50
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN HAK INGKAR NOTARIS
2.1.
Tinjauan Umum tentang Notaris
2.1.1. Notaris Sebagai Pejabat Umum dan Bukan Pegawai Negeri Notaris adalah Pejabat Umum dan Bukan Pegawai Negeri.Istilah Notaris berasal darikata Latin, yaitu “Notarius”, yang artinya adalah orang yang membuat catatan.49 Ada jugaorang yang mengatakan bahwa istilah “Notarius” itu berasal dari kata “Nota Literaria”,yang artinya adalah tanda (letter mark atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.50 Setelah lebih dari seabad berlakunya Peraturan Jabatan Notaris (PJN), yang mulaidiberlakukan di Indonesia (pada waktu itu Negara Kesatuan Republik Indonesia masih dibawah koloni Belanda) pada tanggal 1 Juli 1860, Reglement op Het Notaris Ambt inIndonesia sebagaimana diumumkan dalam Staatsblad No.3 (sekarang dikenal dengan sebutanLembaran Negara) dan berlakunya produk hukum tersebut merupakan salinan atau kopi dariNotariswet yang berlaku di Kerajaan Belanda sebagai negara asalnya, yaitu pada tanggal 9Juli 1842 (Ned.Stb.Nomor 20). Setelah proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, danberlangsung hingga kini, terutama setelah munculnya semangat reformasi yang ditandaidengan adanya tuntutan perubahan dalam seluruh aspek
49
R. Soesanto, 1982, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris (Sementara), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.34 50 R. Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV Rajwali, Jakarta, hlm.13
50
51
kehidupan, yang salah satu persoalanpenting adalah tuntutan reformasi di bidang penegakan hukum/supremasi hukum. Agendareformasi yang berkaitan dengan penegakan hukum/ supremasi hukum ini tidak hanyaterbatas pada upaya penerapan sanksi hukum, akan tetapi juga penataan kembali berbagaiproduk undang-undang
yang
dianggap
tidak
sesuai
atau
bertentangan
dengan
semangatreformasi, agar diubah atau diganti dengan produk perundang-undangan yang sesuai dengansemangat reformasi. Salah satu produk penting dari peraturan perundang-undangan yang dikeluarkandalam era reformasi adalahUndang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notarisjo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN).Pembentukan UUJN ini disebabkan karena Peraturan Jabatan Notaris 1860 Nomor 3 tentangReglement op Het Notaris Ambt in Indonesia yang mengatur mengenai jabatan Notaris tidaksesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Setelah berlakunya UUJN, maka segala peraturan yang mengatur tentang JabatanNotaris dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang terdiri dari: 1. Reglemen op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl.1860.3) sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101; 2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
52
4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379), dan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 1949 tentang Sumpah/Janji JabatanNotaris. Lembaga Notariat merupakan lembaga yang ada dalam masyarakat dan timbul karenaadanya kebutuhan anggota masyarakat yang melakukan suatu perbuatan hukum, yangmenghendaki adanya suatu alat bukti tertulis jika ada sengketa atau permasalahan, agar dapatdijadikan bukti yang paling kuat dipengadilan.Untuk alasan itulah, anggota masyarakatmembutuhkan Notaris untuk membuat akta otentik.51 Pegawai
Negeri
menurut
Undang-Undang
tentang
Pokok-pokok
Kepegawaian adalahmereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas Negaralainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan diberi gajimenurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan Hoge Raad (H.R.) dalamArrest Tanggal 30 Januari 1911 mengatakan bahwa Pegawai Negeri adalah mereka yang diangkatoleh penguasa untuk kepentingan/kegunaan dari setiap orang atau mereka yang bekerja padabadan publik, misalnya Negara, propinsi atau kotapradja, yang mewakilan badan itu didalammenjalankan tugasnya dan menjalankan kekuasaan 51
Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris: Dalam Penegakan Hukum Pidana,Bigraf Publishing, Yogyakarta, hlm.84
53
yang ada pada badan itu.Jadi, Notaris adalah Pejabat Umum tapi bukan Pegawai Negeri; Notaris tidak digajioleh Negara; Notaris mendapatkan bayaran/honor atau hasil dari anggota masyarakat yangmembutuhkan jasanya; Notaris dijadikan Pejabat
Umum
adalah
untuk
memenuhi
ketentuanundang-undang
dan
berhubungan dengan definisi akta otentik, sebagaimana disebutkandalam Pasal 1868 KUHPer.
2.1.2. Tugas dan Kewenangan Notaris Notaris52 adalah Pejabat Umum yang diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah melalui Menteri, diberi tugas dan wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, menyimpan grosse,53 salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, menurut isi ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJN, Notaris juga berwenang mengesahkan tanda-tangan dan memastikan tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftardalam buku khusus; membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; memuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan 52
Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432), Pasal 15 53 Grosse adalah salinan akta pengakuan utang yang dibagian kepala aktanya berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan mempunyai kekuatan eksekutorial
54
digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan penyuluhan hukumsehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang. Demikian juga, bila ada perintah undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain yang menentukan mengenai kewenangan Notaris, maka Notaris juga berwenang untuk itu, misalnya ada ketentuan peraturan dari Menteri Koperasi, yang membolehkan Notaris untuk membuat akta Koperasi; atau peraturan dari Badan PengawasPasar Modal yang membolehkan Notaris yang telah mengikuti pendidikan dan dinyatakan diterima oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjadi Penunjang Pasar Modal, sehingga Notaris tersebut dapat membuat akta-akta otentik bagi perusahaan yang sudah go public seperti pembuatan Risalah Rapat atau Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham tahunan suatu Perseroan Terbatas Terbuka / Tbk. di lingkungan Pasar Modal.
2.1.3. Kewajiban Notaris Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya mempunyai kewajibanyang ditentukan dalam hukum. Pasal 16 ayat (1) UUJN mengatakan: bahwa Notaris itu harus bertindak jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak serta menjaga kepentingan pihak yangterkait dalam perbuatan hukum; membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; memberikan pelayanan sesuai denganketentuan dalam undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; merahasiakan segala sesuatu
55
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannnya pada sampul setiap buku;membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; mengirimkan daftar akta atau daftar nihil yang berkenaandengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen, yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang kenotariat-an dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulanberikutnya; mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; mempunya cap/stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan padaruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yangbersangkutan; membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikitoleh 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi danNotaris. Namun untuk menyimpan Minuta Akta sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) tersebut tidaklah berlaku, jika Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. Perlu diketahui bahwa bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana disebutkan dimuka adalah ditetapkan dengan Peraturan Menteri; Untuk pembacaan akta Notaris sebagaimana disebutkan di muka dapat dikesmpingkan atau tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta itu tidak
56
dibacakan, karena penghadap telah membacanya sendiri, mengetahi, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi danNotaris. Namun untuk akta Wasiat, maka akta tetap harus dibacakan dan ketentuan sebagaiman disebutkan di muka ini adalah tidak berlaku.
2.1.4. Akta Notaris/Akta Autentik 2.1.4.1. Pengertian Akta Autentik Menurut Veegens Oppenheim Polak, akta adalah suatu tulisan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti. Kedua arti akta di atas maksudnya tidak jauh berbeda yaitu bahwa akta adalah tulisan/surat yang sengaja dibuat sebagai alat bukti.54 Akta itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan. Menurut Supomo, akta autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin surat itu, dengan maksud untuk dijadikan sebagai surat bukti.55 Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak sendiri tanpa bantuan dari seorang pejabat. Kedua akta tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dari cara pembuatan, bentuk maupun kekuatan pembuktiannya. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata akta autentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan
54
Veegens-Oppenheim-Polak dalam Tan Thong Kie, 2007, Serba-Serbi Praktek Notariat, Alumni, Bandung, hlm. 12 55 Supomo, 2006, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 38
57
pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta autentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai umum, yang diunjuk oleh undang-undang 2. Bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang 3. Di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut. Apabila seorang Notaris membuat suatu laporan tentang rapat yang dihadiri dalam suatu rapat umum pemegang saham perseroan terbatas maka laporan itu merupakan akta autentik yang dibuat oleh Notaris.Seorang juru sita Pengadilan Negeri yang memanggil seorang tergugat atau seorang saksi, maka Berita Acara Pemanggilan itu termasuk akta autentik yang dibuat oleh juru sita.Akta ini sebenarnya laporan yang dibuat oleh pegawai umum tentang perbuatan resmi yang dilakukan.56 Apabila dua orang datang kepada Notaris atau PPAT menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa gedung dan meminta Notaris untuk membuatkan akta itu adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT.Notaris di sini hanya mendengarkan dari para pihak yang menghadap dan menerangkan dalam suatu akta. Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang dimaksud pada Pasal 1868 KUH Perdata yaitu seorang Notaris, seorang hakim, seorang juru sita pada 56
Sutarno, 2008, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hlm.
101
58
Pengadilan, seorang pegawai catatan sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya diunjuk sebagai Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan demikian suatu akta Notaris, surat keputusan hakim, berita acara yang dibuat oleh juru sita pengadilan, surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil/KUA dan akta jual beli tanah yang dibuat PPAT adalah akta-akta autentik. Akta-akta lainnya yang bukan akta autentik dinamakan akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan Pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Jadi sematamata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat antara para pihak sendiri disebut akta di bawah tangan.Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya di mana saja diperbolehkan. Yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai ketentuan Pasal 1876 KUH Perdata yang menyebutkan: barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalau tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta autentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat
59
bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan. Kalau dalam akta autentik tanda tangan tidak merupakan persoalan namun dalam suatu akta di bawah tangan pemeriksaan kebenaran tanda tangan merupakan acara pertama untuk menentukan kekuatan akta di bawah tangan sebagai bukti sempurna seperti akta autentik. Perbedaan antara akta autentik dan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:57 1. Akta Autentik a. Bentuk akta ditentukan undang-undang. Contoh Akta Jual Beli Tanah yang dibuat PPAT, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, Keputusan Hakim dan lain sebagainya b. Dibuat oleh Pejabat Umum seperti Notaris, PPAT, Pejabat Catatan Sipil, Pejabat KUA, Ketua Pengadilan, Hakim Pengadilan dan lain sebagainya c. Kekuatan pembuktian akta autentik sempurna artinya akta autentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut d. Akta autentik mempunyai kekuatan formal artinya akta autentik membuktikan kebenaran daripada yang dilihat, didengar dan dilakukan para pihak tersebut. Jadi dapat menjamin kebenaran identitas para pihak, tanda tangan para pihak, tempat akta dibuat dan para pihak menjamin keterangan yang diuraikan dalam akta 57
Ibid, hlm. 103-105
60
e. Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian materiil artinya akta autentik isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di antara para pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari akta tersebut. Dengan diajukannya akta autentik, hakim terikat dan tidak diperkenankan meminta alat bukti tambahan, kecuali ada pembuktian sebaliknya yang menyanggah isi akta tersebut f. Apabila akta autentik diajukan sebagai alat bukti di depan hakim, kemudian pihak lawan membantah akta autentik tersebut maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/ bantahannya. 2. Akta di bawah tangan a. Bentuk akta di bawah tangan bebas artinya para pihak yang membuat akta di bawah tangan tersebut bebas untuk menentukan bentuknya b. Kalau akta autentik dibuat oleh pejabat negara, notaris/PPAT maka akta di bawah tangan dibuat oleh pihak-pihak yang membuat akta tersebut. Jadi setiap orang yang cakap menurut hukum dapat membuat akta di bawah tangan c. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta autentik jika tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani d. Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan materiil jika tandatangannya itu diakui oleh yang menandatangani akta itu e. Untuk pembuktian di depan hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan dan akta tersebut dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang harus mencari
61
bukti tambahan (misalnya saksi-saksi) untuk membuktikan bahwa akta di bawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar ditandatangani oleh pihak yang membantah. Dengan kata lain, jika akta di bawah tangan disangkal kebenarannya maka yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai alat bukti harus mencari tambahan bukti untuk membenarkan akta di bawah tangan. Tambahan bukti misalnya saksi-saksi yang dianggap mengetahui tentang pembuatan akta di bawah tangan dan tanda tangan tersebut benar ditandatangani oleh pihak yang membantah. 3. Legalisasi dan Waarmerking Supaya akta di bawah tangan tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian formil, materiil dan pembuktian di depan hakim maka akta yang dibuat di bawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi. Secara harfiah legalisasi artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar dengan jalan memberi pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas akta di bawah tangan meliputi tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi akta.Dengan adanya legalisasi maka para pihak yang membuat perjanjian di bawah tangan tersebut tidak dapat mengingkari lagi keabsahan tanda tangan, tempat dan tanggal dibuatnya akta karena isi akta di
bawah
tangan
dibacakan dan
diterangkan
sebelum para
pihak
membubuhkan tanda tangan. Berdasarkan ordonansi staatsblad 1916 No. 43 dan 46 pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan legalisasi yaitu Notaris, Ketua
62
Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan Walikota.Dengan adanya legalisasi oleh Notaris atas akta di bawah tangan seperti tersebut di atas maka kekuatan hukum akta-akta di bawah tangan yang dilegalisasi secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta di bawah tangan menjadi akta autentik.Akta di bawah tangan tetap bukan alat bukti sempurna.Tetapi sebagai alat bukti akta di bawah tangan yang dilegalisasi berkekuatan hukum seperti akta autentik. Meskipun akta di bawah tangan yang dilegalisasi tidak mengubah status akta di bawah tangan menjadi akta autentik, namun dengan adanya legalisasi para pihak yang menandatangani akta di bawah tangan tidak dapat lagi menyangkal atau mengingkari keabsahan tanda tangan dan isi akta itu karena Notaris telah menyaksikan dan membacakan isi akta sebelum para pihak menandatangani akta tersebut. Berarti akta-akta di bawah tangan yang dilegalisasi mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta autentik baik pembuktian materiil, formil dan pembuktian di depan hakim. Selain legalisasi terhadap akta di bawah tangan ada yang disebut waarmerking. Secara harfiah waarmerking dapat diartikan pengesahan ialah pengesahan atas akta di bawah tangan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang atau peraturan lain. Secara yuridis sebenarnya dalam waarmerking Notaris hanya sekedar mencatat perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak di dalam daftar yang disediakan untuk itu sesuai urutan yang ada.Jadi waarmerking itu tidak menyatakan kebenaran atas tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan kebenaran isi akta seperti halnya dalam legalisasi.
63
Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3 disebutkan notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Menurut ketentuan di atas maka notaris berwenang untuk membuat akta autentik apapun, kecuali peraturan umum sudah menunjuk pejabat atau orang lain untuk itu. Akta-akta yang dapat dibuat oleh seorang notaris, antara lain : Akta Jual Beli, Akta Sewa Menyewa, Akta Wasiat, Akta Adopsi, Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dan sebagainya. Sedangkan akta yang tidak boleh dibuat oleh seorang notaris misalnya adalah Akta Catatan Sipil (Akta Perkawinan) yang hanya wenang dibuat oleh Pegawai Pencatatan Sipil, Akta Jual Beli Tanah yang hanya wenang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan notaris juga tidak berwenang untuk membuat akta di bidang Hukum Publik. Notariat adalah lembaga yang sudah lama hidup dan berkembang di Indonesia, yang bagi kita perkataan “Notariat (Notaris)” sudah sering kita dengar atau kita baca. Menurut De Groot, Notaris adalah: “seorang ahli tulis yang pandai membuat
suatu
tulisan
berdasarkan
undang-undang,
kalau
timbul
ketidakmampuan terhadap undang-undang ia bertanggung jawab terhadap semua kerugian, yang dengan itu dapat diderita oleh seseorang”.58
58
Muhammad Adam, 2006, Asal-Usul dan Sejarah Akta Notarial, Sinar Baru, Bandung,
hlm. 17
64
Tugas utama seorang Notaris adalah untuk dan atas permintaan orangorang yang berkepentingan, membuat tulisan-tulisan dengan fungsi memiliki bukti-bukti yang bersifat hukum. Menurut Asser-Anema, tulisan (geschrift), adalah pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk menggambarkan suatu pikiran.59 Tulisan-tulisan yang dibuat oleh seorang Notaris di dalam menjalankan jabatannya adalah merupakan suatu akta. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.60 Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitatis causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta.Berdasarkan hal tersebut, maka akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah: Pasal 1610 KUH Perdata tentang perjanjian pemborongan, Pasal 1767 KUH Perdata tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan Pasal 1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta autentik antara lain ialah: Pasal 1171 KUH Perdata tentang pemberian hipotik, Pasal 1682 KUH Perdata tentang Schenking dan Pasal 1945 KUH Perdata tentang melakukan sumpah oleh orang lain. 59
Asser-Anema dalam Tan Thong Kie, 2007, Serba-Serbi Praktek Notariat, Alumni, Bandung, hlm. 9 60 Sudikno Mertokusumo, 2008, Hukum Acara Perdata, Edisi Ketiga, Cet. Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 116
65
Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa).Dari definisi yang telah diketengahkan di muka telah jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari.Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. Sebagai akta autentik, maka akta notaris merupakan bukti wajib sempurna yang diterangkan oleh notaris dan pihak-pihak kecuali kemungkinan pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya, seperti disebutkan dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1868 KUH Perdata, 286 Rbg) yang menentukan sebagai berikut: Akta autentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Sedangkan terhadap pihak ketiga, maka akta autentik ini mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu penilaiannya diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkannya. Dan sebagai alat bukti, maka akta autentik ini mempunyai kekuatan pembuktian sebagai berikut:61 1. Kekuatan pembuktian formal; Yaitu membuktikan bahwa para pihak betul-betul sudah menerangkan menyatakan apa yang tertulis dalam akta.
61
Komar Andasasmita, 2010, Notaris dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 35
66
2. Kekuatan pembuktian materiil; Yaitu membuktikan bahwa para pihak betul-betul menyatakan peristiwa atau kejadian yang disebutkan dalam akta itu telah terjadi. 3. Kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga; Yaitu bahwa para pihak pada tanggal tersebut dalam akta telah menghadap notaris dan melakukan tindakan sebagaimana disebut dalam akta. Dari ketiga kekuatan pembuktian akta autentik inilah, maka jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan (vertrouwen ambts), sebab berdasarkan atas keadaan lahir, kebenaran isi dan kebenaran dari keterangan pejabat yang berwenang itulah, maka akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang dianggap sempurna. Dan agar suatu akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris dapat memenuhi ketiga kekuatan pembuktian di atas sehingga dapat menjadi alat bukti yang dianggap sempurna kekuatan pembuktiannya, maka harus terpenuhi syaratsyarat tertentu yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut misalnya yang tercantum di dalam Peraturan Jabatan Notaris adalah pada Pasal-pasal: 22, 24, 25 dan 28 PJN. Bila semua syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dan benar-benar dilaksanakan oleh notaris, maka akta yang dibuat adalah akta autentik.Apabila sesuatu yang ditulis dalam akta tetapi tidak dilakukan, misalnya pembacaan akta atau orang yang dikatakan menghadap tidak hadir, maka notaris berbohong dan demi hukum telah membuat akta palsu (valse akte) dengan hukuman sebagaimana tertulis dalam Undang-undang.62
62
Tan Thong Kie, Op. Cit, hlm. 33
67
Menurut Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg, baca juga Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) maka akta autentik bagi para pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya, merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta. Kalau yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok akta, menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Selanjutnya menurut Pasal 1872 KUH Perdata apabila akta autentik yang bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan. Ada dua ketentuan mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan apabila terdapat pelanggaran dalam pembuatan akta, yaitu: 1. Terhadap Notaris yang bersangkutan, a. Sanksi Pidana (Pasal 263, 264 dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) b. Sanksi Perdata, yang dapat berupa denda, membayar kerugian dan bunga, pemberhentian untuk sementara/diskors, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat (Pasal 84 dan Pasal 85 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) 2. Terhadap akta notaris itu sendiri a. Pengesampingan akta sebagai bukti, yaitu bahwa akta tersebut tidak mengikat bagi hakim dan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan b. Pembatalan akta berdasarkan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum yang tetap.
68
Dengan adanya pengesampingan akta autentik sebagai alat bukti dan bahkan pembatalan akta autentik, khususnya akta notaris, maka muncullah berbagai macam pendapat baik dikalangan teoritisi maupun praktisi hukum. Sudikno Mertokusumo, Guru Besar Fakultas Hukum UGM menyatakan bahwa pada prinsipnya pengadilan dapat saja membatalkan akta notaris. Pendapat ini didukung oleh Yeremias Lemek (Pengacara Yogyakarta). Mudofir Hadi, seorang notaris senior, juga mengemukakan pendapat yang sama. Beliau mengatakan, bahwa hakim dapat membatalkan akta notaris, baik isi akta maupun sekaligus batalnya akta, atau isi akta batal tetapi aktanya tidak.63 Notaris lainnya, A. Soemitro Suryonegoro juga tidak keberatan akta yang dibuat dihadapannya dibatalkan, dengan alasan bahwa notaris dalam membuat akta bentuk tersebut hanya berdasarkan atas apa yang dilihat, didengar, dan sejauh yang dimintakan untuk ditulis dalam akta. Jika memang akta itu mengandung cacat hukum atau tidak memenuhi salah satu ketentuan syarat sah perjanjian, dapat saja dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.
2.1.4.2. Akta Notaris sebagai Akta Autentik Pitlo mengartikan akta sebagai “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.64 Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
63
Harian Bernas, September 2011: bagian keenam Pitlo, 2006, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta, hlm. 52
64
69
pembuatan”.65 Selanjutnya menurut pendapat Fokema Andrea dalam bukunya Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, akte diberikan pengertian sebagai berikut:66 1. Dalam arti terluas, akta adalah perbuatan, perbuatan hukum (Recht handelling); 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum; tulisan ditujukan kepada pembuktian sesuatu; dapat dibedakan antara: surat autentik (autentieke) dan di bawah tangan (onderhandse), surat lain biasa dan sebagainya. Dengan demikian, pengertian akta tidak semata-mata sebagai surat yang diperbuat sebagai alat bukti, namun ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Menurut Pasal 108 KUHPerdata terkait dengan keberadaan akta menyebutkan “Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan ijin tertulis dari suaminya.” R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan.67.
65
Sudikno Mertokusumo, 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 106 66 N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, A. Teloeki dan Boerhanoeddin St. Batoeah, 2006, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, hlm. 25 67 R. Subekti, 2006, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 29
70
Suatu akta notaris selain merupakan sumber untuk otentisitas, akta notaris juga merupakan dasar dari legalitas eksistensi akta notaris bersangkutan, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Apabila akta notaris hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris sebagai pejabat umum, maka akta itu dinamakan akta verbal atau akta pejabat (ambtelijke akten). Salah satu contoh akta pejabat adalah akta berita acara yang dianut oleh notaris dari suatu rapat pemegang saham dari suatu perseroan terbatas. Apabila suatu akta selain memuat catatan tentang apa yang disaksikan atau dialami oleh notaris juga memuat tentang apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menghadap pada notaris, maka akta itu dinamakan “akta partij”. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. Mengenai bentuk yang telah ditentukan oleh UUJN adalah akta tersebut terdiri dari kepala akta, badan akta, akhir akta. Bagian-bagian akta yang terdiri dari kepala akta dan akhir akta adalah bagian yang mengandung unsur autentik, artinya apa yang tercantum dalam kepala akta dan akhir akta tersebut akan menentukan apakah akta itu dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau tidak. 3. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta memperoleh otentisitas adalah wewenang notaris yang bersangkutan untuk membuat akta tersebut.
71
Oleh karena itu, otensitas dari suatu akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) UUJN. Sebagai akta autentik, akta notaris merupakan akta notariil yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, sehingga akta yang di buat oleh Notaris mempunyai sifat autentik. Mengenai jenis aktanotaris berdasarkan pihak yang membuatnya dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis. Kedua jenis akta notaris yang dimaksudkan, yaitu: 1. Akta para pihak (partij akte) Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta; Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu.Ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah: a. Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan; b. Berisi keterangan pihak pihak. 2. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang, sehingga akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat
yang
membuatnya.Akta
ini
dianggap
mempunyai
kekuatan
72
pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi Ambtelijke Akte atau Relaas Akte merupakan: a. Inisiatif ada pada pejabat; b. Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta. Dengan demikian, mengenai otensitasnya suatu akta notaris pada dasarnya karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Sebaliknya, menurut Habib Adjie bahwa kewenangan yang dimiliki oleh seorang notaris membuat akta secara umum dapat dipandang sah sepanjang dalam kriteria, antara lain:68 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh UndangUndang; 2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan; 3. Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan; 4. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris; 5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Autentik atau tidaknya suatu akta juga tidak cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapkan pegawai umum, tetapi juga cara pembuatannya harus menurut ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang dan tanpa adanya kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak dianggap sebagai akta autentik tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah 68
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hlm. 56
73
tangan.Dengan demikian, suatu akta autentik pada dasarnya mengandung 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:69 1. Kekuatan pembuktian formil, yang berarti membuktikan antara para pihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 2. Kekuatan pembuktian materiil, yang berarti membuktikan antara para pihak, bahwa benar peristiwa yang tersebut dalam akta tersebut telah terjadi. 3. Kekuatan pembuktian keluar, yang berarti disamping sebagai pembuktian antara mereka juga terdapat pihak ketiga di mana pada tanggal, bulan, dan tahun yang tersebut dalam tersebut telah menghadap kepada pegawai menerangkan apa yang terdapat dalam akta tersebut.
2.1.4.3. Keabsahan Akta Notaris sebagai Akta Autentik Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN,70 hal ini sesuai dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta autentik yaitu:71 1. di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang(bentuknya baku) 2. dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum. Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta autentik, yaitu:72 1. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuat.
69
Subekti, 2006, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, hlm. 68 Pasal 1 angka 7 UUJN. 71 Philipus M. Hadjon, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari 2011,hlm 3. 72 Irawan Soerodjo, 2012, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, hlm.148. 70
74
Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan), seorang Pejabat Umum.Pasal 38 UU perubahan atas UUJN yang mengatur mengenai sifat dan bentuk akta tidak menentukan mengenai sifat akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UU Perubahan atas UUJN menentukan bahwa akta notaris adalah akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UU perubahan atas UUJN disebutan bahwa Notaris wajib membuat naskah akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Setelah lahirnya UU perubahan atas UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UU perubahan atas UUJN. 3. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Pasal 15 UU perubahan atas UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut.
2.1.5. Majelis Pengawas Mengingat peranan dan wewenang Notaris sangat penting bagi kehidupan masyarakat, selain kesadaran dari Notaris sendiri untuk menjalankan jabatan
75
dengan baik, diperlukan juga adanya pengawasan terhadap perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatannya, baik untuk tujuan preventif atau represif. Maksud dari adanya pengawasan terhadap Notaris itu adalah agar Notaris dalam menjalankan jabatannya selalu berpedoman pada Undang-Undang yang berlaku, agar tidak menyalahgunakan kekuasan yang diberikan oleh undang-undang kepada Notaris, membuat suatu akta otentik yang isinya dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Adapun fungsi pengawasan yang diperlukan Notaris sebagai Pejabat Umum adalah sebagai berikut: 1. Fungsi Preventif. Dilakukan oleh Negara sebagai pemberi kekuasaan dan wewenang yang dilimpahkan pada instansi pemerintah. 2. Fungsi Represif. Dilakukan oleh organisasi profesi Notaris yang mengacu pada Peraturan Jabatan Notaris dan peraturan lainnya serta kode etik Notaris. Notaris, yang menjalankan profesi, wajib tunduk pada suatu peraturan yang bersifat internal yang berlaku dalam suatu organisasi profesi tertentu. Selain itu, Kode EtikNotaris/Profesi juga berperan penting, karena beberapa alasan sebagaiman disebutkan dibawah ini:73 1. Kode Etik profesi dapat menjadi sarana kontrol sosial. Kode Etik profesi memberikan semacamm kriteria bagi anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip 73
Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.56
76
profesional yang telah ditetapkan. Kompleksitas dan spesialisasi masyarakat telah mempersulit untuk menentukan apakah seorang anggota kelompok melaksanakan kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya. 2. Kode Etik profesi mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan olehpemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen pelaksanaannya. Konflik antara pengaturan oleh hukum dengan keingingan para anggota profesi dapat terjadi sewaktu-waktu. Dalam kasus semacam ini ada yang berpendapat bahwa hukum cenderung menjadi negatif, sementara etika menyerahkan penyandang profesi pada cita-cita yang telah digariskan bersama. 3. Kode Etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebihtinggi. Kode Etik ini dasarnya adalah sesuatu perilaku yang sudah dianggap benar dan berdasrkan metode prosedur yang benar pula. Jadi, Kode Etik dimaksudkan untuk mencegah kesalahpahaman dan konflik, baik secara internal diantara anggota kelompok maupun secara eksternal dengan yang bukan anggota kelompok. Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap Notaris, maka Robert D. Khorn berpendapat mengenai pentingnya Kode Etik profesi untuk melindungi anggotakelompoknya. Robert D. Khorn menyatakan: bahwa ada 5 (lima) tahap perkembangan yang memberikan gambaran tentang kecenderungan profesi, yaitu:74
74
Robert D. Khorn, 1992, The Significance of The Professional Ideal, The Annals, Philadelphia, hlm.101
77
1. Tahap pertama: Kode Etik organisasi dimaksudkan untuk melindungi anggotaanggotanya dalam rangka menghadapai persaingan yang tidak jujur dan untuk mengembangkan profesi yang sesuai dengan cita-cita masyarakat; 2. Tahap ke-dua: hubungan antara anggota adalah sesuatu yang dianggap penting, santun dan harus dijaga dengan baik di antara anggota yang satu dengan yang lainnya dalam profesi yang sama; 3. Tahap ke-tiga: dengan Kode Etik organisasi, maka semua anggota berada dalam ikatan yang kuat. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi campur tangan pihak luar atau untuk melindungi Notaris terhadap pemberlakuan hukum yang dirasakan tidak adil; 4. Tahap ke-empat: agar praktik pengembangan profesi sesuai dengan cita-cita para anggota harus memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai; 5. Tahap ke-lima: adalah tahap orang orang yang memandang penting adanya hubungan antara sebuah profesi dengan pelayanan yang memang dibutuhkan olehmasyarakat umum. Sebelum berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), pembinaan dan pengawasan Notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat di wilayah kerja Notaris tersebut. Setelah berlakunya UUJN pembinaan dan pengawasan Notaris secara yuridisdilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM). Namun dalam pelaksanaan atau pengawasan tersebut, Menteri membentuk Majelis Pengawas (MP). Untuk menindaklanjuti Pasal 81 UUJN, Menkum dan Ham telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor M.02.P.R.08.10 Tahun 2004 tentang
78
Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan MajelisPengawas Notaris sebagai landasan hukum pembentukan Majelis Pengawas Notaris. Dengan demikian, Majelis Pengawas Notaris telah memperoleh landasan hukum yang kuat sebagaimana isi dari ketentuan Pasal 81 UUJN. Majelis Pengawas terdiri dari Majelis Pengawas Pusat (MPP), yang dibentuk dan berkedudukan di ibu kota Negara dan Majelis Pengawas Wilayah (MPW), yang dibentuk dan berkedudukan di ibu kota provinsi serta Majelis Pengawas Daerah (MPD), yang dibentuk dan berkedudukan di Kabupaten Kota.Majelis Pengawas beranggotakan 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur pemerintah 3 (tiga) orang, unsur organisasi Notaris 3 (tiga) orang, dan unsur ahli atau akademisi 3 (tiga) orang. Dengan demikian, Majelis Pengawas bukan merupakan subordinasi Organisasi Notaris, melainkan lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris, suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris atau merupakan kepanjangan tangan dari Menkum dan HAM. Oleh karena itu, kekhawatiran tentang objektivitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari Organisasi Notaris justru akan menghasilkan Keputusan Majelis yang lebih komprehensif dan realistis, karena 3 (tiga) orang Notaris yang ada dalam Majelis Pengawas itu cukup memahami budaya profesi dilingkungan Notaris. Selain itu, penunujukan mereka oleh Organisasi Notaris dalam Majelis Pengawas itu juga diseleksi dengan ketat, sehingga hanya Notaris yang telah teruji integritas pribadi dan kemampuannya serta memiliki sikap
79
independen dan dedikasi pada organisasi yang tinggi, baru memenuhi persyaratan diangkat/ditunjuk sebagai anggota Majelis Pengawas. Ketentuan Pasal 67 UUJN sampai dengan Pasal 81 UUJN mengatur mengenai Majelis Pengawas yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan jabatan Notaris, yang terdiridari: 1. Majelis Pengawas Pusat (MPP) MPP dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, yang berwenang memanggil Notaris untuk di-sidang dan memberikan sanksi kepada Notaris yang melanggar pada tingkat banding. Selanjutnya MPP wajib menyampaikan laporan kepada Menteri terkait dengankeputusan yang dibuat dan diteruskan kepada MPW dan MPD serta organisasi Notaris; 2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Tugas dan wewenang MPW terbatas pada tingkat wilayah atau ibukota propinsi.Adapun tugas utama MPW adalah memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat. Keputusan teguran dari MPW bersifat final tetapi untuk skorsing dan pemecatan dapat diajukan banding. 3. Majelis Pengawas Daerah (MPD) MPD mempunyai tugas pengawasan di tingkat Kabupaten atau Kota, sebagaimana wewenang dan kewajiban MPP dan MPW.MPD berwenang pula menyelenggarakan sidangdan pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melanggar Kode Etik Notaris dengan kewajiban untuk menyampaikan laporan kepada MPW. Pasal 66 UUJN mengatur pula kewenangan khusus dari MPD yang menyatakan, bahwa untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat
80
yang diletakkan pada minuta akta, atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untukhadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya, atau protokol Notarisyang berada dalam penyimpanan Notaris oleh penyidik, penuntut umum atau hakim harusmendapat persetujuan dari MPD. Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, MPD Notaris terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notarisyang bersangkutan, penyidik dan meminta pendapat Dewan Kehormatan bila diperlukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 huruf d Kode Etik Notaris. Dalam hal pengambilan fotokopi minuta akta dan dalam hal Notaris dipanggil sebagai saksi, maka sebelum persetujuan pengambilan dan atau pemeriksaan diberikan, MPD harus terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris. Peraturan selanjutnya mengenai proses penyidikan Notaris, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi dibuat antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan INI dan IPPAT, yakni Nota Kesepahaman Nomor 01/MOU/PPINI/V/2006 tentang Pembinaan danPeningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum (selanjutnya akan disebut denganNota Kesepahaman). Nota Kesepahaman pada dasarnya mengatur mekanisme atau prosedurpemanggilan Notaris oleh pihak Kepolisian untuk memberikan keterangan sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan. Dalam lampiran Nota Kesepahaman diatur: bahwa pemanggilan Notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik dan pemanggilan
81
Notaris tersebutharus sudah memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas. Surat pemanggilan tersebutjuga harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status pemanggilan sebagai saksi atautersangka, waktu dan tempat serta pelaksanaannya. Petunjuk
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986 mengatur antara lain: 1. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuat-nya dan/atau selaku pemegang protokol; 2. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaan tidak perlu dilakukan penyumpahan, kecuali ada cukup kuat alasan, bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHAP; 3. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh penyidik dan/atau tentang sangkaan apa yang dituduhkan padanya; 4. Sedapat mungkin permeriksaan dilakukan oleh penyidik, kecuali terdapat alsan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti, maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh penyidik pembantu; 5. Pemeriksaan dilakukan di tempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau di tempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris sesuai dengan alasan yang sah menurut Undang-Undang. 6. Notaris yang dipanggil sebagai saksi wajib hadir dan memberikan keterangan secara benar, mengingat sumpah jabatan dan UUJN. Notaris dapat meminta
82
untuk dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan berdasarkan Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hak untuk menolak memberikan keterangan kepada pihak, karena Notaris tersebut diwajibkan untuk menyimpan rahasia jabatan; 7. Hak Ingkar Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan umum yang berkaitan dengan isi akta; 8. Notaris yang diduga melakukan tindak pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan Surat Penugasan; 9. Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa tekanan dan paksaan dari penyidik atua petugas. Apabila Notaris diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (selanjutnya akan disebut dengan SP3) secepatnyasetelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakan selesai. Minuta akta yang disimpan oleh Notaris adalah arsip Negara.Oleh karena itu,Minuta akta itu ditafsirkan atau mempunyai berkedudukan sebagai arsip Negara, sehingga melekat sifat rahasia jabatan pada akta yang dibuat oleh Notaris tersebut.Wujudpenyitaan hendaknya tidak terbatas pada dibolehkannya penyidik menyalin dan mengfotokopi Minuta akta, dan bukan menyita atau mengambil secara fisik Minuta aktaNotaris yang bersangkutan.
83
2.2.
Tinjauan Umum tentang Hak Ingkar Notaris
2.2.1. Kewajiban Notaris Untuk Merahasiakan Akta Notaris sebagai Pejabat Umum dalam pengangkatannya didahului dengan mengucapkan Sumpah Jabatan berdasarkan agama masing-masing, untuk menjalankan tugasdan kewenangannya sebgai Notaris sesuai dengan amanah. Sumpah yang disebutkan mengandung dua tanggung jawab, yang pertama bertanggung jawab kepada Tuhan YangMaha Esa karena sumpah yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing, dan yangkedua bertanggung jawab kepada Negara dan masyarakat, karena Negara telah memberikankewenangan kepada Notaris dalam menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang Hukum Perdata yaitu, dalam pembuatan alat bukti otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan kepada masyarakat karena masyarkat mempercayakan kepada Notaris untuk mengkonstantir maksud kehendaknya ke dalam bentuk akta dan percaya bahwa Notaris dapat menyimpan atau merahasiakan segala keterangan yang diberikan di hadapan Notaris. Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan profesi dan jabatannya untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, mempunyai kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang demi tercapainya perlindungan dan kepastian hukum, hukum, antara lain: 1. Pasal 4 ayat (2) UUJN dalam alinea ke 4 memuat Sumpah Jabatan Notaris mengenai kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta: ”…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”
84
2. Pasal 16 ayat (1) UUJN mengatur kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya, antara lain: a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokal Notaris; c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN menjelaskan: bahwa yang dimaksud dengan alasan menolak memberikan pelayanan adalah alasan yang mengakibatkan Notaris mengandung kecenderungan berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris atau suami/isterinya, atau salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak atau hal lain yang dilarang oleh Undang-Undang. e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan,
kecuali
Undang-Undang
menentukan
lain.
Kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya bertujuan untuk melindungi kepentingan umum; f. Menjilid akta yang dibuatknya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
85
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut waktu pembuatan akta setiap bulan; i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen, yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; m. Menerima magang calon Notaris 3. Pasal 54 UUJN yang mengatur mengenai Grosse Akta, Salinan Akta dan KutipanAkta menyatakan: “Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta atau kutipan akta, kepada orang yang
86
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh perundang-undangan”. 4. Pasal 322 ayat (1) KUHP yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap orang yang wajib merahasiakan sesuatu tetapi dibukanya rahasia tersebut, menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancamdengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyaksembilan ribu rupiah”. Menurut Habib Adjie, kewajiban Notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukanoleh Notaris, yang jika tidak dilakukan atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akandikenakan sanksi terhadap Notaris. Sebagaimana diuraikan di atas mengenai kewajiban Notaris. Pasal 16 ayat (1) huruf eUUJN mewajibkan Notaris sebagai Pejabat Umum untuk merahasiakan isi akta, maka dalamKode Etik Notaris yang merupakan peraturan internal anggota kelompok juga mewajibkanNotaris harus bertindak jujur, tidak berpihak dan menjalankan isi Undang-Undang dansumpah jabatan Notaris. Perihal kewajiban Notaris juga diatur dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris, antara lain:75 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik; 2. Menghormati dan menjunjung harkat dan martabat jabatan Notaris; 3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan; 75
Kode Etik Notaris yang terakhir yaitu kode etik hasil kongres luar biasa INI di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005
87
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan ketentuan Undang-Undang dan isi sumpah jabatan Notaris; 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan tidak terbata pada ilmu hukum dan kenotariat-an; 6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7. Menetapkan 1 (satu) kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan jabatannya; 8. Menjalankan
jabatan
terutama
dalam
pembuatan,
pembacaan
dan
penandatanganan akta dilakukan di kantor Notaris, kecuali karena ada alasanalasanyang sah. Kode Etik tersebut di atas merupakan norma yang ditetapkan dan diterima olehseluruh anggota. Franz Magnis Suseno mengatakan: bahwa setiap pemegang profesimemiliki 2 (dua) kewajiban, yaitu keharusan untuk menjalankan profesi secara bertanggungjawab dan kewajiban untuk tidak melanggar hak-hak orang lain. Kedua kewajiban tersebutterwujud dalam contoh sikap sebagai berikut:76 1. Bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan hasilnya. Seorang profesional wajib menghasilkan sesuatu yang bermutu; 2. Bertanggung jawab terhadap dampak pekerjaan terhadap kehidupan orang lain.
76
Franz Magnis Suseno, 1998, Etika Sosial, Proyek Pengembangan Mata Kuliah APTIK, Jakarta, hlm.148
88
Pendapat tersebut selaras dengan Kode Etik Notaris yang dalam penjelasan resmiKode Etik Notaris menyatakan: bahwa seorang Notaris haru memiliki perilaku profesionaldengan unsur-unsur sebagai berikut:77 1. Harus menunjuk pada keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman yang tinggi; 2. Memiliki integritas moral yang berarti, bahwa segala pertimbangan moral harus melandasi tugas-tugas profesional. Pertimbangan moral profesional harus diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun dan agama; 3. Menunjuk pada kejujuran terhadap para pihak dan diri sendiri; 4. Dalam melakukan tugas jabatan Notaris tidak boleh bersikap materialistis dan diskriminatif; 5. Notaris wajib menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Sebagai suatu jabatan yang luhur, Notaris terikat pada sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUJN.Dalam sumpah jabatan Notaris ditetapkan, bahwa Notaris wajib merahasiakan isi akta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Notaris juga terikat pada kewajiban yang sama, yaitu merahasiakan isi akta sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN. Merupakan prinsip hukum dan etika bahwa informasi tertentu tidak boleh dibuka, karena sifat kerahasiaannya yang melekat pada informasi tersebut. Informasi rahasia tersebut biasanya timbul dalam hubungan profesional, antara lain: 77
E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 159
89
1. Rahasia yang timbul dari hubungan antara bank dengan nasabah yang dikenal dengan rahasia bank; 2. Rahasia yang timbul dari hubungan antara pejabat pemerintah dengan pemerintah sendiri yang dikenal dengan rahasia jabatan; 3. Rahasia yang timbul dari hubungan akuntan dengan klien; 4. Rahasia yang timbul dari hubungan advokat dengan klien; 5. Rahasia yang timbul dari hubungan dokter dengan pasien; 6. Rahasia yang timbul dari hubungan Notaris dengan klien; Usmar Seno Adji mengatakan bahwa kewajiban menyimpan rahasia jabatan harusmemenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Harus ada suatu kewajiban untuk menyimpan rahasia karena pekerjaan ataupun jabatannya dan harkat-martabat; 2. Hal ini mengenai pengakuan dipercayakan kepada penyimpan rahasia; 3. Apa yang disampaikan harus mempunyai sifat rahasia. Purwoto Ganda Subrata mengatakan bahwa dalam melakukan tugasnya diharapkan para Notaris selalu berpegang teguh serta menjunjung tinggi martabat profesi sebagai jabatankepercayaan dan terhormat, sebagai pejabat umum yang terpercaya maka diharapkan akta-aktanyamenjadi alat bukti yang kuat apabila menjadi sengketa hukum di pengadilan. Dalam praktik seorang Notaris sering diminta bersaksi untuk kasus-kasus sepertipemalsuan yang merupakan perbuatan hukum pidana. Dalam ilmu hukum tindakanpemalsuan tersebut dibagi atas: 1. Pemalsuan hukum materil, contohnya tanda tangan atau tulisan dalam akta Notaris dipalsukan setelah akta tersebut dibuat oleh Notaris;
90
2. Pemalsuan hukum intelektual, contohnya keterangan yang terdapat dalam aktaNotaris merupakan keterangan yang tidak benar.78 Dalam pemberian keterangan kepada penyidik, Notaris tidak dapat mengabaikan sumpah jabatan sebagai Notaris. Oleh karena itu, penting bagi Notaris dan penyidik untuk memahami isi kerahasian yang dimiliki oleh suatu jabatan
Notaris.Sehingga
Notaris
dapat
memberikan
keterangan
tanpa
mengabaikan sifat kerahasiaan jabatan Notaris terhadap akta yang dibuat oleh Notaris. Dalam praktik sifat kerahasiaan jabatan Notaris sulit dipertahankan.Hal ini karenabelum adanya aturan yang mengatur secara khusus mengenai definisi kepentingan umumyang wajib dijunjung tinggi oleh Notaris. Dalam Lampiran Pasal 3 huruf h Nota Kesepahaman diatur: bahwa demi kepentingan umum, Notariss dapat mengabaikan hak ingkar yang dimiliki oleh Notaris, tapi mengenai definisi dari kepentingan umum tidak dijelaskan secara terperinci, sehingga dalam setiap kasus, para pihak, penyidik dan Notaris masing-masing memiliki definisi tersendiri mengenai kepentingan umum. Pitlo mengatakan sorang kepercayaan tidak berhak untuk begitu saja menurut sekehendaknya mempergunakan hak ingkarnya, karena kewajiban merahasiakan inimempunyai dasar yang bersifat hukum publik yang kuat. Sungguhpun pada kenyataannya seorang individu memperoleh keuntungan
78
Alfi Afandi, 2004, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.200
91
daripadanya, akan tetapi kewajiban merahasiakan itu bukan dibebankan untuk melindungi individu itu, melainhkan dibebankan untuk kepentingan masyarakat.79
2.2.2. Hak Ingkar Notaris Undang-Undang secara umum mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadisaksi dan memberikan kesaksian dimuka pengadilan, baik dalam proses perdata maupunproses pidana.Sebelum berlakunya Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, istilah hak ingkar merupakan terjemahan dariverschonningsrecht, akan tetapi istilah tersebut telah diberi arti lain berdasarkan Pasal 28 UUNo.14 Tahun 1970 yang menyatakan sebagai berikut: “Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadiliperkaranya.Hak Ingkar ialah seperangkat hak terhadap yang diadili untukmengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang Hakim yang akanmengadili perkaranya”. Jadi, hak ingkar tidak lagi dihubungkan dengan hak dari seorang saksi, tetapimerupakan hak dari yang diadili dan ditujukan kepada Hakim yang akan mengadilinya.80 Istilah hak ingkar ini merupakan terjemahan dari verschonningsrecht, yang artinyaadalah hak untuk dibebaskan dari memberikan keterangan sebagai saksi dalam suatu perkaraperdata maupun pidana.Hak ini merupakan pengecualian dari prinsip umum bahwa setiaporang yang dipanggil sebagai saksi wajib memberikan kesaksian itu.Pasal 1909 ayat (3) KUHPer menyatakan:
79
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga, Jakarta, hlm.124 G.H.S.Lumban Tobing, 1992, Hak Ingkar (Verschoningsrecht) Dari Notaris Dan Hubungannya Dengan KUHAP, Media Notariat, Edisi Januari-Oktober 1992, hlm.114 80
92
“Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian dimuka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikankesaksian: (3) Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurutUU, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah
semata-mata
mengenai
hal-halyang
pengetahuannya
dipercayakan kepadanya sebagai demikian.” Pasal 170 KUHAP memberikan kesempatan kepada Notaris untuk minta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya. Adapun penilaian apakah alasan tersebut sah atau tidak ditentukan oleh Hakim. Apabila hakim menolak permintaan dibebaskan tersebut, maka dengan sendirinya lahirlahkewajiban bagi Notaris tersebut untuk memberikan keterangan kesaksian. Sesuai denganyang ditentukan dalam penjelasan Pasal 8 dari UU No.3 Tahun 1971, maka hendaknya Hakim harus mempertimbangkan bahwa dalam menolak permintaan Notaris berarti hak dariNotaris tersebut telah dikurangi, dan oleh karena itu kesaksian dari Notaris hanya diminta sebagai upaya terakhir untuk melengkapi pembuktian. Kewajiban yang timbul karena permohonannya ditolak oleh Hakim dengan sendirinya menimbulkan konflik dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta. Dalam menghadapi situasi konflik tersebut Mr. J.E.Jonkers81 berpendapat bahwa dalam melakukan pemilihan, hendaknya harus dipertimbangkan untuk
81
Terjemahan dari HANDBOEK v.h. Ned.Ind.STRAFRECHT, oleh Yayasan Badan Penerbit GAMA, hlm.60
93
memenuhi kewajibanyang lebih tinggi. Wirjono Prodjodikoro82 pada pokoknya berpendapat sama, bahwa kepentingan yang lebih berat tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan yang lebih ringan. Menurut beliau apabila kepentingan yang diselamatkan jauh lebih berat dari yang dikorbankan, maka perbuatan tersetbut tidak
lagi
wederrechtelijk,
tetapi
menjadi
perbuatanyang
halal.Dalam
pertimbangan Hakim harus diungkapkan bahwa mewajibkan Notaris untuk memberikan keterangan kesaksian yang berhubungan dengan isi akta yang dibuatnya, adalah untuk kepentingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban merahasiakan sesuai dengan kewajiban Notaris. Disisi lain, bagi Notaris supaya mengemukakan alasanyang kuat sebagai dasar permintaan dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi. Notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya terhadap hal-hal yang dicantumkan dalam aktanya (isi akta), akan tetapi juga untuk semua yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya selaku Notaris ataupun yang diketahuinya karena jabatannya, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta. Dengan baradasarkan pada Hak Ingkar, Notaris dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi dengan jalan menuntut penggunaan Hak Ingkar. Menurut Van Bemmelen ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan Hak Ingkar,yaitu:83 1. Hubungan keluarga yang sangat dekat; 2. Bahaya dikenakan hukuman pidana; 82
Wirjono Prodjodikoro, 2007,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.70 83 J.M. van Bemmelen,Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned. Strafprocesrecht, hlm.167
94
3. Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan. Undang-Undang memberikan kewenangan kepada Anggota Kepolisian NegaraRepublik Indonesia (Polri) dalam kedudukannya sebagai penyidik untuk memanggilseseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Kewenangan inidiberikan berdasarkan ketentuan hukum, di antaranya: 1. Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP, yang menyatakan: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, (penyidik yang dimaksud disini adalah pejabat Polri, tidak termasuk pejabat pegawai negeri sipil) karena kewajibannya mempunyai wewenang memanggil orang untuk didengardan diperiksa sebagai tersangka atau saksi”. 2. Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan: “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13dan 14 (tugas pokok Polri dalam pasal ini dinyatakan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat) di bidang proseshukum pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi”. 3. Pasal 1 ayat (2) Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (No.Pol: B/1056/V/2006 No.: 01/MOU/PPINI/V/2006), yang menyatakan: “Tindakan-tindakan hukum yang dilakukan penyidik berupa pemanggilan, pemeriksaan,
penyitaan
dan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
95
bertanggungjawab sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, dapat juga dilakukan kepada Notaris-Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik selaku saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitan suatu tindakan pidana dalam pembuatan aktaNotaris-PPAT, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UndangUndang No.30 Tahun2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)”. Kewenangan
Anggota
Polri
sebagai
penyidik
untuk
melakukan
pemanggilan Notaris-PPAT berlaku ketentuan khusus, diatur dalam: 1. Pasal 66 ayat (1) huruf b UUJN menyatakan: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang, memanggil Notaris dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”. 2. Pasal 2 ayat (2) Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia (No.Pol : B/1056/V/2006 No.: 01/MOU/PPINI/V/2006), yang menyatakan: “Pemanggilan Notaris-PPAT dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan”. Menurut Hoge Raad, seorang pemegang rahasia jabatan sekalipun oleh kliennya yang mempercayakan suatu rahasia kepadanya selaku Notaris telah diberi izin dan dikehendakinya untuk bicara namun Notaris yang bersangkutan dalam hal demikian juga masih dapat mempergunakan hak ingkarnya.
96
Hak Ingkar Notaris yang diberikan oleh Undang-Undang tidak hanya merupakan hak, akan tetapi merupakan suatu kewajiban, sehingga Notaris wajib untuk tidak bicara, sekalipundimuka pengadilan. Meskipun Notaris oleh para kliennya diberi izin untuk bicara, masihtetap dapat mempergunakan Hak Ingkarnya, oleh karena kewajiban untuk merahasiakan bukan diletakkan keadanya oleh para klien akan tetapi oleh Undang-Undang. Dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan Hak Ingkar dari para Notaris harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para Notaris, untuk tidak bicara mengenai isi akta-aktanya,dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta maupun mengenai yang diberitahukan kepadanya karena jabatannya, kecuali dalam hal-hal ada terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal yang untuk itu Notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat dibebaskannya secara tegas dari sumpah rahasiajabatannya.