BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI
A. Dasar Hukum Asuransi Asuransi berasal dari kata verzekering (Belanda) yang berarti pertanggungan atau asuransi. Istilah pertanggungan umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia. Sedangkan istilah asuransi yang berasal dari istilah assurantie (Belanda) atau assurance (Inggris) banyak dipakai dalam praktik dunia bisnis. Dari istilah-istilah tersebut lahirlah istilah hukum pertanggungan atau hukum asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht dan dalam bahasa Inggris disebut Insurance Law. 20 Defenisi asuransi diatur dalam Pasal 246 KUHD. Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Defenisi asuransi yang lebih lengkap yang mencakup baik asuransi kerugian maupun asuransi sejumlah uang dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang menyatakan: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
20
Bahan kuliah Hukum Asuransi
Universitas Sumatera Utara
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Bila dikelompokkan, maka dasar pengaturan asuransi bisa dilihat dalam tiga kelompok peraturan perundang-undangan. 1. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Dalam KUHD ada dua cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab 9 Pasal 246-286 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 Pasal 287-308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592-695 KUHD, dengan rincian sebagai berikut: 21 Buku I Bab 9
: Mengatur tentang Asuransi pada umumnya.
Buku I Bab 10
: Mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran, terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah dan tentang asuransi jiwa.
Buku I Bab 10 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama
: mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran.
− Bagian kedua
: mengatur
asuransi
terhadap
bahaya-bahaya
yang
mengancam hasil-hasil pertanian di sawah. − Bagian ketiga Buku II Bab 9
: mengatur asuransi jiwa. : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya-bahaya perbudakan.
Buku II Bab 9 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama
: mengatur tentang bentuk dan isi asuransi.
− Bagian kedua
: mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan.
− Bagian ketiga
: mengatur tentang awal dan akhir bahaya.
21
Abdul muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, (Medan; Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2005) hal 5.
Universitas Sumatera Utara
− Bagian keempat
: mengatur
tentang
hak
dan
kewajiban-kewajiban
penanggung dan tertanggung. − Bagian kelima
: mengatur tentang abandonemen.
− Bagian keenam
: mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak makelar di dalam asuransi laut.
Buku II bab 10
: mengatur
tentang
asuransi
terhadap
bahaya-bahaya
pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta perairan pedalaman. Pengaturan asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang didasarkan pada perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban dan hak tertanggung dan penanggung secara bertimbal balik. Sebagai perjanjian khusus, asuransi dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi. Pengaturan asuransi dalam KUHD meliputi substansi berikut ini : 22 a. Asas-asas asuransi; b. Perjanjian asuransi; c. Unsur-unsur asuransi; d. Syarat-syarat (klausula) asuransi; e. Jenis-jenis asuransi;
2. Dalam Undang-Undang Usaha Perasuransian Saat ini terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan usaha atau bisnis perasuransian. Undang-undang dimaksud adalah UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 tanggal 11 Februari 1992. Undang-undang ini mengutamakan pengaturan dari segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung; PT. Citra Aditya bakti, 2006) hal 18.
Universitas Sumatera Utara
harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan Negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar maka pelanggaran tersebut diancam sanksi pidana dan sanksi administratif menurut undang-undang perasuransian. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992. 23 Pengaturan usaha perasuransian dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 terdiri dari 13 (tiga belas) bab dan 28 (dua puluh delapan) pasal dengan rincian substansi sebagai berikut : 24 a. Bidang usaha perasuransian meliputi kegiatan: 1) Usaha asuransi, dan 2) Usaha penunjang asuransi. b. Jenis usaha perasuransian sebagai meliputi: 1) Usaha asuransi terdiri dari: asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi. 2) Usaha penunjang asuransi terdiri dari: pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi. c. Perusahaan Perasuransian meliputi: 1) Perusahaan Asuransi Kerugian. 2) Perusahaan Asuransi Jiwa. 3) Perusahaan Reasuransi. 4) Perusahaan Pialang Asuransi. 5) Perusahaan Pialang Reasuransi. 6) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. 7) Perusahaan Konsultan Aktuaria. 8) Perusahaan Agen Asuransi. d. Bentuk hukum usaha perasuransian terdiri dari: 1) Perusahaan Perseroan (Persero). 23
Ibid, hal 19.
24
Ibid, hal 20.
Universitas Sumatera Utara
2) Koperasi. 3) Perseroan Terbatas. 4) Usaha Bersama (mutual). e. Kepemilikan Perusahaan Perasuransian oleh: 1) Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. 2) Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia bersama dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada ghukum asing. f. Perizinan usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan. g. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan mengenai: 1) Kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi. 2) Penyelenggaraan usaha perasuransian dan modal usaha. h. Kepailitan dan likuidasi Perusahaan Asuransi melalui keputusan Pengadilan Niaga. i. Ketentuan sanksi pidana dan sanksi administratif meliputi: 1) Sanksi pidana karena kejahatan: menjalankan usaha perasuransian tanpa izin, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan kekayaan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, menerima atau menadah atau membeli kekayaan Perusahaan Asuransi hasil penggelapan, pemalsuan dokumen Perusahaan Asuransi, Reasuransi. 2) Sanksi administratif berupa: ganti kerugian, denda administratif, peringatan, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha perusahaan. 3. Undang-Undang Asuransi Sosial Asuransi sosial di Indonesia pada umumnya meliputi bidang jaminan keselamatan angkutan umum, keselamatan kerja, dan pemeliharaan kesehatan. Program asuransi sosial diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Universitas Sumatera Utara
tahun 1992. Perundang-undangan yang mengatur asuransi sosial adalah sebagai berikut: 25 a. Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Jasa Raharja): 1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan
Penumpang.
Peraturan
pelaksanaannya
adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965. 2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965.
b. Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek): 1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). 2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1990 tentang Penyelenggaraan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977). 3) Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). 4) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (ASPNS).
c. Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan (Askes) 1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Perundang-undangan Asuransi Sosial disamping Ketentuan Asuransi dalam KUHD, maka dianggap cukup memadai aturan hukum yang 25
Ibid, hal 21.
Universitas Sumatera Utara
mengatur tentang usaha perasuransian, baik dari segi keperdataan maupun dari segi publik administratif.
B. Tujuan Asuransi Pada prinsipnya, asuransi bertujuan untuk mengalihkan atau membagi risiko. Tetapi dalam perkembangannya, tujuan itu kemudian dipecah menjadi tujuan yang bersifat sosial dan tujuan yang bersifat ekonomis. Tujuan yang bersifat sosial, meliputi kesejahteraan anggota dan keamanan sosial. Sedangkan tujuan yang bersifat ekonomis mencakup tujuan pengalihan risiko itu sendiri, kebutuhan akan ganti kerugian dan premi. Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda itu, maupun karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya. Banyak diantara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah diharapkan akan terjadinya. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai benda itu mempunyai sifat yang tak dapat diharapkan lebih dahulu. 26 Disebabkan kebakaran, maka benda seseorang akan hancur, karena kecurian, maka seseorang akan kehilangan barang-barang perhiasan, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwaperistiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya menderita kerugian yang lebih besar dari faktorfaktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang. Jika ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh 26
Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Asuransi, (Medan; Badan Penerbit STIE Tri Karya, 1994) hal 8.
Universitas Sumatera Utara
orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya. Diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi. 27 Adapun tujuan asuransi adalah sebagai berikut : 1. Teori Mengalihkan atau Membagi Risiko Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-sewaktu dapat terjadi. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Dalam dunia bisnis Perusahaan Asuransi selalu siap menerima tawaran dari pihak tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung. Berbeda dengan asuransi kerugian, pada asuransi jiwa apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung, maka tertanggung akan memperoleh pengembalian sejumlah uang dari penanggung sesuai dengan isi perjanjian asuransi. Premi yang dibayar oleh tertanggung itu seolah-olah sebagai tabungan pada penanggung. Timbulnya perbedaan dengan asuransi kerugian karena 27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pembayaran premi pada asuransi jiwa dilakukan secara berkala biasanya secara bulanan. Dalam jangka waktu yang cukup lama premi yang disetor kepada penanggung dapat berfungsi sebagai modal usaha dengan mana tertanggung diberi hak untuk menikmati hasilnya setelah jangka waktu asuransi berakhir tanpa terjadi evenemen. 28 Dengan menerima risiko dari tertanggung, perusahaan asuransi jelas akan menanggung risiko sendiri. Berkaitan dengan keadaan tersebut, timbul pertanyaan, mengapa perusahaan asuransi bersedia menerima hal tersebut? Hal demikian antara lain disebabkan pada dasarnya perusahaan asuransi itu memiliki keahlian untuk menerapkan teknik-teknik mengurangi risiko yang tidak terbuka bagi setiap pihak yang ditanggung dan karena itu membuat risiko yang dialihkan kepadanya dapat memberikan keuntungan baginya dari premi yang dikenakan. Adapun teknik-teknik mengurangi atau memperkecil risiko tersebut pada dasarnya yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung adalah sebagai berikut : a) Keahlian, yaitu dengan menjadi seorang ahli dalam menanggung risiko, maka perusahaan asuransi mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang risiko daripada para tertanggung. b) Pengelompokan, yaitu menerapkan berlakunya bilangan besar (law of large number) dan membuat risiko lebih mudah untuk diramalkan dengan memakai data statistik yang dihimpunnya. Apabila kelompok risiko tidak cukup besar untuk meningkatkan daya peramalannya, para penanggung akan mengatur kelompok-kelompok antara perusahaan sehingga penyebarannya cukup luas untuk mengurangi penyimpangan kerugian-kerugian sebenarnya dari yang diperkirakan. c) Pencegahan risiko, yakni apabila keadaan keuangan perusahaan asuransi cukup kuat, mereka dapat memperkuat atau menambah atau melengkapi saranasarana untuk mengurangi risiko yang oleh tertanggung tidak mau atau tidak mampu untuk mereka lakukan sendiri. 28
Abdulkadir, Op Cit, hal 13.
Universitas Sumatera Utara
d) Melakukan pengalihan risiko lebih lanjut yaitu melalui lembaga reasuransi yang dimungkinkan oleh Pasal 271 KUHD. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa asuransi mempunyai fungsi atau tujuan untuk mengalihkan atau membagi risiko. Berkaitan dengan hal tersebut, William Jr. dan heins mengatakan “Insurance is a key tool of risk management” Dari kalimat tersebut tersirat bahwa asuransi merupakan cara terbaik untuk mengelola risiko yang mungkin terjadi. Dapat diartikan pula bahwa risiko merupakan inti dari asuransi. Apabila kita berbicara mengenai asuransi, tidak akan dapat dilepaskan dari pembahasan tentang risiko yang ditanggungnya. Disamping itu, berdasarkan penelitian serta pendapat para sarjana antara lain Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan Wirjono Prodjodikoro, dapat disimpulkan bahwa asuransi mempunyai peranan yang besar dalam menunjang kegiatan manusia ataupun perusahaan. Hal itu disebabkan asuransi memberikan beberapa manfaat, antara lain: a) Ditutupnya perjanjian asuransi akan menciptakan rasa tentram kepada yang bersangkutan; b) Adanya keberanian untuk menggalang tujuan yang lebih besar, dapat melahirkan rasa optimisme dalam meningkatkan usaha; c) Asuransi merupakan dasar pertimbangan atau persyaratan dari pemberian kredit; d) Asuransi merupakan alat untuk membentuk modal dan pendapatan untuk masa depan; e) Dengan asuransi akan menaikkan efisiensi dan kegiatan perusahaan; f) Sebagai sarana jaminan sosial, dll.
2. Pembayaran Ganti Kerugian Seiring dengan berkembangnya masyarakat, dan berubahnya orientasi hidup masyarakat yang cenderung konsumtif dan profit oriented, maka motif menutup asuransi saat ini tidak semata-mata untuk mengalihkan risiko apalagi untuk tujuan kesejahteraan anggota dan sosial. Dari sisi penanggung yang biasanya berbentuk
Universitas Sumatera Utara
perusahaan badan hukum bahwa motif mengumpulkan premi (sebagai modal) merupakan tujuan utama didirikan asuransi. Sedangkan dari sisi tertanggung, motif menutup asuransi adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atau pengembalian sejumlah uang atau santunan. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Jika dibandingkan dengan jumlah premi yang diterima dari beberapa tertanggung, maka jumlah ganti kerugian yang dibayarkan kepada tertanggung yang menderita kerugian itu tidaklah begitu besar jumlahnya. Kerugian yang diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang diterima dari seluruh tertanggung. Dari sudut perhitungan ekonomi, keadaan ini merupakan faktor pendorong perkembangan Perusahaan Asuransi, disamping faktor tingginya pendapatan perkapita warga negara (warga masyarakat). Berbeda dengan asuransi kerugian, pada asuransi jiwa apabila dalam jangka waktu asuransi terjadi peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung, maka penanggung akan membayar jumlah asuransi yang telah disepakati bersama seperti tercantum dalam polis. Jumlah asuransi yang disepakati itu merupakan dasar perhitungan premi dan untuk memudahkan penanggung membayar sejumlah uang akibat terjadinya peristiwa kematian atau kecelakaan. Jadi, pembayaran sejumlah uang itu bukan sebagai ganti kerugian,
Universitas Sumatera Utara
karena jiwa atau raga manusia bukan harta kekayaan dan tidak dapat dinilai dengan uang.
3. Pembayaran Santunan Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dan tertanggung (voluntary Insurance). Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya tertanggung terikat dengan penanggung karena perintah undang-undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini disebut asuransi sosial (social security insurance). Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Dengan membayar
sejumlah
kontribusi
(semacam
premi),
tertanggung
berhak
memperoleh perlindungan dari ancaman bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka (atau ahli warisnya) akan memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang-undang. Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.
4. Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan
sebagai
penanggung,
sedangkan
anggota
perkumpulan
berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayar
Universitas Sumatera Utara
sejumlah uang kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan. 29 Asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan koperasi yang didasarkan pada prinsip saling menanggung. Asuransi saling menanggung lebih tepat jika dikelola oleh perkumpulan koperasi atau usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anggotanya. Setelah ditelaah dengan seksama, asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, tetapi hanya mempunyai unsur-unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau asuransi jumlah. Penyetoran uang iuran oleh anggota
perkumpulan
(semacam
premi
oleh
tertanggung)
merupakan
pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya, misalnya bantuan biaya upacara bagi anggota yang mengadakan selamatan, bantuan biaya penguburan bagi anggota yang meninggal dunia, dan biaya perawatan bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau sakit. Asuransi kesejahteraan seperti ini lebih sesuai apabila dikelola oleh perkumpulan Koperasi atau Usaha Bersama karena sesuai benar dengan asas dan tujuan keduan badan hukum tersebut. Kedua badan hukum ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 sebagai berikut: “usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: 1. Perusahaan Perseroan (Persero); 2. Koperasi; 3. Perseroan Terbatas; 4. Usaha bersama (mutual)”. Usaha Bersama semacam ini dalam praktek asuransi kini telah dilakukan dalam bentuk Asuransi Takaful (asuransi kesejahteraan) berdasarkan prinsip syariah islam, yang menghindari sistem bunga yang disebut riba. Asuransi Takaful merupakan alternatif yang dikembangkan oleh pengusaha islam yang menampung hasrat para peminat, mengingat sebagian besar anggota masyarakat Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu prospek Asuransi Takaful cukup cerah. 29
Ibid., hal 15.
Universitas Sumatera Utara
C. Prinsip-Prinsip Dasar Perjanjian Asuransi Asuransi dalam terminologi hukum merupakan suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian asuransi. Di samping itu karena acuan pokok perjanjian asuransi tetap pada penegrtian dasar dari perjanjian. Secara umum pengertian perjanjian dapat dijabarkan antara lain adalah sebagai berikut: 30 1. Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 2. Suatu hubungan hukum antara pihak, atas dasar mana pihak yang sau (yang berpiutang atau kreditur) berhak untuk suatu prestasi dari yang lain. (yang berhubungan atau debitur) yang juga berkewajiban melaksanakan dan bertanggung jawab atas suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian, asuransi juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dasar yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) buku III bab Kedua. Asuransi dikatakan suatu perjanjian jelas ditentukan dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum dagang (K.U.H.D). Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yaitu : 31 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, 3. Mengenai suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal. Adapun prinsip-prinsip dasar perjanjian asuransi itu adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (Insurable Principle) Dalam hukum asuransi, ditentukan bahwa apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap
30
Sri Rejeki., Op Cit., hal 82.
31
Abdul., Op Cit., hal 22.
Universitas Sumatera Utara
obyek yang diasuransikannya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 250 KUHD yang berbunyi : “Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang diasuransikannya itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian”. Jelas dari ketentuan diatas bahwa kepentingan merupakan syarat mutlak (essential vereiste) untuk dapat diadakan perjanjian asuransi. Bila hal itu tidak dipenuhi, penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian. Menurut Molengraaff, kepentingan dirumuskan sebagai kekayaan atau bagian dari kekayaan tertanggung yang apabila terkena bencana dapat diterima, dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kekayaan dalam defenisi dimaksud harus diartikan secara luas. Hal itu berarti meliputi kekayaan yang dapat dinilai dengan uang atau tidak, baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Bertitik tolak dari rumusan demikian, hak dan kewajiban seseorang dapat merupakan kepentingan, sehingga dapat menjadi obyek asuransi. Masalah selanjutnya adalah mengenai kapan kepentingan itu harus ada. Apabila memperhatikan Pasal 250 KUHD, jelas dikatakan bahwa kepentingan harus ada pada saat diadakan perjanjian asuransi. Akan tetapi, sebagian besar sarjana (Volmar, Dorhout Mees, dan Emmy Pangaribuan Simanjuntak) berpendapat bahwa pengertian kepentingan harus ada pada Pasal 250 KUHD, harus diartikan bukan waktu perjanjian asuransi diadakan, melainkan pada waktu kerugian terjadi. Diharuskan ada kepentingan dalam perjanjian asuransi dengan maksud mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.
2. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Principle of Utmost Good Faith) Istilah prinsip itikad baik yang sempurna, terkadang disebut juga dengan istilah asas kejujuran yang sebaik-baiknya. Ini merupakan padanan istilah dari principle of utmost good faith (Inggris) atau uberrimae fidei (Latin).
Universitas Sumatera Utara
Penerapan asas itikad baik yang sempurna di dalam hukum Inggris bertitik tolak dari sifat khusus perjanjian asuransi sebagai perjanjian alletoir (bersyarat), sehingga hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum yang menguasai perjanjian lainnya seperti asas caveat emptor atau let the buyer be aware. 32 Tetapi karena sifatnya yang khusus, maka didalam perjanjian asuransi pihak tertanggunglah yang memberikan segala keterangan (informasi) mengenai keadaan obyek atau benda yang akan diasuransikan. Jadi, perjanjian asuransi didasarkan pada asumsi bahwa calon tertanggung pada waktu akan menutup asuransi mengetahui semua keadaan dan risiko yang akan diasuransikan, sedangkan penanggung tidak mengetahuinya, dan bagi pihak penanggung dalam menganalisa risiko yang akan diasuransikan sangat bergantung pada informasi yang diberikan oleh calon tertanggung tersebut. Dengan demikian asas itikad baik yang sempurna di atas menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum ditutupnya perjanjian asuransi. Hal ini berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 (3) KUHPerdata tersebut terletak pada pelaksanaan perjanjian. Menurut H.Gunanto, dalam kenyataannya asas yang oleh hukum inggris disebut sebagai principle of utmost good faith bukan soal itikad baik sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, melainkan menyangkut soal “cacat kehendak”. Berkaitan dengan asas itikad baik yang sempurna ini, diatur dalam Pasal 251 KUHD, yang berbunyi: “Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, atau setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh sitertanggung betapapun itikad baik itu ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak 32
Menurut asas ini, suatu pihak dalam perjanjian tidak wajib memberitahukan sesuatu yang ia ketahui mengenai obyek perjanjian kepada pihak lawannya. Pihak lawan harus mewaspadai sendiri keadaan dan kualitas obyek perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
akan
ditutup
atau
ditutupnya
dengan
syarat-syarat
yang
sama,
mengakibatkan batalnya pertanggungan”. Pasal 251 KUHD diatas, menekankan kewajiban tertanggung untuk memberitahukan atau memberikan segala informasi yang benar (fakta materil) mengenai obyek asuransi kepada penanggung.
3. Prinsip Ganti Kerugian (Indemnity Principle) Pada hakekatnya, fungsi asuransi adalah mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh tertanggung karena terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti. Oleh karena itu, besarnya ganti kerugian yang diterima oleh tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang dideritanya. Hal ini merupakan inti dari prinsip ganti kerugian atau keseimbangan. Prinsip ini tercermin dalam Pasal 246 KUHD, yaitu pada bagian kalimat “…untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti”. Untuk dapat mengadakan keseimbangan antara kerugian yang diderita oleh tertanggung dengan ganti kerugian yang diberikan oleh penanggung, harus diketahui berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip ganti kerugian hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingan dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian (schade verzekering). Kepentingan di dalam asuransi jumlah (sommen verzekering) tidak dapat dinilai dengan uang, sehiingga diadakan tidak dengan tujuan mengganti suatu kerugian yang diderita oleh tertanggung. Dengan perkataan lain, prinsip ganti kerugian tidak berlaku bagi asuransi jumlah.
4. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle) Di dalam pelaksanaan perjanjian asuransi, kemungkinan peristiwa kerugian terjadi disebabkan perbuatan pihak ketiga. Dalam keadaan biasa, kerugian yang ditimbulkan
oleh
pihak
ketiga
tersebut
mengakibatkan
harus
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Dengan kata lain, pemilik barang dapat melakukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut untuk memberikan ganti kerugian atas perbuatannya. Mengenai hal ini, dapat diperhatikan, ketentuan pasal 1365 KUHPerdata. Akan tetapi, persoalannya menjadi lain dalam perjanjian asuransi. Apabila tertanggung yang telah mendapat ganti kerugian dari penanggung, juga diperkenankan menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga yang menyebabkan timbulnya kerugian tersebut, maka tertanggung dapat menerima ganti kerugian yang melebihi kerugian yang dideritanya. Jika hal ini terjadi tentu akan bertolak belakang dengan prinsip ganti kerugian atau indemnitas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Untuk menghindarkan hal tersebut, dalam KUHD diatur mengenai subrogasi bagi penanggung dalam Pasal 284 KUHD yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan,
menggantikan
tertanggung
dalam
segala
hak
yang
diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orangorang ketiga itu”. Dapat
diketahui
bahwa
subrogasi
adalah
penggantian
kedudukan
tertanggung oleh penanggung yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tetanggung kepada pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian. Akan tetapi, kemungkinan terjadi kerugian yang diderita oleh tertanggung tidak diganti sepenuhnya oleh penanggung. Apabila dilaksanakan secara ketat ketentuan Pasal 284 KUHD, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi tertanggung sebab ia kehilangan haknya untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak ketiga, sedangkan asuransi mempunyai tujuan memberikan ganti kerugian yang diderita tertanggung (prinsip indemnitas). Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tepat apa kata Emmy Pangaribuan Simanjuntak bahwa untuk subrogasi haruslah bersifat terbatas. Hal itu berarti, apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penanggung maka hanya dapat disubrogasikan untuk sejumlah kerugian yang telah dibayarnya. Hak-hak selebihnya dari
Universitas Sumatera Utara
tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian masih dipegang tertanggung sendiri. Singkatnya, subrogasi penuh menurut Pasal 284 KUHD hanya diterapkan apabila penanggung telah membayar semua kerugian yang diderita tertanggung.
D. Dasar Hukum Asuransi Syariah 1. Al-Qur’an Apabila dilihat sepintas keseluruhan ayat Al-Qur’an, tidak terdapat satu ayat pun yang menyebutkan istilah asuransi seperti yang kita kenal sekarang ini, baik istilah “al-ta’min” ataupun al-takaful”. Namun demikian, walaupun tidak menyebutkan secara tegas, terdapat ayat yang menjelaskan tentang konsep asuransi dan yang memiliki muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut antara lain : 33
a. Perintah Allah untuk Mempersiapkan Hari Depan 1) QS. Al-Hasyr (59) : 18 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan”. 2) QS. Yusuf (12) : 47 – 49 “Yusuf berkata, supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa. Maka, apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit unuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan bulirnya kecuali sediki untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sult yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit 33
Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm 189.
Universitas Sumatera Utara
gandum) yang kamu simpan. Kemudian akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”.
b. Perintah Allah untuk Saling Menolong dan Bekerja Sama 1) QS. Al-Maidah (5) : 2 “…..Tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”. 2) QS. Al-Baqarah (2) : 185 “…..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….”
c. Perintah Allah untuk Saling Melindungi dalam Keadaan Susah 1) QS. Al-Auraisy (106) : 4 “yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. 2) QS. Al-Baqarah (2) : 126 “Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa (selamat).
d. Perintah Allah untuk Bertawakal dan Optimis Berusaha 1) QS. Al-Taghaabun (64) : 11 “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah….” 2) QS. Luqman (3) : 34 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalan pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan, tidak seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besoj; dan tiada seorangpun
Universitas Sumatera Utara
yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. e. Penghargaan Allah Terhadap Perbuatan Mulia yang Dilakukan Manusia QS. Al-Baqarah (2) : 261 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2. Sunnah Nabi SAW34 a. Hadis tentang Aqilah Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, dia berkata : ‘Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tesebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW, memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki).” (HR. Bukhari). Hadis di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Aqilah dalam Hadis di atas dimaknai dengan ashabah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain. Penangungan bersama oleh qilah-nya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. 34
Ibid., hlm 191.
Universitas Sumatera Utara
Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antaraanggota suku.
b. Hadis tentang Anjuran Menghilangkan Kesulitan Seseorang Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda “Barangsiapa yang menghilangkah kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT, akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat”.
c. Hadis tentang Anjuran Meninggalkan Ahli Waris yang Kaya Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW : “Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya” (HR. Bukhari). Nabi Muhammad SAW, sangat memerhatikan kehidupan yang akan terjadi di masa datang (future time) dengan cara mempersiapkan sejak dini bekal yang harus diperlukan untuk kehidupan dan keturunan (ahli waris)-nya di masa mendatang. Meninggalkan keluarga (ahli waris) yang berkecukupan secara materi, dalam pandangan Rasulullah SAW., sangatlah baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan telantar yang harus meminta-minta ke orang lain. Dalam pelaksanaan operasionalnya, organisasi asuransi mempraktikkan nilai yang terkandung dalam hadis di atas dengan cara mewajibkan anggotanya untuk membayar uang iuran (premi) yang digunakan sebagai tabungan dan dapat dikembalikan ke ahli warisnya apabila ada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk keamtian nasabah atau kecelakaan diri.
d. Hadis tentang Mengurus Anak Yatim (Kifl –al-Yatim) Diriwayatkan dari Sabal bin Sa’ad r.a mengatakan Rasulullah telah bersabda : “Saya dan orang yang menanggung anak yatim nanti akan di surga seperti ini.”
Universitas Sumatera Utara
Rasulullah bersabda sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari yang tengah. (HR. Bukhari).
e. Hadis tentang Menghindari Risiko Diriwayatkan dari Anas bin Malik, r.a, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya): “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?” Bersabda Rasulullah SAW : “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertakwalah kepada Allah SWT” (HR. At-Turmudzi). Nabi Muhammad SAW. Memberi tuntunan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya langsung menyerahkan segalanya (tawakkal) kepada Allah SWT. Hadis di atas mengandung nilai implisit agar kita selalu menghindar dari risiko yang membawa kerugian pada diri kita, baik berbentuk kerugian materi ataupun kerugian yang berkaitan langsung dengan diri manusia (jiwa). Praktik asuransi adalah bisnis yang bertumpu pada bagaimana cara mengelola risiko itu dapat diminimalisasi pada tingkat yang sedikit (serendah) mungkin.Risiko kerugian tersebut akan terasa ringan jika dan hanya jika ditanggung bersama-sama oleh semua anggota (nasabah) asuransi. Sebaliknya, apabila risiko kerugian tersebut hanya ditanggung oleh pemiliknya, maka akan berakibat terasa berat bagi pemilik risiko tersebut.
f. Hadis tentang Piagam Madinah Dalam Piagam Madinah yang dikeluarkan oleh Nabi terdapat ketentuan tentang keharusan untuk membayar tebusan tawanan oleh komunitasnya. Bunyi Piagam Madinah tersebut adalah sebagai berikut : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi SAW., di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-
Universitas Sumatera Utara
membahu membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil di antara mukminin.
Demikian pula, suku Bani Auf, Bani Harits, dan suku lainnya yang hidup di Madinah pada waktu itu juga, mengharuskan membayar uang darah dalam komunitas bersama bersandarkan pada doktrin aqilah sebagai peraturan dalam konstitusi. Dalam konstitusi ini dijelaskan tentang pengaturan bersama antara orang Quraisy yang berhijrah (migran) dengan suku-suku yang tinggal di Madinah untuk saling melindungi dan hidup bersama dalam suasana kerja sama saling menolong. Pasal 11 Piagam Madinah memuat ketentuan bahwa kaum mukminin tidak boleh membiarkan sesama mukmin berada dalam kesulitan memenuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan seperti yang disebutkan dalam pasal-pasal terdahulu. Ketentuan ini menekankan solidaritas sesama mukmin dalam mengatasi kesulitan.
3. Ijtihad35 a. Fatwa Sahabat Praktik Sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab. Beliau berkata : “Orangorang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
b. Ijma
35
Ibid., hlm 194.
Universitas Sumatera Utara
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin khatab. Adanya ijma atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang menentang pelaksanaan qilah ini. Aqilah adalah iuran darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari si pembunuh (orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini, kelompoklah yang menanggung pembayarannya karena pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya Sahabat yang menentang Khalifah Umar, dapat disimpulkan bahwa telah terdapat ijma di kalangan Sahabat Nabi SAW, mengenai persoalan ini.
c. Qiyas Yang dimaksud dengan qiyas adalah metode ijtihad dengan jalan menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentauannya di dalam AlQur’an danAs-Sunnah atau Al-Hadis dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadis karena persamaan illat (penyebab atau alasannya). Dalam kitab Fathul Bari, disebutkan bahwa dengan datangnya Islam sistem aqilah diterima Rasulullah SAW, menjadi bagian dari hukum Islam. Ide pokok dari aqilah adalah suku arab zaman dahulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama si pembunuh untuk membayar ahli waris korban. Kesiapan untuk membayar kontribsui keuangan ini sama dnegan pembayaran premi pada praktik asuransi syariah saat ini. Jadi, jika dibandingkan permasalahan asuransi syariah yang ada pada saat ini dapat di-qiyaskan dengan sistem qilah yang telah diteirma di masa Rasulullah.
d. Istihsan Istihsan adalah dengan cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Dalam pandangan ahliu ushul fiqh adalah memandang sesuatu itu baik. Kebaikan dari kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa
Universitas Sumatera Utara
sistem aqilah dapat menggantikan atau menghindari balas dendam berdarah yang berkelanjutan.
E. Tujuan Asuransi Syariah 1. Misi Aqidah 36 Ekonomi Islam adalah ekonomi Rabbani, karena ia lahir dari aqidah robbaniyah. Aqidah tauhid yang dengannya Allah telah mengutus para rasul-Nya dan menuntunkan kitab-kitab-Nya. Ia merupakan penjabaran aqidah dalam bidang ekonomi dan ia merupakan pelayan bagi aqidah tersebut. Asuransi takaful (syariah) membawa misi untuk membersihkan umatnya dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan syariat-Nya. Oleh karena itu, landasan iman dan komitmen syariah yang mendasari pemikiran akan perlunya lembaga perasuransian yang sesuai dengan ketentuan Allah. Asuransi dengan prinsip-prinsip syariah pada hakekatnya adalah manifestasi tahkim pada aturan yang menjamin kesucian dan ketakwaan. Asuransi syariah menjadi wasilah (sarana) mensucikan diri kita melalui praktek muamalah yang Islami, yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah, dan membersihkan jiwa dari praktek gharar, maisir, dan riba. 2. Misi Ibadah (Ta’awun) Asuransi syariah adalah asuransi yang bertumpu pada konsep tolongmenolong dalam kebaikan dan ketakwaan (wata’awanu’alal birri wattaqwa), dan perlindungan (at-ta’min). Juga menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung. Prinsip dasar asuransi konvensional sangat berbeda dengan asuransi syariah, karena prinsip dasar asuransi syariah berangkat dari filosofi bahwa manusia berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia pada hakekatnya merupakan keluarga besar. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, sesama manusia harus berbuat kebaikan (tabarru’) saling menolong dan saling
36
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm 321.
Universitas Sumatera Utara
menanggung. Ini merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. 3. Misi Iqhtishodi (Ekonomi) Dalam konteks umat, usaha asuransi takaful adalah mencari keuntungan ekonomis bagi peningkatan kesejahteraan dan perjuangan umat, membangun jaringan ekonomi umat. Terutama memperkuat basis lapisan ekonomi menengah, selain dalam upaya menegakkan syariat Islam di bidang iqtishodiyah ‘ekonomi’ dan menciptakan kultur ekonomi yang Islami. Berdirinya asuransi takaful (dan asuransi syariah lainnya), jelas akan meningkatkan kesadaran berasuransi. Sehingga, disamping ikut membangun untuk memperkuat sumber daya keuangan dalam negeri, juga akan memberikan dampak kontraksi moneter untuk menahan laju inflasi. Dengan optimalnya investasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah Islam, maka akan dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara maksimal. 4. Misi Pemberdayaan Umat (Sosial) Sebagaimana misi yang diemban asuransi umumnya, pada asuransi syariah misi mengemban beban sosial terasa lebih melekat pada dirinya, melalui produkproduk yang khusus dirancang untuk lebih mengarah kepada kepentingan sosial dan pemberdayaan umat daripada kepentingan komersial. Tidak keliru jika dikatakan penikmat utama dari produk-produk asuransi konvensional adalah masyarakat menengah ke atas. Tetapi, hal ini tentu bukan berarti bahwa masyarakat lapis bawah sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari kehadiran asuransi takaful. Melalui produk asuransi berjangka misalnya, masyarakat dari berbagai lapisan, mendapatkan kesempatan sesuai kemampuan masing-masing secara berkelompok mengambil produk tersebut. Bagi masyarakat yang sangat rentan, terlebih terhadap musibah keluarga dan kematian, manfaat Takaful yang diperoleh (Rp.1 juta untuk setiap premi Rp.5000 per tahun) sekurang-kurangnya ikut menyangga kehidupan ekonominya untuk tidak jatuh miskin atau semakin terpuruk manakala mendapat musibah. 37 37
Andi Ihsan Arqam, Asuransi Takaful: Sebuah Solusi, Dalam Bunga Rampai Asuransi Takaful (Sari Kusumawati ed.), 2001, hlm 165.
Universitas Sumatera Utara
F. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah Prinsip utama dalam asuransi syariah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa altaqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan alta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung risiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi takaful adalah akad takaful (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Para parakat ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu : 1. Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadishadis berikut : “Maksud hadits: “Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari anggotanya tidak sehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh’ (HR. Bukhari dan Muslim). “Maksud hadits : “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu masyarakat) seperti sebuah bangunan di mana tiap-tiap bagian dalam bangunan itu mengukuhkan bagian-bagian yang lain’ (HR. Bukhari dan Muslim). “Maksud hadits : “Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dibawah tanggung jawabmu’ (HR. Bukhari dan Muslim). “Maksud hadits : “Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari).
Universitas Sumatera Utara
“Maksud hadits : “Barangsiapa yang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari)”. Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, takwa dan harmonis. Dengan prinsip ini, maka asuransi rakaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2. Saling bekerja sama atau salin membantu, yang berati diantara peserta asuransi takaful yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita. Sebagaiman firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya : “Bekerjasamalah kamu pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama dalam perkara-perkara dosa dan permusuhan. Hadits juga membicarakan perkara seperti itu, diantaranya yaitu : “Maksud hadits : “Sesiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya”. (HR. Bukhari, Muslim dan abu Daud). “Maksud hadits : “Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong saudaranya’ (HR. Ahmad dan Abu Daud). Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban hidup bersama dan saling menolong diantara sesama untuk manusia.
Universitas Sumatera Utara
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami
gangguan
keselamatan
berupa
musibah
yang
dideritanya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 yang artinya : “(Allah) yang telah menyediakan manakan untuk menghilangkan bahaya kelaparan dan menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan.” Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 126 yang artinya : “Ketika Nabi Ibrahim berdoa Ya Tuhanku, jadikan ngeri ini aman dan selamat.” Diantara sabda Rasulullah yang mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah : “Maksud hadits : “Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah sesiapa yang boleh memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia.” (GR. Ibnu Majah). “Maksud hadits : “Rasulullah bersabda : Demi diriku dalam kekuasaan Allah, bahwa siapapun tidak masuk surga kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang terhimpit.” (HR. Ahmad). “Maksud hadits : “Tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidak tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan jirannya menetap kelaparan. ‘(HR. al-Bazar). Dengan begitu maka asuransi rakaful merealisir perintah Allah Swt dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam al-Sunnah tentang kewajiban saling melindungi diantara sesama warga masyarakat. Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yakni : 1. Saling bertanggung jawab; 2. Saling bekerja sama atau saling membantu; 3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain; dan
Universitas Sumatera Utara
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba. Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi dapat terhindari dari unsur gharar, maisir dan riba. 1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk : a. Bentuk
akad
syariah
yang
melandasi
penutupan
polis.
Secara
konvensional, kontrak atau perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syariah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolongmenolong dan saling menjamin dimana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya. b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis atau satu lagi dimasukkan ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta. 2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensioanl terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum
Universitas Sumatera Utara
lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.
3. Unsur riba tercemin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.
Universitas Sumatera Utara