BAB II TINJAUAN TEORI
2.1
Kolostrum
2.1.1 Pengertian Kolostrum merupakan air susu yang keluar pada hari pertama sampai hari ketiga setelah bayi lahir, berwarna agak kekuningan lebih kuning dari ASI biasa, bentuknya agak kasar karena mengandung butiran lemak dan sel-sel epitel (Wulandari dan Handayani, 2011). Komposisi dari kolostrum ini dari hari ke hari selalu berubah. Meskipun ASI yang keluar pada hari pertama sedikit, tetapi volume kolostrum yang ada dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia satu sampai dua hari (Kristiyansari, 2009). Edmond dan Kirkwood (2006) menyebutkan bahwa jumlah kolostrum akan bertambah dan mencapai komposisi ASI biasa atau matur sekitar 3-4 hari. Kolostrum penting bagi bayi bayi karena mengandung banyak gizi dan zat-zat pertahanan tubuh (Willis, 2003). 2.1.2
Komposisi Kolostrum Kolostrum mengandung berbagai macam zat yang bermanfaat untuk tubuh
bayi. Kolostrum mengandung banyak karbohidrat dan lemak rendah, serta protein terutama globulin (gamma globulin) jika dibandingkan dengan ASI matur sehingga baik bagi bayi (Wulandari dan Handayani, 2011). Kolostrum juga mengandung zat yang mempermudah bayi buang air besar pertama kali. Hal ini membersihkannya dari bilirubin, yaitu sel darah merah yang mati yang diproduksi ketika kelahiran. Ada lebih dari 90 bahan bioaktif alami dalam kolostrum (Allardyce et al, 2004). Kolostrum mengandung berbagai jenis vitamin baik yang larut dalam lemak maupun 6
7
air, mengandung mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan ASI matur, terutama potassium, sodium, dan klorida yang berfungsi dalam gerak peristaltik usus dan menjaga keseimbangan cairan sel, serta kandungan asam amino yang seimbang yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Oleh karena itu kolostrum harus diberikan pada bayi (Mahmudah, 2011). Kolostrum juga mengandung berbagai jenis vitamin, mineral, dan asam amino yang seimbang. Semua unsur ini bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh (Wulandari dan Handayani, 2011). Kolostrum juga mengandung zat kekebalan tubuh atau Immunoglobulin, yaitu Ig A, Ig G, dan Ig M yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ASI matur yang bermanfaat bagi daya tahan tubuh bayi sehingga melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi terutama diare (Arif, 2009). Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi tergantung dari hisapan bayi pada harihari pertama kelahiran. 2.1.3
Manfaat Kolostrum Kolostrum merupakan zat yang bermanfaat bagi bayi. Arif (2009)
menyebutkan kolostrum dapat meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena mengandung sel-sel hidup yang menyerupai sel darah putih untuk membunuh kuman penyakit. Hal ini disebabkan kolostrum mengandung zat kekebalan terutama immunoglobulin A (IgA) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan zat ini tidak akan ditemukan dalam ASI selanjutnya ataupun dalam susu formula. Kolostrum juga bermanfaat sebagai pencahar (pembersih usus bayi) yang membersihkan mekonium dan bilirubin yang berlebihan agar bayi tidak mengalami jaundice (kuning) (Purwanti, 2004). Laskowski (2005) dan Roesli (2008) menyebutkan bahwa kolostrum bermanfaat untuk melatih bayi sejak dini mengolah kolesterol. Hal ini disebabkan karena lemak kolostrum lebih banyak mengandung
8
kolesterol dan lisotin sehingga bayi sejak dini sudah terlatih mengolah kolesterol. Kolesterol ini dalam tubuh bayi membangun enzim yang mencerna kolesterol. Kolostrum juga sebagai sumber mineral yang sesuai dengan kebutuhan tubuh bayi. Mineral yang dibutuhkan seimbang bagi tubuh bayi sehingga dapat mencegah timbulnya penimbunan mineral berlebih yang dapat menyebabkan memudahkan terjadinya rangsangan kejang pada bayi (Wulandari dan Handayani, 2011). Selain itu kolostrum juga bermanfaat sebagai faktor utama pembentukan sel saraf otak, hal ini disebabkan karena kolostrum mengandung asam linoleat enam kali lipat dari susu formula. Asam linoleat sangat penting, oleh karena itu ASI harus diberikan dengan tepat dan benar agar dapat mencapai perkembangan yang optimal (Roesli, 2008)
2.2
Pemberian Kolostrum Pemberian kolostrum adalah suatu respon yang ditunjukkan oleh ibu nifas
hari pertama sampai hari ketiga dengan menyusui atau memberi ASI kepada bayi baru lahir. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2010) dan WHO (2002) menyebutkan metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui tiga metode, yaitu: dengan metode recall 24 jam, dengan kombinasi metode recall 24 jam dan recall sejak lahir, dan dengan kombinasi metode recall 24 jam dan recall sejak lahir serta dikontrol dengan observasi menyusui bayi. Rentang waktu yang disyaratkan dalam metode recall 24 jam adalah satu hari sebelum survey. Ibu nifas dianggap memberikan kolostrum bila dalam 24 jam terakhir bayi hanya disusui atau diberi ASI saja tanpa memberi tambahan selain ASI serta ASI yang pertama keluar langsung diberikan kepada bayi tanpa dibuang atau diperah sebelumnya.
9
2.3
Teori Perubahan Perilaku
2.3.1
Perilaku Kesehatan Perilaku merupakan segala yang dikerjakan oleh organisme baik secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku merupakan suatu yang dihasilkan dari hubungan antara perangsang atau stimulus dan tanggapan atau respon. Segala perilaku yang tampak dari organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Menurut Priyoto (2014), perilaku kesehatan merupakan elemen yang penting bagi kesehatan dan keberadaan manusia. Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Salah satu perilaku kesehatan dalam penelitian ini adalah pemberian kolostrum yang dilakukan oleh ibu nifas kepada bayinya. 2.3.2
Teori Health Belief Model Teori Health Belief Model (HBM) merupakan teori perubahan perilaku
kesehatan dan model psikologis yang digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan dengan berfokus pada persepsi dan kepercayaan individu terhadap suatu penyakit (Priyoto, 2014). Health Belief Model (HBM) seringkali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, dimulai dari pertimbangan orang mengenai kesehatan serta digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. Health Belief Model (HBM) merupakan model kognitif yang berarti bahwa khususnya proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan. Menurut Health Belief Model (HBM) kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (Machfoedz, 2006).
10
Menurut Priyoto (2004) Teori Health Belief Model (HBM) didasarkan atas tiga faktor esensial, yaitu: 1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan. 2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku. 3. Perilaku itu sendiri. Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap suatu penyakit, adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku dapat memberikan keuntungan, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan, serta pengalaman untuk mencoba perilaku yang serupa (Priyoto, 2014). Teori HBM oleh Rosenstock ini didasarkan pada elemen persepsi seseorang, yaitu: 1. Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit. Semakin besar risiko yang dirasakan, semakin besar kemungkinan terlibat dalam perilaku untuk mengurangi risiko (Notoatmodjo, 2010) 2. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut (Machfoedz, 2006). 3. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial (Notoatmodjo, 2010). 4. Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan (Machfoedz, 2006).
11
5. Modifying variable (variabel modifikasi) : konstruksi utama dari persepsi ini dapat dimodifikasi oleh variabel lain berupa karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi pribadi, seperti budaya, tingkat pendidikan, pengalaman masa lalu, keterampilan, tingkat sosial ekonomi, norma dan motivasi (Priyoto, 2014) 6. Cues to Action ( isyarat untuk bertindak): merupakan peristiwa, orang, ataupun hal-hal yang dapat menggerakan seseorang untuk mengubah perilaku mereka, yakni dapat berupa informasi dari media masa, nasihat dari orang sekitar, maupun pengalaman pribadi atau keluarga (Priyoto, 2014). 2.3.3
Teori Lawrence Green Faktor-faktor yang membentuk perilaku untuk intervensi dalam pendidikan
kesehatan adalah salah satunya dijelaskan dalam Teori Lawrence Green. Teori Lawrence Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan kegiatan kesehatan. Teori ini sering menjadi acuan dalam penelitianpenelitian kesehatan masyarakat. Isi Teori Lawrence Green dalam Priyoto (2014) menyebutkan bahwa perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1.
Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor predisposisi merupakan faktor yang menjadi dasar atau motivasi bagi
perilaku. Dapat dikatakan faktor predisposisi ini sebagai preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar. Preferensi ini dapat mendukung atau menghambat perilaku sehat, dan dalam setiap kasus faktor ini selalu memiliki pengaruh. Predisposing factor ini mencakup pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
12
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, sosial, dan ekonomi. a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan ibu tentang ASI merupakan salah satu faktor yang penting dalam kesuksesan proses menyusui. Hasil penelitian yang dilakukan Ibrahim (2002) menyebutkan bahwa ibu yang berpengetahuan baik 1,9 kali berpeluang untuk memberikan kolostrum dibandingkan dengan ibu yang berpengetahuan kurang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin ibu memberikan kolostrum. b. Pendidikan Tingkat pendidikan dan akses ibu terhadap media masa juga mempengaruhi pengambilan keputusan, dimana semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang untuk memberikan kolostrum kepada bayinya. Tingkat pendidikan formal yang tinggi memang dapat membentuk nilai-nilai progresif pada diri seseorang, terutama dalam menerima hal-hal baru, termasuk pentingnya pemberian kolostrum. Tingkat pendidikan inilah yang membantu seorang ibu untuk lebih mudah menangkap dan memahami suatu informasi, sehingga ia lebih mudah mengadopsi pengetahuan baru khususnya mengenai pentingnya pemberian kolostrum pada bayi (Ibrahim, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan Asmijati (2007) menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan dan kurangnya informasi dapat berpengaruh terhadap kegagalan pemberian kolostrum.
13
c. Sikap Selain pengaruh pengetahuan, pendidikan dan motivasi ibu, faktor lain yang dapat berpengaruh adalah sikap ibu terhadap pemberian kolostrum. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Penelitian yang dilakukan oleh Permana (2006), menunjukan hasil bahwa faktor kognitif atau keyakinan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam pemberian ASI segera setalah lahir yaitu sebesar 75,63%. Sikap belum otomatis terwujud dalam sutau tindakan. Terwujudnya sikap agar menjadi tindakan nyata diperlukan faktor dukungan dari pihak-pihak tertentu, seperti petugas kesehatan dan orang-orang terdekat ibu. Menurut Alport (dalam Notoatmodjo, 2003), sikap terdiri dari tiga komponen yaitu kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dimana pengetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. d. Paritas Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh wanita. Ibu hamil dan suami yang telah memiliki anak sebelumnya cenderung memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan yang baru pertama kali memiliki anak (Asmijati, 2007). Penelitian yang dilakukan Asmijati (2007) dan Frinsevae (2008) menyebutkan bahwa paritas mempunyai hubungan yang signifikan dengan pemberian kolostrum pada bayi. Menurut Wiknjosastro (2009), paritas dapat dibedakan menjadi: 1) Nullipara (wanita yang belum pernah melahirkan anak hidup)
14
2) Primipara (wanita yang telah melahirkan satu anak) 3) Multipara (wanita yang telah melahirkan anak kedua sampai keempat) 4) Grandemultipara (wanita yang telah melahirkan anak lebih dari empat) e. Kondisi kesehatan ibu dan bayi Kondisi kesehatan ibu juga dapat mempengaruhi pemberian kolostrum bagi bayi baru lahir. Pada keadaan tertentu, bayi tidak mendapat ASI sama sekali, misalnya dokter melarang ibu untuk menyusui karena sedang menderita penyakit yang dapat membahayakan ibu atau bayinya, seperti ibu menderita sakit jantung berat, ibu sedang menderita infeksi virus berat, dan juga pada bayi-bayi yang mengalami komplikasi dan memerlukan perawatan khusus sehingga bayi tidak dapat menyusu pada ibunya (Pudjiadi, 2001). f.
Kepercayaan Menurut Notoatmodjo (2010), kepercayaan adalah komponen kognitif dari
faktor sosio-psikologis. Kepercayaan ini dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada sesuatu karena ia mempunyai pengetahuan tentang itu. Keyakinan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepecayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Kepercayaan yang diyakini masyarakat dapat juga berupa kebiasaan yang ada dimasyarakat yang merupakan pelaziman dari waktu ke waktu. Kebiasaan ini sering dikaitkan dengan adat di masyarakat yang turun temurun karena kebiasaan pada umumnya sudah melekat pada diri seseorang termasuk kebiasaan yang kurang menguntungkan bagi kesehatan. Kepercayaan yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan menganggap bahwa kolostrum merupakan air susu yang kotor yang pertama kali keluar.
15
2.
Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin merupakan faktor estenden yang memungkinkan suatu
atau motivasi dapat terlaksana, termasuk didalamnya keterampilan dan sumber daya pribadi di samping sumber daya masyarakat. Enabling Factor mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat untuk melakukan
perilaku
kesehatan.
Faktor
pemungkin
ini
juga
menyangkut
keterjangkauan sumber daya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka atau jam pelayanan, dan sebagainya. Dalam hal ini fasilitas klinik merupakan salah satu faktor pemungkin. Bila persalinan normal, bayi dan ibu tidak perlu tidur terpisah. Bayi tidur bersama ibu dalam satu tempat tidur atau di dalam tempat tidur kecil di samping tempat tidur ibunya. Ini disebut ”rawat gabung”. Ibu dapat menyusui, menggendong atau membersihkan bayinya setiap saat bayi membutuhkan ibu. Rawat gabung akan mempermudah keberhasilan pemberian kolostrum bagi bayi sehingga dapat mencegah timbulnya masalah menyusui (Roesli, 2008). Penyediaan informasi yang menunjang juga penting yakni berupa selebaran mengenai arti penting kolostrum bagi ibu dan bayi 3.
Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan,
memperoleh dukungan atau tidak. Faktor penguat merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku dan berperan bagi menetap atau melenyapnya perilaku itu. Yang termasuk dalam faktor ini adalah penghargaan atau dukungan dari keluarga, teman, petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan pengambil keputusan.
16
a. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga ini pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan yang bersifat fisik, emosional maupun psikologis yang diberikan kepada ibu yang baru saja melahirkan bayinya. Seorang ibu yang tidak pernah mendapatkan nasehat dari keluarga tentang kolostrum dapat mempengaruhi sikapnya ketika ibu akan memberikan kolostrum pada bayinya. Dalam penelitian yang dilakukan Asmijati (2007) menyebutkan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari keluarga memiliki kemungkinan memberikan kolostrum 6,5 kali lebih besar dibandingan dengan ibu yang tidak mendapat dukungan keluarga. b. Dukungan Petugas Kesehatan Sebagai seseorang yang dipercaya ibu-ibu dalam mengatasi masalah bayi, petugas kesehatan hendaknya memberikan nasihat kepada seorang ibu pemulaan menyusui agar dapat menumbuhkan kepercayaan diri ibu untuk menyusui bayinya sesegera mungkin. Hasil penelitian Solihah, et al (2007) menyatakan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan memberikan kolostrum lebih besar, daripada ibu yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan berpeluang 5,6 kali dalam pemberian kolostrum dibandingkan dengan yang tidak mendapat dukungan (Nupelita, 2007)