Bab II Tinjauan Teori
2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memahami manusia dan tingkah lakunya serta merupakan suatu hal yang dipelajari manusia melalui interaksinya dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan nyata di sekitarnya. Konsep diri menurut Harter (1996; dalam Papalia, 2007) adalah gambaran penuh dari diri manusia, konsep diri adalah apa yang kita percaya tentang siapa kita gambaran total tentang kemampuan dan sifat kita. Konsep diri adalah “konsep berpikir, sebuah sistem pendeskripsian dan representasi evaluasi tentang diri,” yang mana menentukan bagaimana kita merasakan diri kita dan memandu tindakan kita. Wallqvist dan Carlsson (2011) mengatakan bahwa ada banyak istilah yang homonim dan sinonim untuk konsep diri dalam sastra Inggris dan Swedia. Self concept, self esteem, self perception, self confidence, self image, self awareness, self evaluation, self worth, dan self consciousness adalah sebagian contoh penyampaian di negara inggris. Menurut Rogers (1959, dalam Mischel, Shoda dan Smith, 2004) The self atau self concepts (dua isitilah ini memiliki arti yang sama untuk Rogers) adalah
terorganisir, konsisten, dan utuh. Terdiri dari presepsi
tentang diri sendiri, hubungan dirinya dengan orang lain dan beragam aspek kehidupan, dan semua yang memiliki nilai bagi mereka.
Perspektif yang senada mengenai dimensi dari konsep diri dikemukakan Fitts (1971), dimana Fitts seperti juga Rogers menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya itu, Fitts membagi konsep diri ke dalam dua dimensi pokok, yaitu :
6
7
1. Dimensi Internal, yang terdiri dari : a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self) b. Diri sebagai pelaku (behavior self) c. Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self) 2. Dimensi Eksternal, yang terdiri dari : a. Diri fisik (physical self) b. Diri moral-etik (moral-ethical self) c. Diri personal (personal self) d. Diri keluarga (family self) e. Diri sosial (social self)
Semua dimensi dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan secara rinci satu persatu.
2.1.2 Dimensi Konsep Diri Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas tiga bentuk, yaitu :
1. Diri identitas (Identity self). Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan "siapakah saya ?", dimana di dalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan
pada
diri
oleh
individu
yang
bersangkutan
untuk
menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya, "saya Iskandar" dan kemudian sejalan dengan bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin banyak pengetahuan
8
individu akan dirinya sendiri, sehingga individu tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti : "saya Iskandar", "saya seorang ayah dari dua orang anak", saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri", dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari identitas diri akan mempengaruhi cara individu mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia berfungsi. Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai pelaku. Identitas diri sangat mempengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai pelaku. Sejak kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu.
2. Diri pelaku (Behavioral self). Diri pelaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah lakunya. Diri pelaku berisikan segala kesadaran mengenai "apa yang dilakukan oleh diri". Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
3. Diri pengamat/penilai (Judging self). Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standart serta pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri, identitas dengan diri pelaku.
Manusia cenderung untuk
senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga sarat
9
dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadarandirinya akan lebih
realistis,
sehingga
lebih
memungkinkan
individu
yang
bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokukan energi serta perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif. Diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri. Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standart ini dapat berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya. Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karena itu, walaupun harga diri (self esteem) merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri.
Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing - masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) serta konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh.
10
Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut dengan dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia di luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun, yang dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang. Bagian-bagian dimensi eksternal ini, dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk, yaitu :
1. Diri fisik (Physical self). Diri fisik, menyangkut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus).
2. Diri moral-etik (moral-ethical self). Diri moral, merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya sendiri, yang dilihat dari standart pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk.
3. Diri pribadi (Personal self). Diri pribadi, merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejumlah mana seorang individu merasakan dirinya sebagai pribadi yang tepat.
11
4. Diri keluarga (Family self). Diri keluarga, menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga.
5. Diri sosial (Social self). Diri sosial, merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa adanya tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik.
Hubungan antar dimensi dalam konsep diri (dimensi internal dan eksternal), dapat dijelaskan dengan menggunakan analogi. Misalkan, total dari diri (self) sebagai suatu keseluruhan adalah sebuah apel. Apel tersebut dapat dibagi-bagi secara horisontal maupun secara vertikal, yang pada setiap potongan akan mengandung bagian dari potongan bagian lainnya. Dengan demikian dapat diartikan, bahwa setiap bagian dari dimensi internal akan mengandung bagian bagian dari dimensi eksternal, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagian dan antar bagian pada dimensi internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan. Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat konsistensi interaksi yang tinggi, baik di
12
dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri (intrapersonal communication) maupun dengan individu-individu lain (interpersonal communication).
2.1.3 Aspek –Aspek Konsep Diri Selain membagi konsep diri menjadi dua dimensi (internal dan eksternal), Fitts (1971) juga membedakan konsep diri menjadi empat aspek diri. Aspek diri ini nerupakan bagian dari diri yang dapat dilihat oleh orang lain pada diri seorang individu, sedangkan dimensi diri (seperti yang telah dikemukakan), adalah bagian dari diri yang hanya dapat diketahui oleh diri individu yang bersangkutan sendiri. Aspek-aspek dari diri (self) tersebut menurut Fitts adalah sebagai berikut :
1. Aspek pertahanan diri (Self defensiveness). Pada saat seorang individu menggambarkan atau menampilkan dirinya, terkadang muncul keadaan yang tidak sesuai dengan diri yang sebenarnya. Keadaan ini terjadi dikarenakan individu memiliki sikap bertahan dan kurang terbuka dalam menyatakan dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan individu tidak ingin mengakui hal - hal yang tidak baik di dalam dirinya. Aspek pertahanan diri ini, membuat seorang individu mampu untuk "menyimpan" keburukan dari dirinya dan tampil dengan baik sesuai yang diharapkan oleh lingkungan dari dirinya.
2. Aspek penghargaan diri (Self esteem). Berdasarkan label-label dan simbol-simbol yang ada dan diberikan pada dirinya, seorang individu akan membentuk penghargaan sendiri terhadap dirinya. Semakin baik label atau simbol yang ada pada dirinya, maka akan semakin baik pula penghargaan yang diberikannya pada dirinya sendiri. Demikian pula bila individu memiliki label-label atau simbol-simbol yang kurang baik pada dirinya, maka penilaian tersebut akan diinternalisasikannya dan membentuk penghargaan diri yang kurang baik pada dirinya sendiri.
13
3. Aspek integrasi diri (Self integration). Aspek integrasi ini menunjukkan pada derajat integrasi antara bagian-bagian dari diri (self). Semakin terintegrasi bagian-bagian diri dari seorang individu, maka akan semakin baik pula individu akan menjalankan fungsinya.
4. Aspek kepercayaan diri (self confidence). Kepercayaan diri seorang individu berasal dari tingkat kepuasannya dirinya sendiri. Semakin baik penilaian seorang individu terhadap dirinya, maka semakin percaya ia akan kemampuan dirinya. Dengan kepercayaan diri yang baik, maka seorang individu akan semakin percaya diri di dalam menghadapi lingkungannya.
Dari uraian yang telah dikemukakan mengenai dimensi diri maupun aspek diri, terlihat bahwa diri (self), baik sebagaimana yang dilihat seorang individu sendiri maupun oleh individu lainnya, adalah terdiri dari beberapa bagian. Bagian-bagian dari diri inilah yang saling berinteraksi dan berintegrasi sehingga membentuk suatu konsep diri yang utuh.
2.1.4 Sub Variabel Dalam Konsep Diri Selain dari dimensi konsep diri mengenai tingkat penghargaan diri yang meliputi dimensi internal dan eksternal serta aspek-aspek dari diri seperti yang telah dikemukakan, Fitts (1971) juga mengemukakan terdapatnya pula sub variabel lain yang mengukur aspek lain dari konsep diri yang terdiri atas :
1. Aspek kritik diri. Aspek dari kritik diri ini menggambarkan sikap "keterbukaan" diri dalam menggambarkan diri pribadi. Aspek ini diukur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat merendahkan dan kurang menyenangkan mengenai diri seorang individu, tetapi dinyatakan secara halus sehingga pada umumnya individu akan mau mengakui
14
sebagai suatu kebenaran bagi dirinya sendiri. kadar keterbukaan dari diri yang terlalu rendah, menunjukkan sikap defensif individu. Individu yang normal memiliki kadar kritik diri yang tinggi, namun kadar yang terlalu tinggi (di atas 99%) justru menunjukkan individu yang kurang defensif dan kemungkinan memiliki kelainan psikologis.
2. Aspek variabilitas. Aspek variabilitas dari diri ini adalah menggambarkan derajat integritas dan konsistensi persepsi seorang individu tentang dirinya sendiri, dari satu bagian diri ke bagian diri lainnya. kadar variabilitas yang tinggi, menunjukkan diri yang terintegrasi. Sedangkan derajat yang terlalu rendah, menunjukkan adanya kekakuan pada diri seorang individu.
3. Aspek distribusi. Aspek distribusi dari diri ini adalah menggambarkan keyakinan diri atau kemantapan seorang individu dalam menilai dirinya. kadar distribusi yang tinggi, menunjukkan rasa pasti seorang individu dalam menilai dirinya sendiri. Sedangkan kadar distribusi yang rendah, menunjukkan keraguan seorang individu terhadap dirinya atau kekaburan dalam mengenali dirinya
2.1.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri. Banyak hal yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Menurut Malcolm & Selve (1988), perkembangan konsep diri sangat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berkaitan, yaitu:
1. Reaksi orang lain (significant other) Konsep diri dipengaruhi oleh bagaimana orang lain memperlakukan kita.
15
2. Perbandingan dengan orang Lain Dalam proses pembentukan konsep diri, individu seringkali membandingkan dirinya dengan orang lain yang biasanya sebaya atau hampir sama dengannya.
3. Peran individu Dalam arti bahwa harapan - harapan dan pengalamannya yang berkaitan dengan suatu peran akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya.
4. Identifikasi dengan orang lain Yang terpenting dan terutama adalah identifikasi dengan orang tua. Anak yang mengidentifikasi orangtuanya sebagai orang tua yang hangat dan baikhati, akan merasa bahwa ia juga hangat dan baik hati seperti orang tuanya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Bealmer, Bussel, Cunningham, Gideon, Gunderson, & Livingstone (dalam Fitts, 1971) yang mengatakan bahwa anak yang salah satu atau kedua orang tuanya memiliki konsep diri positif cenderung akan memiliki konsep diri yang positif juga.
Menurut Cooley (dalam Michener, DeLamater & Schwartz, 1989) faktor yang mempengaruhi konsep diri seorang anak adalah adanya reaksi dari orang lain significant others), yaitu reaksi dari orang tua dan teman sebaya. Bagaimana cara orang lain (significant others) memandang seseorang dan memberikan umpan terhadap tingkah laku seseorang akan mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang yang bersangkutan. Sedangkan Kinch (dalam Fitts, 1971) mengatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan interaksi sosial, dan konsep diri akan menuntun atau mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurut Hurlock (2004), perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor dari dalam diri individu itu sendiri (internal) dan faktor dari luar individu (eksternal).
16
Ada dua faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri, yaitu:
1. Penampilan fisik individu, yang mengakibatkan perubahan pandangan dan penilaian individu juga orang lain terhadap dirinya. Individu didorong untuk dan merumuskan konsep yang baru tentang penampilan fisiknya.
2. Perkembangan psikis yang ditandai oleh perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa yang menyebabkan individu semakin sadar akan ‘aku’nya dan memperkaya ekspresi dirinya.
Individu sadar akan kemampuan dan kelemahannya, bakat-bakat, keyakinan-keyakinan, sikap dan nilai serta ciri-ciri kepribadiannya. Individu dapat membentuk konsep-konsep abstrak tentang dirinya dan dapat mengungkapkannya dengan bahasa yang abstrak. Dan faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri seseorang adalah lingkungan sosial, tempat berlangsungnya rangkaian interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan unsur yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri seseorang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan sebuah konsep yang berguna untuk memahami perilaku seseorang, terdiri dari berbagai aspek dimana tiap bagian terintegrasi membentuk konsep diri secara utuh.
2.2 Prestasi Akademik 2.2.1 Pengertian Prestasi Akademik Prestasi akademik menurut Crow dan Crow (1969, dalam Leng,2011) diartikan sebagai tingkat pembelajaran dari instruksi yang diberikan padanya dalam area pembelajaran tertentu atau dengan kata lain prestasi tercermin oleh tingkat keterampilan dan pengetahuan yang telah di sampaikan padanya.
17
Menurut Sobur (2006; dalam Sahputra, 2009) prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dnilai dengan menggunakan tes yang terstandar. Prestasi akademik menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan oleh nilai atau angka yang diberikan oleh guru. Menurut Azwar (2002) prestasi akademik merujuk pada apa yang mampu dilakukan oleh seseorang dan seberapa baik ia melakukannya dalam menguasai bahan-bahan dan materi yang telah diajarkan. Muryono (2000) menyebutkan prestasi akademik adalah suatu istilah yang menunjukkan derajat keberhasilan siswa mencapai tujuan belajar setelah mengikuti proses belajar dari satu program yang telah di tentukan.
2.2.2 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Akademik Menurut Soemanto (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pretasi dan tingkah laku individu:
1. Konsep Diri Pikiran atau presepsi individu tentang dirinya sendiri, merupakan faktor yang penting mempengaruhi pretasi dan tingkah laku individu.
2. Locus of control Dimana individu merasa melihat hubungan antara tingkah laku dan akibatnya, apakah dapat menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakanya. Locus of control memiliki dua dimensi, yakni dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi external akan menganggap bahwa tanggung jawab segala perbuatan berada diluar diri pelaku. Sedangkan dimensi internal melihat bahwa tanggung jawab segala perbuatan berada pada diri pelaku.
18
3. Kecemasan Yang Dialami Kecemasan merupakan gambaran emosional yang dikaitkan dengan ketakutan. Dimana dalam proses belajar mengajar, individu meiliki derajat dan jenis kegelisahan yang berbeda.
4. Motivasi Hasil Belajar Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat dari pada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan – kesulitan yang di hadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat, individu akan mencari soal yang lebih mudah atau lebih sukar.
Menurut Winkel (2004) berhasil baik atau tidaknya prestasi akademik, tergantung kepada bermacam - macam faktor yaitu:
a) Karakteristik siswa Karakteristik siswa yang mencakup karakteristik psikis dan fisik. Karakteristik psikis terdiri dari kemampuan intelektual baik inteligensi maupun kemampuan non inteligensi. Kemampuan non inteligensi tersebut meliputi motivasi belajar, sikap, kebiasaan belajar, minat, perhatian, bakat, dan kondisi psikis seperti pengamatan, fantasi. Sedangkan persepsi karakteristik fisik termasuk keadaan indera dan kondisi fisik pada umumnya seperti kesehatan, gizi dan kelelahan.
b) Pengajar Faktor pengajar meliputi pengetahuan tentang materi pelajaran, ketrampilan mengajar, minat, motivasi, sikap, perhatian, kesehatan dan kondisi fisik pada umumnya.
c) Bahan atau materi yang akan dipelajari Bahan atau materi yang dipelajari adalah jenis materi, jenis tingkat kesukaran dan kompleksitas.
19
d) Media pengajaran Media pengajaran terdiri dari media yang dipergunakan, kualitas media yang dipakai, dan pemakaian media pengajaran.
e) Karakteristik fisik sekolah seperti gedung dan fasilitas belajar.
f) Faktor lingkungan dan situasi meliputi lingkungan alami seperti suhu, kelembaban udara, keadaan musim dan iklim.
2.3 Remaja 2.3.1 Pengertian Remaja Dalam
pembahasan
mengenai
remaja
sering
digunakan
istilah
adolescence, yang berasal dari kata latin adolescence yang berarti to grow atau to grow into maturity. Maksudnya adalah tumbuh ke arah kematangan (Muss dalam Sarlito, 2003). Sedangkan menurut Hurlock (2004) yang dimaksud dengan masa remaja adalah masa transisi ketika individu berubah secara fisik dan psikologis dari anak-anak menuju dewasa. Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masaperalihan dari masa anak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik maupun psikologis. Biasanya perubahan fisik yang berkaitan dengan berfungsinya organ seksual dijadikan patokan untuk awal masa remaja sedangkan akhir masa remaja sering ditandai dengan kedewasaan. Kedewasaan sebagai batas akhir masa remaja bersifat relatif dan sulit teramati karena perubahannya menyangkut hal yang bersifat psikis. Hal ini menyebabkan banyak ahli mengalami kesulitan dalam menetapkan batas akhir usia remaja.
Sejalan dengan hal tersebut beberapa ahli mencoba untuk merumuskan batasan usia remaja. Hurlock (2004) membagi masa remaja menjadi 2 bagian yaitu awal masa remaja (11–15 tahun) dan akhir masa remaja (16 - 18 tahun). Garis pemisah antara awal remaja dan akhir masa remaja terletak kira-kira di sekitar usia 16 tahun, usia dimana rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menengah tingkat atas.
20
WHO (dalam Sarlito, 2003) juga ikut memberikan batasan usia remaja yaitu antara 10-24 tahun dengan penggolongan sebagai berikut:
a. Usia 10-15 tahun : Remaja awal b. Usia 16-20 tahun : Remaja akhir c. usia 21-24 tahun : Remaja dewasa
Berdasarkan hasil penelitiannya, Sarlito (2003) membuat suatu pedoman untuk batasan usia remaja di Indonesia, yaitu antara usia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Usia 11 tahun adalah usia dimana umumnya tanda-tanda sekunder mulai muncul. Kriteria ini disebut sebagai kriteria fisik. 2. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, usia 11 tahun dianggap sebagai usiaakil balik secara adat maupun agama dan tidak memandang individu sebagai anakkecil lagi. Kriteria ini disebut sebagai kriteria sosial. 3. Pada rentang usia tersebut (11-24 tahun), terjadi tanda - tanda penyempurnaan jiwa seperti terbentuknya identitas dari yang baru (Erikson), tercapainya fase genital (Freud) dan puncak perkembangan kognitif (Piaget) serta moral (Kolberg). Kriteria ini disebut sebagai kriteria psikologis. 4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maximum untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai masa itu masih tergantung pada orang tua, belum diberi hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat / tradisi), belum bisa memberi pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan sebagai kedewasaan secara sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan remaja. 5. Status perkawinan juga dianggap sebagai hal penting bagi masyarakat Indonesia. Orang yang sudah menikah pada usia berapa pun dianggap sudah dewasa, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga.
21
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini remaja yang termasuk remaja awal adalah remaja yang berusia 12 – 15 tahun. Karena pada usia ini umumnya tanda-tanda sekunder mulai muncul dan sebagai masa transisi pada saat individu berubah secara fisik dan psikologis dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada usia ini termasuk juga masa kritis untuk memantapkan identitas diri. Identitas diri ini untuk membentuk kaitan antara konsep dirinya dengan harapan dan penilaian orang lain disekitarnya.
2.3.2 Karakteristik Dan Tugas Perkembangan Remaja Perubahan fisik dan psikologis yang dialami membuat remaja tampak tidak stabil. Pada keadaan emosi yang tidak stabil ini remaja mudah terpancing untuk melakukan tindakan agresif. Hurlock (2004) menyebutkan bahwa masa remaja sebagai masa badai dan gejolak (Strum und Drang atau Storm and Stres) karena munculnya gejolak emosi yang penuh dengan ketidakseimbangan tersebut.
Hurlock (2004) mengulas beberapa karakteristik remaja sebagai berikut:
1. Pada masa remaja pertumbuhan dan perkembangan fisik terjadi secara mencolok, tidak hanya menyangkut ukuran bentuk tubuh, tetapi juga mulai berfungsinya organ seksual primer, dan tampilnya organ seksual sekunder yang muncul karena pengaruh hormon seksual. Perubahan fisik mempengaruhi aktivitas motorik remaja dan kerja hormon mempengaruhi kehidupan emosi. Remaja sering tampil tidak stabil, cepat berubah dan sukar diramalkan. Namun pada akhir masa remaja, individu sudah mampu mengendalikan emosi sehingga menjadi lebih stabil.
2. Masa remaja adalah masa pengembangan kemandirian sehingga remaja menjadi relatif tidak tergantung pada orang tua. Hal ini dicapai karena hubungan yang lebih luas dengan orang dewasa lain. Sejalan dengan meluasnya hubungan sosial tersebut, remaja juga mulai mengembangkan
22
minat dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan kemasyarakatan. Hal-hal tersebut diharapkan dapat tercapai pada akhir masa remaja.
3. Pada masa remaja terjadi perubahan mencolok dalam hal hubungan dengan kelompok sebaya. Kelompok sebaya berperan penting sebagai sumber tolak ukur maupun patokan tingkah laku remaja. Hubungan dengan teman sebaya meluas, tidak hanya dengan teman sejenis tetapi juga dengan teman lawan jenis. Meluasnya hubungan tersebut membuat aktifitas remaja menjadi lebih bervariasi. Selain itu pengalaman tersebut akan bermakna untuk mencapai kematangan sosial di akhir masa remaja.
4. Masa remaja adalah masa berkembang dan meluasnya kemampuan intelektual serta pengalaman akademis. Menurut Piaget, kemampuan kognitif remaja sudah sampai pada taraf operational, yang memungkinkan remaja berpikir rasional, abstrak, hipotetis dan mampu menelaah masalah dari berbagai sudut pandang.
5. Berkaitan dengan perkembangan kognitif yang mencolok, remaja juga terdorong untuk mengevaluasi nilai-nilai yang dianut pada masa sebelumnya. Nilai-nilai baru yang baru diterima melalui relasi yang lebih luas dengan orang lain, diadopsi berdasarkan pertimbangannya sendiri. Nilai tersebut akan menjadi salah satu faktor yang membentuk konsep diri remaja.
6. Masa remaja adalah masa pengembangan kesadaran akan apa dan siapa dirinya yang kemudian akan membentuk gambaran diri yang stabil yang merupakan karakteristik masa dewasa. Menurut Erikson, masa remaja adalah masa kritis untuk memantapkan identitas (Hurlock, 2004). Identitas diri yang baru menurut remaja untuk memahami kaitan antara konsep dirinya dengan harapan dan penilaian orang lain.
23
Dari sudut pandang yang lain, perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja juga membawa konsekuensi baru pada tugas - tugas perkembangan yang harus diselesaikan. Hurlock (2004) merincinya sebagai berikut: 1. Dapat menerima perubahan fisik yang terjadi. 2. Menjalin hubungan baru dengan teman sebaya, baik sejenis maupun yang berlawanan jenis kelamin. 3. Melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orang tua atau orang dewasa lainnya. 4. Mengambil satu peran sosial yang mantap, yang sesuai dengan jenis kelaminnya. 5. Mempersiapkan diri untuk karir dan mencoba mandiri dalam hal pengelolaan keuangan pribadi. 6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 7. Memilih dengan mantap perilaku yang bertanggung jawab. 8. Membentuk nilai dan sistem nilai sebagai penuntun tingkah laku.
Hal-hal yang dikemukakan di atas sebagai tugas perkembangan, menurut Erikson (dalam Hurlock, 2004) akan menjadi bagian dari perencanaan kehidupan remaja apabila identitasnya, sudah mulai mantap. Jadi selain berisi konsep dirinya saat ini identitas juga berperan dalam mencakup rencana hidup untuk masa yang akan datang, sebagai individu yang memegang tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial.
2.4 Kerangka Berpikir Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa terutama lagi pada remaja. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Konsep diri memainkan peranan yang sangat besar dalam membentuk jati diri remaja dan menentukan keberhasilan hidupnya nanti. Konsep diri ada yang sifatnya positif dan negatif. Individu dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika meyakini dan memandang
24
dirinya lemah, tidak dapat berbuat, tidak kompeten, gagal, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu yang konsep dirinya negatif akan cenderung bersikap pesimistis terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Sebaliknya individu dengan konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal - hal positif yang dapat dilakukannya demi keberhasilan dan prestasinya. Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkolerasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi.
Hasil penelitian yang dilakukan beberapa ahli seperti Fink, Walsh, dan Bachman an O’Malley dalam (Pudjijogyanti, 1993) menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik siswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi, rata - rata memiliki tingkatan IQ yang tinggi dan menurut beberapa ahli hal ini bisa terjadi erat hubungannya dengan masalah rendahnya konsep diri. Kemudian Pudjijogyanti (1993) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mem-pengaruhi prestasi akademik individu adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan prestasi akademik yang dimiliki siswa.
Konsep Diri Remaja
? Prestasi Akademik