BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna. Maka dari itu masyarakat akan lebih memilih membuat membuat akta dihadapan notaris dibandingkan dengan akta bawah tangan agar suatu saat ketika terjadi sengketa di pengadilan mereka mempunyai alat bukti yang kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna. Suatu akta Notaris dapat dikatakan otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna, maka akta tersebut wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Selanjutnya dalam Pasal 1869 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dinyatakan bahwa suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak. Notaris selaku pejabat umum yang membuat akta otentik harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar akta yang dibuat bersifat otentik.
100
2
Akta yang dibuat notaris dapat menjadi sebuah akta otentik apabila akta tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan formil yang disyaratkan undangundang. Ketentuan di Indonesia yang saat ini khusus mengatur mengani jabatan notaris terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Dalam UUJN mengatur mengenai bentuk akta otentik yang wajib ditaati oleh notaris. Bentuk akta notaris tersebut diatur dalam Pasal 38 UUJN terdiri dari awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta. Notaris dalam pembuatan akta otentik tidak memenuhi atau lalai memenuhi ketentuan mengenai bentuk akta tersebut di atas, maka akta otentik tersebut tidak memenuhi syarat akta otentik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 41 UUJN sendiri telah mengatur apabila ketentuan mengenai bentuk akta otentik tersebut dilanggar, maka akta otentik hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Salah satu elemen masyarakat yang banyak membutuhkan notaris untuk membuat akta otentik ialah lembaga perbankan. Perbankan dalam melaksanakan fungsinya menyalurkan kembali dana masyarakat dalam bentuk kredit kepada masyarakat harus memegang prinsip kehati-hatian, yaitu dengan diupayakan adanya jaminan dari debitur. Untuk benda jaminan hak atas tanah, dapat dijadikan dilakukan dengan pembebanan hak tanggungan di atas hak atas tanah tersebut. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
3
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT) menyatakan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disebut PPAT). Pada dasarnya, pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai yang orang yang berhak atas objek Hak Tanggungan. Namun undang-undang memberi kelonggaran, apabila benarbenar diperlukan dan tidak dapat hadir sendiri oleh pemilik benda jaminan, maka dapat dikuasakan kepada pihak lain. Pemberian kuasa itu diberikan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disebut SKMHT). Pasal 15 UUHT menyebutkan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Pembuatan SKMHT wajib menggunakan blanko akta yang telah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Secara historis, penggunaan blanko diawali dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta. Kemudian setelah berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, penggunaan blanko akta diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (untuk selanjutnya disebut PMNA Nomor 3 Tahun 1997). Setelah keluarnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 (untuk selanjutnya disebut Perkaban Nomor
4
8 Tahun 2012) pembuatan SKMHT tidak lagi menggunakan blanko akta, namun bentuk dan tata cara pengisian akta tetap harus dibuat sesuai dengan yang ditentukan dalam lampiran Perkaban Nomor 8 Tahun 2012. Persoalan yang timbul dari Perkaban Nomor 8 Tahun 2012, yaitu ketika notaris akan membuat SKMHT sesuai dengan amanat Pasal 15 UUHT, di mana SKMHT yang diwajibkan bentuk dan tata cara pengisiannya tidak sesuai dengan bentuk akta yang diamanatkan UUJN kepada notaris dalam membuat akta notaris. Apabila notaris membuat akta notaris tidak sesuai dengan Pasal bentuk yang telah ditentukan UUJN, maka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UUJN telah tegas menyatakan bahwa akta notaris tersebut akan hanya mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan atau kehilangan otentisitasnnya. Di sisi lain jika tidak dibuat berdasarkan bentuk dan tata cara pengisian sesuai Perkaban Nomor 8 Tahun 2012, maka menurut Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “OTENTISITAS SKMHT YANG DIBUAT OLEH NOTARIS BERDASARKAN PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 DIKAITKAN
DENGAN PASAL 38 UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOTARIS”.
NOMOR
30
TAHUN
2004
TENTANG
JABATAN
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Bagaimana otentisitas dan akibat hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh notaris berdasarkan bentuk dan tata cara pengisian yang ditentukan oleh Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 dikaitkan dengan UUJN? 2. Bagaimana sinkronisasi hukum antara Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 dengan peraturan perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? C. Keaslian Penelitian Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan penulis di dalamnya tidak terdapat karya tulis atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain: 1. Judul penelitian “Kajian Hukum Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sesudah Berlakunya Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 di Magelang”, yang ditulis oleh Soraya Isnaini, tahun 2012 pada Program Magister
Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dengan pokok
permasalahan perbedaan mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak
6
Tanggungan yang dibuat oleh Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan implikasi yuridis dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 terhadap pembebanan Hak Tanggungan. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan diteliti penulis, antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundangundangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya Isnaini ialah penelitian dengan menggunakan metode Yuridis Empiris, yakni dengan melakukan pendekatan empiris artinya hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau Das Sein, di Kota Magelang. 2. Penelitian yang dilakukan penulis juga mengkaji Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai penelitian lebih lanjut terhadap penelitianpenelitian yang sudah pernah dilakukan oleh Soraya Isnaini, maupun peneliti lainnya. D. Tujuan/Manfaat Penelitian Adapun tujuan penulisan tesis ini ialah :
7
1. Mengetahui dan menganalisis keotentikan dan akibat hukum dari SKMHT yang dibuat oleh notaris berdasarkan bentuk dan tata cara pengisian sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012. 2. Mengetahui dan menganalisis sinkronisasi hukum antara Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 dengan peraturan perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan Undang- undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penulisan tesis ini seyogyanya diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengembangan ilmu hukum, peraturan perundang-undangan, maupun peraturan-peraturan khususnya yang berkaitan dengan Notaris maupun PPAT. 2. Secara praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dan sebagai tambahan pengetahuan dalam pelaksanaan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris dan bermanfaat bagi penelitian-penelitian yang lebih mendalam di masa mendatang bagi pihak yang terkait, seperti mahasiswa hukum, notaris, institusi pemerintah dan lain-lain.