BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, PERSEROAN TERBATAS DAN PERATURAN MENTERI
2.1. Tinjauan Umum Notaris 2.1.1. Sejarah Notaris di Indonesia Lembaga Notaris telah eksis di Indonesia sejak permulaan abad ketujuhbelas (XVII). Sekitar tahun 1617-1629, pengangkatan seorang Notaris yang disebut juga Notarium Publicum adalah untuk memenuhi keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta.53 Seiring dengan didirikannya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tanggal 27 Agustus 1620, tercatat Melchior Kerchem adalah orang yang pertama kali diangkat sebagai Notaris di Jakarta (Batavia). Tugas Notaris pertama berdasarkan surat keputusan pengangkatannya adalah melayani dan melakukan semua libel/smaadschrift (dalam bahasa Latin disebut libellus), surat wasiat di bawah tangan (codicil), surat wasiat (testament), akta kontrak perdagangan, perjanjian kawin dan akta-akta lainnya yang diperlukan. Seiring dengan kebutuhan akan jasa Notaris, kemudian diangkat Notaris-notaris lainnya di luar Batavia oleh penguasa setempat sehingga Notaris mulai berkembang dan menyebar di Indonesia.54
53
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan II, PT Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal. 1. 54 Abdul Ghofur Anshori, 2010, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, Cetakan II, UII Press, Yogyakarta, hal. 10-11. 42
Landasan (dasar) hukum eksistensi Notaris di Indonesia adalah ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, selanjutnya ditulis KUHPerdata). Jabatan Notaris pada awalnya diatur dalam Reglement op het Notaris-ambt in Indonesie (Ordonansi 11 Januari 1860, Staatsblad Tahun 1860 Nomor 3) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 1860. Reglemen yang mengacu pada De Notariswet Belanda tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (selanjutnya ditulis PJN). Setelah diterbitkannya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta perubahannya, Notaris tetap dirumuskan sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 30/2004 (pasal perubahan). Akan tetapi UU 30/2004 memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya yaitu, Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan akta risalah lelang (ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f dan huruf g UU 30/2004 (pasal perubahan)). Menurut Habib Adjie, pengertian pejabat umum harus dimaknai sebagai pejabat publik. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren dalam ketentuan Pasal 1 PJN. Kata openbare diartikan sebagai lembaga (hukum) yang mempunyai tugas melayani umum (publik), sedangkan kata ambtenaren salah satu artinya adalah pejabat. Maka openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang berkaitan dengan kepentingan publik, sehingga tepat apabila openbare ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik. Dengan demikian, openbare ambtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat
43
umum dapat diartikan, pejabat yang diberi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik.55 Pejabat umum menunjuk kepada seseorang yang memangku suatu jabatan yang diperolehnya karena diangkat dan diberhentikan oleh negara dan diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk melayani masyarakat dalam bidang tertentu. Notaris sebagai pejabat umum, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Menkumham. Pengangkatan dan pemberhentian Notaris oleh Presiden didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Notaris dalam menjalankan jabatannya, begitu pula dengan bentuk akta-aktanya, telah ditentukan dan diatur dalam UU 30/2004. Undang-undang juga yang menentukan bahwa Notaris adalah pejabat umum sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 30/2004 (pasal perubahan). Fungsi Notaris sebagai pejabat umum adalah menjamin otentisitas pada akta-akta yang dibuatnya. Oleh karenanya, Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh penguasa tertinggi negara dan diberikan kepercayaan serta pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. 56 Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Husni Thamrin, karakter hukum suatu akta Notaris sebagai alat bukti otentik timbul karena adanya kepercayaan umum (publica fides). Oleh sebab itu, jabatan umum harus dibentuk berdasarkan
55
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Cetakan I, CV. Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 14-16. 56 H. Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Edisi Revisi, Cetakan II, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 72. 44
undang-undang dan pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum dilakukan oleh Kepala Negara dan bukan oleh Menteri. Tanpa delegasi undang-undang, suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak boleh membentuk suatu jabatan umum.57 Pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum oleh negara, tidak menyebabkan Notaris menjadi pegawai negeri sipil menurut undang-undang atau peraturan kepegawaian negara. Notaris tidak mendapat gaji dari negara dan tidak juga mendapat uang pensiun dari negara apabila telah pensiun atau berhenti sebagai pejabat umum. Notaris hanya menerima honorarium (bukan gaji) dari klien atas jasa-jasa yang telah diberikan, terkait dengan pembuatan akta-akta otentik di bidang keperdataan.58 Dikemukakan oleh Habib Adjie bahwa Notaris dapat juga disebut sebagai pejabat publik, akan tetapi tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, karena produk masing-masing pejabat publik tersebut berbeda. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya adalah akta otentik yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian, sedangkan pejabat publik di bidang pemerintahan produk akhirnya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final.59 Menurut N.G. Yudara sebagaimana dikutip oleh Husni Thamrin, pejabat umum adalah organ negara yang dilengkapi kekuasaan umum (met openbaar 57
“Ibid.”, hal. 74, dikutip dari Philipus M. Hadjon, 1996, “Eksistensi dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Figur Hukum Akta PPAT”, Makalah Ceramah FH Unair, Surabaya, tanggal 22 Februari 1996, hal. 3. 58 Komar Andasasmita, 1983, Notaris Selayang Pandang, Cetakan II, Alumni, Bandung, hal. 103. 59 Habib Adjie I, op. cit., hal. 163. 45
gezag bekled) yang memiliki kewenangan khusus dalam menjalankan sebagian kekuasaan negara, yaitu dalam pembuatan dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik di bidang hukum perdata.60 Kepercayaan besar yang diberikan oleh negara kepada Notaris membuktikan bahwa Notaris adalah pihak ketiga di luar para pihak yang layak dipercaya. Dengan demikian, dalam menjalankan sebagian kekuasaan negara untuk memberikan pelayanan umum (publik), seorang Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum terhadap produk akta otentik yang dibuatnya. Kepastian hukum dapat tercapai apabila dalam melaksanakan tugas jabatannya, Notaris mengikuti semua ketentuan yang sudah diatur dalam UU 30/2004 dan undang-undang lainnya. 2.1.2. Kewenangan dan Kewajiban Notaris Ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata bahwa, suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata meliputi 4 (empat) hal, yaitu kewenangan yang menyangkut objek (akta yang dibuatnya), subjek, tempat dan waktu,61 yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Notaris berwenang sepanjang menyangkut objek (akta yang dibuatnya)
60
Husni Thamrin, “op. cit.”, hal. 73, dikutip dari N.G. Yudara, “Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya”, Makalah dalam Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat FH Unair, Surabaya, 15 Juni 1996, hal. 7. 61 Habib Adjie, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Cetakan II, PT Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie III), hal. 13-17. 46
Kewenangan Notaris sebagai pejabat umum dalam membuat akta otentik adalah wewenang yang umum sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain, sedangkan kewenangan bagi pejabat lainnya adalah wewenang terbatas. Kewenangan Notaris ditentukan dalam Pasal 15 UU 30/2004 (pasal perubahan) yang merupakan suatu batasan bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar kewenangan tersebut, yaitu : (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan Notaris di luar wewenang yang sudah ditentukan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Negeri apabila menimbulkan kerugian bagi para pihak. 2) Notaris
berwenang
sepanjang
mengenai
berkepentingan)
47
subjek
(orang-orang
yang
Notaris sebagai pejabat umum dapat membuat akta untuk setiap orang yang berkepentingan, akan tetapi kewenangan Notaris dibatasi untuk menjaga netralitas Notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52 ayat (1) UU 30/2004, yaitu : “Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.” 3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat akta itu dibuat Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU 30/2004 juncto Pasal 19 ayat (1) UU 30/2004 (pasal perubahan), Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota dan Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor di tempat kedudukannya tersebut. Sedangkan wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU 30/2004). Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya karena Notaris mempunyai wilayah jabatan di seluruh Provinsi. Akan tetapi, Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya (ketentuan Pasal 19 ayat (3) UU 30/2004 (pasal perubahan)). Berdasarkan ketentuan Pasal 17 huruf a UU 30/2004 (pasal perubahan), suatu hal yang dilarang apabila Notaris menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya (di luar provinsi). 4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu
48
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan : 1.
Berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 30/2004, karena : a. b. c. d.
e.
meninggal dunia; telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun permintaan sendiri; tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 30/2004, ketentuan umur dapat diperpanjang sampai 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan
kesehatan
Notaris.
Notaris
yang
kehilangan
kewenangannya karena meninggal dunia dapat dilanjutkan tugas jabatannya oleh pejabat sementara Notaris (ketentuan Pasal 1 angka 2 UU
30/2004
(pasal
perubahan)).
Notaris
yang
kehilangan
kewenangannya karena pensiun, tugas jabatannya dilanjutkan oleh Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah (ketentuan Pasal 62 huruf b UU 30/2004 juncto Pasal 63 ayat (4) UU 30/2004 (pasal perubahan)). 2.
Diberhentikan sementara dari jabatannya berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU 30/2004 (pasal perubahan), karena : a. b. c.
dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; berada di bawah pengampuan; melakukan perbuatan tercela;
49
d. e. 3.
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau sedang menjalani masa penahanan.
Cuti karena Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara (ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2004 (pasal perubahan)) atau cuti yang merupakan hak Notaris yang dapat diambil setelah Notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun (ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU 30/2004). Notaris yang tidak kehilangan kewenangannya (cuti, sakit atau berhalangan
sementara
dalam
menjalankan
jabatannya)
dapat
menyerahkan tugas jabatannya kepada Notaris pengganti (ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 30/2004 (pasal perubahan)) yang diangkat untuk mencegah terjadinya kekosongan. 4.
Diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat (MPP) berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU 30/2004, yaitu apabila : a. b. c. d. e.
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (ketentuan Pasal 13 UU 30/2004).
50
Selain kewenangan Notaris, dalam UU 30/2004 diatur pula tentang kewajiban Notaris. Ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UU 30/2004 (pasal perubahan) bahwa, dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib : a.
bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. menerima magang calon Notaris.
51
Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 30/2004 (pasal perubahan) adalah mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia. Lambang negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035) yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009 (selanjutnya ditulis UU 24/2009). Sedangkan cap atau stempel Notaris diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Notaris yang diberlakukan pada tanggal 3 Agustus 2007 (selanjutnya
ditulis
Permenkumham 2007).
2.2. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas 2.2.1. Sejarah Perseroan Terbatas di Indonesia Keberadaan PT di Indonesia bermula dari lahirnya badan (institusi) De Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang dibentuk karena kebutuhan modal yang amat besar dalam menyelenggarakan pelayaran oleh sejumlah compagnie kecil-kecil di kepulauan Nusantara. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para pengusaha kapal (reders) yang tergabung dalam suatu compagnie mengajak rekan-rekan mereka yang bersedia ikut menanamkan modalnya untuk bergabung dalam usaha itu tanpa perlu bertanggung jawab lebih dari modal yang
52
ditanamkannya. Bentuk usaha yang terbentuk pada waktu itu dapat disamakan dengan Comanditaire Vennootschap (CV).62 Pengusaha-pengusaha kapal berlaku sebagai principale reders, yaitu memodali dan menjalankan sendiri usaha mereka dengan pertanggungjawaban secara tanggung renteng di antara mereka, sedangkan para pemodal berlaku sebagai commenda participale yang tidak ikut menjalankan pengurusan perusahaan dan bertanggung jawab hanya sebatas modal yang ditanamkan. Kepada setiap commenda participale diberikan penningen yang sewaktu-waktu dapat dipindahtangankan.63 Kebutuhan akan modal yang semakin besar pada akhirnya melahirkan institusi VOC yang merupakan gabungan antara principale reders dengan commenda participale. Semua pemodal yang menanamkan modalnya tidak lagi bertanggung jawab secara pribadi, melainkan terbatas pada harta kekayaan yang terkumpul pada VOC, sedangkan pengurusan VOC dilakukan oleh suatu organ yang bernama “De Heeren Zeventien”. Oleh karenanya, PT yang merupakan penjelmaan dari institusi VOC ini kemudian disebut sebagai asosiasi modal.64 2.2.2. Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Hukum Positif Dewasa ini PT merupakan salah satu bentuk usaha dalam kegiatan ekonomi yang populer dan paling disukai,65 oleh karena di satu sisi PT memiliki
62
Rudhi Prasetya, 2011, Perseroan Terbatas Teori Dan Praktek, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2-3. 63 Ibid., hal. 3. 64 Ibid., hal. 3-4. 65 Munir Fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), hal. 35. 53
kemampuan untuk mengembangkan diri dan berpotensi untuk memperoleh keuntungan,66 sedangkan di lain sisi PT merupakan asosiasi modal dan badan hukum yang mandiri.67 Istilah kata “Perseroan” merujuk kepada modal yang berupa sero-sero (saham-saham) sehingga PT disebut juga asosiasi modal. Sedangkan kata “Terbatas” merujuk kepada tanggung jawab terbatas dari pemegang saham, yaitu sebatas nilai nominal saham yang diambil dan dimilikinya dalam perseroan, sehingga memberikan kemudahan bagi para pemegang saham untuk mengalihkan saham yang dimilikinya kepada setiap orang.68 Dikenal dalam pergaulan hukum istilah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu, “orang (persoon)” dan “badan hukum (rechtpersoon)”. Pengertian “orang” menunjuk pada subjek hukum alamiah (natural person), sedangkan “badan hukum” menunjuk pada subjek hukum buatan (artificial legal person).69 Manusia (subjek hukum alamiah) yang secara yuridis disebut orang, merupakan pendukung hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan atas semua harta kekayaan yang dimilikinya dan dapat melakukan perbuatan hukum. Status sebagai subjek hukum tidak lagi disandangnya pada saat ia meninggal, sehingga ia tidak memiliki kewenangan lagi atas harta kekayaan yang dimilikinya dan tidak dapat pula melakukan perbuatan hukum. Oleh karenanya, hukum positif (undang66
Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Cetakan I, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 1. 67 I.G. Rai Widjaya, 2006, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas Khusus Pemahaman Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Berlaku (Efektif) Sejak 7 Maret 1996, Edisi Revisi, Cetakan VI, Kesaint Blanc, Jakarta, hal. 1. 68 Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Edisi Revisi, Cetakan II, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hal. 1. 69 H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga, Jakarta, hal. 70. 54
undang) memang menghendaki adanya subjek hukum lain yang mandiri, yaitu badan hukum (rechtpersoon), sehingga harta kekayaan orang yang telah meninggal tersebut masih dapat terus berlanjut dan bermanfaat melalui usahausaha berbentuk badan hukum yang telah dirintisnya. Rechtpersoon artinya orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum, merupakan pendukung hak dan kewajiban namun tidak berjiwa layaknya orang, sehingga tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan sebagainya. 70 Badan hukum memiliki harta kekayaannya sendiri dan dapat melakukan perbuatan hukum atas namanya sendiri melalui organ yang bertindak mewakilinya. Disebabkan karena PT sebagai subjek hukum tidak memiliki wujud, tidak dapat diraba, namun dia ada (tidak fiktif), terpisah dan bebas dari pemegang saham maupun pengurusnya, maka PT sebagai pendukung hak dan kewajiban digolongkan ke dalam badan hukum (rechtpersoon). Status badan hukum PT dapat diperoleh apabila telah dipenuhinya syarat materiil dan syarat formil yang merupakan satu kesatuan pengertian yang lengkap bagi suatu PT.71 Syarat materiil yang harus dipenuhi adalah memiliki harta kekayaan sendiri, memiliki tujuan sendiri dan memiliki organ (pengurus). Syarat materiil sudah menunjukkan PT adalah pendukung hak dan kewajiban, sehingga dapat disimpulkan bahwa PT merupakan subjek hukum. Selanjutnya, untuk dapat memenuhi kriteria sebagai badan hukum, PT dibebani kewajiban yang merupakan
70
Titik Triwulan Tutik, 2011, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi ke-1, Cetakan III, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 47. 71 Herlien Budiono I, op. cit., hal. 36. 55
syarat formilnya, yaitu didirikan dengan akta otentik (akta Notaris), dimintakan pengesahan akta pendiriannya kepada Menteri, didaftarkan dalam daftar perseroan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara untuk kepentingan pihak ketiga. Pengesahan akta pendirian PT oleh Menteri bukanlah menciptakan status badan hukum PT melainkan hanya menyatakan tidak berkeberatan bahwa PT ikut ambil bagian dalam pergaulan hukum sebagai badan hukum, karena sejatinya sumber yang menjadi ide dasar adanya badan hukum adalah hukum positif.72 Terpenuhinya syarat formil PT selaras dengan pernyataan, “Corporation life starts when the responsible public official (often the secretary or state of incorporation) issues the certificate of incorporation”.73 Terjemahan bebasnya, “Kehidupan korporasi dimulai ketika pejabat publik yang bertanggung jawab (seringkali sekretaris atau negara yang mengakui keberadaan korporasi) menerbitkan sertifikat pendirian”. Syarat materiil dan syarat formil adalah syarat yang harus dipenuhi dalam pendirian PT agar memperoleh status badan hukum yang bersifat tertutup (close corporation).74 Close corporation diartikan sebagai, “Corporation with a small number of shareholders, often family members, with no share being sold to the
72
Nindyo Pramono, 2013, Hukum PT Go Public dan Pasar Modal, Edisi ke-1, CV Andi, Yogyakarta, hal. 47. 73 Bruce D. Fisher dan Michael J. Philips, 2001, The Legal, Ethical, and Regulatory Environment of Business, 7th Ed., West Legal Studies in Business, Mason, OH., hal. 495. 74 Hasbullah F. Sjawie, 2013, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 10. 56
general public”75 (Perusahaan dengan sejumlah kecil pemegang saham, seringkali anggota keluarga, tanpa adanya saham yang dijual kepada masyarakat umum). Diperolehnya status badan hukum karena terpenuhinya unsur materiil dan unsur formil, mengakibatkan suatu PT menjadi subjek hukum yang mandiri (persona standi in juditio) sebagaimana orang yang merupakan subjek hukum lainnya. Setelah berstatus badan hukum, PT dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, berkewajiban memenuhi segala perikatan yang dibuat atas nama PT oleh pengurusnya, memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum serta berhak menggugat dan digugat di muka pengadilan dengan perantaraan pengurusnya. Setelah diundangkannya UU 40/2007 yang merupakan hukum positif yang mengatur tentang PT, telah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang tersebut bahwa PT adalah badan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut : 1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 40/2007 menyebutkan : Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya. 2) Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU 40/2007 menyebutkan, Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. 75
Michael Bixby, et. al, 2001, The Legal Environment of Business, Prentice-Hall Inc., New Jersey, hal. 263. 57
Mengacu pada pengertian tentang PT dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 40/2007, dengan jelas dirumuskan bahwa PT adalah badan hukum meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan badan hukum tersebut. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU 40/2007 dapat diketahui bahwa, diperlukan campur tangan yang berwenang (Menteri) sebagai syarat agar PT dapat memperoleh status badan hukum yang dimaksud. Status PT sah sebagai badan hukum yakni pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menkumham mengenai pengesahan badan hukum PT.76 Selanjutnya akan diuraikan mengenai unsur-unsur PT berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 40/2007. a.
Badan Hukum yang Merupakan Persekutuan Modal Ditegaskan dalam ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU 40/2007 bahwa,
PT adalah badan hukum (korporasi) yang merupakan persekutuan modal, dengan demikian membedakannya dari badan usaha lain yang merupakan persekutuan orang. Penegasan bahwa PT merupakan persekutuan modal dapat ditelusuri dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 40/2007 yang mewajibkan setiap pendiri PT untuk mengambil bagian saham pada saat PT didirikan. Korporasi berasal dari bahasa latin corpus yang berati memberikan badan yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia.77 Itulah sebabnya maka PT disebut badan hukum yang merupakan subjek hukum buatan (artificial legal person) karena kelahirannya bukan melalui proses alamiah seperti manusia akan tetapi melalui proses hukum.
76
Nindyo Pramono, op. cit., hal. 50. Mahrus Ali, 2013, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Edisi ke-1, Cetakan I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 77
58
Hukum memperlakukan PT sebagai individu yang berdiri sendiri (separate legal personality) yang terpisah dari para pemegang sahamnya, Direksi maupun Dewan Komisaris. Dengan demikian, PT memiliki personalitas atau kepribadian sendiri (corporate personality) yang berbeda dengan orang-orang yang mendirikannya.78 Hakikat PT dengan personalitas atau kepribadiannya adalah, perubahan para pemegang saham maupun Direksi dan Dewan Komisaris tidak merubah identitas PT dan kepentingan-kepentingan PT. Segala utang-utang PT tetap menjadi tanggung jawab PT sendiri dan kepentingan PT tetap berbeda dengan kepentingan-kepentingan orang-orang yang mendirikannya. Terdapat beberapa teori hukum berkenaan dengan personalitas atau kepribadian PT, antara lain : 1) Teori Organ Teori ini disebut sebagai leer der volledige realiteid (ajaran realitas yang sempurna). Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke (1841-1921) dan didukung oleh L.G. Polano. Teori ini mengajarkan bahwa, badan hukum itu adalah realita yang sesungguhnya dan benar-benar ada dalam pergaulan hukum sama halnya dengan kepribadian manusia. Badan hukum membentuk kehendaknya dengan perantaraan organnya. Segala sesuatu yang diputuskan oleh organ adalah kehendak dari badan hukum.79 2) Teori Kenyataan Yuridis Teori ini dikemukakan oleh E.M. Meijers dan Paul Scholten dan merupakan penghalusan dari teori organ yang disebut juga teori kenyataan yang
78
H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 70-71. Tri Budiyono, 2010, Hukum Dagang, Cetakan I, Griya Media, Salatiga, (selanjutnya disingkat Tri Budiyono I), hal. 22-23. 79
59
sederhana (eenvoudige realiteit). Teori ini mengatakan bahwa, badan hukum merupakan suatu realitas, konkret dan riil, walaupun tidak dapat diraba tetapi bukan khayal, dan merupakan suatu kenyataan yuridis yang keberadaannya bergantung pada hukum negara. Oleh karenanya, dalam menyamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Artinya, badan hukum itu sekedar diperlukan untuk hukum sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi mana tangannya, mana otaknya dan sebagainya.80 3) Kumpulan Teori-teori Kontrak (The Nexus of Contracts Theory) Teori ini dikemukakan oleh Michael Jensen, William Meckling serta Frank Easterbrook. Teori ini sering juga disebut sebagai set of implicit and explicit contract sebagaimana dikemukakan oleh Easterbrook dan Fischel, “The corporation is a complex set of explicit and implicit contracts…”81 (Perusahaan merupakan suatu pengaturan kontrak yang kompleks baik secara eksplisit maupun implisit…). Menurut teori ini, korporasi sejatinya merupakan serangkaian kontrak yang terjadi di dalamnya sehingga RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris dianggap memiliki kedudukan yang sama, yang masuk dan terikat dalam korporasi melalui kontrak. Dengan demikian, RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris memiliki kedudukan yang sejajar dan tidak saling membawahi.82
80
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Cetakan III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35. 81 W. William Bratton, 1990, Corporate Law, the International Library of Essays in Law and Legal Theory, 2nd Series, Ashgate, Sydney, Australia, hal. 5. 82 Tri Budiyono, 2011, Hukum Perusahaan: Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, (selanjutnya disingkat Tri Budiyono II), hal. 18. 60
Teori-teori hukum berkenaan dengan personalitas (kepribadian) PT menunjukkan bahwa, realitas PT diakui namun sekedar hanya untuk keperluan hukum saja. b. Didirikan Berdasarkan Perjanjian Dasar didirikannya suatu PT adalah perjanjian yang berarti bahwa, pendirian harus dilakukan minimal oleh dua orang karena tidak mungkin seseorang mengadakan perjanjian dengan dirinya sendiri. Kata sepakat mencerminkan adanya dua orang atau lebih yang mengadakan perjanjian yang mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Setelah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan perjanjian menjadi sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata perjanjian pendirian PT tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan bentuk perjanjian yang paling sederhana yang disebut dengan perjanjian konsensuil karena hanya mensyaratkan adanya kesepakatan antara para pihak yang membuatnya.83 Selain perjanjian konsensuil perjanjian dibedakan lagi menjadi perjanjian riil dan perjanjian formil. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata yang mendasarkan pada hukum adat yang bersifat tunai.84 Kata sepakat merupakan unsur dalam perjanjian riil sekaligus menimbulkan suatu perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) untuk
83
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007, Jaminan Fidusia, Edisi ke-1, Cetakan IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 21. 84 Salim H.S., 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10. 61
mengadakan perjanjian lain yang berdiri sendiri.85 Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus memenuhi suatu formalitas tertentu agar perjanjian yang dibuat tersebut sah adanya.86 Selain harus memenuhi syarat umum sahnya perjanjian, undang-undang menentukan bahwa perjanjian formal adalah sah apabila perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik. Menurut C. Asser sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono, perjanjian terdiri dari tiga unsur yang terbagi menjadi essentialia, naturalia dan accidentalia.87 Unsur essentialia adalah unsur yang mutlak harus ada, unsur ini erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), untuk mengetahui ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjian. Unsur naturalia adalah unsur yang lazimnya ada pada setiap perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. Unsur accidentalia adalah unsur yang harus tegas diperjanjikan dalam suatu perjanjian.88 Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 40/2007 ditentukan bahwa, selain didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, perjanjian pendirian PT harus dimuat dalam akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Kata “orang” dalam pasal tersebut menunjuk pada orang perseorangan maupun badan hukum, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia maupun asing. Tidak dipenuhinya pendirian PT dalam bentuk akta Notaris berakibat pada 85
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian pada Umumnya), Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 42. 86 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 22. 87 Herlien Budiono I, “op. cit.”, hal. 36, dikutip dari C. Asser-A.S. Hartkamp, 1997, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, hal. 66-68. 88 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 46. 62
ditolaknya permohonan oleh Menkumham sehingga PT yang bersangkutan tidak memperoleh status badan hukum. Sejak ditandatanganinya akta pendirian PT oleh para pendiri yang didasarkan pada prinsip perjanjian (hubungan kontraktual antara para pendiri) maka PT telah berdiri (ada).89 Setelah PT memperoleh status badan hukum, maka hubungan hukum antara para pendiri bukan lagi merupakan hubungan kontraktual melainkan didasarkan pada prinsip institusional (lembaga) yaitu, diatur oleh peraturannya sendiri yang termuat dalam anggaran dasar PT.90 Adakalanya setelah memperoleh status badan hukum pemegang saham PT menjadi kurang dari 2 (dua) orang. Untuk itu, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU 40/2007. Sanksi yang diperoleh apabila ketentuan tersebut dilanggar diatur dalam ayat (6) yaitu, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian PT dan atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan PT tersebut. Adapun “pihak yang berkepentingan” adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan PT, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stake holder) lainnya. Berdasarkan ayat (7) Pasal 7 UU 40/2007, ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih tidak berlaku bagi : 1.
persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
89 90
Herlien Budiono I, op. cit., hal. 46. Rudhi Prasetya, op. cit., hal. 44-47. 63
2.
perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Pasar Modal. Berdasarkan ayat (6) Pasal 7 UU 40/2007 tersebut, secara hukum bisa saja
terjadi dalam suatu PT terdapat pemegang saham tunggal asalkan pemegang saham tunggal tersebut siap menanggung sanksi yang telah ditentukan. Terlebih lagi apabila tidak terdapat gugatan dari “pihak yang berkepentingan” karena dalam hukum perdata pengadilan bersifat pasif yang hanya dapat mengadili apabila ada perkara yang diajukan. Tidak dijelaskan pula dalam UU 40/2007 bagaimana hukum acaranya apabila terjadi kondisi demikian. c.
Melakukan Kegiatan Usaha Setiap PT yang didirikan bertujuan untuk memperoleh laba atau
keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan usaha yaitu kegiatan perekonomian dengan menjalankan perusahaan. Kegiatan perekonomian meliputi bidang perindustrian, perdagangan, perjasaan dan pembiayaan.91 Sedangkan perusahaan adalah suatu pengertian dalam bidang ekonomi, yang oleh para ahli diberikan pengertian sebagai berikut :92 1) Molengraaff mengemukakan bahwa, baru dikatakan perusahaan jika secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh keuntungan dengan menggunakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 2) Polak menambahkan dalam perusahaan menurut Molengraaff dengan keharusan melakukan pembukuan.
91
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan IV, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 11. 92 Farida Hasyim, 2013, Hukum Dagang, Edisi ke-1, Cetakan IV, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 91-92. 64
3) Menurut Pemerintahan Belanda, perusahaan adalah apabila pihak yang berkepentingan bertindak secara tidak terputus-putus dan terang-terangan serta dalam kedudukan tertentu untuk memperoleh laba bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, unsur-unsur yang harus dimiliki oleh perusahaan dari pengertian-pengertian tersebut di atas adalah : 1) kegiatan yang berlangsung secara terus menerus atau tidak terputus-putus dan bertindak keluar secara terang-terangan (adanya hubungan dengan pihak ketiga). 2) kegiatan dilakukan dalam kedudukan atau kualitas tertentu. 3) kegiatannya berupa menggunakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 4) bermaksud untuk memperoleh keuntungan atau laba. 5) adanya keharusan untuk melakukan pembukuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 40/2007, diharuskan bagi PT untuk mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Ditegaskan pula dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b juncto Pasal 18 UU 40/2007 bahwa, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT harus termuat atau dicantumkan dalam anggaran dasar PT, dan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PT tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 bahwa, maksud dan tujuan merupakan usaha pokok PT, sedangkan kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dijalankan oleh PT dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya dan harus
65
dirinci secara jelas dalam anggaran dasar, namun rinciannya tidak boleh bertentangan dengan anggaran dasar. Untuk menjalankan perusahaan secara sah, PT harus mendapat ijin dari pihak yang berwenang dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3214), selanjutnya ditulis UU 3/1982. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU 3/1982, setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, wajib untuk didaftar dalam Daftar Perusahaan. Selanjutnya ketentuan Pasal 8 UU 3/1982 menentukan bentuk-bentuk perusahaan yang wajib didaftarkan, yaitu : badan hukum termasuk di dalamnya Koperasi, persekutuan, perorangan dan perusahaan lainnya yaitu, bentuk-bentuk perusahaan baru yang sesuai dengan perkembangan perekonomian. d. Modal Dasar yang Seluruhnya Terbagi dalam Saham Disebutkan dalam ketentuan Pasal 31 UU 40/2007 bahwa, modal dasar PT terdiri atas seluruh nilai nominal saham dan tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal PT terdiri atas saham tanpa nilai nominal, namun tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU 40/2007 pengertian tentang saham. Dikemukakan oleh Gunawan Widjaja bahwa saham adalah bukti telah dilakukannya penyetoran modal yang diambil bagian
66
oleh para pemegang saham PT secara penuh.93 Pengertian tentang saham dapat dilihat juga dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 24/32/Kep/Dir, tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit Kepada Perusahaan Sekuritas Dan Kredit Dengan Agunan Saham. Dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 huruf c Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 24/32/Kep/Dir tersebut bahwa, saham adalah surat bukti pemilikan suatu perseroan terbatas, baik yang diperjualbelikan di Pasar Modal maupun yang tidak.94 Dengan demikian secara sederhana saham diartikan sebagai, surat bukti penyertaan modal dari pemegang saham dalam suatu PT. Modal dasar PT ditentukan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), akan tetapi undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu seperti : usaha perbankan, asuransi atau freight forwarding, dapat menentukan jumlah minimum modal PT yang lebih besar daripada ketentuan tersebut (ketentuan Pasal 32 UU 40/2007). Berdasarkan ketentuan Pasal 33 UU 40/2007, paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah antara lain : 1.
bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama PT;
2.
data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau;
3.
neraca PT yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.
93
Gunawan Widjaja, 2008, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, Cetakan I, Forum Sahabat, Jakarta, hal. 50. 94 Sentosa Sembiring, 2007, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Cetakan II, CV. Nuansa Aulia, Bandung, hal. 49. 67
Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh sehingga tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur. Bentuk penyetoran atas modal saham diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU 40/2007, yaitu dapat berupa uang dan/atau dalam bentuk lainnya (inbreng). Dijelaskan dalam penjelasan umum Pasal 34 ayat (1) bahwa, bentuk lain yang dimaksud dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata telah diterima oleh PT dengan disertai rincian yang menerangkan harga, jenis, status, tempat kedudukan dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU 40/2007, dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan PT. Penyetoran saham yang dilakukan dalam bentuk benda tidak bergerak (misalnya tanah), menurut ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU 40/2007, penyetoran tersebut harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Maksud diumumkannya adalah agar diketahui umum dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan atas penyerahan benda tersebut sebagai setoran modal saham (penjelasan umum ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU 40/2007).
68
e.
Memenuhi Persyaratan yang Ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan Pelaksanaannya Ketentuan ini menunjukkan bahwa UU 40/2007 menganut sistem tertutup
(closed system), karena dimulai dari pendiriannya sampai pada saat memperoleh status badan hukum, beroperasinya hingga berakhirnya suatu PT sebagai badan hukum, harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam UU 40/2007 serta peraturanperaturan pelaksanaannya.95 Secara lain ketentuan ini menunjukkan bahwa, seluruh proses sebagaimana disebutkan di atas diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan proses administratif untuk memenuhi unsur formil PT, telah diatur dalam UU 40/2007 bahwa, proses tersebut dilakukan secara elektronik melalui SABH. Awalnya proses administratif PT dilakukan secara manual, namun pada tahun 1999, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan dalam Letter of Intent (LoI) percepatan pendaftaran badan hukum perusahaan di Indonesia yang saat itu berada di bawah kewenangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia saat itu, mengusulkan modifikasi SABH (dahulu disebut Sisminbakum) dari sistem manual menjadi sistem elektronik yang berbasis Teknologi Informasi. Sistem elektronik SABH yang diselenggarakan oleh Ditjen AHU ini kemudian dioperasikan setelah konsep SABH diterima oleh Ikatan Notaris Indonesia selaku penggunanya. Selanjutnya Ditjen AHU menunjuk PT Sarana Rekatama Dinamika (PT. SRD) dan Koperasi Pengayoman Pegawai Kehakiman (KPPK) sebagai 95
M. Yahya Harahap, 2013, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi ke-1, Cetakan IV, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36. 69
operator SABH.96 Sistem elektronik SABH ini diberlakukan pada tanggal 4 Oktober 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.HT.01.01 Tahun 2000 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Prosedur permohonan secara elektronik melalui SABH adalah, pemohon memberikan kuasa kepada Notaris, sehingga Notaris berhak mewakili pemohon untuk memproses secara elektronik. Perwakilan secara luas diartikan sebagai, suatu tindakan hukum yang akibat hukumnya menjadi tanggung jawab bukan oleh pihak yang bertindak, melainkan oleh pihak yang diwakili oleh pihak yang bertindak. Dengan kata lain, perwakilan merupakan suatu tindakan hukum yang menimbulkan akibat hukum untuk orang lain.97 Perwakilan telah menyimpang dari asas nemo alteri stipulari potest, sebagai sebab lahirnya norma hukum yang termuat dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata yaitu, pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Perjanjian seharusnya hanya berakibat di antara para pihak yang membuatnya, dan tidak berakibat pada pihak ketiga. Terkait dengan sumber perwakilan, doktrin (ilmu hukum) membedakannya menjadi tiga, yaitu :98 1.
Perwakilan karena undang-undang, merupakan perwakilan yang terjadi di luar kehendak pihak-pihak yang berkaitan, misalnya perwalian.
96
URL : http://gresnews.com/berita/sorot/sisminbakum-datang-ambilblokir-bagian-ii, diakses pada tanggal 23 Januari 2015, pukul 21.20 WITA. 97 Herlien Budiono I, op. cit., hal. 411. 98 Herlien Budiono I, op. cit., hal. 412. 70
2.
3.
Perwakilan karena perjanjian, merupakan perwakilan yang terjadi atas kehendak dan kesepakatan para pihak yang terkait, misalnya perjanjian pemberian kuasa (lastgeving). Perwakilan organik, merupakan perwakilan yang wewenangnya bersumberkan pada anggaran dasar (statuten) suatu badan hukum, misalnya Direksi PT yang mewakili PT.
Pemberian kuasa (lastgeving) yang merupakan perwakilan karena perjanjian, mengacu pada konsep hukum perdata yang diatur dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, tetapi merupakan bagian dari pemberian kuasa (lastgeving). Pemberian kuasa dirumuskan dalam Pasal 1792 KUHPerdata yaitu, suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Berdasarkan rumusan Pasal 1792 KUHPerdata tersebut terkandung unsur-unsur pemberian kuasa, yaitu : a)
adanya persetujuan;
b) adanya pemberian kekuasaan kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu; c)
kuasa dilaksanakan atas nama orang yang memberikan kuasa. Unsur pertama yaitu, persetujuan atau perjanjian (overeenkomst) mengacu
pada ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Terkait dengan permohonan secara elektronik, adanya persetujuan atau perjanjian
71
mengisyaratkan bahwa, terdapat dua pihak dalam perjanjian pemberian kuasa,99 yaitu pihak yang memberi kuasa (pemberi kuasa, dalam hal ini pemohon) dan pihak yang menerima kuasa (penerima kuasa, dalam hal ini Notaris). Unsur kedua yaitu, pemberian kekuasaan kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu, maksudnya adalah untuk melaksanakan sesuatu urusan yang telah disetujui oleh para pihak. Pemberian kekuasaan mensyaratkan adanya suatu perintah yang membedakannya dengan zaakwarneming. Pengertian zaakwarneming ialah, mewakili urusan orang lain yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah untuk melakukan hal itu.100 Dihubungkan dengan unsur formal PT yang berkaitan dengan proses administrasi, maka pemberian kekuasaan kepada Notaris adalah untuk melaksanakan urusan dari pemohon, yaitu permohonan secara elektronik melalui SABH. Unsur ketiga yaitu, kuasa dilaksanakan atas nama orang yang memberikan kuasa maksudnya, kuasa memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa melakukan tindakan hukum sepihak demi kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. Tindakan hukum sepihak maksudnya, tindakan hukum yang timbul, berubah dan berakhirnya sebagai akibat dari satu pihak saja.101 Terkait dengan permohonan secara elektronik melalui SABH, pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak dengan kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya pada penerima kuasa (dalam hal ini Notaris).
99
Handri Raharjo, op. cit., hal. 113. Mariam Darus Badrulzaman, 2006, K.U.H. Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, PT Alumni, Bandung, hal. 141. 101 Herlien Budiono I, op. cit., hal. 413. 100
72
2.3. Tinjauan Umum Peraturan Menteri 2.3.1. Tugas dan Fungsi Kementerian Ditentukan dalam Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa, Menterimenteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Selanjutnya Kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4916) yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2008 (selanjutnya ditulis UU 39/2008). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 39/2008, Kementerian dipimpin oleh Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri, yang merupakan pembantu Presiden, dan menurut ketentuan Pasal 3 UU 39/2008, Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ditentukan pula dalam Pasal 7 UU 39/2008 bahwa, Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Menteri-menteri bekerja sama satu sama lain untuk membantu Presiden menjalankan atau melaksanakan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executif) dalam praktek.102 Ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 39/2008 bahwa, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Selanjutnya, urusan tertentu dalam pemerintahan ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 39/2008, yaitu terdiri atas : a.
urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
102
Maria Farida Indrati S., op. cit., hal. 129. 73
b. c.
urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
Cakupan urusan tertentu dalam pemerintahan, ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 UU 39/2008, sebagai berikut : (1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan. (2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. (3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal. Fungsi tiap-tiap Kementerian diatur dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/2008, sebagai berikut : (1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi : a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi : a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah; dan e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
74
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi : a. perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya; b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya. Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, pada tanggal 17 Oktober 2014 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601), selanjutnya ditulis UU 30/2014. Dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 30/2014, yang dimaksud dengan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Fungsi pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan (Pasal 1 angka 2 UU 30/2014). Sedangkan administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Pasal 1 angka 1 UU 30/2014). Terkait dengan fungsi kementerian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/2008, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 30/2014, Menteri termasuk dalam Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan Administrasi Pemerintahan.
75
2.3.2. Peraturan Menteri sebagai Hasil Keputusan Menteri Istilah pemerintah dalam negara hukum modern sering dipadankan dengan istilah bestuur dalam bahasa Belanda.103 Dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa, “bestuuren” mengandung pengertian fungsional dan institusional (struktural). Fungsional bestuur berarti fungsi (kegiatan) pemerintahan, sedangkan institusional
(struktural)
bestuur
berarti
keseluruhan
organ
(organisasi)
pemerintahan. Lingkungan bestuur adalah lingkungan di luar lingkungan regelgeving (pembentukan peraturan) dan rechtspraak (peradilan). Meskipun demikian, pemerintah dalam lingkungan bestuur(en) dapat membuat keputusan, baik keputusan yang bersifat konkrit (beschikking) maupun keputusan berupa peraturan yang bersifat umum (regeling).104 Kewenangan untuk membuat peraturan (regeling) yang bersifat dan mengikat untuk umum pada dasarnya merupakan kewenangan eksklusif lembaga legislatif. Namun demikian, lembaga-lembaga lain di luar lembaga legislatif dapat pula memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan yang mengikat untuk umum apabila lembaga legislatif telah memberikan persetujuannya dalam undangundang formal. Hukum formal yang dibentuk oleh lembaga eksekutif dalam fungsinya menyelenggarakan pemerintahan pada dasarnya merupakan hasil pengambilan keputusan, baik keputusan yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang berisi penetapan administratif (beschikking). Keputusan-keputusan tersebut mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum yang dapat
103
W. Riawan Tjandra, 2012, Hukum Administrasi Negara, Cetakan V, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 23. 104 Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 3-4. 76
berupa larangan (prohibere), keharusan (obligatere) ataupun kebolehan (permittere).105 Terkandung empat macam sifat norma hukum dalam keputusankeputusan tersebut, yaitu :106 2) Norma umum abstrak, misalnya undang-undang; 3) Norma umum konkrit, misalnya rambu-rambu lalu-lintas yang dipasang di suatu tempat tertentu (rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan, namun hanya berlaku untuk tempat itu); 4) Norma individual abstrak, misalnya izin gangguan; 5) Norma individual konkrit, misalnya Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Keputusan-keputusan yang berbentuk hukum formal, baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang berisi penetapan administratif (beschikking) timbul akibat adanya tindakan pemerintah. Tindakan pemerintah yang dimaksud adalah
setiap
perbuatan
yang
dilakukan
oleh
organ
pemerintahan
(bestuursorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie).107 Perbuatan yang dilakukan oleh organ pemerintahan tersebut didasarkan pada hukum publik yang bersifat hukum administratif sehingga menimbulkan akibat hukum administratif. Terdapat pula kewenangan pemerintah lainnya yang disebut dengan freies ermessen atau diskresi (discretion), yaitu kebebasan untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum
105
Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Edisi ke-1, Cetakan II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 127. 106 Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 125. 107 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 79-80. 77
yang sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.108 Freies ermessen dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut :109 1) Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, sedangkan masalah tersebut menuntut penyelesaian dengan segera; 2) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bertindak aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya untuk bertindak; 3) Adanya delegasi wewenang dari perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur, menilai dan menentukan tindakan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri. 4) Tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untuk bertindak. Namun demikian, freies ermessen sebagai penyelenggara pemerintahan tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penggunaan freies ermessen menciptakan peraturan kebijaksanaan atau perundang-undangan semu (beleidsregel, policy rule, pseudo-wetgeving) yang dirumuskan dalam berbagai bentuk “juridische regels” seperti peraturan, pedoman,
pengumuman,
surat
edaran
dan
lain
sebagainya.
Peraturan
kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schriftelijk beleid (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis)”, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang dimaksud.110 Undang-undang yang dibuat oleh legislatif pada umumnya hanya mengatur secara garis besar, sedangkan untuk mengatur (regeling) operasional yang lebih rinci, didelegasikan kepada eksekutif yang lebih mengetahui hal-hal yang perlu diatur. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Mian Khurshid, “Where 108
Ibid., hal. 66-67. Ibid., hal. 70-71. 110 Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 152. 109
78
the act does not contain the whole legislation but delegates to a foreign authority to legislate in the matter, it is subordinate or delegated legislation”.111 Terjemahan bebasnya, “Ketika undang-undang tidak memuat seluruh pengaturan tetapi melimpahkannya kepada lembaga yang berwenang untuk mengatur materinya, hal tersebut merupakan subordinat atau pendelegasian perundangundangan”. Sehubungan dengan Menteri adalah pembantu Presiden dalam menjalankan fungsi pemerintahan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU 39/2008, Menteri dapat mengambil keputusan baik yang bersifat mengatur (regeling) dalam bentuk Peraturan Menteri, maupun yang berisi penetapan administratif (beschikking) dalam bentuk Keputusan Menteri. Peraturan Menteri adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang setingkat lebih rendah dari Peraturan Presiden yang memuat ketentuan-ketentuan tentang bidang tugasnya.112 Sedangkan Keputusan Menteri adalah keputusan yang bersifat khusus mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang tugasnya.113
111
Jimly Asshiddiqie, “op. cit.”, hal. 9, dikutip dari Mian Khurshid A. Nasim, 1998, Interpretation of Statutes, Mansoor Book House, Lahore, hal. 5. 112 Maria Farida Indrati S., op. cit., hal. 199. 113 Philipus M. Hadjon et. al., op. cit., hal. 59. 79