11
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum Perbankan 2.1.1 Bank Konvensional
Banyak definisi bank yang diungkapkan oleh para ahli. Satu diantaranya
mendefinisikan bank sebagai suatu lembaga keuangan yang tugas utamanya
menciptakan kredit. Dendawijaya (2005:14) memberi definisi berkaitan dengan bank yaitu: “Suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keungan (Financial Intermediaries), yang menyalurkan dan dari pihak yang berlebihan dana (Idle Fund Surplus Unit) kepada yang membutuhkan dana (Defisit Unit) atau kekurangan dana pada waktu yang ditentukan.” Definisi ini memberi pengertian bahwa bank merupakan suatu badan usaha yang mempunyai tugas utama menghimpun dan menyalurkan dana kepada pihak yang membutuhkan. Seperti yang dikemukakan oleh Kasmir (2006:11) yang mendefinisikan bank secara sederhana dengan mengartikannya sebagai suatu lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya. Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, antara lain:
12
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara 2.
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan tujuan lembaga keuangan menurut Irawati (2005:12) adalah untuk mengefisienkan pengalokasian tabungan kepada pihak yang memerlukan untuk investasi, guna memudahkan perolehan dana untuk membiayai operasional perusahaan sehingga dapat diartikan bahwa pengertian lembaga keuangan atau bank yaitu suatu perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya hanya menghimpun dana atau menyalukan dana atau bahkan menghimpun dan menyalurkan dana. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi bank adalah suatu lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usahanya menghimpun dana dalam bentuk simpanan yang merupakan sumber bank dan merupakan lembaga intermediaries. Begitu pula dalam hal penyaluran danaya, hendaknya bank tidak hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik bank tetapi juga harus memperhatikan pada peningkatan taraf hidup masyarakat. 2.1.2 Bank Syariah Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
13
prinsip syariat Islam. Antonio dan Perwataatmadja (1997) membedakan antara bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syari‟at Islam, yaitu:
“Bank Syariah adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip prinsip syariah Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits. Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.” Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, definisi bank syariah
adalah:
“Bank Syariah adalah bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.” Menurut Muhammad (2005) dalam bukunya Manajemen Dana Bank Syariah, pengertian bank syariah adalah: “Bank Syariah adalah lembaga bank yang dikelola dengan dasar-dasar syariah”. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah lembaga keuangan bank yang mempunyai tugas utama menghimpun dana dan menyalurkan dana sesuai dengan prinsip syariah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. 2.2 Pembiayaan 2.2.1 Pengertian Pembiayaan Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain. Menurut M. Syafi‟i Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.
14
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan:
“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Macam-Macam Pembiayaan 2.2.2
Menurut A. Karim (2003) dalam bukunya Bank Islam Analisis Fiqih Dan
Keuangan menyatakan bahwa dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: 1. Prinsip Jual Beli (Ba’i) Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan diawal dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yaitu: a. Pembiayaan Murabahah Murabahah (al-ba’i tsaman ajil) lebih dikenal dengan sebagai murabahah saja. Murabahah, yakni berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Dalam pembiayaan ini, kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil atau muajjal). Barang diserahkan
15
segera
akad,
sedangkan
pembayaran
dilakukan
secara
tangguh/cicilan.
b. Pembiayaan Salam Salam
adalah
transaksi
jual
beli
dimana
barang
yang
diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara
tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
setelah
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip
jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan
waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau cicilan. Pada transaksi salam juga, bank tidak mejadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory) maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua). Mekanisme ini disebut dengan paralel salam. c. Pembiayaan Istishna’ Transaksi istishna’ menyerupai transaksi salam, namun dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
16
Ketentuan umum pembiayaan istishna’ adalah sebagai berikut:
Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran,
mutu dan jumlahnya.
Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna‟
dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi
perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani,
maka
seluruh
biaya
tambahan
tetap
ditanggung nasabah.
2. Prinsip Sewa (Ijarah) Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu, dalam perbankan syariah dikenal dengan Ijarah Muntahhiya Bittamlik (IMBT). IMBT merupakan sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. 3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut: a. Pembiayaan Musyarakah Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk kerjasama yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan
17
(entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan
(equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit-worthiness) dan barang-barang lainnya yang
dapat dinilai dengan uang. b. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak
dimana pemilik modal (shahibul al-maal) mempercayakan sejumlah
modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahibul al-maal dan keahlian dari mudharib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul almaal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian mudharib. Sedangkan sebagai wakil shahibul al-maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimum. Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al-amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karena masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
4. Akad Pelengkap Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari
18
keuntungan,
namun
ditujukan
untuk
mempermudah
pelaksanaan
pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mancari keuntungan, dalam
akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini.
a. Hiwalah (Alih Hutang-Piutang)
Tujuan hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan
modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti
biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang. b. Rahn (Gadai) Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: Milik nasabah sendiri. Jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar. Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. c. Qardh Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu: Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimna nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
19
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut
perhitungan bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan
pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil. Sebagai
pinjaman
kepada
memastikan
bank
kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan
untuk
dimana
menyediakan
ini
bank,
fasilitas
pengurus
terpenuhinya
dana pinjaman tersebut secara cicilan melalui pemotongan gajinya. d. Wakalah (Perwakilan) Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah atau musyarakah. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapatkan pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank. e. Kafalah (Bank Garansi) Kafalah
dapat
diberikan
dengan
tujuan
untuk
menjamin
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank pula dapat menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
20
2.3 Pembiayaan Bagi Hasil 2.3.1 Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul al-maal) menyediakan seluruh (100%) modal sedangkan pihak
lainnya sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang telah dibuat dalam kontrak, sedangkan apabila
rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan oleh kecurangan atau kelalaian
pengelola maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. a. Landasan syariah 1. QS. Al-Muzzammil: 20 “… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT …” 2. QS. Al-Jumu‟ah: 10 “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka buni dan carilah karunia Allah SWT …” 3. QS. Al-Baqarah: 198 “Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu …” 4. Al-Hadits “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW. dan Rasulullah pun memperbolehkannya.” (HR. Thabrani) b. Jenis-Jenis Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
21
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul al
maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. 2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerjasama antara shahibul
maal dan mudharib dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu atau
tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan
kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
c. Aplikasi dalam Perbankan Pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk: 1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa. 2. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syaratsyarat yang telah ditetapkan oleh shahibul al-maal. d. Manfaat Mudharabah Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan
mudharabah ini,
diantaranya sebagai berikut : 1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. 3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. 4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
22
5. Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank
akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga
tetap berapa pun keuntungan yang dihasilakan nasabah, sekalipun
merugi dan terjadi krisis ekonomi.
e. Risiko Mudharabah
Risiko
yang
terdapat
dalam
mudharabah,
terutama
dalam
penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi. Diantaranya:
1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. 2. Lalai dan kesalahan yang disengaja. 3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
f. Skema Mudharabah PERJANJIAN BAGI HASIL Bank (Shahibul Mal)
Nasabah (Mudharib)
Keahlian
Modal 100%
PROYEK/USAHA
Nisbah Y%
Nisbah X% PEMBAGIAN KEUNTUNGAN
Pengembalian Modal MODAL
Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Mudharabah
23
2.3.2 Pembiayaan Musyarakah Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/exertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
a. Landasan Syariah
1. QS. An-Nisa: 12 “… maka mereka berserikat pada sepertiga …” 2. QS. Shaad: 24 “Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.” Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam QS. An-Nisa:12, perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam QS. Shaad:24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari). 3. Al-Hadits Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, „Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.‟” (HR. Abu Dawud) Hadits qudsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya
yang
melakukan
perkongsian
selama
saling
menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan. b. Jenis-Jenis Musyarakah Al-Musyarakah ada dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad. Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih
24
berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan asset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang
atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah. Mereka pun bersepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
c. Aplikasi dalam Perbankan
1. Pembiayaan Proyek Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 2. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual sebagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
d. Manfaat Musyarakah Terdapat
banyak
manfaat
dari
pembiayaan
musyarakah
ini,
diantaranya sebagai berikut: 1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. 3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. 4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena
25
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank
akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilakan nasabah, bahkan
sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
e. Risiko Musyarakah
Risiko yang terdapat dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi, yaitu sebagai berikut: 1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. 2. Lalai dan kesalahan yang disengaja. 3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
f. Skema Musyarakah Nasabah Parsial: Asset Value
Bank Syariah Parsial: Pembiayaan
PROYEK USAHA
KEUNTUNGAN
Bagi
hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)
Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Musyarakah
26
2.4 Konsep Likuiditas Likuiditas pada umumnya adalah mengenai posisi uang kas perusahaan dan
kemampuannya untuk memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo
tepat pada waktunya. Apabila dikaitkan dengan bank, berarti kemampuan bank setiap waktu untuk membayar hutang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak terkait. Jadi yang dimaksud likuiditas di sini adalah kemudahan mengubah asset menjadi uang tunai dari masing-masing bank yang
bersangkutan.
Salah satu fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan merupakan bagian dari asset yang dimiliki oleh bank. Semakin besar pembiayaan yang disalurkan semakin besar pula risiko yang ditanggung, dalam upaya menjembatani pihak surplus dan defisit bank juga harus menjaga rasio modal. Jika asset yang dialokasikan mempunyai bobot risiko tinggi seperti halnya pembiayaan, maka bank harus memiliki modal yang besar begitu juga sebaliknya ketika bank mengalokasikan asetnya dalam bentuk treasury securities dengan risiko rendah bank tidak perlu menyediakan modal terlalu besar. Likuiditas dan pembiayaan mempunyai hubungan negatif, semakain besar dana yang dialokasikan untuk pembiayaan maka akan semakin kecil dana yang akan dialokasikan dalam bentuk cadangan likuiditas, hal ini kurang baik bagi kinerja perbankan begitu pula sebaliknya karena harus ada keseimbangan diantara keduanya. Pentingnya bank mengelola likuiditas secara baik adalah untuk menghindari terjadinya risiko likuiditas. Kekurangan likuiditas akan berakibat pada berkurangnya tingkat kepercayaan nasabah/masyarakat kepada bank tersebut. Tingkat likuiditas suatu bank mencerminkan sampai sejauh mana suatu bank dapat mengelola dananya dengan sebaik-baiknya.
27
2.4.1 Likuiditas Bank Syariah Dalam
menjalankan
kegiatannya,
dana
pihak
ketika
dari
hasil
penghimpunan dana oleh bank syariah tidak dapat langsung disalurkan kembali
kepada masyarakat, hal ini terjadi karena bank harus terlebih dahulu memepertimbangkan likuiditas guna menjaga kesehatan bank dan menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat akan dana yang disimpan di bank syariah. Likuiditas wajib perbankan terdiri dari cadangan primer (kas, saldo giro
pada Bank Indonesia, giro pada bank lain) dan cadangan sekunder. Ini merupakan
prioritas utama dan kedua dalam mengalokasikan dana pihak ketiga sebelum disalurkan untuk pembiayaan, piutang dan lain-lain. Perbankan di dunia wajib menjaga kedua bentuk likuiditas tersebut sesuai dengan kebijakan moneter yang berlaku di negara masing-masing. Setelah bank syariah menyisihkan dana pihak ketiganya untuk memenuhi likuiditas, prioritas selanjutnya adalah pembiayaan yang merupakan roda utama dari kehidupan perbankan. Dengan adanya pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat maka akan membantu dalam mensejahterakan nasabah debitur. Investasi merupakan prioritas selanjutnya dalam mengalokasikan dana perbankan. Untuk memeperbesar laba maka bank syariah akan melakukan investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Selain menambah keuntungan, melakukan investasi jangka panjang maupun jangka pendek dapat dijadikan sebagai alat likuiditas bagi bank syariah. 2.4.2 Instrumen Likuiditas Bank Syariah Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Apabila terjadi kelebihan likuiditas, bank melakukan penempatan kelebihan likuiditas sehingga dapat memperoleh keuntungan. Sedangkan bila mengalami kekurangan likuiditas bank akan memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan likuiditas baik yang disebabkan oleh kalah kliring maupun untuk menambah likuiditas dalam rangka kegiatan pembiayaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan baik.
28
Ada instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syariah dalam rangka memenuhi kewajiban likuiditasnya, yaitu:
1. Giro Wajib Minimum (GWM)
Giro Wajib Minimum (Statury Reserve Requirement) adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase tertentu dari dana
pihak ketiga (DPK). Giro Wajib Minimum ini merupakan kebijakan bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dan
berperan pula sebagai instrumen moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar (Muhammad: 2005). Giro Wajib Minimum (GWM) besarnya ditentukan 8% dari DPK oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Setelah pemenuhan GWM dan kas maka bank syariah dapat menyalurkan dananya kepada debitur. 2. Kliring Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar peserta kliring atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Ketentuan mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi bank umum yang berdasarkan prinsip syariah dengan beberapa perbedaan dan tambahan. Ketentuan yang berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah antara lain meliputi ukuran besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negatif dan tata cara pengenaan sanksi untuk bank-bank yang bersaldo giro negatif. 3. Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah. PUAS diatur dalam pasal 1 butir 4 PBI No. 7/26/PBI/2005 tentang perubahan atas PBI No. 2/8/PBI/2000 tentang PUAS.
29
Latar belakang dikeluarkannya PUAS adalah sebagai berikut:
a. Bahwa bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas yang
disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan
penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang terjadi karena dana yang terhimpun
dapat
disalurkan
kepada
pihak
yang
memerlukan.
belum
b. Bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank
yang
memerlukan adanya pasar uang antar bank.
melakukan
kegiatan
usaha
berdasarkan
prinsip
syariah
Piranti yang digunakan dalam PUAS adalah Sertifikat IMA. Sertifikat ini digunakan sebagai sarana investasi bagi bank yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di lain pihak untuk mendapatkan dana jangka pendek bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana. 4. Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI) Berdasarkan PBI No. 2/9/PBI/2000, yang dimaksud dengan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dan jangka pendek dengan berdasarkan prinsip wadi’ah. Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI) merupakan instrumen kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan kelebihan likuiditas pada bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Penempatan kelebihan likuiditas bank syariah di bank Indonesia dalam SWBI menggunakan akad wadi’ah yad dhamanah, dengan adanya penempatan dana tersebut, Bank Indonesia dapat mengambil manfaat dari titipan tersebut yaitu menjadikan piranti SWBI sebagai pengendali moneter atau pengendali jumlah uang beredar di masyarakat. Bank Indonesia memperoleh manfaat dari titipan dana overlikuiditas tersebut, sehingga Bank Indonesia boleh memberikan bonus atas titipan secara sukarela tanpa adanya ketentuan di awal penitipan (Muhammad: 2005).
30
Tetapi karena adanya protes dari kalangan perbankan syariah yang
berpendapat bahwa bonus SWBI relatif lebih kecil dibandingkan dengan
tingkat return SBI maka Bank Indonesia pun mengganti piranti SWBI
menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) yang tingkat imbal
hasil/returnnya tidak kalah besar dengan SBI pada perbankan konvensional.
2.5 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
2.5.1 Pengertian Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Maka untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia memiliki tugas, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan, dan tetap mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk menetapkan sasaran moneter dengan melakukan pengendalian moneter (laju inflasi) menggunakan operasi pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum (GWM) dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah (Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004). Instrumen kebijakan moneter yang berdasarkan prinsip syariah pertama kali muncul setelah dikeluarkannnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 dalam sistem perbankan syariah di Indonesia. Instrumen ini merupakan alat penyerap likuiditas yaitu Sertifikat Wadiah Bank Syariah (SWBI) seperti dalam perbankan konvensional yang telah lebih dahulu menpunyai instrumen moneter melalui SBI. SWBI ini diatur dalam PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 36/DSN-
31
MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Dalam PBI No. 6/7/PBI/2004 tersebut menyatakan bahwa SWBI adalah penitipan dana berjangka
pendek dengan menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk bank syariah atau unit usaha syariah.
SWBI merupakan fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagai
alternatif untuk menyimpan kelebihan dana (overlikuiditas) bagi bank syariah dan unit usaha syariah. Kelebihan dana tersebut dapat disimpan sementara waktu di
Bank Indonesia dan akan mendapatkan bonus dari Bank Indonesia. Bonus yang diberikan didapat dari imbal hasil penempatan IMA (Investasi Mudharabah) di
Pasar Uang Syariah . Adanya keluhan dari bank syariah dan unit usaha syariah tersebut mendorong Bank Indonesia mengeluarkan peraturan baru yang mengatur ulang mengenai
instrumen
likuiditas
yang
berdasarkan
syariah
agar
lebih
menguntungkan dalam pemberian return terhadap dana yang disimpan bank syariah dan unit usaha syariah di Bank Indonesia dan dapat digunakan sebagai instrumen moneter yang tepat bagi bank syariah ataupun unit usaha syariah. Bank Indonesia membuat peraturan baru sebagai pengganti peraturan yang lama yaitu PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia dengan PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2008 setelah Bank Indonesia mempunyai izin dari DSN-MUI untuk menerbitkan SBIS. Ketentuan tentang SBIS ini diterbitkan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui operasi pasar terbuka syariah dalam upaya mendukung tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang bermuara pada terpenuhinya tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Pengertian SBIS berdasarkan PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Sedangkan tujuan dikeluarkannya PBI tentang Sertifikat Bank
32
Indonesia Syariah ini ditujukan sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
2.5.2 Akad Ju’alah Dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah
SBIS sebagai instrumen penempatan dana overlikuiditas diterbitkan
berdasarkan beberapa ketentuan, diantaranya menggunakan akad ju’alah. SBIS akan memberikan return tinggi yang setara dengan return SBI dengan ketentuan
bank syariah tersebut dapat menyalurkan dananya di atas 80%. Hal ini merupakan
bentuk motivasi untuk bank-bank syariah agar dapat menyalurkan dananya
kepada pihak defisit dan akan berdampak pada penggerakkan sektor riil serta menghilangkan adanya idle fund. Berdasarkan akad ini, Bank Indonesia mempunyai wewenang memberikan return yang tinggi atas upaya bank syariah menjalankan fungsi intermediasinya yang lebih dari sempurna. Penerapan akad ju’alah dalam transaksi SBIS merupakan tanggung jawab Bank Indonesia dalam bentuk janji memberikan upah/bonus tinggi setara dengan return SBI terhadap bank syariah yang mampu menyalurkan dananya (FDR) di atas 80%. Pengertian akad ju’alah dalam PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah sama dengan Fatwa DSN-MUI No. 64/DSNMUI/XII/2007 tentang akad ju’alah adalah suatu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah menerangkan secara rinci sistem akad ju’alah yang digunakan pada penerbitan SBIS, yaitu Bank Indonesia bertindak sebagai ja’Il (pemberi pekerjaan), bank syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan), dan objek/underlying ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
33
Pada penerbitan SBIS mempunyai jangka waktu tertentu yaitu waktu penerbitan SBIS paling kurang 1 bulan atau paling lama 12 bulan. Jangka waktu
yang dimaksud adalah jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan
tanggal jatuh waktu. Sedangkan satuan unit yang digunakan dalam penerbitan SBIS adalah Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) per lembar. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat
Bank
Indonesia Syariah, ju’alah membolehkan Bank
Indonesia untuk
memberikan reward atau upah (Ju’l) pada bank syariah sebagai upahnya bank
syariah setelah melaksanakan “pembelian” SBIS sebagai partisipasi bank syariah dalam pengendalian moneter pada saat jatuh tempo sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam dua Pasal PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah yaitu Pasal 13 ayat (2) dan pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang diterbitkan”, kemudian pada ayat selanjutnya diterangkan pula bahwa pembayaran imbalan tersebut dilakukan pada saat jatuh tempo waktu SBIS. Besaran nominal imbalan yang diberikan pada pelunasan SBIS sebesar nilai nominal pada pembelian SBIS dan Bank Indonesia juga dapat membayarkan imbalan SBIS sebelum jatuh tempo, dalam hal bank syariah dan unit usaha syariah tidak dapat memenuhi kewajiban Repo SBIS. 2.5.3 Mekanisme Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Dalam PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah disebutkan bahwa SBIS diterbitkan melalui mekanis melelang. Sistem lelang yang digunakan dalam penerbitan SBIS yaitu dengan menggunkan BI-SSSS. Mekanisme penerbitan SBIS adalah diterbitkan melalui lelang. Dalam hal ini, mekanisme penerbitan SBIS melalui lelang telah diatur dalam ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/16/DPM Tahun 2008 tanggal 31 Maret 2008, yaitu:
34
1. Pada hari pelaksanaan lelang Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang ditetapkan, peserta langsung mengajukan penawaran pembelian Sertifikat
Bank Indonesia Syariah kepada Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan
Moneter-Biro Operasi Moneter (DPM-BOpM) melalui BI-SSSS atau sarana
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Pengajuan penawaran kuantitas dari setiap peserta lelang paling kurang 1.000 (seribu) unit atau Rp 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah), dan
selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp 100.000.000,-
(seratus juta Rupiah).
Selanjutnya Bank Indonesia hanya menerima pengajuan penawaran pembelian SBIS dari peserta langsung dan menggunakan data penawaran pembelian SBIS yang diajukan peserta langsung. Peserta langsung tidak dapat membatalkan penawaran pembelian SBIS yang telah diajukan, peserta lelang SBIS bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian SBIS yang diajukan. Bank Indonesia membuka window time lelang SBIS pada hari rabu dengan pengajuan transaksi (windowtime) mulai pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB, atau pada hari kerja lain dengan window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan setelmen dana dan setelmen surat berharga hasil lelang SBIS pada hari kerja yang sama dengan hari pelaksanaan lelang SBIS (sameday settlement). Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menetapkan tanggal setelmen pada hari kerja lain. Sistem lelang yang digunakan oleh bank syariah maupun unit usaha syariah pada saat lelang SBIS adalah sistem lelang non competitive atau bank syariah tidak memasukkan tingkat imbalan pada saat lelang, hanya memasukkan jumlah likuiditas rupiah yang ditawarkan (amount). Dengan demikian penetapan tingkat imbalan mengacu kepada rata-rata tertimbang imbalan (RRT) SBI berjangka waktu sama. Secara ringkas dapat digambarkan proses lelang SBIS yaitu pada saat window times lelang SBIS, Bank Indonesia mengumumkan berapa besaran target induktif yang harus dicapai pada saat lelang SBIS. Pengumuman tersebut diberitahukan oleh Bank Indonesia melalui SSSS Terminal yang ada disetiap bank syariah pusat. Kemudian bank syariah yang menerima pesan pengumuman
35
tersebut akan melakukan balasan berupa memasukan jumlah dana yang akan di tempatkan pada SBIS. Setelah terdapat jumlah penawaran yang masuk, maka
Bank Indonesia selama transaksi lelang SBIS melakukan juga transaksi lelang SBI konvensional. Dan setelah lelang SBI konvensional selesai dan di dapatkan hasil
RRT (rata-rata tertimbang) SBI konvensional hasil lelang. Maka Bank Indonesia memberikan pengumuman kembali kepada bank syariah bahwa reward atau ju’l adalah sekian persen menurut rata-rata tertimbang yang didapatkan.
Pada Pasal 10 ayat (1) PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank
Indonesia Syariah menerangkan bahwa dalam hal menatausahakan SBIS,
Bank Indonesia menatausahakannya dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis dalam BI-SSSS. Dan sistem penatausahaan yang dimaksud mencakup penyelesaian transaksi (setelmen) SBIS dan pencatatan kepemilikan SBI. Dan sistem ini juga dilakukan tanpa warkat (scripless). Penatausahaan ini dilakukan dengan pertimbangan keamanan dan efisiensi penatausahaan dalam penerbitan SBIS serta surat berharga lainnya. Adapun pengertian BI-SSSS adalah Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System, yaitu sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggaraan dan Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yaitu adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. Pada Pasal 11 ayat (1) PBI No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ditentukan bahwa dalam melakukan transaksi SBIS pihak bank syariah dan unit usaha syariah diwajibkan memiliki rekening giro yaitu rekening dana milik bank syariah atau unit usaha syariah dalam mata uang rupiah di Bank Indonesia dan rekening surat berharga yaitu rekening milik bank syariah atau unit usaha syariah di BI-SSSS yang digunakan untuk mencatat kepemilikan SBIS yang cukup untuk penyelesaian transaksi SBIS yaitu transaksi pembelian SBIS dan/atau Repo SBIS. Dan pada ayat selanjutnya diterangkan bahwa saldo rekening giro
36
tersebut harus mencukupi untuk memenuhi kewajiban penyelesaian transaksi pembelian SBI.
Dan prosedur penyelesaian akhir transaksi (setelmen) SBIS adalah Bank
Indonesia mendebet rekening giro atas pembelian SBIS oleh bank syariah atau
unit usaha syariah, atau mendebet rekening surat berharga dan rekening giro atas Repo SBIS termasuk memindahkan pencatatan SBIS dalam rangka pengagunan. Perhitungan Tingkat Return Sertifikat Bank Indonesia Syariah 2.5.4
Perhitungan besaran tingkat return yang diberikan pada SBIS mengacu
kepada tingkat diskonto hasil lelang SBI berjangka waktu sama yang diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SBIS dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode fixed rate tender, maka return SBIS ditetapkan sama dengan tingkat diskonto hasil lelang SBI. 2. Dalam hal lelang SBI menggunakan metode variable rate tender, maka return SBIS ditetapkan sama dengan dengan rata-rata tertimbang tingkat diskonto hasil lelang SBI. 3. Dalam hal pada saat bersamaan tidak terdapat lelang SBI, tingkat return yang diberikan, mengacu kepada data terkini antara tingkat return SBIS atau tingkat diskonto SBI berjangka waktu sama. Perhitungan nominal return SBIS dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Nilai Return SBIS = Nilai Nominal SBIS x (Jangka Waktu SBIS /360) x Tingkat return SBIS (Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/16/DPM Tahun 2008 tanggal 31 Maret 2008) 2.6 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu selalu bermulai dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Pada umumnya semua ilmuan akan memulai penelitiannya dengan cara menggali apa yang sudah diketemukan sebelumnya oleh para ahli. Pemanfaatan terhadap apa yang telah dikemukakan atau ditemukan oleh ahli
37
tersebut dapat dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi hal-hal yang sudah ada untuk mengetahui apa
yang sudah ada dan apa yang belum ada melalui laporan hasil penelitian dalam jurnal atau karya-karya ilmiah. bentuk
Terdapat sedikitnya tiga penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), yaitu: 1. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Mudharabah
Pada Bank Syariah Mandiri” oleh Hilmi. Penelitian ini dilakukan oleh
mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2006. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa SWBI berperilaku sebagaimana halnya teori dan logika, hal ini menunjukkan bahwa besarnya bonus yang akan diterima dari penempatan SWBI oleh Bank Syariah Mandiri masih menjadi daya tarik yang cukup tinggi. Selain itu dibandingkan risiko yang mungkin dihadapi oleh Bank Syariah Mandiri dalam penempatan SWBI relatif lebih aman. Sehingga benar adanya apabila ternyata kenaikan bonus SWBI dapat mengurangi pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh Bank Syariah Mandiri. 2. “Pengaruh Tingkat SBIS Terhadap Tingkat FDR Perbankan Syariah (Analisis Simulasi Kebijakan)” oleh Dian Nuriyah Solissa. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2009. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa tingginya tingkat FDR perbankan syariah pada saat penerapan SBIS disebabkan oleh dua hal, yaitu tingginya tingkat imbal hasil pembiayaan dibandingkan tingkat imbal hasil SBIS dan adanya batasan minimum FDR perbankan syariah sebesar 80% memicu pihak perbankan untuk lebih banyak menempatkan danaya pada masyarakat. 3. “Pengaruh Imbal Hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah Terhadap Penempatan Pembiayaan Mudharabah” oleh Farah Sabila K. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Diploma III Politeknik Negeri Bandung pada tahun 2011. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat imbal hasil SBIS mempunyai korelasi yang negatif terhadap pembiayaan mudharabah.
38
Hal ini mendukung teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
imbal hasil yang ditawarkan SBIS menunjukkan tingkat pengembalian yang
semakin besar dan berakibat menurunnya pembiayaan mudharabah.
2.7 Kerangka Pemikiran
Dalam penjelasan PBI No. 10/36/PBI/2008 disebutkan bahwa dalam rangka
mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Untuk mencapai sasaran akhir kebijakan moneter tersebut, salah satu cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi moneter syariah melalui operasi pasar terbuka syariah yang instrumennya berupa SBIS. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Bank dengan prinsip syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Pembiayaan dalam perbankan syariah merupakan kegiatan yang harus dilakukan untuk membantu masyarakat yang mengalami defisit. Pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) merupakan pembiayaan inti pada perbankan syariah. Dengan dilakukannya pembiayaan bagi hasil diharapkan perbankan syariah dapat membantu perekonomian sektor riil. Sehingga pembiayaan bagi hasil terpengaruh oleh kondisi perekonomian pada saat terjadi. Dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil, perbankan syariah memiliki resiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan lainnya yang bukan merupakan pembiayaan langsung pada sektor riil. Perbankan syariah akan
39
membuat kebijakan alokasi pembiayaan dengan melihat pada besar kecilnya risiko yang akan terjadi kedepannya apabila pembiayaan dilakukan. Karena
adanya risiko tersebut maka perbankan syariah akan melihat kebijakan lainnya dapat memperkecil risiko pembiayaan, salah satunya return SBIS. yang
Return SBIS pada dasarnya merupakan insentif yang diberikan oleh Bank
Indonesia dalam upaya perbankan untuk mengontrol peredaran uang yang terjadi di masyarakat. Besar kecilnya insentif yang diberikan diperkirakan dapat
mempengaruhi banyaknya penempatan dana pada instrumen tersebut. Return ini juga bersifat pasti sehingga perbankan syariah yang menyimpan danaya SBIS
pada SBIS akan mendapatkan return dan tidak akan mengalami kerugian. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan suatu gambaran dari seberapa besar fungsi intermediaris yang dilakukan oleh perbankan syariah. Semakin besar tingkat FDR (mendekati 100%) maka semakin besar juga perbankan syariah dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediaris atau lembaga penyalur dana. Salah satu yang mempengaruhi tinggi rendahnya FDR adalah besar kecilnya perbankan syariah dalam melakukan penempatan dana di Bank Indonesia dalam bentuk SBIS. Bank Indonesia menetukan syarat untuk melakukan penempatan dana pada SBIS dimana perbankan syariah harus memiliki nilai FDR minimum 80% sehingga perbankan syariah yang telah mencapai FDR minimum tersebut akan berlomba-lomba untuk melakukan penempatan dana pada SBIS dan tidak melakukan penyaluran pembiayaan yang lebih besar lagi karena telah mencapai ketentuan Bank Indonesia dan akan mendapat return yang pasti. SBIS seharusnya digunakan sebagai simpanan jangka pendek bagi perbankan syariah yang memiliki kelebihan likuiditas (overlikuiditas) agar membantu Bank Indonesia dalam menyerap uang dari masyarakat sehingga dapat mengurangi uang beredar dan dapat diambil sewaktu-waktu apabila perbankan syariah mengalami kekurangan dana karena jangka waktu yang diberikan pendek tidak seperti pada pembiayaan. Pada kenyataannya, SBIS menjadi hal yang sangat menarik dan diminati dalam perbankan syariah untuk menempatkan dananya daripada disalurkan
40
melalui pembiayaan bagi hasil yang merupakan sektor riil. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh sebab itu, diduga
return SBIS berpengaruh terhadap besar kecilnya penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bagi hasil yang dilakukan oleh bank syariah. Semakin besar return
SBIS maka penyaluran dana terhadap pembiayaan bagi hasil menjadi berkurang begitupula sebaliknya.
BANK SYARIAH
Risiko Pembiayaan
Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan Bagi Hasil
Pembiayaan Mudharabah
Return SBIS
FDR
Overlikuiditas
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
BANK INDONESIA
SBIS
41
2.8 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang akan
dibuktikan setelah data empiris diperoleh. Maka dengan mengacu pada tinjauan
pustaka, kajian empiris, dan kerangka pemikiran diatas, dapat disusun hipotesis penelitian, berikut hipotesis dari penelitian ini: Hipotesis :
Return Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) berpengaruh
negatif terhadap alokasi pembiayaan bagi hasil (mudharabah
dan musyarakah).