64
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERKAIT PENYITAAN, ASET, TINDAK PIDANA, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG
2.1. Pengertian Fungsi, KPK, Penyitaan, Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang 2.1.1. Pengertian Fungsi Secara arti kata (etimologi) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa "fungsi berarti jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, menjalankan tugasnya sebagai........".72 Dengan arti fungsi sebagai jabatan atau pekerjaan dalam menjalankan tugasnya, jelas disini ada subyek yang menjalankan tugasnya atau suatu fungsi diemban oleh subyek dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku jabatan yang diberikan oleh undang-undang. KPK karena fungsinya mengemban tugas seperti menyidik, menuntut, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi KPK selaku badan independen dalam mewakili negara, dan selaku pembantu penegak hukum mengemban fungsi untuk melakukan proses hukum dalam peradilan pidana bersama penegak hukum lainnya yang ada sesuai komponen sub-sub unsur strukture dalam sistem peradilan pidana yang ada di
72
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hlm: 281.
64
65
Indonesia (Integrated Criminal Justice System) atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
2.1.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi untuk selanjutnya disingkat KPK. Pengertian KPK dapat ditemukan melalui rumusan Pasal 3 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK seperti tersurat “KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Perumusan Pasal 3 tersebut diatas lebih rinci dijelaskan pula melalui penjelasan pasal demi pasanya seperti : “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. Maka dapat ditarik unsur-unsur selaku pembangun sebagai komponen KPK dari pengertian atau esensi KPK adalah adanya : lembaga negara, diberi tugas dan wewenang atas dasar Undang – Undang secara kewenangan atributif oleh Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bersifat independen, berarti bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif, secara individual maupun kelembagaan khusus dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
66
2.1.3. Penyitaan Pengertian penyitaan dapat dipahami dan dipetik melalui rumusan Pasal 1 angka 16 KUHAP, seperti dirumuskan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Unsur – unsur yang terkandung dari pengertian penyitaan adalah seperti : adanya serangkaian tindakan hukum oleh penyidik (dalam hal ini penyidik pada KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002, untuk berada di bawah penguasaannya, terhadap kualifikasi barang dalam berbagai jenisnya, untuk kepentingan pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi. Secara lebih jelas lagi bahwa penyidik dimaksud disini terkait dengan tugas dan wewenangnya dalam melaksanakan penyitaan seperti tersebut dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah penyidik sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 yakni penyidik KPK. Bahkan sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 dirumuskan “Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa ijin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya”. Dapat ditekankan bahwa tugas penyidik KPK salah satunya dalam melakukan tindakan upaya paksa adalah dapat menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan tindakan penyitaan.
67
2.1.4. Pengertian dan Makna Aset Secara arti kata (etimologi) kata aset dalam istilah bahasa Inggris “asset”, berarti “harta” yang dimiliki dan mempunyai nilai73. Sedangkan aset menurut menurut kamus Indonesia diartika sebagai “modal, kekayaan”74 Maka arti kata aset dapat diinterprestasikan mengandung arti sebagai “kekayaan” seperti tersurat secara etimologi dan ketika dipersamakan dengan perumusan pengertian yang tertuang dalam Pasal 13 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat TPPU), kalau dipersamakan istilah aset tersebut dinyatakan sebagai “harta kekayaan”. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU dinyatakan bahwa “harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”. Secara prinsip bahwa aset merupakan wujud dari harta kekayaan yang dapat atau sebagai obyek tindakan hukum dilakukan penyidik KPK berupa menyita atau diambil alih untuk sementara waktu dibawah penguasaannya guna keperluan proses peradilan pidana khususnya untuk pembuktian.
2.1.5. Arti Tindak Pidana Korupsi Istilah tindak pidana berasal dari istilah Belanda yaitu "strafbaar feit". Strafbaar feitterdiri atas 3 kata yaitu "straf”yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata "baar" diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sedangkan "feit" 73
Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publishing, Jakarta, hlm. 15 74 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op Cit, hlm. 60
68
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,pelanggaran,
dan perbuatan. Secara
literlijk kata "straf”berarti pidana,kata "baar" artinya dapat atau boleh, dan "feit" berarti perbuatan.75 Terhadap pengertian tindak pidana, terdapat dua aliran yang berkembang yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Parndangan monistis melihat bahwa keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Sedangkan pandangan dualistis memisahkan antara pengertian "perbuatan pidana" (criminal act) dengan "pertanggungjawaban pidana" (criminal responsibility atau criminal liability). Berikut pengertian strajbaar feit menurut pendapat para sarjana menganut pandangan monistis antara lain : 1. Wirjono
Prodjodikoro,
menyatakan
bahwa tindak
pidana
itu
adalahperbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana76 2. Simons, merumuskan strafbaar feitadalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan
sengaja
telah
dilakukan
oleh
seseorang
yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.77 Sedangkan
pengertian
strafbaar feitmenurut
para
sarjana
yangmenganut pandangan dualistis antara lain :
75
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm : 69. 76 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, hlm. 50. 77 Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, terjemahan P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, hlm. 127.
69
1. Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.78 2. Pompe yang merumuskan strafbaar feitadalah suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feitadalah suatu kelakuan tindakan manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. 4. R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman79
Mengenai
unsur-unsur
tindak
pidana,
penulis
akan
membandingkanpendapat dari Simons sebagai penganut aliran monistis dengan pendapatdari Moeljatno yang menganut pandangan dualistis. Dari pendapat Simonsmengenai pengertian strafbaar feit dapat ditarik unsur-unsur dari strajbaar feit yang dapat digolongkan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif antara lain: a. orang yang mampu bertanggung jawab;
78 79
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 55. Adami Chazawi, Op. Cit. hlm. 72.
70
b. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan "kesalahan" yang berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan saat mana perbuatan dilakukan.
Unsur objektif antara lain : a. perbuatan orang; b. akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c. mungkin aaa Keadaan tertentu yang rnenyertai perbuatan itu.
Sedangkan
penganut
pandangan
dualistis
adalah
Moeljatnoyang
memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukanperbuatan. Adapun unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatnoadalah : a. perbuatan manusia; b. memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. bersifat melawan hukum (syarat materiil).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penganut monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur mengenai diri orangnya bagi penganut dualistis yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut pandangan monistis syarat dipidannya itu juga termasuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.
71
Antara kedua pandangan tersebut menurut Soedarto adalah samabenarnya dan tidak perlu dipertentangkan.80 Pandangan tersebut dikarenakan adanya sudut pandang yang berbeda. Pandangan dualistis barangkat dari sudut abstrak, yaitu memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu terjadi (konkrit), baru melihat pada orangnya. Bila orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan karena perbuatannya itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana. Sedangkan aliran monistis memandang dari sudut pandang konkrit, bahwa strafbaar feittidak bisa dipisahkan dengan orangnya. Dalam strafbaar feitselalu ada si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Secara terminologis, korupsi berasal dari kata "corruptio" atau "corruptus" dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.81 Disebutkan pula bahwa corruptionberasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Selanjutkan dari bahasa Latin itu turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption, corrupt: (Inggris), corruption(Perancis). dan Belandayaitu corruptie
80 81
Andi Hamzah (I), 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69. Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum (Terjemahan), Bina Cipta, Bandung, hlm : 73
72
(korruplie).
Bahasa Belanda inilah yang turun ke dalambahasa Indonesia yaitu
"korupsi"82 Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan negara. Menurut Henry Campell Black, mengartikan korupsi sebagai "an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others" (terjemahan bebasnya : sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajibanresmi dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk juga pengertain "corruption" menurut Black adalah perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatukeuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.83 Dalam Webster's New American Dictionary, kata "corruption" diartikan sebagai "decay" (lapuk), "contamination" (kemasukan sesuatu yang merusak", dan "impurity" (tidak murni). Sedangkan kata "corrupt" dijelaskan sebaga "to became rotten or putrid" (menjadi, busuk, lapuk, dan buruk), juga "to induce decay in something originally clean and sound" (memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus).84
82
Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Ed. Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4. 83 Septa Candra, 2012, "Hukum Pidana Dalam Perspektif"(dalam : Agustinus Pohan dkk (ed); Tindak Pidana Korupsi : Upaya Pencegahan dan P'emberantasan, Pustaka Larasan, Jakarta, hlm. 106. 84 A. Mariam Webster, 1985, New International Dictionary, G & C Marriam Co. Publishers Springfield Mass, USA, hlm. 79
73
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikansebagai perbuatan yang buruk seperti penggeiapan uang, penerimaansogokan, dan sebagainya.85Sedangkan menurut Sudarto, istilah korupsiberasal dari kata "corruption", yang berarti kerusakan. Brooks, sebagaimana dikutip oleh Alatas memberikan perumusan korupsi yaitu dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.
2.1.6. Pencucian Uang Sesuai ketentuan perumusan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (yang disingkat dengan TPPU), menyuratkan : “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang – undang ini”. Tampak unsur – unsur dari pengertian pencucian uang adalah : adanya perbuatan, adanya tindak pidana, dan sesuai dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 2010. Jadi definisi atau pengertian secara spesifik dari pencucian uang tersebut tidak ada ditemukan menurut perundang-undangan, namun secara doktrin menurut Sutan Reni Sjahdeini yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering adalah :
85
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 128.
74
“Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal – usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadpa tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal”.86
Dalam unsur tindak pidana yang dimaksudkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut dimaksudkan adalah menunjuk pada rumusan delik yang tersurat dalam Pasal 3 UU TPPU tersebut. Pasal 3 menyuratkan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah : “Setiap orang yang menempatkan,
mentrasfer,
mengalihkan,
membelanjakan,
membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh miliar rupiah). Jenis tindak pidana yang dimaksud menurut rumusan delik diatur diatas merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi, b. Penyuapan, c. narkotika, d. psikotropika, e. penyelundupan, tenaga kerja, f. ... dan seterusnya sampai z. 86
Sutan Remy Sjahdeini, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, PT. Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, hlm. 1
75
2.2. Landasan Yuridis Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Beberapa Perundang-Undangan Pidana Indonesia Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ay at (1) KUHP merumuskan bahwa setiap penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Pedoman asas legalitas untuk menentukan suatu tindak pidana adalah hal yang mutlak. sehingga dapat menghindari penyimpanganpermmpar.gan dalarn ha! penerapan suatu sanksi hukum. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana karena di dalamnya berisi rumusan tentang perbuatan yang dilarang serta adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar perbuatan tersebut. Rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi pembuatnya tunduk pada asas legalitas, sehingga keduanya mesti ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pembagian hukum pidana berdasarkan atas sumbernya dibedakan menjadi 2 yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat ataubersumber pada kodifikasi (KUHP). Hukum pidana khusus yaitu hukumpidana yang bersumber pada ketentuan perundang-undangan diluar KUHP. Dalam sumber hukum pidana khusus ini dibedakan atas 2 kelompok yaitu : 1. Kelompok peraturan perundang-undangan hukum pidana (ketentuan atau isi peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang hukum pidana) contohnya seperti Undang-Undang Korupsi, Narkotika, Terorisme, dan lainlain.
76
2. Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dalam bidang hukum pidana, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan pidana, seperti undang-undang lingkungan hidup, pasar modal, hak cipta, dan lain-lain.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan "dengan biasa" tetapi dituntut dengan cara-cara yang luar biasa.87 Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 1. Korupsi di Indonesia sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dalam pemberantasan KKN. 2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelarangan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. 3. Kebocoran APBN selama 4 Pelita sebesar 30% telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh sehingga melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara. 4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskrimintaif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa 5. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta yang justru merupakan jenis korupsi yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik.88
87
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 28. 88 Ibid, hlm. 29 – 30
Korupsi
Bersama
Komisi
77
Jika ditelaah dari sudut pandang doktrina, Romli Atmasasmita berpendapat: "Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia".89
Ketentuan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam hukum pidana umumberlaku secara umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan hukum pidana khusus lebih mengatur mengenai kekhususan subjek serta perbuatan yang khusus dalam hukum pidana. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Adapun perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia antara lain :
2.2.1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam perkembangannya ancaman sanksi pidana terkait tindak pidana korupsi telah ada sejak dulu. Sebagai suatu tindak pidana yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat 13 pasal yang mengatur tentang tindak pidana umum yang termasuk tindak pidana korupsi yaitu : 89
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Pranada Media Group, Jakarta, hlm. 17
78
a. Kelompok tindak pidana penyuapan yang terdiri dari Pasal 209, 210,418, 419, dan Pasal 420 KUHP. b. Kelompok tindak pidana penggelapan yang terdiri dari Pasal 415,416,dan Pasal 417 KUHP. c. Kelompok tindak pidana kerakusan yang terdiri dari Pasal 423
danPasal
425 KUHP. d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.90
Adapun ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan beberapa pasal dalam KUHP yang tergolong dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: - Pasal 209 : ancaman pidananya paling lama adalah dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. - Pasal 210 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun. - Pasal 387 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun. - Pasal 388 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun. - Pasal 415 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun. - Pasal 416 : ancaman pidananya paling lama adaiah ernpai tahun. - Pasal 417 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun enambulan. - Pasal 418 : ancaman pidananya paling lama adalah enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. - Pasal 419 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun.
90
Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Rajawali Pers., Jakarta, hlm. 26 – 27
79
- Pasal 420 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan tahun - Pasal 423 : ancaman pidananya paling lama adalah enam tahun. - Pasal 425 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun. - Pasal 435 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan bulanatau pidana denda paling banyak delapan belas riburupiah.
Seperti adanya pengaturan menyangkut tindak pidana korupsi dalam KUHP sebenarnya tidak diperlukan lagi peraturan perundang-undangan mengenai korupsi, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP dirasa tidak mampu mewadahi perilaku masyarakat yang kian koruptif sehingga perlu dibentuk hukum pidana yang progresif dan dinamis mewadahi secara khusus tindak pidana korupsi.
2.2.2. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 Dalam konsideranya menyatakan bahwa maksud dan tujuan dibentuknya Peraturar, Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 adalah kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah. Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula peraturan perundangundangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan
mengenai
korupsi
menurut
Peraturan
Nomor : Prt/PM-06/1957dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
Penguasa Militer
80
1) Tiap
perbuatan
kepentingan
yang
sendiri,
dilakukan untuk
oleh
siapapun
kepentingan
juga
orang
baik
untuk
lain,
atau
untukkepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara. 2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang penilikan hartabenda yang dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan pcraruran ini penguasa milker berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.91 Oleh karena itu, sebagai dasar hukum bagi penguasa militer melakukan penyitaan terhadap harta benda yang asal mula diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, maka dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-011/1957 pada tanggal 1 Juli 1957.
91
Ibid, hlm. 29
81
Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun1957 tentang Keadaan Bahaya maka ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat.
2.2.3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958,
tentang
Pengusutan,
Penuntutan
dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958). Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan perbuatan korupsi lainnya. 1) Perbuatan korupsi pidana,
yang dimaksud dengan perbualan korupsi pidana
adalah : a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggorann dari masyarakat. b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lainatau
suatu
badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
82
c. Kejahatan-kejahatantercantum dalam Pasal 41 sampai 50Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2) Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbuatan korupsi lainnyaadalah : a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara
atau
daerah
atau
badanhukum
lain
yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggoran dari masyarakat. b. Perbuatan
seseorang.
yang
dengan
atau
karena
melakukan
suatuperbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lainatau
suatu
badan
dan
yang
dilakukan
dengan
menyalahgunakanjabatan atau kedudukan.
Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
:
Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut dibentuk Peraturan Penguasa Perang Militer Angkatan Laut Nomor :Prt/zl/17
tanggal
17 April 1958 yang perumusannya sama denganperaturan penguasa perang sebelumnya.92
92
Ibid, hlm. 31
83
2.2.4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentng Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor : 72Tahun 1960) Istilah tindak pidana korupsi untuk pertama kalinya dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adalah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentangPengusutan, Penuntutan,
Pemeriksaan
Tindak
Pidana
Korupsi.
Dalam konsideran
peraturan ini pada butir a disebutkan : "Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberanras perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi".
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Adapun hal-hal yang baru diatur dalam undang-undang ini adalah menyangkut beberapa hal yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang korupsi sebelumnya, diantaranya adalah : 1) Delik percobaan dan delik permufakatan. 2) Delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri. 3) Kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. 4) Pengertian pegawai negeri lebih diperluas.
84
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 terdapat beberapa perubahan pada unsur "karena rnelak.uk an perbuatan melawan hukum" diganti dengan unsur "melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran" serta perubahan kata "perbuatan" menjadi "tindakan". Dalam pelaksanaannya upaya pemberantasan korupsi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tidak menunjukkan efektivitas yang diharapkan. Salah satunya adalah karena masih sulit untuk membuktikan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kejahatan atau pelanggaran. Akibatnya banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara sulit dipidana berdasarkan undang-undang ini. Atas dasar alasan tersebut di atas serta perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat, maka pemerintah memandang perlu adanya pembaharuan terhadap hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960.
2.2.5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Konsideran undang-undang ini memaparkan bahwa latar belakang pembentukan undang-undang ini adalah untuk menanggulangi masalah korupsi. Perbuatan
korupsi
sangat
merugikan
keuangan
negara
danmenghambat
pembangunan nasional, sementara undang-undang sebelumnya kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi. Maka dari itu perlu adanya pembaharuan hukum pidana terkait pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni
85
melalui
pembentukan
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1971
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan sebagaimana tersebut di atas, mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaanberupa
patut
disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomiannegara, sudah dapat menjerat pelaku.93 Sebagai
suatu undang-undang
yang menjadi
landasan
dalam
penegakan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi, tidak dapat r dipungkiri
bahwa Undang-Undang Nomor
3
Tahun
1971
tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi masih memiliki kelemahan serta kekurangan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun beberapa yang dianggap sebagai kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya ketegasan mengenai rumusan delik tindak pidana sebagai delik formal. 2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai ancaman pidana yangdapat diterapkan terhadap suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana. 3. Terkait sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari) sehingga menimbulkan ketidakleluasaan bagi jaksa dalam penuntutan.94
93
Ibid, hlm. 38 Ibid, hlm. 396
94
86
Sebagai
upaya
untuk
menyempurnakan
landasan
hukumdalam
pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan adanya pembaharuan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi yakni dengan membentuk undang-undang yang lebih baik dari undang-undang sebelumnya. Kehadiran undang-undang korupsi yang baru bukan saja sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi agar menimbulkan efek jera serta juga dapat sebagai upaya pencegahan. Atas dasar hal tersebut, dibentukalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
2.2.6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku hingga saat ini telah banyak mengalami penyempurnaan dari undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia. Tujuan pemerintah dari pembuat undang-undang melakukan revisi ataumengganti produk legislatif tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan
87
alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat meit.pas>:art dinnya dari jeratan hukum.95 Adapun beberapa hal penting yang merupakan pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain : 1. Dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugiankeuangan
negara
tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadapterdakwa. 2. Diterapkannya
konsep
ajaran
melawan
hukum
materiil
(materiele
wederrechtelijkheid) dalam fungsinya secara positif. 3. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan. 4. Adanya penambahan dalam pidana tambahan terkait uang pengganti. 5. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi criminal yang dapat diberlakukan keluar batas teretorial Indonesia. 6. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau "balanced burden of proof " dalam Pasal 37 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. 7. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum. 95
Chaerudin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Korupsi, Refika Aditama, Bandung, hlm. 5
Penegakan Hukum Tindak Pidana
88
8. Diintroduksinya ancaman pidana mati sebaai unsur pemberatan. 9. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan (Joint investigation teams) dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi jaksa agung. 10. Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan. 11. Adanya
pengaturan
tentang
peran
serta
masyarakat
sebagai
saranakontrol sosial yang dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif. 12. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat indipenden. 13. Adanya pengakuan yang secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai "extra ordinary crime" yakni kejahatan yang pemberantasannya hams dilakukan secara luar biasa. 14. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. 15. Penganutan sistem pembalikan
beban pembuktian
(omkering van de
bewijslast)secara terbatas. 16. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dariinformasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secaraelektronik.
89
Tinjauan segi yuridis, pembaharuan terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mencerminkan
adanya
tindakan
pemerintah
dalam
usaha
memberantas
perkembangan tindak pidan korupsi. Selain pembaharuan terhadap dasar hukum utama untuk memberantas tindak pidana korupsi,pemerintah juga telah membentuk beberapa peraturan sebagai pendamping Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yaitu : A. TAPMPR: 1. TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negarayang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. B. Undang-Undang : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 1 5 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
90
6. Undang-Undang
Nomor
PengesahanUnited Nations
7
Tahun
Convention Against
2006 Corruption
Tentang 2003
(KonvensiPerserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi-2003).
Banyaknya
peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
denganTindak Pidana Korupsi mencerminkan betapa seriusnya kasus korupsi diIndonesia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi agenda utama pemerintah di samping kasus lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1997 Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah merumuskan 3 strategi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional yaitu : a. Strategi persuasif, merupakan upaya untuk menghilangkan penyebab korupsi, menghilangkan melakukan korupsi dan semaksimal mungkin mencegah terjadinya korupsi. b. Strategi detektif, merupakan upaya untuk menampilkan suatu informasi apabila korupsi sudah terjadi dan semaksimal mungkin dapat diidentifikasikan dalam waktu yang sesingkat mungkin. c. Strategi represif, merupakan upaya semaksimal mungkin memproses korupsi yang sudah diidentifikasi menurut ketentuan hukum secara cepat, tepat, dan tingkat kepastian hukum yang tinggi meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan/putusan pengadilan.96 '
Segala upaya telah dilakukan pemerintah guna mencegah serta memberantas tindak pidana korupsi baik dengan pembentukan serta pembaharuan undang-undang dari segala aspek, melakukan kerjasama serta koordinasi dengan
96
Ibid, hlm. 12 – 13
91
lembaga negara lainnya untuk secara bersama-sama memberantas korupsi yang berdampak luas bagi keamanan serta ketentraman masyarakat. Sebagai upaya pemerintah mewujudkan keseriusannya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secarakhusus kepada Jaksa Agung dan Kapolri: 1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. 2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) anggota Polri dalam rangka penegakan hukum. 3. Meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan dengan Kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Kebijakan selanjutnya diambil oleh pemerintah adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Nasionai Pemberamasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, mengingat penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan yang sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan. Langkahlangkah pencegahan dalam RAN-PK 2004-2009 diprioritaskan pada :
92
1. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat seharihari. 2. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sum her daya manusia. 3. Meningkatkan
pemberdayaan
perangkat-perangkat
pendukung
dalam
pencegahan korupsi.
Berdasarkan hal tersebut, langkah penindakan yang dimaksudkan dalam RAN-PK 2004-2009 diutamakan adalah pada percepatan penegakan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian masyarakat dan pengembalian hasil korupsi kepada negara, yang meliputi: 1. Percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi dengan fokus pada 5 sektor prioritas yaitu 5 besar lembaga pemerintah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar. 2. Peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum. 3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum. 4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.
Untuk
lebih
meningkatkan
lagi
upaya
pemberantasan
korupsi,
dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggai 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk lebih meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Badan
93
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: 1. Melakukan
penyelidikan,
penyidikan
dan
penuntutan
sesuai
denganketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/alau indikasi tindak pidana korupsi. 2. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi serta menelusuri dan mengamankan seluruh asset-asetnya dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara secara optimal.
Penegakan hukum dalam menangani tindak pidana korupsi memerlukan kerjasama dan koordinasi diantara aparat penegak hukum guna dapat semaksimal mungkin mencegah serta memberantas korupsi yang kian berkembang di masyarakat. Dengan adanya payung hukum yang jelas untuk menyelesaikan kasus korupsi adalah langkah awal yang baik dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi. Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi baik dalam hal pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun kebijakankebijakan lain adalah tindakan yang sangat tepat karena perkembangan korupsi yang sangat pesat bahkan kini dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula. Berdasarkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut di atas dapat diketahui bahwa upaya pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas pemerintah. Selain itu, pengembalian kerugian negara akibat tindak
94
pidana korupsi adalah merupakan tujuan yang hendakdicapai pemerintah karena kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tersebut sangat besar. Berorientasi dari esensi teori bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari 3 elemen yaitu : lembaga pembuat peraturan, lembaga pelaksana peraturan, dan pemangku peran. Proposisi yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, yaitu menyangkut 4 hal yang bila diimplementasikan untuk melihat bekerjanya hukum dalam tindak pidana korupsi adalah dengan melihat apakah peraturan perundangundangan yang berlaku saat ini dapat menjadi sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi termasuk pula ancaman pidana yang tercantum di dalamnya. Oleh karena masyarakat sebagai subyek hukum yang dinamis, maka harus ada pembaharuan hukum yang menuju ke arah lebih baik serta meningkatkan peran pelaksana peraturan perundang-undangan dalam menerapkan aturan hukum yang ada Sebagai dasar penjatuhan pidana terkait pengembalian kerugian keuangan negara telah tercantum dalam ketentuan BAB II Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pasal yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap terdakwa terkait tindak pidana korupsi yakni: Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda palingsedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
95
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat aiau ndak berbuui sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dilentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
96
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
Pasal 7 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang: b. setiap orang yang bertugas mengawasi pern bangunan atau penyerahan beban bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
97
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puiuh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapatdipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untukmeyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yangdikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftartersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftartersebut.
Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (saru) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
98
Pasal12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara palingsingkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanadenda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) danpaling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
99
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baiu yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana dencla sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9. Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (limajutarupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B (1) Setiap gratiflkasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) ataulebih, pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut bukan merupakan suapdilakukan oleh penerima gratiflkasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut urnum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seurnur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13 Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
100
Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidan:; korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undangundang ini.
Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang tersebut di atas menyatakan bahwa "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana". Sehingga, dengan kata lain apabila seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang berakibat merugikan keuangan negara mengembalikan seluruh kerugian yang ia timbulkan, tidak dapat menghapus pidana nya namun hanya bersifat meringankan pidana. Hal tersebut sesuai dengan esensi teori ganjaran (dessert theory) yang memaparkan bahwa antara perbuatan yang ditimbulkan oleh seorang pciaku haruf, dipidana
101
sesuai dengan perbuatannya, ada keseimbangan antara akibat perbuaian dengan nilai kerugian yang timbul serta sanksi/ganjaran yang setimpal pada pelakunya. Selain pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti yang telah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 18 (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidakberwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atauyang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaanmilik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknyasama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu palinglama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
102
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut. telah mencerminkan adanya suatu kepastian hukum terkait penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Bukan saja pidana penjara serta pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, namun esensi penting dalam penerapan sanksi pidana tersebut adalah pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan koruptor selaku terpidana. Namun, bagi jaksa dan hakim tidak ada keharusan untuk menuntut dan/atau memutus dengan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jugatelah mengatur secara jelas konsekuensi apabila salah satu unsur lidak pidana korupsi tidak cukup bukti namun secara nyata merugikan keuangan negara dan konsekuensi apabila seorang terdakwa meninggal dunia saat proses peradilan sedang berjalan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34, yang menyatakan :
Pasal 32 (1) Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikian tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
103
Pasal 33 Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
2.3.Tipologi dan Modus Operandi Korupsi 2.3.1. Tipologi Korupsi Menurut Doktrin Piers Beirne dan James Messersclimidt97 membagi korupsi atasempat macam yahu political bribery, political kickbacks, elction fraud dan corrupt campaign practices. Political bribery, adalah kekuasaan di bidang legislative sebagai badan pembentuk undang-undang yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang. Di mana individu pcngusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yangmenguntungkan usaha atau bisnis mereka. 97
Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Ermasjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak Pidana Korupsidi Indonesia, Get. 1, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 19-21.
104
Political kickbacks, adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak. Election fraud, adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, haik yang dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum. Corrupt campaign practices adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang Negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan Benvenist98 membedakan korupsi atas : 1. Discretionary corruptionialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan. sekalipun nampak bersifat sah, bukanlah merupakan praktek-praktek yang dapat ditcrima oleh para anggota organisasi. Contoh : Dalam pelayanan perizinan Tenaga Kerja Asing. Seorang pegawai memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada seorang calo atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya adalah calo adalah orang yang bisa memberikan tambahan pendapatan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan tentang praktek korupsi walaupun ada peraluran yang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih
98
Ibid, hlm. 21 – 22
105
memberikan uang lambahan itu dibungkus dengan jargon "tanda ucapan terima kasih" dan diserahkan setelah layanan diberikan. 2. Illegal corruptionialah suatu jenis tindakan korupsi yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Contoh : Dalam peraturan lelaiig dinyalakan bahwa unluk pcngadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu maka pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Maka dicarilah nasal-pasal dalam ccnuuran vang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkual sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misalnya ditemukanlah satu pasal yang mengatur perihal " keadaan darurat" atau "force majeur." Dalam pasal ini dikatakan bahwa "dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan dengan syarat harus memperoleh izin dari pejabal yang berkompeten." Dari sinilah dimulainya
illegal
corruption,
yakni
ketika
pemimpin
proyek
mengartikulasikan tentang keadaan darurat. Andaikata dalam pasal keadaan darurat tersebut ditemukan kalimat yang berbunyi "termasuk ke dalam keadaan darurat ialah suatu keadaan yang berada di luar kendali manusia", maka dengan serta merta pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan waktu adalah salah satu unsur yang berada di luar kendali manusia yang bisa
106
dipergunakan oleh pemimpin proyek sebagai dasar pembenaran pelaksanaan proyek. Atas 'dasar penalsiranitulah pemimpin proyek meminta persetujuan kepada pejabat yang berkompeten. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebcnarnya bisa dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. 3. Mercenarycorruptionialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh : Dalam suatu persaingan tender seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang "sogok" atau "semir" dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, rnaka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk ke dalam kategori mercenary corruption. Bentuk "sogok" atau "semir" itu tidak mutlak berupa uang namun bisa juga dalam bentuk lainnya. 4. Ideological corruptionialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan /kepentingan kelompok. Contoh : Kasus skandal Watergate, di mana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.
107
Menurut Syed Hussein Alatas99, secara tipologis korupsi dapat dibagi dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan sebagai berikut : 1. Korupsi transaktif (Transcictive corruption) menunjukan pada . adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi kcuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan itu oleh kedua belah pihak. 2. Korupsi yang memeras (Exlortive corruption) adalah jenis korupsi dengan keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna menccgak kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang lain dan hal-hal yang dihargainya. 3. Korupsi investif (Inventive corruption) adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akari datang. 4. Korupsi perkerabatan / nepotisme (Nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau lindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku. 5. Korupsi defensif (Defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan sebagai bentuk mempertahankan diri. 6. Korupsi otogenik (Autogenic corruption) yaitu korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang. 99
xi.
Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, hlm. ix -
108
7. Korupsi clukungan (Suportive corruption) adalah korupsi yang lidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalani bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk mciindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada. Muladi100, menjelaskan ada beberapa bentuk korupsi sebagai berikut: a. Political Corruption (Grand Corruption)yang terjadi di tingkat tinggi (penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mcrcka incmiliki sualu kewenangan unluk mcmformulasikan. mcmbcntuk dan melaksanakan undangundang atas nama rakyat dcngan memanipulasi institusi politik, aturan prosedural dan distorsi lembaga pemerintah dengan tujuan meningkatkan kekayaan dan kekuasaan. b. Bureaucratic
Corruption
(Petty
Corruption)yang
biasa
terjadi
dalamadministrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum. c. Electoral Corruption (Vote Buying)dengan tujuan untuk memenangkan suatu persaingan seperti dalam pemilu, Pilkada, Keputusan Pengadilan, Jabatan Pemerintahan dan sebagainya. d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi anlar individu atau teman dekat. e. Collective or Aggregated Corruption, di mana korupsi dinikmati beberapa orang dalam suatu kelompok seperti dalam suatu organisasi atau lembaga.
100
Muladi dalam Ermasjah Djaja, Op Cit, hlm. 21
109
f. Active and Passive Corruption, dalam bentuk memberi dan menerima suap (bribery) untuk meiakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar tugas dan kewajibannya. g. Corporate Corruptionbaik berupa corporate criminalyang di bentuk untuk menampung
hasil
korupsi
ataupuncorruption
for
corporationdimana
seseorang atau beberapa orang yang memiliki kedudukan penting dalam suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan bagi perusahaannya tersebut. h. Korupsi defensif (defensive corruption) disini pemberi tidak bersalah tetapi si penerima
yang
bersalah.
Misalnya,
seorang
penguasa
yang
kejam
menginginkan hak milik seseorang. i. Korupsi otogenik (autogenic corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri. j. Korupsi dukungan (supportive corruption) disini tidak langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.101
2.3.2. Tipologi Korupsi Menurut UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU NO. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sedangkan tipologi tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30
101
Septa Candra, Loc. Cit
110
(tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi, yang telah berkembang menjadi 7 (tujuh) tipe atau kelompok sebagai berikut: 1. Tipe
Tindak
Pidana
Korupsi
"Murni
Merugikan
Keuangan
Negara" Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil, dan penyelengara negara yang secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang termasuk tindak pidana korupsi ini diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 1 huruf (i), Pasal 12 A, dan Pasal 17.
2. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Suap" Tipe tindak pidana korupsi suap tidak berakibat langsung pada kerugian keuangan Negara ataupun perekonomian negara, karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara atau asset negara, melainkan dari uang atau asset orang yang melakukan penyuapan. Dalam tindak pidana korupsi suap selalu melibatkan peran aktif
111
antara orang yang melakukan penyuapan dengan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara sebagai penerima suap, yang disertai dengan kesepakatan mengenai besaran atau nilai penyuapan dan cara penyerahannya. Ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi ini adalah Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, Pasal 12A, Pasal 17.
3. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Pemerasan" Pada tindak pidana ini, terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang meminta bahkan cenderung melakukan pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan ataupun bantuan. Hal ini dikarenakan adanya faktor ketidakmampuan secara materiil dari masyarakat yang memerlukan bantuan ataupelayanan tersebut. Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e, huruf f, huruf g, Pasal 12A, Pasal 17.
4. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Penyerobotan" Pada tindak pidana ini terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang ada di atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana korupsi ini diancam dengan ketentuan Pasal 12 huruf h dan Pasal 17.
112
5. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi" Dalam tindak pidana korupsi "gratiflkasi" pegawai negeri sipi! atau penyelenggara negara bersifat pasif, sedangkan yang bersifai aka! adalah pemberi gratiflkasi. Selain itu. dalam tipe tindak pidana korupsi ini tidak ada kesepakatan antara pemberi gratiflkasi dengan pegawai negeri ataupun penyelenggara negara. Tindak pidana ini dijerat dengan Pasal 12B jo. Pasal 12 C, Pasal 13, dan Pasal 17.
6. Tipe Tindak Pidana Korupsi
"Percobaan,
Pembantuan,
dan
Permufakatan" Tindak pidana korupsi percobaan, pembantuan, dan permufakatan yang dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan, pembantuan, dan permufakatan untuk melakukan tindak pidanakorupsi. Pada tindak pidana ini sanksi pidananya dikurangi
1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya,
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan d, Pasal 8, Pasal 10 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17.
7. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Lainnya" Tipe tindak pidana ini adalah peristiwa atau perbuatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
113
terdakwa ataupun saksi dalam perkara pidana. Tindak pidana ini dijerat dengan ketentuan Pasai 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.102
2.3.3. Modus Operandi Korupsi Setiap tindak pidana yang terjadi selalu disertai dengan modus operandi, demikian juga dengan kompsi. Modus operandi korupsi semakin canggih sehingga tidak mudah untuk diketahui sebagai tindak pidana korupsi. Rochim103 menyebutkan beberapa modus operandi yang dijumpai terjadi di Indonesia yakni sebagai berikut: 1. Modus Operandi Korupsi Secara Umum, meliputi : a. Pemberian suap atau sogok (bribery) b. Pemalsuan (fraud) c. Pemerasan (exorcion) d. Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (abuse of power) e. Nepotisme (nepotism) 2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pemalsuan Pajak Dalam bidang perpajak sering ditemukan faktur pajak palsu, bermasalah atau fiktif yang volumenya semakin meluas dan variasinya semakin rumit. 3. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Mengenai pengadaan barang dan jasa telah diatur dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 beserta perubahan-perubahannya, namun tetap saja ada celah bagi
102
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 3-4. 103 Rohim dalam Javvade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara),Get. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 28-69.
114
sebagian oknum pejabat dan rekanan pengadaan barang atau jasa untuk melakukan korupsi lewat berbagai modus operandinya. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan melaiui 15 tahapan, dan dari keseluruhan tahapan tersebut ditemukan 52 modus penyimpangan yang sering digunakan oleh rekanan atau oknum pejabat dinas atau instansi dalam pengadaan barang dan jasa sebagai berikut: a. Tahapan Perencanaan Pengadaan, Modus penyimpangannya sebagai berikut: 1) Penggelembungan anggaran 2) Rencana pengadaan yang diarahkan 3) Rekayasa pemaketan untuk KKN b. Tahapan Pembentukan Panitia Lelang Modus penyimpangannya sebagai berikut: 1) Panitia tidak transparan 2) Integritas panilia lelang lemah 3) Panitia lelang yang memihak 4) Panitia lelang tidak independen c. Tahapan Prakualifikasi Perusahaan Modus penyimpangannya sebagai berikut: 1) Dokumen administrasi yang tidak memenuhi syarat 2) Dokumen administrasi "Aspal" 3) Legalisasi dokumen tidak dilakukan 4) Evaluasi tidak sesuai kriteria
115
d. Tahapan Penyusunan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya : 1) Spesifikasi yang diarahkan 2) Rekayasa kriteria evaluasi 3) Dokumen lelang nonstandard 4) Dokumen lelang yang tidak lengkap e. Tahapan Pengumuman Lelang Modus penyimpangannya : 1) Pengumuman lelang yang semu atau fiktif 2) Pengumuman lelang tidak lengkap 3) Jangka waktu pengumuman lelang singkat f. Tahapan Pengambilan Dokumen Lelang Modus penyimpangannya: 1) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten) 2) Waktu pendistribusian dokumen terbatas 3) Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari g. Tahapan Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri Modus penyimpangannya : 1) Gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutup-tutupi 2) Penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN 3) Harga dasar yang tidak slandart 4) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan
116
h. Tahapan Penjelasan atauAanwijzing Modus penyimpangannya : 1) Pree-bid meetingyang terbatas 2) Informasi dan deskripsi terbatas 3) Penjelasan yang kontroversial i. Tahapan Penyerahan dan Pembukaan Penawaran Modus penyimpangannya : 1) Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran 2) Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat 3) Penyerahan dokumen fiktif j. Tahapan Evaluasi Penawaran Modus penyimpangannya: 1) Kriteria evaluasi yang cacat 2) Penggantian dokumen penawaran 3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi 4) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi k. Tahapan Pengumuman Calon Pemenang Modus penyimpangannya : 1) Pengumuman yang terbatas 2) Tanggal pengumuman ditunda 3) Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman
117
l. Tahapan Sanggahan Peserta Lelang Modus penyimpangannya : 1) Tidak seluruh sanggahan ditanggapi 2) Substansi sanggahan tidak ditanggapi 3) Sunggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur m. Tahanan Penunjukan Pemenang Lelang Modus penyimpangannya : 1) Syarat penunjukan yang tidak lengkap 2) Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya 3) Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu-buru 4) Surat penunjukan yang tidak sab. n. Tahapan Penandatanganan Kontrak Modus penyimpangannya : 1) Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda 2) Penandatanganan kontrak secara tertutup 3) Penandatanganan kontrak tidak sah o. Tahapan Penyerahan Barang atau Jasa Modus penyimpangannya : 1) Volume pekerjaan yang tidak sama 2) Mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari kctentuan daiam spesifikasi telinik
118
3) Mutu
atau
kualitas
pekerjaan
yang
tidak
sama
dengan
spesifikasi tehnik 4) Contract Change Order(CCO)
2.4.Modus Operandi Korupsi Dalam Pencucian Uang 2.4.1. Esensi Korupsi Dalam TPPU Pencucian uang (money loundering) merupakan suaut kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian dan oleh karenanya tidak semua orang bisa melakukannya. Pencucian uang (money loundering) dilakukan dengan cara yang sangat rapi, terorganisasi dengan baik dan melibatkan tidak hanya satu orang, satu negara tetapi melibat lebih dari satu orang dan beberapa negara. Pencucian uang (money loundering) adalah rangkaian kejahatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam system keuangan (financial system) sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan darisystem keuangan itu sebagai uang yang halal.104 Dengan demikian dalam proses kegiatan money launderingini, uang yang semula merupakan uang haram (dirty money)
104
147.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi,Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.
119
diproses sehingga menghasilkan uang bersih (clean money) atau uang halal (legitimate money)105 Mahmoeddin H.A.S. mengemukakan ada 8 (delapan) modus operandi pencucian uang sebagai berikut: 1.
Kerja sama penanaman modal
2.
Kredit Bank Swiss
3.
Transfer ke luar negeri
4.
Usaha tersamar di dalam negeri
5.
Tersamar dalam perjudian
6.
Penyamaran dokumen
7.
Pinjaman luar negeri
8.
Rekayasa pinjaman luar negeri106
Menurut Yunus Hussein ada 10 (sepuluh) modus operandi yang dilakukan dalam kasus pencucian uang yakni sebagai berikut: a. Pengalihan dana dari rekening giro milik instansi pemerintah kerekening tabungan pribadi pejabat. b. Pembukaan rekening di bank dengan menggunakan identitas palsu untuk melakukan penipuan. c. Penyuapan dengan cara menggunakan rekening pejabat pemerintah beserta anggota keluarganya untuk menampung dana-dana dari pihak lain yang
105
Munir Fuady,2004, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm. 83. 106 Mahmoeddin H.A.S. dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60-61.
120
memperoleh jasa dari si pemilik rekening atau ada keterkaitan emosional dengan pihak tertentu. Dana yang masuk ke rekening pejabat berupa penyetoran secara tunai, menggunakan warkat atas bawa, transfer dari bank lain dan pemindahbukuan. Dana yang sudah masuk ke rekening pejabat kemudian digunakan untuk pembelian surat berharga, polis asuransi, bisnis yang dikelola anggota keluarga, pembelian property, didepositokan dan lainlain. d. Penyuapan dengan menggunakan uang atau instrumen keuangan, terdapat pula penyuapan dengan menggunakan barang seperti mobil mewah. e. Pelaku illegal loggingmembuka beberapa rekening di bank baik menggunakan nama pelaku sendiri maupun nama pihak lain untuk menyamarkan identitasnya. Rekening tersebut digunakan untuk memperlancar penyelesaian transaksi perdagangan kayu. Beberapa transaksi ada yang disetorkan ke rekening oknum aparat keamanan dan oknum pejabat berwenang dibidang kehutanan dan perkayuan. f. Pembelian polis asuransi jiwa dengan premi jumlah besar yang dibayarkan sekaligus (premi tunggal) yang pada saat penutupan kontrak asuransi. Selang beberapa waktu atau jauh sebelum kontrak asuransi berakhir, polis asuransi dibatalkan, uang premi yang sudah dibayarkan kemudian ditarik walaupun dengan penalty tertentu. g. Pembelian polis asuransi jiwa jenis unit linked dengjin jumlah premi besar yang dibayar secara regular, di mana pemegang polls (pembayar premi) adalah perusahaan berbadan hukum dan tertanggung adalah pimpinan perusahaan
121
tersebut. Perusahaan didirikan berdekatan dengan waktu pengajuan polls, sehingga besar kemungkinan dana untuk membayar premi bukan dari hasil usaha perusahaan. h. Kembalinya dana-dana yang dulunya dari hasil perbuatan melawan hukum di Indonesia ke dalam negeri. Pengembalian dana tersebut terindikasi dilakukan raelalui rekening perusahaan atau rekening pejabat tertentu, kemudian dana yang sudah masuk diserahkan kepada oknum pemilik dana dengan memberi imbalan kepada pihak yang nama atau perusahaannya digunakan. i. Restitusi pajak tidak wajar, terjadi dengan perusahaan yang baru berdiri melakukan restitusi pajak dalam jumlah relative besar, namun pada rekening giro perusahaan tersebut tidak terdapat rnutasi rekening yang mencerminkan adanya transaksi penjualan dan pembelian yang jumlahnya mendukung bag! diberikannya restitusi pajak tersebut. j. Penyelewenangan penggunaan anggaran oleh bagian pengadaan pada suatu instansi pemerintah yang diberi wewenang untuk melakukan pembelian sejumlah barang. Dalam pelaksanaannya, instansi tersebut tidak benar membeli barang dimaksud, tetapi hanya menyewa dengan nilai yang jauh lebih kecil dibandingkan kalaumembeli. Selisih dana yang ada sebagian masuk ke nekening pejabatinstansi dimaksud.107
107
Yunus Hussein dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013,Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum AdministrasiNegara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 62-63.
122
N.H.T.
Siahaan108 mengemukakan ada tiga metode yang dipergunakan
untuk melakukan pencucian uang yaitu : a. Buy and sell conversion Pada umumnya metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Suatu asset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapat feeatau diskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaksi bisnis barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank b. Offshore conversions Dalam prakteknya uang hasil kejahatan dikonversikan ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money loundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah terscbut. Negara yang termasuk atau berciri tax heaven memang memiliki system hukum perpajakan yang tidak ketat, tetapi memiliki system rahasia bank yang sangat ketat. Birokrasi bisnis cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat sertapembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung usaha itu pelaku memakai jasa pengacara, akuntan dan konsultan keuangan serta para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala cela yang ada di Negara itu.
108
N.H.T. Siahaan dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 63-64.
123
c. Legitimate business conversions Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor tersebut kemudian dikonversikan secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau di transfer ke rekening bank lainnya. Biasanya pelaku bekerja sama dengan seseorang yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor.
2.4.2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengelolaan Hutan Bentuk kejahatan yang sering dilakukan oleh oknum pejabat dalam bidang pengelolaan hutan adalah pembalakan liar (illegal logging). Pembalakan merupakan penebangan kayu secara tidak sah yang melanggar peraturan perundang-undangan. Illegal loggingbisa berupa pencurian kayu atau pemegang izin melakukan penebangan lebih dari jatah yang ditetapkan dalam perizinan. Munir Fuady109 menjelaskan bahwa secara umum terdapatbeberapa modus operandi korupsi dalam pengelolaan hulan, anlara lainsebagai berikut: a. Adanya manipulasi dalam penghitungan potensi hasil hutan kayu suatu wilayah pada saat stock opname, sehingga hasil manipulasi dapat dijadikan modus untuk mengeluarkan kayu dari areal kawasan hutan yang bukan areal tebangan yang direncanakan. b. Adanya kebijakan pemerintah daerah yang sengaja disusun dalam rangka mengeluarkan sebuah izin untuk penggunaan suatu kawasan hutan. Izin yang
109
Munir Fuady, Op Cit, hlm. 101 – 102
124
dikeluarkan tersebut berpotensi besar lerhodon konflik sumber daya alam masa mendatang dan berpotensi adanya kegiatan illegal loggingdalam waktu dekat. c. Tidak melakukan penataan batas dan kawasan hutan lindung d. Tidak melakukan audit oleh akuntan public e. Tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja di lapangan.
2.4.3. Korelasi Tindak Pidana Korupsi Dengan TPPU Deskripsi tentang penyebab korupsi mutlak diketahui agar memudahkan kita dalam merumuskan kebijakan dan strategi-strategi pencegahan dan penanggulangannya sehingga upaya tersebut dapat dilaksanakan secara tepat sasaran dan berhasil guna secara optimal. Syed Hussein sebagaimana dikutip oleh Sudarto menjelaskan bahwa ada dua sumber penyebab korupsi yaitu bad laws and bad man dan yang paling besar pengaruhnya adalah bad man (manusia yang buruk perilakunya).110 Menurut Abdullah Hehamahua111 setidaknya ada delapan penyebab korupsi di Indonesia yaitu : 1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang seharusnya prioritas pembangunan dibidang pendidikan. Tetapi selama puluhan tahun mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini,
110
111
Sudarto (I), Op Cit, hlm. 152 Abdullah Hehamahua dalam Ermasjah Djaja, Op Cit, hlm. 49 – 51
125
pembangunan difokuskan dibidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang baru merdeka terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan tehnologi. Konsekuensinya semua didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi yang kedua. 2. Kompensasi PNS yang Rendah Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya. Tetapidisebabkan prioritas pembangunan dibidang ekonomi sehingga secara fisik dan kullural melahirkan pola konsumerisme sehingga sekilar 90% PNS melakukan KKN, baik berupa waktu, melakukan kcgiatan pungli maupun mark upkecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga. 3. Pejabat yang Serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahir sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan iabatarmyii rnelakukan mark up proyek-proyek pembangunan bahkan berbisnis uengan pengusaha baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai salah seorang shareholder dari perusahaan tersebut. 4. Law Enforcement Tidak Berjalan Disebabkan para pejabatnya serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir di seluruh lini kehidupan baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala esuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan
126
plesetan kata seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), Tin (Ten Persen), Ketuhanan Yang Maha Kuasa (Keuangan Yang Maha Kuasa) dan sebagainya. 5. Hukuman yang Ringan Terhadap Koruptor Disebabkan law enforcementtidak berjalan karena aparat penegak hukum bisa dibayar mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehinggatidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut pada masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN. 6. Pengawasan yang Tidak Efektif Dalam sistem manajemen yang modern selaiu ada instrumen yang disebut internal controlyang bersifat in build dalam seliap unit kerja sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi scjak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Konon untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bcrtugas melakukan internal audit. Malangnya, system besar yang disebutkan dalam butir 1 di atas, tidak mengalami perubahan, sehingga Irjendan Bawasdapun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN. 7. Tidak Ada Keteladanan Pemimpin Ketika resesi ekonomi pada tahun 1977, keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun pemimpin di Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan materil dari anggota
127
masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relative singkat, Thailand telah mengalami recoveryekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang dapat dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian negara yang belum recoverybahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran. 8. Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik. Dengan demikian mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari mengurus KTP, SIM, SINK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja dan lain-lain, karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, lokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagaiperbuatan yang tidak salah.
Surachmin dan Suhandi Cahaya mengemukakan bahwa faktorpenyebab korupsi sangat beragam dan saling mengait antara penyebab yang satu dengan penyebab yang lainnya dan merupakan lingkaran setan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya serta sulit untuk dicari penyebab mana yang memicu terlebih dahulu. Faktor penyebab tersebut yaitu : 1.
Sifat tamak dan keserakahan
2.
Ketimpangan penghasilan sesama pegawai negeri / pejabat negara
3.
Gaya hidup konsumtif
4.
Penghasilan yang tidak memadai
5.
Kurang adanya keteladanan dari pimpinan
6.
Tidak adanya kultur organisasi yang benar
128
7.
Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
8.
Kelemahan sistem pengendalian manajemen
9.
Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam organisasi
10. Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat 11. Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri 12. Moral yang lemah 13. Kebutuhan hidup yang mendesak 14. Malas atau tidak mau bekerja keras 15. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar 16. Lemahnya penegakan hukum 17. Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi 18. Kurang atau tidak ada pengendalian112.
Masyarakat Transparansi Internasional menemukan pilarpenyebab korupsi di Indonesia yaitu sebagai berikut: 1. Absennya kemauan politik pemerintah. 2. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintahan. 3. Dominannya peranan militer dalam bidang politik 4. Politisasi birokrasi 5. Tidak independennya lembaga pengawas 6. Kurang berfungsinya parlemen
112
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi,Penerbit Sinar Grafika, Cet 2. Jakarta, hlm. 91-106.
129
7. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil 8. Kurang bebasnya media massa 9. Opportunismenya sektor swasta.113 Menurut Baharuddin Lopa terdapat
sebelas penyebab terjadinya
TIPIKORyaitu: 1. Kerusakan moral; 2. Kelemahan sistem; 3. Kerawanari kondisi sosial ekonomi; 4. Ketidaktegasan dalam penindakan hukum; 5. Seringnya pejabat meminta sumbangan kepada pengusaha-pengusaha; 6. Pungli; 7. Kekuranganpengertiantentang IIPIKOR; 8. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang serba tertutup; 9. Masih perlunya peningkatan mekanisme kontrol oleh DPR; 10. Masih lemahnya peraturan perundang-undangan yang ada; 11. Gabungan dari sejumlah faktor penyebab.114
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan tahunan 2012 (hal. 2) menyebutkan : "Tetapi, setidaknya ada empat hal yang membuat mereka nekad "menggarong" uang rakyat. Apa itu? " Pertama, ada semacam mitos bahwa jujur hancur. Menjadi pejabat negara, jika jujur akan hancur. Toh, orang yang jujur sudah bukan musim lagi. Kedua, kesempatan, selama ada kesempatan, mengapa 113
Ibid, hal. 107 Baharuddin Lopa, 1977, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih Aksara,Jakarta, hlm.171-172. 114
130
tidak diambil, kesempatan bisa diciptakan. Ketiga aji mumpung. Jadi pejabat itu tidak mudah, belum tentu terulang lagi. Mumpung punya kekuasaan, ya apa salahnya sckadar membasahi paruh burung. Keempat, untuk memuaskan dahagakehormatan: karena harta adalah kehormatan. Inilah yang membuat orang gila kehormatan, dan celakanya sudah mahfum khalayak menganggap orang terhormat bukan moralnya. bukan budi pekertinya, bukan perilakunya, tetapi kekayaan". Menurut Jack
Bologne
faktor-faktor yang
menjadi
penyebab
terjadinya korupsi adalah faktor GONE sebagai berikut : a. Greeds(keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakahyang secara potensial ada dalam diri setiap orang; b. Opportunities(kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi afau masyarakat sehingga kesempatan bagi seseoranguntuk melakukan korupsi; c. Needs(kebutuhan) yang terkait dengan faktor kebutuhan individu gunamenunjang hidupnya yang layak; dan d. Exposures(pengungkapan) yaitu factor yang berkaitan dengan tindakan, konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi oleh pelakuapabila yang bersangkutan terungkap melakukan korupsi115 Berdasarkan hasil penelitiannya, BPKP mengidentifikasi beberapaaspek penyebab korupsi sebagai berikut: 1. Aspek Individu Pelaku Korupsi Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat puladikatakan sebagai keinginan, niat atau kesadarannya untuk melakukan korupsi. Sebab-sebab seseorang terdorong untuk melakukan korupsi antara lain karena :
115
Dyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 153-154.
131
a. Sifat tamak manusia; b. Moral yang kurang kuat menghadapi godaan; c. Penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar; d. Kebutuhan hidup yang mendesak; e. Gaya hidup konsumtif; f. Malas atau tidak mau bekerja keras; g. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar 2. Aspek Organisasi Organisasi dalam hal ini adalah Organisasi dalam artian yang luastermasuk dalam pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasiyang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanyamemberi terjadinya korupsi
karena
membuka peluang
andil
ataukesempatan untuk
terjadinya korupsi. Bilamana Organisasi tersebuttidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukankorupsi maka korupsi itu tidak akan terjadi. a. Kurang adanya teladan dari pemimpin; b. Tidak adanya kultur Organisasi yang benar; c. System akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai; d. Kelemahan sistem pengendalian manajemen; e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organ isasinya. 3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada
132
a. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi; b. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan olehsetiap praktek korupsi adalah masyarakat sendiri; c. Masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri terlibatdalam setiap praktek korupsi; d. Masyarakat
kurang
menyadari
bahwa
tindakan
preventif
danpemberantasan korupsi hanya akan berhasil kalau masyarakat ikutaktif melakukannya; e. Generasi
muda
Indonesia
dihadapkan
dengan
praktek
korupsi
sejakdilahirkan; f. Penyalah-artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsaIndonesia. 4. Aspek Peraturan Perundang-undangan Korupsi
mudah
timbul
karena
kelemahan
di
dalam
perundang-
undangan. yang mencakup : a. Adanya peraturan perundang-undangan yang monopolistik menguntungkan pihak tertentu; b. Kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai; c. Tidak efektimya Judicial Review oleh Mahkamah Agung; d. Peraturan kurang disosialisasikan; e. Sanksi terlalu ringan; f. Penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu; g. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.
yanghanya
133
Menurut Arya Maheka116 ada beberapa penyebab terjadinya korupsi yaitii sebagai berikut : a. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagaimake-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap bergantipemerintahan. b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalautidak menggunakan kesempatan. c. Langkanya lingkungan yang anti korupsi system dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas. d. Rendahnya
pendapatan
yangdiperoleh
harus
penyelenggara mampu
negara.
memenuhi
Pendapatan
kebutuhan
hidup
penyelenggaranegara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasidan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. e. Kemiskinan, keserakahan : Masyarakat kurang mampu melakukankorupsi karena
kesulitan
ekonomi.
Sedangkan
mereka
yangberkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puasdan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah. g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah dari pada keuntungankorupsi, saat tertangkap bias menyuap penegak hukum sehinggadibebaskan atau setidaknya diringankan hukumarmya. Rumusnya : Keuntungan korupsi lebih besar dari pada kerugian bila tertangkap.
116
Arya Maheka, Mengenali & Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 23-24.
134
h. Budaya permisif / serba membolehkan; tidak mau tahu, menganggap biasa bila ada korupsi karena sering terjadi. Tidak peduli dengan orang lain asal kepentingannya sendiri terpenuhi. i. Gagalnya pendidikan agama dan etika. Ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama hanya menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja, sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan social dibandingkan institusi lainnya. Sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bias menyadarkan umat bahwa korupsi bias membawa dampak yang sangat buruk.
Mengkritisi berbagai pendapat di atas menurut penulis, faktor penyebab korupsi dapat dikelompok atas faktor penyebab yang bersumber dari diri pelaku, faktor yang bersumber dari lingkungan/organisasi tempat pelaku bekerja, faktor yang bersumber dari masyarakat dan faktor yang bersumberdari aparat penegak hukum serta faktor yang bersumber dari peraturan perundang-undangan.