BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN, PENGHENTIAN PENYIDIKAN, KOORDINASI, TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1 Pengertian Penyidikan Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun 1989, halaman 837, menyatakan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian tindakan yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.17 Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia ).18 Menurut R.Tresna, menyidik (opsporing) berarti Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat untuk itu ditunjuk oleh Undang-Undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.19 Pasal 1 butir 2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta 17.
Harun M. Husein, Op.cit, hlm 1. Andi Hamzah , 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 118. (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II). 19. R. Tresna, 1957, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, Paramita, Jakarta, hlm.72. 18.
23
24
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah “setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana itu benar-benar telah terjadi”20 Menurut Adami Chazawi dalam bukunya hukum pidana materiil dan formil korupsi di Indonesia, dari rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP dapat diperinci unsur-unsur pengertian penyidikan itu sebagai berikut : 1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai kegiatan atau pekerjaan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan atau yang satu merupakan lanjutan dari yang lainnya. Misalnya kegiatan memanggil saksi untuk menghadap penyidik yang didahului oleh membuat surat panggilan, dilanjutkan memeriksa saksi, kemudian memanggil tersangka atau menghadap secara paksa dengan menangkap, selanjutnya memeriksa tersangka, memberkas hasil pemeriksaan dan seterusnya. 2. Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh penjabat publik yang disebut dengan penyidik menurut Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “ Penjabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Penjabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan. 3. Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur menurut Undang-undang. 4. Tujuan dari penyidikan ialah untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Jadi, tujuan terakhir dari penyidikan adalah terangnya tindak pidana yang terjadi dan diketahui siapa pelakunya.21 Sebelum suatu penyidikan dimulai terlebih dahulu perlu di tentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan
20.
Hartono, 2010, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.hlm. 32. 21 Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. hlm.406. (selanjutnya disingkat Adami Chazawi II).
25
bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.22 Pada tindakan peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana. Penyidikan dititik beratkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.23 Hampir tidak ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, menurut M. Yahya Harahap terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut yaitu :24 1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik 2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP tentang perintah penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya. Tugas pokok Kepolisian diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian adalah: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. Menegakkan hukum, dan 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 22.
Harun M. Husein, Op. cit., hlm 87. M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm 109. 24. Ibid. 23.
26
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 ditentukan bahwa “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dalam penjelasan Pasal 14 ini dijelaskan, ketentuan KUHAP yang memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga Kepolisian secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 adalah dasar hukum Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. 2.2 Pengertian Penghentian Penyidikan dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Terdapat kemungkinan pada setiap penyidikan perkara pidana penyidik menemukan jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan, dalam situasi demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan, kewenangan tentang penghentian penyidikan ini diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP namun, KUHAP tidak merumuskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan melainkan hanya memberikan perumusan tentang penyidikan saja. Selain itu pengaturan tentang tata cara penghentian penuntutan diatur dengan lebih rinci dan jelas, sedangkan mengenai penghentian penyidikan pengaturannya tidak lengkap.
27
Menurut Harun. M. Husein penghentian penyidikan adalah : Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa yang diduga dan menentukan pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.25 Setiap proses dalam penyidikan, penyidik memiliki kewajiban untuk memberitahukannya kepada penuntut umum. Begitu pula ketika dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib memberikan pemberitahuan kepada penuntut umum. Hal ini tercantum dalam KUHAP Pasal 109 ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.” Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).26 Penyidik wajib memberikan pemberitahuan penghentian penyidikan kepada pihak yang berwenang seperti :27 a. Jika yang melakukan penghentian itu penyidik Polri pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada Penuntut Umum dan atau keluarganya. b. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil pemberitahuan penghentian harus segera disampaikan kepada penyidik Polri sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan dan Penuntut Umum.
25.
Harun M. Husein, Op. cit, hlm. 311. Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 54. 27. M. Yahya Harahap, Op. cit. hlm. 154. 26.
28
Bahkan jika bertitik tolak pada angka 11 Lampiran Kep. Menkeh No. M.14PW.03/1983,
pemberitahuan
penghentian
penyidikan
juga
meliputi
pemberitahuan kepada Penasehat Hukum dan saksi pelapor atau korban.28 Untuk setiap penghentian penyidikan yang dilakukannya, penyidik yang berwenang wajib mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi yang dimaksud dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana. 2.3 Pengertian Koordinasi Malayu S.P Hasibuan berpendapat bahwa : “Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi.”29 Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatankegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.30 Menurut James AF Stoner “Koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif.” Sedangkan menurut G. R. Terry dalam bukunya, Principle of Management yang dikutip Handayaningrat, “Koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron atau teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat 28.
Ibid. Malayu S.P Hasibunan, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian, Dan Masalah, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.85. 30. T. Hani Handoko, 2003, Manajemen Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta, hlm.195. 29.
29
dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.”31 Selanjutnya menurut Handayaningrat koordinasi memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Koordinasi adalah dinamis, bukan statis. 2. Koordinasi menekankan pandangan menyeluruh oleh seorang manajer dalam kerangka mencapai sasaran. 3. Koordinasi hanya meninjau suatu pekerjaan secara keseluruhan. Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dengan koordinasi ini diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih.32 Berdasarkan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan koordinasi adalah bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerjasama dengan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi. 2.4 Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Pengertian tindak pidana korupsi berasal dari kata “tindak pidana” dan “korupsi”. Pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan secara rinci mengenai
31.
Soewarno Handayaningrat, 2002 Pengantar Studi Administrasi Dan Management, Gunung Agung, Jakarta, hlm.54. 32. Ibid.
30
strafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda Straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit.33 Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagai dari kenyataan”, sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan, atau tindakan.34 Menurut Sudarto, istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan perbuatan pidana, perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan.35 Perbuatan tersebut menunjuk kepada akibat maupun yang menimbulkan akibat. Jadi mempunyai makna abstrak yakni menunjukkan dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Menurut R. Tresna sebagaimana dikutip oleh Guse Prayudi, menggunakan istilah
peristiwa
pidana
sebagai
terjemahan
dari
strafbaarfeit
dan
mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan penghukuman.36
33.
Osman Simajuntak, 1995, Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum, Gramedia Widiasarana, Jakarta, hlm. 29. 34. Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5. 35. Sudarto, 1990, Hukum Pidana Jilid I A Dan I B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm 35. 36. Guse Prayudi, 2010, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek, Pustaka Pena, Yogyakarta, hlm 5.
31
Istilah “Tindak Pidana” juga yang dipakai dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini terlihat dari judul Undang-undang tersebut yakni Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dilihat dari rumusan Pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk atau kualifikasi dari perbuatan korupsi yang dinyatakan sebagai tindak pidana. Dengan demikian tindak pidana korupsi merupakan istilah yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk mengkualifikasikan berbagai bentuk perbuatan terlarangnya yang bersifat koruptif.37 Menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti penyuapan. Kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpore yang berarti merusak, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti dalam bahasa Inggris
(corruption, corrupt)
Perancis (corruption) dan Belanda
(corruptie).38 Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.39 Definisi lain yang menurut A.S Hornby mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the
37.
Ibid.hlm.6. Andi Hamzah I, Op.cit. hlm.4. 39. Andi Hamzah , 1991, Korupsi Di Indonesia, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.7. (selanjutnya disingkat Andi Hamzah III). 38.
32
offering
and
accepting
of
bribes),
serta
kebusukan
atau
keburukan
(decay).40sedangkan David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.41 Definisi
korupsi
yang
berkaitan
dengan
konsep
jabatan
dalam
pemerintahan terlihat di dalam karya tiga pengarang sebagai berikut yaitu : 42 1. Menurut Barley, perkataan “korupsi“ dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 2. Menurut M.Mc.Mullan, seseorang pejabat pemerintah dikatakan “ korup “ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya, padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. 3. Menurut J.S.Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajibankewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi atau pencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya.43
40.
A.S. Hornby, et.al., 1963, The Advanced Leaner’s Dictionary Of Current English, Oxford University Press, London, hlm.218. 41. David M. Chalmers, 1975, Encyclopedia Americana, Americana Corporation,New York, hlm.22. 42. Mochtar Lubis Dan James C.Scott, 1977, Bunga Rampai Karangan-Karangan Etika Pegawai Negeri, Bharata Karya Aksara, Jakarta, hlm.52 43. Muzadi, Loc. cit.
33
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Soedarsono menyimpulkan bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain.44 Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” dan Korupsi menurut Pasal 3 UndangUdang No. 31 Tahun 1999 adalah “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri
sendiri
atau
orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila pengertian tindak pidana dihubungkan dengan pengertian korupsi, maka Tindak Pidana Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-udang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu merupakan perbuatan-perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, dan lain-lain. a. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
44.
Poerwadarminta, Loc.cit.
34
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto
Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 menentukan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 di atas adalah sebagai berikut : a. Unsur setiap orang b. Unsur perbuatan melawan hukum c. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi d. Unsur yang (dapat) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menentukan bahwa : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
35
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 di atas adalah sebagai berikut : a. Unsur setiap orang b. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi c. Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan d. Unsur yang (dapat) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan dari masing-masing unsur-unsur tersebut adalah : a. Unsur setiap orang Adapun yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah menunjuk kepada subyek atau pelaku pada tindak pidana korupsi.Subyek atau pelaku pada tindak pidana korupsi adalah orang perseorangan atau korporasi. b. unsur perbuatan melawan hukum Dalam perundang-undangan unsur melawan hukum ini disebut dengan bermacam-macam istilah, seperti yang dijelaskan oleh Jonkers bahwa unsur sifat melawan hukum biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum” (wederechtelijke), tetapi disana sini Undang-undang mempergunakan istilahistilah lain, seperti dengan tidak berhak, tanpa izin, dengan melampaui
36
kekuasaannya, tanpa memperhatikan cara yang ditentukan dalam Undang-undang umum.45 Melawan hukum menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (sifat melawan hukum formal dan materil dalam fungsi positif). c. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Adapun perbuatan menurut unsur ini adalah: 1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung. 3. Memperkaya korporasi, artinya mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu
45.
hlm 105.
Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta,
37
kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.46 Dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, indikator “memperkaya” tidak termuat dalam penjelasan Pasal akan tetapi termuat dalam ketentuan aturan materiil yakni dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (2)
tersebut menyatakan : Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian dapat dikonstruksikan indikator untuk adanya “memperkaya” adalah dengan melihat ketidakseimbangan antara penghasilan atau sumber penambahan kekayaan terdakwa dengan kekayaannya.47 d. Unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Unsur merugikan keuangan negara berarti mengurangi atau mengganggu keuangan negara atau perekonomian negara. Merugikan perekonomian negara berarti mengurangi atau mengganggu kehidupan yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah
46.
Darwan Prints, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 31. 47. Guse Prayudi. Op.cit, hlm. 83.
38
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan artinya adalah menunjuk kepada subyek/pelaku tindak pidana korupsi. Adapun perbuatan yang dilakukan adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. 2.5 Kedudukan KPK Sebagai Lembaga Penyidik Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya
melakukan
kordinasi
dan
supervisi,
termasuk
melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Kriteria tindak pidana korupsi dimana KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang :
39
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah). Jika ternyata dalam perjalanan terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti lembaga Kepolisian dan Kejaksaan. Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang : a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar negeri c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka terdakwa atau pihak lain yang terkait. e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan ,transaksi perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di periksa. h. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. i. Meminta bantuan Kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dari uraian kewenangan di atas, terlihat bahwa Undang-Undang No.30 Tahun 2002
memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
40
penyidik KPK jika dibandingkan dengan penyidik Kepolisian dan Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan besarnya tugas yang diemban oleh KPK seiring dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia, sementara institusi Kepolisian dan Kejaksaan dinilai kurang efektif dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya KPK berpedoman pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 serta KPK juga tidak lepas dari pengaturan sebagai mana diatur oleh KUHAP. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa : (1)Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyelidikan , dan penuntutan yang diatur dalam Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. (2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang ini. Selain KUHAP dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya KPK juga mengacu pada pengaturan yang ada didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini dijelaskan dalam Pasa1 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 bahwa : Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 hahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Berlakunya beberapa Undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum
41
atau tumpang tindih peraturan perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex generalis derogat lex specialis, dimana ketentuan hukum yang khusus akan menyampingkan hukum yang umum, jadi dalam melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain yang diatur oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Salah satu perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah pengaturan dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan “Komisi pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.