34 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, AKTA NOTARIS DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER
2.1.
Tinjauan Umum tentang Notaris
2.1.1. Pengertian dan Wewenang Notaris Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris (UUJN), notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.1 Mengenai kewenangan notaris dapat dijumpai pada Pasal 15 ayat (1) UUJN. Pada ketentuan tersebut disebutkan notaris berwenang membuat akta autentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan
dan/atau
yang
dikehendaki
oleh
yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan 1
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm. 14
34
35 oleh undang-undang. Selanjutnya dapat dilihat kewenangan Notaris selain membuat akta autentik yaitu menurut Pasal 15 ayat (2) UUJN, Notaris juga memiliki wewenang untuk : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang. Sedangkan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan rumusan UUJN yang baru tersebut Peraturan Jabatan Notaris yang lama (PJN, Ordonansi Staatsblad 1860 Nomor 3) mendefinisikan notaris sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya,
36 menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pengertian notaris sebagai pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta dalam rumusan PJN tidak lagi digunakan dalam UUJN. Penggunaan kata satu-satunya (uitsluitend) dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pejabat lainnya. Semua pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu yang artinya wewenang mereka tidak meliputi lebih daripada pembuatan akta autentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang. Perkataan uitsluitend dengan dihubungkan dengan bagian kalimat terakhir PJN mempunyai arti dengan mengecualikan setiap orang lain. Dengan perkataan lain, wewenang notaris bersifat umum sedang wewenang para pejabat lainnya adalah pengecualian. Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta autentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, terkecuali peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tagas, atau sebagia yang satu-satunya berwenang untuk itu.2 Dalam hal demikian berlaku asas lex specialis derogate legi generali yakni notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta disimpangi oleh adanya pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta pengecualian ini dengan didasarkan pada peraturan perundangundangan (khusus) lainnya.
2
Ibid., hlm. 34
37 Dalam
UUJN
terminologi
satu-satunya
(uitsluitend)
tidak
lagi
dicantumkan. Meskipun demikian pengertian notaris tidak berubah secara radikal. Hal ini dikarenakan terminologi uitsluitend telah tercakup dalam penjelasan UUJN yang menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Selanjutnya dalam penjelasan UUJN diterangkan pentingnya profesi notaris yakni terkait dengan pembuatan akta autentik. Pembuatan akta autentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang erkaitan dengan prosedur pembuatan akta notaris, sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris, seperti notaris sebagai pembuat akta koperasi berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor 98/KEP/M.KUKN/IX/2004, tanggal 24 September 2004 tentang Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Koperasi, kemudian Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf(PPAIW) berdasarkan pasal 37 ayat (3) dan (4) Peraturn Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
38 No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pemberian sebutan lain kepada Notaris seperti tersebut diatas telah mencederai makna Pejabat Umum. Seakan-akan Notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu aturan hukum dari instansi Pemerintah.3 Melalui pengertian notaris tersebut terlihat bahwa tugas seorang notaris adalah menjadi pejabat umum, sedangkan wewenangnya adalah membuat akta autentik. Sedangkan akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Akta notaris sebagai akta autentik dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UUJN. Rumusan UUJN dan PJN menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar). Seseorang menjadi pejabat umum, apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu. Karena itu notaris sebagai pejabat umum ikut serta melaksanakan kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Notaris disebut sebagai pejabat umum dikarenakan kewenangannya untuk membuat akta autentik. Meskipun disebut sebagai pejabat umum namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris merupakan swasta yang terikat dengan peraturan jabatannya dan selanjutnya notaris bebas dalam menjalankan profesinya. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun notaris tidak menerima gaji
Habib Adjie,’’Penggerogotan Wewenang Notaris Sebagai Pejabat Umum”,Renvoi, Nomor 04.Th,II,3 September 2004,hlm.32 3
39 dan pensiun dari pemerintah. Pendapatan notaris diperoleh dari honorarium kliennya. Arti penting dari profesi notaris disebabkan karena notaris oleh undangundang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta autentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha. Untuk kepentingan pribadi misalnya adalah untuk membuat testament, mengakui anak yang dilahirkan di luar pernikahan, menerima dan menerima hibah, mengadakan pembagian warisan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kepentingan suatu usaha misalnya adalah akta-akta dalam mendirikan suatu PT (Perseroan Terbatas), Firma, CV (Comanditer Vennotschap) dan lain-lain serta akta-akta yang mengenai transaksi dalam bidang usaha dan perdagangan, pemborongan pekerjaan, perjanjian kredit dan lain sebagainya.4 Sehubungan dengan wewenang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris hanya diperbolehkan untuk melakukan jabatannya di dalam daerah tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris wajib mempunyai hanya satu kantor dan dengan hanya mempunyai satu kantor, berarti notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya. Selain itu notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya. Artinya akta notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor notaris kecuali pembuatan akta-akta tertentu. Apabila hal ini dilanggar, maka akta 4
Hartanti Sulihandri dan Notaris,Cipayung-Jakarta, hlm. 17.
Nisya
Rifiani,2013,
Prinsip-prinsip
dasar
profesi
40 yang dibuat oleh notaris tersebut tidak autentik dan hanya mempunyai kekuatan sebagaimana akta di bawah tangan. 2.1.2. Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Istilah notarius oleh masyarakat romawi diberikan kepada mereka yang melakukan pekerjaan menulis, dimana fungsi dari notarius sendiri pada zaman tersebut tidaklah sama dengan fungsi notaris pada saat ini.5 Sedangkan istilah Pejabat Umum di dalam Burgelijk Wetboek diterjemakan oleh Subekti dan Tjitrosudibio sebagai Pejabat Umum.6Ambtenaren jika diterjemahkan adalah pejabat7, sedangkan Openbare adalah umum atau publik8, dengan dengan demikian Openbare Ambtenaren dapat dikatakan sebagai Pejabat Umum. Lantas apa maksud dari pejabat umum. Jika dilihat dari segi etimologi bahasa, maka dapat diartikan bahwa Pejabat Umum adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki kewenangan tertentu dalam suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena memangku suatu jabatan) yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Apakah sama dengan Pegawai Negeri karena sama-sama diangkat oleh pemerintah. Hal tersebut tidak membuat Jabatan Notaris sama dengan Pegawai Negeri, karena selain diatur atau tunduk pada peraturan yang berbeda juga karakteristik notaris bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak bergantung pada siapapun (independent), yang berarti
5
Abdul Ghofur Anshori, 2010, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Cetakan kedua, UII Press, Yogyakarta, hal. 8. 6 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. 7 Marjanne Termoshuizen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal. 21. 8 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 16.
41 dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dcampuri oleh pihak lain termasuk pihak yang mengangkatnya.9 Di Indonesia, asal mula diaturnya mengenai notarius itu pada Ordonnantie Stb. 1860 Nomor 3 dengan judul “Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia”, yang mulai berlakunya pada tanggal 1 Juli 1860 (di Indonesia lebih dikenal dengan Undang-undang Jabatan Notaris). Pada Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris diberikan definisi mengenai notaris sebagai berikut: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Berdasarkan pengertian notaris di atas maka dapat dikemukakan beberapa unsur didalamnya, yakni: 1. Notaris adalah pejabat umum 2. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta autentik 3. Akta-akta yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta autentik 4. Adanya kewajiban untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta, memberikan groose, salinan dan kutipannya 5. Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditegaskan atau dikecualikan oleh suatu peraturan umum kepada pejabat atau orang lain. 9
Ibid
42 Profesi notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:10 1. Memiliki integritas moral yang mantap; 2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri; 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya; 4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang. Notaris tidak boleh membuat akta kalau tidak diminta.Akta Notaris harus ditulis dan dapat dibaca serta harus memenuhi ketentuan dari undang-undang yang berlaku. Bahkan untuk melindungi agar akta notaris tidak mudah dipalsukan dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum maka bentuk dari akta notaris telah ditentukan secara tegas sebagaimana diatur pada Pasal 42, 43, 48, 49 dan 50 UUJN. Dalam penjelasan UUJN diterangkan pentingnya profesi notaris yakni terkait dengan pembuatan akta autentik. Pembuatan akta autentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.Selain akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, dijumpai juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, 10
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang, Aneka Ilmu,
hal. 93.
43 ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa meski sebenarnya hanya diperuntukkan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia secara umum pun dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan notaris. Hal ini menjadikan lembaga notariat sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Kemudian dalam perkembangannya, lembaga notariat yang mulamula muncul pada zaman Romawi, diadopsi menjadi Hukum Indonesia, yaitu Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum memberikan wewenang kepada notaris untuk dapat membuat akta-akta autentik. Sebelum menjalankan jabatannya, notaris harus disumpah terlebih dahulu. Hal ini sebagai konsekuensi bahwa dalam menjalankan jabatannya, notaris sebagai pejabat umum harus senantiasa menghayati sumpah jabatannya yang termuat dalam Pasal 4 UUJN. Sebagaimana dikatakan oleh Liliana Tedjosaputro bahwa:11 Pada asasnya jabatan notaris ini juga seharusnya memberikan keadilan yang menuju kepada keselarasan, keserasian, keseimbangan, tidak memihak kepada para pihak dan juga bebas dari kekuasaan eksekutif. Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa jabatan sebagai notaris haruslah independen, dalam arti kata tidak memihak kepada pihak-pihak tertentu, sehingga notaris menjadi jabatan kepercayaan. Selain sebagai jabatan kepercayaan, notaris juga berperan sebagai pelayan kepentingan umum serta mengatur secara tertulis
11
Liliana Tedjosaputro, Op Cit, hlm. 89
44 dan autentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris, maka notaris dituntut mempunyai pengetahuan yang luas serta tanggung jawab yang besar terhadap segala hal yang telah dilakukannya. Notaris sebagai pejabat umum menjalankan sebagian dari fungsi negara terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, khususnya membuat alat bukti tertulis dan autentik dari perbuatan hukum yang dibuat atau diadakan oleh para pihak. Hal demikian menjadi keharusan oleh karena akta autentik lahir jika dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Penunjukan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik berkaitan erat dengan wewenang atau kewajibannya yang utama. Kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 huruf 1 UUJN dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang memuat ketentuan akta autentik dan syaratsyarat agar supaya sesuatu akta dapat dikatakan dan berlaku sebagai akta autentik adalah akta yang dalam bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapa pejabat umum yang berwenang untukitu, di tempat di mana akta dibuat. Ketentuan mengenai kedudukan sebagai pejabat umum dapat dilihat pada Pasal 1 angka (1) UUJN di sana dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik. Dengan demikian ditugaskan untuk menjalankan kekuasaan pemerintah, notaris memperoleh kekuasaan tersebut dari eksekutif, artinya notaris diberi kekuasaan langsung sebagian hak dan wewenang eksekutif.
45 Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah yaitu oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI dengan suatu surat keputusan. Hal ini berarti turut serta melaksanakan kewibawaan dari pemerintah, meski demikian notaris bukanlah pegawai negeri tetapi merupakan pejabat negara, notaris tidak tunduk pada undang-undang kepegawaian, melainkan tunduk pada UUJN dan ia tidak menerima gaji dari pemerintah tetapi menerima honorarium dari klien atas jasanya. Berkaitan dengan honorarium bagi notaris, diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUJN yaitu bahwa “notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya”. Seorang notaris meskipun sudah diangkat secara resmi dengan suatu surat keputusan dari pejabat yang berwenang namun belum disumpah, maka ia belum bisa melakukan tugas jabatannya, oleh karena itu setelah ia menerima surat keputusan seorang notaris harus mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui kantor pemerintah daerah di mana notaris yang bersangkutan ditempatkan. 2.1.3. Sumpah Jabatan Notaris Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa sebelum menjalankan jabatannya, notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang diunjuk. Adapun sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya akan patuh dan setiap kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
46 Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mendiri dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun”. Pengucapan sumpah/janji jabatan notaris tersebut di atas dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris.Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, maka keputusan pengangkatan notaris dapat dibatalkan oleh menteri. Selanjutnya menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, yang bersangkutan wajib: 1. Menjalankan jabatannya dengan nyata; 2. Menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan notaris kepada menteri, organisasi notaris dan majelis pengawas daerah; dan 3. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria pertanahan, organisasi notaris, ketua pengadilan negeri, majelis pengawas daerah, serta bupati atau walikota di tempat notaris diangkat. Dalam sumpah jabatan notaris yang bersangkutan ditetapkan, bahwa notaris berjanji di bawah sumpah untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-
47 akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan itu. Dalam pada itu, apabila secara teliti dibaca isi sumpah jabatan tersebut, maka di dalamnya hanya dikatakan “isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tadi”, dengan peraturan-peraturan mana tentunya dimaksudkan peraturanperaturan dalam P.J.N., khususnya Pasal 40 yang berisikan larangan bagi para notaris untuk memberikan grosee, salinan atau kutipan atau memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-aktanya selain kepada orang-orang yang langsung berkepentingan pada akta itu, para ahli waris dan para penerima hak mereka, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturan-peraturan umum, dengan ancaman dikenakan denda uang sebesar Rp. 100,- sampai Rp. 200,- dan dalam hal pelanggaran itu terulang, dengan ancaman dipecat dari jabatannya selama tiga sampai enam bulan, semuanya dengan tidak mengurangi kewajiban membayar biaya, kerugian dan bunga. Sebagaimana dikatakan di atas, di dalam sumpah jabatan itu hanya dikatakan “isi akta-akta“ dan oleh karena undang-undang tidak menyebutkan tentang kewajiban merahasiakan semua apa yang tidak dicantumkan dalam akta, maka timbul pertanyaan, apakah hal ini berarti bahwa tidak ada kewajiban bagi notaris untuk merahasiakan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya. Ada beberapa penulis yang berpendapat, bahwa tidak ada kewajiban bagi para notaris untuk merahasiakan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya, dengan menunjuk kepada Pasal 40 P.J.N., di dalam pasal mana hanya dikatakan isi akta-akta.
48 Akan tetapi sebagian terbesar dari para penulis berpendapat bahwa sekalipun hal itu tidak dinyatakan secara tegas dalam sumpah jabatan notaris yang diatur dalam Pasal 17 dan dalam Pasal 40 P.J.N., namun tidaklah berarti bahwa notaris dan para pembantunya tidak diwajibkan untuk merahasiakan apa yang dibicarakan atau yang terjadi di kantor notaris, yang tidak dicantumkan dalam akta. Dalam hubungan dengan yang dikemukakan di atas, Melis mengatakan bahwa baik sifat dari jabatan notaris itu sendiri maupun “de eer en de waardigheid” dari jabatan notaris itu, demikian juga “de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk” verkeer betaamt ten aanzien van eens anders persoon of goed”.12, sebagai suatu perjanjian yang tidak diungkapkan (stilzwijgend) yang diadakan mengenai itu dengan kliennya, mengharuskan juga dalam hal itu kewajiban merahasiakan serapat-rapatnya. GHS
Lumban Tobing13
tidak sependapat
dengan mereka
yang
mengatakan, bahwa oleh karena di dalam sumpah jabatan notaris, demikian juga di dalam Pasal 40 P.J.N., hanya disebutkan isi akta-akta, maka tidak ada kewajiban bagi para notaris untuk merahasiakan apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam praktek adalah merupakan kenyataan, bahwa sebelum dibuat sesuatu akta oleh notaris, senantiasa diadakan pembicaraan terlebih dahulu mengenai segala sesuatu yang diinginkan oleh klien dan yang juga perlu diketahui oleh notaris untuk kemudian dituangkan dalam suatu akta, yang mana justru pada umumnya lebih banyak dan lebih luas dari pada apa yang kemudian dicantumkan dalam akta 12
GHS Lumban Tobing, Op. Cit., hlm. 116 Ibid., hlm. 117
13
49 itu dan yang mana semuanya itu pada hakekatnya sangat erat hubungannya dengan isi akta itu. Apabila notaris membocorkan apa yang tidak tercantum dalam akta, yang mana seperti dikatakan di atas pada hakekatnya sangat erat hubungannya dengan apa yang tercantum dalam akta ini, maka kiranya tidak dapat disangkal, bahwa sebenarnya notaris dalam hal itu telah pula membocorkan isi akta itu sendiri, kalaupun tidak seluruhnya, sekurang-kurangnya sebagian dari isi akta itu. Walaupun diakui, bahwa baik Pasal 17 maupun Pasal 40 P.J.N., adalah kurang sempurna, akan tetapi hal itu kiranya tidaklah dapat dijadikan alasan
untuk
mengambil
kesimpulan,
bahwa
seorang
notaris
dengan
mendasarkannya kepada kata-kata dari sumpah jabatan itu dapat secara bebas, tanpa dapat dihukum, untuk memberitahukan setiap rahasia yang dipercayakan kepadanya selaku notaris oleh kliennya, yang tidak dicantumkan dalam akta. Jabatan yang dipanggu notaris adalah jabatan kepercayaan (vertrouwensambt) dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Sebagai seorang kepercayaan, notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris, sekalipun ada sebagian tidak dicantumkan dalam akta. Notaris tidaklah bebas untuk memberitahukan apa yang diberitahukan kepadanya selaku notaris oleh kliennya pada waktu diadakan pembicaraan-pembicaraan sebagai persiapan untuk pembuatan sesuatu akta, sekalipun
tidak
semuanya
dicantumkan
dalam
akta.
Kewajiban
untuk
merahasiakannya, selain diharuskan oleh undang-undang, juga oleh kepentingan notaris itu sendiri. Seorang notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akanmengalami akibatnya di dalam praktek, ia akan segera kehilangan
50 kepercayaan publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan (vertrouwenspersoon). Dalam hubungannya mengenai janji di bawah sumpah untuk merahasiakan isi akta serapat-rapatnya, Bertling mengatakan14 sesuai dengan Pasal 1, yang menyebutkan notaris sebagai pejabat yang membuatakta, maka Pasal 18 (Pasal 17 P.J.N) mewajibkan notaris untuk bersumpahmerahasiakan isi akta-akta. Ketidaksempurnaan dari Pasal 1 juga menimpa Pasal 18. Akan tetapi ketidaksempurnaan itu tidak mempunyai akibat bahwa notaris diperkenankan untuk memberitahukan semua apa yang diberitahukan kepadanya dalam jabatannya tersebut. Sebaliknya jabatan yang dipangkunya, sebagaimana juga jabatan pengacara, dokter dan petugas-petugas agama, adalah jabatan kepercayaan. Sebagai orang kepercayaan, notaris wajib untuk merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya dalam jabatannya tersebut. Kewajiban untuk merahasiakan itu ada, tidak menjadi soal apakah itu oleh mereka terhadap siapa itu ditentukan atau dibebankan secara tegas atau tidak.Jabatan notaris sebagai jabatan kepercayaan dengan sendirinya melahirkan kewajiban itu. Kewajiban itu akan berakhir, apabila pada umumnya ada suatu kewajiban menurut hukum untuk bicara, yakni apabila seseorang dipanggil sebagai saksi. Sekalipun demikian, notaris masih dapat merahasiakannya dengan mempergunakan hak yang diberikan kepadanya dalam Pasal 1946 ayat (3) (Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata) dan Pasal 148 KUH Pidana (Pasal 146 ayat (3) HIR) untuk mengundurkan diri sebagai saksi.Kewajiban untuk memberikan kesaksian baginya
14
Ibid., hlm. 118
51 adalah fakultatif, artinya hal itu tergantung pada penilaian dari notaris itu sendiri. Hal itu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Van Bovenal Faure: “Akhirnya notaris adalah “meester” dari kesaksiannya, akan tetapi kepadanya dibebankan dua kewajiban : ditempatkan di antara kepentingan umum dan kepentingan khusus, diserahkan kepadanya untuk menyesuaikannya dengan hati nuraninya”.15
2.2.
Tinjauan Umum tentang Akta Autentik
2.2.1. Pengertian Akta Autentik Akta otentik merupakan salah satu bukti tulisan di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat/ pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta di buatnya. (pasal 1867 dan 1868 KUHPerd).16 Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak sendiri tanpa bantuan dari seorang pejabat. Kedua akta tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dari cara pembuatan, bentuk maupun kekuatan pembuktiannya. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata akta autentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta autentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
15
Ibid., hlm. 119 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang kenotariatan, 2015, Pt Cirra adtya bakti, hlm. 77. 16
52 1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai umum, yang diunjuk oleh undang-undang 2. Bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang 3. Di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut. Menurut A.Pitlo akta itu sebagai surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Kemudian menurut Sudikno Merto kusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.17 Apabila seorang Notaris membuat suatu laporan tentang rapat yang dihadiri dalam suatu rapat umum pemegang saham perseroan terbatas maka laporan itu merupakan akta autentik yang dibuat oleh Notaris.Seorang juru sita Pengadilan Negeri yang memanggil seorang tergugat atau seorang saksi, maka Berita Acara Pemanggilan itu termasuk akta autentik yang dibuat oleh juru sita.Akta ini sebenarnya laporan yang dibuat oleh pegawai umum tentang perbuatan resmi yang dilakukan.18 Apabila dua orang datang kepada Notaris atau PPAT menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa gedung dan meminta Notaris untuk membuatkan akta itu adalah akta
17
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2012, hlm 1 Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hlm.
18
101
53 yang dibuat dihadapan Notaris atau PPAT.Notaris di sini hanya mendengarkan dari para pihak yang menghadap dan menerangkan dalam suatu akta. Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang dimaksud pada Pasal 1868 KUH Perdata yaitu seorang Notaris, seorang hakim, seorang juru sita pada Pengadilan, seorang pegawai catatan sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya diunjuk sebagai Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan demikian suatu akta Notaris, surat keputusan hakim, berita acara yang dibuat oleh juru sita pengadilan, surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil/KUA dan akta jual beli tanah yang dibuat PPAT adalah akta-akta autentik. Akta-akta lainnya yang bukan akta autentik dinamakan akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan Pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Jadi sematamata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat antara para pihak sendiri disebut akta di bawah tangan.Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya di mana saja diperbolehkan. Yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai ketentuan Pasal 1876 KUH Perdata yang menyebutkan: barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalau tanda
54 tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta autentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan. Kalau dalam akta autentik tanda tangan tidak merupakan persoalan namun dalam suatu akta di bawah tangan pemeriksaan kebenaran tanda tangan merupakan acara pertama untuk menentukan kekuatan akta di bawah tangan sebagai bukti sempurna seperti akta autentik. Perbedaan antara akta autentik dan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:19 1. Akta Autentik a. Bentuk akta ditentukan undang-undang. Contoh Akta Jual Beli Tanah yang dibuat PPAT, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, Keputusan Hakim dan lain sebagainya b. Dibuat oleh Pejabat Umum seperti Notaris, PPAT, Pejabat Catatan Sipil, Pejabat KUA, Ketua Pengadilan, Hakim Pengadilan dan lain sebagainya
19
Ibid, hlm. 103-105
55 c. Kekuatan pembuktian akta autentik sempurna artinya akta autentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut d. Akta autentik mempunyai kekuatan formal artinya akta autentik membuktikan kebenaran daripada yang dilihat, didengar dan dilakukan para pihak tersebut. Jadi dapat menjamin kebenaran identitas para pihak, tanda tangan para pihak, tempat akta dibuat dan para pihak menjamin keterangan yang diuraikan dalam akta e. Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian materiil artinya akta autentik isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di antara para pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari akta tersebut. Dengan diajukannya akta autentik, hakim terikat dan tidak diperkenankan meminta alat bukti tambahan, kecuali ada pembuktian sebaliknya yang menyanggah isi akta tersebut f. Apabila akta autentik diajukan sebagai alat bukti di depan hakim, kemudian pihak lawan membantah akta autentik tersebut maka pihak
pembantah
yang
harus
membuktikan
kebenaran/
bantahannya. 2. Akta di bawah tangan a. Bentuk akta di bawah tangan bebas artinya para pihak yang membuat akta di bawah tangan tersebut bebas untuk menentukan bentuknya
56 b. Kalau akta autentik dibuat oleh pejabat negara, notaris/PPAT maka akta di bawah tangan dibuat oleh pihak-pihak yang membuat akta tersebut. Jadi setiap orang yang cakap menurut hukum dapat membuat akta di bawah tangan c. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta autentik jika tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani d. Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan materiil jika tandatangannya itu diakui oleh yang menandatangani akta itu e. Untuk pembuktian di depan hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan dan akta tersebut dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang harus mencari bukti tambahan (misalnya saksisaksi) untuk membuktikan bahwa akta di bawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar ditandatangani oleh pihak yang membantah. Dengan kata lain, jika akta di bawah tangan disangkal kebenarannya maka yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai alat bukti harus mencari tambahan bukti untuk membenarkan akta di bawah tangan. Tambahan bukti misalnya saksi-saksi yang dianggap mengetahui tentang pembuatan akta di bawah tangan dan tanda tangan tersebut benar ditandatangani oleh pihak yang membantah.
57 3. Legalisasi dan Waarmerking Supaya akta di bawah tangan tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian formil, materiil dan pembuktian di depan hakim maka akta yang dibuat di bawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi. Secara harfiah legalisasi artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar dengan jalan memberi pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas akta di bawah tangan meliputi tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi akta.Dengan adanya legalisasi maka para pihak yang membuat perjanjian di bawah tangan tersebut tidak dapat mengingkari lagi keabsahan tanda tangan, tempat dan tanggal dibuatnya akta karena isi akta di bawah tangan dibacakan dan diterangkan sebelum para pihak membubuhkan tanda tangan. Berdasarkan ordonansi staatsblad 1916 No. 43 dan 46 pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan legalisasi yaitu Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan Walikota. Dengan adanya legalisasi oleh Notaris atas akta di bawah tangan seperti tersebut di atas maka kekuatan hukum akta-akta di bawah tangan yang dilegalisasi secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta di bawah tangan menjadi akta autentik.Akta di bawah tangan tetap bukan alat bukti sempurna.Tetapi sebagai alat bukti akta di bawah tangan yang dilegalisasi berkekuatan hukum seperti akta autentik.
58 Meskipun akta di bawah tangan yang dilegalisasi tidak mengubah status akta di bawah tangan menjadi akta autentik, namun dengan adanya legalisasi para pihak yang menandatangani akta di bawah tangan tidak dapat lagi menyangkal atau mengingkari keabsahan tanda tangan dan isi akta itu karena Notaris telah menyaksikan dan membacakan isi akta sebelum para pihak menandatangani akta tersebut. Berarti akta-akta di bawah tangan yang dilegalisasi mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta autentik baik pembuktian materiil, formil dan pembuktian di depan hakim. Selain legalisasi terhadap akta di bawah tangan ada yang disebut waarmerking. Secara harfiah waarmerking dapat diartikan pengesahan ialah pengesahan atas akta di bawah tangan oleh pejabat berwenang yang diunjuk oleh undang-undang
atau
peraturan
lain.
Secara
yuridis
sebenarnya
dalam
waarmerking Notaris hanya sekedar mencatat perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak di dalam daftar yang disediakan untuk itu sesuai urutan yang ada.Jadi waarmerking itu tidak menyatakan kebenaran atas tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan kebenaran isi akta seperti halnya dalam legalisasi. Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3 disebutkan notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
59 Menurut ketentuan di atas maka notaris berwenang untuk membuat akta autentik apapun, kecuali peraturan umum sudah menunjuk pejabat atau orang lain untuk itu. Akta-akta yang dapat dibuat oleh seorang notaris, antara lain : Akta Jual Beli, Akta Sewa Menyewa, Akta Wasiat, Akta Adopsi, Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dan sebagainya. Sedangkan akta yang tidak boleh dibuat oleh seorang notaris misalnya adalah Akta Catatan Sipil (Akta Perkawinan) yang hanya wenang dibuat oleh Pegawai Pencatatan Sipil, Akta Jual Beli Tanah yang hanya wenang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan notaris juga tidak berwenang untuk membuat akta di bidang Hukum Publik. Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitatis causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta.Berdasarkan hal tersebut, maka akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Sebagai contoh dari suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah: Pasal 1610 KUH Perdata tentang perjanjian pemborongan, Pasal 1767 KUH Perdata tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan Pasal 1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta autentik antara lain ialah: Pasal 1171 KUH Perdata tentang pemberian hipotik, Pasal 1682 KUH Perdata tentang Schenking dan Pasal 1945 KUH Perdata tentang melakukan sumpah oleh orang lain. Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa).Dari definisi yang telah diketengahkan di muka telah
60 jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari.Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. Sebagai akta autentik, maka akta notaris merupakan bukti wajib sempurna yang diterangkan oleh notaris dan pihak-pihak kecuali kemungkinan pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya, seperti disebutkan dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1868 KUH Perdata, 286 Rbg) yang menentukan sebagai berikut: Akta autentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Sedangkan terhadap pihak ketiga, maka akta autentik ini mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu penilaiannya diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkannya. Dan sebagai alat bukti, maka akta autentik ini mempunyai kekuatan pembuktian sebagai berikut:20 1. Kekutan pembuktian lahiriah 2. Kekuatan pembuktian formal. 3. Kekutan pembuktian materil. Dari ketiga kekuatan pembuktian akta autentik inilah, maka jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan (vertrouwen ambts), sebab berdasarkan atas keadaan lahir, kebenaran isi dan kebenaran dari keterangan pejabat yang
20
Habib adjie Op.Cit hlm 73
61 berwenang itulah, maka akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang dianggap sempurna. Dan agar suatu akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan notaris dapat memenuhi ketiga kekuatan pembuktian di atas sehingga dapat menjadi alat bukti yang dianggap sempurna kekuatan pembuktiannya, maka harus terpenuhi syaratsyarat tertentu yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut misalnya yang tercantum di dalam Peraturan Jabatan Notaris adalah pada Pasal-pasal : 22, 24, 25 dan 28 PJN. Bila semua syarat-syarat tersebut telah terpenuhi dan benar-benar dilaksanakan oleh notaris, maka akta yang dibuat adalah akta autentik.Notaris fungsinya hanya mencatatkan (menukiskan) hal-hal yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak.Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil hal-hal yang dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut.21 Menurut Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg, baca juga Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) maka akta autentik bagi para pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya, merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta. Kalau yang dituturkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok akta, menurut Pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai permulaan bukti tertulis.
21
M.Ali Boediarto,Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung,Hukum Acara Perdata Setengah Abad,Swa Justitia,Jakarta,2005,hlm 74.
62 Selanjutnya menurut Pasal 1872 KUH Perdata apabila akta autentik yang bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan. Ada dua ketentuan mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan apabila terdapat pelanggaran dalam pembuatan akta, yaitu: 1. Terhadap Notaris yang bersangkutan, a. Sanksi Pidana (Pasal 263, 264 dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) b. Sanksi Perdata, yang dapat berupa denda, membayar kerugian dan bunga, pemberhentian untuk sementara/diskors, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat (Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) 2. Terhadap akta notaris itu sendiri a. Pengesampingan akta sebagai bukti, yaitu bahwa akta tersebut tidak mengikat bagi hakim dan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan b. Pembatalan akta berdasarkan
putusan hakim
yang sudah
berkekuatan hukum yang tetap. 2.2.2 Akta Notaris sebagai Akta Autentik Pengertian akta tidak semata-mata sebagai surat yang diperbuat sebagai alat bukti, namun ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan.
63 Menurut Pasal 108 KUHPerdata terkait dengan keberadaan akta menyebutkan “Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan ijin tertulis dari suaminya.” R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan.22 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti dalam pendirian suatu persekutuan komanditer (CV). Suatu akta notaris selain merupakan sumber untuk otentisitas, akta notaris juga merupakan dasar dari legalitas eksistensi akta notaris bersangkutan, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Apabila akta notaris hanya memuat apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris sebagai pejabat umum, maka akta itu dinamakan akta verbal atau akta pejabat (ambtelijke akten). Salah satu contoh akta pejabat adalah akta berita acara yang dianut oleh notaris dari suatu rapat pemegang saham dari suatu perseroan terbatas. Apabila suatu akta selain memuat catatan tentang apa yang disaksikan atau dialami oleh notaris juga memuat tentang apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh pihak22
R. Subekti, 2006, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 29
64 pihak yang menghadap pada notaris, maka akta itu dinamakan “akta partij”. 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang. Mengenai bentuk yang telah ditentukan oleh UUJN adalah akta tersebut terdiri dari kepala akta, badan akta, akhir akta. Bagian-bagian akta yang terdiri dari kepala akta dan akhir akta adalah bagian yang mengandung unsur autentik, artinya apa yang tercantum dalam kepala akta dan akhir akta tersebut akan menentukan apakah akta itu dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau tidak. 3. Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta memperoleh otentisitas adalah wewenang notaris yang bersangkutan untuk membuat akta tersebut. Oleh karena itu, otensitas dari suatu akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) UUJN. Sebagai akta autentik, akta notaris merupakan akta notariil yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, sehingga akta yang di buat oleh Notaris mempunyai sifat autentik. Mengenai jenis aktanotaris berdasarkan pihak yang membuatnya dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis. Kedua jenis akta notaris yang dimaksudkan, yaitu: 1. Akta para pihak (partij akte) Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan
65 menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta; Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu.Ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah: a. Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan; b. Berisi keterangan pihak pihak. 2. Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang, sehingga akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi Ambtelijke Akte atau Relaas Akte merupakan: a. Inisiatif ada pada pejabat; b. Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta. Dengan demikian, mengenai otensitasnya suatu akta notaris pada dasarnyakarena akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Sebaliknya, menurut Habib Adjie bahwa kewenangan yang dimiliki oleh seorang
66 notaris membuat akta secara umum dapat dipandang sah sepanjang dalam kriteria, antara lain:23 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang; 2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan; 3. Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan; 4. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hlm. ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris; 5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hlm. ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Autentik atau tidaknya suatu akta juga tidak cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapkan pegawai umum, tetapi juga cara pembuatannya harus menurut ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang dan tanpa adanya kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak dianggap sebagai akta autentik tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. 2.2.3 Keabsahan Akta Notaris sebagai Akta Autentik Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, hal ini sesuai dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta autentik yaitu :24
23 Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hlm. 56 24 Philipus M. Hadjon, “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari 2001,hlm 3.
67 1. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang(bentuknya baku); 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum. Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta autentik, yaitu:25 1. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan ditempat dimana akta itu dibuat. Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut : a.
Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan), seorang Pejabat Umum.Pasal 38 UU perubahan atas UUJN yang mengatur mengenai sifat dan bentuk akta tidak menentukan mengenai sifat akta. Dalam pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan bahwa akta notaris adalah akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam pasal 58 ayat (2) UU perubahan atas UUJN disebutan bahwa Notaris wajib membuat naskah akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
b.
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Setelah lahirnya UU perubahan atas UUJN keberadaan akta notaris
25
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, hlm.148.
68 mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh Undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam pasal 38 UU perubahan atas UUJN. c.
Pejabat Umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Pasal 15 UU perubahan atas UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut.
2.3. Tinjauan Umum tentang Persekutuan Komanditer (CV) 2.3.1 Pengertian Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) Maatschap atau persekutuan Perdata, adalah kumpulan dari orang-orang yang biasanya memiliki profesi yang sama dan berkeinginan untuk berhimpun dengan menggunakan nama bersama. Persekutuan Perdata sebenarnya adalah bentuk
umum
dari
Firma
dan
Perseroan
Komanditer
(Commanditaire
Venootschap). Adapun pengaturan dari persekutuan perdata, Firma dan Commanditaire Venootschap pada dasarnya sama, namun ada hal-hal yang membedakan di antara ketiganya. Persekutuan ini diatur dalam bab ke VIII bagian pertama dari buku IIIKUH Perdata. Di Inggris perserikatan perdata dikenal dengan istilah Hukum Persekutuan ataucompany law suatu himpunan hukum atau ilmu hukum mengenai bentukbentuk kerjasama, baik yang berstatus badan hukum (partnership) ataupun yang tidak berstatus badan hukum (corporation). Di Belanda istilah Hukum Persekutuan dikenal dengan nama Vennotschapsretchts yang lebih sederhana sekedar terbatas pada NV, Firma dan CV yang diatur dalam KUH Dagang,
69 sedangkan Persekutuan Perdata (maatschap) yang dianggap sebagai induknya diatur dalam KUH Perdata. Mengenai pengertian persekutuan Perdata pada Pasal 1618 KUH Perdata dikemukakan sebagai perjanjian antara dua orang atau lebih yang mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Dari pengertian tersebut dapat ditemukan unsur-unsur dalam suatu persekutuan Perdata adalah: 1. Adanya suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih. 2. Masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng). 3. Bermaksud membagi keuntungan bersama. Selanjutnya Angela Schneeman mendefinisikan partnership sebagai suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau lebih melakukan kepemilikan bersama suatu bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Partnership dapat juga diartikan sebagai suatu perjanjian (agreement) diantara dua orang atau lebih untuk memasukkan uang, tenaga kerja, dan keahlian ke dalam suatu perusahaan, untuk mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan bagian atau proporsi yang telah disepakati bersama. Hubungan yang terbangun antar para sekutu pada persekutuan Perdata didasarkan atas dasar perjanjian. Dengan perkataan lain, persekutuan perdata tunduk pada hukum perjanjian. Orang (person) yang melakukan kerjasama di dalam berbadan hukum, atau bentuk persekutuan lainnya. Sementara itu, makna bisnis (business) di dalam persekutuan mencakup setiap aktivitas atau kegiatan
70 dalam bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation) atau profesi (profession). Oleh karena itu, persekutuan Perdata merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan akuntan. Adapun jumlah sekutu dalam suatu persekutuan perdata minimal ada dua orang. Namun demikian, Pasal 19 KUH Perdata tidak menyebutkan berapa jumlah maksimal sekutu dalam perserikatan. Menurut pandangan klasik, Burgelijke Maatschap atau lebih popular disebut Maatschap/Persekutuan Perdata merupakan bentuk genus (umum) dari Persekutuan
Firma
(VoF)
dan
Persekutuan
Komanditer
(Comanditaire
Venootschap). Bahkan menurut pandangan klasik, Maatschap/Persekutuan tersebut merupakan bentuk genus pula dari Perseroan Terbatas.Hanya saja, karena saat ini tentang Perseroan Terbatas sudah jauh berkembang, maka ada pendapat yang mengatakan Perseroan Terbatas bukan lagi termasuk bentuk species (khusus) dari Maatschap.26Maatschap juga bersifat 2 (dua) muka, yaitu bisa untuk kegiatan yang bersifat komersial atau bisa pula untuk kegiatan non komersial termasuk dalam hal ini untuk persekutuan-persekutuan yang menjalankan profesi. Dalam praktek dewasa ini, yang paling banyak dipakai justru untuk non profit kegiatan profesi itu, misalnya persekutuan diantara para lawyerdan notaris yang biasa dikenal sebagai “associated” atau “partner” (rekan) atau “compagnon” yang disingkat “Co”.27Adapun jenis-jenis persekutuan perdata yang berkembang sampai saat ini adalah:
26 Rudhi Prasetya, 2002, Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2 27 Ibid, hlm. 4-5
71 1. Persekutuan Perdata umum (Pasal 1622 KUH Perdata). Persekutuan perdata umum meliputi apa saja yang akan diperoleh para sekutu sebagai hasil usaha mereka selama perserikatan berdiri. Persekutuan jenis ini usahanya bisa bermacam-macam (tidak terbatas) yang penting inbrengnya ditentukan secara jelas/terperinci. 2. Persekutuan Perdata khusus (Pasal 1623 KUH Perdata). Persekutuan perdata khusus (bijzondere maatschap) adalah persekutuan yang gerak usahanya ditentukan secara khusus, bisa hanya mengenai barang-barang tertentu saja, atau pemakaiannya, atau hasil yang akan didapat dari barang-barang
itu,
atau
mengenai
suatu
usaha
tertentu
atau
penyelenggaraan suatu perusahaan atau pekerjaan tetap. Persekutuan Perdata termasuk salah satu jenis kemitraan (partnership) yang dikenal dalam hukum Perusahaan di Indonesia disamping bentuk lainnya seperti Vennootschap Onder Firma (Fa) dan Commanditaire Vennootschap (CV).Persekutuan merupakan bentuk usaha yang biasa dipergunakan oleh para konsultan, ahli hukum, dokter, arsitek dan profesi-profesi sejenis lainnya. Persekutuan Perdata merupakan bentuk permitraan yang paling sederhana, karena alasan sebagai berikut:28 1. Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang besarnya modal, seperti yang berlaku dalam Perseroan Terbatas (PT) yang menetapkan besar modal minimal;
28
I.G. Rai Widjaya, 2005, Hukum Perusahaan, Kesaint Blanc, Jakarta, hlm. 36
72 2. Dalam rangka memasukkan sesuatu dalam persekutuan atau maatschap, selain berbentuk uang atau barang, boleh menyumbangkan tenaga saja; 3. Lapangan kerjanya tidak dibatasi, juga bisa dalam bidang perdagangan; 4. Tidak ada pengumuman kepada pihak ketiga seperti yang dilakukan dalam Firma. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) selanjutnya disingkat CV adalah persekutuan firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Yang dimaksud sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang atau barang sebagai pemasukan pada persekutuan, sedangkan dia tidak turut campur dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan. Status seorang sekutu komanditer dapat disamakan dengan seorang yang menitipkan modal pada suatu perusahaan, yang hanya menantikan hasil keuntungan dari modal tersebut. Bila Persekutuan Firma diatur dalam Pasal 16 s/d 35 KUHD, maka tiga pasal diantaranya yakni Pasal 19, 20 dan 21 merupakan aturan mengenai CV. Hal itulah sebabnya dalam Pasal 19 KUHD disebutkan bahwa Persekutuan Komanditer (persekutuan pelepas uang) sebagai bentuk lain dari Firma, yakni firma yang lebih sempurna dan memiliki satu atau beberapa orang sekutu pelepas uang/komanditer. Dalam Firma biasa, sekutu komanditer ini tidak dikenal, tetapi masing-masing sekutu wajib memberikan pemasukan (inbreng) dalam jumlah yang sama, sehingga kedudukan mereka dari segi modal dan tanggung jawab juga sama. Dalam CV ada pembedaan antara sekutu komanditer (sekutu diam; mitra pasif; sleeping patners) dan sekutu komplementer (sekutu kerja; mitra aktif; mitra
73 biasa; pengurus). Adanya pembedaan sekutu-sekutu itu membawa konsekuensi pada pembedaan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing sekutu yang berbeda itu. Dengan kata lain, terdapat dua macam sekutu dalam CV. Pertama, sekutu komanditer yakni sekutu yang tidak bertanggung jawab pada pengurusan persekutuan, sekutu ini hanya mempunyai hak mengambil bagian dalam aset persekutuan bila ada untung sebesar nilai kontribusinya. Demikian juga, dia akan menanggung kerugian sebesar nilai kontribusinya. Sedangkan kedua, sekutu komplementer yakni sekutu yang menjadi pengurus yang bertanggung jawab atas jalannya persekutuan, bahkan pertanggung jawabannya sampai kepada harta pribadinya. Molengraaff melihat CV sebagai suatu perkumpulan (vereeniging) perjanjian kerja sama, dimana satu atau lebih sekutu mengikatkan diri untuk memasukkan modal tertentu untuk perkiraan bersama oleh satu atau lebih sekutu lain menjalankan perusahaan niaga (handelsbedrijf).29 Perumusan ini terlalu sederhana sehingga masih kurang mencakup unsurunsur yang diperlukan oleh suatu CV seperti pencerminan adanya sekutu yang secara tanggung menanggung sepenuhnya bertanggung jawab bersama, disamping adanya sekutu yang bertanggung jawab terbatas, sekutu pengurus dan sekutu komanditer serta unsur menjalankan perusahaan.30 Rancangan BW Nederland Pasal 7.13.3.1 ayat (1) menetapkan bahwa CV adalah persekutuan terbuka terangterangan yang menjalankan suatu perusahaan, dimana disamping satu orang atau
29
Sentosa Sembiring, 2001, Hukum Dagang, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 188 Ibid
30
74 lebih sekutu biasa (gewone vennoten), juga mempunyai satu orang atau lebih sekutu diam (commanditaire vennoten).31 Dalam KUHD sekutu komanditer disebut juga dengan sekutu pelepas uang (geldschieter). Diantara penulis ada yang tidak setuju dengan penggunaan istilah “pelepas uang” yang dipersamakan dengan istilah “sekutu komanditer”. Menurut Purwosujipto, pada “pelepas uang” (geldschieter), uang atau benda yang telah diserahkan kepada orang lain dapat dituntut kembali bila si debitur jatuh pailit. Tetapi uang atau modal yang diserahkan oleh sekutu komanditer kepada sebuah persekutuan, tidak dapat dituntut kembali bila persekutuan itu jatuh pailit. Istilah “geldschieter” dan “commanditaire” dalam Pasal 19 ayat (1) KUHD dapat menimbulkan salah paham. Pada dasarnya kedua istilah itu tidak bisa disamakan, seperti apa yang dilakukan dalam bunyi undang-undang. Geldschieter memiliki maksud meminjamkan uang, dan pada saat tertentu ia bisa berkedudukan sebagai penagih (schuldeiser). Padahal sekutu komanditer bukanlah peminjam uang atau penagih, mereka adalah para peserta dalam persekutuan yang memikul hak dan kewajiban untuk mendapatkan keuntungan/laba dan saldo dalam hal persekutuan dilikuider serta memikul kerugian menurut jumlah inbreng (saham) yang dimasukkan. Bila hal itu dimaksudkan sebagai kreditur penagih (schuldeiser), maka pembayaran tagihan dapat dilakukan selama masih ada uang di kas persekutuan, sebaliknya bagi pemasukan uang yang dilakukan oleh sekutu
31
Ibid
75 komanditer
tidaklah
dapat
dilakukan
penagihan
selama
persekutuan
berlangsung.32 Dalam ketentuan pinjam meminjam uang (Pasal 1759 dan 1760 KUHPerdata) ditetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang tidak dapat meminta uangnya kembali sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan hakim dapat memberikan kelonggaran kepada si peminjam dalam pengembalian uang bila keadaan tidak memungkinkan. Perbedaan yang paling jelas adalah bahwa sekutu komanditer dapat memikul risiko untung atau rugi, sedangkan peminjam uang atau penagih tidaklah dibebani dengan kerugian. Modal yang dimasukkan oleh sekutu komanditer dapat merupakan modal tambahan terhadap modal yang telah ada atau dijanjikan dimasukkan oleh para sekutu komplementer. Pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan Persekutuan Firma yang bertanggung jawab secara tanggung menanggung bersama. Sehingga dengan demikian maka sekutu sekutu komanditer hanya bertanggung jawab secara intern kepada sekutu pengurus, untuk secara penuh memasukkan modal yang telah dijanjikan, dan uang yang dimasukkan itu dikuasai dan dipergunakan sepenuhnya oleh pengurus dalam rangka pengurusan persekutuan guna mencapai tujuan.33 Saat ini, dalam BW baru Belanda sudah tidak ditemukan/dikenal istilah “geldschieter” tetapi hanya menggunakan istilah “commanditairevennoten” disatu pihak dan “gewone vennoten” di pihak lain.
32
Ibid, hlm. 195 Ibid, hlm. 196
33
76 2.3.2
Jenis-Jenis Persekutuan Komanditer (CV) Menurut Farida Hasyim menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis
persekutuan komanditer (CV) yang dikenal: 34 1. CV diam-diam, yaitu CV yang belum menyatakan dirinya terangterangan kepada pihak ketiga sebagai CV. Ke luar, persekutuan ini masih menyatakan dirinya sebagai Firma, tetapi ke dalam persekutuan ini sudah menjadi CV, karena salah seorang atau beberapa orang sekutu sudah menjadi sekutu komanditer. 2. CV terang-terangan
(terbuka),
yaitu CV
yang terang-terangan
menyatakan dirinya kepada pihak ketiga sebagai CV. Hal itu terlihat dari tindakannya dalam bentuk publikasi berupa papan nama yang bertuliskan “CV” (misalnya CV. Sejahtera). Bisa juga dalam penulisan kepala surat yang menerangkan nama CV tersebut dalam berhubungan dengan pihak ketiga. 3. CV dengan saham, yaitu CV terang-terangan, yang modalnya terdiri dari kumpulan saham-saham. Jenis terakhir ini sama sekali tidak diatur dalam
KUHD,
ia
hanya
muncul
dari
praktek
di
kalangan
pengusaha/dunia perniagaan. Pada hakekatnya CV dengan saham sama saja
dengan
jenis
CV
terang-terangan,
bedanya
hanya
pada
pembentukan modalnya saja yang sudah terdiri dari saham-saham. Pembentukan modal CV dengan saham ini dimungkinkan oleh Pasal
34
Farida Hasyim,2013,Hukum Dagang,Sinar Grafika,Jakarta,hlm 146.
77 1337 ayat (1), 1338 ayat (1) KUHPerdata jo Pasal 1 KUHD. Karenanya, CV jenis terakhir ini juga semacam CV terang-terangan (CV biasa). 2.3.3
Bubarnya CV Persekutuan Komanditer pada hakikatnya adalah Firma, sehingga cara
pembubaran Firma berlaku juga pada CV, yaitu dengan cara sebagai berikut (Pasal 31 KUHD): 1. Berakhirnya jangka waktu CV yang ditetapkan dalam anggaran dasar 2. Akibat pengunduran diri atau pemberhentian sekutu 3. Akibat perubahan anggaran dasar Pembubaran CV sama dengan Firma, yaitu harus dilakukan dengan akta autentik yang dibuat di muka notaris, didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri, dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Kelalaian pendaftaran dan pengumuman ini mengakibatkan tidak berlakunya pembubaran, pengunduran diri, pemberhentian, dan perubahan anggaran dasar terhadap pihak ketiga. Setiap pembubaran CV memerlukan pemberesan, baik mengenai keuntungan maupun kerugian. Pemberesan keuntungan dan kerugian dilakukan menurut ketentuan dalam anggaran dasar. Apabila dalam anggaran dasar tidak ditentukan, berlakulah ketentuan Pasal 1633 s/d 1635 KUHPerdata. Apabila pemberesan selesai dilakukan masih ada sisa sejumlah uang, sisa uang tersebut dibagikan kepada semua sekutu menurut perbandingan pemasukan (inbreng) masing-masing. Jika setelah pemberesan terdapat kekurangan (kerugian), maka penyelesaian atas kerugian tersebut juga dilakukan menurut perbandingan pemasukan masing-masing.
78 Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh badan usaha berbentuk CV ini bila dijalankan, sebagai berikut: 1. Kelebihan: a. Kemampuan manajemen lebih besar b. Proses pendirianya relatif mudah c. Modal yang dikumpulkan bisa lebih besar d. Mudah memperoleh kredit 2. Kekurangan: a. Sebagian sekutu yang menjadi Persero Aktif memiliki tanggung tidak terbatas b. Sulit menarik kembali modal c. Kelangsungan hidup perusahaan tidak menentu