22
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
2.1 Ombudsman Republik Indonesia 2.1.1 Pengertian Ombudsman Ombudsman adalah lembaga negara mengawasi
penyelenggaraan
pelayanan
yang mempunyai kewenangan
publik
yang
diselenggarakan
oleh
penyelenggaran negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD) dan badan hukum milik negara (BHMN) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pada dasarnya Ombudsman sangat erat hubungannnya dengan keluhan masyarakat terhadap suatu tindakan dan keputusan dari pejabat administrasi publik yang dinilai merugikan masyarakat. Pemilihan anggota Ombudsman dilakukan melalui suatu pemilihan oleh parlemen dan diangkat oleh kepala negara dalam hal ini presiden setelah berkonsultasi dengan pihak parlemen. Peranan Ombudsman adalah untuk melindungi masyarakat terhadap pelanggaran hak, penyalahgunaan wewenang, kesalahan, kelalaian, keputusan yang tidak fair dan maladministrasi dalam rangka meningkatkan kualitas administrasi publik dan membuat tindakan-tindakan pemerintah lebih terbuka dan pemerintah serta pegawainya lebih akuntabel terhadap
23
anggota masyarakat.
2.1.2 Fungsi Dan Tujuan Ombudsman Republik Indonesia Fungsi Ombudsman berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Pasal 6 adalah untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.1 Adapun yang menjadi tujuan dari dibentuknya Ombudsman Indonesia, sesuai Pasal 4 Undang-Undanng Nomor 37 Tahun 2008 yaitu Ombudsman bertujuan : a. mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; b. mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; c. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; d. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi,korupsi, serta nepotisme; e. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
2.1.3 Kewenangan Ombudsman Republik Indonesia Negara Indonesia yang merupakan salah satu negara demokratis hampir sama
1
Galang Asmara, 2012,” Ombudsman Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraa Republik Indonesi a “, Laksbang Yustitia, Surabaya, h.172
24
seperti negara demokrasi lainnya di dunia, yakni menganut sistem trias politica. Sistem trias politica ini membagi kekuasaan ke dalam legislatif, yudikatif dan eksekutif. Ombudsman tidak mempunyai yurisdiksi terhadap cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, namun mempunyai wewenang untuk melakukan investigasi atas keluhan masyarakat terhadap lembaga eksekutif. Secara umum lembaga Ombudsman berhubungan dengan keluhan masyarakat akan adanya malpraktik yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemerintahan untuk melakukan penyelidikan secara obyektif terhadap keluhan-keluhan masyarakat mengenai administrasi pemerintahan. Sering kali Ombudsman juga mempunyai kewenangan untuk berinisiatif melakukan penyelidikan walaupun tanpa adanya pengaduan. Ombudsman di Indonesia didukung oleh dua undang-undang sekaligus dalam melaksanakan tugas dan pokok dan kewenangan yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam melaksanajan tugas, fungsi dan wewenangnya, Ombudsman memiliki keistimewaan berupa kekebalan hukum (immunity) yakni dalam menjalankan tugasnya tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat dimuka pengadilan oleh semua pihak.2 Kewenangan Ombudsman dalam sistem negara hukum Republik Indonesia sebaagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 jo UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 adalah fungsi pengawasan pelayanan publik, yang jika ditinjau dari klasifikasinya dalam sistem pengawasan termasuk dalam klasifikasi
2
h. 89
Nuryanto A. Daim, 2014, ”Hukum Administrasi Negara”, Jilid I, Laksbang Justitia, Surabaya,
25
pengawasan preventif dan represif yang bersifat eksternal. Guna mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa (clean and strong government), pelaksanaan kewenangan Ombudsman tersebut harus diletakan diatas landasan negara hukum yang demokratis. Menguatnya kedudukan dan fungsi Ombudsman kiranya dapat mendorong optimalisasi fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disebabkan pengawasan dari Ombudsman memilik karakter yang bersifat khusus sesuai dengan karakter dari Ombudsman yang menjunjung nilai-nilai universal. Sifat pelaksanaan rekomendasi dan saran Ombudsman yang bersifat non-riil yang berbeda dengan sifat eksekusi dalam peradilan umum dalam perkara perdata, membutuhkan dukungan dari fungsi kontrol DPR/DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berwenang melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintdah dan diperkuat melalui kesadaran kritis masyarakat untuk berani melaksanakan social control.3 Ombudsman dalam pelaksanaan tugas memeriksa laporan, wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak dan tidak memungut biaya serta wajib mendengar dan mempertimbangjkan pendapat para pihak dan mempermudah pelapor. Dengan demikian, Ombudsman dalam memeriksa laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan Ombudsman dituntut untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para pihak agar penyelenggra negara dan pemerintahan mempunyai
3
kesadaran
sendiri
dapat
menyelesaikan
laporan
atas
dugaan
Tjandra, Riawan, 2009,”Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa”, Yogyakarta; Universitas Atma Jaya, h.222.
26
maladministrasi dalam penyelenggraan pelayanan publik. Dengan menggunakan pendekatan ini berarti tidak semua laporan harus diselesaikan melalui mekanisme rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan maladministrasi. Setelah melalui proses panjang pembahasan Rancangan Undang-Undang Ombudsman yang mendapat masukan kritik dan pandangan dari berbagai pihak dalam kurun waktu pembahasan kurang lebih delapan tahun, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia melalui Lembar Negara Nomor 139 Tahun 2008 dan Tambahan Lembar Negara 4899 yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 7 Oktober 2008. Selain itu, penguatan lembaga Ombudsman di Indonesia. Secara jelas tercantum sebagai pengawas pelayanan publik di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman secara khusus memiliki posisi penting sebagai lembaga negara pengawas eksternal yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh BUMN, BHMN serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberikan tugas menyelenggarakan pelayanan publik yang tertentu yang sebaagian atau seluruh dannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggra pendapatan pelanja daerah (APBD). Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka adapun kewenangan penyelesaian maladministrasi oleh Ombudsman ini merupakan kewenangan yang bersifat atributif. Kewenangan atributif tersebut bersumber dari pemegang kewenangan asli seperti
27
Undang-Undang dan merupakan kewenangan yang asli dan bersifat independen, tidak bergantung dengan kewenangan lain serta bukan merupakan pemberian dari lembaga lain.4 Pasal 8 Undang-Undang Ombudsman, mengatur secara tegas kewenangan yang dimiliki Ombudsman, diantaranya adalah : (1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Ombudsman berwenang: a.
b.
c.
d. e. f.
g.
Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan; Meminta klariflkasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/ atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang: a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/ atau prosedur pelayanan publik; b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar 4
Anonim, 2013, “Majalah Suara Ombudsman”, Edisi Kedua, Maaret-April 2013, h. 49-51.
28
terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi. Kewenangan sebagaiman tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) lebih sering digunakan untuk penyelesaian laporan masyarakat, sedangkan yang tercantum dalam ayat (2) merupakan kewenangan yang berkaitan dengan praktek pengawasan yang dilakukan dalam wujud kegiatan pemeriksaan inisiatif (own motion insvestigation) terhadap peraturan perundang-undangan dan implementasinya dalam bentuk pelaksanaan pemberian pelayanan publik kepada masyarakat. 2.2 Konsep Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pengertian resmi pelayanan publik menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pelayanan Publik, adalah kegiatan atau rangakaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dengan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang
disediakan
oleh
penyelenggaraan
pelayanan
publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik (public service) oleh birokasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai “abdi masyarakat” disamping sebagai “abdi negara”. Pelayanan publik (publik service) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk menyejahterahkan rakyat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (walfare state). Negara-negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkini sudah mengacu pada paradigma pelyanan publik “ new public service” atau disingkat NPS, sebagai paradigma pelayan pubnlik yang prima berasaskan partisipasi masyarakat.
29
Praktek pelayanan publik dalam perspektif NPS ini diselenggarakan berdasarkan pertimbangkan ekonomi yang rasional. Kebutuhan dan kepentingan publik yang dirumuskan sebagai agregasi dari kepentingan-kepentingan publik (public interest) . masyarakat diposisikan sebagai pelanggan (customer) sedangkan pemerintah berperan mengarahkan pasar. Dalam perkembangan konsep ini diterjemahkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas maka diperlukan standar pelayanan untuk menjamin kualitas pelayanan publik.5 Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan resposibiltas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah), dengan ciri sebagai berikut: 1.
Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; 2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan : 1) Diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. 2) Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan mengenai: 1. Prosedur/tata cara pelayanan; 2. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif; 3. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; 4. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; dan 5. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan. 3) Keterbukaan,artinya prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyeleaian, rincian 5
Widyarta Agus, 2012, Pelayanan Kesehatan dari Perspektif Maaysarakat dalam Participatory Governance (Studi Kasus Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pelayanan Dasar Kesehatan di Kota Surabaya, Dalam: Program Doltor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Adminisrasi, Universitas Brawijaya, h. 4.
30
waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. 3. Efisiensi, artinya: 1) Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan; 2) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; 3) Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan; 4) Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani; 5) Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.6 Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function). Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi tersebut diatas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan 6
Raihanctym, 2011, http://www.scribd.com/doc/11319551/Pengertian-Pelayanan-Publik, diakses pada tanggal 30 Januari 2013 Pukul 13.30 WITA
31
seluruh fungsi-fungsi tersebut. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership) antar pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima, profesional, karakteristik dan parameternya sudah jelas sebagaimana yang sudah diuraikan diatas. Sekarang di Indonesia penyelenggaraan pelayanan publik semestinya sudah mengacu kepada paradigma NPS. Kalau dilihat dari instrumen hukumnya undang-undang Pelayanan Publik sudah mengarah kesana, tinggal bagaiman pelaksanaan dilapangan agaknya masih jauh dari yang diinginkan.
2.3 Konsep Ombudsman Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik Istilah Ombudsman yang berarti wakil atau perwakilan kelompok (bahasa Skandinavia). Lembaga Ombudsman pertama kali di Swedia pada tahun 1809. Namun demikian, menurut Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul “The Ombudsman in New Zealland” mengungkapkan pada zaman kekaisaran Romawi terdapat institusi bernama Tribunal Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak “plebeians” (masyarakat lemah) dari penyalah gunaan kekuasaan para bangsawan .7 Lembaga yang berfungsi untuk penyelesaian maladministrasi dan menerima
7
Ombudsman, 2013, “Sejarah Ombudsman” Majalah Suara Ombudsman Edisi Pertama, Januari-Februari 2013 h.10
32
keluhan masyarakat usianya sudah tua, hanya saja Swedia negara yang pertama kali memasukan lembaga Ombudsman dalam konstitusinya. Sekarang Ombudsman telah berkembang dan menjadi kecenderungan ketatanegaraan sebagai pilar demokerasi dalam perlindungan terhadap HAM dimana lebih dari 167 lembaga Ombudsman yang terdiri dari Ombudsman nasional, Ombudsman negara bagian, Ombudsman derah dan Ombudsman swasta telah bergabung menjadi anggota International Ombudsman Association (IOA).8 Strategi low profile menjadikan Ombudsman semakin memproleh dukungan publik dari pihak-pihak eksternal. Dukungan tersebut diinventarisir antara lain dari pencantumkan Ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 25 Taun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Propenas) sampai dengan penertiban TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang memveri mandat kepada eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang Ombudsman. 2.3 Konsep Maladministrasi a. Pengertian Maladministrasi Prinsip penegakan hukum dalam good governance tidak dalam arti sempit yang hanya meliputi hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) saja, akan tetapi juga meliputi hukum adat dan etika kemasyarakatan yang terkemas dalam bentuk norma kepatutan. Maladministrasi adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu perbuatan administrasi yang menjauhkan dari
8
Ramachandran, 201, URL: http//www.theioa.org, diakses pada tanggal 11 Desember 2015 Pukul 11.00 WITA
33
pencapaian tujuan administrasi. Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami
maladministrasi,
yaitu
semata-mata
hanya
dianggap
sebagai
penyimpangan administrasi secara arti sempit, penyimpangan yang hanya berkaitan dengan ketatabukuan dan tulis-menulis.9 Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi. Padahal terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekkedar penyimpangan yang bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang. Secara leksikal, administrasi mengandung 4 (empat) arti, yaitu : 1) Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan pembinaan organisasi. 2) Usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan. 3) Kegiatan yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan, dan 4) Kegiatan kantor dan tata usaha.10 Secara umum maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik, yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut. Adapun penegrtian maladministrasi menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyatakan: 9 10
Widodo Joko, 2001,”Good Governance”, Insan Cendikia, Surabaya, h.259 NN, 1994,”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, Jakarta
34
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang tersebut untuk tujuan lain dari yang menjadi wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakuakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah, termasuk perseorangan yang membantu pemerintah mememberikan pelayanan publik yang menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi masyarakat dan orang persorangan. Adapun bentuk-bentuk maladministrasi yang paling umum yaitu penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban huku, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak professional, ketidak jelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidak puasan hukum, salah pengelolaan.11 Prinsip penegakan hukum dalam good governance tidak dalam arti sempit yang hanya meliputi hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) saja, akan tetapi meliputi hukum adat dan etika masyarakat yang terkemas dalam bentuk norma kepatutan.12 Secara umum, sebenarnya ketentuan tentang maladministrasi sudah ada dan tersebar disejumlah besar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR. Ketentuan perundangan yang memuat tentang berbagai bentuk maladministrasi itu khususnya yang mengatur tentang tindakan, prilaku, pembuatan kebijakan, dan peristiwa yang menyalahi hukum dan etika administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, pegawai negeri, pengurus perusahaan milik swasta dan pemerintah, termasuk perseoranagn yang membantu pemerintah memberikan pelayanan publik.
11
Hardijanto, 2000,” Penyalahgunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance”, Work
Paper TOT. 12
Ibid
35
Adapun landasan hukum yang langsung menyebut tentang pencegahan dan penyelesaian maladministrasi adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Substansi Maladministrasi dari sisi obyek bidang pelayanan tidak bergantung pada siapa atau badan apa yang berwenang memberikan pelayanan. Sebagai contoh kasus pertanahan, tidak hanya menjadi kewenangan badan pertanahan nasional atau kantor pertanahan saja, akan tetapi kepala desa/lurah juga berwenang untuk memberikan pelayanan administrasi pertanahan khusus tanah yangbelum bersertifikat (terdaftar). Kepala daerah juga berwenang untuk memeberikan pelayanan pertanahan, khususnya yang menyangkut hak pengelolaan, hak guna usaha, tanah-tanah asset negara dan lain-lain. b. Jenis Maladmnistrasi Komisi
Ombudsman
Nasional
memberikan
indikator
bentuk-bentuk
maladministrasi, antara lain melakukan tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang
(deviate),
(irregular/illegimate),
sewenang-wenang
penyalahgunaan
(arbitrary),
wewenang
melanggar
(abuse
of
ketentuan
power),
atau
keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) dan pelanggaran kepatutan (equity). c. Pelaku Maladministrasi
36
Pelaku maladministrasi adalah pejabat pemerintahan (pusat maupun daerah), aparat penegak hukum, petugas BUMN/BUMD dan aparat penyelenggara negara lainnya. Pada konteks ini yang menjadi fokus adalah subyek hukum yang berwenang memberikan pelayanan. Contohnya, pegawai dinas perijinan yang mempersulit proses perijinan usaha, polisi yang mengulur-ulur penangan perkara, pegawai perusaha listrik negara (PLN) atau petugas perusahaan air minum (PDAM) yang memanipulasi meteran, petugas kantor pertenahan yang meminta sejumlah uang diluar ketentuan, panitera pengadilan yang memina imbalan ketika penggugat/ tergugat/terdakwa meminta salinan putusan pengadilan dan lain sebagainya. 2.4 Rekomendasi 2.4.1 Pengertian Rekomendasi Rekomendasi antara lain diartikan sebagai saran (suggestion), namun kadangkala dapat juga berarti nasihat.13 Dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang Ombudsman maka rekomendasi Ombudsman adalah lebih dari sekadar saran atau nasihat biasa kepada Pejabat Pemerintah atau Penyelenggara Negara tentang apa yang harus dilakukan guna memperbaiki pelayanan yang dikeluhkan masyarakat, baik itu yang sifatnya kasus perkasus maupun yang sifatnya sistemik. Oleh sebab itu, rekomendasi dari Ombudsman berkaitan dengan tugasnya sebagai pengawas yang ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) serta menciptakan
13
Antonius Sujata dan RM Surahman, 2002, ”Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional”, Komisi Ombudsman Nasional, h. 194
37
lingkungan yang kondusif untuk pelayanan (hukum yang adil, termasuk pemberantasan dan mencegah perilaku KKN).14
2.4.2 Jenis Rekomendasi Rekomendasi Ombudsman dapat disusun sesuai kebutuhan penyelesaian permasalahan yang dilaporkan oleh masyarakat. Pilihan jenis rekomendasi yang tepat akan semakin memberikan efektifitas bagi tindak lanjut yang diambil Terlapor dalam merespon rekomendasi tersebut. Ada beberapa jenis rekomendasi Ombudsman sebagai berikut: 1) Membantu penyelesaian masalah Pelapor 2) Pemberian sanksi 3) Mencegah tindakan maladministrasi 4) Mengubah proses atau system 1.
Rekomendasi Membantu Penyelesaian Masalah Pelapor Rekomendasi jenis ini memang diformulasikan untuk membantu Pelapor agar
masalahnya langsung tuntas. Misalnya, ada pelapor yang mengeluhkan lambannya pelayanan Kepolisian dalam menangani laporan tindak kejahatan yang dialaminya. Dalam hal ini, setelah melakukan serangkaian investigasi dokumen dan/atau lapangan, Ombudsman menyusun rekomendasi untuk Pimpinan Kepolisian yang dikeluhkan agar segera menindaklanjuti laporan tersebut dan memberikan pelayanan kepada yang bersangkutan disertai saran misalnya, Petugas Kepolisian yang 14
Sujata,202, op. cit
38
dikeluhkan mesti ditindak, dan atau sistem pelayanannya mesti diperbaiki, dan sebagainya. 2.
Rekomendasi Pemberian Sanksi Adakalanya keluhan yang disampaikan masyarakat tidak secara langsung
mengenai pelayanan umum. Tindakan beberapa oknum yang sewenang-wenang, koruptif dan sebagainya kadangkala menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas pelayanan umum yang semestinya mereka berikan. Untuk keluhan seperti ini, Ombudsman dapat memilih susunan rekomendasi yang isinya memberikan pendapat dan saran kepada Atasan Terlapor agar Pejabat Publik yang dikeluhkan diperiksa, dan apabila terbukti bersalah diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku, atau diajukan ke Pengadilan Umum, Pengadilan Pidana atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Jenis rekomendasi ini juga dapat dipadukan menjadi sekaligus untuk memberikan keuntungan langsung bagi Pelapor, misalkan agar permasalahan pokoknya (terkait dengan pelayanan) segera mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya. Rekomendasi yang dapat dikirim oleh Ombudsman kepada Terlapor ialah agar Atasan Terlapor melakukan pemeriksaan, dan apabila terbukti telah melakukan tindakan maladministrasi agar dikenakan tindakan disiplin, sanksi administrasi sampai mengusulkan agar Terlapor diajukan di Pengadilan.15 3. Rekomendasi Untuk Mencegah Tindakan Maladministrasi
15
Kelsen Hans dan Raisul Muttaqien (penerjemah),2013,”Teori Umum tentang Hukum dan Negara (general Theory of Law and State)”, Nusa Media, Bandung, h.72
39
Rekomendasi Ombudsman dapat diberikan kepada instansi Terlapor sebagai upaya
pencegahan
terjadinya
tindakan
maladministrasi.
Ombudsman
perlu
memahami serta memiliki sensitifitas terhadap berbagai kemungkinan dan peluang terjadinya maladministrasi dalam kasus yang dilaporkan. Biasanya, maladministrasi antara lain dapat terjadi sebagai akibat adanya ketimpangan posisi sosial antara Pelapor dengan Lawannya. Lawan Pelapor yang memiliki kekuatan finansial lebih, kekuasaan serta pengaruh politik lebih, dan sebagainya sangat berpeluang menggunakan kelebihannya tersebut untuk mempengaruhi Pejabat Publik agar melakukan penyimpangan demi keuntungan pribadinya, dibandingkan dengan Pelapor yang hanya masyarakat biasa, tidak memiliki kemampuan finansial apalagi kekuasaan. 2.4.3 Menyusun Rekomendasi 1. Bahan Kerangka Awal Rekomendasi Kualitas rekomendasi sangat menentukan output tindaklanjut yang akan diambil Terlapor atau Atasan Terlapor. Apabila rekomendasi memiliki akurasi dan alur analisis yang logis dan rasional, maka hal tersebut akan semakin memudahkan Penerima Rekomendasi menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. Untuk menjaga kualitas rekomendasi, maka Ombudsman perlu memikirkan berbagai kemungkinan penyelesaian bagi Pelapor, antara lain sebagai berikut: 1) Terlapor guna mencapai penyeselesaian yang memuaskan kedua pihak. Ombudsman harus sudah dapat mengetahui apa sesungguhnya yang dicari dan menjadi keinginan Pelapor dalam ia menyampaikan laporannya.
40
2) Telitilah apakah sudah ada tawaran-tawaran penyelesaian secara instansional baik dari Terlapor maupun dari Atasan Terlapor. 3) Cobalah untuk mencari berbagai kemungkinan apakah ada cara penyelesaian lain baik melalui Pengadilan maupun di luar pengadilan. 4) Model penyelesaian apa sajakah yang disediakan oleh peraturan dan perundang-undangan terkait. 5) Pilihan-pilihan apa yang tersedia (misalnya kompensasi, perubahan kebijakan atau hukum, permohonan maaf, pemberian manfaat, dsb 6) Apakah perlu melakukan negosiasi atau mediasi antara Pelapor dan Institusi. 2. Hal-hal Penting Terkait Rekomendasi Terkait Rekomendasi, sebelum menyusun rekomendasi, dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) (Draft) Rekomendasi disusun berdasarkan bukti yang diperoleh selama melakukan investigasi baik itu investigasi dokumen dibelakang meja maupun investigasi (serta observasi) di lapangan. Bukti-bukti tersebut dirangkai menjadi fakta-fakta dan selanjutnya barulah menjadi hasil analisis Ombudsman terhadap duduk permasalahan atas kasus yang dilaporkan. 2) Pendapat Ombudsman atas tindakan yang ditemukan sebagai salah satu bentuk perbuatan maladministrasi diuraikan secara jelas dan kongkrit disertai fakta-fakta temuan investigasi. Indikator untuk mengukur ada
41
tidaknya tindakan maladministrasi dapat dilihat dalam ketentuan peraturan yang ada baik itu UU maupun Peraturan Daerah yang terkait. Apabila fakta-fakta dan data yang diperoleh selama investigasi masih memberikan peluang untuk ditafsirkan secara menyimpang, maka sedapat mungkin buatlah analisis dengan mendasarkan fakta-fakta tersebut. Ini akan membantu memberikan pemahaman secara lebih detail dan kongkrit tentang bentuk maladministrasinya. 3) (Draft) Rekomendasi juga berisi saran atau pendapat yang meyakinkan dan dipercaya sehingga Pejabat penerima rekomendasi tidak ragu-ragu mengambil tindakan sesuai saran yang dicantumkan dalam rekomendasi Ombudsman. 3. Penyelesaian Tanpa Rekomendasi Pada saat melakukan kontak pertama, sangat mungkin Tim Investigasi akan menemui Terlapor yang secara jujur mengakui dirinya telah melakukan tindakan maladministrasi dan memberikan komitmen untuk menyelesaikan tanpa harus ada rekomendasi Ombudsman. Dalam hal ini Ombudsman dapat mempertimbangkan apakah komitmen perbaikan yang ditawarkan Terlapor adalah memang sudah tepat, dan apakah tindakan Terlapor yang dikeluhkan Pelapor mengandung unsur-unsur pidana atau tidak.