Inferioritas Perempuan dalam Iklan Banner Safety Riding Fedi Bhakti Patria1 Abstrak Pemaparan konkrit mengenai apa yang ingin disampaikan dalam citra dalam banner safety riding ialah posisi perempuan yang masih berada dalam keinferioritas-an. Hal ini dapat dilihat dari beberapa elemen yang termaktum dalam citra-citra tersebut, diantaranya dalam teks “Yang Sayang ISTRI/IBU pakai lajur kiri”. Dimana, penonjolan terma ‘ISTRI’ dan terma ‘IBU’ malah memperlihatkan posisi pasif perempuan yang hanya diposisikan sebagai subyek ‘yang diam’ untuk menunggu pasangannya kembali. Di sisi lain, posisi laki-laki sebagai yang dialamatkan pada pesan tersebut, sebenarnya secara tidak langsung juga menempatkan dirinya sebagai entitas superior. Keliaran, perilaku tidak patuh, hingga bergerak secara pro-aktif, merupakan diskursus yang ingin dibangun jika berkaca pada citra perempuan dalam banner sebagai subyek yang taat hukum. Hal ini kemudian juga menjadi salah satu faktor yang melahirkan kembali ideologi patriarki dalam masyarakat. Meskipun dalam hal lain, banner safety riding ini juga mempermainkan impuls-impuls kecintaan akan dunia real terhadap kesatuan tubuh subjek laki-laki, dengan sosok ibu simbolik. Penggambaran lain mengenai citra tubuh perempuan dalam banner tersebut adalah penggunaan fashion modern, dengan mengendarai motor matik. Penegasan yang sekilas terlihat sebagai perwujudan dari masuknya perempuan ke ranah publik, jika diperhatikan lebih jeli, malah menampilkan sosok citra perempuan yang lagi-lagi menjadi pribadi yang diam dan taat. Namun dalam hal ini, peraturan tata tertib lalu lintas menjadi representasi dari phallus simbolik. Hal ini jelas berbeda dengan proporsi yang dimiliki oleh laki-laki simbolik, dimana dia tetap berperan sebagai aktor protagonis yang lebih aktif dan berani melawan arus, ketimbang perempuan yang diam menunggu dan taat terhadap dunia simbolik. Kata Kunci: bahasa, iklan, safety riding 1
Peneliti dan aktivis di kelompok Yayasan Fenimika. Korespondensi melalui email:
[email protected]
menyajikan
PENDAHULUAN
segala
sesuatunya
Adakah kalian berpikir bahwa hal-
menjadi terlihat nyata dan tidak
hal yang paling banal saat kita
pernah mengecewakan pemirsanya.
beranjak dari rumah dan berjalan
Ia adalah sahabat baru bagi para
berkeliling, bukanlah (satu-satunya
pejalan kaki, pengendara sepeda
lagi) pemandangan indah formasi
motor, pemain saham, hingga politisi
awan bersanding dengan birunya
untuk ‘mencuci otak’. Sebuah tanda
langit, melainkan, foto-foto model
penuh hasrat, yang siap merangkul
‘cantik’, kartun mahsyur, tubuh-
siapa saja yang menyapanya dalam
tubuh
anorexic,
nyaris
yang
kehancuran rasio manusia. Layaknya
terpampang di tiang-tiang listrik,
diktum
puncak-puncak
yang
dinyatakan
oleh
gedung,
maupun
Umberto Ecco: “tanda adalah dusta”
langit
dengan
(dalam Piliang, 2003: 44). Begitu pula
jumlah mencapai ratusan. Bukankah
iklan, entitasnya selalu palsu. Namun
menyenangkan
Ia tidak pernah gagal mewujudkan
serambi-serambi
juga
ketika
para
model dua dimensi ini, juga mulai memasuki
kamar
kita,
perlahan
mulai
mengidolakan
hubungan antara iklan dan khasanah
seonggok tubuh yang kosong – tanpa
elementer dari relasi antar manusia
isi. Adalah iklan, dengan tawaran
menarik untuk dibahas? Mungkin
imaji-imaji
agak
warna,
ilusif,
hingga
dirinya sebagai sebuah realitas.
penuh kilauan ia
apa
sulit
yang
untuk
menjadikan
menjejalkan
mampu
pemahaman tersebut kepada beberapa
menggantikan segala sesuatu yang
kalangan kelas menengah ngehe’
real menjadi item arkais kemudian
yang tidak terlalu ambil pusing
digantikan dengan yang dimensi non-
memikirkan
real.
ideologi berderu melalui banyak iklan
Iklan
dimana
Lantas
benar-benar
bagaimana
lautan
merupakan
yang telah dikonsumsi. ‘Enjoy aja!’
wahana ‘maha asik’ yang menjadi
mungkin adalah jawaban paling hits
alasan
bahagia.
untuk
manusia
ketidaksadarannya.
manusia
Dengannya, disuguhkan kesenangan
untuk
subjek
impuls-impuls eksesif.
Iklan,
terus
melestarikan Namun,
oleh
karena banalitas konsumsi tanda inilah yang sebenarnya menjadi daya 2
tariknya. Sesuatu yang tampak biasa
Papan
saja, selalu menyimpan ambivalensi
banner,
di dalamnya.
perbelanjaan, tentu akan menuntut
Atas dasar inilah, sosiologi juga
iklan
berukuran
mall,
sebuah
dan
bangunan
raksasa,
pusat-pusat
diskursif
pada
harus ambil peran dalam mengurai
masyarakat di dalamnya, sehingga
ambivalensi tersebut. Ia (sosiologi)
akhirnya harus mempertemukan dua
seharusnya tidak lagi hanya berkutat
kajian ini dalam satu dimensi yang
lingkup yang pejal dengan penalaran
eklektis.
rasio konservatif. Dimana unsur ‘ketidaksadaran’
dalam
konsumsi
Pembahasan mengenai iklan dan kaitannya
dengan
jaring-jaring
iklan juga seyogyanya mendapatkan
diskursus maupun pengaruh ideologi,
porsi
mungkin bisa dilihat dari usaha
serupa,
memunculkan
daripada dalih
harus
sakralitas
pembentukan
nilai-nilai
universal
‘sosiologi’ yang takut apabila realitas
yang ingin disampaikannya. Entitas
bahasa menjadi dominan ketimbang
iklan, mungkin bisa juga dinyatakan
subjek/objek manusia an sich. Hal
sebagai transformasi dewa Hermes
inilah yang kemudian ditambahkan
dengan
oleh Stuart Hall, bahwasanya dalam
Ronaldo,
cultural
berlari
studies
sosiologi
juga
stamina
ala
mengingat dengan
Cristiano iklan
kecepatan
terus tinggi
memiliki peranan penting. Sosiologi
mengantarkan pesan tanpa lelah dan
berguna sebagai perluasan makna
senantiasa
budaya
semangat
selalu menjadi proliferasi metafora-
‘interdisipliner’. Lebih jauh lagi,
metonimi penandaan, dimana sering
harus
bahwasanya
kali sebuah peristiwa atau objek
subjek teks merupakan penyatuan
dirancang sebagai sebuah analogi dari
dari diskursus ideologi (Hall, et all
sebuah produk (Fiske, 2012: 152).
(ed.), 2011), yang karenanya juga
Misalnya
turut
usaha
perempuan dalam bath-tub yang
kehidupan
menjadi metafora bagi banyak iklan
masyarakat. Tentu saja, kondisi ini
sabun; bunga menjadi metafora dari
tidak terlepas dari pengaruh ruang-
entitas
dengan
disadari
andil
mengartikulasikan
pula
dalam
menawan. Iklan akan
saja
bunga-bunga
wewangian,
dan
sedangkan
ruang sosial yang ada di perkotaan. 3
perempuan ‘ideal’ sebagai objek
netral, dan oleh karenanya, tanda
pemasarannya.
dalam iklan selalu beriringan dengan
Model idiosinkresi yang kemudian banyak
mengundang
masyarakat
ideologi yang ingin disampaikannya. Dalam
pengertian
ini,
Heck
untuk berduyun-duyun mengonsumsi
menggambarkan
tanda, jelas bukan tanpa alasan.
senantiasa melampaui dan melibatkan
Dibalik pesona iklan yang serba
keseluruhan semesta tanda – denotatif
hyper, Ia juga adalah alat produksi
dan konotatif (Hall, et all (ed,) 2011:
hasrat yang memainkan perannya
209). Maka dengan begitu, selalu
dalam ketidaksadaran manusia. Inilah
akan ada yang diarahkan dalam
juga mungkin yang ingin dibangun
sebuah
oleh
diciptakan dari sebuah iklan.
Jacques
Lacan,
mengenai
‘pembangkitan hasrat’ dalam sebuah diskursus
untuk
menciptakan
bahwa
bangunan
hasrat
ideologi
yang
Tentu saja hal ini juga berarti iklan memiliki kemungkinan dalam usaha
mispersepsi atas diri. Dimana desire
reproduksi
merely leads us to aim at the gap
budaya patriarki dalam masyarakat
(faille) dan kemudian demonstrated
(atau bisa juga melakukan counter).
that the One is based only on (tenir
Bagaimanapun
de) the essence of the signifier (Lacan,
tanda dalam iklan, merupakan realitas
1998: 5). Maka dapat dikatakan
yang patut dicermati. Pada kasus ini,
bahwa
menanamkan
psikoanalisis jelas memiliki peran
sekelompok
penting dalam melihat rasa cemas dan
diskursus
pengaruhnya orang,
kepada
dengan
melingkar
disana
kebudayaan
sifat
insecure
perasaan
seperti
‘arbiteristik’
dari
para
sebuah lingkaran penanda yang ada
perempuan saat melihat iklan. Bahkan
pada semua ego ideal, citra tubuh,
dalam konferensi Patriarki tahun
atau fantasi manusia (Bracher, 2009:
1976 yang diadakan di Inggris,
73).
memberikan
Keterkaitan antara iklan dan hasrat
mendukung
argumen psikoanalisis
yang dalam
ini, tak pelak juga mengantar tanda-
usaha untuk menguraikan bagaimana
tanda
yang berada dalam iklan
perempuan yang terpinggirkan dari
menjadi sebuah ruang pertarungan
budaya laki-laki (Meyers, 2012: 121).
ideologis. Ia tidak pernah bersifat
Bahkan
beberapa
aliran
feminis 4
postmodern yang muncul, banyak
fase
mengadopsi pemikiran psikoanalisis
‘kesatuan
sebagai kerangka analisis pada model
disekitarnya. Pada fase kedua, Lacan
budaya kontemporer. Sebut saja Luce
menjelaskan mengenai fase cermin
Irigaray
(imajiner),
yang
melihat
real
yang
melihat
tubuh’
sebuah
dengan
dimana
objek
seorang
bayi
“ketidaksadaran” perempuan dalam
berpikir bahwa citra akan dirinya,
budaya
Kristeva
merupakan buah refleksi melalui
dengan pembacaan serupa dalam
‘cermin’ dari ibunya. Pada fase ini
mengungkap tiga struktur dimensi
pula,
narsistik, yaitu primary idealization,
keterpecahan (fragmen-fragmen) atas
abjection,
tubuhnya dan mengalami mispersepsi
laki-laki;
juga
melancholy
dan
idealization
(Sarup,
2003:
207;
Beardsworth, 2004: 60).
jurang
rantai
anak
memandang
atas dirinya di dalam cermin sebagai ‘Aku’. Hal inilah yang kemudian
Terjerembabnya konsep feminin dalam
sang
penandaan
menjadikan Sang anak sadar akan runtuhnya kesatuan dengan tubuh
phallusentric, tidak bisa dilepaskan
sang Ibu. Terakhir adalah
dari kerangka pemikiran psikoanalisis
simbolik atau Oedipal, dimana sang
yang
anak
mulai
melihat
adanya
mulai
fase
mengidentifikasikan
kekurangan (lack) dalam tiap individu
dirinya,
saat memasuki fase imajiner (mirror
dalam masyarakat melalui kisaran
stage) hingga fase simbolik (Bracher,
pemisahan antara ‘diri’ dan ‘liyan’
2009: xxxix). Kemunculan hasrat
(Bracher, 2009 ; Tong, 2010).
akan kekurangan oleh perempuan yang
kemudian
sebagai
Liyan,
menjadikannya dijelaskan
oleh
sesuai dengan perannya
Dengan masuknya perempuan ke dalam fase simbolik, menjadikan perempuan
berada
dalam
ruang
yang
terjadi
Jacques Lacan melalui tiga tahapan
ketidaksempurnaan
Oedipal. Melalui tahapan ini pula,
akibat hasrat kekurangannya akan
Lacan
‘penis symbolic’. Berkenaan dengan
ingin
menunjukkan
keterasingan individu dalam ruang
anatomi
simbolik.
mengakibatkan
Fase pertama yang diajukan oleh Lacan adalah fase pra-Oedipal atau
dapat
inilah,
yang
kemudian
perempuan
menginternalisasi
tidak tatanan
simbolik secara penuh (Tong, 2010: 5
289).
Sejalan
pemikiran
penanda bagi diri lain laki-laki, yang
pembahasannya
diikat oleh tatanan simbolik dimana
mengenai perempuan dalam dunia
laki-laki dapat mewujudkan pelbagai
simbol
fantasi dan obsesinya lewat perintah
Kristeva
dengan
dalam
“Once the symbolic order is entered, the semiotic is repressed, but not thereby superseded… When the symbolic is masculine, the semiotic is akin to, though not identical with, the feminine – it is repressed and marginal. (Milner and Browitt, 2006: 134) Pertarungan bahasa dalam dalam dunia
simbolik
yang
memarjinalisasi berkaitan
dengan
linguistik (Thornham, 2010: 111). Ini adalah model dari sebuah kebudayaan yang termanifestasikan pula dalam sebuah
iklan,
kekuatan didalamnya,
dimana
terdapat
phallus
symbolic
untuk
kemudian
menciptakan sebuah diskursus yang
cenderung
akan selalu memproliferasi budaya
perempuan,
laki-laki. Untuk itu, pembongkaran
atribut
yang
sistem
tanda
dalam
kacamata
disematkan padanya pula. Dalam hal
psikoanalisis menjadi padanan yang
ini, diskursus mengenai nilai ‘cantik’
sesuai agar lebih berhati-hati di
menjadi
bersifat
hadapan hamparan ideologi iklan
kerangka
yang berisi pesan-pesan aforistik,
istilah
ambivalen.
yang
Dengan
psikoanalisis Lacan, Luce Irigaray
pantun-pantun
kemudian
imaji-imaji yang tersemat padanya.
segala
mencatat
sesuatu
perempuan, seksualnya
bahwasanya
mengenai termasuk
didapat
dari
hasrat sudut
Bagaimanapun, kajian semiologi dan kaitannya dengan psikoanalisa hal
penting
dalam
pembahasan mengenai iklan yang disesaki oleh penghasratan. Dalam pembahasannya,
Laura
Mulvey
menggambarkan perempuan berdiri dalam
budaya
patriarki
maupun
citraan
pandang laki-laki (Tong, 2010: 295).
merupakan
budaya,
sebagai
METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif
yang
dalam
kajian cultural studies dijelaskan oleh Paul Willis sebagai model metodologi refleksif, dimana penekanan terletak pada kesadaran dan kepentingan teoritis, untuk mencapai kedalaman ‘realitas’ (Hall, et all (ed.), 2011: 152). Sedangkan pendekatan yang digunakan
adalah
Psikoanalsis 6
Jacques Lacan dengan kolaborasi
dan petanda, dimana taraf penanda
semiologi
membentuk
milik
Roland
Barthes
taraf
ekspresi
sebagai alat baca tanda. Unit analisis
(E/Expression) dan taraf petanda
Lacan menempatkan hasrat sebagai
membentuk taraf isi (C/Contenu)
bagian
Model
menjadi tanda (R/Relation) (2012:
psikoanalisis Lacan (dalam Bracher,
61). Melalui ini, kemudian bisa
2009: 30), melihat dua bentuk hasrat
diyakini sebagai posisi awal dari
secara umum, yaitu hasrat narsistik
signifikansi penanda petanda tingkat
dan anaklitik. Dimana, hasrat inilah
pertama
kemudian yang memainkan perannya
Denotasi dan Konotasi. Stuart Hall
dalam penggunaan model diskursus.
dengan menggunakan tradisi teori
yang
Data
yang
penting.
digunakan
dalam
atau
linguistik,
denotasi;
melihat
Kedua,
pengertian
penelitian ini adalah iklan. Iklan ini
denotasi sebagai makna dari tanda
didapatkan
yang bersifat natural, sedangkan
melalui
gambar/citra/imaji foto yang diambil
konotasi
di area sekitar Taman Bungkul,
ketidaktetapkan
Surabaya. Iklan yang didapat melalui
memiliki
foto
(During, 2001: 512).
ini
dimaksudkan
mempermudah
proses
untuk
di
afilisiaikan dan
dengan
cenderung
asosiasi pemaknaan lain
analisis
Dalam Barthes sendiri, Ia melihat
intertekstual dengan iklan sejenis,
denotasi sebagai sistem penandaan
terkait promosi safety riding yang
tingkat pertama, sedangkan sistem
dilakukan
penandaan
oleh
Honda,
Instansi
Kepolisian, dan Jawa Pos.
perdua
(lebih
luas)
merupakan taraf konotasi (Barthes,
Analisis data dilakukan dengan
2012: 132). Lebih lanjut, menurut
menggunakan pendekatan struktural
Hoed (dalam Halim, 2013: 108)
semiologi Roland Barthes. Dimana
konotasi adalah makna baru yang
kemudian Ia memaparkan beberapa
diberikan oleh pemakai tanda, dan
unsur yang kemudian digunakan
jika konotasi menjadi tetap, ia akan
sebagai alat bedah/baca tanda, yaitu:
menjadi mitos dan bertransformasi
Pertama,
menjadi ideologi. Berikut adalah
Petanda
dan
Penanda.
Barthes melihat terbentuknya tanda
model
merupakan gabungan dari penanda
bekerja :
bagaimana
sistem
tanda
7
1.
Penan
2.
da 3.
Petan
penyokong pergerakan komoditas,
da
dari produksi sosial komoditas itu kepada
Tanda
I. PENANDA
II.
komoditas tersebut (Hall, et all (ed.),
PETAN
2011: 354). Oleh karenanya, iklan
DA
akan menciptakan
Roland
Barthes,
Membedah
sebuah ruang
reproduksi pemaknaannya sendiri.
III TANDA Sumber:
individual
konsumsi
Mitos-mitos
Budaya Massa (2010: 303)
Sejarah
periklanan
sebenarnya
sudah banyak dibahas di zaman sebelum masehi. Seperti sabda-sabda nabi, proklamasi orang Yunai, atau
Berikutnya,
analisis
psikoanalisa
dengan
digunakan
untuk
membuka realitas fantasi dalam iklan banner
safety
riding,
marjinalisasi
perempuan
dimunculkan Penggunaan
dimana
dalam
tanda-tanda.
psikoanalisis
dalam
membedah sebuah sistem penandaan yang ada pada sebuah citra, juga diperlukan untuk
melihat
model
diskursus
ideologi
yang
dan
ditampilkan.
Periklanan,
Hingga
sejatinya
merupakan
perwujudan dari poster iklan yang digunakan untuk mempromosikan hal tertentu.
masifnya industri periklanan mulai terjadi antara pertengahan 1850-an dan
akhir
1890-an,
dimana
perekenomian viktorian menjadi saksi dari
periode
ekspansi
besar,
keterlebihan industri, dan instabilitas ekonomi yang akhirnya melahirkan peiklanan
sebagai
produk
perekonomian yang dipenuhi uang,
Dalam
(Meyers, 2012: 3). Tentu model periklanan pada waktu itu tidaklah lebih masal dari hari ini, dimana
Sosialisasi Kebijakan Banner
elang (hawkers). Namun, secara jelas
sumber daya, dan barang mewah
HASIL DAN PEMBAHASAN Banner,
orang-orang Roma yang membawa
pembahasan
ekonomisnya, Winship menjelaskan model periklanan ini sebagai alat
iklan, poster, baliho, terhampar luas sejauh mata memandang. Perjalanan iklan sebagai media promosi yang bersifat ekonomis, kemudian juga harus berbagi tempat dengan
ranah
politik
guna 8
mempropagandakan
program,
seperti pantun (parikan) maupun
sosialisasi, agitasi, hingga melakukan
dengan
slogan-slogan
persuasif.
kritik terhadap lawan (politik) nya.
Bahkan
sering
sosialisasi
Seperti kelompok peretas bertema
tersebut mengikutsertakan korporasi
‘Anonymous’
banyak
yang tentunya memiliki keterkaitan
menggunakan media gambar guna
dengan safety riding, seperti beberapa
mengkritisi sistem perekonomian di
perusahaan
suatu Negara, melawan peperangan,
Yamaha,
hingga
sebagainnya.
yang
sosialisasi
mengenai
kali,
otomotif: Suzuki,
Honda, dan
lain
kerusakan lingkungan yang terjadi. Dalam beberapa kasus, juga ada kampanye politik yang dilakukan oleh kelompok sayap kiri di Inggris terhadap Greater London Council (Dewan
London
Raya),
hingga
mampu menggeser opini publik dan menjadikan
pemerintahan
konservatif
kebakaran
partai jenggot
Kota Surabaya sendiri, cukup dalam
upayanya
menggunakan iklan sebagai media sosialisasi
program
kebijakannya
dalam bentuk banner dan poster. Beberapa titik di Kota tersebut, memiliki
Banner Seperti yang sudah disinggung diatas, penelitian
ini
mencoba
untuk
membongkar ideologi yang ada pada citra dalam gambar desain banner sekaligus melihat model diskursus yang dipergunakan. Lacan melihat empat struktur dasar diskursus yang
(Meyers, 2012: 131).
gencar
Dunia Penanda dan Petanda dalam
persebarannya
sendiri.
Salah satunya berada di daerah sekitar Taman Bungkul di Jalan Darmo Surabaya. Di daerah tersebut terdapat beberapa banner yang menyuarakan tentang program safety riding dengan
masing-masingnya
menghasilkan
empat
sosial:
pengaruh
mendidik/mendoktrinasi
;
mengatur/memberi
;
menghasrati/memprotes
(1) (2) (3)
;
(4)
Menganalisis/ mentransformasikan/merevolusikan (Bracher, 2009: 79). Sehingga dengan ini, akan membantu untuk melihat bagaimana dimunculkan
permainan dalam
ideologi
ruang-ruang
diskursus.
mengolaborasikan nilai budaya lokal 9
Mencandra Teks dalam Banner
diartikan sebagai tanda ‘kepada siapa
Safety Riding
tanda ini ditujukan’. Dalam
Persona yang awal tampak dalam
pandangan
semiotika
gambar pada banner adalah sosok
Levi’s Strauss, Ia melihat dimensi
kartun yang sekilas mirip perempuan
paradigmatik bahasa dalam sebuah
dengan mengendarai sepeda motor
struktur yang Ia sebut oposisi biner,
dan pesan-pesan sosialisasi untuk
dimana pemahaman akan realitas
berjalan di lajur kiri pada bagian
akan didapat dari pembedaan tersebut
atasnya.
(Fiske, 2012: 191). Lebih lanjut, hal ini
digunakan
sebagai
model
pemahaman: realitas A tidak akan berdiri
sendiri
tanpa
hubungan
terstrukturnya dengan realitas B. Kemudian, pemahaman ini juga bisa diaplikasikan terhadap teks “IBU” maupun “ISTRI” pada gambar diatas, dimana
oposisi
biner
yang
menghubungkan keduanya adalah Gambar 1
Gambar 2
“IBU” >< “BAPAK” dan “ISTRI” >< “SUAMI”, atau dalam pengertian
Pada kedua gambar, dapat dilihat
yang lebih luas: “Entitas Perempuan”
bahwa secara bentuk desain dan
dengan
penempatan
Pemaknaan secara
teks
maupun
letak
“Entitas
Laki-laki”. denotatif pun
memiliki
mungkin akan mengamini perihal
perbedaan. Namun, pada teks gambar
diatas. Dimana pesan penanda “IBU”
banner yang ada di pojok kiri atas,
dan
memiliki
dengan
petandaan dengan entitas perempuan.
penekanan warna merah, yaitu teks
Kondisi ini, sekaligus menjadikan
sponsor
berada,
tidak
perbedaan
“ISTRI”
memiliki
“ISTRI” dalam gambar 1, dan teks
perempuan
“IBU” pada gambar 2. Dalam hal ini,
diam’. Dengan pernyataan “Yang
terma yang dimunculkan dengan
sayang” diatas terma “IBU” maupun
penekanan
“ISTRI”, bisa juga merujuk pada
tertentu,
bisa
juga
sebagai
padanan
‘objek
yang
10
pengartian
seseorang
yang
‘disayangi’. Barthes melihat hal ini
titik pada tubuh dan sepeda motor yang digunakan.
sebagai “the absent one”, dimana Ia
Dalam tradisi semiotika struktural,
banyak berbicara posisi perempuan
warna juga menjadi hal penting dalam
yang ‘didiamkan’ karena dicintai.
sebuah relasi tanda. Saussure melihat
Menurutnya
the
“historically,
bahwa
pemaknaan
hal
yang
discourse of absence is carried on by
diproduksi dari relasi antara petanda
the Woman: Woman is sedentary,
dan penanda (Storey, 2009: 111).
Man hunts, journey; Woman is
Sebagai contoh, lampu lalu lintas
faithful (she waits), man is fickle (he
yang beroperasi dengan tiga sistem
sails away, he cruises) (Barthes,
warna: merah berarti behenti, kuning
2001:
berarti bersiap-siap, dan hijau yang
13-14,
penekanan
oleh
penulis). Maka, kerangka diskursus
berarti
yang ingin dibangun adalah konsep
hubungan penanda dan petanda akan
perempuan diam dan taat aturan lalu
selalu bersifat arbiter, sehingga tidak
lintas. Sedangkan entitas laki-laki,
bisa kita mengartikan warna merah
digambarkan sebagai sosok liar dan
pada lampu lalu lintas dengan makna
selalu melanggar aturan.
lain diluar sistem penandaan yang
jalan.
Pada
kasus
ini,
berlaku secara universal. Kembali pada pembahasan warna Citra,
Warna,
dan
Objek
Androgini
banner diatas, maka jika boleh
Beranjak menuju model gambar yang terdapat pada iklan banner. Dapat dilihat dalam gambar, adanya sosok yang mirip perempuan mengenakan helm dan mengendarai sepeda motor, dengan
senyuman
yang terdapat pada gambar iklan
tampak
di
wajahnya. Tipikal warna yang ada disekitarnya adalah merah jambu dengan aksen biru muda di beberapa
menerjemahkan warna dan sosok androgini perempuan
yang tersebut,
menyerupai maka
ada
kemungkinan sosok yang tergambar pada
banner
tersebut
adalah
perempuan. Hal ini mungkin bisa dinilai dari komposisi warna pastel pada gambar: merah jambu dan biru muda, maka secara denotatif, asosiasi yang paling mendekati sosok yang 11
menaiki sepeda motor tersebut adalah
gambar ini kemudian bergerak maju
perempuan.
kearah bagaimana konstruksi tubuh a
Bukan bermaksud secara telak menyatakan bahwa senyum
dalam
perempuan.
sosok penuh
gambar
Namun
adalah
kita
coba
la perempuan modern bersolek, yaitu dengan mengenakan lipstick dan bulu mata lentik, ditambah model asesoris fashion berupa syal.
menyepakati bahwa analisa secara
Perlu diingat, bahwasanya mitos
struktural mempertemukan penanda
dalam pengertian ini bertugas sebagai
manusia berambut separuh panjang
aparatur
dengan petanda berupa warna merah
menyebutnya)
yang
jambu, bulu mata, lipstick, sepeda
sejarah.
dengan
motor matic, dan ‘tubuh ideal’
perempuan
bertransformasi menjadi sebuah tanda
merepresentasikan ‘anak zamannya’.
baru, entitas perempuan. Lalu dengan
Hal ini, tentu tidak bisa juga hanya
performa demikian, maka berjalan
dibaca secara parsial antara mode dan
pula proses konotatif dalam sebuah
maksud yang ada pada gambar.
citra.
Karena
Dalam model sistem penandaan tingkat
dua
milik
Barthes,
Ia
mengenalkan konsep mitos. Dimana mitos diartikan sebagai kelaziman
(kalau
Jadi
dalam
mitos
boleh
saya
menetralisisr demikian,
gambar
jika
ini
sudah
memantapkan dirinya, juga akan bermetamorfosis lagi menjadi apa yang kita sebut sebagai ideologi. Bagaimanapun akan terlihat ‘aneh’
dalam kebudayaan (Fiske, 2012:
jika
144). Jika pada umumnya, perempuan
geografis secara umum di Indonesia.
hanya digambarkan sebagai subjek
Iklim Negara Indonesia adalah tropis,
pasif
namun penggunaan syal pada gambar
yang
hanya
menyerahkan
kita
memerhatikan
keadaan
dirinya sebagai sarana prokreasi dan
perempuan
identik dengan pekerjaan domestik.
cenderung mengarah pada kondisi
Melalui
subjek
iklim di dataran tinggi atau mungkin
gambar
wilayah eropa? Maka perlu pula
dipertontonkan sebagai perempuan
dilakukan pelacakan atas trace atau
yang menempatkan dirinya diluar
jejak-jejak dari distorsi petanda dalam
lingkungan rumah. Mitos
gambar tersebut.
perempuan
gambar
ini,
dalam
dalam
dalam
iklan
banner
12
Mirip
dengan
Barthes
dalam
Mitologinya (2010: 64-68)
yang
menggambarkan
beberapa
makna
konotatif
yang
terlampir dalam ‘markah’ tersebut.
pengonsumsi
Dalam citra markah yang ada pada
anggur dan representasi masing-
gambar iklan banner, tentu selain
masing kelasnya. Penggunaan syal,
memiliki makna dari sebuah citra
kosmetik,
lainnya
ideal akan ketertiban di jalan raya,
asalinya,
terdapat makna lain lagi yang hendak
dan
mengaburkan sehingga
alat-alat realitas
menggiring
pemirsanya
disampaikan.
Beberapa
spekulasi
kepada suatu pembenaran dalam
yang
ruang dimensi politis atau sosial
bersamaan dengan momentum citra
mereka. Dengan ini, dapat dinyatakan
kepatuhan perempuan dalam berlalu
pula adanya ideologi kelas atas yang
lintas adalah perempuan yang setia,
menyusup. Sehingga gesture dalam
perempuan
yang
gambar dikemas sedemikian rupa
perempuan
yang
hingga menjadikannya nampak alami.
batasan-batasan tertentu.
Selain menampilkan model citra
kemudian
muncul
secara
nurut,
juga
bebas
dalam
Citra perempuan tetap disuguhkan
perempuan yang berada di ruang
sebagai
publik sekaligus berbusana modern
cenderung patuh terhadap segala
khas kelas atas. Pada gambar tersebut
aturan-aturan
juga memperlihatkan adanya garis
tidaklah
berlebihan
putus-putus
akhirnya,
imaji
jalan.
menyerupai
Kemudian
jika
markah
subjek
yang
pasif
transenden.
dan
Maka,
jika
pada
ini
juga
kita
merepresentasikan adanya inferioritas
menggunakan perspektif dari gambar
pada diri perempuan. Bagaimanapun,
tersebut, perempuan berada di lajur
hal ini benar-benar mengarahkan,
kiri dan ada di dalam markah jalan.
menggiring, dan mendorong para
Hal lain yang bisa diperhatikan dari
pemirsanya
adanya garis markah tersebut, adalah
memunculkan hasrat-hasrat narsistik
‘seorang pengendara sepeda motor
pada dirinya. Perempuan dalam citra
matic perempuan yang taat berlalu
telah di mitoskan, dan segera Ia
lintas’. Dimana, dari objek dalam
menjadi bagian dari banalitas dalam
gambar berupa garis markah, terdapat
ruang-ruang masyarakat.
untuk
senantiasa
13
Pergumulan hamparan citra dalam banner
safety
kemunculan
riding
hasrat
dengan
Keterhubungan advertising
mengenai
dengan
psikoanalisis
didalamnya,
memang banyak menjadi sorotan.
mungkin akan bisa semakin tampak
Arthur Asa Berger misalnya, Ia
melalui pisau milik psikonalisis.
mencermati
Harus disadari memang, mekanisme
unsur narsistik dalam iklan kosmetik
bagaimana tanda bekerja, baik itu
L’Oréal.
dalam sebuah citraan foto hingga
“Because you’re worth it”, yang
video, akan banyak bermain dalam
menurutnya L’Oréal membangun ide
ruang ketidaksadaran milik subjek.
kekaguman
adanya
penggunaan
Dengan
akan
pernyataan
diri,
sekaligus
memberikan ancaman untuk ‘ditarik Fantasi dalam Gambar: Kegegaran Dua
Subjek
dalam
Ruang
Diskursus
kemudian
psikoanalisis
sebagai
jembatan
masuk dimana
ketidaksadaran subjek menjadi sangat dimungkinkan
dalam
usaha
pengonsumsian terhadap iklan. Lacan model
yang
ditawarkan
dalam iklan ini sebagai perwujudan dari diskursus yang membelah sang subjek, sehingga Ia teralienasi dan akan dihasrati oleh Liyan, karena bagi Lacan hasrat yang otentik tidaklah ada. Man’s desire is alienated in other’s desire (Lacan, 2006: 525). Dalam
hal
mengonsumsi
produk
tersebut
(Berger, 2010: 101)
Melalui pembacaan semiologi ini,
melihat
keluar’ jika tidak turut berpartisipasi
ini
fantasi
subjek
dipermainkan sehingga mereka tidak akan pernah berhenti berhasrat.
Analisis
yang
psikoanalisis,
dilakukan oleh selain
melihat
bagaimana kondisi narsistik dialami oleh
subjek,
juga
memerhatikan
mengenai adanya simtom. Maka dalam melihat diskursus pada iklan, penting kiranya untuk mengangkat posisi simtom a la Lacan yang mengambil bentuk berupa diskursus atau wacana. Dimana dalam hal ini terdapat empat faktor dasar yang mendiami sebuah diskursus, yaitu: S1 (penanda (sistem
utama/nilai
ideal),
S2
pengetahuan/gagasan
universal), a (hasrat berlebih/object a), dan $ (subjek gegar) (Lacan, 1998: 17, penambahan dengan huruf tebal oleh penulis). 14
Berjalannya sebuah diskursus ini, menjadikan
para
Ketertiban
pemirsanya
‘terhasrati’. Objek
‘Liyan’
berlalu lintas bagi
yang
subjek
termanifestasikan melalui mekanisme
Penanda
pengendara
simbolik, baik itu bahasa, citra, teks,
Utama (S1)
kendaraan
roda
hingga dalam kasus ini adalah iklan,
dua.
akan selalu menghasrati subjek dan
Perempuan
memunculkan
sektor domestik.
gejolak
narsistik.
di
Dalam hal ini, gradasi warna maupun
Subjek laki-laki
apa yang tampak dalam gambar pada
yang
iklan banner safety riding memiliki
digambarkan
tendensi dalam upaya mengarahkan
sebagai
pemirsanya.
liar,
Dengan melihat struktur diskursus
obyek
yang sudah di analisis sebelumnya
cinta
menggunakan kacamata semiologi, Subyek Gegar ($)
berikut:
tidak
taat
aturan, sekaligus
yang dihamparkan dalam gambar
maka dapat dilampirkan sebagai
sosok
penuh
Subjek perempuan modern yang taat aturan
Komponen
Komponen
Struktur
Struktur
berkendara
Diskursus
diskursus
berada di ranah
Lacan
Banner Safety
publik, sekaligus
dan
obyek
Riding Penggunaan lajur
perempuan yang
kiri
bagi
diam dan setia
Sistem
kendaran
roda
menanti laki-laki
Pengetahuan
dua
(S2)
Perempuan yang berpenampilan lokal
Pengakuan
atas
diri yang patuh Fantasi Berlebih (a)
dalam penawaran akan
penantian
yang 15
memberikan
yang terjadi pada mereka, untuk
impuls-impuls
secara terus menerus dihasrati lalu
cinta
mengantarkannya
Pengakuan
atas
diri yang bebas dan
menjadi
kepada
sebuah
entitas mitos atau nilai ideal Dalam proporsi yang demikian, kemudian coba digambarkan Lacan (1998: 16) dalam model diskursus
dominan
<> universitas sebagai berikut: Berdasarkan struktur
diskursus
diatas, dapat dilihat bahwa terdapat dua perwujudan subjek gegar ($), yang mana dipaparkan pada analisis semiologi sebelumnya jika pesan citra dalam banner
safety
riding
ini
memiliki dua tujuan penyampaian. Pertama adalah subyek laki-laki dengan keliarannya, sehingga dalam poster tersebut menawarkan impulsimpuls cinta melalui logika binernya: perempuan (istri/ibu). Kedua, subyek gegar
diarahkan
pada
model
perempuan yang berpakaian modern yang sekaligus berperan sebagai objek yang diam dan patuh.
(S2) memainkan perannya sebagai
mengasosiasikan keberadaan
agen diri
sini,
($)dalam dirinya dalam
subyek
diskursus untuk
memosisikan
senantiasa
bayang-bayang
Subyek
laki-laki
ini,
berada
object
a.
bertugas
untuk
memproduksi/mereproduksi
sistem
pengetahuan yang dipancing melalui impuls-impuls cinta yang eksesif. Teks “Yang sayang ISTRI/IBU pakai lajur kiri” memiliki
objek sublim
yang menjanjikan suatu pertemuan ontologis terhadap entitas perempuan dan laki-laki sebagai resipennya. Dalam tragedi dramatis ini, epos
Kemudian, Sistem pengetahuan
komponen
Dari
yang dengan
fantasi/kesenangan
berlebih (a). Setelah itu, kedua subyek gegar ($), dalam hal ini membenarkan kondisi ketertekanan
oedipal
kembali
dimunculkan.
Dimana pemirsa disuguhkan dalam kisah
percintaan
dengan
Ibunya
sendiri. Entitas perempuan mungkin untuk lebih tepatnya. Kemenyatuan antara subyek lakilaki ‘liar’ dengan ‘ibu simbolik’ ini, kemudian
beralih
pada
tatanan 16
imajiner yang mengakibatkan adanya
dengan yang terjadi pada subyek
kesalahpahaman dalam mengenali
gegar
diri
(misperception).
pembahasan
Kesalahpahaman akan diri ini muncul
sebelumnya,
pertama-tama melalui kepercayaan
paradoks posisi citra perempuan
atas keberadaannya (exist), yang juga
dalam gambar. Dimana pada satu sisi,
memunculkan
akan
Ia merupakan representasi dari mode
entitas
budaya modern dengan busana dan
keterpisahan
kesadaran diri
dengan
perempuan.
Dalam
pada
sub
dijelaskan
bab
mengenai
diluar tubuhnya. Pada akhirnya, Ia
keberadaannya
pasti akan melihat kemunculan nom-
Namun di sisi lain, Ia juga mewakili
du-père
kondisi
(ayah
simbolik)
yang
di
perempuan
ruang
yang
publik.
‘diam’
mengancam subyek laki-laki dengan
sebagaimana terlampir dalam teks
kastrasi (Bracher, 2009: xxxix).
“Yang sayang ISTRI/IBU pakai lajur
Ayah simbolik ini merupakan
kiri”, perempuan disini diposisikan
metafora bagi dunia simbolik, dimana
sebagai subyek diam yang menunggu.
nilai, norma, hukum, bahasa, dan
Lebih lanjut, pembongkaran makna
kebudayaan
sebagai
markah jalan yang diartikan sebagai
Liyan. Melalui ini, subyek gegar
batasan budaya milik perempuan dan
dihadapkan
tidak
beroperasi
dengan
penanda
boleh
dilanggar,
sehingga
utama/master signifier (S1) yang
inferioritas terhadap pengakuan diri
menciptakan truth atau nilai-nilai
perempuan pada akhirnya juga harus
yang dianggap ideal. Dengan medium
berakhir dengan kastrasi.
bujuk rayu ini, subyek laki-laki diharapkan
akan
ketertundukkan
dan
Citra perempuan dalam kasus ini
mengalami
menempatkan dirinya sebagai subyek
memenuhi
yang histeris dalam sistem diskursus:
dirinya dengan semesta hasrat yang mengantarkan
kepada
kondisi
<>
nyaman yang bersifat kontinu, jika masyarakat mematuhi aturan-aturan
menempatkan subyek sebagai agen
tersebut. Kondisi yang terjadi pada subyek gegar
laki-laki,
Posisi diskursus yang histeris
berbeda
halnya
yang
menyerahkan
diri
kepada
penanda utama. Subjek gegar, dalam 17
diskursus ini melakukan perlawanan
sebagainya akibat dari pengucilan
terhadap sistem pengetahuan (S2) dan
subyek oleh penanda utama dan
penanda
(S1).
utama
Dengan
sistem pengetahuan.
demikian, subyek gegar merupakan
Ialah object a, yang akan selalu
manifestasi dari sebuah alienasi yang
menjadi lubang hasrat tanpa dasar.
ditekan
Diskursus
dalam
mekanisme
yang
histeris
adalah
kebudayaan untuk kemudian tampil
diskursus yang memiliki optimisme
sebagai dominan dalam diskursus
nihil, karena pada dasarnya object a
yang histeris.
tidak pernah hadir. Lacan kemudian
Subjek gegar, yang diwakili oleh citra
perempuan
penolakan
terhadap
penandaan
utama
membahasakan
hal
ini
sebagai
melakukan
Lamella, seperti yang dikatakannya
keberadaan
“It is the libido…that is to say,
hanya
immortal life, or irrepressible life, life
berkutat pada ranah domestik (S1)
that has need of no organ, simpli-fied,
sekaligus terhadap model perempuan
indestructible life.” (Lacan, 1981:
dengan
yang
fashion
gagasan-gagasan
198).
lokal/konvensional.
Fashion
Kegelisahan yang dialami oleh
lokal/konvensional
yang
subjek gegar yang berdiri sebagai
dimaksudkan disini adalah mode khas
agen, alih-alih menghapuskan objek
yang disesuaikan dengan kondisi
yang
geografis, iklim, dan budaya yang
hasrat
berjalan di wilayah tertentu. Penolakkan
ini,
menyebabkan
kemunculan
tersebut,
ternyata
semakin
menghasilkan
sebenarnya
limpahan hasrat tanpa henti. Lamella
merupakan momen yang penting
menciptakan wadah baru bagi object
dalam usaha interpelasi terhadap
a untuk kemudian memuculkan diri
adanya sebuah revolusi. Namun, yang
sebagai objek sublim yang selalu
perlu
diidam-idamkan.
diperhatikan
juga
adalah
kondisi histeris yang dialami oleh subjek
gegar.
Lalu
apa
yang
Berangkat sebelumnya,
dari dimana
analisis lema
menjadikannya demikian? Tentu hal
“IBU/ISTRI” mewakili perempuan
itu ada pada pencarian akan kepuasan,
yang
penghilangan rasa cemas, dan lain
keseluruhannya. Menunjukkan ada
diam
di
dalam
teks
18
pertentangan
yang
diposisikan sebagai subyek ‘yang
menghasrati subyek perempuan yang
diam’ untuk menunggu pasangannya
terbelah atau gegar. Metonimi kelas
kembali.
atas
dengan
dengan
apa
busana
modern,
Di sisi lain, posisi laki-laki sebagai
memainkan peran di sektor publik,
yang
hingga penggunaan sepeda motor
tersebut, sebenarnya secara tidak
matic, merupakan keterpecahan dari
langsung juga menempatkan dirinya
bagaimana
sebagai entitas superior. Keliaran,
hasrat-hasrat
dimunculkan.
dialamatkan
pada
pesan
perilaku tidak patuh, hingga bergerak banner
secara pro-aktif, merupakan diskursus
tersebut tidaklah mendapat apa-apa.
yang ingin dibangun jika berkaca
Ia sekali lagi menjadi subjek histeris
pada citra perempuan dalam banner
yang harus terbelenggu dalam ruang-
sebagai subyek yang taat hukum. Hal
ruang
ini kemudian juga menjadi salah satu
Citra
dalam
gambar
simbolik.
mengenai
Penggambaran
ketaatannya
berkendara,
juga
dalam
faktor
yang
melahirkan
kembali
sekaligus
ideologi patriarki dalam masyarakat.
menggambarkan berlari kembalinya
Meskipun dalam hal lain, banner
Ia dalam kuasa phallus.
safety riding ini juga mempermainkan impuls-impuls kecintaan akan dunia
KESIMPULAN
real terhadap kesatuan tubuh subjek
Pemaparan konkrit mengenai apa yang ingin disampaikan dalam citra dalam banner safety riding ialah posisi perempuan yang masih berada dalam ke-inferioritas-an. Hal ini dapat dilihat dari beberapa elemen yang termaktum dalam citra-citra tersebut, diantaranya dalam teks “Yang Sayang ISTRI/IBU pakai lajur kiri”. Dimana, penonjolan terma ‘ISTRI’ dan terma ‘IBU’ malah memperlihatkan posisi pasif
perempuan
yang
hanya
laki-laki, dengan sosok ibu simbolik. Penggambaran lain mengenai citra tubuh
perempuan
dalam
banner
tersebut adalah penggunaan fashion modern, dengan mengendarai motor matic. Penegasan yang sekilas terlihat sebagai perwujudan dari masuknya perempuan ke ranah publik, jika diperhatikan
lebih
jeli,
malah
menampilkan sosok citra perempuan yang lagi-lagi menjadi pribadi yang diam dan taat. Namun dalam hal ini, 19
lintas
Bracher, Mark. 2009. Jacques Lacan,
menjadi representasi dari phallus
Diskursus, dan Perubahan Sosial:
simbolik. Hal ini jelas berbeda
Pengantar
dengan proporsi yang dimiliki oleh
Psikoanalisis.
laki-laki simbolik, dimana Ia tetap
Gunawan
berperan sebagai aktor protagonis
Yogyakarta: Jalasutra
peraturan
tata
tertib
lalu
yang lebih aktif dan berani melawan arus, ketimbang perempuan yang diam menunggu dan taat terhadap
Kritik-Budaya Cet.
II.
(terj.
Admiranto).
During, Simon. 1999. The Cultural Studies Reader. Cet. II. New York: Routledge
dunia simbolik. Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu DAFTAR PUSTAKA
Komunikasi. Cet. I. (terj. Hapsari
Barthes, Roland. 2001. A Lover’s
Dwiningtyas).
Discourse.
Cet.
XXII.
(terj.
Richard Howard). New York: Hill and Wang
Jakarta:
RajaGafindo Halim,
Syaiful.
2013.
Postkomodifikasi Media. Cet. I.
-------------------. 2010. Membedah
Yogyakarta: Jalasutra
Mitos-Mitos Budaya Massa. Cet.
Hall, Stuart, et al (ed.). 2011. Budaya,
III. (terj. Ikramullah Mahyuddin).
Media, Bahasa. Cet. I (terj. Saleh
Yogyakarta: Jalasutra
Rahmana). Yogyakarta: Jalasutra Elemen-
Lacan, Jacques. 1981. The Seminar of
Elemen Semiologi. Cet. I. (terj. M.
Jacques Lacan, Book XI: The Four
Ardiansyah). Jogjakarta: IRCiSoD
Foundamental
-------------------.
Beardsworth,
2012.
Sara.
2004.
Julia
Concepts
of
Psychoanalysis. Cet. II (terj. Alan
Kristeva and Modernity. Cet. I.
Sheridan;
New York: State University of
Milner) New York: W. W. Norton
New York Press
& Company
Berger, Arthur Asa. 2010. The Object
ed.
Jacques-Alain
--------------------. 1998. The Seminar
and
of Jacques Lacan, Book XX:
Consumer Culture. Cet. 1. New
Encore 1972-1973. On Feminine
York: Palgrave Macmillan
Sexuality The Limits of Love and
of
Affection,
Semiotic
20
Knowledge. Cet. I. (terj. B.Fink).
Posmodernisme,
NY, London: W.W. Norton and
Pengantar Kritis. Cet. I (terj.
Company, 1998)
Medhy
-------------------. 2006. Écrits. Cet. II (terj. Bruce Fink). New York: W.W. Norton & Company, Inc. Milner, Andrew and Jeffrey Brownitt. 2006.
Contemporary
Cultural
Theory, An Introduction. New
Myers, Kathy. 2012. Membongkar Sensasi dan Godaan Iklan. Cet. I. (terj. Asma Bey Mahyuddin).
Amir.
2003.
Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Cet.
Yogyakarta: Jendela Storey, John. 2009. Cultural Theory and
Popular
An
Pearson Thornham, Sue. 2010. Teori Feminis
Relasi yang Belum Terselesaikan. (Terj. Asma Bey). Yogyakarta: Jalasutra.
Feminist Thought : Pengantar Paling
Komprehensif
2003.
kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis. Aquarini
Prabasmoro). Madan.
Posstrukturalisme
Culture,
Introduction. Cet. V. London:
(Terj.
I Bandung: Jalasutra Sarup,
Hidayat).
Tong, Rosemarie Putnam. 2010.
Yogyakarta: Jalasutra Yasraf
Aginta
dan Cultural Studies, Tentang
York: Routledge.
Piliang,
Sebuah
Priyatna
Yogyakarta
:
Jalasutra.
dan
21