BAB II. TINJAUAN TEORI Tinjauan teori merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai media, diskusi, dan wawancara. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi data teori yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan Islamic Centre antara lain tinjauan tentang universalitas Islam, Islamic Centre, fenomena arsitektur saat ini, dan pendekatan arsitektur Islam. II.1.
Tinjauan Tentang Universalitas Islam Risalah Islam adalah risalah yang tidak terbatas ataupun parsial, yang khusus
untuk suatu generasi atau suku-bangsa tertentu. Risalah Islam adalah ajaran universal yang mencakup seluruh ummat manusia. (Fiqh Sunnah. Sayyid Sabiq) Allah Swt. Berfirman, “Mahasuci Allah yang telahmenurunkan Al-Furqaan (yaitu Al-Qur’an) kepada hamban-Nya, agar dia menjadi peringatan kepada seluruh alam.” –QS. AlFurqaan (25):1 “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. . .” – QS. Saba’ (34):28 Realita saat ini, terjadi gelombang besar penolakan terhadap Islam baik secara jelas maupun secara halus baik oleh non-muslim maupun oleh muslim itu sendiri. Fenomena Islamophobia mulai terasa biasa dan tidak lagi dianggap masalah. Banyak masyarakat umum melihat Islam sebagai agama yang tertutup dan ekslusif, selain disebabkan oleh kurangnya kemudahan mencari lingkungan yang nyaman untuk II - 1
mencari sumber rujukan tentang Islam, kesalahan persepsi juga disebabkan oleh kurangnya fasilitas keislaman yang mudah diakses. Dikotomi dan partisi terjadi juga di dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Umat Islam terkotak-kotak berdasarkan ego golongan dan strata sosial atau pendidikan. Diskusi-diskusi keislaman yang marak dewasa ini juga membahas point-point penting problematika umat Islam, antara lain : •
Masyarakat kurang memahami Islam secara total
•
Adanya islamofobia yang mengakibatkan pandangan negative terhadap islam
•
Masyarakat kebingungan mencari sumber rujukan untuk masalah-masalah keagamaan (disebabkan karena banyaknya “aliran” yang berkembang)
•
Berkembangnya paham sekuler yang memisahkan masalah agama dengan pendidikan, politik, ekonomi, dll.
•
Kurangnya “pusat” yang menjadi pemersatu ummat islam.
Banyak tulisan yang menunjukkan dengan gamblang tentang fenomena berkurangnya pemahaman masyarakat tentang Islam yg kaffah, berkembangnya paham sekularisme, dan misjudge masyarakat tentang Islam. Sebagai contoh : 1. “Tapi sayangnya umat Islam justru tidak memahami apa itu Barat. Jika pun memahami masih dalam apresiatif (jawa : gumun) dan belum bisa bersikap krisis-kreatif, dalam artian memahami secara kritis dan menyeleksi secara epistemologi pemikiran, ide, konsep, dan paham Barat mana yang dapat diambil dan mana yang harus ditolak. Ketiadaan sikap kritis itu mungkin disebabkan oleh kebingungan
II - 2
intelektual (intellectual confusion), yaitu kehilangan kemampuan untuk membedakan mana ide, konsep, pemikiran dan paham yang sesuai dengan Islam dan yang tidak”. (Intelektual Pejuang, oleh Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Pengantar buku “Islamisai Sains dan Kampus”, Prof Dr Ir AM Saefuddin) 2. “Misalnya Ulil Absar Abdallah, dalam mensikapi keprihatinannya dalam melihat kemunduran umat Islam. Sebagai seorang cendekiawan muda NU potensial, katanya : Bahwa kecenderungan yang membuat orang Islam demikian, karena kitab yang dimiliki umat Islam tidak mampu mengantisipasi perkembangan jaman, sehingga perlu ada penafsiran kembali. (Harian bangsa, 5-4-2003)” “Banyak orang mencibir, bahwa Islam hanya retorika, wacana, teori ideal tapi sebenarnya tidak untuk dilaksanakan. Kata mereka (orang kafir) buktinya mana, hampir di seluruh dunia tidak satupun negara yang mencerminkan negara Islam ideal sebagaimana harapannya, yaitu baldatun thayyibatun warabbun ghafur”. “Perilaku umat Islam sekarang dapat diprediksi, misalnya para remaja dan pemudanya telah menganggap shalat bukan segala-galanya bahkan cenderung menghindar. Demikian pula orang tua, apabila ditanya tentang shalatnya, hanya untuk menutup hari tua (untuk bekal mati) dengan pemahaman barang kali dengan cara mengerjakan shalat dapat masuk surga. Kondisi seperti ini tidak terkecuali para pelajar yang berpendidikan tinggi, juga para sarjana agamanya, dalam pelaksanaan II - 3
shalat hanya sekedar untuk memenuhi perintah tanpa mengerti maksud sesungguhnya”. (Kata Pengantar dalam buku karangan Abdul Karim Nafsin yang berjudul : “Menggugat Orang Shalat, antara konsep dan realita) 3. “kedua pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas, dijadikan dasar oleh sebagian ahli hukum untuk membela kelompokkelompok atau aliran-aliran sempalan (sesat), seperti Yusman Roy yang melakukan shalat dengan bacaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Lia Amunuddin yang mengaku sebagai penjelmaan Malaikat Jibril, Ahmadiyah yang memiliki Nabi sendiri, yaitu Mirza Ghulam Ahmad, Kitab Suci sendiri, yaitu Tadzkirah, dan Tempat Suci sendiri, yaitu Qadiyan dan Rabwah, serta kelompok/aliran yang lainnya”. (Kata Pengantar, Ahmadiyah Menodai Islam (Kumpulan Fakta dan Data), M Amin Djamaluddin) Sedangkan tentang urgensi pengembalian Islam sebagai agama universal dan fakta yang terjadi di masyarakat adalah sebagai berikut : 1. “. . . sekitar dua ratus juta umat Islam –bahkan juga yang non - muslim –di negeri ini, kini menanti-nanti: apa yang akan diberikan oleh pergerakan dakwah ini bagi negeri yang sedang dilanda krisis multidimensi ini? Apakah pergerakan dakwah mampu mengurai benang kusut KKN yang telah melilit birokrasi pemerintahan – legislatif, eksekutif, dan yudikatif –dan mencemari hampir semua
II - 4
aspek kehidupan masyarakat? Apakah kaum santri itu akan mampu memimpin dan mengantarkan negeri zamrud khatulistiwa yang sangat luas dengan keanekaragaman etnis dan agama ini pada keadilan dan kesejahteraan? Apakah komunitas “sarungan” itu akan mampu mengelola dan melindungi aset-aset nasional –berupa kekayaan alam yang melimpah di ddarat, laut, dan udara, berikut khazanah ilmiah dan budaya yang tak ternilai harganya –dari ancaman asing yang tidak pernah berhenti merongrong negeri ini?”. (Mukadimah Buku “Quantum Dakwah & Tarbiyah”, Agar Dakwah Bersemi Indah, Miswan Thahadi) 2. “Sayang, ada kecenderungan pergerakan dakwah ini hanya berputarputar di sekitar serambi masjid. Yakni, hanya sibuk memperhatikan mereka yang memang sudah menjadi “ahli masjid”. Padahal di luar itu, mereka yang masih jauh dari masjid, bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di lantai masjid lebih banyak jumlahnya. Apalagi kalangan non-muslim, nyaris tidak pernah mendapatkan sentuhan dakwah. Bahkan, tidak sedikit di antara aktivis dakwah yang masih menganggap orang-orang non-muslim sebagai musuh”. (Bagian Pertama Buku “Quantum Dakwah & Tarbiyah”, Reorientasi Dakwah & Tarbiyah, Miswan Thahadi) Contoh di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak tulisan yang ada. Bisa dibilang, tanpa adanya tulisan pun problematika umat Islam sudah menjadi rahasia umum di
II - 5
masyarakat. Padahal jika kita kembali pada basic ajaran Islam, jangkauan ajaran Islam adalah untuk seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, keberadaan Islamic Centre yang memberikan fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan masyarakat umum sangatlah tepat dalam pengaplikasian poin ini (universalitas Islam).
II.2.
Tinjauan Tentang Islamic Centre Dalm bahasa Arab, kata Islamic Centre diistilahkan sebagai Al-Markaz Al-
Islami (Pusat Islam). Sementara dalam bahasa Inggris terdiri dari Islamic, berarti Islami dan Centre berarti pusat/markas. Sedangkan secara istilah, Islamic Centre adalah lembaga keagamaan yang fungsinya sebagai pusat pembinaan dan pengembangan agama Islam yang berperan sebagai mimbar Pelaksanaan Da’wah dalam era pembangunan. Lebih lengkap lagi, Islamic Centre adalah masjid berikut sarana dan prasarana yang dipergunakan sebagai pusat kegiatan peribadatan, pendidikan, kepemimpinan, dalam pengembangan rekayasa social, budaya, ekonomi, pemerintahan untuk kesejahteraan umat dan bangsa. Sidi Gazalba mengatakan: “Islamic Centre adalah wadah aktivitas-aktivitas kemasyarakatan yang berdasarkan Islam, Islam dalam pengertian sebagai agama maupun Islam dalam pengertian yang lebih luas sebagai pegangan hidup (way of life). Dengan demikian aktivitas-aktivitas di dalamnya mencakup nilai-nilai peribadatan yang sekaligus nilai-nilai kemsyarakatan”.
II - 6
Menurut Syafii Karim, istilah Islamic Centre berasal dari negara-negara Barat (AS) yang masyarakatnya minoritas beragama Islam. Jadi untuk memenuhi segala keperluan akan kegiatan-kegiatan Islam mereka kesulitan untuk mencari tempat. Untuk itu aktivitas-aktivitas Islam tersebut dipusatkan dalam satu wadah yang disebut Islamic Centre. (Panduan Pengelolaan Masjid & Islamic Centre. Bidang Pemberdayaan Daerah & Kerjasama Dalam Negeri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) Secara umum, Islamic Centre berfungsi sebagai komunikator, mediator, dan fasilitator dalam menampung kerjasama umat dengan poin-poin sebagai berikut : •
Tempat pembinaan dan pengkaderan Dalam hal ini pembinaan dan pengkaderan intelektual muslim.
•
Pusat informasi dan data Menghimpun informasi dan data-data yang menyangkut kehidupan beragama dan bermasyarakat dengan pengkhususan segala informasi yang bersangkutan dengan Islam.
•
Pusat kebangkitan ekonomi umat Memiliki peran aktif dalam membangkitkan ekonomi umat yang disebabkan oleh lemahnya sistem dan kurangnya SDM yang agamis. Upaya yang dilakukan adalah memfasilitasi bisnis berbasis syariah.
•
Pusat kajian islamiyah Islamic Centre menjadi laboratorium yang meneliti dan menjawab permasalahan-permasalahan keumatan dalam masyarakat.
II - 7
Selain itu, karena masjid juga menjadi elemen utama pembentuk Islamic Centre, fungsi-fungsi masjid pun harus difasilitasi oleh Islamic Centre. •
Tempat pelaksanaan ibadah Dalam hal ini shalat berjama’ah menjadi hal yang paling ditekankan. Jika shalat berjama’ah selalu didirikan di masjid tersebut itu berarti masjid tersebut makmur.
•
Tempat bermusyawarah Seperti Darul Arqam di rumah Arqam Ibn Abi Arqam pada masa Rasulullah, masjid harus menjadi tempat bermusyawarah yang bersifat membangun dan positif dengan prinsip syura’ sebagai penyelesaian masalah umat.
•
Tempat pelayanan sosial Kegiatan sosial seperti pengumpulan dan pembagian zakat, infaq dan shadaqah, pelayanan kesehatan, penerimaan dan penginapan tamu dan musafir, penampungan para (thalibul ilmi) yang kurang mampu dan lain sebagainya.
•
Tempat menuntut ilmu Peningkatan dan pengembangan wawasan ke-Islaman sebagai wujud kepedulian dan kewajiban menegakkan nilai-nilai
ke-Islaman di
tengah-tenga masyarakat difasilitasi oleh masjid. •
Tempat latihan dan mengatur strategi
II - 8
Pada masa Rasulullah, penyusunan strategi pertempuran dilakukan di masjid karena keamanan dan rahasia lebih terjaga dari pihak lawan. Dari masjid pula dikirim delegasi-delegasi ke berbagai negara untuk memperluas manuver Islam. Pembinaan mu’allaf dan forum anti pemurtadan juga menjadi suatu poin penting yang harus diperhatikan. •
Pusat konsultasi dan bantuan hukum Islam Sebagai cara mengangkat izzul Islam wal muslimin dari keterpurukan dan diskriminasi.
•
Pusat penelitian dan pengembangan pendidikan Islam Fungsi masjid sebagai pengelolaan data guna menyusun peta da’wah yang memudahkan strategi pembinaan masyarakat. Masjid memiliki fasilitas untuk mengumpulkan SDM muslim dari berbagai kalangan seperti ulama, intelektual, dan praktisi.
•
Masjid sebagai pusat ekonomi jama’ah Sebagai syiar Islam, di zaman Rasulullah masjid juga memegang peran sentral dalam pemberdayaan ummat. Sedangkan salah satu pilar kemajuan peradaban Islam adalah amwal (wealth) atau ekonomi. Perlindungan pedangang kecil maupun besar dari cengkraman tengkulak dari pihak asing dengan sistem pasar berbasis masjid, dengan lembaga khusus yang mengawasi pasar (hisbah) dan petugas pengawasan (muhtasib) yang menjaga sistem tersebut.
II - 9
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebuah Islamic Centre adalah suatu bentuk pewadahan terhadap aktifitas peminaan dan pengkaderan, pusat informasi dan data (yang berhubungan dengan Islam), kebangkitan ekonomi ummat, dan kajian islamiyah. Sedangkan untuk fungsi bawaan dari masjid, Islamic Centre juga mewadahi aktifitas pelaksanaan ibadah, musyawarah, pelayanan sosial, menuntut ilmu, latihan (training) dan mengatur strategi, konsultasi dan bantuan hukum Islam, serta penelitian dan pengembangan pendidikan.
II.3.
Tinjauan Tentang Fenomena Arsitektur Saat Ini Untuk memasyarakatkan Islamic Centre, dibutuhkan fasilitas sosial yang
mampu menarik masyarakat umum. Tidak hanya menambah fasilitas saja, pemenuhan kebutuhan terhadap permintaan masyarakat luas harus diperhatikan. Lalu dari segi arsitektural, pelayanan seperti apa yang bisa diberikan? Pada Indonesian architects for the International Union of Architects Congress Tokyo 2011, para profesional, akademisi, dan praktisi arsitektur merumuskan bahwa fenomena arsitektural dewasa ini terbagi menjadi beberapa poin, antara lain : 1. Architecture for urban Pada tahun 2010, delapan puluh lima kota di Indonesia memiliki 23,6 juta penduduk. Negara kepulauan dengan lebih dari 220 juta jiwa yang kita tinggali semakin padat dan kompleks. Perkembangan menuju urban (urbanisasi) tidak terelakkan lagi dan secara otomatis permasalahan urban di Indonesia pun bermunculan.
II - 10
Para praktisi arsitektur menyimpulkan permasalahan urban di Indonesia adalah buruknya infrastuktur dan kurangnya ruang publik. Ruang publik sebagai wadah aktivitas sosial dan media apresiasi diri di perkotaan semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya gaya hidup individualis dan juga menyebabkan mengakarnya gaya hidup tersebut. Jadi secara kompleks, berkurangnya ruang publik disebabkan dan menyebabkan berkurangnya jiwa sosial dan krisis identitas masyarakat urban. 2. Architecture for disaster Pada lima tahun terakhir (2006-2010) tercatat 16 bencana alam besar yang mengguncang Indonesia (longsor, gempa bumi, tsunami, gunung berapi) dengan korban meninggal lebih dari 10.308 jiwa. Pada 24 Desember 2004, bencana tsunami di pesisir Pulau Sumatra menelan kurang lebih 168.000 korban. Hal ini menstimulan para praktisi arsitektur untuk memberikan sumbangan pemikiran dan desain yang fungsional untuk menanggapi masalah ini. Desain shelter dan redesain kampung korban bencana menjadi sorotan khusus para praktisi arsitektur. 3. Architecture for culture and community Budaya yang tumbuh sederhana terlibas oleh modernisasi dan industrialisasi. Masyarakat yang tumbuh secara instant juga mengikis budaya nusantara yang sarat makna dan nasihat. Bangunan-bangunan yang ada mulai lepas dari konteks budaya Indonesia dan tidak mewadahi komunitas yang ada secara maksimal. II - 11
Kultur kreatif masyarakat kita mulai hilang oleh industrialisasi. Para pekerja seni semakin kehilangan ruang berekspresi, padahal merekalah salah satu pihak yang masih menjaga kebudayaan asli Indonesia. Ruang-ruang budaya pun mulai didesain secara serius oleh para praktisi arsitektur sebagai penangkal arus yang menghilangkan budaya otentik bangsa ini. 4. Architecture for lifestyle Pada saat ekonomi Amerika dan Eropa menurun pada dekade pertama abad 21, Indonesia malah membaik. RAPBN 2012, 16 Agustus 2011 : pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,7%, dengan inflasi 5,3% dan suku bunga 6,5%. Hal ini menimbulkan pergeseran perilaku pada masyarakat dari pemenuhan kebutuhan primer menjadi pemenuhan kesenangan yang beresonansi pada penunjukan identitas. Meski tidak bisa dinafikan bahwa perilaku tersebut terjadi pada golongan masyarakat kelas menengah ke atas. Pergeseran perilaku inilah yang mendorong arsitek-arsitek di Indonesia mendesain
fasilitas-fasilitas
yang
memenuhi
kebutuhan
gaya
hidup
masyarakat ini. 5. Architecture for education Bangunan sekolah saat ini dirasa tidak perlu lagi mengikuti tipologi bangunan sekolah yang telah lalu: bangunan lurus memanjang, dengan deretan kelas yang menghadap ke sebuah lapangan upacara dengan tiang benderanya.
II - 12
Perkembangan metode pendidikan saat ini membebaskan aktivitas belajar masyarakat tidak hanya di dalam ruang-ruang kelas tertutup. Penekanan ruang bersama pada fasilitas sekolah menjadi ide desain para praktisi arsitektur menjawab persoalan ini. 6. Architecture for recidential Fenomena-fenomena arsitektur ini menjadi salah satu dasar pengembangan perencanaan dan perancangan arsitektural J.I.C, meskipun ditekankan pada satu poin yaitu architecture for urban yang menitik beratkan pada penyediaan ruang publik. II.4. Tinjauan Tentang Pendekatan Arsitektur Islam Tinjauan tentang pendekatan arsitektur Islam diperlukan untuk menjadi dasar pertimbangan perencanaan dan perancangan fasilitas ini (J.I.C). Karena dewasa ini arsitektur Islam sering disalah artikan sebagai arsitektur mediterania/Timur Tengah, maka pemahaman tentang pendekatannya sangat penting untuk mengetahui pendekatan mana yang akan digunakan dalam perencanaan dan perancangan fasilitas J.I.C. Pada poin ini, akan dipaparkan sebuah tulisan yang diambil dari tesis yang disusun oleh Nangkula Utaberta, yang menjelaskan secara luas tentang pendekatan arsitektur Islam : Pendekatan Populis Revivalisme
II - 13
Revivalisme merupakan pendekatan yang sangat umum digunakan ketika kita berbicara tentang Arsitektur Islam 1 . Dalam memahami Arsitektur Islam pendekatan ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap apa yang diyakini sebagai pemahaman Islam yang baik dan benar. Ia berbicara tentang bagaimana seharusnya kondisi ideal dari Umat Islam dalam metode berpikir, cara hidup, pemahaman keagamaan dan konteks interaksi sosialnya.
Revivalisme sebagaimana akar katanya berarti sebuah upaya menghidupkan atau membangkitkan kembali, sebagaimana jika orang mati maka kita akan berupaya menghidupkannya kembali. Jadi obyeknya haruslah sesuatu yang pernah ada sebelumnya dan dianggap berhasil sehingga perlu dan layak dihidupkan kembali 2 . Ide tentang Revivalisme sebenarnya terjadi dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, budaya dsb. Usaha yang dilakukan oleh Martin Luther merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan apa yang dipahami sebagai jiwa sebenarnya dari Kristus dalam agama Kristen 3 , atau Mussolini yang berusaha menghidupkan kembali kejayaan Italia sebagaimana Romawi di masa silam atau Hitler yang berusaha menunjukkan ketinggian ras Arya dari ras yang lain sebagaimana kejayaan ras ini di masa lampau.
1 Jika kita lihat berbagai penulisan tentang Arsitektur Islam biasanya ditampilkan berbagai bangunan yang dikatakan berasal dari masa kegemilangan Islam seperti Turki Ottoman dan Safavid. Hal yang sama juga terjadi dalam perancangan berbagai Masjid di Malaysia. 2 Lihat Dr Mohd Tajuddin Mohd Rasdi, Identiti Seni Bina di Malaysia, hal 29. 3 Studi lanjutan tentang perkembangan pemikiran Kristen secara lebih lengkap dapat dilihat pada Perry, Marvin , Western Civilization, hal 225.
II - 14
Dalam dunia Arsitektur kita mendapati Revivalisme ini terjadi pada abad 17, 18 dan 19 ketika banyak Arsitek di Eropa melakukan melakukan Revivalisme terhadap Arsitektur Yunani, Romawi dan Gothik. Pada pertengahan abad 20 pun gerakan post-modern melakukan Revivalisme dalam dunia Arsitektur walaupun dengan bentuk dan tujuan yang berbeda 4 . Dalam konteks perkembangan suatu bangsa Revivalisme biasanya lahir dari suatu bangsa yang tidak atau kurang memiliki bahan dan isu bagi pembentukan identitas kebangsaannya. 5 Atau ketika bangsa tersebut merasa perlu untuk melakukan pencontohan atau mengambil pelajaran dari keberhasilan bangsa lain di masa lampau. Dalam dunia Islam (sebelum kita berbicara tentang Arsitektur Islam), hal yang sama juga terjadi ketika Khalifah Umar mengadopsi sistem pajak dan manajemen negara dari Persia karena dilihat cukup efektif dan efisien. 6
Jika kita amati dari berbagai contoh dan aplikasi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapati sebuah
pemahaman
bahwa
Revivalisme berhubungan erat dengan cara dan alur berpikir kita dalam melihat suatu masalah, serta berkorelasi dengan bagaimana pemahaman kita terhadap kemampuan dan kondisi yang ada pada diri kita. Jadi ia merupakan suatu produk dari analisa terhadap diri sendiri sekaligus pemahaman terhadap bagaimana sesuatu seharusnya diselesaikan. Ia adalah produk pemikiran! Itulah sebabnya kita tidak dapat melepaskan apa yang terjadi dalam Arsitektur Islam 4 Lihat penulisan dari Charles Jenck dalam Language of Post Modern hal 39-80. 5 Lihat Manuskrip Tafsir Hadith tanggal 30 April 2003 oleh Mohamad Tajuddin Mohd Rasdi. 6 Lihat Ira M Lapidus (1988), A History of Islamic Society.
II - 15
dari pemikiran umat terhadap apa yang mereka pahami sebagai Islam yang baik dan bagaimana Arsitektur Islam yang baik seharusnya.
Mari kita beralih kepada pembahasan tentang Arsitektur Islam. Sebagaimana disebutkan sebelumnya pembahasan tentang Arsitektur islam berhubungan erat dengan bagaimana pemikiran Umat Islam tentang Islam yang baik dan bagaimana seharusnya Arsitektur Islam yang baik itu. Dalam pandangan sebagian besar umat Islam ketika berbicara tentang bagaimana Islam yang baik adalah melihat Islam di masa yang disebut sebagai masa kejayaannya. Masa Turki Ustmani, Safafid atau keadaan ketika Islam mengalami kemajuan yang pesat di masa Dinasti Abassiyah, merupakan suatu masa yang dianggap sebagai kegemilangan Islam. Sebagai implikasinya produk Arsitektur di masa tersebut dianggap sebagai produk yang ideal dari apa yang dipahami sebagai Arsitektur Islam. Hal inilah yang menyebabkan simbolisasi terhadap apa yang dipahami sebagai Arsitektur Islam biasanya disimbolkan dengan bangunan-bangunan yang pada masa-masa kejayaan tersebut dengan segala elemen yang digunakannya.
Penulisan-penulisan yang dilakukan oleh Cresswell, James Dikie dan JD Hoag yang melihat bahwa masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebagai suatu masa yang buta Arsitektur jika dibandingkan dengan masa-masa Turki Ustmani, Safafid dsb merupakan beberapa contoh dari pemahaman revivalisme ini. II - 16
“Arabia, at the rise of Islam, does not appear to have possessed anything worthy of the name of architecture. Only a small portion of the population was settled, and these lived in dwellings which were scarcely more than hovels.” 7
“Such was the house of the leader of the community at Medina . Nor did Muhammad wish to alter these conditions; he was entirely without architectural ambitions , and Ibn Sa'd records the following saying of his: "The most unprofitable thing that eateth up the wealth of a Believer is building."” 8
“Ibn Sa'd, in his biography of Muhammad relates a story first told by Abd Allah Ibn Yazid who visited Medina in 707, when the Prophet's residence was still intact. There Abd Allah met and talked to a grandson of Muhammad's widows, Umm Salama. She had told her grandson that when Muhammad was away on the expedition to Duma in the year 626 she had built an addition to her apartment with a wall of burnt bricks. On his return Muhammad rebuked her, saying""Oh Umm Salama! Verily the most unprofitable thing that eateth up the wealth of a believer is building." This opinion seem to have prevailed among the Arabs toward the period of the Orthodox
Caliphate. K.A.C.
Creswell has gone so far as to say that Arabia at this time presented "an
7 Lihat Creswell. KAC (1968), A Short Accoumt of Early Muslim Architecture, hal 1 8 Lihat Creswell.KAC (1968), A Short Accoumt of Early Muslim Architecture, hal 3
II - 17
almost perfect architectural vacuum and the term 'Arab' should never be used to designate the architecture of Islam.” 9
“An influential body of opinion in Islam has all but convinced the 20th century that there is something inherently wicked in tombs, but such a belief finds no support in the Qur'an. In Sura xviii, 21, for instance, we read 'a propos' the Seven Sleepers: 'In like manner We disclosed to them that they might know that the promise of Allah is true, and that, as for The Hour, there is no doubt concerning it. When they (the inhabitants) disputed of their (i.e. the seven Sleepers) case
amongst themselves they said: "Build over them a
building; their Lord knows best concerning them" Those who won their point said: "Indeed we will build a mosque over them."” 10
Contoh yang lain adalah pembangunan berbagai bentuk masjid dengan corak Timur Tengah pada negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia yang lahir dari sebuah pemahaman bahwa Islam yang terbaik adalah Islam yang berasal dari Timur Tengah dan tipologi yang dipilih adalah tipologi masjid dimasa-masa yang dianggap sebagai masa kejayaan Islam tadi, sebagaimana dapat dilihat pada gambar II. 1. Dari sini dapat kita lihat bahwa pendekatan Revivalisme dalam Arsitektur Islam lebih
9 Lihat Hoag, JD (1989), Islamic Architecture, hal 10. 10 Lihat Dickie. James (1995), “Allah and Eternity: Mosque Madrasa and Tombs” artikel dalam buku: ”Architecture of the Islamic World” (George Mitchell), hal 43
II - 18
melihat produk masyarakat yang Islami sebagai sebuah referensi bentuk dan sumber aplikasi bangunan dalam mendefinisikan Arsitektur Islam
Pendekatan Eklektik Sejarah. Pendekatan yang juga sering digunakan dalam melakukan studi tentang Arsitektur Islam adalah apa yang disebut sebagai pendekatan eklektik sejarah. Jika Revivalisme berusaha membangkitkan sesuatu yang sudah lama maka eklektik lebih merupakan bentuk peniruan terhadap sebagian elemen atau keseluruhan dari Arsitektur di masa lampau atau masa kini. Revivalisme lebih berbicara tentang ide pembangkitan kembali sedangkan eklektik lebih berbicara tentang metode dan aplikasi dari perancangannya 11 .
Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan tambah dan tampal karena ia menggabung-gabungkan berbagai gaya dari berbagai jenis dan tipe Arsitektur baik dimasa lampau maupun masa sekarang ke dalam suatu bangunan. Sejarah Arsitektur pernah mencatat bahwa metode ini pernah populer pada perancangan berbagai bangunan di Eropa pada abad ke 18 dan 19 sebelum kemudian dikritik keras oleh gerakan Arsitektur Modern di akhir abad 19 12 , sebagaimana dapat dilihat pada tulisan Lethaby berikut :
11 Studi lanjutan yang lebih lengkap lihat Allsop, Bruce (1955), A General History of Architecture, hal 190. 12 Pada berbagai bangunan di Eropa pada Abad ke-18 dan 19 kita menemukan banyak bangunan yang merupakan penggabungan dari berbagai gaya seperti Romawi, Yunani dan Gothik sehingga menghasilkan berbagai gaya baru yang merupakan campuran darinya.
II - 19
“…the Roman Revival as a whole has proved arid and sterile, nothing grows from it…it must, I think, be admitted by those who have in part understood the great primary styles, greek or Gothic, thet the Renaisance is a style of boredom. However beautiful single works may be, it tends to be blind, puffy and bigwiggy…” 13
Ide dan filosofi dasar dari pendekatan ini sangat sederhana yaitu berusaha mengambil bagian-bagian yang baik dari berbagai gaya Arsitektural tersebut untuk kemudian menggabungkan dan mendapatkan hasil yang terbaik darinya. Masjid Universiti Teknologi Malaysia merupakan sebuah contoh dari penerapan gaya Arsitektural ini 14 . Pada perancangan masjid ini dapat kita lihat bagaimana berbagai elemen dari mulai Kubah Isfahan, gerbang Iwan di Iran, Mimbar Masjid di Kairo, Mashrabiya, tiang penyangga Afrika hingga menara dari Istanbul Turki menunjukkan bagaimana berbagai gaya Arsitektural telah diterapkan pada Masjid ini. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar II. 2. Masalah yang sering timbul dari pendekatan ini terletak pada pembentukan identitas karena bangunan yang dihasilkan, kemudian mengalami krisis identitas yang kronis, bagaimana adaptasi dari desain tersebut terhadap kondisi tempatan (karena biasanya kondisi negara dimana gaya tersebut diadopsi dengan kondisi dimana gaya tersebut
diterapkan sangat berbeda) dan
13 lihat Lethabi, WR (1911), Architecture: an introduction to the history and theory of the art of building, hal 230. 14 Pembahasan serupa pada bangunan Malaysia dengan pendekatan serupa dapat dilihat pada Dr Mohd Tajuddin Mohd Rasdi, Identiti Seni Bina Malaysia, hal 33.
II - 20
bagaimana penyesuaian antara elemen bangunan tersebut (beberapa bangunan akan terlihat sangat aneh dan seringkali dipaksakan).
Kasus penambahan tipologi bangunan Melayu diatas bangunan bercorak Timur Tengah pada Universitas Islam Antara-Bangsa, Gombak (lihat gambar II. 3) merupakan salah satu contoh yang sering menimbulkan pertanyaan akan aspek kesesuaian akan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Disini dapat kita lihat bahwa walaupun pendekatan dan metode yang digunakan berbeda namun pendekatan Eklektik Sejarah merupakan sebuah pendekatan yang brorientasi kepada obyek sebagai sebuah produk dari masyarakat Islam.
Pendekatan Regionalisme Kawasan Pendekatan yang juga sering digunakan dalam mendefinisikan Arsitektur Islam adalah apa yang disebut sebagai pendekatan Regionalisme kawasan. Pendekatan ini lebih melihat konteks lingkungan dari bangunan dengan segala kondisi fisik dan sosial-budaya yang ada sebagai sebuah elemen yang lebih penting dari sekedar usaha simbolisasi dan pembentukan imej dari Islam itu sendiri 15 .
Pendekatan ini dalam dunia Arsitektur seiring dengan kebangkitan aliran PostModern yang banyak mengkritik International Style yang banyak merusak
15 Lihat William JR Curtis, Modern Architecture since 1900, Bab 25 Problem of National Identity, hal 331.
II - 21
konteks dan identitas suatu kawasan dengan bangunan yang sama 16 . International Style dari Arsitektur Modern banyak mempromosikan ide tentang pembangunan bangunan yang efisien dan murah serta dapat diterapkan dimana saja sementara para penganut Regionalisme melihat bahwa setiap wilayah memiliki karakter sendiri dengan segala potensinya karenanya memaksakan suatu gaya yang seragam berarti mematikan potensi yang ada pada daerah tersebut sekaligus menghilangkan identitasnya. Disamping itu telah terbukti bahwa banyak bangunan yang memakai International Style ternyata tidak mampu beradaptasi dengan kondisi dan lingkungan yang ada pada tempat dimana bangunan tersebut dibangun. Artinya penyeragaman metode dan cara membangun seperti yang diterapkan International Style merupakan suatu kesalahan dalam prinsip desain. Sebenarnya ide tentang tentang regionalisme kawasan ini sudah diserukan oleh gerakan Art and Craft pada akhir abad 19, hal yang sama juga dapat kita lihat dalam metode perancangan Wright yang begitu menghormati dan memperhitungkan lingkungan yang ada di sekitarnya. Namun ketika itu gaungnya belum terdengar keras karena akibat dan efek negatif dari International Style belum terasa 17 .
Dalam dunia Arsitektur Islam hal yang sama pun terjadi. Banyak pemikir dan Arsitek lebih melihat potensi yang ada pada kawasan untuk kemudian menghasilkan bangunan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. 16 Untuk studi lebih lengkap lihat Language of Post Modern Architecture, Charles Jencks, hal 9. 17 Peter Blake dalam Form Follow Fiasco secara detail membahas berbagai masalah dan problem yang terjadi dari penerapan Arsitektur Modern di berbagai Negara.
II - 22
Apa yang dilakukan oleh Hassan Fathy dalam berbagai desainnya (Lihat gambar II. 4) merupakan suatu contoh Regionalisme dengan sebuah implikasi yang positif. Dalam desainnya Hassan Fathy telah melakukan studi terhadap sistem konstruksi kuno dari Negara Timur Tengah yaitu konstruksi Lumpur untuk menghasilkan bangunan yang sesuai dengan iklim dan kondisi setempat namun dengan harga yang murah dan dapat terjangkau oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lemah. Hal ini memberikan sebuah dimensi tambahan yang penting dan berguna bagi Arsitektur Islam.
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat regionalisme
bahwa walaupun pendekatan
lebih melihat fungsi daripada simbol atau lambang dan
bagaimana fungsi tersebut dapat dipenuhi melalui sebuah pemahaman terhadap kondisi local namun ia tetap mendasarkan pembahasan dan kerangka berpikirnya pada obyek sebagai produk dari masyarakat Islam.
Pendekatan Metafora dan Kejujuran Struktur Pendekatan lain yang juga dewasa ini banyak digunakan dalam membahasakan Arsitektur Islam adalah apa yang disebut sebagai pendekatan Metafora dan kejujuran struktur. Dua pendekatan ini merupakan dua pendekatan yang berbeda namun seringkali diterapkan dalam suatu bangunan secara bersamaan karenanya pada diletakkan dalan satu klasifikasi.
II - 23
Pendekatan metafora merupakan suatu upaya mengambil simbolisasi dari suatu elemen atau suatu aspek dari Islam yang dianggap mewakili untuk digunakan dalam bangunan. Simbolisasi ini digunakan untuk membahasakan pesan dan ide yang akan disampaikan melalui bangunan tersebut. Diharapkan melalui pengambilan simbol tersebut orang akan memahami pesan yang akan disampaikan dan melihatnya sebagai sesuatu yang lebih bermakna 18 .
Kejujuran struktur berbicara tentang ide memperlihatkan struktur secara jujur dan ide tentang keindahan yang lahir dari struktur bangunan. Ide untuk memperlihatkan struktur secara jujur dan pemahaman tentang keindahan yang terlihat dibalik struktur sebenarnya sudah lahir sejak awal abad 20 ketika bibitbibit aliran Modernis mulai muncul. Viollet-le-Duc mungkin orang yang pertama berbicara tentang keindahan yang lahir dari pengoptimalan struktur besi (bahan yang ketika itu baru ditemukan) dan kemudian diikuti oleh Horta dan beberapa arsitek Art Nuoveau lainnya (lihat gambar II. 5). 19
Problem dari pendekatan ini adalah seringkali struktur yang seharusnya menjadi elemen yang membantu kita dalam membina suatu bangunan seringkali justru menjadi elemen utama dari suatu bangunan dan karenanya ia justru mendapat prioritas yang utama. Usaha untuk menghasilkan keindahan yang lahir dari struktur tersebut seringkali justru melipat-gandakan biaya yang harus kita 18 Untuk studi lanjutan secara lebih lengkap lihat Charles Jencks, Language of Post-Modern Architecture, hal 3970. 19 Pembahasan lebih lengkap tentang hal ini dapat dilihat pada pembahasan tentang Filosofi dan ide-ide pada Gerakan Arsitektur Modern (BAB 6).
II - 24
keluarkan sehingga perancangan bangunan tersebut jadi tidak efisien dan efektif. 20
Contoh yang paling jelas dari aplikasi pendekatan metafora terlihat jelas pada bangunan-bangunan karya Basil Al-Bayati yang secara harfiah dan jelas menggambarkan obyek yang diwakilinya (Lihat gambar II. 6). Sementara aplikasi dari pendekatan kejujuran struktur dapat dilihat pada perancangan Masjid Samarahan di Serawak, Masjid Al Syahidin di Kedah dan Masjid Negeri Sembilan 21 (lihat gambar II. 7). Pendekatan Metafora dan kejujuran struktur
sebagaimana
pembahasan
diatas
tampak
memiliki
karakter
sebagaimana Regionalisme yaitu lebih melihat kepada aspek fungsi dan optimalisasi kegunaan. Namun sebagaimana 3 pendekatan sebelumnya pendekatan ini lebih menekankan kepada obyek sebagai produk dari sebuah pemikiran daripada nilai dan prinsip dasar dari Islam itu sendiri.
Pendekatan Arsitektur Islam Melalui Studi Nilai-Nilai Asasi dari Islam seperti Al-Qur’an dan Sunnah. Masalah besar atau krisis yang terjadi dari berbagai pendekatan sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah bahwa kesemua pendekatan tersebut meletakkan obyek kajian dan dasar studi mereka atas obyek. Artinya seluruh sumber studi dan arahan kajian dari 4 pendekatan diatas seluruhnya mengarah kepada 20 Pembahasan lengkapnya dapat dilihat pada Peter Blake (1974), Form Follow Fiasco, 21 Pembagian dan klasifikasi Masjid dengan pendekatan struktur dapat dilihat pada Mohd Tajuddin Mohd Rasdi, Muslim Architecture in Peninsular Malaysia, hal 23-24.
II - 25
pembahasan tentang obyek. Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa seluruh pendekatan sebelumnya berorientasi pada obyek. Masalah yang utama dari pendekatan obyek ini sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah ianya seringkali tidak memiliki akar pemikiran yang kuat, lebih merupakan pembentuk image belaka dan tidak akan bertahan lama.
Tidak memiliki akar pemikiran yang kuat karena ia tidak lahir melalui sebuah proses berpikir dan diskusi yang cukup namun lebih merupakan hasil penjiplakan dan peniruan yang seringkali tidak sesuai dengan semangat semasa dan setempat. Lebih merupakan pembentuk image atau topeng karena ia tidak berdasar pada sebuah pemahaman dasar dan filosofi dari masyarakat, tempat dan waktu yang menjadi latar pembentuknya. Dan tidak bertahan lama karena ia tidak lahir dari pemahaman terhadap kondisi setempat dan sewaktu, dari kondisi fisik dan norma dari masyarakat sehingga memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk sesuai dengan kondisi lingkungannya.
Karenanya pendekatan yang kelima ini lebih melihat aspek nilai dan prinsip dasar yang ada dalam Islam. Pendekatan dan pendefinisian yang dilakukan adalah pendekatan dengan melihat ide, nilai dan prinsip Islam melalui sumbersumber agamanya. Metode ini berarti memadukan antara ilmu tentang Islam dengan segala aspeknya ke dalam Arsitektur sebagi suatu kesatuan yang saling mendukung dan berkaitan satu sama lainnya.
II - 26
Dalam perancangan sebuah Masjid misalnya, pendekatan ini lebih melihat aspek nilai daripada aspek kebendaan pada simbolisasi atau gaya perancangan dengan mempertanyakan berbagai aspek fungsional dari masjid tersebut. Karena jika kita berbicara dalam kerangka obyek maka pembahasan kita tidak akan berkembang selain dari obyek itu sendiri tanpa melihatnya dalam konteks dan pendekatan yang lebih besar dari Arsitektur, namun ketika kita mengeluarkannya dari sekedar obyek ke dalam pemahaman tentang ide-ide, nilai dan nilai moral maka kita akan dapat melihatnya dalam konteks yang lebih luas dan berkembang. Ia akan memiliki cakupan pembahasan dan kajian yang lebih luas bahkan di luar bidang Arsitektur sendiri.
Pendekatan ini jika kita amati penulisan dan studi dari para ahli tentang Arsitektur Islam masih merupakan suatu pendekatan yang baru dan masih memerlukan banyak pengembangan dan input teori untuk menjadikannya matang dan kuat. Seyyed Hossein Nasr dalam penulisannya ”Islamic Art and Spirituality” berusaha melihat aspek nilai dan sisi religius dari Islam sebagai sebuah aspek penting dari seni dan produk kesenian yang bernafaskan Islam. Beliau berusaha melihat aspek religius yang disebut sebagai “Islamic Spirituality”, sebagai sebuah aspek penting yang membentuk kesenian Islam, sebagaimana pendapatnya berikut:
“…The art of Islam is Islamic art not because it was created by Muslim but because it issues forth from the Islamic revelation as do the Divine Law and II - 27
the Way. This art Crystallies in the world of forms the inner realities of the Islamic Revelation and, because it issues from the inner dimension of Islam, leads man to the chamber of the Divine Revelation. Islamic Art is a fruit of Islamic spirituality from the point of view of its genesis
and sa an aid,
complement and support for the spiritual life from the vantage point of realization or return to the origin.” 22
“The Powerful support that Islamic art provides for the soul’s quest for the world of the spirit could not exist save trough the inner link between this art and Islamic Spirituality. If any extrinsic proof be needed of the relation of Islamic art to Islamic spirituality, it can befound in the role of support that this art plays in the induction of hal or spiritual; state, which itself a grace from heaven, and in the attitude of those closest to the heart of Islamic spirituality to this art in its manifold manifestations. This relation alone would suffice to reduce to insignificance the arguments of all those who consider Islamic Art as merely the product of external historical factors divorced from the principles and spiritual springs of the Islamic revelation.” 23
Di sisi lain beliau melihat bahwa sumber Syariah dari Islam (Divine Law), hanya menyediakan batasan dan rambu-rambu serta tidak menyediakan landasan bagi kesenian Islam tersebut. Al-Tariqah atau Islamic Spirituality
22 Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality, hal 7 23 Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Relation BetweenIslamic Art and Islamic Spirituality, hal 11.
II - 28
tadilah yang menyediakan landasan dan jalan dari penciptaan dan pengembangan kesenian Islam tadi.
“The divine law plays a very important role in creating the ambience and background for Islamic art, and in setting certain limitation upon some arts while encouraging others. But essentially the Divine Law contain instructions for Muslims on how to act, not how to make things. Its role in art, besides providing the general social background, is in moulding the soul of the artist by imbuing it with certain attitudes and virtues derived from the Qur’an and the Prophetic Hadith and Sunnah. But it does not provide guidance for the creation of a sacred art such as that of Islam.” 24
Pendapat ini memberikan sebuah sisi lain dari pendekatan nilai dalam memahami Arsitektur Islam. Sayangnya pendapat beliau dalam bidang Arsitektur Islam ketika berbicara tentang beberapa elemen Masjid seperti kubah, kaligrafi dan ornamentasi lebih merupakan sebuah rasionalisasi dari keberadaan elemen tersebut melalui sebuah pendekatan spiritualiti dan Sufisme yang terlihat sangat subyektif dan dipaksakan. Sebagaimana terlihat berikut:
“…It was this sanctification of the ground by the very act of the “Sujud” of the Blessed Prophet that bestowed a new meaning upon the ground and the carpet covering it. The carpet, wheter of simple white colour or full of 24 Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Relation BetweenIslamic Art and Islamic Spirituality, hal 5.
II - 29
geometric and arabesque patterns and ornamentations, reflects Heaven and enables the Traditional Muslim who spends most of his time at home on the carpet to experience the ground upon which he sits as purified and participating in the sacred character of the ground of the mosque upon which he says.” 25
As for ‘ba’, the second letter of the alphabet, its very horizontality symbolize the receptivity of the maternal and passive principle as well as the dimension of beauty which complements that of majesty. The intersection of the two letters constityutes the point which stands below the ‘ba’ and which symbolizes the supreme centre from which everything issues and to which everything returns… 26
Ismail Faruqi merupakan salah satu pemikir Islam yang juga banyak menyumbangkan pemikiran dalam Islam. Pemikiran-pemikiran beliau lebih melihat Islam sebagai suatu sistem hidup yang utuh. Aspek religius dan aspek sekular dalam Islam menurut beliau merupakan sebuah bagian integral dari kehidupan seorang Muslim, sebagaimana yang beliau katakan berikut:
The history of religions has known two influences that sought to reduce its jurisdiction by limiting the data that constitute its subject matter: one was to
25 Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Principle of Unity and Sacred Architecture, hal 39 26 Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Sipiritual Massage of Islamic Calligraphy, hal 31
II - 30
attempt to redefine the religious datum in a restricted and narrow manner, and the other
was an isolationist policy observed vis-a-vis Judaism,
Christianity and Islam. The attempt to limit the jurisdiction of phenomena of religions by giving the religious datum a narrow definition led to theories that have tried to isolate the religious element and to identify it in terms of "the religious", "the holy", "the sacred". The problem these theories faced was primarily the reductionist's analysis of the religious phenomenon into something else that would lend itself more readily to his kind of investigation . 27
Disamping itu, beliau lebih melihat Islam sebagai sebuah sistem yang bergerak secara aktif dan progresif serta berkembang menurut zaman sebagai sebuah sistem hidup yang dinamis dari seorang Muslim. 28 Pemikiran-pemikiran yang melihat Islam sebagai suatu sistem hidup yang integral, progresif dan komprehensif dalam kehidupan seorang Muslim sedikit banyak menjadi landasan dari pendekatan nilai dalam Arsitektur Islam ini.
Ismail Serageldin dalam beberapa penulisannya terlihat menggunakan pendekatan ini. Pada salah satu penulisannya yang berjudul “Islamic Culture and Non-Muslim Contributions”, 29 beliau memperlihatkan “bagaimana semunya sebuah obyek sebagai sebuah acuan”, jika kita berbicara tentang Arsitektur 27 Ismail Faruqi 1988, Women, Muslim Society and Islam, hal 416-417 28 Lihat Ismali Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hal xii-xiii 29 Lihat Ismail Serageldin, Space for Freedom: The Search for Architectural Excellence in Muslim Societies, hal 226-227.
II - 31
Islam. Beberapa simbol dan obyek yang nyata-nyata dipahami sebagai sesuatu yang Islami seperti elemen dari Masjid atau bahkan pakaian seorang ulama ternyata merupakan sebuah simbol dan elemen dari suatu peradaban atau bahkan agama lain. Pada beberapa gambar berikut, ditunjukkan bagaimana pendekatan obyek yang memiliki masalah dengan sumber dan identitasnya (ternyata elemen tersebut digunakan juga oleh agama lain dalam berbagai elemen agama mereka). Hal ini disebabkan oleh elemen tersebut lahir dari adat dan tradisi yang ada dalam masyarakat di daerah dan masa itu, bukan dari pengaplikasian semangat dan prinsip dasar dari Islam.
Gambar pertama menunjukkan seorang pendeta Yahudi di Mesir yang berpakaian persis seperti imam dan ulama kita saat ini. Perkara yang sama juga dapat dilihat dari dua orang yang berfoto bersama pada gambar berikutnya. Salah satu dari kedua orang tersebut adalah pendeta Nasrani, sementara yang satunya adalah seorang ulama Islam (kita akan sulit untuk membedakan diantara keduanya-lihat gambar II. 8). Gambar ketiga menunjukkan suatu kemiripan ornamentasi di antara ornamentasi dari Qur’an dan Injil yang beredar di Mesir (gambar II. 9). perkara yang sama juga dapat dilihat pada pelbagai ornamen bangunan berikut. Ia menunjukkan sebuah kesamaan penggunaan diantara umat beragama tersebut (lihat gambar II. 10, II. 11, II. 12).
II - 32
Di sini kita hanya menyandarkan pemahaman kita terhadap Arsitektur Islam ke atas objek yang dihasilkan oleh masyarakat Islam, oleh karena itu ia akan menemui suatu krisis identiti dan jati diri.
Darinya kita melihat sebuah
penolakan yang tegas terhadap pendekatan obyek untuk memahami apa yang disebut sebagai Arsitektur Islam. Namun Ismail Serageldin juga menolak sebuah penafsiran yang bulat-bulat dari Al-Qur’an dan hadits. Beliau lebih melihat aspek nilai dibalik ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut. Sebagaimana terlihat dari pendapatnya berikut ini:
“I do not believe that any reading of the Qur’an, at any level, or a study of the Sunna, will provide detailed instructions on how to design a house in Morocco or Indonesia, or how to design the thoroughfares of Cairo or Istanbul. Those that have tried to derive specific examples from these source are doing both themselves and the sources a disfavour. Themselves by ignoring the wider context in which we live and which must provide the major “givens” of the problems to be addressed, and the sources by demeaning them to the level of a “handbook” or “textbook” rather than treating Qur’an as eternal message of inspiration and guidance for all times and the Sunna of the Prophet as the embodiment of exemplary behaviour. If God had desire to give people specific instructions on how to build structures in the twentieth century, He could certainly have done so explicitly.” 30
30 Lihat Ismail Serageldin, Faith and the Environment: An Inquiry into Islamic Principles and the Built Environment of Muslims, hal 213.
II - 33
Kamil Khan Mumtaz dalam penulisannya “The Islamic Debate: Architecture in Pakistan” terlihat berusaha membedakan antara apa yang menjadi produk dari masyarakat Islam dengan produk dari nilai dan prinsip Islam. Sebagaimana pendapatnya berikut ini:
“ If “Islam” pertains to religion of Islam, and “Muslim” to the people who profess Islam, then the term “Islamic architecture” would apply to buildings inspired by Islamic religious thought and practice, and intended to serve an Islamic religious purpose, whereas, “Muslim Architecture” would be the more appropriate term applicable to all buildings associated with Muslim as a people or peoples.” 31
Walaupun beliau dalam penulisan tersebut belum mengambil Al-Qur’an atau Hadits sebagai sumber dan dasar dari penjelasannya namun pendapatnya tersebut memberikan sebuah sumbangan yang besar dalam pembentukan kerangka dari pendekatan ini.
Spahic Omer juga merupakan salah seorang akademisi yang dalam pandangan penulis menggunakan pendekatan ini dalam memhami apa yang disebut Arsitektur Islam. Dalam beberapa penulisannya beliau banyak menggunakan sumber-sumber agama seperti Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar argumentasi 31 Lihat Kamil Khan Mumtaz, The Islamic Debate: Architecture in Pakistan, hal 41.
II - 34
intelektualnya. Dari sini terlihat bahwa dalam memahami Arsitektur Islam beliau lebih melihat kepada prinsip dasar dari Islam jika dibandingkan dengan melihat produk Arsitektural. Atau dengan kata lain beliau lebih melihat kepada nilai daripada obyek.
Jika kita amati penulisan Spahic Omer 32 kita akan melihat 3 komponen yang menjadi inti pembahasan dan kerangka berpikirnya. Yang pertama adalah pemahaman dan pengertian tentang sejarah Islam. Kita akan menjumpai banyak sekali kajian historikal dan kajian peristiwa dari sejarah Islam. Yang kedua adalah analisa terhadap Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama dari Islam. Disini dapat kita lihat usaha beliau untuk memecahkan, menganalisa dan merumuskan teori-teori tentang Arsitektur Islam dari sumber-sumber utama Islam. Pembahasan yang dilakukan lebih merupakan pendekatan ide yang disokong dengan berbagai nash. Terlihat beliau tidak menggunakan sumber lain di luar Islam dalam merumuskan teorinya. Komponen yang ketiga adalah komponen obyek atau aktualisasi dari analisa dan rumusan tadi. Dalam pandangan penulis dalam membahas tentang obyek tadi, beliau lebih membahas batasan dan sistem dari obyek tersebut daripada membahas obyek itu sendiri.
Problem yang mungkin akan dihadapi oleh pendekatan ini adalah terbatasnya pembahasan kerangka intelektual dari Arsitektur Islam tadi karena yang
32 Lihat penulisan beliau pada Spahic Omer (2002), Studies in the Islamic Built Environment, Kuala Lumpur: Research Centre, International Islamic University Malaysia.
II - 35
digunakan hanyalah sumber yang berasal dari dalam Islam. Hal ini sebagaimana masalah yang terjadi dalam umat Islam, memiliki masalah dalam interpretasi masalah dan kasus yang temporer dan berkembang. Pendekatan ini akan terbatasi bukan karena ia tidak dapat berkembang namun karena ia membatasi diri untuk berkembang. Namun di luar segala kekurangannya itu, pendekatan ini tetaplah merupakan bagian yang sangat penting dari pendekatan dalam memahami Arsitektur Islam karena ia berakar pada nilai-nilai Islam yang asas.
Pemikir lain yang juga berbicara tentang pendekatan nilai ini dalam Arsitektur Islam ini adalah Mohamad Tajuddin Mohd Rasdi. Tidak seperti Spahic Omer, MohamadTajuddin lebih memprioritaskan kajiannya tentang Arsitektur Islam kepada studi tentang Hadits. Pembahasan tentang Al-Qur’an merupakan suatu kajian yang sangat penting sebagai dasar dan pondasi dari studi tentang apa sebenarnya Arsitektur Islam. Namun penjelasan yang ada pada Al-Qur’an merupakan sebuah penjelasan yang sangat umum. Ia berbicara tentang prinsip dasar dan nilai-nilai ideologi yang sangat mendasar dan menjadi inti dari Islam karenanya memerlukan sebuah garis panduan yang lebih teknikal dan strategis untuk mengaplikasiannya.
Garis panduan yang lebih teknikal tadi ialah Hadits. Hadits merupakan sebuah sumber yang lebih detail dan aplikatif dalam memahami Arsitektur Islam,
II - 36
karenanya sebagai sebuah sumber tentu ia lebih sederhana dan aplikatif. Sebagaimana pendapat beliau berikut:
…al-Hadith tidak harus diketepikan dalam penulisan akademik tentang seni bina Islam. Tindakan mengetepikan pertimbangan hadith disebabkan oleh faktor lain. Pertama, niat penulis seni bina Islam. Kebanyakan penulis seni bina Islam menganggap Islam bagaikan bahan ilmiah lain yang boleh meningkatkan kepentingan akademik
mereka.
Mereka mengandaikan
bahawa penulisan tentang seni bina Islam tidak ada perbezaan langsung jika dibandingkan dengan penulisan tentang seni bina renaissance, Eropah, atau kurun ke-20. Kedua, penulisan seni bina Islam tidak gemar merujuk kepada hadith kerana mereka tidak dapat mencari “modal menarik” yang boleh dijadikan bahan perbincangan. Yang dimaksudkan dengan “modal menarik” ialah bahan penulisan yang boleh melariskan jualan buku dan menggiatkan lagi industri pelancongan. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan dokumentasi mengkhusus kepada binaan seperti istana, masjid besar, makam, dan terutama perhiasan. Penulis seni bina Islam tidak gemar merujuk kepada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat kerana terlalu sedikit atau ketiadaaan langsung bangunan atau ukiran hebat pada waktu itu.
Baginda dan sahabat tidak
pernah tinggal di dalam istana atau mahligai mewah, tidak pernah merancang reka bentuk perbandaran secara besar-besaran seperti di Versailles dan kota raya Washington D.C. Bangunan terbesar yang pernah dibina oleh titik peluh dan tangan baginda sendiri ialah masjid di Madinah yang bertiang batang II - 37
pokok kurma serta berbumbung daun dari pohon yang sama tidak ada sebarang “ukiran” atau hiasan pun yang boleh dijadikan tarikan pelancong. Betapa kecilnya kamar isteri baginda dapat dibayangkan dengan jelas daripada hadith yang diriwayatkan oleh Sayidatina Aisyah, iaitu setiap kali baginda rukuk atau sujud, Aisyah terpaksa menarik kakinya. Tidak hairanlah mengapa penulis sejarah seni bina Islam amat gemar mencedok bahan kajian dan penulisan dari zaman kegemilangan kebendaan yang mempunyai tarikan yang lebih kuat.” 33
Hal lain yang juga cukup menarik dari pendekatan yang dilakukan oleh Mohamad Tajuddin adalah ia banyak memasukkan unsur dan pemahaman di luar Islam sebagai suatu kesatuan pemahaman yang integratif. Metode ini sebenarnya memiliki potensi sinkretisme jika kita tidak dapat melihatnya secara utuh dan memahami betul akar dari masalah serta sumber yang ada. Namun ia memiliki sebuah potensi yang besar dalam pengembangan dan perbendaharaan sumber intelektual. Ia memungkinkan sebuah pembahasan yang lebih luas berkembang dan menyeluruh.
Dalam berbagai penulisan beliau, Mohamad Tajuddin berusaha memasukkan ide-ide dan pemikiran Arsitektur Modern sebagai sebuah bahan pengajaran bagi pembentukan teori dan studi tentang Arsitektur Islam. Arsitektur Modern dalam pandangan beliau merupakan suatu masa yang sangat khusus dalam sejarah 33 Lihat Mohd Tajuddin Mohd Rasdi (2003), KALAM Books: Seni Bina Malaysia; Kritikan Masa Kini, hal 139
II - 38
Arsitektur karena ia adalah suatu masa dimana pertarungan dari berbagai nilai dan filosofi dalam Arsitektur berlangsung secara jelas dan besar. Pertarungan dan perjuangan nilai inilah yang menjadikan Arsitektur Modern memiliki begitu banyak originalitas dan penemuan baru yang dalam pandangan Mohamad Tajuddin merupakan sebuah pelajaran yang sangar berharga bagi perkembangan teori, filosofi bahkan pemahaman dalam Arsitektur Islam. Thesis ini merupakan turunan dari pendekatan yang dilakukan oleh Mohamad Tajuddin sebagaimana pendapat beliau berikut: “Although there are many approaches to designing what is claimed to be ‘Islamic Architecture’, there seems to be a question of strength and validity in them as they are either by-products of existing modernistic discourse or that they are based on values and practices deemed questionable from the sunnah of the prophet himself…Since the discourse on the fundamental life values of Islam had never seriously taken shape as the discourse on modernism in the late 19th century Europe and America…the Idea of Wright’ architecture as a comparative basis in comprehending the value system of Islam is simply of tool for provoking the question of Islamic Architecture…” 34
Dari penjelasan tentang berbagai contoh penggunaan pendekatan ini dapat kita lihat bahwa pendekatan ini lebih melihat nilai dan prinsip dasar Islam ketika berbicara tentang Arsitektur Islam. Dari penjelasan ini juga dapat kita lihat 34 Lihat Mohammad Tajuddin Mohd Rasdi dan Alice Sabrina Ismail, An alternative discourse on Islamic Architecture: The Compatibility of Wright’s Architecture With the Sunnah, proceedings of 2nd International Modern Asian Architecture Network, page 225.
II - 39
bagaimana pendekatan ini memilki potensi dan kemungkinan berkembang yang luar biasa, baik dalam perbendaharaan sumber, eksplorasi isi hingga tingkat aplikasinya. Pembahasan dalam thesis ini merupakan turunan dari pendekatan. (Nangkula Utaberta)
Kesimpulan dari tesis Nangkula Utaberta untuk perencanaan dan perancangan J.I.C : Dari uraian diatas terlihat bahwa ada dua pendekatan besar dalam Arsitektur Islam. Pendekatan pertama beorientasi pada obyek sebagai produk masyarakat Islam sedangkan pendekatan yang kedua lebih melihat pada nilai dan prinsip dasar dalam Islam. Kedua pendekatan di atas bisa digunakan sebagai acuan perancangan Islamic Centre yang keduanya sama-sama dimaksudkan untuk merepresentasikan Islam secara umum maupun khusus.
Pendekatan arsitektur Islam lainnya : Dalam “The Grand Tradition of Islamic Architecture”, Rehman (2002) memberikan poin penting nilai-nilai pada arsitektur Islam, yaitu : 1. Tauhid dan risalah. 2. Qur’an memberikan kesadaran akan lingkungan dan realitas lingkungan. 3. Desain berbasis geometri murni. 4. Teori syurga di bumi. II - 40
5. Teori cahaya (QS. An-Nur : 35). Pada tulisannya yang lain, dalam paper yang berjudul “ Pembentukan Kerangka Pemikiran, Prinsip, dan Filosofi Arsitektur Islam Berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Nilai-nilai Moral Gerakan Arsitektur Modern”, Nangkula Utaberta menyebutkan beberapa poin penting prinsip arsitektur Islam, antara lain : 1. Prinsip pengingatan kepada Tuhan. 2. Prinsip pengingatan pada ibadah dan perjuangan. 3. Prinsip pengingatan pada kehidupan setelah kematian. 4. Prinsip pengingatan akan kerendahan hati. 5. Prinsip pengingatan akan wakaf dan kesejahteraan publik. 6. Prinsip pengingatan terhadap toleransi kultural. 7. Prinsip pengingatan akan kehidupan berkelanjutan.
II - 41
Gambar II. 1 : Beberapa Masjid hasil Revivalisme yang ada di Malaysia (dari kiri ke kanan), Masjid Shah Alam (Selangor), Masjid Putra (Putrajaya), Masjid Kampus Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (Gombak). (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 42
Gambar II. 2 : Masjid Universiti Teknologi Malaysia dengan elemenelemen yang ditiru : Gerbang Iwan di Iran, Menara dari Blue Mosque di Turki dan Kubah dari Masjid-i Shah di Isfahan. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 43
Gambar II. 3 : Penerapan Eklektisme dalam perancangan Universiti Islam Antarabangsa Malaysia Gombak yang menimbulkan pertanyaan tentang posisi dan penempatan Identiti Malaysia. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 44
Gambar II. 4: Beberapa bangunan hasil rekabentuk Hassan Fathy yang mengoptimumkan sistem pembangunan setempat dalam usaha menghasilkan sebuah rumah yang termampu bagi masyarakat miskin. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 45
Gambar II. 5: (dari kiri ke kanan) Beberapa usul ornamentasi daripada besi yang juga berfungsi sebagai struktur beserta contoh penerapannya pada sebuah ruang dalaman oleh Viollet-Le-Duc dan ornamentasi besi pada Tassel House rekaan Victor Horta. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
Gambar II. 6: Beberapa bangunan karya Basil Al Bayati yang mengambil metafora langsung dari kitab Al-Qur’an dan pohon Kurma. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 46
Gambar II. 7: Beberapa Masjid dengan pendekatan kejujuran struktur, (dari kiri ke Kanan): Masjid Al Syahidin (Kedah), Masjid Samarahan (Serawak) dan Masjid Negeri Sembilan (Seremban). (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 47
Gambar II. 8: Rabbi Ibrahim ben Ezra (19th century) & Priest and Sheikh in 1919 Revolution (sumber: Nangkula U.’s thesys)
Gambar II. 9: Mamluk Qur’an & Coptic Bible (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 48
Gambar II. 10: Al-Muayyad Mosque & Abu Sirga Church, Kairo (sumber: Nangkula U.’s thesys)
Gambar II. 11: Coptic Museum & Aqmar Mosque, Kairo. (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 49
Gambar II. 12: Sultan Hassan Mosque & Church of the Virgin, Zwayla (sumber: Nangkula U.’s thesys)
II - 50
II.5. Preseden Preseden dalam hal ini digunakan sebagai brain storming untuk menambah wawasan dalam perancangan Jogja Islamic Centre.
II.5.1. Masjid Selimiye
Gambar II. 13: Masjid Selemiye (sumber: Nangkula U.’s thesys)
Masjid Selimiye dibangun di Kota Edirne. Menurut catatan Evliya Celebi, seorang penjelajah asal Kesultanan Usmani, dipilihnya Edirne sebagai tempat pembangunan masjid tersebut didasarkan pada mimpi Sultan Selim II. Di dalam mimpinya, Nabi Muhammad saw. memerintah Sang Sultan untuk membangun sebuah masjid besar di Edirne, kota yang menurut mimpi itu dilindungi oleh Nabi Muhammad saw. Alasan lainnya
II - 51
menyatakan bahwa para sultan terdahulu telah mendirikan begitu banyak masjid besar di Turki wilayah timur, sedangkan baru sedikit saja yang berada di wilayah sebelah barat. Padahal, daerah ini memiliki peran yang sangat penting, khususnya Kota Edirne yang menjadi gerbang penghubung antara daratan Turki dengan Benua Eropa. Oleh karena itu, dipilihnya Edirne sebagai tempat pembangunan masjid ini dianggap sebagai pilihan yang sangat bijak. Sultan Selim II sebagai pemrakarsa masjid memercayakan proses perancangan dan pembangunannya kepada Mimar Sinan. Sang Arsitek sampai membutuhkan waktu delapan tahun untuk menyendiri dan memikirkan rancangan masjid yang akan menjadi karya terbesarnya itu. Pembuatan pondasinya saja membutuhkan waktu dua tahun. Hal ini dilakukan untuk menstabilkan permukaan dan tekstur tanah di lokasi pendirian masjid. Proyek pembangunan masjid yang dikerjakan oleh 14.400 pekerja ini menghabiskan dana sebesar 4,58 juta keping emas. Pengerjaannya sendiri dimulai tahun 1568 dan selesai pada 27 November 1574, tetapi masjid ini baru dibuka untuk umum pada tanggal 14 Maret 1575, tiga bulan setelah Sultan Selim II mangkat. Sang Sultan tidak sempat meresmikan masjid yang telah diprakarsainya itu. Masjid Selemiye sebagai tandingan Hagia Sophia
II - 52
Dahulu terdapat sebuah ungkapan dari kalangan arsitek Kristen yang menyatakan bahwa tidak akan ada seorang pun arsitek Muslim yang dapat membangun kubah sebesar kubah Hagia Sophia di Istanbul. Pandangan negatif inilah yang menjadi motivasi bagi Mimar Sinan untuk membangun Masjid Selimiye. Dengan berdirinya masjid ini, akhirnya ejekan dari para arsitek Kristen itu pun terpatahkan. Mimar Sinan berhasil mendirikan Masjid Selimiye yang memiliki kubah berdiameter 31 meter, setara dengan kubah Hagia Sophia. Tinggi kubah utama dari lantai dasar Masjid Selimiye adalah 42 meter. Kubah utama ini memiliki penampang berbentuk persegi delapan yang masing-masing sudutnya ditopang oleh delapan pilar besar. Bagian antara dasar kubah dengan kedelapan pilar tersebut diisi oleh muqarnas (ornamen berbentuk stalaktit). Di bawahnya, empat buah half-dome (kubah terpotong) ditempelkan pada keempat sisi penampang kubah utama dan sebuah half-dome lainnya menaungi ruang mihrab. Dengan demikian, apabila dilihat dari atas, rangkaian kubah terpusat Masjid Selimiye terlihat seperti seekor kura-kura. Jumlah half-dome dan kubah kecil yang menaungi ruang shalat utama masjid terbilang sangat sedikit. Hal ini membuat kubah raksasa yang berada di pusat bangunannya terlihat sangat dominan. Seperti masjid bergaya Usmani lainnya, Masjid Selimiye memiliki halaman berbentuk persegi panjang dengan sebuah tempat wudhu berupa
II - 53
air mancur (sardivan) di tengahnya. Area terbuka ini dikelilingi oleh portico (teras berpilar) yang beratapkan 18 kubah. Portico Masjid Selimiye memiliki 16 pilar. Menurut para ilmuan, pilar-pilar tersebut berasal dari Mesir, Siprus, Syria, dan Turki. Halaman dengan gaya sepeti ini mengadopsi bentuk peristyle pada halaman bergaya Romawi Kuno atau bentuk sahn pada bangunan-bangunan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada keempat sudut masjid bediri empat buah menara setinggi 84 meter. Masing-masing menara memiliki tiga buah balkon. Dua menara di antaranya memiliki tiga buah pintu tangga yang menuju langsung pada ketiga balkonnya. Artinya, terdapat tiga jalur tangga yang berbeda pada sebuah menara. Hal tersebut merupakan bukti lain dari kejeniusan seorang Mimar Sinan. Ruang utama masjid terdiri dari dua lantai, yaitu lantai dasar sebagai tempat shalat utama dan lantai atas berupa balkon yang mengelilingi ruangan utama. Rancangan seperti ini adalah ciri khas masjid berarsitektur Turki Usmani. Masjid Selimiye diterangi oleh 384 buah jendela. Ratusan jendela itu terbagi ke dalam lima tingkatan. Jendela-jendela pada tingkat terbawah dan tingkat kedua menerangi lantai dasar dan balkon masjid. Barisan jendela pada tingkat ketiga dan keempat merupakan jendela-jendela
II - 54
clerestory (jendela pada dinding atas) yang cukup banyak membiaskan cahaya alami ke dalam masjid. Pada tingkat kelima terdapat deretan jendela kubah yang menerangi interior kubah masjid. Sinan menggunakan kaca jendela berwarna terang untuk memberikan efek pencahayaan yang maksimal pada interiornya. Interior masjid didominasi oleh Marmer berwarna putih dan coklat muda dari Pulau Marmara serta ubin-ubin keramik yang berasal dari Kota Iznik. Berbagai ornamen kaligrafi karya Hasan Celebi, hiasan arabes, dan muqarnas khas corak Usmani klasik pun turut menghiasi interior dan eksteriornya. Hampir seluruh lengkungan antarpilar yang terdapat pada Masjid
Selimiye
terdiri
dari
voussoir
(balok-balok
pembentuk
lengkungan) berwarna merah dan putih yang disusun secara berselingan. Di dalam masjid, tepat di tengah ruang shalat utama terdapat mahfil muadzin, yaitu bangunan menyerupai panggung yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Mahfil muadzin di Masjid Selimiye memiliki tinggi 2,4 meter dan ditopang oleh 12 tiang kecil dengan lengkungan berukir. Letak mahfil yang berada tepat di bawah kubah utama ini sempat menimbulkan kontroversi karena biasanya mahfil muadzin diletakkan di pinggir ruang shalat utama. Sinan meletakannya tepat di tengah supaya tidak mengganggu kesimetrisan masjid. Di bawah mahfil muadzin, Sang Arsitek menempatkan sebuah air mancur kecil sebagai metafora jiwa dari kubah raksasa yang tepat berada di atasnya.
II - 55
Mihrab Masjid Selimiye terletak pada sebuah ceruk yang menonjol keluar seperti apse pada bangunan gereja. Mihrab ini terbuat dari pahatan batu marmer monolitik yang dihiasi ornamen geometri dan kaligrafi. Sebuah mimbar bertangga yang sangat tinggi terletak di sebelah kanan ceruk mihrab. Mahfil sultan sebagai tempat shalat sultan dan para petinggi negara berada di atas balkon yang terletak di sebelah kiri ceruk mihrab. Semua lantai masjid ditutupi oleh karpet berwarna merah. Pada malam hari, pencahayaan interior masjid dibantu oleh sekian banyak lampu gantung. Masjid Selimiye yang bediri di atas lahan seluas 2.475 meter persegi ini dapat menampung sekitar enam ribu jamaah. Hingga kini, masjid yang berusia empat abad tersebut menjadi ikon Kota Edirne sekaligus menjadi salah satu warisan terbesar peradaban Islam di bidang arsitektur. Kulliye: Pusat Kota Khas Turki Usmani Dalam tata kota khas Kesultanan Turki Usmani dikenal istilah ‘kulliye’ yang berarti kompleks sarana publik yang mengelilingi sebuah masjid besar. Sama seperti kebanyakan masjid lainnya di Turki, Masjid Selimiye pun berada di dalam sebuah lingkungan kulliye. Di belakang masjid ini terdapat dua buah bangunan kembar, yaitu Darul Hadits dan Madrasah sebagai tempat pembelajaran Islam dan pengetahuan umum. Kedua sekolah ini merupakan bangunan peristyle berbentuk persegi dengan
II - 56
taman terbuka di tengahnya. Semua ruang kelasnya dihubungkan oleh portico yang mengelilingi taman tersebut. Di sebelah kanan masjid terdapat kompleks pertokoan (arasta) sepanjang 255 meter yang terdiri dari 124 toko. Deretan toko tesebut berdiri saling berhadapan dan dihubungkan oleh sebuah lorong besar. Pertokoan ini dibangun atas perintah Sultan Murad III untuk menambah pendapatan kas masjid. Terpisah oleh jalan raya, di sekitar masjid terdapat beberapa fasilitas umum lainnya seperti rumah sakit, perpustakaan, pemandian, dapur
umum,
penginapan,
dan
permakaman.
(Schariev’s
post.
Architecture, Islam, World News)
II.5.2.Jatiyo Sangshad Bhaban Jatiyo Sangshad Bhaban adalah kompleks gedung parlemen Bangladesh yang didesain oleh arsitek Louis Isadore Kahn. Pada jurnalnya, Andree Iffrig menuliskan : “Di dataran banjir di Bangladesh terletak sebuah karya arsitektur yang seperti permata. Tampak bercahaya terutama di negara miskin seperti Bangladesh. Desain adalah kesempatan terakhir arsitek Louis Kahn untuk mengeksplorasi bentuk abadi arsitektur yang memadukan unsur modern dan
tradisional.
Model bangunan Dhaka merupakan wadah sistem peradilan, pemerintah,
II - 57
dan kehidupan spiritual negara, didirikan pada tahun 1971 sebagai simbol demokrasi parlementer. Kahn bekerja di site saluas 900 acre di dekade sebelum kematiannya. Komisi mengizinkan Kahn untuk merancang pada skala besar, menggabungkan ide-idenya tentang monumentalitas dan spiritualitas
dalam
arsitektur.
Selesai pada tahun 1982 meskipun saat perang dan ketidakstabilan negara, Kompleks Majelis Nasional atau Sher-E-Bangla Nagar seperti yang disebut, adalah visi dari negara baru. Seperti katedral abad pertengahan yang dikandung sebagai mikrokosmos dari surga di bumi, dan stuppas Buddha besar, replika dari alam semesta yang melambangkan perjalanan manusia untuk pencerahan, desain Kahn adalah tentang sebuah komunitas yang ideal yang adil, diatur dengan bijak, dan menjadi satu dengan alam semesta.
II - 58
Gambar II. 14: Permainan Pelubangan pada Interior Gedung Parlemen Bangladesh (sumber:google.com. Gedung Parlemen Bangladesh. Louis Kahn)
Pendekatan ke kompleks model di Dhaka merupakan studi kontras. Kemiskinan adalah endemik di Dhaka, tapi setelah sekali menyeberangi kota yang padat huni, pengunjung Kompleks Majelis Nasional menemukan dirinya berada di taman, melintasi danau buatan ke situs perakitan. Negara ini memiliki sejarah kerusuhan politik, tetapi pada SherE-Bangla Nagar, Kahn merancang hamparan air yang berkilauan mencerminkan kompleks bangunan dan menciptakan aura kedamaian. Pada awal karirnya, dalam proyek-proyek seperti Boathouse Trenton di New Jersey, dan ekstensi Galeri Seni Yale, Kahn telah bereksperimen dengan bentuk monumental dan bahan bangunan yang sederhana, seperti batu bata dan beton. Tujuannya adalah untuk mewujudkan bangunan kontemporer dengan kualitas universal. Untuk proyek perakitan nasional, ia menggunakan batu bata merah yang dihasilkan oleh pengrajin lokal. Teknologi tradisional digunakan untuk membangun berbagai bagian kompleks, dari ruang sidang ke masjid. Sebagai pelengkap pengetahuan lokal ini, Kahn menggunakan skala bangunan manusiawi. Kahn percaya arsitektur adalah proses pembuatan ruang dengan bijaksana. Peningkatan jalan interior dibuat dengan bahan
II - 59
lokal,
dan
berseni-ditempatkan
jendela-jendela
yang
memastikan
kenyamanan bagi penghuni bangunan dalam iklim panas.
Gambar II. 15: Permainan cahaya alami pada interior bangunan. (sumber:google.com. interior Sher-E-Bangla Nagar)
Drama dan monumentalitas terlihat jelas di Sher-E-Bangla Nagar. Kahn adalah seorang ahli dalam merancang dengan cahaya. Dalam ruang sidang, yang menampung 300 tamu, ia menggunakan cahaya alami untuk mengubah ruang dan melibatkan indera. Ruang ini dinyalakan dari atas oleh bukaan oktagonal dengan langit-langit payung seperti ditangguhkan dalam aperture. Saat matahari bergerak melintas pada siang hari, kualitas cahaya pun bergeser dan berubah. Kahn adalah seorang pribadi mistik yang berniat untuk membangun parlemen dengan menghasilkan ekspresi ideal demokrasi baru menggunakan formula
II - 60
yang sempurna: lingkaran, setengah lingkaran, persegi, dan segitiga. Dalam masa hidupnya, filosofi desain nya disalahpahami oleh sebagian besar rekanrekan international style-nya, namun visinya untuk suatu komunitas yang ideal terus mengilhami dan memegang kekuasaan yang luar biasa. Sher-E-Bangla Nagar adalah kombinasi utama bentuk dan kesungguhan.
Gambar II. 16: Pencahayaan alami dan ketinggian langit-langit pada mushalla. (sumber:google.com. Louis Kahn, Parlement Bangladesh building.)
Dalam dunia arsitektur, kehebatan seorang arsitek hanya dapat dibuktikan II - 61
melalui karyanya yang mengagumkan banyak orang. Sepeti kata Philip Johnsons, arsitek terkenal dunia yang merupakan sahabat Kahn,''God can only be known through His works''. Seseorang tidak akan percaya dengan adanya Tuhan, sebelum melihat ciptaan Tuhan. Analogi tersebut membuat Kahn selalu menciptakan keheningan dalam karya arsitekturnya agar tercipta
suasana
khidmat
sehingga
manusia
dapat
merenungkan
keberadaan Tuhan ketika berada dalam bangunannya”.
Gambar II. 17: Interior gedung parlemen Bangladesh. (sumber:google.com. Louis Kahn. Parlement Bangladesh building, interior)
II - 62
Gambar II. 18: Penggunaan bentuk geometri dasar pada bangunan gedung parlemen Bangladesh. (sumber:google.com. Parlement Bangladesh building, eksterior)
II - 63