BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN SAFETY RIDING 2.1 Pidana 2.1.1 Jenis-jenis Pidana Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10 KUHP berupa dua jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana. Pengertian dari sanksi-sanksi pidana adalah sebagai berikut. a. Pidana Pokok Pidana pokok sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri atas: 1. Pidana Mati Pidana mati adalah pidana terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan di dalam hukum positif Indonesia. Hukuman mati adalah pidana yang terberat menurut peerundang-undangan pidana kita dan tidak lain berupa sejenis pidana yang merampas kepentingan umum yaitu jiwa dan nyawa manusia1. Dikatakan terberat hal ini dapat dilihat dalam sistematika dan urutan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP yang dalam hal tersebut pidana mati berada pada urutan teratas. Namun, sanksi ini tidak
1
Tolib Setiady, Op.cit, h. 79.
dikenakan kepada semua jenis tindak pidana, di dalam KUHP hanya beberapa Pasal saja yang menjatuhkan pidana mati sebagai sanksinya, yakni: a. Kejahatan terhadap Negara yakni pada Pasal 104, 111 ayat (2), dan Pasal 124 ayat (3) KUHP. b. Pembunuhan dengan berencana, yakni pada Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP. c. Pencurian dan pemerasan yang dilakukan dengan keadaan yang memberatkan yakni pada Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP. d. Pembajakan di laut, pantai pesisir dan sungai yang dalam keadaan seperti apa yang disebut pada Pasal 444 KUHP. Selain itu di luar KUHP juga terdapat beberapa peraturan perundanganundangan yang mengancam pelaku tindak pidana dengan ancaman pidana mati, biasanya tindak pidana yang masuk dalam kategori extraordinary crime yakni psikotropika narkotika dan pada Undang-Undang No. 5 dan 22 Tahun 1997, terorisme pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Undang-Undang 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
2. Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat karena diancam terhadap berbagai kejahatan. Adapun
kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman penjara minimal satu hari dan maksimal seumur hidup. Pidana penjara yang paling berat adalah penjara seumur hidup sedangkan yang paling ringan adalah minimum 1 hari. Pidana penjara pada KUHP selain diatur pada Pasal 10 KUHP, diatur pula secara lebih terperinci pada Pasal 12 KUHP, yakni: (1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan, atau karena ditentukan Pasal 52 KUHP. (4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi duapuluh tahun.
Jadi inti dari pasal tersebut adalah hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara dan pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu yakni minimal 1 hari dan paling lama 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 tahun, tapi tidak boleh lebih dari 20 tahun. Pidana penjara banyak dianut
oleh negara-negara sebagai salah satu sanksi kepada pelaku tindak pidana, beberapa negara-negara tersebut adalah Indonesia, Perancis, Filipina, Argentina, Korea, Jepang dan Amerika. Indonesia menggunakan istilah lain sebagai pengganti kata penjara, yakni lembaga pemasyarakatan (LP). Hal ini pertama kali muncul dan dikonsep pada Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964.2 Pada konferensi tersebut pada intinya adalah LP merupakan tempat bagi narapidana untuk dibina dan dibimbing secara mental dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan bukan disiksa seperti penjara jaman kolonial lalu, sehingga dari pembinaan di dalam LP tersebut diharapkan narapidana ketika keluar dari LP bisa berguna di masyarakat, diterima di masyarakat (tidak dikucilkan), dan diharapkan tidak akan melakukan tindak pidana apapun lagi.
3. Pidana Kurungan Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Namun pidana kurungan dapat dikatakan lebih ringan dibandingkan dari pidana penjara. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam Pasal 18 KUHP yang mengatur :
2
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Cet.I, P.T.Refika Aditama, Bandung, h. 102.
a. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun. b. Hukuman tersebut dapat dijatuhkan paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada Pasal 52 dan 52 (a) KUHP. c. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana kurungan minimal hanya 1 hari dan paling lama 1 tahun, tapi batas maksimal adalah 1 tahun 4 bulan (bila ada pemberatan seperti pada Pasal 52 KUHP). Hal ini tentunya berbeda dengan lama waktu ancaman pidana penjara yaitu minimal satu hari dan maksimal hukuman hanya 15 tahun penjara tapi bisa diperpanjang hingga 20 tahun. Perbedaan lainnya terletak pada, hak pistole yang dimiliki oleh penerima sanksi pidana kurungan. Hak pistole adalah hak terpidana untuk membawa fasilitas dan kemudahan bagi dirinya sendiri dengan biayanya sendiri.3 Sanksi pidana kurungan dapat digantikan denda pengganti kurungan, hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh penerima sanksi pidana penjara. Hal lain yang menjadi pembeda antar keduanya terkait pelaksanaan pidana
3
Tolib Setiady, Op.cit, h. 102.
penjara dapat dilakukuan di luar wilayah/daerah hukum terpidana, sedangkan pidana kurungan tidak bisa dilakukan di luar dari wilayah/daerah hukum terpidana. Ditambahkan bahwa terpidana penjara wajib mengikuti pembinaan sesuai aturan yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan (LP), namun hal tersebut tidak dapat dipaksakan kepada penerima pidana kurungan karena pelaksanaan pembinaan digantungkan kepada kemauan terpidana. 4. Pidana denda
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pada urutan sistematika pidana pokok Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa pidana denda berada pada urutan keempat atau urutan terakhir setelah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa pidana denda biasanya dijatuhkan terhadap delik-delik ringan bisa berupa pelanggaran ataupun kejahatan ringan. Pidana denda selain diatur pada Pasal 10 KUHP, juga diatur secara lebih rinci pada Pasal 30 KUHP, yakni: (1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. (2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan. (3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. (4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima
puluh sen atau kurang, dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan. (6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Sehingga pidana denda pada KUHP paling sedikit adalah Rp. 3,75.namun tidak ada batasan maksimalnya dan apabila terpidana tidak bisa membayar pidana denda tersebut maka bisa diganti dengan pidana kurungan sebagai pengganti yang minimal adalah 1 hari dan maksimal 6 bulan, namun apabila terkait kasus pemberatan ataupun terkait Pasal 52 KUHP bisa diperpanjang hingga 8 bulan. Selain itu pidana denda tersebut bisa dibayarkan oleh orang lain sebagai perwakilan terpidana. Pada Pasal 31 KUHP juga dapat dikatakan keistimewaan lain dari pidana denda, bahwa apabila terpidana tidak bisa membayar sebagian dari pidana denda tersebut maka pidana kurungannya pun dikurangi dengan seimbang. Terkait penjatuhan pidana denda ini hakim dalam putusannya harus menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi terpidana. 5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan adalah jenis pidana yang didasarkan pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Pidana tutupan ini berdasarkan undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai pidana pengganti penjara dan biasanya pidana ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan yang bersifat politik4.
b. Pidana tambahan dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas : 1. Pencabutan hak-hak tertentu. Pencabutan hak-hak tertentu dimaksudkan sebagai pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga disebut “burgerlijke dood”. Hak-hak yang dapat dicabut dalam putusan hakim dari hak si bersalah dimuat dalam Pasal 35 KUHP, yaitu: a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu. b. Hak menjadi anggota angkatan bersenjata. c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. d. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri. e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
4
Tolib Setiady, Op.cit, h. 144.
f. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu. Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam Pasal 38 KUHP, yaitu: 1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup. 2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya. 3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun. 2. Perampasan barang-barang tertentu Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu: a. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan. b. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini paling sedikit satu hari dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula. 3. Pengumuman putusan hakim.
Pasal 43 KUHP menentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan. Dasar hukum dari pidana tambahan selain dari apa yang tertera pada Pasal 10 KUHP adalah terdapat pada Pasal 43 KUHP dan untuk pidana tambahan ini hanya khusus untuk beberapa tindak pidana saja, seperti: 1. Menjalankan tipu muslihat dalam barang-barang keperluan angkatan perang dalam waktu perang. 2. Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa. 3. Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau mati. 4. Penggelapan. 5. Penipuan. 6. Tindakan merugikan pemiutang5.
Pidana tambahan mengandung suatu tujuan dan manfaat yakni dengan adanya pengumuman putusan hakim yang pengumuman tersebut disiarkan di media
5
Tolib Setiady, Op.cit, h. 109.
cetak ataupun elektronik maka masyarakat mengetahui pelaku serta hukuman dari suatu tindak pidana. Sehingga diharapkan suatu saat nanti masyarakat tidak meniru tindak pidana tersebut dan tidak akan terjadi tindak pidana yang sama ataupun tindak pidana lain yang merugikan masyarakat.
2.1.2 Tujuan Pemidanaan Pemidanaan merupakan suatu kata lain dari penghukuman yakni suatu proses penjatuhan hukuman atau pidana yang meliputi seluruh rangkaian peristiwa dan tahapan-tahapan dalam penjatuhan suatu pidana.6 Proses penjatuhan hukuman atau pidana tersebut mempunyai banyak tujuan yang ingin dicapai dari proses pemidanaan tersebut. KUHP Indonesia saat ini tidak mengatur secara jelas apa saja tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan tersebut. Namun, dalam Rancangan UndangUndang KUHP tahun 2013 (selanjutnya disebut RKUHP 2013) mengatur tentang tujuan yang ingin dicapai dari proses pemidanaan tersebut. Pada Pasal 54 RKUHP 2013 menyatakan bahwa: (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
6
Marlina, Op.cit, h. 39.
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Pada Pasal 54 tersebut diatas jelas tertera bahwa pemidanaan sebagai suatu proses mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut adalah bahwa dengan adanya pemidanaan maka dapat dicegahnya tindak pidana dikemudian hari, karena dengan adanya pidana yang muncul dari proses pemidanaan tersebut, terdapat sanksi-sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya. Dalam proses pelaksanaannya, pemidanaan tersebut memasukkan unsur pembinaan yang dilakukan pemerintah melalui petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang nantinya diharapkan bahwa dari proses pembinaan tersebut, terpidana tidak mengulangi perbuatannya lagi dan berguna di masyarakat ketika ia telah menjalani masa hukuman. Proses pemidanaan merupakan wujud pertanggungjawaban pidana dari seorang terpidana, dimana terpidana merasa bahwa ada yang dia lakukan memang salah di mata hukum dan untuk menghilangkan rasa bersalah terpidana atas segala perbuatan pidananya.
Perlu diingat bahwa pemidanaan bukan merupakan suatu proses untuk merendahkan dan menyengsarakan seseorang, melainkan sebagai proses pertanggungjawaban terpidana atas perbuatan pidananya dan sebagai upaya
preventif di kemudian hari serta proses pembinaan bagi terpidana. Selain dari apa yang tertera dalam RUU KUHP tahun 2013 mengenai tujuan pemidanaan tersebut, beberapa ahli juga mengungkapkan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan yang ingin dicapai. Terdapat 3 pokok pemikiran mengenai tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan, yaitu: 1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri. 2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan. 3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi7. 2.2 Pidana Denda 2.2.1 Pengertian Pidana Denda Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Salah satu bentuk tindak pidana yang dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada setiap pelanggar lalu lintas.8 Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan
7 8
P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, h. 11. Niniek Suparni, Op.cit., h. 24.
angkutan jalan secara nasional diatur di dalam UU LLAJ. Undang-undang ini menjadi dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Pidana denda yang berobjek uang mempunyai hubungan yang erat dengan nilai mata uang suatu Negara yang menganut pidana denda sebagai salah satu ancaman pidananya. Salah satunya Indonesia. Nilai mata uang yang tidak pernah sama dari tahun ketahun dan terus berfluktuasi menyebabkan tidak adanya pedoman tetap mengenai berapa jumlah uang untuk ditetapkan dalam suatu pidana denda. Pada Pasal 30 ayat (1) KUHP besarnya pidana denda secara minimum ditentukan sebesar Rp. 3,75.- (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Melihat nominal pidana denda pada pasal tersebut, tentu menjadi suatu hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai mata uang Indonesia saat ini, karena nilai mata uang dulu ketika KUHP dibentuk oleh pemerintah Belanda sangat berbeda dengan nilai mata uang pada masa kini. Artinya bahwa dulu uang sebesar tiga rupiah tujuh puluh lima sen tersebut merupakan salah satu jumlah uang yang cukup besar, namun karena berubahnya nilai mata uang sesuai dengan perkembangan jaman, maka uang sebesar itu bukanlah jumlah yang banyak. Sehingga tidak menjadi suatu ancaman berarti bagi pelaku tindak pidana. Oleh karena itulah besarnya pidana denda harus diperbaharui dengan cara diperbesar dan dipertinggi besarnya nominal pidana denda yang ada pada KUHP tersebut. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa : "Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambahdan diubah dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipat gandakan menjadi lima belas kali." Ayat (2) menentukan bahwa : "Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi." Jika dilihat Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960 tersebut, itu berarti bahwa besarnya pidana denda pada KUHP diubah untuk terakhir kalinya pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Ini tentu menjadi hambatan dan masalah bagi hukum pidana Indonesia, bahwa ketika ingin menerapkan suatu ancaman pidana denda dengan tujuan memberi efek jera bagi terpidana tetapi nilai pidana denda pada KUHP tidak sesuai dengan nilai mata uang saat ini. Sehingga perlu ada suatu pembaharuan mengenai pidana denda tersebut. 2.2.2 Dasar Hukum Pidana Denda Dasar hukum suatu sanksi pidana denda secara lex generalis adalah KUHP. Pada KUHP terdapat pasal-pasal yang menjadi dasar dari penjatuhan pidana denda. Pidana denda diatur pada Pasal 10 KUHP yang dimana pidana denda termasuk salah satu pidana pokok setelah pidana mati, penjara dan kurungan. Selain Pasal 10 KUHP tersebut, pidana denda diatur pada Pasal 30 ayat (1) hingga ayat (6) dan Pasal 31 ayat (1) hingga ayat (3) KUHP. Ketentuan pada Pasal 30 KUHP, yakni: (1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. (2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. (4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan. (6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. Ketentuan pada Pasal 31 KUHP, yakni:
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda. (2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya. (3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya. Dilihat dari dua pasal pada KUHP tersebut di atas maka, timbul beberapa keistimewaan dari suatu pidana denda bahwa pembayaran pidana denda dapat diwakilkan oleh wakil terpidana dan apabila terpidana tidak bisa membayar sebagian dari pidana denda tersebut maka pidana kurungannya pun dikurangi dengan seimbang. Selain Pasal 10 KUHP, Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP tersebut, pidana denda terdapat pada ketentuan Undang-Undang di luar KUHP. Hal ini memungkinkan karena, ketentuan pidana tidak hanya diatur hanya pada KUHP atau secara lex generalis tetapi juga secara ius specialis yakni pada Undang-Undang di luar KUHP. Peraturan Perundang-undangan di luar KUHP dimungkinkan, karena hal ini dijamin dan diatur pada Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh undang-undang ditentukan lain”. Ini berarti bahwa dasar hukum pidana denda tidak hanya diatur secara mengkhusus pada KUHP tapi juga ada dasar hukum lain di luar KUHP yang menjadi dasar hukum penjatuhan pidana denda atau asas hukum yang dipergunakan adalah lex specialis derogate legi generalis yang berarti ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960 misalnya, yang dimana Peraturan Pemerintah Pengganti ini mengatur kembali mengenai besarnya nominal pidana denda agar sesuai dengan nilai mata uang saat ini, mengingat bahwa nominal pidana denda pada KUHP sudah tidak sesuai dengan nilai mata uang di Indonesia saat ini, yang dikarenakan KUHP merupakan warisan hukum pidana pada masa kolonial Belanda terdahulu. Selain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut, dasar hukum pidana denda ada pada Undang- Undang lainnya, salah satunya adalah UU LLAJ. Pada UU LLAJ tersebut pidana denda menjadi salah satu ancaman pidananya, bahkan ancaman pidana dendanya pun tidak main- main dan cukup besar. Ancaman pidana denda ini dijatuhkan berdasarkan pelanggaran pada setiap pasal pada UU LLAJ tersebut. Sehingga antara pelanggaran satu dengan pelanggaran lainnya ditentukan berbeda pidana dendanya. 2.2.3 Perkembangan Pidana Denda
Pidana denda merupakan salah satu bagian dari pidana pokok yang ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP, dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih di nomor satukan dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama tercapainya efek jera bagi pelaku dan tercapainya pencegahan umum.9 Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara yang selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu efek jera. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana. Pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan secara materi yang menimbulkan kerugian karena merasa dirugikan dengan menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara pelelangan). Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.10 Pelaku dalam pidana denda seharusnya membayar sendiri pidana denda yang dijatuhkan,
9
AR. Suhariyono, 2012, Pembaruan Pidana Denda Indonesia, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h.
9. 10
Ibid, h. 11.
walaupun dengan pemaksaan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini jaksa penuntut umum melakukan penyitaan (sementara). Pidana denda dapat dijadikan salah satu pemasukan negara sebagai penghasilan negara bukan pajak (yang selnjutnya disebut PNBP). Pola pidana denda harus ditetapkan dan dilaksanakan secara konsisten dengan mendasarkan pada kepentingan hukum seseorang atau masyarakat yang dilindungi. Penentuan pola pidana yang telah ditetapkan perlu dijadikan dasar untuk melakukan pengharmonisasian peraturan perundangundangan, baik peraturan yang telah dibentuk maupun peraturan yang akan atau sedang dibentuk. Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang tertua di dunia selain pidana mati yang juga dikenal dalam kitab Thaurat maupun Al-Qur’an11. Selain itu, dalam hukum adat juga dikenal pidana denda yakni berupa pembayaran kepada penguasa atau kerajaan maupun pembayaran pengganti kerugian kepada korban, yang bisa berbentuk berupa uang, ternak, hingga hasil kebun12. Dalam sejarahnya, pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabad-abad. Semula Negara Anglo Saxon secara sistematis menggunakan hukum finansial bagi pelaku kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Ganti rugi tersebut menggambarkan keadilan swadaya yang sudah lama berlaku dan memungkinkan korban untuk menuntut balas langsung terhadap mereka yang telah berbuat salah dan akibatnya terjadi pertumpahan darah.
11
Niniek Suparmi, Op.cit, h. 46.
12
Niniek Suparmi, Op.cit, h. 47.
Sesungguhnya pidana denda memang sudah ada sejak jaman dahulu dan berkembang di masyarakat adat. Pidana denda pun bahkan terdapat pada masyarakat primitive, sehingga bentuk pidana dendanya pun primitive dan masih sederhana sekali.13 Perkembangan pidana denda selanjutnya adalah pada abad ke12 yakni pidana denda bersumber pada hukum pidana Jerman Kuno. Pada abad ke20 di Belanda menerapkan konsep stelsel pidana dalam Wet Vermogenssanctie tanggal 31 Maret 1983, Stb. 153 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1983. Pada Wet Vermogenssanctie tersebut ditentukan bahwa pemerintah Belanda memperluas dan melengkapi wewenang jaksa untuk menyelesaikan secara transaksi jenis-jenis kejahatan yang diancam dengan pidana denda atau dengan pidana penjara yang tidak lebih dari enam tahun.14 Sejarah dan perkembangan pidana denda di Indonesia berawal dari munculnya KUHP sebagai sumber hukum pidana di Indonesia. KUHP merupakan sumber hukum pidana warisan jaman kolonial Belanda yang dikodifikasikan sehingga bisa berlaku di Indonesia. Pidana denda pada KUHP ini diatur pada Pasal 10 KUHP jo Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Pasal 10 KUHP menetapkan pidana denda sebagai salah satu pidana pokok setelah pidana mati, penjara dan kurungan. Sedangkan pada Pasal 30 KUHP menetapkan pola pidana denda, yakni bahwa banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp. 3,75.- sebagai ketentuan minimum umumnya, dan bila pidana denda tidak dibayar maka dijatuhi pidana kurungan sebagai pidana penggantinya. Melihat nominal uang pada sanksi pidana
13
Suhariyono, Op.cit, h. 165.
14
Suhariyono, Op.cit, h. 169- 170.
denda pada Pasal 30 KUHP yang sudah tidak sesuai dengan nilai mata uang Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.18 Tahun 1960 yang pada intinya menyatakan bahwa : “Setiap pidana denda yang diancamkan baik dalam KUHP ataupun dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945, harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi 15 kali” Pidana denda yang berobjek uang tentu erat hubungannya dengan nilai mata uang. Nilai mata uang suatu negara berubah dan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan jaman. Menjadikan pidana denda sebagai salah satu sanksi pidana pokok dalam sistem pemidanaan Indonesia tidak lah hal yang mudah dilakukan karena pidana denda berkaitan dengan nilai mata uang negara, maka besarnya uang pada pidana denda juga bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi perekonomian negara. Hal inilah yang menjadi salah satu hambatan penerapan pidana denda di Indonesia. Satu sisi pidana denda telah diatur pada KUHP. Namun, di sisi lain KUHP tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman terutama dilihat dari besarnya nominal pidana denda yang diatur di dalamnya. Pada RUU KUHP 2013 telah diatur suatu pola khusus untuk menyiasati perkembangan nilai mata uang yang tidak dapat diprediksi. Pola tersebut berupa pengkategorian pidana denda dalam 6 (enam) kategori yang berbeda satu sama lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 80 RUU KUHP tahun 2013, yaitu: (1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. (2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya. (5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan: a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI. (6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV. (7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Maksud dari pengkategorian itu untuk memperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana dan memberikan kemudahan bagi hakim dalam melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter dunia yang juga dapat mempengaruhi perubahan ekonomi dalam negeri. Pelaksanaan pengenaan pidana denda diatur dalam Pasal 82 RKUHP 2013 yang menyatakan, (1) Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam jangka waktu sesuai dengan putusan hakim. (2) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar penuh dalam jangka waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pidana denda dapat dicicil sesuai dengan tenggang waktu yang diberikan hakim dalam putusannya, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut denda tidak habis dibayar maka dapat diambil dari kekayaan atau pendapat terpidana.
Perkembangan sanksi pidana denda tidak hanya ada pada KUHP, tetapi juga diluar KUHP, yakni Undang-Undang di luar KUHP. Hal ini dibenarkan karena pada Pasal 103 KUHP menyatakan bahwa ketentuan lain di luar ketentuan Bab I hingga Bab VIII pada KUHP ini bisa berlaku apabila undang-undang menentukan lain. Ini berarti bahwa KUHP merupakan dasar hukum pidana secara umum, tapi secara khusus diatur pula di luar KUHP. Salah satunya adalah UU LLAJ yang dalam ketentuan pidananya juga menerapkan pidana denda sebagai ancaman pidananya. Pada UU LLAJ tersebut pidana denda dijatuhkan sesuai dengan pelanggaran serta akibat yang timbul dari pelanggaran lalu lintas. Pidana dendanya pun bervariasi dan berbeda, mulai dari Rp.100.000.- hingga Rp. 50.000.000.- tergantung pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelanggar UU LLAJ tersebut. 2.3 Safety Riding Sebagaimana telah dibahas sebelumnya menurut pengaturan di dalam KUHP perbuatan pidana diatur di dalam Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pada pasal 104 sampai dengan pasal 488. Sedangkan mengenai pelanggaran, yakni perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari hal tersebut merupakan tindak pidana karena perbuatan tersebut tercantum
dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang).15 Dimuat dalam buku III KUHP pada pasal 489 sampai dengan pasal 569. Termasuk di dalam pelanggaran adalah pelanggaran lalu lintas khususnya pada pelanggaran safety riding. 2.3.1 Pengertian Safety Riding Safety Riding ialah istilah mengenai cara berkendara yang aman dan nyaman baik bagi pengendara itu sendiri maupun pengendara lain. Safety riding berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari 2 suku kata yaitu safety yang berarti keselamatan dan riding yang berarti berkendaraan sepeda motor. Jadi safety riding merupakan cara-cara menjaga keselamatan selama berkendaraan dengan sepeda motor. Sehingga dari safety riding ini muncul suatu usaha yang dilakukan untuk meminimalisir tingkat bahaya dan memaksimalkan keamanan dalam berkendara, demi menciptakan suatu kondisi, yang mana kita berada pada titik tidak membahayakan diri sendiri dan pengendara lain serta menyadari kemungkinan bahaya yang dapat terjadi di sekitar kita serta pemahaman akan pencegahan dan penanggulangannya.
2.3.2. Ketentuan Safety Riding dalam UU No.22 Tahun 2009 Tentang LLAJ Pelaksanaan Safety Riding ini telah diatur dalam UU LLAJ pada BAB XI Pasal 203 Ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa:
15
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edy K., 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok, h. 94-95.
“Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan rencana umum nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi: a. Penyusunan program Nasional Kegiatan Keselamatan dan Angkutan Jalan.” Adapun penjelasan dari Pasal 203 Ayat 2 huruf a yaitu bahwa Program Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diantaranya yaitu tentang Cara Berkendara dengan Selamat (Safety Riding). Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa penerapan Safety Riding merupakan program nasional yang harus didukung penuh dan dilaksanakan demi terciptanya keselamatan dan keamanan di jalan raya. Ketentuan safety riding pada UU LLAJ dibagi atas perlengkapan dan kelengkapan kendaraan bermotor dan tata cara berlalu lintas (ketertiban dan keselamatan). Perlengkapan dan kelengkapan kendaraan bermotor diatur pada pasal-pasal sebagai berikut: 1) Pasal 48 ayat (2) huruf a mengenai kewajiban sepeda motor untuk dilengkapi dua buah spion di bagian kiri dan kanan, lampu depan/ utama, lampu rem, lampu penunjuk arah kanan dan kiri, serta klakson. 2) Pasal 57 UU LLAJ: (1) setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor. (2) perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia. 3) Pasal 58 UU LLAJ : (1) setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas pada penjelasan Pasal 58 UU LLAJ tersebut adalah pemasangan peralatan, perlengkapan, atau benda lain pada kendaraan yang dapat membahayakan keselamatan lalu lintas, antara lain pemasangan bumper tanduk dan lampu menyilaukan. 4) Pasal 68 :
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. 5) Pasal 77 : (1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki Surat Ijin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Sedangkan ketentuan mengenai tata cara berlalu lintas (ketertiban dan keselamatan) pada UU LLAJ diatur pada pasal-pasal sebagai berikut: 1) Pasal 105 Setiap orang yang menggunakan jalan wajib: a. Berperilaku tertib; dan/atau b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. 2) Pasal 106 (1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. (2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. (3) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. (4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: a. Rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka jalan; c. Alat pemberi isyarat lalu lintas; d. Gerakan lalu lintas; e. Berhenti dan parker; f. Peringatan dengan bunyi dan sinar; g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain. (5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan setiap orang yang mengemudikan kendaran bermotor wajib menunjukkan: a. Surat Tanda Nomor Kendaraan atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor; b. Surat Ijin Mengemudi; c. Bukti lulus uji berkala; dan/atau d. Tanda bukti lain yang sah.
(6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. (7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. (8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. (9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (satu) orang. Pada Pasal 106 ayat (1) dapat dijelaskan pada bagian penjelasan UU LLAJ bahwa yang dimaksud dengan “penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan. 3) Pasal 107 (1) Pengemudi Kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. (2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Pada Pasal 107 ayat (2) dikatakan bahwa pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Maksud dan tujuan dari pasal tersebut adalah bahwa lampu utama dihidupkan pada siang hari bertujuan sebagai penanda dari kejauhan bagi pengendara kendaraan bermotor di depannya, sehingga lampu tersebut sebagai penanda bahwa ada sepeda motor yang dari kejauhan akan mendekat dan kendaraan bermotor di depan bisa antisipasi dengan melihat melalui kaca spion