompok orang yang merupakan satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jilid 3, Jakarta, 2003, hlm. 1055 dan 1058. Berdasarkan pengertian tersebut, jika MPD masih ingin disebut sebagai suatu Majelis Pengawas sesuai dengan arti kata Majelis, maka dalam menjalankan tugasnya, MPD tidak perlu berpindah dan bergerak mengunjungi langsung kantor Notaris untuk melakukan pemeriksaan, tapi harus berada di suatu tempat. Dalam menjalankan tugasnya seharusnya MPD berada di suatu tempat (kantor yang ditentukan MPD sendiri) dan memanggil Notaris yang akan diperiksa untuk datang pada waktu yang telah ditentukan agar membawa protokol Notaris 1 (satu) tahun terakhir untuk dilakukan pemeriksaan. 105 Bab IV Tugas Tim Pemeriksa Keputusan Menteri.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3) Buku khusus untuk mendaftarkan surat di bawah tangan yang disahkan tandatangannya dan surat di bawah tangan yang dibukukan; 4) Buku daftar nama penghadap atau klapper dari daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan; 5) Buku daftar protes; 6) Buku daftar wasiat; 7) Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 7. Keadaan arsip; 8. Keadaan penyimpanan akta (penjilidan dan keamanannya); 9. Laporan bulanan pengiriman salinan yang dipindahkan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan; 10. Uji petik terhadap akta; 11. Penyerahan protokol berumur 25 tahun atau lebih; 12. Jumlah pegawai yang terdiri atas : 1) sarjana; dan 2) non sarjana. 13. Sarana komputer, antara lain : 1) komputer; 2) meja;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
3) lemari; 4) kursi tamu; 5) mesin ketik; 6) filling kabinet; 7) pesawat telepon/faksimili/internet. 14. Penilaian pemeriksaan, dan 15. Waktu dan tanggal pemeriksaan. Di Sumatera Utara sendiri, berdasarkan hasil penelitian di lapangan dimana jumlah Notaris yang pernah dipanggil pihak Kepolisian untuk diperiksa sesuai dengan data yang diperoleh dari Majelis Pengawas Notaris Wilayah Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Notaris Yang Dipanggil Pihak Kepolisian di Sumatera Utara (Tahun 2006- 2008) Tahun
Perdata
Pidana
Jumlah
2006 2007 2008
21 11 11
45 31 9
66 42 20
Sumber : Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Sumatera Utara Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Tahun 2009. Pada tahun 2006 pihak Kepolisian memanggil 66 Notaris untuk diperiksa yaitu 21 Notaris pada Kasus Perdata dan 45 Notaris pada Kasus Pidana, pada tahun 2007 pihak Kepolisian memanggil 42 Notaris untuk diperiksa yaitu 11 pada Kasus Perdata dan 31 Notaris pada Kasus Pidana serta pada tahun 2008 pihak Kepolisian
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
memanggil 20 Notaris untuk diperiksa yaitu 11 pada Kasus Perdata dan 9 Notaris pada Kasus Pidana. Permasalahan yang paling banyak terjadi hingga menyebabkan diperiksanya Notaris pada Tahun 2006-2008 adalah masalah penerbitan Akta Jual Beli Tanah. Untuk mengetahui laporan bulanan Notaris dari beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang telah diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Laporan Bulanan Notaris Wilayah Sumatera Utara Tahun 2008 Wilayah Kerja Notaris Asahan/Kisaran/ Tanjung balai Kab. Karo
Reportorium
Legalisasi
Warmeeking
Jlh Notaris
167
120
99
17
36
25
9
7
Rantau Parapat/ Labuahan Batu Serdang Bedagai Sidikalang-Dairi
77
76
36
17
117
52
30
43
2
1
1
3
Tapanuli Selatan/ Sibolga Tapanuli Tengah Tebing Tinggi
101
54
72
17
43
35
21
7
49
35
46
12
Toba Samosir
12
9
10
1
Sumber : Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Sumatera Utara Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Tahun 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Tahun 2005-2007 banyak Notaris di Sumatera Utara yang belum memahami UUJN, misalnya terlambat mengirim laporan bulanan bahkan sama sekali tidak mengirimkannya, namun karena masih dalam tahap preventif, pihak Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Sumatera Utara banyak memberikan bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Dari tahun 2008 hingga sampai sekarang telah ada peningkatan, para Notaris di Sumatera Utara tidak terlambat lagi mengirim laporan bulannya. Ini membuktikan bahwa pengawasan oleh Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Sumatera Utara telah menunjukkan hasil yang membaik. 106 Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, Notaris mencatat bukan di buku repotorium tapi di buku agenda biasa. Hal ini terjadi karena tidak adanya anggaran dari pihak Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Sumatera Utara dalam melakukan kegiatan pengawasan ke daerah-daerah. Oleh karena itu pengarahanpengarahan dan sosialisasi tentang UUJN dilakukan melalui Notaris yang mendaftar Fidusia di Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumut. 107
3. Penjatuhan Sanksi Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Sanksi ini disebutkan atau diatur dalam UUJN, juga disebutkan kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
106
Hasil wawancara dengan Ibu Juraini Sulaiman, Sekretaris MPW Notaris Sumatera Utara, pada tanggal 15 April 2009. 107 Ibid.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. 108 Dengan pengaturan seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata diatur atau disebutkan juga dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, yaitu : 1. Mengenai wewenang MPW untuk menjatuhkan sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam Keputusan Menteri angka 2 butir 1 menetukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan (seluruh) sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Adanya pembedaan pengaturan sanksi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pengaturan sanksi, seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a UUJN tersebut, artinya selain dari menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tulisan, MPW tidak berwenang. 2. Mengenai wewenang MPP, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 84 UUJN. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 bahwa MPP mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Pasal 84 UUJN merupakan sanksi perdata, yang dalam pelaksanaannya
108
Penjelasan Pasal 84 UUJN menegaskan bahwa sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN berlaku untuk Notaris, juga berlaku untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. Tapi Pasal 85 UUJN tidak menyebutkan pemberlakuan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pasal 85 UUJN hanya berlaku untuk Notaris saja. Seharusnya ketentuan Pasal 85 UUJN berlaku pula untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
tidak memerlukan (perantara) MPP untuk melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata, bahwa pelaksanaan sanksi tersebut tidak serta merta berlaku, tapi harus ada proses pembuktian yang dilaksanakan di pengadilan umum, dan ada putusan dari pengadilan melalui gugatan, bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta batal demi hukum. Keputusan Menteri yang menentukan MPP berwenang untuk melaksanakan Pasal 84 UUJN telah menyimpang dari esensi suatu sanksi perdata. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 seperti itu tidak perlu untuk dilaksanakan. Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yaitu : 1. MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari Notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun, tapi MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris (Pasal 71 huruf e UUJN). 2. MPW dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris. Sanksi dari MPW berupa teguran lisan dan teguran tertulis dan bersifat final tidak dapat dikategorikan sebagai sanksi, tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nyata dalam untuk kemudian dijatuhi sanksi yang lain, seperti pemberhentian sementara dari jabatannya. 3. MPP dapat menjatuhkan sanksi terbatas. Pasal 77 huruf c UUJN menentukan bahwa MPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris. Sanksi-sanksi yang lainnya MPP hanya berwenang untuk mengusulkan : a.
pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada Menteri (Pasal 77 huruf d UUJN);
b.
pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu (Pasal 12 UUJN).
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh MPW. Sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh MPP, dan sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usulan dari MPP. 109 Pada dasarnya pengangkatan dan pemberhentian Notaris dari jabatannya sesuai dengan aturan hukum yang mengangkat dan yang memberhentikan harus instansi yang sama, yaitu Menteri. 110
C. Akibat Hukum Putusan Majelis Pengawas Notaris Terhadap Notaris Yang Melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
109
Dalam Penjelasan Pasal 2 huruf e angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, sebagai contoh menjelaskan bahwa Keputusan Menteri memecat seorang Notaris atas usul Ketua Pengadilan Negeri tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga tidak dapat diajukan gugatan sebagai objek sengketa tata usaha negara. Ketentuan pasal tersebut dapat dimengerti ketika pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh pengadilan. Sudah tentu sesudah berlakunya UUJN bahwa pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris, maka usul pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris diusulkan oleh MPP. 110 Kewenangan MPP untuk mengajukan usul pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris merupakan putusan yang konkret, individual dan final dari MPP yang ditujukan kepada seorang Notaris atas hasil pemeriksaan MPP. Jika putusan ini tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan, maka putusan tersebut Notaris dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai suatu Sengketa Tata Usaha Negara. Meskipun dalam hal ini sebenarnya Menteri Hukum dan HAM sebagai Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Surat Keputusan pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris, putusan tersebut dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Notaris yang bersangkutan, tapi dalam hal ini gugatan tersebut lebih tepat diajukan kepada MPP dengan alasan MPP yang telah memeriksa dan melakukan persidangan atas Notaris yang bersangkutan yang mengetahui kejadian dan latar belakang untuk mengajukan usul pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris. Dengan keputusan badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijadikan dasar oleh Menteri Hukum dan HAM untuk mengeluarkan surat keputusan pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris, hal ini sesuai dengan Pasal 2 huruf e UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sanksi terhadap Notaris menunjukkan Notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Terhadap Notaris dapat dijatuhi sanksi perdata, administrasi juga dapat dijatuhi sanksi etika dan sanksi pidana. Sebagian besar teori hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya adalah pada norma hukum dilekatkan suatu paksaan atau sanksi.111 Pandangan demikian merupakan karakteristik pandangan kaum positivis. Menurut kaum positivitis, unsur paksaan dikaitkan dengan pengertian tentang hirarki perintah secara formal. 112 Sejak adanya negara nasional, sepanjang sejarah ahli hukum mulai dari Thomas Hobbes melewati Austin sampai ke Hans Kelsen dan Somolo memandang esensi hukum dalam struktur piramidal kekuasaan negara. 113 Bahkan Hart sekalipun juga memandang hukum sebagai perintah dan menempatkan sanksi sebagai sesuatu yang memang melekat pada hukum. 114 Sanksi menurut Philipus M. Hadjon menyatakan sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi. Dengan demikian unsurunsur sanksi, yaitu : a. Sebagai alat kekuasaan; b. Bersifat hukum publik; 111
Lon L. Fuller, The Morality of Law, (New Havan : Yale University Press, 1975), hlm. 109. Ibid., hlm. 110. 113 Ibid. 114 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prenada Media Group, 2008), 112
hlm. 73.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
c. Digunakan oleh penguasa; d. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan. 115 Sanksi-sanksi merupakan bagian yang penting dalam hukum, dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat dalam bentuk Undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun hukum lain dibawah undang-undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. 116 Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidahkaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara). 117 Sanksi ini selalu ada pada aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidakaturan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang 115
Philipus M. Hadjon, “Penegakkan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20 Ayat (3) dan (4) UU No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup“, (Surabaya : Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1996), hlm. 1. 116 Jika dalam suatu aturan hukum ditentukan kepada siapa saja yang melanggar aturan hukum tersebut akan dijatuhi sanksi pidana, perdata dan administrasi, maka kepada pelanggar dapat dijatuhi sanksi secara kumulatif. 117 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 262.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
bersangkutan. Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau mewajibkan. 118 Dengan demikian pada sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar, 119 dan di balik pintu ketentuan perintah dan larangan (geen verboden) tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan. 120 Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap notaris juga merupakan sebagai penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN, dan untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN, di samping dengan pemberian sanksi terhadap Notaris untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat,
118
Phlipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum, (Surabaya : Yuridika, 1992), hlm. 6. Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 82. 120 Philipus M.Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum , op.cit., hlm. 5. 119
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
misalnya membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut untuk menjaga martabat lembaga Notaris, sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu sanksi terhadap Notaris merupakan suatu nestapa dan pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, apakah masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatannya.
1. Sanksi Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Sanksi terhadap Notaris diatur pada akhir UUJN, yaitu pada Pasal 84 dan 85 UUJN, ada 2 (dua) macam yaitu : a.
Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52. Jika ketentuan sebagaimana dalam pasal tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, 121 dan hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi para pihak (para penghadap) yang tercantum dalam akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Tuntutan para pihak terhadap Notaris tersebut berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga merupakan akibat yang akan diterima Notaris jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam Pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Perdata. b. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59 dan/atau Pasal 63, maka Notaris akan dijatuhi sanksi berupa : 1. teguran lisan; 2. teguran tertulis; 3. pemberhentian sementara; 4. pemberhentian dengan hormat; dan 5. pemberhentian tidak hormat.
121
Substansi Pasal 84 UUJN ini dapat dibandingkan dengan Pasal 60 PJN. Dalam Pasal 60 PJN disebutkan jika akta yang dibuat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat bentuk dapat dibatalkan di muka pengadilan atau dianggap hanya dapat berlaku sebagai akta di bawah tangan. Menurut Pasal 60 UUJN dalam pembatalan akta untuk berlaku sebagai akta di bawah tangan memerlukan putusan pengadilan. Menurut Pasal 84 UUJN hal seperti tersebut dalam Pasal 60 PJN tidak diperlukan. Ketentuan Pasal 60 PJN ini sesuai dengan substansi Pasal 1869 B.W.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Administratif. Sanksi yang terdapat dalam Pasal 84 dan 85 UUJN ini, merupakan sanksi 122 terhadap Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris. Artinya ada persyaratan tertentu atau tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam UUJN, Kode Etik Notaris, perilaku Notaris yang dapat merendahkan kehormatan dan martabat Notaris. Ada 2 (dua) permasalahan mengenai sanksi yang diatur dalam Pasal 84 UUJN. Pertama, tidak mempunyai tata cara atau tidak menentukan tata cara tertentu untuk menerapkannya. Kedua, tidak ada batasan yang jelas mengenai akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta yang menjadi batal demi hukum. Permasalahan tersebut berkaitan dengan Sanksi Perdata yang dapat diatur terhadap Notaris, berupa biaya, ganti rugi dan bunga. Sebagai sebuah sanksi tata cara atau mekanisme penerapan sanksi harus jelas, sehingga hak Notaris dan para pihak yang tersebut dalam akta memperoleh pemeriksaan yang adil serta memberikan perlindungan hukum. Meskipun dalam Pasal 84 UUJN telah ditegaskan, akta yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
122
Sanksi terhadap Notaris bukan hanya Sanksi Administratif saja, tetapi juga sanksi terhadap Notaris dapat dikenakan sanksi yang lainnya, yaitu Sanksi Pidana atau Sanksi Kode Etik Jabatan. Sanksi Pidana akan dikenakan jika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik tertentu suatu tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Sanksi Etik akan dikenakan jika melanggar berbagai ketentuan yang tercantum dalam Kode Etik Jabatan Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, yang berarti akta tersebut serta merta menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu, maka dalam hal ini tetap perlu ada pihak yang menilai dan membuktikan bahwa akta yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat sebagai akta Notaris. Sebelum sampai pada kesimpulan bahwa akta yang bersangkutan menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum, maka terlebih dahulu harus ada pembuktian. Bisa saja menurut para pihak tidak memenuhi syarat, tetapi menurut Notaris telah memenuhi syarat, dengan demikian jika terjadi seperti ini harus ada pembuktian bahwa akta yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Istilah akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan berkaitan dengan nilai pembuktian suatu alat bukti. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang isi dan tandatangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh para pihak. Jika salah satu pihak mengingkarinya, maka nilai pembuktian tersebut diserahkan kepada hakim. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu karena : (1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau (2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau (3) cacat dalam bentuknya, maka akta tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai akta
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
otentik, namun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta tersbut ditandatangani oleh para pihak. Pasal 84 UUJN juga tidak menentukan dengan tegas akta Notaris mana mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan menjadi akta batal demi hukum. Sehingga kedua hal tersebut perlu ditentukan dan diberi batasan serta alasan yang jelas dan dibedakan dalam penerapannya. Batasan tersebut dilihat berdasarkan substansi pasal-pasal yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Istilah batal demi hukum (nietig) merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemming van degenen die zich verbinden
dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de
bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan). Pasal 1333 KUHPerdata menegaskan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata ini sebagai bentuk perjanjian mempunyai hal yang ditentukan. Mengenai syarat suatu hal tertentu ini, dalam Pasal 1335 KUHPerdata ditegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan. Tetapi
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
menurut Pasal 1336 KUHPerdata, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab lain daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Jika ukuran akta Notaris batal demi hukum berdasarkan kepada unsur-unsur yang ada dalam Pasal 1335, 1336, 1337 KUHPerdata, maka penggunaan istilah batal demi hukum untuk akta Notaris karena melanggar pasal-pasal tertentu dalam Pasal 84 UUJN menjadi tidak tepat, karena akta Notaris dari segi bentuk (formal) tidak melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Secara substansi sangat tidak mungkin Notaris membuatkan akta untuk para pihak yang jelas tidak memenuhi syarat objektif 123 . Pelanggaran pasal-pasal tertentu yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN hanya mengatur teknik administratif Notaris dalam pembuatan akta sehingga jika istilah batal demi hukum akan diterapkan terhadap akta Notaris karena melanggar ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN perlu ditentukan dasar atau alasannya yang tepat, karena akta Notaris batal demi hukum, maka akta tersebut dianggap tidak
123
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata suatu Perjanjian sah kalau memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemmimg van degenendie zich verbinden). 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan). 3. Suatu hal tertentu (een bepaals onderwerp). 4. Suatu sebab yang tidak terlarang (eene geoorloofde oorzaak).
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
pernah ada, dan akta yang dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tuntutan berupa biaya ganti rugi dan bunga terhadap Notaris. Dalam Hukum Administrasi, sanksi yang khas, antara lain 124 : a. bestuursdwang (paksaan pemerintah); b. penarikan
kembali
keputusan
(ketetapan)
yang
menguntungkan
(izin,
pembayaran, subsidi); c. pengenaan denda administratif; dan d. pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Jenis sanksi dalam Pasal 85 UUJN yang dapat dikategorikan ke dalam jenis sanksi administrasi, 125 yaitu pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat dari jabatan. Sanksi-sanksi seperti ini dapat dikategorikan
sebagai
penarikan
kembali
keputusan-keputusan
yang
menguntungkan. 126 Teguran dan lisan teguran tertulis dapat dikategorikan sebagai salah satu prosedur paksaan nyata (bestuurdwang). 127 Mengenai tata cara penerapan
124
Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit., hlm. 245. Menurut pandangan H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt bahwa Sanksi Administratif adalah alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap norma-norma hukum administrasi. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratiefrecht, (Utrecht: Uitgeverij Lemma B.V, 1990), hlm. 327. 126 Keputusan-keputusan (Ketetapan-Ketetapan) yang menguntungkan dapat ditarik kembali sebagai sanksi, jika yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan perundang-undangan atau yang berkepentingan telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan. Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit., hlm. 258-259. 127 Suatu peringatan tertulis harus mendahului pelaksanaan nyata dari Bestuurdwang. Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit., hlm. 254. 125
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
dan pejabat yang akan menjatuhkan sanksi berdasarkan Pasal 85 UUJN akan berkaitan dengan Pengawasan 128 terhadap Notaris. Sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UUJN dapat dijatuhkan terhadap Notaris jika Notaris melanggar pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam kedua pasal tersebut. Adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sanksi dapat dijatuhkan akan berkaitan dengan Karakter Sanksi. Karakter Sanksi merupakan daya mengikat suatu sanksi berdasarkan ciri-ciri tertentu yang terdapat dalam setiap jenis sanksi. Ganti rugi, biaya dan bunga seperti yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN merupakan Karakter Sanksi Perdata. Untuk melaksanakan Sanksi Perdata perlu ditentukan suatu akta Notaris akta mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum terlebih dahulu. Jika terbukti, maka Sanksi Perdata tersebut dapat dilaksanakan. Sanksi Administratif yang tercantum dalam Pasal 85 UUJN dapat dilaksanakan jika Notaris melanggar pasal-pasal yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN tersebut. Adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar Sanksi Administratif dapat dilaksanakan berkaitan dengan Karakter Sanksi Administratif yang ditujukan kepada
perbuatan
pelanggarannya,
dengan
maksud
agar
pelanggaran
itu
dihentikan. 129
128
Pengawasan yang dilakukan terhadap Notaris bertujuan agar para Notaris sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan, demi untuk pengamanan dan kepentingan masyarakat umum, G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hlm. 301. 129 Philipus M. Hadjon, dkk, op.cit., hlm. 247.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sanksi-sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas, jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
2. Sanksi Perdata Dalam Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu : 1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; dan 2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum. Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris yang menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda. Pasal 84 UUJN tidak menegaskan atau tidak menentukan secara tegas (membagi) ketentuan (pasal-pasal) yang dikategorikan seperti itu. Pasal 84 UUJN
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
mencampuradukkan atau tidak memberikan batasan kedua sanksi tersebut, dan untuk menentukannya bersifat alternatif dengan kata atau pada kalimat ”....mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum....”. Oleh karena dua istilah tersebut mempunyai pengertian dan akibat hukum yang berbeda, maka perlu ditentukan ketentuan (pasal-pasal) mana saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran dengan sanksi akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Kemudian juga perlu ditegaskan, apakah sanksi terhadap Notaris kedua hal tersebut sebagai akibat langsung dari akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari : 1.
Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2.
Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagian akta di bawah tangan, maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan, dan yang tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan termasuk sebagai akta menjadi batal demi hukum.
3. Sanksi Administratif Secara garis besar sanksi administratif dapat dibedakan 3 (tiga) macam, yaitu : a.
Sanksi Reparatif Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap/tindakan sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.
b.
Sanksi Punitif Sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan, sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya. Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras.
c.
Sanksi Regresif Sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
yang sebenarnya sebelum keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan. Dalam beberapa kepustakaan hukum administrasi dikenal beberapa jenis sanksi administratif, antara lain 130 : 1.
Eksekusi Nyata. Sanksi ini digunakan administrasi, baik dengan tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam suatu ketetapan hukum-hukum administrasi maupun pada pelanggaran-pelanggaran suatu ketentuan undang-undang berbuat tanpa izin, yang terdiri dari mengambil, menghalangi, menjalankan atau memperbaiki apa yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan yang sah, yang dibuat, disusun, dialami, dibiarkan dirusak atau diambil oleh pelaku. 131
2.
Eksekusi Langsung (parate executie). Sanksi dalam penagihan uang yang berasal dari hubungan hukum-hukum administrasi.
3.
Penarikan Kembali Suatu Izin. Sanksi yang diberikan pada pelanggaran peraturan atau syarat-syarat yang berhubungan dengan ketetapan, tetapi juga pelanggaran peraturan perundangundangan.
130
A.D. Belifante dan H. Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Jakarta : Binacipta, 1983), hlm. 101-105. 131 Wewenang untuk eksekusi nyata mengharuskan penguasa yang menjalankannya hanya untuk mengambil tindakan-tindakan yang sangat perlu untuk mencapai perbaikan keadaan yang dikehendaki peraturan. Tindakan lebih lanjut daripada itu akan merupakan perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum, Ibid., hlm. 102-103.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Philipus M. Hadjon 132 dan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt 133 sanksi administrasi meliputi : a.
Paksaan pemerintah (bestuurdwang); Paksaan pemerintah sebagai tindakan-tindakan yang nyata (feiteijke handeling) dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga negara karena bertentangan dengan undangundang. 134
b.
Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi); Sanksi yang digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan, dengan mengeluarkan ketetapan baru 135 . Sanksi seperti ini diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. 136 Dalam keadaan tertentu sanksi seperti ini tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan, apabila keputusan (ketetapan) berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau ditarik kembali (izin, subsidi berkala), dan tanpa 132
Philipus M. Hadjon,-dkk, op.cit., hlm. 245. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit, hlm. 330-345. 134 Philipus M. Hadjon,-dkk, op.cit., hlm. 246. 135 Ibid., hlm.259. 136 Indroharto, op.cit., hlm. 242. 133
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
adanya suatu peraturan perundang-undangan yang tegas untuk itu, penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut. 137 Pencabutan atau penarikan yang menguntungkan merupakan suatu Sanksi Situatif, yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan-keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi. 138
c.
Pengenaan denda administratif; Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada si pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut.
d.
Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom); Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
137 138
Philipus M. Hadjon, -dkk, op.cit., hlm. 247. Indroharto, op.cit., hlm. 243.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dalam Pasal 85 UUJN ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi administratif, yaitu : 1. Teguran Lisan. 2. Teguran Tertulis. 3. Pemberhentian Sementara. 4. Pemberhentian Dengan Hormat. 5. Pemberhentian Tidak Hormat. Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian tidak hormat, karena Notaris melanggar pasal-pasal tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN, yaitu Notaris : 1. Melanggar ketentuan Pasal 7, Notaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengambilan sumpah/jabatan Notaris tidak : a.
Menjalankan jabatannya dengan nyata;
b.
Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada: 1. Menteri, 2. Organisasi Notaris, dan 3. Majelis Pengawas Daerah; dan
c.
Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada : 1. Menteri, 2. Pejabat lain yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan, 3. Organisasi Notaris,
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
4. Ketua Pengadilan Negeri, 5. Majelis Pengawas Daerah, serta 6. Bupati atau Walikota di tempat Notaris diangkat. 2. Melanggar kewajiban Notaris sebagaimana tersebut dalam ketentuan : a. Pasal 16 ayat (1) huruf a, dalam menjalankan jabatannya Notaris bertindak tidak jujur, tidak seksama, tidak mandiri, berpihak, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Pasal 16 ayat (1) huruf b, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan tidak menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Pasal 16 ayat (1) huruf c, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. Pasal 16 ayat (1) huruf d, 139 dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
139
Menurut G.H.S. Lumban Tobing (op.cit., hlm. 98-99) contoh alasan menolak memberikan bantuan : 1. dalam hal Notaris berhalangan karena sakit atau karena pekerjaan jabatan lain; 2. apabila para penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau identitasnya tidak dapat diterangkan kepada Notaris; 3. apabila para pihak tidak dapat menerangkan kemauan mereka dengan jelas kepada Notaris; 4. apabila para penghadap menghendaki sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang; 5. apabila karenanya Notaris akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 20 dan 21 PJN.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
e. Pasal 16 ayat (1) huruf e, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f. Pasal 16 ayat (1) huruf f, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Pasal 16 ayat (1) huruf g, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Pasal 16 ayat (1) huruf h, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan setiap bulan; i. Pasal 16 ayat (1) huruf i, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
Bahwa Pasal 20 dan 21 PJN sama dengan ketentuan Pasal 52 dan 53 UUJN, sehingga alasan penolakan pada angka 5 harus dibaca apabila karenanya Notaris akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 52 dan 53 UUJN.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
nihil yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; 140 j. Pasal 16 ayat (1) huruf j, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Pasal 16 ayat (1) huruf k, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. 141 3. Melanggar larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17, yaitu: a) Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya b) Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) dari kerja berturutberturut tanpa alasan yang sah c) Merangkap sebagai pegawai negeri 142 d) Merangkap sebagai pejabat negara e) Merangkap jabatan sebagai advokat 143
140
Pengaturan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN ada sanksi yang kumulatif, artinya untuk perbuatan yang sama dikenakan dua sanksi yang berbeda, yaitu ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l, di samping akta yang dibuat di hadapan Notaris menjadi batal demi hukum, juga dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. 141 Hal yang sama juga berlaku untuk Pasal 16 ayat (1) huruf k UUJN. 142 Ketentuan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. 143 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Advokat.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
f) Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta. g) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; h) Menjadi Notaris Pengganti i) Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. 4. Notaris dalam melaksanakan ketentuan Pasal 20, yaitu dalam membentuk perserikatan perdata atau perserikatan Notaris telah bertindak tidak mandiri dan ada keberpihakan dalam menjalankan jabatannya atau dalam menjalankan kantor bersama tersebut. 5. Melanggar ketentuan Pasal 27, yaitu dalam mengajukan permohonan tidak memenuhi syarat sebagaima disebutkan dalam Pasal 27 bahwa cuti harus diajukan secara tertulis disertai dengan penunjukan Notaris Pengganti dan permohonan diajukan, kepada: a. Majelis Pengawas Daerah, kalau jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan; b. Majelis Pengawas Wilayah, kalau jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
c. Majelis Pengawas Pusat, kalau jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu) tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah; disertai usulan penunjuk Notaris pengganti. 6. Melanggar ketentuan Pasal 32, yaitu Notaris yang menjalankan cuti tidak menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti dan Notaris pengganti menyerahkan kembali protokol kepada Notaris setelah cuti berahir. Serah terima terhadap hal tersebut dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. 7. Melanggar ketentuan Pasal 37, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (prodeo). 8. Melanggar ketentuan Pasal 54, Notaris telah memberikan memperlihatkan atau Kutipan Akta, kepada orang yang tidak berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. 9. Melanggar ketentuan Pasal 58, Notaris; a) Tidak membuat daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh Undang-undang. b) Tidak setiap hari mencatat semua akta yang di buat oleh atau dihadapannya, baik dalam minuta akta maupun originali tanpa sela-sela kosong, masing-
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
msing dalam ruang yang tutup dengan garis-garis akta, dan mana semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai kuasa orang lain. c) Tidak mengeluarkan akta dalam bentuk originali yang dibuat dalam rangkap 2 (dua) atau lebih pada saat yang sama, dicatat dalam daftar dengan satu nomor. d) Tidak mencatat setiap hari surat di bawah tangan yang disahkan atau dibukukan, dengan cara yang sudah ditentukan, yaitu dibuat tanpa sela-sela kosong, masing-masing dalam ruang yang tertutup dengan garis-garis tinta, dengan mencantumkan nomor urut, tanggal, sifat akta, dan mana semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai kuasa orang lain. 10. Melanggar ketentuan Pasal 59, Notaris tidak membuat daftar klapper untuk daftar akta dan daftar surat dibawah tangann yang disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan. Daftar klapper tersebut memuat nama semua orang yang menghadap dengan penyebutan di belakang tiap-tiap nama, sifat, dan nomor akta, atau surat yang dicatat dalam daftar akta dan daftar surat di bawah tangan. 11. Melanggar ketentuan Pasal 63, yaitu bilamana Notaris : a) Meninggal dunia b) Telah berakhir masa jabatannya c) Minta sendiri d) Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
e) Diangkat menjadi pejabat negara f) Pindah wilayah jabatan g) Diberhentikan sementara atau h) Diberhentikan dengan tidak hormat yaitu tidak menyerahkan protokolnya paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima protokol Notaris, dengan pembatasan bahwa : a) Dalam hal Notaris meninggal dunia, maka penyerahan Protokol Notaris yang dilakukan oleh waris Notaris kepada Notaris lain yang ditujukan oleh Majelis Pengawas Daerah b) Dalam hal Notaris diberhentikan sementara, maka penyerahan protokol Notaris yang dilakukan oleh Notaris lain yang ditujukan oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan c) Dalam hal Notaris a. Telah berakhir masa jabatannya b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri c. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 tahun d. Pindah wilayah jabatan e. Diberhentikan dengan tidak hormat
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Maka penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris lain yang ditujukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah. Sanksi Notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN merupakan sanksi internal, 144 yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak melakukan serangkaian tindakan tertib pelaksanaan tugas jabatan kerja Notaris yang harus dilakukan untuk kepentingan Notaris sendiri. Dengan menggunakan parameter jenis sanksi administrasi yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon 145 dan H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt 146 yaitu : a. Paksaan pemerintah (bestuurdwang); b. Penarikan,
kembali
keputusan
(ketetapan)
yang
menguntungkan
(izin,
pembayaran, subsidi); c. Pengenaan denda administratif; d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Dan jenis sanksi yang terdapat Pasal 85 UUJN, yaitu : 1. Teguran lisan 2. Teguran tertulis 3. Pemberhentian sementara 4. Pemberhentian dengan hormat
144
Adanya saksi internal dan saksi eksternal untuk menentukan ada atau tidak ada kumulasi sanksi terhadap Notaris. 145 Philipus M. Hadjon, -dkk, op.cit, hlm. 245. 146 H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit, hlm. 330-345.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
5. Pemberhentian tidak hormat Dalam Pasal 85 UUJN dengan menempatkan teguran lisan pada urutan pertama pemberian sanksi, merupakan suatu peringatan kepada Notaris dan Majelis Pengawas yang jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi Teguran Tertulis, jika sanksi seperti ini tidak dipatuhi juga oleh Notaris yang bersangkutan, maka dapat dijatuhi sanksi yang berikutnya secara berjenjang. Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal untuk menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif. Dalam sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi yang harus didahului dengan teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai aspek prosedur paksaan nyata. 147 Pelaksanaan teguran lisan maupun tertulis bertujuan untuk menguji ketepatan dan kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dalam pelaksanaan teguran lisan dan teguran tertulis memberikan hak kepada mereka yang diberi teguran secara lisan dan tertulis tersebut akan membela diri dalam suatu upaya administrasi dalam bentuk keberadaan atau banding administrasi. Dengan demikian rumusan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis tidak tepat dimasukkan sebagai suatu sanksi, tapi hanya merupakan tahapan awal untuk menjatuhkan sanksi paksaan nyata yang untuk selanjutnya jika terbukti dapat dijatuhi sanksi yang lain.
147
Philipus M. Hadjon, -dkk, op.cit, hlm. 234.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Pemberhentian sementara Notaris dari jabatannya berarti Notaris yang bersangkutan telah kehilangan kewenangannya untuk sementara waktu, dan Notaris yang bersangkutan tidak dapat membuat akta apapun atau Notaris tersebut tidak dapat melaksanakan tugas jabatannya. Hal ini perlu dibatasi dengan alasan untuk menunggu hasil pemeriksaan Majelis Pengawas. Untuk memberikan kepastian, maka pemberhentian sementara tersebut harus ditentukan lamanya, sehingga nasib Notaris tidak digantung (status quo) oleh keputusan pemberhentian sementara tersebut, sanksi pemberhentian sementara dari Jabatan Notaris merupakan sanksi paksaan nyata, sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan Pasal 85 UUJN yang dapat dikategorikan sebagai sanksi administratif, yaitu: 1. Pemberhentian sementara 2. Pemberhentian dengan hormat 3. Pemberhentian tidak hormat
4. Sanksi Lainnya dan Kumulasi Sanksi Terhadap Notaris Sanksi terhadap Notaris menunjukkan Notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Terhadap Notaris dapat dijatuhi Sanksi Perdata dan
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Administratif seperti tersebut di atas, juga dapat dijatuhi Sanksi Etika dan Sanksi Pidana. Sanksi Etika dapat dijatuhkan terhadap Notaris, karena Notaris melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Jabatan Notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Notaris, bahwa sanksi tertinggi dari Majelis Kehormatan Notaris ini berupa pemberhentian secara tidak hormat atau secara hormat dari keanggotaan Organisasi Jabatan Notaris. Sanksi Pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, dalam hal ini UUJN. Jika semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh suatu hal yang tidak mungkin secara sengaja Notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut. Suatu tindakan bunuh diri, jika seorang Notaris secara sengaja bersamasama atau membantu penghadap secara sadar membuat akta untuk melakukan suatu tindak pidana. Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh Notaris, merupakan suatu tindakan yang disadari, atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal Notaris sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap. Sanksi Pidana terhadap Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum, yaitu KUHP. UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Dengan adanya lebih dari satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Notaris, berkaitan dengan kumulasi sanksi terhadap Notaris. Dalam kaidah peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Administrasi sering tidak hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang diberlakukan secara kumulasi, adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana, tapi pada saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi 148 . UUJN tidak mengatur kumulasi sanksi sebagaimana tersebut di atas, UUJN hanya mengatur sanksi perdata dan sanksi administrasi, dan kedua sanksi ini tidak dapat dikumulasikan dan tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, karena masingmasing sanksi tersebut dapat dijatuhkan karena melakukan jenis pelanggaran yang berbeda yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN dan 85 UUJN, demikian pula dengan sanksi yang lainnya, yaitu sanksi pidana dan Kode Etik. Sanksi-sanksi tersebut berdiri sendiri yang dapat dijatuhkan oleh instansi yang diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Jika Notaris terbukti melakukan pelanggaran dan dijatuhi sanksi tersebut di atas, dapat dijadikan dasar Notaris yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 ayat (1) UUJN) atau diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya (Pasal 12 UUJN), seperti : 1. Sanksi Perdata, berupa :
148
Philipus M. Hadjon-dkk, op.cit, hlm.263.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
a. Dalam proses pailit atau penundaan pembayaran (Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN). b.
Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum (Pasal 12 huruf a UUJN).
2.
Sanksi Pidana, berupa : Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan (ancaman) pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 13 UUJN).
3. Sanksi Kode Etik, berupa : a. Melakukan perbuatan tercela (Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN). b.
Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris (Pasal 12 huruf c UUJN).
4. Sanksi Administratif, berupa : a.
Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan (Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN).
b.
Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan (Pasal 12 huruf d UUJN). Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh yang bersangkutan, dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat Reparatoir atau Korektif, artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain, dan Regresif, yang berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan dikembalikan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang sifat Condemnatoir (Punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum. Prosedur penjatuhan sanksi adminstratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut, dan sanksi perdata berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap yang amar putusannya menghukum Notaris untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada penggugat, dan prosedur sanksi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu. Penjatuhan sanksi administratif dan sanksi perdata dengan tujuan sebagai koreksi atau reparatif dan regresi atas perbuatan Notaris.
5. Penegakan Sanksi Administratif Penegakan hukum menurut Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum meliputi pengawasan dan penegakan sanksi, pengawasan
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, dan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. 149 Dalam menegakkan sanksi administratif terhadap Notaris yang menjadi instrument pengawas yaitu Majelis Pengawas yang mengambil langkah-langkah preventif, 150 untuk memaksakan kepatuhan, dan untuk menerapkan sanksi yang represif 151 untuk memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi tersebut dapat dilaksanakan. Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu untuk memeriksa ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD), 152 tetapi pengawasan terhadap tugas jabatan Notaris tetap dilakukan setiap saat. Kemudian MPD dapat memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah (MPW), jika atas laporan yang diterima MPD menemukan adanya unsur pidana, 153 kemudian juga dapat menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode 149
Philipus M. Hadjon, dalam B. Arief Sidharta, et al (ed), op.cit., hlm. 337. Pengawasan preventif bertujuan mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan (pada suatu pembuatan tata usaha Negara), H.M. Laica Marzuki, “Penggunaan Upaya Administratif dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, April 1992, hlm. 171. 151 Pengawasan represif bertujuan guna memulihkan sesuatu perbuatan (tata usaha Negara) yang dipandang salah, menyimpang serta merugikan pihak lain, H.M. Laica Marzuki, Ibid., hlm. 171. 152 Pasal 70 huruf b UUJN dan Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 153 Bagian III, 1, (2), Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Ketentuan ini telah menempatkan institusi MPD sebagai pelapor suatu tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka 24 KUHAP bahwa pelapor suatu tindak pidana haruslah subjek hukum, berupa orang-perseorangan. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris (Pasal 1 angka 6 UUJN). Dengan demikian menempatkan MPD sebagai pelapor tindak pidana tidak tepat karena MPD sebagai suatu Badan, Habib Adjie, “Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana…?”, Media Notariat, 2006, hlm. 12. Jika terjadi permasalahan dalam menerapkan kedua isi pasal tersebut, maka dapat dipergunakan asas preferensi hukum. 150
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. 154 Jika hasil pemeriksaan MPD menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menjatuhkan sanksi yang represif kepada Notaris, tapi MPD hanya dapat melaporkan kepada MPW. 155 MPW dapat melakukan langkah preventif, yaitu menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui MPW dan memanggil Notaris sebagai terlapor untuk dilakukan pemeriksaan, 156 juga MPW untuk memeriksa dan memutus hasil pemeriksaasn MPD. 157 MPW dapat melakukan langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi ini bersifat final, 158 dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat (MPP) berupa : (1) pemberhentian sementara 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan, atau (2) pemberhentian dengan tidak hormat. 159 MPP tidak melakukan tindakan preventif, yaitu menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti, 160 tapi tindakan represif berupa menjatuhkan
154
Pasal 70 huruf a UUJN. Pasal 70 huruf h, Pasal 71 huruf e UUJN. 156 Pasal 73 huruf a dan b UUJN. 157 Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasai Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. 158 Pasal 73 ayat (1) huruf e, ayat (2) UUJN. 159 Pasal 73 ayat (1) huruf f UUJN. 160 Pasal 77 huruf a UUJN. 155
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
sanksi pemberhentian sementara, dan mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. 161 Sementara itu, Notaris di Kota Medan dalam tahun 2008-2009 tidak ada yang melakukan tindakan yang merendahkan martabat Notaris termasuk judi, mabuk dan perbuatan asusila. 162
D. Upaya Hukum Bagi Notaris Yang Dijatuhi Sanksi Akta Notaris merupakan salah satu hasil dari pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai kewenangan yang diberikan kepada Notaris. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, jika berupa sanksi perdata dikarenakan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris batal demi hukum merupakan sanksi yang berkaitan dengan produk dari Notaris yang diajukan oleh pihak atau penghadap yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Notaris melanggar ketentuan yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas karena Notaris melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Jika sanksi tersebut dijatuhkan atau diberikan kepada Notaris, maka harus ada upaya hukum dari Notaris untuk mempertahankan hak-hak Notaris, dengan tujuan untuk memperoleh pemeriksaan yang berimbang dan objektif, dalam hal ini Notaris 161
Pasal 77 huruf c dan d UUJN. Hasil Wawancara dengan Bapak Amri Marjunin, Ketua MPD Notaris Kota Medan, pada tanggal 09 Maret 2009. 162
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan banding ke Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Di bawah ini adalah Data Perkara Banding pada Majelis Pengawas Pusat Tahun 2005-2009 yang diperoleh penulis dari Sekretariat Majelis Pengawas Pusat Notaris, dimana frekuensi permintaan banding oleh Notaris sendiri relatif sedikit. Tabel 3. Data Perkara Banding Pada Majelis Pengawas Pusat Tahun 2005-2009 Tahun
Perdata
Administrasi
Pidana
2005 2006 2007 2008 2009
3 6 4 1
1 -
1 4 1 2
Belum Diputus
Sudah Diputus
12
11
Sumber : Sekretariat Majelis Pengawas Pusat Notaris Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia di Jakarta. Sampai akhir tahun 2008 jumlah perkara yang masuk pada Majelis Pengawas Pusat Notaris adalah 23 perkara dimana yang sudah diputus 11 perkara dan 12 perkara lagi belum diputus.
1. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Perdata untuk Akta Notaris Yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di Bawah Tangan dan Sanksi Akta Notaris Batal Demi Hukum Akta Notaris tidak dapat dinilai atau dinyatakan secara langsung secara sepihak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum oleh para pihak yang namanya dalam akta atau oleh orang lain yang berkepentingan dengan akta tersebut. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, karena melanggar ketentuanketentuan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN. Penilaian akta seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris atau para pihak yang namanya tersebut dalam akta di bawah tangan dalam batal demi hukum harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN atau tidak. Dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan isi Pasal 84 UUJN. Jika ada para pihak atau penghadap menilai atau menganggap atau mengetahui bahwa akta Notaris melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN, maka para pihak yang memberikan penilaian seperti itu harus dapat membuktikannya melalui proses peradilan (gugatan) dan meminta penggantian biaya, ganti rugi dan bunga 163 agar dapat membuktikan penilaiannya, dengan menunjukkan ketentuan atau pasal mana yang dilanggar oleh Notaris, dan atas gugatan ini, Notaris wajib memberikan perlawanan atau penjelasan. Jika penggugat dapat membuktikan gugatannya, dan pengadilan memutuskan akta yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan sehingga hakim membebankan ganti rugi kepada Notaris untuk membayar kepada penggugat, dalam gugatan ini semua tingkat peradilan dapat ditempuh oleh Notaris, sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. 163
Dalam gugatan seperti tersebut di atas, penggugat harus dapat membuktikan yaitu : a). adanya diderita kerugian, b). adanya hubungan kausal antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris, c). bahwa pelanggaran atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan, Lihat Liliana Tedjosaputro, op.cit., hlm. 94
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Prosedur seperti tersebut harus dilakukan agar tidak terjadi penilaian sepihak atas suatu akta Notaris, karena akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang dapat dinilai dari aspek lahiriah, formal dan materil. Notaris dalam membuat akta atas permintaan para pihak yang berdasarkan pada tata cara atau prosedur dalam pembuatan akta Notaris. Ketika para penghadap menganggap ada yang tidak benar dari akta tersebut, maka pihak yang bersangkutan harus menggugat Notaris dan wajib membuktikan kerugian, apakah akta Notaris tidak memenuhi aspek lahiriah, formal atau materil dan membuktikan kerugiannya. Dengan demikian penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum tidak dari satu pihak saja, tapi harus dilakukan oleh atau melalui dan buktikan di pengadilan. Jika pengadilan memutuskan akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, maka atas putusan pengadilan tersebut Notaris dapat dituntut biaya, ganti rugi dan bunga. Demikian pula jika ternyata gugatan tersebut tidak terbukti atau ditolak, maka tidak menutup kemungkinan Notaris yang bersangkutan untuk mengajukan gugatan kepada mereka atau pihak yang telah menggugatnya. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan hak dan kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.
2. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Administrasi
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Majelis pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas pusat dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap Notaris sesuai kewenangannya. Baik sanksi teguran lisan dan teguran tertulis dari Majelis Pengawas Pusat. MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final (Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN). MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja (Pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian sanksi seperti tersebut merupakan kewenangan MPW dan MPD. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, ditemukan pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris (Wilayah dan Pusat yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris), jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, maka Majelis Pengawas Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa : a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; dan
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
e. Pemberhentian dengan tidak hormat. Pengaturan sanksi administratif ini terjadi perbedaan antara pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tersebut dari segi kewenangan. Menurut Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN, kewenangan MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan dan teguran tertulis, dan sanksi seperti ini final, artinya tidak ada upaya hukum lain, dan MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatannya (Pasal 77 huruf c UUJN), dengan demikian kewenangan menjatuhkan sanksi seperti tersebut diatas hanya ada pada MPW dan MPP, tapi ternyata dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004, disebutkan pula bahwa Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) dari hasil pemeriksaannya dapat menjatuhkan sanksi berupa : a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; e. Pemberhentian dengan tidak hormat. Dengan demikian Majelis Pemeriksa dapat menjatuhkan sanksi yang lebih luas dibandingkan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh MPW dan MPP kepada Notaris, sehingga ada 2 (dua) instansi yang dapat menjatuhkan sanksi
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
terhadap Notaris yaitu MPW dan MPP. Substansi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, seperti tersebut di atas tidak tepat untuk dilaksanakan karena mencampuradukkan kewenangan MPW dan Majelis Pemeriksa Wilayah serta Majelis Pemeriksa Pusat dalam menjatuhkan sanksi, sehingga yang tetap harus dijadikan pedoman adalah aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUJN.
E. Analisis Terhadap Beberapa Kasus 1. Pemeriksaan Terhadap Notaris HS, SH a. Duduk Perkara MPN Daerah Kota Medan telah melakukan pemeriksaan kepada Notaris HS, SH berdasarkan adanya surat permohonan pengajuan keberatan dan laporan per tanggal 5 Nopember 2008 dari Saudara S, Ny. R dan A terhadap dikeluarkannya Akta Notaris Nomor 09 dan Nomor 10 tanggal 11 April 2008 oleh Notaris HS, SH. MPN Daerah Kota Medan telah memanggil kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) dan telah diminta keterangan-keterangannya yaitu sebagai berikut : I. Keterangan Pelapor 1. Berdasarkan Akta No. 09 dan No. 10 tanggal 11 April 2008, Notaris HS, SH menyebutkan bahwa Ny. R adalah seorang janda, tetapi yang sebenarnya Ny. R mempunyai suami yang sah.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Bahwa yang menjadi objek jual beli berdasarkan akta tersebut diatas bukan merupakan milik pribadi Ny. R melainkan warisan keluarga. 3. Bahwa Notaris HS, SH sudah meneliti terlebih dahulu alas hak yang mendasari jual beli, dan seakan-akan menutup mata dan membantu pihak kedua supaya terjadi jual beli, dan sangat merugikan pihak pertama. 4. Bahwa berdasarkan keterangan pelapor, tidak pernah merasa menjual tanah/bangunan tersebut di atas, melainkan awalnya adalah pinjam meminjam uang antara Ny. R (pelapor) dengan Ny. H (pihak kedua), dan Notaris HS, SH
hanya meminta kepada Ny. R untuk menandatangani surat
(minuta/akta) yang
telah dipersiapkan tanpa membacakan isi minuta akta
tersebut terlebih dahulu. 5. Bahwa Notaris HS, SH telah membatalkan akta yang telah diterbitkannya pada tanggal 29 Desember 2005 tentang Persetujuan Jual Beli tanpa persetujuan/pemberitahuan dari Ny. R (pelapor) 6.
Bahwa Notaris HS, SH telah melanggar Kode Etik Notaris sebagaimana yang diatur dalam UUJN.
II. Keterangan Terlapor 1. Terlapor (Notaris HS, SH) menerangkan, bahwa terjadinya akta No. 09 dan No. 10 tanggal 11 April 2008 hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Ny. R (pelapor), dan memang tidak meminta bukti bahwa Ny. R adalah
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
seorang janda dan keterangan itu disampaikan juga oleh Ny. H kepada Notaris (terlapor). 2. Bahwa tanah/bangunan yang menjadi objek dalam jual beli antara Ny. R dengan Ny. H berdasarkan bukti-bukti adalah milik Ny. R yang dibeli dari S (suami Ny. R) berdasarkan Surat Kepemilikan yang dikeluarkan oleh Camat (SK. Camat). 3. Bahwa Notaris HS, SH menerangkan penandatanganan minuta akta jual beli dilakukan di hadapan Notaris (terlapor) dan terlebih dahulu dibacakan di hadapan kedua belah pihak.
b. Keputusan Majelis Pengawas Berdasarkan keterangan-keterangan dari pelapor dan terlapor tersebut, Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Medan memutuskan sebagai berikut : 1. Bahwa terlapor Notaris HS, SH dalam membuat dan mengeluarkan akta jual beli No. 09 dan akte No. 10 tanggal 11 April 2008 tanpa bukti-bukti yang lengkap, tidak ada surat bukti bahwa Ny. R (pelapor) adalah seorang janda, bukti cerai hidup atau cerai karena kematian. 2. Bahwa terlapor Notaris HS, SH tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 3. Notaris HS, SH telah melanggar Kode Etik Notaris sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
4. Kepada pelapor, jika merasa dirugikan agar melakukan gugatan ke Pengadilan tentang keabsahan jual beli berdasarkan akta jual beli No. 09 dan akta No. 10 tanggal 11 April 2008 yang dibuat oleh Notaris HS, SH.
c. Analisis Kasus Berdasarkan
fakta
dari
kasus
tersebut,
analisis
yang
dapat
dikemukakan adalah, bahwa Notaris HS, SH dalam mengeluarkan akta tidak terlebih dahulu meminta keterangan dari saksi yang mengenal kedua belah pihak, sementara pada Pasal 39 ayat (2) UUJN menegaskan bahwa penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Dalam berbagai akta Notaris banyak digunakan kata untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan datang kepada Notaris atas kemauannya sendiri, misalnya kata Menghadap atau Telah Menghadap atau Berhadapan atau Telah Hadir di Hadapan. Bahwa yang dimaksud sebenarnya (penghadap) yang bersangkutan adalah kehadiran yang nyata (verschijnen) secara fisik atau digunakan kata Menghadap terjemahan dari verschijnen, yang berarti datang menghadap yang dimaksudkan dalam arti yuridisnya adalah kehadiran nyata.164 Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya sebagai teman atau sudah kenal lama, kalaupun para penghadap sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris
164
Herlien Budiono & Albertus Sutjipto Budihardjo Putra, “Beberapa Catatan Mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”, Makalah Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung 27-28 Januari 2005, hlm. 13.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
hal ini merupakan nilai tambah untuk Notaris saja,165 tapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan Notaris dan juga bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada Notaris. Notaris HS, SH tidak menjalankan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UUJN Pasal 44 ayat (1) yaitu tidak memberikan penjelasan atau penyuluhan terlebih dahulu kepada kedua belah pihak sebelum penandatanganan minuta akta, sehingga merugikan salah satu pihak.
2. Pemeriksaan terhadap Notaris SW, SH a. Duduk Perkara MPN Daerah Kota Medan telah melaksanakan pemeriksaan kepada Notaris SW, SH berdasarkan adanya laporan dari Saudara KK per tanggal 4 Desember 2008. MPN Daerah Kota Medan telah memanggil kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) dan telah diminta keterangan-keterangannya yaitu sebagai berikut : I. Keterangan Pelapor 1. Bahwa Notaris SW, SH diduga telah melanggar Kode Etik yaitu melakukan pengalihan hak atas harta gono-gini pelapor dengan mantan istrinya yang
165
Setiap orang datang menghadap Notaris wajib untuk diperlakukan sama atau ada pelayanan yang tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Perlakuan khusus memang harus ada untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang rumit, sehingga ketika dituangkan ke dalam akta sesuai dengan keinginan para penghadap.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
bernama M yaitu sebidang tanah dengan bangunan permanen berlantai 3 (tiga) kepada pihak lain yaitu NK dan L tanpa sepengetahuan Terlapor. 2. Bahwa akibat tindakan dari Notaris SW, SH tersebut, pelapor banyak mengalami kerugian baik materil maupun immateril. II. Keterangan Terlapor 1. Bahwa benar telah melakukan pengalihan hak atas sebidang tanah dan bangunan permanen berlantai 3 (tiga) dimana pemiliknya adalah Ny. M. 2. Bahwa berdasarkan pengakuan Ny. M, tanah/bangunan tersebut adalah miliknya dan harta pribadinya, ia tidak mempunyai suami, dibuktikan dengan diserahkannya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarganya (KK). 3. Bahwa terlapor tidak mengetahui adanya Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 400/Pdt.G/2005/PN.Mdn tanggal 22 Februari 2006 yang menyatakan bahwa tanah/bangunan tersebut adalah harta gono-gini. 4. Bahwa menurut keterangan terlapor, pembeli juga membenarkan bahwa tanah/bangunan tersebut adalah milik Ny. M. 5. Bahwa menurut pengakuan Ny. M, tanah dan bangunan tersebut dibeli dari developer dengan cara mencicil.
b. Keputusan Majelis Pengawas Berdasarkan keterangan-keterangan dari pelapor dan terlapor tersebut, Majelis Pendagawas Daerah Notaris Kota Medan memutuskan sebagai berikut :
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
1. Bahwa Notaris SW, SH dalam membuat Surat Perjanjian Jual Beli tidaklah salah dan tidak melanggar Kode Etik, berdasarkan keterangan-keterangan dan buktibukti formal yang diajukan oleh Ny. M. 2. Pelapor dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, apakah Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat oleh Notaris SW, SH sah atau tidak. 3. Melaksanakan perdamaian, pelapor dengan Ny. M dengan mediator Notaris SW, SH.
c. Analisis Kasus Berdasarkan fakta dari kasus tersebut, analisis yang dapat dikemukakan adalah, bahwa Notaris SW, SH dalam membuat Akta Perikatan Jual Beli telah sesuai dengan tata cara pembuatan akta Notaris yaitu : 1. melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris; 2. menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab); 3. memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut;
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
4. memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan dan kehendak para pihak tersebut; 5. memenuhi segala teknik administratif pembuatan Akta Notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta; 6. melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Oleh karena itu maka Penulis berpendapat bahwa Notaris SW, SH tidak melanggar Kode Etik dan UUJN karena membuat Akta Perikatan Jual Beli yang sesuai dengan tata cara dan prosedurnya.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB IV KENDALA YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS SERTA UPAYA-UPAYA UNTUK MENGATASINYA
A. Kendala yang Timbul dalam Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), yang sifatnya insidentil saja dengan kewenangan memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris (Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri). Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah, dan Pusat). Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu : 1. Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat); dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
2. Tim Pemeriksa, dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. 3. Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Selanjutnya kendala yang ada adalah dari masing-masing Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk yang terdiri dari 9 (sembilan) orang, melihat wilayah kerjanya di Sumatera Utara meliputi wilayah yang sangat luas dan jumlah Notaris di Sumatera Utara yang cukup banyak dalam suatu wilayah, dapat menjadi kendala di kemudian hari. Hal ini berkaitan dengan pembagian tugas pengawasan yang diemban oleh masing-masing anggota yang harus menjalankan kewajibannya dengan perbandingan Notaris yang harus diawasi. Selanjutnya kendala yang terjadi adalah tidak adanya petunjuk standar operasional pengawasan terhadap Notaris yang menjadi pedoman teknis bagi majelis pengawas dalam melakukan pengawasan. Kemudian juga anggaran dari Pemerintah sama sekali tidak ada padahal tugas Majelis Pengawas itu membutuhkan dana yang besar. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat pekerjaan pengawasan sangat bergantung pada dana yang diturunkan oleh pemerintah, karena apabila tidak terdapat dana yang cukup, maka operasional pengawasan akan terlambat dan tidak dapat terlaksana dengan baik. Honorarium
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Majelis Pengawas pun tidak ada sama sekali, juga sarana dan prasarana yang tidak tersedia dalam melakukan pengawasan. Kendala yang juga sangat penting adalah kurangnya Sosialisasi UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mengetahui tentang undang-undang tersebut yang berdampak semakin seringnya Notaris melakukan kecurangan akibat kurangnya pengawasan dari masyarakat, dimana masyarakat juga memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia. Berkaitan dengan profesionalisme Notaris dan fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat saja terjadi, seorang Notaris menolak memberikan jasanya dengan alasan bahwa calon pengguna jasa tersebut dianggap secara ekonomi tidak mampu membayar jasa Notaris tersebut, hal tersebut akan sangat sulit diketahui, karena pengawasan yang bersifat preventif dan kuratif tersebut belum menyentuh persoalan-persoalan seperti di atas, juga kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang Notaris masih minim sekali. Kendala yang juga dapat timbul adalah akibat tidak diberikannya persetujuan oleh MPD dan MPW kepada pihak kepolisian, kejaksaan dan hakim untuk memeriksa Notaris dapat mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman dari pihak kepolisian, kejaksaan dan hakim kepada MPD dan MPW. 166
166
Hasil wawancara dengan Bapak Amri Marjunin, Ketua MPD Notaris Kota Medan, pada tanggal 25 Maret 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
B. Upaya-Upaya yang Dilakukan Pada dasarnya, segala bentuk pengawasan dan lembaga pengawasan terhadap profesi Notaris muncul karena adanya kebutuhan akan penegakan etika profesi itu sendiri, dimana etika profesi tersebut berisi tentang nilai-nilai baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan mengenai kepatutan berkaitan dengan pelaksanaan profesi Notaris. Pelaksanaan profesi Notaris dipandang sebagai sikap hidup, yang berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itu di dalam melaksanakan profesinya terdapat kaidah-kaidah pokok berupa kode etik profesi. Di samping itu pengawasan dilaksanakan karena adanya kebutuhan untuk menjaga kepercayaan dari masyarakat terhadap profesi notaris sebagai pengguna jasa. Untuk mencapai sebuah praktek pengawasan yang ideal, pada prinsipnya pengawasan sangat bergantung kepada bagaimana pengawasan itu dijalankan. Dengan kata lain, pelaksanaan pengawasan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai melalui pengawasan tersebut. Oleh karena itu, langkahlangkah yang diambil dalam melakukan pengawasan haruslah dipikirkan secara cermat dan teliti agar tepat sasaran. 167
167
Hasil wawancara dengan Bapak Rosman Siregar, Ketua MPW Notaris Sumatera Utara, pada tanggal 25 Maret 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rosman Siregar selaku ketua Majelis Pengawas Notaris Wilayah Sumatera Utara dan Bapak Amri Marjunin selaku Ketua Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Medan, pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas saat ini khususnya Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Medan, pengawasan yang dilakukan sangat terbatas pada apa yang diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri, dimana disebutkan bahwa pelaksanaan tersebut bersifat preventif dan kuratif, yang artinya bahwa pengawasan dijalankan dengan cara melakukan pencegahan dan pembinaan. 168 Adapun kelebihan dari pembentukan Majelis Pengawas Notaris yaitu 169 : a. Pada saat pengawasan berada di bawah Pengadilan Negeri, fungsi pengawasan tersebut bukanlah hal utama yang mendapat perhatian dari aparatur Pengadilan Negeri, hal tersebut oleh karena Pengadilan Negeri memang bukan dibentuk untuk melakukan pengawasan non-judisial tetapi lebih cenderung kepada praktek persidangan dan penyelesaian kasus di pengadilan. Dengan adanya Majelis Pengawas Notaris yang secara khusus dibentuk untuk melakukan pengawasan, maka pelaksanaan pengawasan tersebut dapat dilaksanakan lebih maksimal karena memang diperuntukkan untuk melakukan pengawasan. b. Dengan adanya Majelis Pengawas Notaris pengawasan yang dilakukan dapat lebih terarah dan sistematis, Majelis Pengawas Notaris dapat membuat programprogram pengawasan secara sungguh-sungguh dan terus menerus sehingga 168
Hasil wawancara dengan Bapak Amri Marjunin, Ketua MPD Notaris Kota Medan, pada tanggal 25 Maret 2009. 169 Ibid.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
memperoleh hasil yang optimal. Dengan adanya Majelis Pengawas Notaris, maka tujuan pengawasan akan lebih mudah direalisir. Berdasarkan Peraturan Menteri pada Pasal 1 angka 5 pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Untuk melaksanakan kegiatan pengawasan tersebut Majelis Pengawas Daerah diberikan kewenangan seperti dinyatakan pada ketentuan Pasal 70 UUJN jo Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Menteri, yang pelaksanaan tugasnya diatur pada Keputusan Menteri. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, penulis mencoba untuk mengidentifikasi kewenangankewenangan pengawasan yang bersifat preventif yang antara lain adalah : hal-hal yang diatur Pasal 70 huruf b, c, d, e, f dan h UUJN, Pasal 13 ayat 2 huruf a, b, c, e dan f, dimana kewenangan-kewenangan tersebut bersifat administratif yang lebih mengatur tentang cara prosedural dan protokol kenotariatan serta kewenangankewenangan pengawasan yang bersifat kuratif yang antara lain adalah : hal-hal yang diatur Pasal 70 huruf a dan huruf g UUJN, Pasal 13 ayat 2 huruf d yang mengatur tentang pengambilan tindakan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJN dan Kode Etik Natoris. Langkah-langkah pencegahan dan pembinaan yang dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris Wilayah Sumatera Utara idealnya harus dapat meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan Notaris. Pencegahan dan pembinaan yang dilakukan harus didasari oleh kesadaran dan pemahaman yang tinggi atas nilai-nilai
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
moral dan etika, untuk itu perlu diawali dengan menyamakan pandangan terlebih dahulu antara pihak-pihak terkait sehingga dapat mencapai suatu visi dan misi yang sama baik dalam pola pikir dan dalam tingkat pelaksanaannya, dengan demikian diharapkan tindakan pencegahan dan pembinaan yang kemudian akan dijalankan dapat mencapai tujuannya. Pada pelaksanaannya pengawasan yang bersifat preventif dan kuratif tersebut masih belum jelas pelaksanaannya akan seperti apa, meskipun dijelaskan bahwa salah satu cara adalah dengan melakukan kunjungan ke tiap-tiap Kantor Notaris di wilayah Sumatera Utara untuk melakukan pemeriksaan Protokol Notaris secara berkala, yaitu 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu tetapi pengawasan terhadap tugas jabatan Notaris tetap dilakukan setiap saat yakni dengan melakukan pengarahan kepada Notaris yang mendaftar Fidusia di Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumut. 170 Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan adanya Majelis Pengawas yaitu meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerja Notaris, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas, maka dapat dikatakan pengawasan yang bersifat preventif dan kuratif masih belum dapat menjangkau atau belum maksimal untuk mencapai tujuan tersebut di atas mengingat profesi Notaris sangat tertutup oleh karena kerahasiaan jabatan harus tetap dijaga. Misalnya terjadi praktek kenotariatan
170
Hasil wawancara dengan Ibu Juraini Sulaiman, Sekretaris MPW Notaris Sumatera Utara, pada tanggal 15 April 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
yang tidak jujur dalam hal wilayah kerja, apabila ada Notaris yang bekerja di luar wilayah kerjanya, sejauh mana Majelis Pengawas Daerah dapat mengetahui dan membuktikan hal tersebut dan sejauh mana majelis pengawas berani mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Kemudian upaya yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Pusat dalam menyikapi kendala akibat tidak adanya standar prosedur operasional pengawasan Notaris adalah dengan mengirimkan formulir-formulir seperti : formulir cuti dan formulir pemeriksaan 1 (satu) kali dalam setahun, namun hal tersebut sifatnya hanya kebijakan dari Majelis Pengawas Pusat saja yang tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang ada. 171
171
Hasil wawancara dengan Bapak Amri Marjunin, Ketua MPD Notaris Kota Medan, pada tanggal 25 Maret 2009.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, Majelis Pengawas Notaris berkedudukan sebagai pihak yang melakukan pengawasan tidak hanya ditujukan dalam pentaatan terhadap kode etik tetapi juga bertujuan yang lebih luas yaitu agar Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan demi perlindungan atas kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Majelis Pengawas Notaris berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Majelis Pengawas Notaris mempunyai kewenangan melakukan pengawasan secara administratif yaitu mengawasi Notaris agar membuat akta sesuai dengan ketentuan UUJN bukan mengawasi pembuatan materi dan isi akta. 2. Akibat Hukum terhadap putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris adalah dengan pemberian sanksi. Sanksi terhadap Notaris dalam UUJN diatur pada Pasal 84 dan 85. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada Notaris adalah : a) Sanksi Perdata; b) Sanksi Pidana; c) Sanksi Kode Etik dan d) Sanksi Administratif. Sanksi yang ditujukan terhadap notaris juga merupakan sebagai penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN, dan untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN, di samping dengan pemberian sanksi terhadap Notaris untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat. 3. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris (MPD, MPW dan MPP) adalah wilayah kerja yang sangat luas di Sumatera Utara dan jumlah Notaris yang cukup banyak di Sumatera Utara sehingga mempersulit pembagian tugas pengawasan yang diemban oleh masingmasing anggota, anggaran dari Pemerintah tidak ada sama sekali padahal tugas Majelis Pengawas membutuhkan dana yang besar dari pemerintah, kurangnya Sosialisasi UUJN kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mengetahui undang-undang tersebut yang berdampak semakin seringnya Notaris melakukan kecurangan, serta apabila MPD dan MPW tidak memberikan persetujuan kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim untuk memeriksa Notaris dapat mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman dari pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim kepada MPD dan MPW. Sedangkan upaya-upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan kunjungan ke tiap-tiap Kantor Notaris di wilayah Sumatera Utara untuk melakukan pemeriksaan Protokol Notaris secara berkala, yaitu 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu tetapi pengawasan terhadap tugas jabatan Notaris tetap dilakukan setiap saat yakni
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
B. Saran 1. Agar pengawasan yang dilakukan oleh MPD/MPW/MPP terhadap Notaris lebih independen maka sebaiknya anggota MPD/MPW/MPP yang berasal dari Organisasi Notaris diganti dari unsur masyarakat umum yang mengerti tentang seluk beluk Notaris. 2. Perlu adanya standar prosedur operasional pengawasan Notaris secara nasional yang diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksana (Juknis/Juklak) tentang prosedur operasional pengawasan Notaris dan perlunya ditingkatkan koordinasi antara MPD dan MPW dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim untuk menghindari kesalahpahaman yang terjadi apabila MPD atau MPW tidak memberikan persetujuan untuk memeriksa Notaris. 3. Hendaknya pemerintah memberikan anggaran bagi Majelis Pengawas Notaris (MPD, MPW dan MPP) yang dipergunakan untuk keperluan sarana dan prasarana kantor serta honor bagi anggota, sehingga kinerja dari Majelis Pengawas Notaris (MPD, MPW dan MPP) dapat lebih ditingkatkan serta mengadakan Sosialisasi Hukum tentang UUJN kepada masyarakat luas.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Andasasmita, Komar, Notaris I, Bandung : Sumur, 1981. Belifante, A.D. dan H. Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta : Binacipta, 1983. Boediarto, M. Ali, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Jakarta : Swa Justitia, 2005. Fuller, Lon L., The Morality of Law, New Havan : Yale University Press, 1975. Hadjon, Philipus M. “Penegakkan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20 Ayat (3) dan (4) UU No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup“, Surabaya : Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1996. Hadjon, Phlipus M., Pemerintahan Menurut Hukum, Surabaya : Yuridika, 1992. Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta : Paradigma, 2005. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. Lumban Tobing, G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, Jakarta : Penerbit Erlangga, 1992. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Prenada Media Group, 2008. Marbun, S.F dan Moh. Mahfud, MD., Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, 2000. Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1997. Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung : Alumni, 2000. Nawawi, Hadari, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta : Erlangga, 1995. Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta : CDSBL, 2003. Notodisoerjo, R. Sugondo, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008. Setiawan, Wawan, Notaris Profesional dan Ideal, Jakarta : Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001. Soekanto, Soerjono, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1998. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Pres, 1986. Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. Soejendro, Kartini Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta : Penerbit Kanisisus, 2001. Suhardana, FX., Hukum Perdata I (Buku Panduan Mahasiswa), Jakarta : PT. Prenhallindo, 2001. Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1987.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Sujamto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983. Supranowo, Himpunan Karya Tulis Bidang Hak Tanggungan Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Jakarta : Badan Pertanahan Nasional, 1990. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 2002. Wijk, Van dan Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratiefrecht, Utrecht : Uitgeverij Lemma B.V, 1990. Wuisman, J.J.J M. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting: M. Hisyam), Jakarta : FE UI, 1996.
B. Makalah, Jurnal, Tulisan Ilmiah, dan Artikel Budiono, Herlien dan Albertus Sutjipto Budihardjo Putra, “Beberapa Catatan Mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”, Makalah Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung 27-28 Januari 2005. Hadjon, Philipus M, ”Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid)", Pro Justitia,, Bandung, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Tahun XVI, Nomor 1, Januari 1998. Hasanuddin, Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI, pada acara pembukaan Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan. Pra Kongres ini mengusung topik “Melalui Implementasi Undang-undang Tentang Jabatan Notaris Pada Era Reformasi, Kita Tingkatkan Pelayanan Kepada Masyarakat”. Karmila, Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Notaris Koperasi Menurut Kepmen No.98/KEP/M.KUKM/IX/2004 (Studi di Dinas Koperasi Kota Medan), Tesis Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006. Marzuki, H.M. Laica, “Penggunaan Upaya Administratif dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, Hukum dan Pembangunan, No. 2, Tahun XXII, April 1992. Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003. Simorangkir, Viktor M. dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. Sri Djatmiati, Tatiek, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004. Wiryomartani, Winanto, Tugas dan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris, Makalah, disampaikan pada acara Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar, Sulawesi Selatan.
C. Internet http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/08/Politikhukum/1486237.htm. http://hukumpedia.com/index.php?title=Akta_Notaris. http ://www.potalhr.com/kolom/2id76.html. http://Notarissby.blogspot.com/2008/04/majelis-pengawas-Notaris.html.
D. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, LNRI Tahun 2004 Nomor 117, TLNRI Nomor 4432. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah, LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, LNRI Tahun 2003 Nomor 49, TLNRI Nomor 4288. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Serta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, LNRI Tahun 1996 Nomor 42, TLNRI Nomor 3632. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LNRI Tahun 1986 Nomor 77.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, LNRI Tahun 1985 Nomor 68, TLNRI Nomor 3312. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, LNRI Tahun 1985 Nomor 75, TLNRI Nomor 3318. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, LNRI Tahun 1998 Nomor 52. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftran Tanah, LNRI Tahun 1961 Nomor 28, TLNRI Nomor 2171. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 mengenai Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) No. Pol. B/1056/V/2006, Nomor : 01/MoU/PPINI/V/2006, tanggal 5 Mei 2006. Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (IPPAT) No. Pol. B/1055/V/2006, Nomor : 01/PP-IPPAT/V/2006, tanggal 5 Mei 2006. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 775 K/Sip/1971, tanggal 6 Oktober 1971. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10 Pebruari 1971.
Desni Prianty Eff.Manik : Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, 2009