BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN SANKSI, PELANGGARAN DAN TENAGA KERJA INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum tentang Penerapan Sanksi 2.1.1. Pengertian Penerapan Sanksi Seorang filosof Yunani,Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat. Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung. Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan.1 Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan kekacauan di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuanketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti tertib sosial.2
1 2
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-8, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40. ibid, h. 41
Berbicara mengenai hukum, maka sebaiknya membahas tentang artinya terlebih dahulu. Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab yaitu “Alkas”, bahasa Jerman disebut sebagai “Recht”, bahasa Yunani yaitu “Ius”, sedangkan dalam bahasa Prancis disebut “Droit”. Kesemuanya itu mempunyai arti yang kurang lebih sama, yaitu hukum merupakan paksaan, mengatur dan memerintah.3 Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh anggota masyarakat itu. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.4 Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan gantirugi bagi yang menderita.5 Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur, terdapat larangan-larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat
3
Soerjono Soekanto, 1985, Teori Yang Murni Tentang Hukum, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) h. 40. 4 R. Soeroso, loc. cit. 5 R. Soeroso, op. cit., h. 27.
menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan paksa walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya. Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang.6 Sedangkan pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya); tindakan
(mengenai
perekonomian)
sebagai
hukuman
kepada
suatu
negara;Hukum, a imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.7 Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku manusia dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial mungkin memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa memberikan akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib sosial dapat pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan imbalan
6
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, 2014, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa, Visimedia Pustaka, Jakarta, h. 191. 7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta, h. 1265.
atau hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi, namun lazimnya hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi. Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.8 2.1.2. Jenis-Jenis Sanksi a. Sanksi Pidana Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana.Menurut Roeslan Saleh, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum 8
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 84.
pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.9 Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum dan/atau perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Namun, perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-undang.10 Sumber hukum pidanadi Indonesia merupakan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) sebagai induk aturan umum dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya di luar KUHP. Sebagai induk aturan umum, KUHP mengikat peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Namun, dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus tersebut dapat mengatur sendiri atau berbeda dari induk aturan umum, seperti misalnya UU RI No. 39 Tahun 2004.Bentuk hukuman Pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu : 1. Pidana Pokok, yang terbagi atas : a. Pidana Mati; b. Pidana Penjara; c. Pidana Kurungan; d. Pidana denda; e. Pidana Tutupan. 2. Pidana Tambahan, yang terbagi atas : a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim.
9
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 192. Samsul Ramli dan Fahrurrazi, loc. cit.
10
b. Sanksi Perdata Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha, dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Bentuk sanksi hukum perdata dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) dan atau hilangnya suatu keadaan hukum, diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. Bentuk putusan yang dijatuhkan hakim dapat berupa : 1. Putusan Constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan hukum baru,contohnya adalah putusan perceraian suatu ikatan perkawinan; 2. Putusan Condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi kewajibannya, contohnya adalah putusan hukum untuk wajib membayar kerugian pihak tertentu; 3. Putusan Declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum, menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata, contohnya adalah putusan sengketa tanah atas penggugat atas kepemilikan yang sah.11 c. Sanksi Administratif Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan hukum administrasi negara.
11
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, op. cit., h. 193.
Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).12 Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu: a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom; b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif; c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.13 Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah reparatoir artinya memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi adminitrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui
12 13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo, Jakarta, h. 315. ibid, h. 319.
prosedur peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses pengadilan.14 d. Sanksi Pidana Administratif Bidang hukum administratif dikatakan sangat luas karena hukum administratif menurut Black Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengemukakan bahwa, hukum administrasi merupakan seperangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga
administrasi
dalam
bentuk
undang-undang,
peraturan-peraturan,
perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan tugastugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.15 Bertolak dari pengertian diatas, maka hukum pidana administrasi dapat dikatakan sebagai “hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi”. Oleh karena itu, Black Law Dictionary menyatakan bahwa “kejahatan/tindak pidana administrasi” (“administrative crime”) dinyatakan sebagai “An offence consisting of violation of an administrative rule or regulation and carrying with it a criminal sanction”.16 Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum yang mengatur atau hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka hukum pidana administrasi sering disebut pula hukum pidana (mengenai) pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (Ordnungstrafrecht atau 14
Philipus M. Hadjon dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 247. 15 Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13. 16 ibid, h. 14.
Ordeningstrafrecht). Selain itu, karena istilah hukum administrasi juga ada yang menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan, sehingga dikenal pula istilah Verwaltungsstrafrecht (verwaltung berarti administrasi atau pemerintahan) dan Bestuursstrafrecht (bestuur berarti pemerintahan).17 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana administrasi menggunakan
pada
hakikatnya
hukum
pidana
merupakan sebagai
perwujudan
sarana
untuk
dari
kebijakan
menegakkan
atau
melaksanakan hukum administrasi. Jadi, sanksi hukum pidana administrasi merupakan bentuk fungsionalisasi / operasionalisasi / instrumentalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi. Mengingat luasnya hukum administrasi seperti yang dikemukakan di atas, maka dapat diperkirakan demikian banyak pula hukum pidana digunakan di dalam berbagai aturan administrasi.18 2.2. Tinjauan Umum tentang Pelanggaran 2.2.1. Definisi Pelanggaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelanggaran mempunyai kata dasar “langgar” yang dapat berarti bertubrukan; bertumbukan, serang menyerang, bertentangan: tindakannya itu dengan ketentuan yang berlaku.19 Berbagai undang-undang tentang hukum pidana dapat ditemukan atau disimpulkan berbagai penggolongan tindak pidana yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Penggolongan tindak-tindak pidana yang terang dan tegas dengan beberapa konsekuensi
17
diadakan
dalam
perundang-undangan
ibid. ibid. 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 809. 18
di
Indonesia
adalah
penggolongan kejahatan dan pelanggaran, atau dalam bahasa belanda misdrijven en overtredingen.20 Penggolongan ini pertama-tama terlihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang terdiri atas tiga buku. Buku I memuat penentuan-penentuan umum (algemene leerstuken). Buku II memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan “kejahatan” atau misdrijven. Buku III memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran” atau overtredingen.21 Kata-kata kejahatan dan pelanggaran ini merupakan istilah-istilah sebagai terjemahan dari istilah-istilah misdrijf dan overtredingen dalam bahasa Belanda. Misdrijf atau kejahatan berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada “perbuatan melanggar hukum”. Jadi sebenarnya arti kata dari kedua istilah itu sama, maka dari arti kata tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini.22 Oleh karena KUHP Indonesia merupakan tiruan dari KUHP Belanda dengan beberapa perubahan, maka maksud pembentuk KUHP, baik di Indonesia maupun di Belanda, dapat dilihat dalam Surat Penjelasan (Memorie van Toelicting) yang menyertai rancangan KUHP Belanda. Di sana dikatakan bahwa, ada perbuatanperbuatan, yang oleh hukum, ada yang oleh undang-undang dinyatakan
20
Wirjono Projodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 32 21 ibid, h. 33. 22 ibid.
merupakan suatu tindak pidana. Ada kalanya diadakan ancaman pidana terhadap suatu perbuatan, yang sudah merupakan pelanggaran hukum (onrecht) sebelum pembentuk undang-undang berbicara, dan yang kita anggap tidak baik (onrechtvaardig), meskipun pembentuk undang-undang tidak berbicara. Hal ini disebut sebagai kejahatan (misdrifj). Ada kalanya ada suatu perbuatan, yang dalam arti filsafat hukum (rechtphilosofisch) baru menjadi pelanggaran hukum (onrecht) oleh karena dinyatakan demikian undang-undang, jadi yang tidak baiknya hanya dikenal dari bunyi undang-undang itu. Dalam hal ini ada pelanggaran (overtredingen).23 Penggolongan tersebut tidaklah tepat oleh karena semua tindak pidana, baik yang dimasukkan buku II KUHP sebagai kejahatan atau misdrijfmaupun yang dimasukkan Buku III KUHP sebagai pelanggaran atau overtredingen, merupakan tindak pidana berdasarkan hukum (rechtsdelicten) maupun tindak pidana berdasarkan
undang-undang
(wetsdelichten).24
Terkait
hal
ini,
Wirjono
Projodikoro mengemukakan dua alasan yaitu : 1. Alasan pertama, bahwa semua perbuatan itu adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang, oleh karena nyatanya untuk kedua golongan perbuatan itu undang-undanglah yang menjadikan si pembuat dapat dihukum; 2. Alasan kedua, bahwa semua perbuatan itu merupakan tindak pidana berdasarkan hukum (rechtsdelicten) adalah semua peraturan hukum pidana (strafbepalingen) mempunyai norma yang berada di bidang hukum perdata atau hukum tata negara atau hukum tata usaha negara.25 Sehingga, tidak boleh dilihat pada keadaan sebelum pembentuk undangundang hukum pidana membentuk suatu ketentuan pidana. Sehingga tidak perlu 23
ibid, h. 34. ibid. 25 ibid. 24
dipedulikan apakah sebelum pembentukan ketentuan hukum pidana sudah dikenal ada norma yang belum disertai ancaman pidana. Bahwa suatu norma semacam ini belum dikenal sebelum pembentuk undang-undang mengadakan sanksi pidana, tidak berarti bahwa norma itu tidak ada. Norma itu hanya belum dikenal menurut pandangan masyarakat. Akan tetapi, setelah norma itu dikenal dan sekaligus pada waktu itu juga disertai ancaman pidana, maka tidak ada perbedaan dengan pembentukan ketentuan hukum pidana dengan suatu norma, yang dulu sudah dikenal tetapi belum disertai ancaman pidana.26 Selain cara pertama diatas, terdapat cara kedua yang ditempuh oleh Hazewinkel Suringa, yang hasilnya negatif. Oleh beliau disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kualitatif, tetapi hanya ada perbedaan kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran, dan ini tampaknya didasarkan pada sifat lebih berat daripada kejahatan. Selain daripada sifat umum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa : 1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja 2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu harus dibuktikan oleh Jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah dibuktikan. Berhubung dengan itu, kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa. 3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60). 4. Tenggang kedaluwarsa (verjaring), baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun. 5. Kemungkinan keharusan adanya pengaduan (klacht) untuk penuntutan di muka hakim, hanya terhadap beberapa kejahatan, tidak ada terhadap pelanggaran. 26
ibid.
6. Dalam hal perbarengan (concursus) cara pemidanaan berbeda untuk pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih mudah daripada pidana berat (Pasal 65, 66, 70).27 Dengan demikian, penggolongan kejahatan terhadap pelanggaran ini penting dengan adanya konsekuensi tersebut diatas. Maka, dalam tiap ketentuan hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP harus ditentukan apakah tindak pidana yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. 2.3. Tinjauan Umum tentangTenaga Kerja Indonesia 2.3.1. Pengertian Tenaga Kerja pada Umumnya Menurut kamus bahasa Indonesia, buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah.28 Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan dipadankannya istilah pekerja dengan buruh merupakan kompromi setelah dalam kurun waktu yang amat panjang dua istilah tersebut bertarung untuk dapat diterima oleh masyarakat.29 Pada zaman feodal dulu atau zaman penjajahan Belanda yang dimaksud buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lainlain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut sebagai blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para
27
Moelijatno, op. cit., h. 81. Kamus Besar Bahasa Indonesia, op cit., h. 158. 29 Abdul Rahmad Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, cet. ke - I, PT.Indeks, Jakarta, h. 5. 28
bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya.30 Selama perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-undang No 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan.31 Definisi tenaga kerja terdapat pada Pasal 1 angka 2Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)yang berbunyi,“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat.” Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah perorangan, pengusaha badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.32 2.3.2. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia Definisi Tenaga Kerja Indonesia menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar 30
Asyhadie Zaeni, 2007, Hukum Kerja: Hubungan Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, cet. ke-I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 19. 31 Lalu Husni, 2001, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, cet. ke-II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 22. 32 ibid, h. 29.
Negeri berbunyi, yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.Pengertian ini, dapat dimengerti bahwa TKI adalah orang yang bekerja di luar negeri setelah memenuhi berbagai persyaratan, yaitu meliputi dokumen-dokumen, surat izin dan lain-lain. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 Kep. Menakertrans RI No. Kep 104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI. Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah. 2.3.3. Syarat-Syarat Menjadi Tenaga Kerja Indonesia Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa sesuai dengan definisi dari Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berbunyi,“yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.” Sedangkan Pasal 1 angka 2UU No. 39 Tahun 2004berbunyi,“yang dimaksud dengan Calon Tenaga
Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.” Kedua rumusan pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa agar menjadi TKI di luar negeri harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah diatur didalam UU No. 39 Tahun 2004. Demikian pula aturan mengenai hak dan kewajiban TKI ketika akan bekerja di luar negeri, telah diatur pula dalam pasal 8 UU No. 39 Tahun 2004 yang mengatur tentang hak para TKI untuk bekerja ke luar negeri. Sedangkan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 2004 mengatur mengenai kewajiban para TKI. Pengaturan mengenai bagaimana menjadi TKI di luar negeri diatur dalam Pasal 51 UU No. 39 Tahun 2004 ditentukan syarat-syarat untuk menjadi TKI yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akta kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir; Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah; Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali; Sertifikat kompetensi kerja; Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; Paspor yang diterbitkan oleh kantor Imigrasi setempat Visa kerja; Perjanjian penempatan TKI; Perjanjian kerja; KTKLN.
Pasal 51 UU No. 39 Tahun 2004 ini secara jelas telah mengatur syaratsyarat menjadi TKI agar ke depannya setibanya mereka di luar negeri mereka akan diliputi rasa aman ketika bekerja. Hal ini dikarenakan bahwa mereka telah
melengkapi sejumlah dokumen untuk menjadi prasyarat agar dapat bekerja di luar negeri. Sehingga, para TKI dapat memaksimalkan bakat dan minat mereka ketika mereka tiba di luar negeri. 2.3.4. Sejarah Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Jika berbicara mengenai ketenagakerjaan, para ahli menyebutkan bahwa globalisasi sebagai alasan terjadinya proses kerjasama ketenagakerjaan. Hubungan regional, bilateral ataupun multilateral semakin memperkokoh kerjasama dibidang ketenagakerjaan. Negara-negara di berbagai belahan dunia memiliki kesempatan untuk saling melengkapi kekurangan di masing-masing negaranya untuk berkompetisi di tengah persaingan pasar. Adanya hubungan antarnegara juga semakin membuka peluang kepada masing-masing negara untuk memanfaatkan keberadaan hubungan tersebut dengan menerapkan kebijakan tertentu agar tercapainya tujuan bersama. 2.3.4.1. Sejarah Pengiriman Tenaga Kerja pada masa Kolonialisasi dan Orde Lama Perpindahan tenaga kerja Indonesia antar pulau dan luar negeri tidak dapat dipisahkan dari masa orde lama dan orde baru, bahkan sejak masa penjajahan pada tahun 1887. Pada masa tersebut, tenaga kerja dikirim ke beberapa daerah jajahan seperti Suriname, Kaledonia dan Belanda. Pada masa kolonial di awal abad duapuluh, kebanyakan pembuatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan produktifitas pertanian, sehingga banyak tenaga kerja dari Jawa dipindah ke luar Jawa. Kebijakan migrasi yang dibangun pada masa penjajahan adalah suatu alat yang berguna untuk menghasilkan tujuan dan kepentingan negara serta para
penguasa pada waktu itu. Kebijakan imigrasi yang ada di zaman pemerintahan kolonial Belanda telah diterapkan dan dikembangkan sebagai konsekuensi atas tiga faktor, yaitu : 1.
Faktor Pertama, adanya perubahan politik di Belanda ketika koalisi Calvanis-Katholik berhasil meraih kekuasaan pada tahun 1891. Koalisi ini memiliki misi antara lain untuk menghapus kebijakan kolonial di Indonesia yang bersifat ekploinatif terhadap penduduk pribumi. 2. Kedua, terbukanya kesempatan ekonomi, terutama sebagaimana terlihat oleh para kapitalis Belanda, setelah seluruh kepulauan ditaklukkan oleh Belanda, maka para kapitalis ini menyadari bahwa ada peluang untuk membuka perkebunan di luar Jawa. Namun, masalah yang mereka hadapi adalah kurangnya tenaga kerja untuk menjadi kuli perkebunan. Hal inilah yang menyebabkan, maka perpindahan tenaga kerja dari Jawa ke Luar Jawa terjadi. 3. Faktor ketiga, untuk meredam meluasnya protes gerakan petani di Jawa dengan cara memindahkan penduduk dari kantong penduduk yang padat dan menjadi sarang keresahan petani, ke luar Jawa. Ketiga hal tersebut adalah potret bagaimana migrasi tenga kerja antar daerah terjadi di Indonesia.33 Kondisi migrasi berlanjut hingga memasuki masa kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi. Pada tanggal 3 Juli 1974 menjadi hari bersejarah bagi lembaga Kementerian Perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1974 dibentuk lembaga yang mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan. Migrasi juga dapat dilihat sebelum terjadinya perang dunia II, banyak warga negara Indonesia yang dikirim ke Malaysia, Guyana, dan New Caledonia.34 2.3.4.2. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Baru Sejak tahun 1970, pemerintah mengeluarkan kebijakan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Antar Negara (AKAD). Pengeluaran ini
33
Riswanto Tirtosudarmo, 2007, Mencari Indonesia: Demografi Politik Pasca Soeharto, LIPI Press, Jakarta, h. 258. 34 M. Arif Nasution, 1999, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation, Bandung, h. 126.
kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970. Peraturan ini memberikan wewenang kepada pemerintah dan pihak swasta untuk mengatur proses pengiriman TKI ke luar negeri. Setelah peraturan ini dikeluarkan maka pengurusan tenaga kerja bisa dipegang oleh swasta selain pemerintah.35 Pada dekade awal delapanpuluhan, pemenuhan kebutuhan migran Indonesia di perkebunan dan proyek konstruksi di Malaysia terjadi tanpa campur tangan negara. Maka sejak tahun 1984 pola tersebut berubah. Melalui memorandum of understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12 Mei 1984 (hingga kemudian dikenal sebagai Medan Agreement), berlangsung penerapan pengaturan sekaligus pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia.36 Kesepakatan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.184/Men/1984
tentang
Pemberian
Wewenang
Menerbitkan
Surat
Rekomendasi. Keputusan menteri ini khusus untuk kantor wilayah Departement Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan untuk menerbitkan Surat Rekomendasi bagi Pengerah Tenaga Kerja atau bagi TKI yang akan bekerja di Malaysia. Kemudian Menteri Tenaga Kerja menerbitkan landasan yang lebih kokoh bagi penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia melalui Kepmenaker No.408/Men/1984 tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja di Malaysia. Pasal 11Kepmenaker No.408/Men/1984
35
Awani Irewati, 2003, Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Masalah TKI ilegal di Negara ASEAN, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, h. 34. 36 Wahyu Susilo, 2013, Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia, Migrant Care, Jakarta, h. 22.
ini menetetapkan dua tempat pemberangkatan untuk penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia, yaitu untuk pengiriman ke Malaysia Barat dan Nunukan untuk pengiriman ke Malaysia Timur.37 2.3.4.3. Kondisi Tenaga Kerja Indonesia Pada Masa Reformasi Pada tahun 1998, rezim pemerintahan Soeharto berakhir dan Indonesia memasuki masa reformasi. Di masa reformasi kebebasan mulai diutamakan. Rakyat Indonesia diberikan kebebasan untuk berpendapat dan ikut serta dalam tahapan mempengaruhi keputusan pemerintah. Di masa ini, dapat dilihat perkembangan TKI sebagai berikut : a. Masa Pemerintahan B.J. Habibie Kepemimpinan Habibie yang terhitung sangat singkat tetap memiliki catatan sejarah yang penting bagi Indonesia. Di Masa kepemimpinan Habibie dimana kondisi Indonesia masih mengalami kondisi yang belum stabil di segala bidang karena warisan dari masa Orde baru. Namun kondisi ketenagakerjaan pada waktu itu mulai dikejar oleh rakyat Indonesia sebagai sarana mencari pekerjaan. Pada masa pemerintahan Habibie menginisiasi dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja.Pertama,skema asuransi sosial yang dibangun untuk buruh migran sebagaimana
yang
tertera
dalam
Keputusan
Menteri
No.92
Tahun
1998.Kedua,dikeluarkannya Keputusan Menteri No. 204 Tahun 1999 Tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun tidak banyak yang berbicara tentang perlindungan bagi buruh migran yang ada di dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja tersebut dan hanya terpusat pada isu-isu yang berhubungan
37
ibid, h. 23.
dengan aspek manajerial dan operasional dengan hanya sedikit menyinggung perlindungan.38 b. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid Di bidang ketenagakerjaan pada masa Abdurrahman Wahid, peningkatan pengiriman TKI terus meningkat bahkan pekerja perempuan lebih banyak daripada pekerja laki-laki. Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 1999 tercatat 302.791 buruh perempuan dan 124.828 buruh laki-laki, pada tahun 2000 tercatat 297.273 buruh perempuan dan 137.949 buruh laki-laki dan pada tahun 2001 tercatat 239.942 buruh perempuan dan 55.206 orang buruh laki-laki.39 Ada tiga hal konkret yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yaitu : 1.
2.
3.
mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat buruh independen era orde baru. langkah ini ditempuh sebagai Abdurrahman Wahid juga melakukan pembelaan pada aktivitas buruh ketika menjadi Presiden. Abdurrahman Wahid mencabut Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang eskploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terhadap TKI. Abdurrahman Wahid juga membuat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 150 Tahun 2000 Tentang pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada buruh.40
c. Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri Memasuki awal pemerintahan Megawati, kondisi migrasi Indonesia ditandai dengan satu peristiwa besar yaitu terkait tenaga kerja Indonesa, yaitu deportasi massal tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia melalui Nunukan.41
38
ibid, h. 50. ibid, h. 52. 40 Wahyu Susilo, op. cit., h. 30. 41 Kompas, “Arus Pemulangan TKI semakin Deras”, 30 Juli 2002, dalam Tesis Irfan Rusi Sadak, 2004, Negara dan Pekerja Migran, Fakfor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan 39
Banyaknya TKI yang dipulangkan dan masih belum jelasnya sistem pemulangan bagi para TKI ilegal tersebut membuat pihak Malaysia memberikan tenggang waktu bagi TKI ilegal untuk tinggal di penampungan di kabupaten Nunukan pada waktu itu.Pemerintah Indonesia pernah melakukan suatu upaya memecahkan masalah tenaga kerja ilegal adalah dengan melakukan “pemutihan”, seperti yang terjadi pada tahun 1996. Dengan “pemutihan” tersebut berarti TKI ilegal tidak perlu dikembalikan ke Indonesia tetapi diberikan kelengkapan dokumen keimigrasian oleh pihak Indonesia sehingga masih dapat bekerja. Namun upaya untuk diberlakukan kembali “pemutihan” ditolak oleh pihak Malaysia dengan alasan jika “pemutihan” dilakukan maka akan memberikan peluang untuk masuknya TKI ilegal dengan jumlah dua kali lipat lebih banyak. Sehingga upaya pemutihan tersebut tidak dapat direalisasikan. Akhirnya, Megawati memikirkan cara untuk mengeluarkan peraturan yang jelas dalam penempatan dan perlindungan buruh migran. Hingga pada tahun 2004, Megawati mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesa di Luar Negeri (PPTKILN).42 Puncak permasalahan TKI ilegal yang terjadi tahun 2004, membuat Megawati membentuk Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun, kelahiran undang-undang tersebut hanya fokus pada penempatan dan tidak banyak pasal yang mengatur tentang
Penanganan Negara terhadap Kasus Deportasi TKI di Kabupaten Nunukan pada Tahun 2002, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, h. 1. 42 Ana Shabana Azmy, 2011, “Negara dan Buruh Migran Perempuan, Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010 (Studi Terhadap Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia)”, Tesis Fakultas Ilmus Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta, h. 47.
perlindungan TKI saat berada di luar negeri. Tidak adanya standarisasi perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri khususnya di Malaysia, dimana Malaysia adalah negara penempatan TKI terbesar setelah Arab Saudi. Malaysia juga merupakan tempat dimana buruh perempuan kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang sebenarnya membutuhkan perlindungan yang tegas.43 d. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah migran menjadi lebih serius. Hal ini disebabkan karena masih terdapat benang merah permasalahan TKI ilegal pada saat pemerintahan Megawati. Kemudian hal tersebut diperparah dengan bertambahnya jumlah TKI yang mengadu nasib ke Malaysia, tetapi memiliki beberapakasus yang serius seperti misalnya pelanggaran HAM. Adapun beberapa kasus tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Malaysia khususnya dengan buruh perempuan yang bekerja di sektor informal yaitu Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang marak terjadi.44 Tingginya angka pengiriman TKI ke luar negeri yang berbanding lurus dengan semakin tingginya pengangguran di Indonesia adalah pertanda kondisi perekonomian Indonesia dalam membuka lapangan pekerjaan baru belum terselesaikan. Ditambah lagi dengan besarnya jumlah buruh migran yang bekerja di luar negeri, khususnya Malaysia, tidak dilengkapi dengan kebutuhan dari migran tersebut yaitu perlindungan dengan standar tertentu bagi migran yang sedang bekerja di negara tujuan. 43
ibid. Ana Shabana Azmy, op. cit., h. 56.
44