BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Atopi
Atopi berasal dari bahasa Yunani atopos yang memiliki arti “tidak pada tempatnya”, dan dapat digunakan untuk menggambarkan anak dengan penyakit yang diperantarai oleh IgE. Menurut World Allergy Organization (WAO), atopi adalah kecenderungan seseorang dan, atau keluarga terutama anak dan remaja menjadi tersensitisasi dan memproduksi IgE sebagai respons terhadap paparan alergen.13 Istilah atopi tidak dapat digunakan sampai terdokumentasi adanya sensitisasi IgE dengan pemeriksaan IgE serum dan uji tusuk kulit positif.14 Perkembangan penyakit yang berhubungan dengan atopi seperti dermatitis atopi, rinitis alergi, dan asma digambarkan dalam atopic march, dan dipengaruhi dengan kuat oleh faktor genetik dan lingkungan.13
2.2.
Alergi
Alergi adalah reaksi hipersensitifitas yang disebabkan oleh mekanisme imunologi. Alergi dapat terjadi karena terbentuknya antibodi. Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi alergi isotipe IgE yang disebut alergi yang telah dimediasi IgE.13 Patogenesis penyakit alergi terjadi respons imun secara langsung terhadap berbagai alergen. Kontak antara alergen dengan sistem imun
5 Universitas Sumatera Utara
dimulai dengan penangkapan alergen oleh antigen-precenting cells (APCs), terutama dendritic cells (DCs) yang memproses bahan antigenik dan dipresentasikan kepada sel lain dari sistem imun, khususnya CD4+ sel T helper (Th)2 yang menghasilkan sitokin (IL-4 dan IL-13) yang merangsang sel B untuk membentuk IgE.15 Penyakit alergi disebabkan aktivasi sel mast dan basofil, melalui alergen-spesifik IgE yang berikatan dengan reseptor FcεRI yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil, sehingga terjadi pelepasan histamin dan mediator lain, yang akhirnya terjadi manifestasi alergi.13
2.3
Manifestasi penyakit alergi
2.3.1 Dermatitis atopik Merupakan penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor herediter dan lingkungan. Gejala penyakit berupa eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus.16
2.3.2 Rinitis alergik Rinitis alergik hasil dari peradangan alergi di saluran pernafasan atas setelah terpapar alergen. Gejala rinitis alergik termasuk rhinorrhea, hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung dan mata serta bersin-bersin.14
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Asma Asma adalah gangguan heterogen yang ditandai oleh obstruksi jalan napas reversibel, hiperesponsif jalan napas dan peradangan saluran napas kronis. Asma sering dimulai pada anak usia dini dengan perkembangan menjadi dewasa. Asma bronkial didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis wheezing berulang, sesak napas, kadang batuk khususnya pada malam hari, bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan dalam 1 tahun terakhir, nyeri atau rasa tertekan pada dada dan sesak napas.13
2.4
Diagnosis penyakit alergi
Diagnosis penyakit alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan uji kulit.
2.4.1 Anamnesis Gejala rinitis alergik berupa rasa gatal dihidung dan mata, bersin, sekresi hidung,
hidung
tersumbat
dan
bernapas
melalui
mulut
sehingga
menimbulkan tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, suara sengau, gangguan penciuman dan pengecapan.14 Gejala asma bronkial mengi berulang dan batuk persisten yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.13 Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik meliputi pruritus dan
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan untuk menjadi kronik atau kronik residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas.16
2.4.2 Pemeriksaan Fisik Rinitis alergik terdapat karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face. Tanda klasik lain berupa mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Pada asma bronkial terjadi spasme otot bronkus, inflamasi, edema, dan hipersekresi sehingga menimbulkan retraksi dinding dada, mengi dan sianosis tergantung dari derajat serangan asma. Dermatitis atopik dijumpai berupa eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus, Morgan line, sindrom BuffedNail, serta hiperpigmentasi.17
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) Uji tusuk kulit untuk mengkonfirmasi respons alergi dan uji minimal invasif, bila dilakukan dengan benar memiliki reproduktifitas baik. Hal ini juga disukai karena hasil test dapat diinterpretasikan dalam waktu 15-20 menit setelah dilakukan uji tusuk kulit dan dapat memungkinkan evaluasi beberapa alergen dalam 1 sesi.18 Keberhasilan prediksi digambarkan sebagai positive value
Universitas Sumatera Utara
dan negative value, positive predictive value 65% dan negative predictive value
86%.
Analisis
sensitivitas
dan
spesifisitas
untuk
test
positif
menggunakan dua nilai berbeda dengan cut-off values (3 mm dan 5 mm).19 Uji tusuk kulit dengan sensitivitas 90%, merupakan test diagnostik untuk beberapa makanan termasuk susu, telur, kacang tanah terutama dengan gejala yang lebih berat. Individu yang telah tersensitisasi oleh alergen tertentu, pemberian sejumlah kecil alergen cair yang di suntikan dengan jarum pada epidermis superfisial fleksor lengan bawah, cukup untuk menyebabkan terjadinya reaksi sensitifitas berupa bengkak kemerahan yang terlihat 15- 20 menit sesudah pemberian alergen, yang dibandingkan dengan kontrol positif (1% Histamin) dan kontrol negatif (saline).18 Uji tusuk kulit dinyatakan positif jika suatu alergen mengakibatkan bengkak dan kemerahan dengan indurasi ≥ 3 m
m.19
Antihistamin dapat
mengurangi reaktivitas kulit, maka penggunaan obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji tusuk kulit, sedangkan obat kortikosteroid sistemik, dikarenakan pengaruhnya yang lebih kecil maka cukup hanya dihentikan selama 1 hari sebelum uji tusuk kulit dilakukan.18 Jenis alergen yang dibutuhkan untuk menguji tergantung lokasi geografis dan sejarah klinis. Alergen seperti tungau debu rumah, jamur, kecoa, kucing dan anjing diuji untuk rinitis alergik, serbuk sari dari pohon, rumput dan gulma sering menyebabkan rinitis alergik namun sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
wilayah geografis. Beberapa makanan yang menimbulkan reaksi alergi ≥ 85% termasuk susu sapi, telur, kacang tanah, kedelai, ikan dan kerang, coklat, jeruk, buah bery, dan jagung sering tercantum di panel alergen meskipun ini merupakan alergen makanan biasa.20
b. Pemeriksaan Laboratorium − Kadar IgE Total Serum Pemeriksaan kadar IgE total dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Selain pada penyakit alergi, peningkatan kadar IgE total dapat dijumpai pada penyakit infeksi parasit dan beberapa jenis penyakit imunodefisiensi. Kadar IgE dalam serum sangat rendah (dalam nanogram) oleh karena itu diperlukan tekhnik yang lebih sensitif untuk pemeriksaan kadar imunoglobulin yang lain.17
− Kadar IgE Spesifik Pemeriksaan kadar IgE spesifik dapat dilakukan dengan cara RAST (Radio allergosorbent test) yang merupakan uji kualitatif, ELISA (Enzymelinked immunosorbent assay), atau RAST enzim. Pemeriksaan kadar IgE spesifik digunakan untuk menguji antibodi terhadap antigen spesifik. Keuntungan pemeriksaan cara ini adalah tekhnik relatif mudah, hasilnya
Universitas Sumatera Utara
dapat diketahui segera (dalam beberapa jam), dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.18
− Hitung Eosinofil Total Pemeriksaan hitung eosinofil total untuk menunjang diagnosis serta evaluasi pengobatan penyakit alergi. Peningkatan hitung eosinofil yang moderat didapatkan pada penyakit alergi, investasi parasit, pajanan obat serta defisiensi imun.17
2.4.4. Kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Kuesioner ISAAC adalah kuesioner yang dibuat untuk memaksimalkan penelitian epidemiologi asma dan penyakit alergi lain dengan membentuk metodologi standar dan memfasilitasi kerjasama internasional. ISAAC dikembangkan dari penggabungan dua kolaborasi proyek multinasional, masing-masing menyelidiki variasi dimasa kecil asma pada tingkat populasi. Tujuan ISAAC adalah menjelaskan prevalensi dan keparahan asma, rinitis alergik dan dermatitis atopik pada anak-anak yang tinggal di tempat yang berbeda dan untuk membuat perbandingan didalam dan antar negara, mendapatkan langkah-langkah dasar untuk penilaian dimasa depan didalam prevalensi dan keparahan penyakit serta menyediakan kerangka kerja untuk
Universitas Sumatera Utara
penelitian lebih lanjut terhadap faktor perawatan gaya hidup, lingkungan, genetik, dan perawatan medis yang mempengaruhi penyakit ini.21
2.5
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit alergi
Beberapa faktor dikaitkan dengan peningkatan proses alergi untuk polusi lingkungan dan perubahan dalam populasi kebersihan, diet dan gaya hidup antara faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor ini secara praktis dapat diringkas dalam bentuk 2 kelompok besar, yaitu faktor yang berhubungan dengan penurunan beban mikroba dan faktor lain yang bersifat nonmikroba.22
Tabel 2.1. Faktor mikroba yang berhubungan dengan alergi dan atopi 22 − Faktor- faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan proses persalinan − Jumlah saudara kandung − Vaksinasi − Infeksi dan penggunaan antibiotik − Flora usus, prebiotik dan probiotik − Paparan hewan
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Faktor nonmikroba yang berhubungan dengan alergi dan atopi 22 − Riwayat keluarga (genetik) − Faktor hormonal − Jenis perawatan dan pengenalan makanan tambahan − Air susu ibu (ASI) atau susu formula dan waktu pengenalan makanan padat − Diet, obesitas, pola hidup yang kurang melakukan aktifitas fisik − Penyakit autoimun − Tingkat sosioekonomi dan gaya hidup barat − Tempat tinggal (perkotaan atau pedesaan) − Pencemaran lingkungan − Kondisi rumah (polusi dalam ruangan) − Paparan asap rokok − Faktor iklim − Stres 2.6
Leukemia
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sum – sum tulang yang ditandai oleh proliferasi sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel abnormal dalam darah tepi. Leukosit di dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur, tidak terkendali dan fungsinya menjadi tidak nomal. Oleh karena proses tersebut fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu sehingga menimbulkan gejala klinis leukemia. Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal mula gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik, morfologi dan
Universitas Sumatera Utara
kegagalan differensiasi terhadap sel normal. Klasifikasi imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukemia, ALL dalam precursor sel B atau leukemia sel T. Prekursor sel B termasuk CD19, CD20, CD22 dan CD79, sementara sel T membawa imunofenotip CD3, CD7, CD5 atau CD2. Petanda mieloid spesifik termasuk CD13, CD14 dan CD33.1 Penyebab leukemia masih belum diketahui, faktor lingkungan dan cacat genetik dihubungkan dengan peningkatan insidens leukemia, namun hal ini masih kontroversi. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak mengenai peranan infeksi virus atau bakteri seperti yang disebutkan Greaves tahun 1993, ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap infeksi. 1,23
2.7
Polimorfisme genetik
Gen dapat berpengaruh dalam proliferasi atau differensiasi dan disregulasi dalam leukemogenesis. Single Nucleotida Polimorpism (SNP) pada reseptor TLR2, TLR4, TLR6, TLR9, TLR10 dan CD14 dihubungkan dengan penyakit atopi dan leukemia. TLR2 merupakan protein pada manusia yang dikodekan oleh gen TLR2 yang ditetapkan sebagai CD282, TLR4 ditetapkan sebagai CD284, TLR6 ditetapkan sebagai CD286, TLR9 sebagai CD289 dan TLR10 ditetapkan sebagai CD290. Sedangkan CD14 merupakan co-reseptor dari
Universitas Sumatera Utara
TLR4, seluruh TLRs ini berperan sebagai pertahanan terhadap infeksi yang spesifik berbagai komponen mikroba.23 Haplotype-tagging Single nucleotide polymorphism pada TLR6
pada lokus 4p14 yaitu rs1039559, rs5743788,
rs5743810, rs6531666, rs5743798 dan berhubungan penyakit alergi dengan leukemia rs6531666 alel T/C dan rs5743798 alel C/T.7
2.8
Variasi genetik respons imunologi pada leukemia
Sebuah penelitian terbaru memberikan bukti bahwa variasi dalam interaksi gen dengan infeksi paparan lingkungan pada masa bayi untuk menentukan bentuk
sitokin
dari
respons
imun.
Gen
berperan
jelas
dalam
konteks hipotesis infeksi yang dikenal sebagai komponen penting dari pengkodean imunitas jaringan termasuk gen polimorfik Human Leukocyte Antigen (HLA) dalam Major Histocompatability Compleks (MHC) sitokin, kemokin dan reseptor-reseptornya. Pengetahuan tentang kekebalan sistem molekul dan teknologi genetika adalah sekarang cukup matang untuk diterapkan dengan prospek data yang berarti. Interleukin-12 (IL-12) memiliki peran penting dalam mengatur keseimbangan respons Th1 dan Th2, dengan respons mendukung aktivitas Th1. Oleh karena variasi alel pada gen IL12B yang berkaitan dengan rendah atau tinggi IL-12 dihubungkan dengan peningkatan risiko asma.24
Universitas Sumatera Utara
2.9
Hubungan penyakit alergi dengan leukemia
Teori hygiene hypothesis menyatakan infeksi diawal kehidupan anak untuk pengembangan imunologi normal dan kurangnya priming infeksi di awal kehidupan mengakibatkan respons imun abnormal terhadap infeksi di kemudian hari yang mengarah ke pengembangan leukemia.7 Variasi gen yang ditentukan beriteraksi dengan infeksi paparan lingkungan untuk menentukan bentuk sitokin dari respons imun.24 Hipotesis pemulihan infektif limfoid (the infective lymphoid recovery hypothesis) menganggap bahwa infeksi ringan pada awal kehidupan menimbulkan respons imun adaptif, sedangkan infeksi berulang pada anak menyediakan kondisi yang kondusif akumulasi mutasi onkogenik bekerja sama diperlukan untuk promosi Precusor B Cell-Acute Leukemia (PBC-AL).25 Penyakit atopik didominani sel Th2 yang penting untuk produksi IgE. Semua bayi yang dilahirkan didominasi oleh Th2, ditandai dengan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13. Pada usia 2 tahun bayi yang tidak atopik secara bertahap didominasi bentuk Th1 yang ditandai oleh IL-12, IL-18, IFN-ᵧ, TNFα, sedangkan bayi yang mengembangkan atopi gagal membentuk transisi Th2 ke Th1. Salah satu pendorong kekuatan transisi imun tubuh adalah paparan mikroba, yang menginduksi sel-sel imun bawaan seperti sel dendritik untuk menghasilkan sitokin yang penting untuk pengembangan respons Th1. Sel dendritik mengekpresikan TLRs dan rentan terhadap ligan, termasuk ransangan mikroba serta ligan endogen.
Ligan
untuk
TLR6
termasuk
Universitas Sumatera Utara
polypeptides
diacyl
dari
mycoplasma,
zymosan
dari
saccharomyces
cerevisiae dan lipoteichoic acid dari group B streptococci dan staphylococci. Produksi TNF-α yang ditimbulkan oleh zymosan dan bakteri gram positif dihambat TLR6 sebagai produksi dalam respons terhadap mikoplasma. Macrophage activating lipopeptide-2 dari fermentasi mycoplasma. Hal ini menunjukan bahwa gen TLR6 mengontrol differensiasi Th1, sedangkan tidak adanya TLR6 diperantarai signal menghasilkan respons Th2.7 Single nucleotide polymorphisms (SNPs) di TLR-2, TLR-4, TLR-6, TLR-9, TLR-10 dan cluster of differentiation 14 (CD14) telah dihubungkan dengan penyakit atopi. CD14 bertindak sebagai co-receptor bersama dengan TLR-4
untuk
mendeteksi
bakteri
lipopolisakarida.7
Single
Nucleotide
Polymorphisms (SNPs) terletak pada gen TLR6 yaitu haplotype-tagging rs6531666 dan rs5743789 meningkatkan risiko penyakit atopik dan berhubungan dengan risiko leukemia, rs5743789 dihubungkan dengan peningkatan mRNA.23,26 Variasi pada gen yang mengkode TLRs dan CD14 mengubah kemampuan dalam mengenali mikroba atau mengubah jumlah produksi gen yang menyebabkan respons imun tidak adekuat dan meningkatkan kerentanan untuk penyakit atopi. Variasi genetik dalam TLRs dapat mempengaruhi aktivasi sel T-reg yang bertanggung jawab untuk menekan respons Th2 dan untuk keseimbangan Th1 ke Th2. Sel T-reg dapat menjadi
Universitas Sumatera Utara
natural occurring T-reg dengan mengekpresikan foxp3 faktor transkripsi dan T-reg adaptif foxp3 (Tr1 dan Th3).
27
Foxp3 mempunyai peran sebagai faktor
perkembangan sel T-reg dan juga mengendalikan fungsinya. T-reg dapat mencegah reaksi imun yang terlalu aktif dengan menekan respons imun adaptif maupun bawaan yang berperan pada toleransi imun selanjutnya.28 Berkurangnya fungsi T-reg hasil dari peningkatan aktivitas Th1, Th2, dan Th17 yang dapat mengakibatkan hilangnya daya penekanan (suppressor) terhadap sel autoreaktif. Hilangnya suppressor terhadap sel yang autoreaktif dengan adanya respons imun berulang akan terjadi kelainan kromososm pertama dan secara cepat akan memperluas kelainan kromosom kedua yang mengarah ke perkembangan leukemia.23
2.10
Beberapa faktor berhubungan penyakit alergi dengan leukemia
2.10.1 Terpapar hewan peliharaan dan peternakan Profil sitokin saat lahir dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk genetik seorang anak, genetik ibu, dan paparan didalam rahim dan berbagai faktor lingkungan.29
Peningkatan aktivitas Th1 dan peternakan dihubungkan
dengan aktivitas meningkatnya Th2. Paparan lingkungan memodulasi fungsi kekebalan tubuh anak sehingga berinteraksi dengan terpapar infeksi diawal kehidupan untuk menentukan risiko terjadinya leukemia. Faktor lingkungan
Universitas Sumatera Utara
dan genetik mempengaruhi pengembangan atopi. Paparan mikroba yang meningkat dapat memberikan efek perlindungan pada atopi dengan TLRs mengikat endotoksin mikroba dan akan mengaktifkan sistem imun tubuh.25 Teraktivasinya TLR akan memproduksi Nf-kB yang merupakan faktor transkripsi yang memediasi sinyal antiapoptotic dalam beberapa sel kanker. Myelin Basic Protein Gene digunakan sebagai substrat selama induksi apoptosis pada sel leukemia. 30
2.10.2 Urutan kelahiran Modulasi sistem imun anak dapat terjadi di dalam rahim dan akan dipengaruhi oleh status atopi ibu. Status atopi ibu telah terbukti menjadi prediktor positif status atopi pada anak.29 Urutan kelahiran meningkat telah dihubungkan dengan penurunan risiko alergi dan leukemia, dan hubungan ini telah dijelaskan dalam konteks "hygiene hypothesis".23 Paparan ransangan mikroba dapat menginduksi sistem imun pada masa bayi, jika terinfeksi kembali dikemudian hari menyebabkan respons imun yang hiperaktif sehingga mengakibatkan stress proliferatif yang akan terjadi mutasi sel limfosit B dan akan mengkonversi sel preleukemia menjadi leukemia.30
Universitas Sumatera Utara
2.10.3 Jumlah Saudara Kandung Strachan, dalam konteks hipotesis higiene melaporkan adanya suatu hubungan
yang
terbalik
antara
jumlah
anggota
keluarga
dengan
berkembangnya kelainan atopi.29 Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran. Oleh karena itu toleransi imun maternal yang ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk respons atopi pada anak sehingga penurunan IgE serum pada tali pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang hidup, hal ini dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE maternal.31
Universitas Sumatera Utara
2.11
Kerangka Konseptual Berkurangnya terpapar hewan peliharaan dan peternakan, jumlah saudara kandung dan urutan kelahiran
Berkurangnya paparan mikroba dan endotoksin
Tidak terjadi Perubahan Th2 ke Th1
↑Th2/Treg dan ↓Th1/TLRs ↑fungsi polymorphisms
Aktif limfosit B
Sel preleukemia
Peningkatan produksi IgE
Leukemia
Genetik
Riwayat keluarga
Atopi
Pemeriksaan uji tusuk kulit
Manifestasi alergi
yang diamati dalam penelitian Gambar 2.1.Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara